Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik
khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan
cermin "kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori
potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes”
(Budianta, 2004: 49).
”Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya
melalui oposisi yang kaku seperti kedewasaan/ketidakdewasaan, beradab/biadab,
maju/berkembang, progresif/primitif” (Gandhi, 2001: 44).
”Kesusastraan poskolonial ialah kesusastraan yang membawa pandangan
subversif terhadap penjajah dan penjajahan” (Aziz, 2003: 200).
Pada tahapan yang paling mendasar,
postkolonial mengacu kepada praktik-praktik yang berkaitan dan menggugat hierarki
sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan poskolonial
berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran
kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek
kolonialisme.
Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip
Aziz (2003: 201) menjelaskan bahwa postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi
kepada kolonialisme semenjak ataupun selepas penjajahan. Sebenarnya, penjajahan
masih berlangsung di setengah negara, dan pengalaman negara-negara ini
diterjemahkan sebagai neokolonialisme oleh para golongan Markis. Mereka
berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam konteks politik saja tetapi
ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan paskolonial, karya-karya yang
dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan
paskolonial apabila karya itu merekamkan atau memancarkan wancana
pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan
masa, tetapi terikat dengan wacana poskolonial.
Pernikiran-pemikiran Foucault tentang
pengetahuan/kekuasaan dimanfaatkan oleh sejumlah pemikir yang menggagas teori
poskolonial. Teori dan kritik poskolonial yang marak sejak tahun 1980-an di
Amerika Serikat, lnggris, dan Australia pada awalnya dipelopori oleh Leopold
Senghor, Dominique O'manononi, Aimme Cesaire, Frants Fannon, dan Albert Memmi,
yang menyorot berbagai aspek dan dimensi pengalaman penjajahan. Bedanya,
generasi yang mengembangkannya kemudian, misalnya Edward Said dan Hhomi Bhaba,
sangat dipengaruhi oleh pemikiran poststrukturalis, terutama Derrida dan
Foucault (Budianta, 2004:49).
Sesungguhnya wacana poskolonial
memperjuangkan politik pertentangan, namun, ada yang berpendapat bahwa hal ini
tidak boleh disamakan dengan antikolonialisme seperti yang ditegaskan oleh
Bussnett (Aziz, 2003: 200) yang melihat paskolonialisme berbeda dari pada anti
kolonialisme karena wacana yang ini tidak terlepas dengan menerima hakikat
kesan penjajahan terhadap yang dijajah, dengan kata lain, walaupun wacana poskolonial
ataupun poskolonialisme memberi reaksi yang menolak hegemoni dan autoriti
barat, namun kesan hubungan yang kompleks antara penjajah dengan yang dijajah
telah memberi kesan pada pembentukan budaya poskolonial, dan seterusnya
mempengaruhi pembentukan kesusasteraan poskolonial.
Beberapa topik yang dikembangkan oleh
poskolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Pembicaraan
mengenai topik¬-topik ini didasari oleh asumsi yang telah digariskan sejak
Derrida, yakni bahwa segala sesuatu bentuk identitas merupakan bangunan (atau
anggitan) sosial, bukan merupakan suatu esensi yang telah ditentukan secara
biologis (Budianta, 2004:51).
Objek penelitian poskolonial menurut
Ashcroft (Ratna, 2008:90) mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami
kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk
berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna, 2008:90) mendefinisikan objek
postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial.
Ratna (2008:90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori poskolonial
adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural,
seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang
terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern.
Menurut Pamela Alen (2004:211), ada dua penanda postkolonial, yaitu:
a. Tempat dan Pemindahan
Tempat dan pemindahan adalah masalah umum
dalam kajian sastra poskolonial. Pemindahan disebabkan oleh kebutuhan kolonial
untuk ketertiban, proses hibridisasi sebagai suatu keadaan yang muncul akibat
belenggu kolonialisme dan upaya untuk menemukan kembali jati dirinya, dan yang
terakhir adalah globalisasi.
Dalam proses didefinisikan kembali oleh kolonialisme, tak diragukan lagi
bahwa ada individu yang mengalami pemindahan, pengucilan, dan marginalisasi.
Pemerintah kolonial membutuhkan "Penempatan" karena ini dibebankan
pada serangkaian dinamika yang sudah lebih dahulu ada, yang perlu membawakan
pemindahan. Karena kekuatan hegemonik dari pemerintah kolonial
dipertahankan mulai kontrol yang ketat dan tekanan untuk terus menerus menjaga
segala sesuatu tetap pada tempatnya, penjajah harus berhati-hati terhadap
kekacauan yang menuntut kedewasaan terus menerus. Ingin dilakukan dalam banyak
cara, misalnya tekanan polisi, melarang semua gerakan populer atau dengan cara
korupsi. mekanisme yang dipakai bersifat terus menerus dan teratur.
b. Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi yang diperkenalkan oleh
Jacques Derrida melalui buku-bukunya, antara lain Of Grammatology, Yhriiting
and Difference, Dissemination, dalam ilmu sastra mengacu pada model/metode
analisis (atau model yang argument filosofis) yang dipakai dalam membaca
berhagai macam teks sastra maupun nonsastra, untuk menunjukkan ketidaksesuaian
dengan logikalretorika antara yang secara eksplisit disebutkan dan yang secara
emplisit tersembunyi dalam teks. Kajian dekonstruksi menunjukkan bagaimana
kontradiksi-kontradiksi tersebut disamakan oleh teks.
Poskolonial menerapkan dekonstruksi dengan
mengidentifikasikan logo sentrisisme dengan ideologi yang membuat dikotomediner
hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi, masyarakat beradab/masyarakat
primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar pembenaran kolonialisme dan
imperealisme.
Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa
fiksi dengan model analisis poskolonial dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep
kekuasaan, konsep penjajahan, tindakan subversif penjajah dan penjajahan,
masalah ras, etnisitas, identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah,
politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di
negara-negara bekas jajahan. Semua analisis sekaitan konsep poskolonial
tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar