Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Seniman dan Kenyataan di Depan Mata



Seniman dan Kenyataan di Depan Mata

Hang Kafrawi


Peristiwa yang terhampar di alam ini merupakan ruh karya seni. Bukankah seniman ’pembajak’ yang handal menjadikan hamparan peristiwa ’taman bunga’ tempat pikiran manusia lainnya bermain? Di ’taman bunga’ itulah manusia diharapkan menafsirkan peristiwa yang terjadi dengan hati nurani, sehingga bermunculan ’bunga kesadaran’ untuk mengenal diri lebih dekat lagi. Inilah hakikat karya seni; dapat menjadi penyuluh bagi manusia.

Pada hari ini, seniman seakan kehilangan ’ruh’ untuk menukangi karya seni dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Maka bermunculanlah karya seni yang ’menjauh’ dari keadaan masyarakat. Dalam karya seni, seniman hanya bercerita tentang keluh-kesah pribadi; tersebab putus cinta (sebagai salah satu contoh). Karya seni bukan menjadi keluh kesah universal, tapi lebih banyak kegelisahan individu sang seniman. Karya seni tak menyentuh hati orang banyak, dia berjalan sendiri dengan ’kelukaan’ yang maha sunyi.  

Mungkinkah peristiwa yang terjadi di negeri kita pada hari ini melebihi perasaan sensitif para seniman? Kita setiap hari disuguhi peristiwa yang mengiris hati nurani; seorang nenek mencuri kakau diganjar hukuman lima tahun penjara. Seorang anak mengambil sandal jepit ’dipelasah’ dengan hukum penjara. Penegak hukum dengan perkasanya menghabisi nyawa tahanan yang tergolong muda. Pihak keamanan yang tidak berpihak kepada rakyat dengan leluasa melepaskan tembakan ke rakyat kecil. Seorang ibu dituduh mencuri enam buah piring majikannya dan dihukum penjara selama 140 hari. Peristiwa perih ini, nyata adanya dan orang banyak tidak memerlukan tafsiran seperti menafsirkan karya seni.
 

Hati nurani manusia mendiami negeri ini senantiasa diusik dengan peristiwa-peristiwa perih yang terus menikam keibaan. Gelombang kelukaan semakin besar menghempas ke tebing hati, namun kita tetap berdiri dengan kesedihan yang datang sesaat saja. Semakin jauh peristiwa perih itu berlalu, semakin lupa kita dengan peristiwa itu. Kita pun dihadapkan dengan peristiwa nyata yang lain pula.

Sebagai seniman, yang katanya diberi perasaan lebih dibandingkan dengan manusia lainnya, seharusnya peristiwa nyata itu diabadikan dalam karya seni. Karya seni yang mampu terus menggoyang hati nurani manusia negeri ini untuk selalu ingat dengan peristiwa nyata itu. Dengan demikian, rasa kasih sayang sesama manusia negeri ini terus menyala, sehingga sedikit banyak karya seni dapat membakar perasaan manusia untuk mengenal akan dirinya. Punca dari segala peristiwa di muka bumi ini, berawal dari diri manusia itu sendiri. Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, Pasal 1, bait 4 mengatakan, ‘’Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan yang bahari.’’

Seniman melalui karya seninya, membawa kebenaran-kebenaran untuk kepentingan orang banyak. Karya seni tidak berpihak kepada siapapun, tetapi karya seni berpihak kepada kesadaran akan pentingnya kemaslahatan manusia. Dengan kesadaran bahwa manusia saling mengerti satu dengan lainnya, maka terciptalah keharmonisan, keseimbangan hidup manusia. Nilai keindahan dalam karya seni adalah ketika karya seni itu memiliki faedah atau manfaat bagi setiap manusia.
 

Dengan demikian, karya seni mengambil posisi sebagai penetral keadaan. Karya seni tidak berpihak pada kaum tertindas dan tidak juga menyebelah kepada yang menindas. Bagi kaum tertindas, karya seni menjadi pembangkit semangat untuk tetap berusaha lepas dari penindasan. Menyadarkan diri bahwa ketertindasan harus tetap dilawan; hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai. Karya seni memberikan cahaya ke hati tertindas sementara bagi kaum penindas karya seni dapat dijadikan penunjuk jalan untuk tidak melakukan penindasan. Bukankah manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sama di mata-Nya? Karya sastra membongkar kesadaran kebersamaan itu.      

Maka, realitas yang terjadi di negeri ini, sepahit apapun, sepilu bagaimanapun, tetap menjadi sumber seniman untuk ikut andil menciptakan ’kebahagiaan’ bersama melalui karya seni. Seniman tidak harus lari dari kenyataan yang sedang melanda negeri ini. Seniman ikut bertanggung jawab mengubah keburukan menjadi kebaikan, bukan sebaliknya, seniman menambah ’kekacuan’ dengan menanam kebencian antar manusia yang mendiami negeri ini. Di tangan seniman diharapkan realitas yang melanda negeri ini menjadi pelajaran berharga bagi kelangsungan kehidupan.
 

Bukan zamannya seniman berlagak dengan karya yang hanya mempopulerkan dirinya sendiri; menjauhkan karya mereka dengan keadaan yang terjadi di negeri ini. Agar mereka (seniman) terlihat hebat, beramai-ramailah seniman mengokah realitas negeri asing menjadi sumber mereka. Para seniman pun membusungkan dada bahwa mereka pengusung globalisasi dengan menyerap kebudayaan asing. Mereka merasa tidak modern apabila gagasan datang dari kenyataan yang terjadi di negeri ini.
 

Inilah permasalahan yang dihadapi dunia seni di negeri ini. Selalu menganggap kehidupan nyata yang berhubungan dengan orang banyak tidak penting lagi dirangkai menjadi karya seni yang berkualitas. Padahal seniman selalu ditunggu untuk menghasilkan karya yang mampu ’membaca’ peristiwa yang terjadi dengan mengedepankan kejernihan. Dari kejernihan inilah, manusia meneguk kesegaran untuk berbuat lebih baik lagi. Kalaulah dapat diibaratkan, karya seni itu seperti baut penting di sebuah mesin, tanpa baut tersebut, mesin tidak bisa dihidupkan.
 

Mungkin saja disebabkan faktor globalisasi membuat seniman ’membanting setir’; seniman harus menghasilkan karya seni yang instan dan berbau pop. Mereka tak mampu bertahan dari godaan kaum kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan. Seniman juga dipaksa untuk menghasilkan karya seni hanya untuk hiburan, tanpa memikirkan makna yang lebih dalam. Karya seni diukur seberapa banyak orang senang dan berapa duit yang didapatkan dari karya seni itu. Masalah sosial dikesampingkan karena tidak menarik untuk dijual.
 

Bukan ’mengharamkan’ budaya populer, tetapi kemaslahatan orang ramai perlu dikedepankan. Apalah arti sebuah karya seni apabila hanya sesaat karya seni itu berarti. Seharusnya karya seni itu bertahan dari segala waktu, berbuah di sembarang musim, bermanfaat kapan saja. Inilah karya seni seharusnya.

Kembali pada peristiwa yang terjadi di negeri ini, memang terasa berat rasanya seniman mengokah realitas tersebut menjadi karya seni yang mampu melantas ke hati setiap orang. Namun demikian, bukan berarti seniman harus menyerah dan menyelewengkan hati nurani dengan membiarkan realitas itu terkapar tak berdaya.

Memang perlu kerja keras bagi seniman membungkus peristiwa pilu hari ini menjadi karya seni. Mari kita lawan godaan kapitalisme dengan mengajak mereka berpikir bahwa kesenian bukan hanya mementingkan hiburan, tapi lebih dari itu, kesenian menjadi kekuatan menjunjung kemanusiaan lebih tinggi lagi. Peristiwa yang terjadi di negeri ini, memang memilukan, kita perlu meresponnya dengan karya seni, sehingga perasaan halus setiap orang tersentuh untuk tidak berbuat semena-mena lagi. Maju terus untuk berkarya.***


Hang Kafrawi
 
Adalah nama pena dari Muhammad Kafrawi seorang sastrawan Riau. Selain bergelut di dunia sastra, ia juga aktif membina teater di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Bermastautin di Pekanbaru.
Sastra dalam Islam (Arab) disebut dengan adab. Dalam keseharian, kita bisa mengaitkannya dengan kesopanan, kesantunan, atau dengan istilah kelembutan kata. Sudah tentu untuk menilai sikap dan tingkah laku seseorang kita melihatnya dengan adab. Baik dengan melihat kesopanannya, kesantunannya, atau dengan kelembutan tutur katanya saat bicara. Namun defenisi adab di dalam sastra jauh lebih besar daripada itu.

Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran. Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan. Jadi sastra Islam lebih mengarah pada pembentukan jiwa.

Definisi seni dan sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al Islam, adalah seni/sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan Said Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, seni Islam adalah seni infiniti (seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran Alquran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni/sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni Qurani atau seni Rabbani.

Harun Daud berkata, “Tujuan kesusastraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah pencapaian ilmu yang menyelamatkan. Bukan untuk membentuk makna spekulatif. Sebuah karya sastra atau karya seni dalam Islam adalah alat atau bantuan dan bukannya pengakhiran realita itu sendiri.” Sementara menurut Shanon Ahmad bersastra dalam Islam haruslah bertonggakkan Islam, yaitu sama seperti beribadah untuk dan karena Allah. 

Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta —yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963— para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakan bahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan umat manusia. 

Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Illahi dan fitrah insani.
Setelah kita memahami definisi maupun tujuan dari sastra Islam, ada hal yang perlu kita jawab yaitu apakah yang akan menciptakan karya sastra Islam harus orang Islam? Atau bisa saja orang non muslim berkarya yang karya sastra mereka berdasarkan adab Islam, lalu apakah sastra mereka dapat dikatakan sebagai sastra Islam?

Kita perlu memahami maksud dari definisi di atas, bahwa yang dikatakan sastra Islam adalah sebuah karya yang berlandaskan adab islami yang orang yang membuat karya sastra itupun harus orang Islam. Jadi jika orang non muslim berkarya dengan ciri karya sastra Islam bukanlah disebut sastra Islam. Sastra itu bisa disebut dengan sastra yang bersumberkan Islam. 

Untuk memudahkan kita untuk memahami maksud sebenarnya dari sastra Islam. Berikut beberapa ciri sastra Islam. Yaitu: (1) Jika sebuah cerpen, puisi atau novel Islam, misalnya, tidak melalaikan pembaca atau penulisnya untuk mengingat Allah. (2) ketika membacanya akan diingatkan kepada ayat-ayat kauliyah maupun kauniyah-Nya. (3) Ada unsur amar maruf nahi munkar dengan tidak menggurui. (4) Penuh dengan ibrah dan hikmah. (5) Ia kerap bercerita tentang cinta; baik cinta kepada Allah, Rasulullah, kedua orangtua, perjuangan di jalan-Nya. Cinta pada kaum muslimin dan semua mahluk Allah: sesama manusia, hewan, tumbuhan, alam raya dan sebagainya. 

Ciri lainnya, karya sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa ‘indahnya’ kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apapun. Ia juga tak membawa kita pada tasyabbuh bi’l kuffar, apalagi jenjang kemusyrikan.

Sastra Islam akan lahir dari mereka yang memiliki ruhiyah Islam yang kuat dan wawasan keislaman yang luas. Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau tidak bukan dilihat pada karya semata, namun juga dari pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra Islam bagi pengarangnya adalah suatu pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada Allah dan umat. Sastra dalam kehidupan seorang muslim atau muslimah pengarang adalah bagian dari ibadah. Artinya tidak ada dari hasil karya mereka diniatkan selain untuk ibadah.

Sebuah karya tak bisa dikatakan sebagai sastra Islam hanya karena mengambil setting (latar belakang) pesantren, masjid, mengetengahkan tokoh ulama dan menampilkan ritual-ritual keagamaan atau unsur sufistik. Sastra Islam lebih dari sekadar slogan atau simbol. Sang pengarang, kehidupan, Islam dan karyanya menjelma satu kesatuan.

Para sastrawan Islam, berkarya tidak hanya sekadar berkarya, untuk menghasilkan sebuah kesenian yang indah, kata-kata yang mengagumkan. Tetapi mereka jauh lebih besar dari itu. Mereka berkarya atas dasar iman kepada Allah dengan tujuan dari karyanya itu dapat menjadikan dirinya dekat kepada Allah dan orang yang membaca karya-karyanya bisa ikut juga menjadi lebih baik.

Untuk mewujudkan itu semua tentunya sebelum berkarya haruslah memperbaiki pribadi terlebih dahulu secara matang sampai benar-benar memahami agama Islam secara kaffah. Sehingga apapun yang tertulis atau hasil karyanya benar-benar membawa kebaikan dunia dan akhirat.***


Jumardi 
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits UIN Suska Riau Co Kaderisasi FLP Pekanbaru

Apabila kita sudah terbiasa membaca puisi, barangkali bunyi adalah faktor yang paling kita maklumi. Tradisi ini adalah kondisi lahir batin kesusasteran Indonesia. Barangkali, kita bisa membayangkan bahwa musikalitas bunyi dalam puisi Indonesia adalah bagian dari khasanah puisi lama sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah, yaitu puisi yang terikat oleh bentuk dan rima. Namun, bunyi dalam puisi terus berkelanjutan sampai saat ini.

Jika kita menyimak puisi Indonesia modern, belum sepenuhnya lepas dari tradisi tersebut. Katakanlah puisi-puisi Chairil Anwar, sang pendobrak tradisi puisi lama, unsur bunyi masih terasa sebagai tipikal puisi lama karena puisi Chairil pada beberapa bagian masih menggunakan corak pembaitan puisi lama.

Lain lagi dengan Sutardji Calzoum Bachri, bunyi begitu dikultuskan dan menjadi kredo puisinya. Walaupun begitu, tidak sedikit puisi Indonesia yang berupaya lepas dari hegemoni bunyi dalam puisinya, katakanlah puisi-puisi Afrizal Malna, sekadar menyebut contoh. 

Bunyi bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dari puisi Indonesia bahkan sampai saat ini. Ia terus berdiaspora dalam tubuh puisi. Karena khasanah dunia saat ini hampir-hampir tidak ditemukan penemuan baru, penyair sebenarnya hanya mengolah yang sudah ada dengan upaya untuk tidak menjadi klise. 

Salah satu penyair muda yang begitu gemar dengan bunyi saat ini di antaranya adalah A Muttaqin. Secara umum, perkembangan puisi (di) Jawa Timur saat ini menemukan arah menggembirakan melalui kelahiran penyair berbakat A Muttaqin. Puisinya begitu khusyuk dengan olah bunyi dan dalam beberapa puisinya begitu rindang oleh aneka tanaman dan hewan, rimbun oleh berbagai simbol, dan tenang dengan permenungan.

Barangkali inilah yang membuat ia menjadi begitu fenomenal. Berusaha berbeda dengan puisi-puisi pendahulunya di Jatim yang terkenal dengan puisi gelap. Selain itu, keperajinan mengolah tata bunyi dalam puisinya telah menjadi karakternya.

Beberapa puisinya adalah puisi dengan rapatan bunyi. Bunyi yang hadir dalam puisi-puisi Muttaqin, bukan hanya dalam ketukan suku kata misal 812 suku kata sebagaimana puisi lama tetapi Muttaqin begitu rajin menyandingkan dua kata atau lebih dalam satu frasa yang berima sama. Bacalah beberapa petikan frasa dalam puisi Muttaqin berikut: Kepada gerimis yang meniris pelipis. Aku tak ingin menangis dan mengiris kupingku tipis-tipis. Anggur-anggur tak lagi manis. Dan gadis-gadis mencopot mawar dari tempiknya tanpa tangis. (‘’Surat Katak’’); Senangnya hati melihat tikus mampus. Tak sudi kuuluk innalillahi dan tak pantas belas bagi ras culas ini. (‘’Pengotor’’); dan serangkai kaki halus merangkak tak putus-putus mengantarmu ke arah lurus lalu dengan penciuman cukup bagus jalan-jalan kuendus-teramat tulus hingga tak tertembus sebangsa anjing lebus dan marga tikus yang kerap menghalangimu ke jalan kudus beserta dua kaki gatalmu ke gronjal batu atau malah kugelincirkan ke jalur kabut paling ribut mirip pincuk mulut: kitaran kecut yang becus cas cis cus bila satu dari satunya diringkus. (‘’Pertimbangan’’)

Cara Muttaqin menghadirkan diksi berima tersebut, bukan semata mengejar efek musikalitas (kosongan) semata, bukan pula sekadar keriangan yang tidak mendukung kesatuan energi puitiknya, tetapi susunan itu telah sedemikian rupa disusun untuk memperlihatkan bagaimana puisi memiliki gagasan cemerlang.

Bait terakhir puisi ‘’Pertimbangan’’, misalnya, memilih diksi dari bahasa Jawa, pincuk (wadah dari daun) dan apelativa gronjal (jalan rusak dan berlubang) yang dilengkapi dengan cas cis cus untuk menimbulkan efek kecerewetan yang terkandung dari diksi ribut dan mulut. 

Wawasan penyusunan diksi dan bunyi ini begitu dikhidmati oleh Muttaqin. Hasilnya, puisinya menjadi pawai bahasa. Sesekali kita dibuat geli olehnya. Sesuatu yang seolah dihadirkan sebagai atribut belaka ternyata menjadi kesatuan yang menarik. Simak juga puisi berjudul ‘’Kuda Cahaya’’: Kau, yang lebih tinggi dari mimpi, lebih senyap dari sepi, lebih rinai dari bunyi. Dan dengan semua yang berakhir /i/ yang tak kunjung sampai di watas wiru ini.

Kalau kita mau menebak, apakah maksud vokal /i/ dalam puisi tersebut? Barangkali itu nabi atau sufi, mungkin juga ilahi rabbi. Dalam bahasa Arab, akhiran /i/ adalah pembentuk kata sifat yang digunakan juga dalam banyak imbuhan bahasa Indonesia. Kita juga bisa bertanya siapakah yang lebih tinggi dari mimpi?

Puisi ‘’Kuda Cahaya’’ secara keseluruhan menceritakan tentang perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Muttaqin telah berhasil menangkap itu dengan metafor yang indah dalam puisi tersebut.

Beberapa kutipan puisi tersebut terdapat dalam buku puisi Pembuangan Phoenix. Buku ini termasuk lima besar dalam penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011. Secara khusus,  tema yang dihadirkan adalah kelahiran, kematian, kefanaan hidup, dan kepasrahan pada Tuhan. Muttaqin mengambil banyak khasanah, bukan hanya pada adopsi bahasa, tetapi juga kisah para nabi yang menjadi bahan dasar penciptaan ulang puisi-puisi dalam buku ini.

Lahir di Gresik, penyair ini sesungguhnya tercerabut dari tradisi lokalitasnya, kecuali khasanah keislaman Gresik sebagai kota santri. Pilihan simbol, seperti Munajat Apel Merah, Makrifat Mawar, Gerimis di Kulit Manggis dan rimbun tumbuhan sungguh asing dengan Gresik sebagai kota industri.

Phoenix, misalnya yang menjadi judul buku ini, adalah mitologi Mesir sebagaimana dapat kita baca dalam kata pengantar buku puisinya. Begitu juga puisi ‘’Perjamuan’’ yang tak lain adalah sosok Yesus yang dalam puisi itu dipanggil bindere: Di meja ini kita bersembilan, Bindere. Anda tahu, bindere adalah bahasa Madura yang artinya adalah anak kiai atau di Jawa disebut Gus.

Persilangan budaya, campur kode/alih kode yang banyak terjumpai dalam buku puisi ini tidak lain adalah sebuah karnaval puitik. Sebagai karnaval, ia menjadi parodi dari sekian lanturan bunyi. Sebagai penutup tulisan ini, alangkah indahnya saya hadirkan sebuah pantulan estetik yang mungkin sering kita jumpai, tetapi abai kita renungi. Akan tetapi, bagi Muttaqin itu adalah bahan yang indah:

Dan dengan senapan Canon kurus, akan kuhapus mereka dari malam kudus. Di aspal halus, kudapati usus dan dalamannya terburai, daging dan tulangnya remuk menanti, tapi hanya lalat yang melayati. Tikus dan lalat memang sahabat. Konon dari tai sepasang anak surga mereka dahulunya sama terbuat. (‘’Pengotor’’) 


Umar Fauzi Ballah 
Adalah penyair dan tinggal di Sampang

Oleh Musa Ismail 

Sastra dan filsafat memang berbeda. Muatan-muatan sastra - sebagian besar - adalah muatan-muatan penuh filsafat. Sebaliknya, inti filsafat tidak bisa kita katakan sebagai (teras) sastra. Karya sastra yang lahir merupakan refleksi mendalam tentang makna kehidupan sebagai cakupan dari filsafat kehidupan. Dari karya sastra, filosof bisa mengkaji nilai-nilai sebagai inti filsafat. Antara sastra dan filsafat memiliki keterkaitan walaupun berbeda. Sebagai suatu hasil kreativitas manusia, sastra mampu memberikan tunjuk ajar. Inilah yang bakal menjadi dasar bahwa sastra itu bersifat didaktis.

Ahmad Syamsu Rizal, Dosen Filsafat UPI, mengatakan bahwa hubungan filsafat dengan sastra adalah berkenaan dengan muatan itu. Filsafat akan bermakna dalam sastra kalau sastra diisi dengan nilai-nilai karena merupakan filsafat hasil perenungan manusia untuk menemukan jatidirinya. Jadi, di sini sastra berfungsi mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karakter sastra. Sastra mengandung unsur hiburan sehingga nikmat dibaca. Keuntungan filsafat dengan sastra yaitu pemikiran kefilsafatan jadi tidak terasa. Sastra tidak menggurui beda dengan filsafat yang murni. Filsafat disebut sebagai pengetahuan lapis kedua bahkan ketiga. 

Sastra memang tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Jika dipisahkan, sastra akan dilanda kegersangan yang dahsyat. Alasannya, sastra yang bermutu adalah sastra yang bernilai, memproses pemikiran, dan membawa perkembangan bagi kualitas kehidupan. Salah satu nilai tersebut adalah beraneka hal yang berkelindan dengan dunia filsafat. Proses-proses edukatif dalam sastra akan memberikan nilai berharga bagi perkembangan manusia. Nilai-nilai tersebut akan menjadi pelatihan mental bagi pembacanya. Dalam hal ini, sastra melibatkan dirinya ke situasi yang akan membangun perikehidupan dan perikemanusiaan.

Beberapa kali pertemuan (perbincangan) sastra yang pernah diikuti, saya sering mendengar pesan bahwa sastra itu berada antara gelap dan terang. Sastra itu samar-samar. Filsafat yang disusupkan dalam sastra mestilah tidak menggurui. Hal ini disebabkan perihal menggurui tersebut akan melahirkan kebosanan-kebosanan, kelelahan-kelelahan, mungkin juga kebodohan-kebodohan. Sastra yang menggurui terlalu menganggap bahwa pembacanya itu bodoh. Mochammad Asrori mengatakan pula, karya sastra yang baik selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma dan moral. Melalui karya sastra, seorang pengarang mampu menyisipkan nilai-nilai moral yang tidak bersifat menggurui atau memberatkan sehingga pesan-pesan moral itu dapat ditangkap penikmat sastra dengan baik. 

Cap negatif terhadap sastra yang menggurui tentu berkaitan dengan nilai-nilai/etika yang dikandungnya. Menurut Hans Kung (1991) dalam bukunya Global Responsibility In Search of a New World Ethic, untuk menghindari bencana yang barangkali akan semakin membesar ini tidak bisa tidak harus ada suatu pergeseran nilai dalam paradigma kehidupan manusia. Pergerakan dari nilai-nilai modernitas ke ‘’paska modernitas’’ ini meliputi hal-hal berikut. Pertama, perubahan dari masyarakat yang bebas etik menuju masyarakat yang bertanggung jawab secara etis. Kedua, dari budaya teknokrasi yang mendominasi manusia menuju teknologi yang melayani manusia. Ketiga, dari industri yang merusak lingkungan menuju industri yang ramah lingkungan. Keempat, dari demokrasi legal menuju demokrasi yang berkeadilan dan berkebebasan.

Untuk mengatasi bencana itu, karya sastra merupakan salah satu cara terabit karena wajah didaktis yang dimilikinya. Pertanyaannya yakni apakah memang benar bahwa sastra yang menggurui itu akan memberatkan, membosankan, atau melelahkan. Apakah memang benar bahwa sastra itu berada antara terang dan gelap seperti yang disampaikan Alber Camus. Ungkapan Camus ini pernah disampaikan Zuarman Ahmad pada penyerahan Ganti Award di Galeri Ibrahim Sattah, Bandar Serai, Maret 2009. Dia mengatakan bahwa salah satu novel nominator ketika terlalu menggurui. Apakah sastra yang menggurui merupakan karya sastra yang kurang baik sehingga beberapa pakar dan sastrawan sekalipun  sering mencemoohkan kehadirannya di tengah denyut dunia sastra kita. 

Kepribadian kita tidak sama. Karakter kreativitas sangat berbeda. Latar belakang pun akan mempengaruhi karakter penulisan kreativitas sastra. Patutkah kita berpendapat bahwa Gurindam Duabelas (sekedar menyebutkan salah satu contoh) karya Raja Ali Haji itu membosankan atau melelahkan karena terlalu banyak menggurui? Kalau kita kaji secara saksama, karya sastra lama merupakan karya sastra yang kaya dengan aspek didaktis-eksplisit. Baik prosa maupun puisi dalam sastra lama, memperlihatkan kecondongan-kecondongan ke arah  yang dikatakan sebagai yang menggurui tersebut. Pertanyaannya sekarang, tidak menarikkah karya-karya seperti itu? Lantas, mengapa pula karya sastra demikian mampu menembus batas dan ruang waktu?

Kita sebaiknya tidak larut dalam opini - yang seakan-akan - berpandangan bahwa sastra yang menggurui itu kurang layak untuk ditampilkan. Bahkan, tidak sedikit pula yang menilai bahwa sastra yang menggurui itu sungguh memalukan. Inilah opini yang sadis. Selain masalah latar belakang dan karakteristik penulis, ini juga berkaitan dengan selera dan latar belakang pembaca. Situasi dan kondisi sosial pembaca akan mempengaruhi selera dalam menyikapi suatu karya sastra.

Sastra merupakan wadah untuk mengkomunikasikan, memperjelas, dan mengekspos nilai-nilai kemanusiaan. Mengapa sastra yang menyampaikan nilai-nilai secara gamblang tersebut dikatakan kurang menarik dan melelahkan? Bagi saya, ini suatu kemasan. Apapun bentuknya, jika dibungkuskan dengan sastra, dia tidak akan menjadi kitab kutbah karena sastra memang tidak identik dengan sifat retorika. Karena itu, sastra sebagai alat bisa dijadikan apa saja. Sastra bisa dijadikan alat pembangkit pemberontakan. Sastra bisa mempengaruhi pembaca tanpa terasa atau propaganda. Sastra juga bisa secara terang-terangan dan sarat dalam memprovokasi pembaca.

Kritikan-kritikan yang menghantam lebih mengarah pada ketidakinginan untuk menerima kelahiran sastra yang menggurui. Sastra yang menggurui dianggap anak cacat dari penulisnya. Anggapan-anggapan miring seperti ini justru memperparah eksistensi karya sastra. Seakan-akan, karya sastra ini menanggung beban dosa yang mahaberat di tangan, hati, dan otak pembaca yang anti atau mengalami gangguan jiwa. Dikotomi seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Biarkan saja eksistensi sastra yang menggurui itu kita kembalikan sebagai karya sastra saja.***


Musa Ismail 
adalah guru SMAN 3 Bengkalis dan sedang belajar di Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Riau

PENDAPAT mereka yang telah berhasil memberi arti keberadaannya bisa jadi pedoman dalam upaya memformulasikan alternatif-alternatif baru menyangkut hidup dan kehidupan. Atau, setidaknya akan memperluas cakrawala pengetahuan generasi penerus yang tengah menapak mencari (ke)jatidiri(an). Pengertian demikian, tak termungkiri telah mendorong banyak penulis mempublikasikan sebutlah memoar atau (auto)biografi, yang menghimpun gagasan, visi, misi, motivasi dan atau perjuangan publik figur dalam dan luar negeri.

Nah, pada gilirannya saya pun merasa terpanggil mengetengahkan catatan-catatan yang pernah saya buat cuplikan wawancara, ceramah serta riwayat hidup berisi proses kreatif yang diperoleh dari pelbagai sumber yang untuk sekian lama tersimpan di arsip pribadi. Adapun catatan-catatan dimaksud mendedahkan moralitas (dan) kepengarangan sejumlah tokoh terkenal yang berkecimpung di arena olah sastra Indonesia.

Mochtar Lubis mengungkapkan bahwa dalam berkarya ia lebih fokus pada wawasan sastranya sendiri, masalah sosial-kemasyarakatan serta kemanusiaan zamannya. Hasilnya, secara sadar atau tidak sudah barang tentu akan dipengaruhi oleh pandangan hidup dan kepekaan hati nurani menangkap aktualitas persoalan-persoalan yang mengemuka.

Sedangkan Toeti Heraty menyatakan, eksistensinya membutuhkan kejujuran radikal dan posisi narsistik. Ia selalu bertolak dari berbagai kecemasan, karena merasa disingkirkan lingkungan ke sudut marginal. Rasa-rasa ini kemudian dikuasai oleh sarana pengaman yang lebih menonjol, dunia ilmu dan kepenyairan yang akhirnya, ternyata diterima khalayak.

Sementara N.H. Dini mengatakan, pengarang harus toleran terhadap alternatif bersikap yang diambilnya. Tersebab itu ia senantiasa berinisiatif mempertimbangkan segala sesuatu pengertian yang tidak terlalu berjarak dengan realita yang ada demi mencapai sasaran cerpen maupun novel-novelnya: masyarakat pembaca.

Tapi menurut Arifin C. Noer, yang penting ialah orientasi sastra itu sendiri. Orientasi dimaksud menyangkut arti serta guna sastra bagi manusia yang bermartabat demi hari depannya. Tak heran, pada gilirannya sebagian besar lakonnya ia stempel sebagai remah-remah masa silamnya, digantikan karya-karya yang ia pandang lebih dan semakin perkasa.

Melalui puisi, prosa atau drama W.S. Rendra berkomitmen merefleksikan kehidupan yang dihayatinya. Semua anak bangsa punya hak serta kewajiban untuk ikut menentukan kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Justru itu, ia melawan feodalisme dan memberontaki kepincangan-kepincangan yang terjadi di sekitarnya untuk kembali ke asas yang dianut bangsa: demokrasi. 

Rada-rada senada dengan itu, Chairul Harun menuturkan bahwa cerita-ceritanya bertujuan mengontrol kasus penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi informasi, kemunafikan, penipuan terhadap diri sendiri dan persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan lainnya. Tak pelak, karya sastra ia tahbiskan sebagai cermin diri dan masyarakat, di mana pembaca juga bisa mengenal diri maupun masyarakatnya.

Dalam pada itu Kuntowijoyo mengingatkan perlunya sastra transendental. Sastra transendental adalah kesadaran balik melawan arus dehumanisasi dan subhumanisasi. Untuk itu, yang pertama-tama harus dilakukan ialah melepaskan diri dari aktualitas yang dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan yang mengakibatkan umat manusia tercerabut dari autentisitas peradaban dan atau eksistensinya.

Sementara Gerson Poyk meyakini bahwa sastra adalah sebuah alternatif bagi kesadaran ketika menghadapi dunia yang semakin penuh beban. Namun sastra harus ditinjau dari kadar atau tingkat integritas dan intensitas artistik yang diusungnya. Karenanya, sastra mesti terbuka untuk refleksi-refleksi Barat yang etis-moderat, agar aktivitas berlabel sastra tidak bersifat absolut kayak sastra LEKRA.

Laiknya seorang penyair yang tengah kasmaran menggarap puisi, Taufiq Ismail mengintroduksi kepiawaiannya memainkan kata-kata (bersayap) dan atau berargumentasi. Secara lugas ia mengisyaratkan bahwa urusan syair-menyair bagaikan berdiri di depan cermin goyang; sosok yang terpantul dari cermin ikut bergoyang serta tidak dapat diraba atau diajak ngomong.

Idiom paradoksal yang nyaris niskala nyatanya juga mencuat alias tersirat dari perumpamaan yang ditaja oleh seorang novelis seperti Putu Wijaya. Perihal karang-mengarang baginya bahkan jadi begitu menukik mendalam lagi aneh; ibarat menggorok leher sendiri dan atau siapa saja, tetapi tidak menyakiti bahkan kalau bisa tanpa diketahui oleh yang bersangkutan.

Lain pula dengan Leon Agusta, yang selalu merasa digerakkan oleh suatu panggilan buat mencipta. Tetapi ia menyadari, karyanya menjelma setelah adanya semacam rentangan benang-benang pengalaman yang saling menjalin. Kalaulah kehadiran puisi atau prosanya punya hubungan tertentu dengan sebuah konsep maka itu hanyalah merupakan faktor kebetulan belaka.

Dan persoalan yang kurang lebih sama seolah-olah dipertegas oleh Budi Darma, yang secara terang-terangan mengemukakan kekonvensionalannya. Bahan-bahan karangan, disadari atau tidak telah ada dalam benaknya sebelum dituliskan. Saat menulis bayang-bayang atau kejadian-kejadian sekian tahun yang lalu muncul begitu saja ke permukaan dan berkelojotan, mencari bentuknya.

Sedangkan Darman Moenir mengungkapkan, sungguh tak terbilang banyak momen yang bersumber pada suasana (alam) maupun lingkungan (pergaulan) yang membuat ia terangsang untuk berfantasi, dan itu harus diseleksi secara ketat. Karena menurutnya menulis karya sastra membutuhkan penalaran, inspirasi, kemauan serta imajinasi dalam mengonkretkan (ke)hidup(an) yang serba abstrak. 

Bicara tentang kepenyairannya Rusli Marzuki Saria menengarai, meski merasa dikejar-kejar waktu dan atau dihantui kompleksitas keinginan manusiawi yang berwarna-warni, ia terus belajar, berkontemplasi dan bergulat mengasah kemampuannya. Membuat puisi toh ada suka-duka atau seninya, namun yang paling utama ialah ketekunan serta kesetiaan menggeluti apa yang telah menjadi pilihan hidup.

Adapun Umar Kayam justru mensinyalir bahwa pada mulanya, menulis adalah semata-mata menyangkut kemauan yang pribadi sekali sifatnya. Masalah determinasi, dan selanjutnya, apa saja boleh ikut terjadi. Dalam bahasa lain, perihal kepengarangan seseorang tak perlu diutik-utik, sebab kreativitas maupun produktivitas dalam berkarya sama afdalnya dengan situasi kemandekannya.

Dan dalam salah satu orasinya Subagio Sastrowardoyo menganalog(i)kan proses mengarang tak ubahnya dengan pengalaman seks atau pengalaman mistik, yang harus dirasakan dan dihayati secara individual untuk benar-benar dapat meyakinkan nikmat atau hambarnya. Pengalaman sejenis (mengarang) boleh jadi dialami oleh banyak orang, tapi intensitas serta cita-rasanya niscaya akan berbeda, tergantung kualitas kepekaan dan kedewasaan masing-masing pribadi yang menjalaninya.

Tak terbantahkan, bahwa yang mendasari aktivitas dan atau profesi mengarang adalah kemandirian seorang pengarang. Individualisme murni, yang tak bakalan disertai bayangan atau pengaruh apa dan dari siapapun kecuali ingin berlaku jujur terhadap diri sendiri. Soal penyajian tema, penggarapan tokoh, pemilihan diksi, pembentukan alur berikut lain sebagainya, jelas, merupakan sisi tersendiri yang seyogianya dapat  meyakinkan pembaca.***


Nelson Alwi
Pencinta Sastra Budaya, Tinggal di Padang

Kita tahu, setiap penyair memiliki lecentia poetica dalam penulisan puisi yaitu kebebasan memilih cara dan daya ungkap puisi. Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat dan dapat menghasilkan totalitas pengungkapan. Licentia poetica oleh Shaw (1972:291) dikatakan sebagai kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki. Dengan kata lain, licentia poetica merupakan kebebasan memanipulasi kata oleh penyair demi menimbulkan efek tertentu dalam karyanya dan terkadang menabrak kaidah dasar berbahasa.

Penyimpangan pada kaidah dasar biasanya terjadi pada arti kosa kata (leksikal), bunyi-bunyi kebahasaan (fonologis), tata makna (semantis), maupun tata kalimat (sintaksis). Artinya dalam penulisan puisi penyair boleh saja menabrak kaidah bahasa selama menimbulkan estetika tersendiri. Kata diolah menjadi kalimat yang memiliki makna, walaupun tidak sesuai kaidah, dengan tujuan menyempurnakan ungkapan. Namun, membaca sajak-sajak Mahatma Muhammad dalam buku Tempurung Tengkurap yang diterbitkan penerbit Koekoesan ini menyembulkan sebuah tanya di kepala saya, apakah dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan leluasa menumpahkan kreativitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apapun?

Selama ini paradigma yang berkembang terkait licentia poetica tak lebih dari kata ‘’bebas’’ atau ‘’merdeka’’. Berbekal kata ‘’bebas’’ dan ‘’merdeka’’ tersebut tampaknya Mahatma Muhammad menulis sejumlah sajak yang kemudian terhimpun dalam buku Tempurung Tengkurap yang ditulis bersama Yori Kayama ini. Namun, ketika membaca satu demi satu sajak Mahatma Muhammad dalam buku ini, saya tak menemukan sajak yang lahir hasil eksplorasi sungguh-sungguh dan mendalam dengan menyelami makna ‘’bebas’’ dan ‘’merdeka’’ sebagaimana yang telah diberikan oleh licentia poetica dalam menulis puisi. Padahal, puisi yang ditulis hanya berbekal kata ‘’kebebasan’’ tanpa memahami makna kata ‘’kebebasan’’ tersebut hanya akan melahirkan teks sastra yang dangkal dan kering, seperti yang terlihat pada baris-baris puisi Mahatma Muhammad yang berjudul ‘’Ku Au Kau Au’’: janganlah kacau/sampai ketukan ditengah malam/kembalikan igau/ ku au/kau au/ ngigau (halaman 25). 

Dari sejumlah sajak yang ditulis Mahatma Muhammad dalam buku ini, tampaknya dengan prinsip ‘’kebebasan’’ yang telah diberikan licentia poetica, Mahatma Muhammad terlihat hanya mengutamakan keserasian rima, dan seolah mengabaikan makna dari puisi itu sendiri. Atau dengan kata lain seolah melupakan apakah puisi yang ia ciptakan adalah puisi yang ‘’utuh’’, yang merupakan satu kesatuan antara bait yang satu dengan lainnya.

Licentia poetica dalam menulis puisi harus diakui hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur pada masyarakat luas. Ditambah lagi, dengan sekian banyak defenisi dan pengertian, tidak ada kejelasan tentang batasan maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri (Hadi Napster: 2011). Dengan demikian, para pelaku sastra terutama penyair, mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu ujung tombak sekaligus penunjuk jalan dalam hal penggunaan licentia poetica. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penyair memahami makna dari licentia poetica itu sendiri.

Di samping memahami makna licenteia poetica, penyair harus pula rajin membaca. Dan agaknya betul apa yang dikatakan Taufik Ismail dalam endorsement-nya pada buku ini, agar seterusnya mantap memasuki ranah puisi, penyair harus lebih banyak membaca, diskusi, dan terus menulis dengan tiada jenuh-jenuh. Sebab, membaca, menulis (disamping juga berdiskusi), merupakan gizi bagi penulis dalam melahirkan karya. Karena dengan membaca penulis akan kaya perbendaharaan kata. Sehingga ia tidak terus menerus menuliskan kata atau kalimat yang diulang-ulang. Seperti yang terjadi pada beberapa sajak Mahatma Muhammad, di mana dijumpai pengulangan kalimat yang hampir sama pada dua puisi yang berbeda. Seperti yang terdapat dalam salah satu baris sajak ‘’Tempurung Tengkurap’’: ingin rasa rindu ingin rupa rindu segala ingin/ingin kamu ingin tahu ingin malu mengingatmu (halaman 4). Lalu bandingkan dengan potongan bait puisi yang berjudul ‘’Dilema Usang’’: rindu rasa rindu rupa rindu segala rindu/ingin kamu ingin tahu mengingatmu (halaman 14). 

Baris-baris puisi tersebut jika kita amati akan terlihat betapa keduanya teramat mirip. Di sini tampaknya penyair perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pilihan diksi dalam puisi yang ia buat. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kata yang diulang-ulang. Di samping itu, pilihan kata yang tepat dan selaras dalam mengungkapkan gagasan akan memberikan efek tertentu dan muaranya akan menghasilkan karya sastra yang segar, indah, dan enak dibaca. Seperti yang saya temukan dalam sajak-sajak Yori Kayama yang juga terangkum dalam buku sajak Tempurung Tengkurap ini.

Membaca sajak-sajak Yori Kayama dalam buku ini, saya melihat Yori Kayama sedang berusaha mencari makna akan hakikat hidup. Hal itu misalnya terlihat pada baris-baris dari puisi Yori Kayama dalam sajak yang ia beri judul ‘’Tempurung Tengkurap’’: ingat, hidup adalah sebuah pilihan menuju persandingan/dimana makam-makam akan berderet/umpama antrian sebuah loket/sebelum waktu keberangkatan tiba (halaman 45). Begitu pula pada sajak ‘’Menuju Makam’’ kita akan menenukan ’aroma’ yang sama; sebuah pencarian. Seperti pada baris berikut:dimalam mana kita akan berlabuh/sebuah lubang menjadi lebuh/kedalaman usia/haus tanah mengenang nama(halaman 67).

Di samping itu, sajak-sajak Yori Kayama seolah berusaha mengingatkan kita tentang perjalanan hidup manusia, seperti yang terpapar dalam baris-baris sajak ‘’Perjalanan’’: kita semacam gerak angin/mengayun daun sesuka dan sepanjang musim/tidakkah ada batang yang menopang/kerinduan ranting kepada jatuh/dan tanah tenggelam di jantung akar/kita seperti tengah laut/mendayung sua sesampai tiba/di perairan langkah hanya sebagai jarak/berapa lama pelabuhan akan dituju/lalu kapal merapat dan diikat/kita adalah hasil dari karatan waktu/mengulur umur dari segala hiba/airmata datang menimbun makam/menenggelamkan segala ingatan(halaman 71). 

Dan, laiknya sebuah perjalanan, ia memiliki garis awal dan mempunyai batas akhir. Beberapa sajak Yori Kayama memaksa kita untuk merenungkan akhir dari perjalanan hidup manusia. 

Bagi saya, sajak-sajak Yori Kayama ditulis lancar dengan iramanya sendiri. Meskipun demikian, tampaknya Yori Kayama masih ’terjebak’ dalam arus menulis puisi dengan membincangkan persoalan pribadi dalam (beberapa) puisinya. Misalnya membincangkan persoalan asmara dan berbuah melahirkan sajak-sajak romantis dengan persoalan pribadi yang ia hadapi. Salah satunya seperti sajak yang berjudul ‘’Puisi Cinta untuk Wulandari’’ dan beberapa sajak lainnya. ‘’Sajak Cinta’’ yang lahir karena penyair sedang jatuh cinta, patah hati, dan sebagainya, ada kesan penyair tersebut tak mampu melepaskan persoalan pribadi dengan teks puisi yang ia ciptakan. Padahal, jika penyair mampu berjarak dengan perasaannya sendiri, maka ia akan membuka ruang bagi pembaca untuk menafsirkan dan masuk dalam puisi. Begitulah.***

Padang, 8 Januari 2011


Desi Sommalia Gustina

Lahir di Sungai Guntung, Indragiri Hilir, Riau, 18 Desember 1987. Kini sedang studi di Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar