Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

TEMU TOKOH BUDAYAWAN, SENIMAN, DAN SASTRAWAN SUMATERA UTARA



TEMU TOKOH BUDAYAWAN, SENIMAN, DAN SASTRAWAN SUMATERA UTARA

Oleh Raudah Djambak
 
       Balai bahasa dalam pengertian dasarnya adalah tempat berbahasa. Berangkat dari pengertian dasar itu saya tertarik menyinggung sedikit persoalan ini. Apalagi jika dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam kaitannya dengan peran Balai Bahasa. Balai Bahasa diharapkan dapat merajut silaturahmi dalam memperkokoh rasa nasionalisme. Memartabatkan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa. Meningkatkan mutu pemakaian bahasa Indonesia melalui karya sastra. Terutama di sekolah-sekolah. Sehingga tidak ada lagi sikap menyepelekan bahasa Indonesia. Termasuk lingkungan sekolah, para guru, dan pelajar.
       Sikap menyepelekan bahasa Indonesia juga terjadi pada sebagian pelajar yang tidak mau mendalami bahasa nasional ini karena mereka menganggap bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari. Tak heran bila ada pelajar SMP atau SMA mendapat nilai 10 untuk pelajaran bahasa Inggrisnya di rapor, sementara nilai bahasa Indonesianya 7.

.
       Jika untuk merajut silaturahmi dalam memperkokoh rasa nasionalisme, ten tunya yang menjadi perhatian kita adalah yang akan terjadi hanya sekadar kum pul-kumpul, dating dan pulang. Situasi seperti ini sungguh memprihatinkan. Prihatin dengan sikap tertentu dari sekolah-sekolah yang cenderung tidak mengutamakan bahasa Indonesia. Kini banyak sekolah nasional berstandar internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Padahal sebaiknya (atau seharusnya), yang "internasional" itu hanya kurikulumnya, sedangkan bahasa pengantarnya tetap bahasa Indonesia. Ini tentu berbeda dengan sekolah internasional yang pasti menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sebagai bahasa pengantar sehari-hari      
       Kondisi-kondisi tersebut mengundang keprihatinan pakar linguistik Prof. Dr. Amrin Saragih yang juga Guru Besar Universitas Negeri Medan. Tokoh yang juga Kepala Balai Bahasa Medan ini menganggap sebagian orang Indonesia sedang mengalami krisis bahasa yang juga berarti mengalami krisis identitas. Mereka mengalami "demam" bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, yang dianggap memiliki nilai jual tinggi. Semua istilah, merek dagang, spanduk, nama perusahaan, nama hotel, dan nama tempat pelayanan umum menggunakan bahasa Inggris, atau bercampur bahasa Inggris, sehingga tidak proporsional.
       Beliau juga ada mengungkapkan bahwa bahasa memiliki kekuatan-kekuatan terutama dalam menekankan pendidikan. Kenyataan yang kita hadapi, bahasa ternyata tidak mampu dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai penguat terajutnya silaturahmi, apalagi dalam memperkokoh rasa nasionalisme.
       Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu dalam kesehariannya justru dianak tirikan. Lihat dan dengarkan dalam setiap acara dan kegiatan apapun. Bahasa Indo nesia yang disinyalir oleh Damiri Mahmud justru dirusak oleh orang-orang linguis tik sendiri.
       Dalam setiap pembicaraan apapun itu, jika tidak berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, dianggap tidak berkelas. Produk yang dihasilkan, jika tidak berbau asing, maka dianggap murahan.
       Hal ini terjadi pada semua aspek kemasyarakatan dan kehidupan yang berlang sung di Indonesia. Tak terlepas pula di lembaga-lembaga pendidikan. Guru bahasa Indonesia sendiri-pun diwajibkan oleh sekolah penyelenggara untuk mampu berba hasa Inggris dalam proses belajar-mengajar. Fatalnya lagi ini ada kaitannya de ngan tunjangan prestasi. Kemampuan berbahasa Inggris ini masuk dalam kriteria penilaian. Akhirnya, guru bahasa Indonesia tentunya tidak akan pernah mendapat kan tunjangan prestasi. Penyebabnya adalah kesadaran nasionalisme harus berben turan dengan kebutuhan materialisme.
       Nasionalisme yang berbenturan dengan materialisme, juga menjadi penyebab bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa justru menjadi tidak bermartabat. Saling tuding, saling tuduh, merasa hebat masih menjadi momok yang sampai sekarang belum mampu ditinggalkan.
       Dalam konteks senada, penyair mbeling Remy Sylado yang juga seorang munsyi (ahli bahasa, mengecam keras bertebarannya kata-kata dan istilah asing di berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia, seolah-olah kita tidak punya bahasa Indonesia. Tidak memiliki martabat. Media massa cetak dan elektronik pun dikritiknya karena sering menggunakan kata atau istilah bahasa asing secara berlebihan, padahal kata atau istilah yang memiliki arti sama atau sepadan sudah ada dalam bahasa Indonesia., mungkin Remy Sylado sepakat martabat itu akan terangkat jika adanya kesadaran berbahasa.
       Dengan terjalinnya silaturahmi dan meningkatnya martabat bahasa, maka mutu pemakaian bahasa Indonesia pasti dapat diwujudkan. Dan proses pelaksanaan itu bias diwujudkan di mana saja terutama di sekolah

Sikap respek
      Sebenarnya, bahasa Indonesia punya tempat yang khusus di hati masyarakat internasional. Banyak warga negara lain, misalnya Jepang atau Australia yang mempelajari bahasa Indonesia. Kini tercatat ada 73 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia, baik di tingkat SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi.

di Australia, bahasa Indonesia diajarkan dari tingkat SD sampai SMA. Beberapa perguruan tinggi di sana juga membuka program studi bahasa Indonesia. Sementara di Jepang ada tujuh belas perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Indonesia.

Dari semua paparan tersebut, kini diharapkan muncul sikap untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dan menempatkannya pada posisi terhormat. Petugas hotel misalnya, tak perlu ragu untuk menyapa tamu asing dengan salam "selamat pagi" pada kesempatan pertama, baru kemudian "good morning" (bila dirasa perlu).
Buat apa kita menggunakan kata concern padahal kita punya kata peduli? Mengapa kita memakai kata input padahal kita punya kata masukan? Mengapa harus organizing committee, bukan panitia pelaksana? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Semua pihak dituntut untuk peduli terhadap perkembangan bahasaIndonesia, baik itu pelajar, pengajar, pejabat, maupun pers. Apalagi pers memiliki peran yang sangat besar karena produknya setiap hari dibaca atau dinikmati masyarakat luas. Kini saatnya kita menunjukkan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bagian dari jati diri bangsa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar