TEMU TOKOH BUDAYAWAN, SENIMAN, DAN
SASTRAWAN SUMATERA UTARA
Oleh Raudah Djambak
Balai bahasa dalam
pengertian dasarnya adalah tempat berbahasa. Berangkat dari pengertian
dasar itu saya tertarik menyinggung sedikit persoalan ini. Apalagi jika
dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam kaitannya dengan
peran Balai Bahasa. Balai Bahasa diharapkan dapat merajut silaturahmi dalam
memperkokoh rasa nasionalisme. Memartabatkan bahasa Indonesia sebagai lambang
jati diri bangsa. Meningkatkan mutu pemakaian bahasa Indonesia melalui karya
sastra. Terutama di sekolah-sekolah. Sehingga tidak ada lagi sikap menyepelekan
bahasa Indonesia. Termasuk lingkungan sekolah, para guru, dan pelajar.
Sikap menyepelekan bahasa Indonesia juga terjadi pada sebagian pelajar yang tidak mau
mendalami bahasa nasional ini karena
mereka menganggap bahasa Indonesia
merupakan bahasa sehari-hari. Tak
heran bila ada pelajar SMP atau SMA mendapat nilai 10 untuk pelajaran bahasa Inggrisnya di rapor, sementara
nilai bahasa Indonesianya 7.
.
.
Jika untuk merajut silaturahmi dalam
memperkokoh rasa nasionalisme, ten tunya yang menjadi perhatian kita adalah
yang akan terjadi hanya sekadar kum pul-kumpul, dating dan pulang. Situasi
seperti ini sungguh memprihatinkan. Prihatin dengan sikap tertentu dari
sekolah-sekolah yang cenderung
tidak mengutamakan bahasa Indonesia.
Kini banyak sekolah nasional berstandar internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Padahal
sebaiknya (atau seharusnya), yang "internasional" itu hanya
kurikulumnya, sedangkan bahasa
pengantarnya tetap bahasa Indonesia.
Ini tentu berbeda dengan sekolah internasional yang pasti menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sebagai bahasa pengantar sehari-hari
Kondisi-kondisi tersebut mengundang keprihatinan
pakar linguistik Prof. Dr. Amrin Saragih yang juga Guru Besar Universitas
Negeri Medan. Tokoh yang juga Kepala Balai Bahasa
Medan ini menganggap sebagian orang Indonesia sedang mengalami krisis bahasa yang juga berarti mengalami
krisis identitas. Mereka mengalami "demam" bahasa asing, khususnya bahasa
Inggris, yang dianggap memiliki nilai jual tinggi. Semua istilah, merek dagang,
spanduk, nama perusahaan, nama hotel, dan nama tempat pelayanan umum
menggunakan bahasa Inggris, atau
bercampur bahasa Inggris, sehingga
tidak proporsional.
Beliau juga ada mengungkapkan bahwa bahasa memiliki
kekuatan-kekuatan terutama dalam menekankan pendidikan. Kenyataan yang kita
hadapi, bahasa ternyata tidak mampu dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai penguat
terajutnya silaturahmi, apalagi dalam memperkokoh rasa nasionalisme.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu
dalam kesehariannya justru dianak tirikan. Lihat dan dengarkan dalam setiap
acara dan kegiatan apapun. Bahasa Indo nesia yang disinyalir oleh Damiri Mahmud
justru dirusak oleh orang-orang linguis tik sendiri.
Dalam setiap pembicaraan apapun itu,
jika tidak berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, dianggap tidak berkelas.
Produk yang dihasilkan, jika tidak berbau asing, maka dianggap murahan.
Hal ini terjadi pada semua aspek
kemasyarakatan dan kehidupan yang berlang sung di Indonesia. Tak terlepas pula
di lembaga-lembaga pendidikan. Guru bahasa Indonesia sendiri-pun diwajibkan
oleh sekolah penyelenggara untuk mampu berba hasa Inggris dalam proses
belajar-mengajar. Fatalnya lagi ini ada kaitannya de ngan tunjangan prestasi.
Kemampuan berbahasa Inggris ini masuk dalam kriteria penilaian. Akhirnya, guru
bahasa Indonesia tentunya tidak akan pernah mendapat kan tunjangan prestasi.
Penyebabnya adalah kesadaran nasionalisme harus berben turan dengan kebutuhan
materialisme.
Nasionalisme yang berbenturan dengan
materialisme, juga menjadi penyebab bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri
bangsa justru menjadi tidak bermartabat. Saling tuding, saling tuduh, merasa
hebat masih menjadi momok yang sampai sekarang belum mampu ditinggalkan.
Dalam konteks senada, penyair mbeling Remy Sylado
yang juga seorang munsyi (ahli bahasa,
mengecam keras bertebarannya kata-kata dan istilah asing di berbagai segi
kehidupan bangsa Indonesia, seolah-olah kita tidak punya bahasa Indonesia. Tidak memiliki martabat. Media massa cetak dan
elektronik pun dikritiknya karena sering menggunakan kata atau istilah bahasa asing secara berlebihan, padahal
kata atau istilah yang memiliki arti sama atau sepadan sudah ada dalam bahasa Indonesia., mungkin Remy Sylado sepakat martabat itu akan terangkat jika adanya
kesadaran berbahasa.
Dengan terjalinnya silaturahmi dan
meningkatnya martabat bahasa, maka mutu pemakaian bahasa Indonesia pasti dapat
diwujudkan. Dan proses pelaksanaan itu bias diwujudkan di mana
saja terutama di sekolah
Sikap respek
Sebenarnya, bahasa Indonesia punya tempat yang khusus di hati masyarakat internasional.
Banyak warga negara lain, misalnya Jepang atau Australia yang mempelajari bahasa Indonesia. Kini tercatat ada 73
negara yang mengajarkan bahasa
Indonesia, baik di tingkat SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi.
di Australia, bahasa Indonesia diajarkan dari tingkat SD sampai SMA. Beberapa perguruan tinggi di sana juga membuka program studi bahasa Indonesia. Sementara di Jepang ada tujuh belas perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Indonesia.
Dari semua paparan tersebut, kini diharapkan muncul sikap untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dan menempatkannya pada posisi terhormat. Petugas hotel misalnya, tak perlu ragu untuk menyapa tamu asing dengan salam "selamat pagi" pada kesempatan pertama, baru kemudian "good morning" (bila dirasa perlu). Buat apa kita menggunakan kata concern padahal kita punya kata peduli? Mengapa kita memakai kata input padahal kita punya kata masukan? Mengapa harus organizing committee, bukan panitia pelaksana? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Semua pihak dituntut untuk peduli terhadap perkembangan bahasaIndonesia, baik itu pelajar, pengajar, pejabat, maupun pers. Apalagi pers memiliki peran yang sangat besar karena produknya setiap hari dibaca atau dinikmati masyarakat luas. Kini saatnya kita menunjukkan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bagian dari jati diri bangsa.***
di Australia, bahasa Indonesia diajarkan dari tingkat SD sampai SMA. Beberapa perguruan tinggi di sana juga membuka program studi bahasa Indonesia. Sementara di Jepang ada tujuh belas perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Indonesia.
Dari semua paparan tersebut, kini diharapkan muncul sikap untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dan menempatkannya pada posisi terhormat. Petugas hotel misalnya, tak perlu ragu untuk menyapa tamu asing dengan salam "selamat pagi" pada kesempatan pertama, baru kemudian "good morning" (bila dirasa perlu). Buat apa kita menggunakan kata concern padahal kita punya kata peduli? Mengapa kita memakai kata input padahal kita punya kata masukan? Mengapa harus organizing committee, bukan panitia pelaksana? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Semua pihak dituntut untuk peduli terhadap perkembangan bahasaIndonesia, baik itu pelajar, pengajar, pejabat, maupun pers. Apalagi pers memiliki peran yang sangat besar karena produknya setiap hari dibaca atau dinikmati masyarakat luas. Kini saatnya kita menunjukkan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bagian dari jati diri bangsa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar