Guru dan Tuntutan Kompetensi Profesi
Oleh Ari
Kristianawati Salah satu program kerja Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo yang akan diwujudkan awal bulan Desember ini adalah pencanangan dan pemantapan guru sebagai profesi. Melalui moto ”Guru sebagai Profesi” Depdiknas berencana untuk meningkatkan kualitas guru dan sekaligus mengembangkan profesi guru sejajar dengan profesi lain yang dianggap ”terhormat” di tengah masyarakat.
Selama ini dalam anggapan masyarakat - khususnya masyarakat perkotaan, atau daerah yang wilayahnya telah mengalami kemajuan ekonomi - pekerjaan guru dianggap tidak menjanjikan masa depan. Bagi alumni perguruan tinggi, profesi guru hanyalah pekerjaan ”sambilan”, daripada sama sekali menganggur. Di daerah pedesaan yang tingkat kecerdasan rata-rata masyarakat masih ”rendah” guru dihormati, namun penghargaan tersebut terasa semu. Karena masyarakat akan jauh menghormati elite desa yang lebih kaya secara materi dan berkuasa dalam pemerintahan di desa.
Gagasan mendiknas Bambang Sudibyo untuk memantapkan ”guru sebagai profesi” merupakan gagasan yang konstruktif bagi peningkatan profesionalisme guru Indonesia yang selama ini sangat memprihatinkan. Para guru di Indonesia - yang merupakan komponen inti pembelajaran di sekolah - dalam dua dekade terakhir semakin dihanyuti kultur pragmatisme.
Kultur kemalasan untuk terus belajar mengembangkan ilmu dan wawasan sosial, kultur aji mumpung dengan terlibat praktik ”korupsi” kecil-kecilan di sekolah (memberi les privat dengan kompensasi ”uang” dan nilai, aktif sebagai makelar buku-buku pelajaran, hingga bisnis seragam siswa), serta kultur ”birokratis” yang begitu patuh kepada atasan dan birokrat pendidikan agar cepat naik pangkat. Serta banyak perilaku subjektif lain yang tidak mencerminkan karakter ”ideal” sebagai sosok pendidik dan pengajar yang seharusnya berintegritas tinggi.
Gagap Beradaptasi
Kualitas guru-guru di Indonesia - khususnya yang berstatus PNS dan guru sekolah swasta yang ”hidup segan mati tak mau” - juga saat ini berada dalam titik ”rendah”. Para guru tidak hanya gagap dalam beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan fenomena sosial kemasyarakatan, mereka juga terjebak dalam kebiasaan menjadi ”robot” kurikulum pendidikan. Prakarsa dan inisiatif para guru untuk belajar menggali metode, bahan ajar dan pola relasi belajar-mengajar yang baru sangat minimalis.
Tidak mengherankan ketika Depdiknas merekonsepsikan dan mengimplementasikan kerangka kurikulum pembaruan, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), banyak guru yang sangat sulit memahami. Banyak yang menggerutu dan beranggapan KBK hanya sebagai wujud kurikulum yang ”ngayawara” (tidak realistik).
Rendahnya mutu atau kapabilitas guru di Indonesia, selama ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor struktural. Para guru selama tiga dekade Orde Baru dijadikan ”bemper” politik bagi kekuatan Partai Golkar. Guru dijadikan agen politik pembangunanisme dan juga agen pemenangan program politik Golkar. Melalui organisasi Korpri dan PGRI, mereka dijadikan proyek korporatisme negara.
Akibatnya para guru tidak memiliki jiwa pembaruan dan inisiatif dalam menggali khazanah ilmu pengetahuan serta keberanian mengembangkan inovasi pembelajaran yang terlepas dari politik pendidikan.
Kedua, kuatnya politik pendidikan, yang mengontrol arah dan sistem pendidikan selama tiga dekade membuat para guru seperti ”robot” yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Ketiga, rendahnya tingkat kesejahteraan guru Indonesia membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar karena selalu mengurusi persoalan ekonomi keluarga. Keempat, kuatnya kultur feodalistik dalam dunia pendidikan, sehingga tidak terjadi proses ”social clustering” dan regenerasi ekslusif komunitas guru muda.
Pola regenerasi bukan atas dasar kemampuan akademik dan kemampuan mengajar guru, namun level kepangkatan. Pemerintah selama ini tidak memiliki kerangka acuan untuk meningkatkan kualitas sosial dan intelektual para guru. Berbagai upaya internal di birokrasi pendidikan yang konon untuk meningkatkan kapabilitas profesi guru, justru lebih banyak pada kegiatan pembinaan dan pendisiplinan guru dalam optik pemahaman kekuasaan. Para guru dibina dan didisiplinkan pengetahuan, dan sikapnya selaras dengan kehendak penguasa, agar tidak mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan doktrin negara.
20 Persen APBN
Mem-”profesi”-kan guru sebenarnya memiliki konsekuensi sosial, yakni: pertama, guru harus mematuhi kode etik dan melaksanakan mandat publik secara bijaksana dan bertanggung gugat. Tentang pengaturan kode etik guru saat ini tengah menjadi wacana di masyarakat dan RUU Guru yang memuat pasal-pasal kode etik guru tengah diperdebatkan oleh berbagai kalangan pegiat dunia pendidikan.
Kedua, para guru dituntut untuk memiliki keahlian profesi yang terukur dan teruji sesuai fungsi dan perannya. Keahlian profesi guru dalam hal penguasaan materi pengetahuan,
penguasaan kemampuan ajar dan pengembangan bahan ajar, berinteraksi dengan anak didik-guru-masyarakat sesuai kapasitas yang dimiliki. Ketiga, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi profesi. Yakni dalam hal skill atau kemampuan sebagai pengajar dan pendidik yang cakap membimbing siswa dalam menyerap dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam dinamika kehidupan nyata.
Untuk mewujudkan guru sebagai profesi, pemerintah - khususnya pembuat kebijakan dan otoritas pendidikan – memiliki tanggung jawab yang berat, yakni berkewajiban memfasilitasi proses dan aktivitas pengembangan keahlian profesi guru melalui kegiatan pelatihan (workhsop), penyebaran informasi, penyuluhan dan pembimbingan akademik dan karier. Andaikata kelak UU Sisdiknas menyatakan 20% pengeluaran APBN diperuntukkan bagi bidang pendidikan, maka pengalokasiannya lebih untuk kegiatan pengembangan keahlian profesi guru ketimbang untuk peningkatan tunjangan gaji.
Bagi kalangan guru sendiri mereka memiliki beban untuk menghilangkan kultur feodalistik, pragmatisme dalam relasi dan proses pembelajaran. Para guru harus pula memiliki semangat untuk berubah dan mengubah kondisi dunia pendidikan nasional yang memprihatinkan dalam segala hal. Jika tidak, maka idiom ”guru sebagai profesi” hanya akan terus di awang-awang.
Penulis adalah pegiat Perhimpunan Citra Kasih
dan alumni program Akta Mengajar IV di Solo. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0412/02/opi01.html
udah bukan

Mohamad Surya
(2002), Ketua PGRI mengakui imbalan jasa yang diterima oleh guru baik yang
bersifat materi maupun nonmateri masih jauh dari tuntutan rasa kepuasaan guru.
Meskipun sesungguhnya martabat dan harga diri guru tidak diukur dari aspek
materi dan simbol-simbol lahiriah. Sedangkan Andreas Harefa menilai bahwa
pemberian kesejahteraan yang tidak manuasiwi bagi guru merupakan tindakan
penghinaan yang pada akhirnya akan mengkerdilkan jiwa kalangan pendidik.
Beberapa ekses negatif dapat ditimbulkan dari keterabaian nasib guru. Pertama,
dapat berpengaruh terhadap mental dan kinerja guru. Rendahnya
kesejahteraan dapat menimbulkan mental asal kerja. Kegiatan mengajar hanya
menjadi rutinitas belaka. Perhatian guru akan tersita pada upaya menutupi
permasalahan ekonomi di luar profesi guru. Akibatnya, guru tidak dapat
melaksanakan tugas profesionalnya dengan maksimal.
Kedua, dapat menimbulkan image negatif bagi profesi
guru. Jika guru tidak memiliki jaminan kesejahteraan, maka profesi guru bisa
jadi akan ditinggalkan. Keenggenan untuk menekuni profesi guru sudah mulai
tampak saat ini. Animo masyarakat (baca: generasi muda) untuk menekuni jenjang
pendidikan keguruan terlihat sangat kurang. Sebaliknya, peminat jalur
pendidikan non-keguruan justru membludak. Salah satu alasan lulusan sekolah
menengah tidak memilih jalur pendidikan keguruan ádalah kurangnya jaminan masa
depan. Hasil penelitian Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa salah
penyebab rendahnya penguasaan guru terhadap mata pelajaran yang diajarkannya
disebabkan mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan guru hanya karena takut
tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya (Soedijarto, 2002).
Padahal, James B. Conant merekomendasikan agar mereka yang menjadi guru harus
termasuk dalam 20% teratas lulusan sekolah menengah.Kita tidak ingin profesi
guru dijadikan sebagai pilihan terakhir. Ia dipilih manakala tidak ada lagi
profesi atau pilihan lain yang bisa didapatkan. Kita juga tidak ingin
orang-orang yang menempuh pendidikan keguruan adalah hanya orang yang tidak
lulus dari pilihan utamanya. Profesi guru membutuhkan orang-orang terbaik
secara intelektual dan
moral.
Sosok guru yang ideal dalam pandangan Mohamad Surya (2002) adalah memiliki
semangat juang yang tinggi, mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dengan
tuntutan dan perkembangan iptek, mampu belajar dan bekerja sama dengan profesi
lain, memiliki etos kerja yang kuat, memiliki kejelasan dan kepastian
pengembangan karier, berjiwa profesional tinggi, sejahtera lahir dan batin,
berwawasan masa depan, dan mampu melaksanakan perannya secara
terpadu.
Perbaikan nasib guru bukan merupakan tanggung jawab kaum guru semata. Peranan
masyarakat dan pemerintah sangat besar untuk membangun citra profesi guru yang
dibanggakan. Menurut penulis, tiga hal berikut merupakan faktor yang dapat
menentukan martabat profesi guru.Pertama, kerja keras guru untuk
memberikan nilai yang pantas bagi profesi guru. Profesionalisme dan tanggung
jawab yang tinggi yang dilakukan oleh guru akan mengundang simpati masyarakat
untuk memberikan apresiasi dan nilai terhadap profesi guru. Citra profesi yang
baik diharapkan kelak membawa implikasi bagi kesejahteraan guru.Kedua,
komitmen pemerintah. Peningkatan kesejahteraan guru sangat tergantung dari
komitmen pemerintah sebagai pihak yang menggaji guru. Kita menyadari bahwa
kondisi negara kita saat ini tidak memungkinkan untuk memberikan gaji tinggi
bagi semua pegawai. Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa ada banyak
proyek yang sebetulnya tidak menyentuh kebutuhan masyarakat, ada banyak
pengeluaran negara yang tidak efisien yang hanya menghambur-hamburkan uang
negara, dan ada banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kalau
eksekutif dan legislatif di daerah dan di pusat memperoleh gaji besar, mengapa
guru yang tinggal di daerah terpencil tidak bisa memenuhi kebutuhannya dari
gaji yang diperoleh? Bukankah antara mereka sama-sama melakukan
pengabdian untuk bangsa. Guru tidak menuntut mobil dinas mewah seperti para
elit pemerintahan tetapi hanya berharap biaya transportasi ke sekolah bisa
terpenuhi.
Ketiga, memperkuat posisi tawar organisasi profesi guru. Organisasi
profesi guru harus memosisikan diri sebagai wadah perjuangan guru. Tanggap
dalam menjemput aspirasi dan memperjuangkan kepentingan guru. Memiliki posisi
tawar yang kuat serta ‘didengar’ oleh pihak pengambil kebijakan. Bukan
sebaliknya memanfaatkan dan memperdaya guru untuk kepentingan tertentu.Esensi
organisasi profesi adalah kemampuan organisasi itu untuk memperjuang-kan
kepentingan anggotanya. Zamroni (2001) mengatakan bahwa perlu dikembangkan
kesadaran akan hak-hak guru sehingga mereka dapat bereaksi manakala hak mereka
terancam. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah membentuk sebuah
organisasi profesi yang mandiri. Payung hukum tentang hal ini pun sudah sangat
jelas dalam pasal 41 Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Kita berharap
kelak profesi guru akan menjadi profesi terhormat. Dari segi kesejahteraan
mampu memberikan rasa aman terhadap kebutuhan secara moril dan materil. Semoga!
http://sultanhabnoer.wordpress.com/2007/06/28/masalah-kesejahteraan-dan-pencitraan-profes Mohamad Surya (2002), Ketua PGRI mengakui imbalan jasa yang diterima oleh guru baik yang bersifat materi maupun nonmateri masih jauh dari tuntutan rasa kepuasaan guru. Meskipun sesungguhnya martabat dan harga diri guru tidak diukur dari aspek materi dan simbol-simbol lahiriah. Sedangkan Andreas Harefa menilai bahwa pemberian kesejahteraan yang tidak manuasiwi bagi guru merupakan tindakan penghinaan yang pada akhirnya akan mengkerdilkan jiwa kalangan pendidik.
waktu saya masih jadi penduduk Bogor, saya pilih pak Prof Suryo jadi anggota DPD di pemilu 2004…tp sa ndak tau sampe sekarang apa pengaruhnya beliau duduk di parlement…
guru selayaknya mendapat kedudukan sosial yang lebih tinggi dari sekarang, sama halnya dgn dokter dan pengacara….namun sayang, sistem politik kita masih belum bisa menghargai….

Ya … itulah
Indonesia pak. Selama guru tidak mendapat tempat yang layak di masyarakat,
pemdidikan kita tidak akan pernah maju. Semoga di masa depan keadaan bisa
berubah. Terimakasih dan salam eksperimen.

Saya berharap
semoga pengajar-pengajar di indonesia tetap semangat membagi dan mengembangkan
ilmunya walaupun dengan kondisi yang sangat mengkhwatirkan sekarang ini.
Peran anda sangat berjasa besar buat negara.
Profesi guru :Antara harapan dan realitas
anusia modern dihadapkan pada pekerjaan yang dilatarbelakangi oleh pendidikan apa yang dia capai. Lulusan fakultas teknik akan menjalani profesi sebagai Insinyur, Lulusan fakultas Kedokteran akan menjalani profesi sebagai dokter, Fakultas Ekonomi akan menjalani profesi sebagai Akuntan, Ekonom, atau seorang Lulusan Pendidikan Keguruan, akhirnya menjadi seorang guru yang dalam undang-undang No. 14/2005 tentang guru dan dosen sebagai Profesi Guru.
Profesi memiliki konsekuensi, bukan saja kompetensi akademik, sosial, atau kompetensi - kompetensi lainnya. Melainkan juga melekat apa yang disebut sebagai kaum profesional. Guru adalah sebutan akhir yang kita kategorikan sebagai golongan kaum profesional. Nasib profesional guru tidaklah secepat cemerlang profesi yang telah ada dulu. Mengapa demikian ?
Secara historis, keberadaan kaum pendidik di Indonesia memang telah ada sejak zaman "baheula" atawa zaman penjajahan Belanda. Belanda menyekolahkan kaum priyai, untuk menghindari penggunaan guru-guru asal Belanda dalam mendidik para siswa di tanah jajahannya. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang dikeluarkan jika Kaum Londo harus "mengimpor" langsung dari Belanda. Anggaran untuk bayar gaji, penginapan, transportasi dll akan menguras kas Belanda. Kondisi demikian lantas "diakali" dengan memilih pribadi dan warga terbaik untuk menjadi guru….
Jika guru lokal (Pribumi), tidak perlu dana yang besar untuk mengalokasikan untuk mencetak SDM yang akan bekerja untuk kaum kolonialis….tak terkecuali mereka dibayar "murah" sebagai kompensasi gaji yang diterimanya. Kondisi seperti itu ternyata di adopsi saat Indonesia merdeka (1945) hingga pra Reformasi (1998). Guru dimarginalkan, dilecehkan, dianaktirikan, dieksploitasi tatkala Pemilihan Umum dan dininabobokan dengan sebutan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa"
Jika sekarang, guru mulai diperhatikan…bukan berarti masalahnya berhenti. Justru akan menimbulkan efek yang luarbiasa. Misalkan : Tidak tuntasnya tunjangan guru, tunjangan profesional, dll yang memang diakomodir oleh UU No. 14/2005.
Jika pada kesempatan lain, Fasli Jalal Direktur Pendidikan Peningkatan Mutu Depdiknas mengatakan Guru akan mendapat tunjangan profesional yang lulus kompetensi sebesar 1 bulan gaji. Lantas bagaimana proses pencapaian ketuntasan pemberian tunjangan jika jumlah guru se-Indonesia 2,4 juta ? Sampai tahun berapa ? Jangan-jangan sebutan profesi guru sebagai jabatan profesional diemban, eh,,,pensiun belum menikmati tunjangan profesionalnya. Atau guru yang belum lama menjadi PNS tiba-tiba mendapat tunjangan…
Profesi guru yang kini mulai diperhatikan oleh pemerintah mengalami ujian…mampukah sekolah, pemerintah, dan instansi terkait meghilangkan misinterpretasi ? Atau kalau mau gampang naikkan anggaran pendidikan 20% berikan semua guru selama beberapa waktu, dgn konsekuensi-konsekuensinya. Jika gagal, ya…ditarik lagi tuh tunjangannya….
Bravo Pendidikan nasional
ttp://sudiono65.blogsome.com/2007/04/10/profesi-guru-antara-harapan-dan-realitas/
MEMPERTANYAKAN APRESIASI MASYARAKAT TERHADAP PROFESI GURU
Oleh: Sawali
Ibarat serdadu, guru di medan pendidikan mengemban misi memerdekakan generasi bangsa dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berada di garda depan dalam “menciptakan” generasi-generasi muda yang cerdas, terampil, tangguh, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, berwawasan luas, memiliki basis spiritual yang kuat, dan beretos kerja andal, sehingga kelak mampu menghadapi kerasnya tantangan peradaban.
Mengemban misi tersebut jelas bukan tugas yang ringan.
Selain harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup, guru juga dituntut untuk memiliki integritas kepribadian yang tinggi dan keterampilan mengajar yang dapat diandalkan, sehingga mampu menciptakan iklim belajar mengajar yang kondusif, sehat, dan menyenangkan. Hanya dengan bekal ideal tersebut, guru akan tampil sebagai figur yang benar-benar mumpuni, disegani, dan digugu lan ditiru (dipercaya dan teladani).
Sementara itu, jika kita melihat fakta di lapangan, banyak kalangan mulai meragukan kapabilitas dan kredibiltas guru. Perannya sebagai pengajar dan pendidik mulai dipertanyakan. Misinya sebagai pencetak generasi pinunjul –terampil dan bermoral—belum sepenuhnya terwujud. Para pelajar kita justru kian menjauh dari kondisi ideal seperti yang diharapkan. Yang lebih memperihatinkan, para pelajar itu dinilai mulai kehilangan kepekaan moral, terbius ke dalam atmosfer zaman yang serba gemerlap, tersihir oleh perikehidupan yang memburu selera dan kemanjaan nafsu, terjebak ke dalam sikap hidup instan. Tawur antarpelajar merajalela, pesta “pil setan” menyeruak, pergaulan bebas semakin mencuat ke permukaan.
Zaman memang sudah berubah. Modernisasi yang melanda berbagaibelahan dunia, termasuk Indonesia, dinilai memiliki imbas yang cukup kuat dalam memengaruhi sikap dan pola hidup masyarakat. Pergeseran nilai mentergap di segenap lapis dan sektor kehidupan. Nilai kesalehan, baik pribadi maupun sosial, mulai dikebiri dan dimarginalkan. Nilai-nilai lama yang semula dipegang kukuh mulai memudar.
Orang mulai semakin tidak intens dalam memburu jatidiri yang lebih bermartabat. Perburuan gengsi yang berkembang dalam kelatahan membuat orang mengejar keberhasil secara instan, entah melakukan korupsi atau usaha magis melalui cara mistis dalam memperoleh kekayaan. Pada hakikatnya mereka gemar menempuh terobosan dan “jalan kelinci” dengan sukses gaya “Abu Nawas”. Kursi empuk kepejabatan, titel, dan kedudukan keilmuan pun tak jarang disergap melalui kelancungan dalam ilmu permalingan” (Slamet Sutrisno, 1997).
Dalam kondisi masyarakat yang demikian itu, petuah dan nasihat luhur tentang budi pekerti hanya menjadi slogan moral yang kehilangan basis spiritualnya. Masyarakat menjadi semakin masa bodoh dan cuek terhadap masalah-masalah moral. Masyarakat yang diharapkan menjadi kekuatan kontol terhadap segala macam bentuk perilaku kejahatan justru makin menunjukkan sikap permisif, membiarkan setumpuk dosa berkeliaran di sekitarnya.
Pergeseran nilai yang melanda masyarakat modern, agaknya juga membawa dampak terjadinya pergeseran penilaian masyarakat terhadap dunia pendidikan. Urusan pendidikan anak-anak hanya diebankan kepada lembaga pendidikan (sekolah), sehingga kalau ada pelajar yang terlibat dalam perilaku amoral, misalnya, masyarakat dengan enteng menuding guru sebagai biangnya, lantaran dianggap telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pendidik.
Seiring dengan itu, posisi sosial guru dalam strata masyarakat pun tampaknya juga mulai bergeser. Guru tidak lagi memiliki legitimasi sosial yang terhormat dan bermartabat. Guru tidak lagi dijadikan sebagai sumber informasi, bahkan dalam banyak hal guru tidak lagi dijadikan sebagai patron teladan. Peran guru di masyarakat sebagai sumber informasi telah digantikan oleh “anak buah” teknologi yang lebih canggih lewat media televisi dan internet. Makna luhur yang tersirat di balik hymn guru “Pahlawan tanpa Tanda Jasa” pun nadanya telah berubah menjadi sebuah elegi getir yang sarat parodi dan sindiran.
Sosok guru yang bermartabat dan terhormat pernah muncul ketika insitusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan dan padepokan yang begitu bersahaja. Konon, guru atau resi pada masa itu benar-benar menjadi digur anutan, berwibawa, dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi merupakan “sabda” tak terbantahkan.
Institusi pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka”, empat seorang resi menggembleng para siswa (cantrik) agar kelak menjadi sosok yang arif, tangguh, kaya ilmu, memiliki kepekaan moral dan sosial yang tinggi. Di mata masyarakat. Kehadiran sang resi pun begitu tinggi citranya, bermartabat, terhormat, dan memiliki legitimasi sosial yang mengagumkan. Masyarakat benar-benar respek terhadapnya. Apresiasi masyarakat nterhadap “profesi” resi atau guru sangat kental sehingga tidak jarang sang resi menjadi sumber “sugesti” atau sumber inspirasi masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yng muncul.
Apakah guru masa kini masih mampu menginternalisasi sifat-sifat seorang resi dalam mengemban misinya sebagai pengajar dan pendidik? Masihkah masyarakat memiliki apresiasi yang cukup baik dan memadai terhadap profesi guru? Mampukah lembaga pendidikan (sekolah) dengan fasilitasnya yang lebih komplit dan modern mencetak manusia-manusia “unggul”?
Agaknya mengharapkan sosok guru yang pinunjul, mumpuni, dan disegani seperti yang tergambar dalam figur seorang resi terlalu berlebihan pada saat ini. Di hadapan siswanya, kata-kata guru bukan lagi “sabda” yang mesti diturut. Bahkan, dalam banyak hal, guru harus lebih sering mengelus dada, merenungi nasibnya yang kurang beruntung. Dengan tingkat kesejahteraan yang minim, status sosial guru semakin tersisih di tengah-tengah masyarakat yang mendewakan hal0hal yang bersifat duniawi dan kebendaan.
Guru pada masa kini, tampaknya telah ditindih banyak beban. Pertama, tugas berat yang diembannya tidak diimbangi dnegan tingkat kesejahteraan yang memadai. Gaji guru yang kecil pun masih diperas dengan potongan macam-macam dengan dalih untuk keperluan dana sosial, asuransi, urusan korps, atau pungutan lainnya. Anehnya, guru pun tak bisa berkutik. Sikap penuh nilai pengabdian, loyalitas, dan tanpa pamrih agaknya telah membuat guru tak mau bersinggungan dnegan konflik. Mereka lebih suka memilih diam daripada menyuarakan kenyataan pahit yang dirasakannya.
Kedua, guru sering dijadikan “kendaraan” untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Guru tidak punya banyak pilihan. Kebebasan dan kemerdekaan untuk mengekuarkan pendapat telah dibatasi oleh simbol-simbol tertentu. Guru harus menjadi sosok yang nrima, pasrah, dan tidak banyak menuntut.
Ketiga, harapan masyarat yang terlalu “perfeksionis” dan berlebihan. Dalam kondisin yang tidak menentu, masyarakat tetap menuntut agar guru tetap memiliki idealisme sebagai figur pengajar dan pendidik yang berish dari cacat hukum dan moral. Gerak-gerik guru selalu menjadi sorotan. Melakukan penyimpangan moral sedikit saja, masyarakat beramai-ramai menghujatnya. Ironisnya, harapan yang berlebihan itu tidak dibarengi dengan apresiasi masyarakat yang proporsional. Profesi guru di mata masyarakat masa kini telah kehilangan pamor, tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang luhur dan mulia.
Dan keempat, para siswa atau pelajar masa kini semakin masa bodoh terhadap persoalan-persoalan moral, terjebak ke dalam sikap instan. Akibatnya, guru merasa kehilangan cara yang terbaik dan punya nilai edukatif dalam menangani perilaku pelajar.
Dalam ulangan pun pelajar masa kini tak mau repot-repot mempersiapkan diri dengan baik. Cukup membuat contekan atau nebeng pada temannya yang berotak cemerlang. Dalam kodisi demikian, mana mungkin sekolah mampu menghasilkan lulusan yang bermutu dan andal?
Beratnya beban yang mesti dipikul guru masa kini jelas memerlukan perhatian serius dari berbagai kalangan untuk memosisikan guru pada aras yang lebih proporsional dan manusawi. Reaktualisasi peran dan gerakan penyadaran dari semua pihak sangat diharapkan untuk memulihkan citra guru.
Guru harus lebih meningkatkan profesionalismenya sehingga tidak “gagap” ketika mengemban misinya sebagai penyemai intelektual, pemupuk nilai kemanusiaan, dan penyubur nilai moral kepada peserta didik. Tentu saja, misi luhur guru ini harus diimbangi dengan intensifnya pendidikan keluarga di rumah. Orang tua harus mampu mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis penanaman dan pengakaran nilai moral, budaya, dan agama kepada anak, sehingga mereka mampu mengontrol perilakunya sesuai ajaran-ajaran luhur. Sedangkan, pemerintah perlu segera meralisasikan janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang sudah jelas landasan hukumnya, yaitu UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Harus ada upaya dan terobosan baru agar kesejahteraan guru benar-benar membaik. Dengan tingkat kesejahteraan yang layak, guru akan lebih terfokus pada tugasnya sehingga tidak berpikir lagi untuk mencari pekerjaan sambilan sebagai tukang ojek, penjual rokok ketengan, kernet, atau makelar yang bisa menurunkan wibawa dan citrra guru di mata masyarakat dan peserta didiknya.
Tidak kalah pentingnya ialah apresiasi masyarakat yang cukup manusiawi tentang profesi guru. Guru bukanlah “dewa” atau “nabi” yang luput dari cacat dan cela. Kalau ada guru yang terlibat dalam kasus amoral, misalnya, hal itu memang kurang bisa ditolerir. Namun, juga terlalu naif jika buru-buru menghujatnya tanpa menyikapinya secara arif.
Sebagai serdadu pendidikan, kita semua jelas tidak menginginkan guru tampil loyo dan tidak berdaya memanggul beban di pundaknya. Memeikirkan dan memberikan apresiasi yang cukup proporsional tentangnya identik dnegan memikirkan nasib masa depan negeri ini. Sebab, generasi yang cerdas, terampil, dan bermoral tinggi yang kelak akan memimpin negeri ini, tidak luput dari sentuhan tangan sang guru. ***
http://jalan-mendaki.blogspot.com/2007/07/apresiasi-profesi-guru.html
Untuk apa menjadi guru????
April 11, 2008 by yulirahmawati
Saya
melangkah perlahan memasuki kelas di sebuah sekolah STM di Jakarta. Ini adalah
hari pertama saya mengajar kimia di sekolah tersebut. Perasaan yang campur
aduk, senang, takut, dan khawatir, sebagai guru baru. Saat tiba di ruangan
kelas, saya sangat kaget, karena kondisi kelas yang sangat tidak teratur,
kertas berserakan dimana-mana. Siswa-siswa tersebut saling melempar bola kertas
dan tidak memperdulikan kehadiran saya. Mereka semua laki-laki dengan postur
yang sama atau bahkan lebih besar dari saya. Saya bingung, apa yang harus saya
lakukan, dengan nada agak keras, saya kembali mengucapkan salam, tapi mereka
tetap sibuk dengan aktivitasnya. Saya mengambil penggaris kayu dan mengetuknya
ke papan tulis untuk menarik perhatian mereka. Akhirnya mereka melihat ke arah
saya. Setelah memperkenalkan diri, mereka terlihat tidak antusias, bahkan
tiba-tiba sesuatu dilempar ke arah saya. Saya sangat kaget, sebuah cicak,
sekalipun saya tidak takut cicak, tapi hari itu saya menjadi sangat takut. Saya
berusaha tenang, sekalipun badan saya agak gemetar. Saya berusaha menguasai
diri dan memulai pelajaran, namun siswa-siswa tersebut sangat sulit
dikendalikan, ada yang membelakangi saya, asyik mengobrol, bahkan tertawa.
Peringatan, suara keras saya tidak lagi berfungsi. Saya mengajar tanpa
memperhatikan siswa-siswa tersebut karena saya bingung apa yang harus saya
lakukan. Akhirnya bel berbunyi, dengan perasaan marah dan kesal, saya keluar
kelas. Ingin rasanya saya berhenti menjadi guru saat itu.
Cerita di atas adalah pengalaman saya pertama
kali mengajar di sebuah sekolah STM yang mayoritas siswanya adalah laki-laki.
Seorang guru yang baru saja lulus sebuah universitas dan hanya memperoleh
pengalaman PPL di sekolah yang mayoritas memiliki siswa dengan perilaku yang
baik, pengalaman ini tentu sangat membuat saya “shock” saat itu. Sekalipun saya
lulusan sebuah universitas pendidikan di Jakarta
dan orang tua saya adalah guru sekolah dasar, namun saya sama sekali tidak
berminat menjadi guru. Saat itu yang saya pikirkan adalah memperoleh pekerjaan.
Bahkan ketika diterima di universitas tersebut pada tahun 1999, saya hanya
berpikir ” paling tidak saya bisa kuliah di universitas negeri”. Ironis memang,
tapi itulah saya saat itu. Bahkan saya pernah diskusi dengan mahasiswa yang
mengambil jurusan pendidikan, mereka juga tidak ingin menjadi guru. Dengan
alasan tidak diterima di universitas pilihan, mereka menjalani hari-hari di
bangku kuliah untuk dididik menjadi guru. Sudah berkembang di masyarakat,
profesi guru terkesan bukan menjadi pilihan, gaji yang kecil dan tidak
menjadikan kehidupan yang “dianggap layak”. Profesi yang dianggap ekslusif
adalah profesi dengan gaji yang besar. Orang tua akan bangga jika anaknya menjadi dokter
dan arsitek, bukan menjadi guru.Saya pernah melakukan studi penelitian tahun lalu mengenai motivasi menjadi guru, koresponden saya adalah mahasiswa master and doctoral degree di CUT, Perth, Australia yang berasal dari empat negara: Amerika, Afrika, Australia, and Philipina. Bahkan sekalipun mereka adalah guru dan dosen yang sedang kuliah jurusan pendidikan. Sebagian besar dari mereka memiliki motivasi menjadi guru setelah beberapa tahun mengajar sebagai guru (lihat di research and journals: motivation to be a teacher). Sebuah persepsi umum yang sama, bahwa gaji guru yang kecil dan sangat mudah menjadi guru daripada tidak bekerja. Ironisnya ujung tombak pendidikan ada di tangan guru.
Di samping masalah motivasi generasi muda menjadi guru, banyak pertanyaan dalam benak saya, terkait kualitas guru. Apakah tuntuan kompetensi guru dalam proses sertifikasi guru menjadi sebuah standar bahwa guru itu adalah guru yang berkualitas? Menjadi guru yang menguasai teori pendidikan, subjek yang diajar, serta hubungan sosial. Apakah guru-guru yang lulus proses sertifikasilah yang layak mendidik generasi bangsa?Generasi apa yang akan dibentuk?Motivasi apa yang mendorong guru-guru mengikuti sertifikasi? tuntutan profesikah, rewardkah atau peningkatan kualitas pribadi sebagai seorang guru?Jika saya menghadiri sebuah seminar, permasalahan kualitas guru, selalu dikaitkan dengan gaji yang kecil. Apakah uang adalah akar masalah dari kualitas guru?Apakah peningkatan gaji akan meningkatkan kualitas guru? Apakah universitas pendidikan tidak cukup layak mendidik calon-calon guru?Terlalu banyak pertanyaan yang senantiasa berkembang di pikiran saya.
Saya bosan mendengar gaji kecil selalu jadi alasan. Saya lelah mendengar overloaded kurikulum menjadi sanggahan untuk menciptakan belajar bermakna. Saya frustasi mendengar anak-anak yang terlihat stress dengan mata pelajaran di sekolah. Saya kembali terngaga ketika tingkat kelulusan siswa begitu rendah. Saya kembali tertunduk ketika guru kembali disalahkan. Untuk apa menjadi guru, jika hanya ingin memiliki pekerjaan dan menghasilkan uang? untuk apa menjadi guru jika membuat anak-anak menjadi frustasi? untuk apa menjadi guru jika anak-anak semakin tidak mengerti siapa dirinya dan bagaimana masa depannya? Untuk apa menjadi guru jika hanya menyelesaikan materi dalam waktu tertentu?untuk apa menjadi guru, jika siswa kita bertanya ” untuk apa kita belajar reaksi kimia, ibu?” dan guru juga tidak memiliki jawaban pasti, bergunakah ilmu itu untuk masa depan mereka?. Saya tutup posting saya dengan pertanyaan tanpa jawaban. Sebuah refleksi diri bagi saya sebagai seorang pendidik, seorang guru, seorang dosen yang bertanggung jawab membentuk mahasiswa saya menjadi guru.
Tak Perlu Ragu Menjadi Guru
Minggu, 30-03-2008 07:37:16 oleh: Oktovianus PogauEngkau laksana embun penyejuk, dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa…
Kita tentu masih ingat lirik lagu diatas. Ya, tidak salah, itulah secuil bait lagu Himne Guru. Lirik lagu itu menunjukan bertapa pentingnya keberadaan guru bagi kehidupan seluruh manusia yang ada di muka bumi. Kita pasti mengakui jasa seorang guru bagi diri kita, walau mengakuinya hanya dalam hati kecil.
Lantas, adakah diantara kita yang bercita-cita menjadi guru, sang pahlawan bagi kehidupan manusia itu? kalau ada tak perlu ragu, teruslah maju..!
Dulu profesi guru sangat bergengsi, tapi sekarang rupanya profesi guru kurang diminati lantaran hanya karena kurang dihargai dibandingkan dengan guru yang lainnya yang penuh gemerlap dengan atribut kesuskesan hidup. Padahal kalau kita kaji dan amati kembali pada zaman pejajahan belanda guru sangat dipandang sebagai sesosok pribadi yang dapat memimpin, mengayomi dan melindungi yang disegani serta mempunyai status sosial ekonomi yang relatif tinggi.
Pada masa penjajahan Jepang, profesi guru juga masih terhormat dibandingkan sekarang. Pada zaman itu para guru dijuluki dengan panggilan sensei yang dalam tingkah laku dan kebudayaan Jepang memiliki kedudukan atau status sosial yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati.
Dalam masa awal perjuangan kemerdekaan Indonesia, para guru juga dihargai karena mereka bukan saja mengambil peran amat penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga tak sedikit yang ikut aktif menjadi tentara rakyat dan berperang mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.
Zaman telah berubah. Namun sejak dulu hingga sekarang untuk menjadi guru setidaknya kealihan dasar, yaitu mengajar, mengelolah kelas dan merancang pengajaran. Selain itu tugas seorang guru adalah mendewasakan dengan demikian profesionalisme seorang guru dibangun melalui penguasaan-penguasaan kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan.
Profesi guru pada hakekatnya adalah suatu bentuk pelayanan manusia. Nah.. bagi yang ingin menjalani profesi ini, sebaiknya menyadari dulu bahwa hakekat profesi ini menuntut bukan nafkah hidup yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaanmu untuk melayani sesama. Oleh karena profesi guru sering disebut sebagai profesi yang luhur dan mulia.
Ironisnya, guru yang telah berhasil menghasilkan banyak pemimpin politik, pelaku bisnis, ilmuwan serta berbagai profesi lainnya kini dianggap sebagai profesi yang "murahan" dan dijadikan sebagai kelompok masyarakat yang dipinggirkan. Tetapi hal ini tidak harus dilawan secara radikal agar semua masyarakat sadar dan menerima guru sebagai yang profesionalis yang berjasa bagi pembangunan negeri ini.
Guru memang tanpa tanda jasa, tetapi ia selalu dikenang untuk itu bagi siapaun pembaca, terlebih khusus bagi mereka yang mengiginkan menjadi guru tidak perlu ragu, malu dan singgung ini pekerjaan mulia yang memang kalau dilihat secara fakta tidak menjanjikan kelimpahan harta, namun jasa bagi yang menjadi seorang guru selalu dikenang selamanya, seperti yang terpatri dalam lirik lagi berikut ini:
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru...
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku...
Semua baktimu akan kuukir didalam hatiku...
Sebagai prsasti trima kasihku tuk pengabdiaanmu...
Ya, guru selalu tampil dalam situasi apapun. Profesi pencerah peradabaan dunia. Hanya saja sayangnya, tidak sedikit diantara mereka merasa tidak diperhatikan. Sebaliknya masih banyak pula guru yang hanya rajin menuaikan haknya ketimbang kewajibannya dan tugasnya di sekolah. Guruku Sayang, Guruku Malang.
http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=7427
Pendisiplinan dengan kekerasan di sekolah menimbulkan rasa dendam dan rantai kekerasan dari generasi ke generasi.
Hari itu, Bu Guru mengecek dari meja ke meja apakah semua murid kelas tiga membawa buku paket.
Bu Guru berhenti di meja Mimi. ”Kok, nggak bawa buku?” tanyanya.”Kan bukunya sama, Bu?” jawab Mimi. Gadis cilik itu belum punya buku paket IPS baru. Ia membawa buku paket bekas sang kakak.
”Tapi, itu buku dua tahun lalu!”
”Isinya sama, Bu.”
”Taruh tanganmu di atas meja.”
Mimi meletakkan telapak tangannya di atas meja.
Prakkk!
Penggaris kayu menghantam sepuluh jari tangannya.
Panas, sakit. Mimi menahan air matanya. Pasalnya, ini yang kedua kalinya dalam sepekan. Sebelumnya, ‘hadiah’ serupa diterimanya karena lupa meminta tandatangan orang tua pada PR-nya.
Mungkin, tindakan guru Mimi adalah untuk mendisiplinkan anak. Suatu cara pendisiplinan yang sarat dengan kekerasan. Tak cuma Mimi, banyak anak mengalami nasib tak jauh beda, ada yang lebih keras lagi.
Dari laporan yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), sebanyak 192 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah pada 2006 meningkat menjadi 226 kasus pada Januari-April 2007.
Menurut Sekjen Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, belum lama ini, bila pada 2006 sebanyak 15,10 persen berupa kekerasan fisik, 34,9 persen kekerasan seksual, dan 50 persen kekerasan psikis, pada tahun 2007 terjadi perubahan besar. Kekerasan psikis terhadap anak di sekolah meningkat hingga angka 80 persen. Apa bentuknya? ”Mengintimidasi, mengecilkan, mengabaikan, mendiskriminasikan, menyamakan seperti binatang,” ujarnya, mencontohkan.
Seperti gunung es
Kekerasan terhadap anak-anak di lingkungan sekolah, kata Ketua Umum Komnas PA Seto Mulyadi, bagaikan gunung es. Kasus Mimi hanya satu dari lebih banyak lagi kasus yang tidak terekspos, terutama di daerah-daerah. Di Makassar, menurut Seto, ada siswa tewas akibat kekerasan yang dilakukan gurunya. Tapi, kasus ini tidak pernah diproses. Belum lagi jika ditambah kasus kekerasan yang dilakukan sesama teman di sekolah.
Guru adalah orang yang paling dimuliakan, pengganti ayah bunda di sekolah. Malangnya, pelaku kekerasan sebagian besar bapak guru, barulah kemudian kepala sekolah dan ibu guru. ”Ini tidak memojokkan guru, tapi ini fakta yang terlaporkan,” tambah Arist.
Alasan kekerasan itu, sebanyak 54 persen merupakan pendisiplinan. Arist mengungkap kasus-kasus guru yang memukul, menjemur, menyuruh anak mengosek WC selama tiga jam menjadi kasus yang umum terjadi.
Hingga saat ini masih banyak sekolah atau guru berdalih melakukan hukuman kepada siswa dengan kekerasan. Alasannya, agar anak-anak menjadi disiplin. Seto menilai paradigma itu salah kaprah, karena tidak ada kaitannya antara disiplin dengan kekerasan. Sekolah memang harus menerapkan disiplin bagi guru-guru maupun siswa. Tapi disiplin itu tidak identik dengan kekerasan. Untuk menerapkan bisa dengan komunikasi, tidak dengan cara menyakiti.
Kalau ada guru yang menerapkan disiplin dengan cara-cara yang mengakibatkan anak sakit, itu namanya kekerasan. ”Karena kekerasan itu, semua tindakan yang menimbulkan rasa sakit, baik sakit fisik ataupun psikis, itu semua termasuk kekerasan,” papar alumni Fakultas Psikologi UI ini. Dra Evita MPsi, dosen jurusan Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, membenarkan hal itu. Ia menyebut, kekerasan bisa juga berbentuk hal-hal yang membebani murid. Misalkan memberi PR sebanyak 100 soal harus dikumpulkan keesokan harinya. ”Masak memberi tugas tidak proposional, tidak realistis, tidak sesuai dengan kemampuan anak, orang tua bisa menuntut,” tandasnya.
Tidak imun
Evita mensinyalir, salah satu penyebab guru melakukan kekerasan adalah karena masih banyak guru yang mengajar sekadar menjalankan kewajiban. Targetnya tercapai kurikulum tanpa mendalami bagaimana emosional anak saat itu.
Karena itu, Evita mengingatkan, tak mudah untuk menjadi guru. ”Guru TK dan SD harus mempunyai basic psikologi pendidikan. Mereka itu harus paham karakteristik perkembangan anak. Makanya, tidak mudah menjadi guru TK atau SD kelas 1 sampai tiga, karena harus menurunkan pola berpikir untuk memahami anak-anak,” katanya.
Padahal, lanjut Evita, tidak ada imun bagi guru yang melakukan kekerasan. Guru yang melakukan kekerasan membuat kesan tidak baik bagi murid-muridnya. Bahkan, kata dia, ekstremnya bisa menimbulkan dendam bagi si murid. Sekalipun ada pendapat karena faktor keluarga ada anak-anak yang hanya bisa disiplin dengan ‘agak’ kekerasan, ia pun tetap tidak setuju. ”Apa pun alasannya, stop kekerasan fisik, jangan sama sekali.”
Bagaimana menciptakan disiplin terhadap anak? Menurut Evita, disiplin pada anak itu abstrak. Hanya bisa dilakukan dengan model, contoh keteladanan yang konkret dan dilakukan dengan konsisten. Kalau di sekolah guru-guru yang menjadi teladan. Oleh karena itu, tidak benar kalau disiplin identik dengan kekerasan tapi harus diterapkan secara menyenangkan kreatif dan humanis.
Guru yang kreatif pasti bisa menerapkan disiplin yang menyenangkan bagi siswanya. Dia akan memberikan alasan yang logis, bisa diterima murid jika tidak mengerjakan PR, terlambat datang ke sekolah atau berisik.
Harus dihentikan
Bagi lingkungan sekolah yang terbukti melakukan kekerasan terhadap siswanya, Seto menganjurkan agar orangtua mengajukan protes agar kekerasan itu dihentikan. Tidak ada salahnya kalau orang tua membuat visum sebagai barang bukti. Kalau terbukti melakukan kekerasan guru itu bisa terjerat UU Perlindungan Anak.
Ketika orangtua datang ke sekolah, tentu saja dengan etika, tidak membabi buta. Karena kalau belum apa-apa sudah marah-marah, akibatnya tidak baik bagi si anak. Bisa-bisa si anak bakal ditandai oleh guru atau teman-temannya. ”Lebih efektif kalau orangtua datang ke POMG semacam lembaga komunikasi antara orangtua dengan guru. Sampaikan agar kekerasan terhadap anak segera dihentikan,” tegas Seto.
Sementara itu, di tempat terpisah, Evita mengingatkan agar orangtua jika anaknya mengalami kekerasan di lingkungan sekolah secepat mungkin melapor. Kalau memungkinkan telepon saat itu juga ke sekolah atau menghadap ke kepala sekolah. ”Pokoknya harus dituntaskan jangan sampai ditunda-tunda,” tegas Evita.
Semua ini harus diselesaikan agar tidak ada lagi korban anak-anak berikutnya oleh si oknum guru tersebut. Evita cenderung tidak menyarankan agar buru-buru memindahkan sang anak. ”Mungkin dengan pindah sekolah anak kita bisa aman, terlepas dari si oknum guru. Tapi bagaimana nasib murid-murid lainnya?” ujarnya.
Banyak sekolah bisa menyelesaikan masalah tanpa akhirnya mengorbankan anak. Artinya, anak bisa nyaman kembali belajar. Tapi, bila pihak sekolah ngotot tidak merasa bersalah, Seto berpendapat, tidak ada salahnya menempuh jalur hukum. ”Laporkan saja ke polisi.”
Demi keselamatan anak, Seto menyarankan, untuk langkah selanjutnya lebih baik memindahkannya dari sekolah tersebut. ”Karena kasihan si anak bisa tertekan akibat dikasih nilai buruk, diasingkan atau dimarah-marahi.”
Tapi, kalau jika tidak memungkinkan untuk pindah sekolah, Kak Seto mengharapkan orang tua fight terus berjuang demi melindungi anaknya. Jika tetap mentok salah satu jalannya melaporkan ke Komnas PA. ”Banyak kasus kekerasan di sekolah yang sudah kita tindak lanjuti dengan mengirim surat atau mengirim utusan ke sekolah tersebut. Semua ini kami lakukan agar anak-anak terlindungi dan tetap nyaman dalam hidupnya,” kata Seto.
Bila lingkungan sekolah itu tidak peduli atau melindungi si oknum guru, Evita memberikan solusi untuk melaporkan ke asosiasi perlindungan anak, salah satunya Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia. Di lembaga itu ada bidang advokasi yang bisa menindaklanjuti jika ada kasus berkaitan dengan pendidikan, termasuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh oknum guru.
Sumber: Republika Online/Minggu, 13 Mei 2007
Sesekali lakukanlah survei di tempat keramaian yang dihadiri anak-anak muda terpelajar. Lantas, berbasa-basilah untuk bertanya tentang cita-cita mereka. Andaikan ada 10 anak muda yang Anda tanyai, berapakah yang bercita-cita menjadi seorang guru? Hahahaha

Disadari atau tidak, kemanjaan hidup dalam lingkungan keluarga akan berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup. Kalau sejak kecil mereka telah terbiasa hidup dalam desain budaya yang sarat kemanjaan dalam lingkungan keluarga, kelak setelah dewasa pun diduga akan mengadopsi pola dan gaya hidup yang telah mereka terapkan sejak kecil.
Anak-anak dibesarkan oleh zamannya. Seiring dengan makin maraknya pola hidup pragmatis yang dikibarkan oleh bendera konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme, anak-anak muda masa kini memiliki kecenderungan untuk berpikir praktis dan pragmatis. Apresiasi terhadap sikap dan pola hidup yang menghargai proses dan kerja keras (nyaris) hilang dalam “kamus” kehidupan kaum muda. Kondisi itu diperparah dengan miskinnya keteladanan orang tua dan kaum elite yang secara sosial mestinya bisa menjadi anutan. Mereka bukannya menunjukkan kesalehan, baik individu maupun sosial, tetapi justru menampakkan praktik hidup yang sarat dengan berbagai perilaku amoral. Untuk mencapai tujuan, mereka tak jarang menghalalkan segala cara, bermimpi sukses ala Abu Nawas dengan menerapkan cara-cara magis, bahkan tak jarang menggunakan ilmu permalingan yang dalam ajaran agama apa pun jelas-jelas dilarang. Kursi empuk kepejabatan tak jarang didapat dengan cara-cara curang dengan cara menggunakan uang pelicin atau menggunakan umpan untuk menjerat relasinya. Ironisnya, perilaku tak terpuji semacam itu sudah merasuki dunia pendidikan kita yang notabene menjadi “kawah candradimuka” peradaban. Jual beli gelar –bahkan konon hingga jenjang S3– atau kuliah instan, misalnya, sudah bukan rahasia lagi. Sungguh, sebuah “drama” di atas panggung kehidupan sosial negeri ini yang membikin “miris” para pemburu kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Kondisi tersebut diperparah dengan makin permisifnya masyarakat terhadap berbagai tindakan amoral dan tak terpuji yang tampak vulgar di atas panggung kehidupan sosial kita. Hal mitu bisa dilihat dan disaksikan dengan jelas oleh anak-anak muda kita. Lantas, bagaimana peran institusi pendidikan dalam menghadapi situasi semacam itu?
Secara jujur mesti diakui, ada kontradiksi nilai yang acapkali bertentangan secara diametral. Di sekolah, para murid tidak hanya sekadar diajar, tetapi juga dididik. Mereka diharapkan mampu mengapreasiasi dan menginternalisasi nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan melalui berbagai dimensi pelajaran di sekolah. Namun, anak-anak muda kita bisa dengan mudah dan gamblang melihat berbagai perilaku dan tindakan tak terpuji yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita. Imbasnya, terjadi kontradiksi nilai antara apa yang ditanamkan dan ditaburkan di sekolah dengan berbagai ulah tak terpuji yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita. Tak mengherankan jika para pelajar kita memiliki “kepribadian terbelah”; menganut nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah atau larut dalam berbagai tindakan anomali sosial yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita.
http://sawali.info/2007/09/04/guru-indonesia-generasi-yang-hilang/
Copyright
©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar