Sastra Urban Berkembang Pesat
SASTRA Urban berkumandang saat bermunculan
sastrawan ibukota yang membawa identitas kedaerahannya masing-masing. Sebutlah
Asrul Sani, Ajip Rosidi, Rendra, Ramadhan KH, Nirwan Dewanto, Putu Wijaya,
Abdul Hadi WM, Danarto, dan Taufiq Ismail. Kini pada perkembangannya sastra
urban berkembang dalam keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra di
wilayah sekitar kota.
Sastra urban dinilai memberi peran dan sumbangan besar pada pertumbuhan sastra
di Jakarta dan Indonesia .
Para penyair, dari kiri ke kanan, Irman Syah
(Komunitas Planet Senen), Agus R Sarjono (Horison), Helvy Tiana Rosa (Forum
Lingkar Pena), berdiskusi saat acara "Sastra Urban dan Kemerdekaan
Berekspresi" di Gelanggang Remaja Senen, Jakarta, Jumat (29/8). (Abimanyu)
Hal itu yang terungkap dalam diskusi bertema "Sastra Urban dan Kemerdekaan Berekspresi" yang digelar Komunitas Sastra Indonesia bekerja sama dengan Komunitas Planet Senen dalam acara Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka, di Plaza Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Diskusi tersebut menghadirkan pembicara Irman Syah dari Komunitas Planet Senen, Helvy Tiana Rosa dari Forum Lingkar Pena dan Agus R Sarjono dari Horison. Acara ini juga menampilkan orasi puisi dari Taufiq Ismail berjudul "Sesudah 63 Tahun, Berharap akan Keadilan, Masih Bisakah?"
Dalam pembicaraan tersebut terungkap bahwa keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra terus bertumbuh di sekitar ibukota. Sebutlah Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Forum Lingkar Pena (FLP),Komunitas Utan Kayu, dan Komunitas Planet Senen. Selain itu, ada juga komunitas "tak resmi" seperti Wapres Bulungan, Komunitas Bambu, Komunitas Bunga Matahari, dan ada pula Komunitas Sastra Jalanan Indonesia (KSJI).
Helvi Riana Rosa mengatakan, keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra yang berserak di desa maupun kota di negeri ini patut disambut gembira. Menurut dia, banyak anggota dari komunitas Forum Lingkar Pena memulai karier sebagai penulis dalam posisi sebagai kaum urban yang lemah dan tertindas. Sakti Wibowo misalnya, adalah seorang buruh panggul pabrik roti di sebuah kota di Jawa Tengah. Siapa mengira beberapa tahun kemudian dia telah menulis lebih dari 20 novel dan kumpulan cerpen. Kini dia bekerja sebagai penulis lepas dan editor di sebuah penerbitan di Jakarta.
Ada juga Paris J Ipal seorang sales promotion girl (SPG) yang kini telah menulis lebih dari lima buku, atau Afift Afra seorang mahasiswi yang menulis puluhan buku bahkan membuat sekolah menulis. Atau Noor H Dee seorang koki sebuah kafe di Jakarta yang menulis buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta.
"Bagi orang-orang seperti mereka, sastra adalah sesuatu yang membebaskan. Sastra telah memerdekakan mereka dari pandangan sempit yang melihat mereka sebagai pembantu, buruh, penjaga kotak WC, pengangguran, dan sebagainya. Dengan sastra mereka bebas mengekspresikan diri, bahkan berupaya mencerahkan orang lain melalui apa yang mereka tulis," ujar Helvy.
Menurut dia, sastra tak lagi hanya milik kaum cendekia, tak lagi menara gading para elitis. Tentu menjadi tidak adil, jika orang mengukur karya mereka yang baru muncul dengan pencapaian estetik para sastrawan terkemuka Indonesia.
"Meski demikian harapan ke arah sana bukan tidak mungkin. Proses yang terus menerus menempa mereka akan menjadikan mereka matang," tambahnya lagi.
Sementara itu, Agus Sarjono mengatakan bertumbuhnya komunitas atau kantung-kantung sastra ini mengisyaratkan bahwa kehidupan sastra sangat erat kaitannya dengan masyarakat urban. Sebelumnya, mayoritas aktifis komunitas semacam ini adalah para penulis urban, yakni mereka yang lahir di daerah dan hijrah ke ibukota seperti Jakarta . Sebutlah Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu, Diah Hadaning, Ahmadun YH, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge. Agus Sarjono berangkat dari pandangan sastra dilahirkan lingkungannya. Bahwa habitat sastrawan berpengaruh besar pada hasil sastra.
"Kondisi Jakarta tahun 1950-an misalnya melahirkan jenis sastrawan dan karya sastra yang berbeda dengan kondisi Jakarta 1970-an. Perubahan kota berdampak pada perspektif hidup sastrawan bersangkutan," paparnya. [W-10]

Hal itu yang terungkap dalam diskusi bertema "Sastra Urban dan Kemerdekaan Berekspresi" yang digelar Komunitas Sastra Indonesia bekerja sama dengan Komunitas Planet Senen dalam acara Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka, di Plaza Depan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Diskusi tersebut menghadirkan pembicara Irman Syah dari Komunitas Planet Senen, Helvy Tiana Rosa dari Forum Lingkar Pena dan Agus R Sarjono dari Horison. Acara ini juga menampilkan orasi puisi dari Taufiq Ismail berjudul "Sesudah 63 Tahun, Berharap akan Keadilan, Masih Bisakah?"
Dalam pembicaraan tersebut terungkap bahwa keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra terus bertumbuh di sekitar ibukota. Sebutlah Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Forum Lingkar Pena (FLP),Komunitas Utan Kayu, dan Komunitas Planet Senen. Selain itu, ada juga komunitas "tak resmi" seperti Wapres Bulungan, Komunitas Bambu, Komunitas Bunga Matahari, dan ada pula Komunitas Sastra Jalanan Indonesia (KSJI).
Helvi Riana Rosa mengatakan, keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra yang berserak di desa maupun kota di negeri ini patut disambut gembira. Menurut dia, banyak anggota dari komunitas Forum Lingkar Pena memulai karier sebagai penulis dalam posisi sebagai kaum urban yang lemah dan tertindas. Sakti Wibowo misalnya, adalah seorang buruh panggul pabrik roti di sebuah kota di Jawa Tengah. Siapa mengira beberapa tahun kemudian dia telah menulis lebih dari 20 novel dan kumpulan cerpen. Kini dia bekerja sebagai penulis lepas dan editor di sebuah penerbitan di Jakarta.
Ada juga Paris J Ipal seorang sales promotion girl (SPG) yang kini telah menulis lebih dari lima buku, atau Afift Afra seorang mahasiswi yang menulis puluhan buku bahkan membuat sekolah menulis. Atau Noor H Dee seorang koki sebuah kafe di Jakarta yang menulis buku Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta.
"Bagi orang-orang seperti mereka, sastra adalah sesuatu yang membebaskan. Sastra telah memerdekakan mereka dari pandangan sempit yang melihat mereka sebagai pembantu, buruh, penjaga kotak WC, pengangguran, dan sebagainya. Dengan sastra mereka bebas mengekspresikan diri, bahkan berupaya mencerahkan orang lain melalui apa yang mereka tulis," ujar Helvy.
Menurut dia, sastra tak lagi hanya milik kaum cendekia, tak lagi menara gading para elitis. Tentu menjadi tidak adil, jika orang mengukur karya mereka yang baru muncul dengan pencapaian estetik para sastrawan terkemuka Indonesia.
"Meski demikian harapan ke arah sana bukan tidak mungkin. Proses yang terus menerus menempa mereka akan menjadikan mereka matang," tambahnya lagi.
Sementara itu, Agus Sarjono mengatakan bertumbuhnya komunitas atau kantung-kantung sastra ini mengisyaratkan bahwa kehidupan sastra sangat erat kaitannya dengan masyarakat urban. Sebelumnya, mayoritas aktifis komunitas semacam ini adalah para penulis urban, yakni mereka yang lahir di daerah dan hijrah ke ibukota seperti Jakarta . Sebutlah Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu, Diah Hadaning, Ahmadun YH, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge. Agus Sarjono berangkat dari pandangan sastra dilahirkan lingkungannya. Bahwa habitat sastrawan berpengaruh besar pada hasil sastra.
"Kondisi Jakarta tahun 1950-an misalnya melahirkan jenis sastrawan dan karya sastra yang berbeda dengan kondisi Jakarta 1970-an. Perubahan kota berdampak pada perspektif hidup sastrawan bersangkutan," paparnya. [W-10]
Hikayat Wong Cilik di Tengah Sastra Urban
Oleh Helvy Tiana RosaCerpenis, pendiri Forum Lingkar Pena
Bagian Pertama dari dua tulisan
"Sastra bukan sekadar menyapa. Ia telah memerdekakan saya dengan caranya sendiri...." (Syifa Aulia)
Kalimat yang dilontarkan Syifa Aulia di tengah canda teman-temannya di Kowloon Park bertahun-tahun lalu itu ternyata serius.Lebih kurang 10 tahun lalu ia berangkat ke Hong Kong, salah satu kota paling sibuk di dunia, untuk mengadu nasib yang lebih baik, meski harus menempuh jalan sebagai seorang domestic helper (PRT).Siapa mengira, lima tahun di sana, jalannya sebagai cerpenis justru terbuka. "Sastra telah memerdekakan saya sebagai manusia, bukan sekadar dari seorang pembantu rumah tangga atau buruh migran," ujar Syifa lagi.
Meski harus banting tulang dengan pekerjaan "rendahan", ia berusaha agar setiap waktunya bisa maksimal. Maka sambil memasak, beres-beres atau bahkan di kamar mandi, ia menggenggam pena.Malam, saat waktu tidur, dengan cahaya redup senter kecilnya, ia masih membaca atau menulis. Di kemudian hari, saat ia bisa membeli blackberry second, lalu laptop murahan, ia pun memanfaatkan wifi, mengakses internet, memperkaya referensi tulisannya.
Waktu liburnya seminggu sekali, dipakainya untuk bertemu teman-temannya dalam sebuah komunitas, yang memberi masukan atas apa yang belum, sudah atau akan ia lakukan dengan ide dan naskah tulisan di tangannya.Kini ia telah menulis tiga buku, antara lain Hong Kong, Topan ke-8. Sebelum pulang ke Indonesia, ia masih sempat bercerita, bagaimana beberapa wartawan di Hong Kong, memburu berita tentang ia dan teman-temannya dan berupaya menerjemahkan karya-karya mereka ke dalam bahasa Cantonese.
Hal seperti itu pula yang kurang lebih dialami Swastika Mahartika. Perempuan ini membawa beribu kepahitan kala mendarat di kota yang sama. Bertubi kegetiran yang ia terima di Hong Kong kemudian, bahkan tak mampu membendungnya untuk menjadi seorang pengarang serius. Tak punya kamar alias harus tidur di dapur bahkan pernah tidur bersama anjing tak juga melemahkannya.Saat disket, CD, dan flashdisc, menjadi sesuatu yang dilarang majikannya seorang bobo (nenek) yang selalu memeriksa tasnya saat keluar masuk rumah ia mengalah menitipkan semua itu di rumah temannya, termasuk sebuah piala yang ia dapatkan dari lomba menulis di komunitasnya
Andina Respati, Wina Karnie (penulis kumpulan cerpen Wanita dan Negeri Beton) dan puluhan lainnya juga punya cerita yang dramatis, tentang bagaimana memulai karir mereka sebagai penulis, dalam posisi sebagai kaum urban yang lemah dan tertindas."Kami akan meluncurkan belasan buku lagi tahun 2008 ini, Mbak," kabar dari Respati yang masuk ke ponsel saya. Ia dan teman-temannya terus mengadakan berbagai pelatihan untuk menjaring para penulis baru dari kalangan domestic helper di sana.
Buruh panggul
Kisah tentang teman saya, Sakti Wibowo dan Nasirun, lain lagi.Sakti memulai karirnya sebagai buruh panggul pabrik roti di sebuah kota di Jawa Tengah. Siapa mengira, beberapa tahun kemudian ia telah menulis lebih dari 20 novel dan kumpulan cerpen. Kini ia bekerja sebagaiscript writer lepas dan editor di sebuah penerbitan di Jakarta.Nasirun selalu memperkenalkan dirinya sebagai "Lulusan TK Pertiwi". Berangkat dari desa ke kota, ia bergelut dengan berbagai macam pekerjaan: tukang parkir hingga menjadi penjaga kotak WC. Lalu kemudian ia dimerdekakan oleh sebuah pekerjaan: menulis. Kini banyak orang belajar menulis dari penyair yang juga kartunis itu.
Paris J Ipal bekerja sebagai SPG di sebuah mall di Jakarta, kini telah menulis lebih dari lima buku. Amir, jauh-jauh merantau dari Sulawesi Selatan dengan kesadaran penuh: pergi ke Jakarta dan menjadi penulis! la sempat terlunta-lunta sebelum akhirnya menjadi SPG di Gramedia dan tahun lalu memenangkan sebuah sayembara penulisan cerpen berhadiah jutaan rupiah. Kini ia tengah menyiapkan buku pertamanya.Begitu juga yang dilakukan Arlen Ara Guci; dari pengangguran di kota, menjelma penulis lima buku, bahkan bisa bekerja di penerbitan.
Afifa Afra adalah seorang mahasiswi pekerja sosial, yang dari jalanan kemudian menulis puluhan buku, bahkan membuat sekolah menulis. Noor H Dee adalah koki sebuah kafe di Jakarta yang kemudian menemukan jalan sejatinya sebagai pengarang dan penggiat sebuah penerbitan. Bukunya: Sepasang mata untuk Cinta yang Buta, baru saja terbit dan menegaskan keseriusannya di dunia sastra. (-)
sumber: http://republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/108/news_id/4242
2008-09-28
10:05:00
Hikayat Wong Cilik di Tengah Sastra Urban
Oleh: Helvy Tiana RosaCerpenis, pendiri Forum Lingkar Pena
Bagian Terakhir dari dua tulisan
Andi Birulaut juga dapat menjadi contoh, bagaimana seorang "preman" kemudian bermetamorfosis menjadi pengarang, dan berhasil membawa preman-preman lain di daerah sekitar Penjaringan, Jakarta Utara, untuk peduli dan bergerak membuka Rumah Cahaya (Rumah Baca dan Hasilkan Karya), bagi anak dan remaja dhuafa di sana.
Orang-orang tersebut mengingatkan saya pada apa yang pernah ditulis Ang Tek Khun:
Aku belajar
bahwa belajar seringkali bukan ketersediaan waktu
melainkan pada kesediaan pada ketundukan hati
Aku belajar
bahwa belajar seringkali bukanlah rangkaian aksi
melainkan proses membuka diri dan proses menerima
Bila contoh-contoh di atas adalah gambaran para penggiat Forum Lingkar Pena (FLP), maka saya yakin, banyak orang seperti mereka di komunitas sastra atau kantong-kantong budaya lainnya yang berserak di desa maupun kota di negeri ini, termasuk di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Planet Senen (KoPS) dan lain-lain.
Bagi orang-orang seperti mereka, sastra adalah sesuatu yang membebaskan. Sastra telah memerdekakan mereka dari pandangan sempit yang melihat mereka sebagai pembantu, buruh panggul, penjaga kotak WC, pengangguran, koki, dan sebagainya itu.
Dengan sastra mereka bebas mengekspresikan diri, bahkan berupaya mencerahkan orang lain (baca: pembaca) melalui apa yang mereka tulis. Dengan demikian sastra tak lagi hanya milik kaum "cendekia", tak lagi menara gading para "elitis".
Tentu saja tak adil rasanya bila kita mengukur karya mereka yang baru muncul dengan pencapaian estetik para sastrawan terkemuka Indonesia. Meski demikian, harapan ke arah sana bukan tak mungkin. Proses yang terus menerus menempa mereka akan menjadikan mereka matang dan kelak mencapai marhalah-marhalah tertentu dalam ranah kesusastraan kita.
Kini, wawasan yang semakin meluas, kemampuan menulis dan peningkatan taraf kesejahteraan mereka dari hasil menulis, menjadi poin tersendiri bagi mereka sebagai kaum urban yang (pernah) dianggap wong cilik. Sastra telah membuat mereka menjadi lebih cerdas, lebih halus, dan tentu saja lebih "kaya", bermartabat, dan karenanya lebih dihargai oleh lingkungan mereka.
Mereka menyadari bahwa sastra bisa mencintai dan membawa mereka sebagaimana mereka mencintai dan membawa sastra. Karena itulah orang-orang seperti mereka akhirnya turut peduli, bergerak melakukan semacam kampanye gerakan membaca dan menulis yang menyentuh ragam lapisan masyarakat. Mereka yang telah menghasilkan karya nyata biasanya secara sukarela menjadi "mentor" bagi teman-teman yang belum memiliki karya.
Beda kaum urban seperti mereka dari kaum rural tentu saja terutama dalam hal kesempatan mengakses informasi, kesempatan untuk mendapatkan ragam bacaan berkualitas, banyaknya komunitas/kantong budaya, kemungkinan berdiskusi dengan berbagai kalangan, dan bagaimana memanfaatkan fasilitas yang ada di kota.
Semua itu memungkinkan proses akselerasi dari sosok mereka sebagai wong cilik menjadi penulis/pengarang dan bukan tak mungkin: sastrawan.
Persoalannya sekarang, bagaimana agar mereka yang tinggal di desa bisa mendapatkan kesempatan dan kemerdekaan seperti itu pula tanpa harus pergi ke kota?
Saya kira, salah satu tantangan terbesar bagi pemerintah daerah dan masyarakat di desa adalah perhatian dan kepedulian untuk mendirikan dan terus menerus menghidupkan kantong-kantong budaya atau komunitas sastra yang telah ada.
Ini juga yang cukup efektif dilakukan oleh teman-teman di Komunitas FLP. Kerjasama membuat sanggar-sanggar seni/budaya/sastra dengan sekolah-sekolah yang ada melalui jalur Depdiknas sebenarnya bisa sangat membantu. Selebihnya, keadaan di kota yang penuh magnit memang belum bisa dibandingkan dengan di desa.
Eseis muda Yanuardi Syukur mungkin bisa menjadi contoh menarik. Ia dijuluki teman-temannya sebagai "Anak Seribu Pulau". Ia senang mengembara ke mana-mana, ke kota besar hingga ke desa terpencil. Setiap kali pergi, entah bagaimana ia mampu menyemangati orang untuk mendirikan komunitas sastra yang belum ada di tempat itu, atau membantu menghidupkan kembali kantong budaya di sana yang hidup segan mati tak mau.
Pria berperawakan kurus ini bahkan masuk ke tempat-tempat yang mungkin enggan dijamah orang. Terakhir, sebelum ke Jakarta untuk kuliah pascasarjana, ia masih menyemangati dan memberi pelatihan menulis gratis bagi para penghuni penjara di Tobelo, Maluku Utara, yang ternyata luar biasa antusias.
Akhirnya, tekad dan ketekunan sebagai pribadi adalah faktor utama dalam meraih kesuksesan dalam segala bidang, termasuk sastra, Setidaknya itu yang dipelajari dua gadis kecil yang dulu tinggal lama bersama kedua orang tuanya yang hanya wong cilik -- di sebuah rumah triplek-kardus di tepi rel kereta api Gunung Sahari.
Setiap minggu, meski tak punya uang, mereka rutin berjalan kaki ke Gelanggang Remaja Planet Senen atau Taman Ismail Marzuki untuk menyaksikan berbagai aksi dan diskusi yang bisa mereka simak secara gratis.
Ya, berawal dari sana, saya dan adik saya Asma Nadia hingga sekarang belum juga berhenti menulis. Kini sudah sampai pada buku yang keempat puluh. Semoga Senen masih menjadi magnit. Selalu.(-)
SASTRA URBAN DAN PROBLEM MANUSIA URBAN
Oleh: Irman Syah (Penyair dan pegiat sastra)
Awalnya, saya beranggapan sastrawan adalah seorang linguis yang cermat. Sebab, merekalah yang mampu menguraikan pikiran ke dalam analisis bunyi, sintaksis, dan pragmatis.Sastrawan juga dibebani tanggung jawab sosial dan sejarah yang tidak ringan. Sebab, melalui karya dan totalitas kediriannya, sastrawan adalah arsitektur kemanusiaan.
Namun, sejarah yang kusut, yang ditu]is hanya untuk mengukuhkan kaum terhormat dari kalangan penguasa, telah membuat bahasa hanya sebagai 'rumah' bagi sastrawan rumah yang menyimpan kisah pertikaian dan dendam kesumat yang tidak berkesudahan.
Perjalanan kesusastraan kita memperlihatkan kenyataan semacam itu. Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan angkatan sesudahnya seperti mata rantai generasi dengan warisan 'dendam tak berkesudahan', dengan konsekuensi tiadanya satu pun yang tuntas dan rampung.
Sastra adalah lingkar estetik, dengan equality antara penyair, teks dan audiens. Penyair-penyair terdahulu, yang menulis (katakanlah) syair dengan publik terlibat di dalamnya, tak memperlihatkan jarak antara teks, publik, dan penyair. Yang ada hanya lingkar estetik humanisme.Puisi 'mengada' di dalam ingatan dan horison harapan pembaca, di dalam batas-batas persepsi dan imajinasi, (mungkin) pada sebentuk esok yang mereka kehendaki.
Sastra urban
Urban bukanlah kenyataan yang terbentuk secara kebetulan. Tapi, ia adalah bagian dari apa yang kita kerjakan di masa silam, yang di dalamnya termasuk berbagai kebijakan politik yang tidak adil, konsep dualisme kota-desa, dan kini terhubung dengan pemiskinan masyarakat pedesaan.Sejarah itu, pada ujungnya, melahirkan kenyataan urban yang tidak terlepas dengan kenyataan kemiskinan dan pemiskinan, karena kelahirannya adalah sesuatu yang dikondisikan.
Kandungan sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandungnya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan.
Bukankah sesungguhnya usia kebangsaan di negeri ini jauh Iebih tua dari usia negara? Maka sastra urban akan memfungsikan dirinya sebagai sumber perenungan, yang mampu berperan aktif untuk merumuskan kenyataan, mengabarkan keadaan bangsa manusia dimana tanah, sawah dan ladangnya telah berganti rupa, menumbuhkan pabrik-pabrik.
Kebiasaan (tradisi) menanam telah lama berganti menjadi keterpaksaan membeli. Konflik internal ini, sesungguhnya, sengaja dikondisikan oleh sebuah desain yang maha besar untuk kepentingan kapital. Akibatnya, sebuah perangkap diciptakan untuk menangkap dan menampung makhluk manusia, kemudian dihabisi tanpa kemanusiaan: dikejar-kejar, ditangkapi dan dimusnahkan daya hidupnya.
Tapi, seniman (sastrawan) selalu berusaha untuk menemukan ruangnya karena tuntutan nurani. Menjadikan sastra sebagai media yang selalu merdeka, merangkum persoalan hidup, yang lahir dari kesejatian manusia: layaknya sebuah puisi yang mencitrakan tragik kehidupan yang sesunggulhnya.
Kota takkan memberi ruang kultural bagi mereka dan mereka dipaksa untuk menjadi konsumer, bukan memproduksi. Tak dapat dibayangkan, dalam hitungan kira-kira, 20 tahun ke depan, generasi (anak cucu) kita akan makin tumbuh invalid karena kehilangan akar budayanya.
Seni akan berubah menjadi iven dan ini sudah jelas bukan citraan hidup manusia. Dari sinilah sastra urban 'mengada', menyiapkan perangkat dan fungsinya, menyelamatkan kehidupan kemanusiaan!
Serba getir
Sastra urban lahir di zaman yang serba getir, ditulis/dilisankan oleh manusia yang segelintir, yang menyadari keberadaan bahwa seni adalah kebutuhan rohani. Tapi, karena mahalnya pertunjukan, malam dan hujan, sementara besok harus 'memburuh' lagi, maka sastra harus diantarkan.Dengan kata lain, kerlip cahaya sastra belum tentu muncul di kampus-kampus, tapi di jalanan, karena bintang itu bukan di dalam sangkar tapi di angkasa.
Dengan demikian, kenyataan referensial dan faktual memang menuntun manusia bertindak lebib tajam dan arif, dan urban semakin mendekatkan pemakaman sastrawan tentang kristalisasi makna, pilihan, dan tujuan hidup berdasarkan dialektika yang dialaminya.Jadi, ketajaman pandangan dan kepekaan seniman sebagai sosok 'arsitektur kemanusiaan' adalah sumber hidup yang menjadi api yang memicu lahirnya spirit kemerdekaan: satu dunia, satu bangsa, bangsa manusia!
Puisi-puisi Afrizal Malna dari buku puisi Abad yang Berlari (1984) hingga buku puisi mutakhirnya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002) telah memberikan suatu gambaran, citraan, atau sosok yang lain dari berbagai kecenderungan yang pernah berlangsung dan menonjol dalam arus utama khazanah perpuisian Indonesia modern yang telah umum dikenal masyarakat kita selama ini. Perhatikan judul-judul puisi yang disusun dari diksi dan idiom yang tak lazim sepanjang sejarah bahasa penulisan puisi modern kita selama ini, misal ”Kota-kota dalam Tas Koper”, ”Aku Terbang Bersama Kipas Angin”, atau ”Hujan dari Sebuah Dapur”.
Jika kita selama ini hanya mengenal sosok utama puisi Indonesia modern lewat Amir Hamzah (”Padamu Jua”), Chairil Anwar (”Derai-derai Cemara”), Sutardji Calzoum Bachri (”O, Amuk, Kapak”), Goenawan Mohamad (”Interlude”), Taufik Ismail (”Trem Berkelenengan di San Fransisco”), dan Rendra (”Nyanyian Angsa”) kemungkinan besar kita akan merasakan sesuatu yang sangat berbeda jika membaca puisi Afrizal Malna ini.
Afrizal Malna merumuskan dan memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan ”masuk akal”, sehingga struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi. Sehingga, membaca puisi Afrizal harus selalu ekstra waspada dan siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini dan terasa ”kacau”, agar bisa tetap mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan puisinya.
Contoh, Padamkan api. Aku sedang menunggumu di wartel. Kompor/ sudah disiapkan,bukan untuk memasak seekor anjing. Ah,/ negara, mungkin hanya sebuah dusta bersama. Bangsa yang/ menyimpan gergaji di lehernya. Mungkin kekasihmu telah/ pindah kerja, dan sekarang bekerja sebagai penjaga toilet di/ bandara. Mungkin dia sudah punya anak dengan orang lain./ Mungkin dia sebenarnya adalah ibumu, yang bajunya pernah/ kau pakai dalam sebuah pesta pernikahan.// (puisi ”Enam Paragraf dari Ibu”).
Bagi Afrizal Malna, puisi tak selalu harus diperlakukan dengan cara mempraktikkan keketatan disiplin berbahasa dan berpuisi yang harus koheren, sinkron, mematuhi prinsip-prinsip sintaksis maupun semantik konvensional. Sebab, menurut penyair ini, kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah. Bahasa pada dasarnya medan komunikasi sehingga setiap hal yang menyimpan atau menyampaikan pesan kemungkinan besar menjadi bahasa atau sudah menjadi bahasa dalam keseluruhan dirinya
Konsekuensi dari itu semua adalah puisi mestinya memiliki pendaman ”misteri”, memiliki kekuatan untuk menghubungkan berbagai ingatan pembaca ke dalam bentukan semantik tertentu. Pembaca bisa membuat permainan baru dari korespondensi antaringatan-ingatannya sendiri. Sebab puisi tak hidup dalam dirinya sendiri, puisi hidup dalam diri pembaca yang terbuka terhadap ingatannya atau berbagai pengalaman pribadi dan sosial.
Kata, bagi penyair ini, selalu memiliki ruang luar dan ruang dalam. ”Ruang luar kata” adalah konvensi komunikasi yang berlangsung dalam wilayah publik. Berbagai pernik-pernik komunikasi saling berhubungan dalam ruang ini. Sifatnya sangat umum dan pragmatis. Mitos dan berbagai pandangan stereotip, wacana , dan ideologi, dibawa ke ruang ini lebih sebagai pengukuhan dan stabilitas publik dalam menjalankan berbagai mekanisme hubungan yang telah dilembagakan. Kediktatoran bahasa mungkin terjadi di ruang ini yang mereduksi kualitas kehidupan publik.
Sedangkan ”ruang dalam kata” sifatnya pribadi dan subjektif. Sebuah kebebasan yang bekerja dan bertindak dalam ruang yang terbatas. Karena itu pengejaran dalam pelaksanaan kebebasan tersebut cenderung bergerak ke dimensi kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Puisi menjadi menarik karena ia sesungguhnya merupakan produk dari ruang dalam kata, lalu mencoba keluar menemui publik. Kehadiran puisi di antara mitos, berbagai pandangan stereotip, wacana atau ideologi mungkin seperti orang asing yang tak mau tunduk ke dalam konvensi hubungan-hubungan publik yang berlangsung di ruang luar itu.
Puisi sesungguhnya mencoba merajut kembali hubungan antara ruang luar dan ruang dalam sebagai representasi pembagian kerja kebudayaan dan peradaban yang dilakukan manusia.
Citraan benda-benda dan kosmos urban (kota) juga menjadi salah satu karakter yang menonjol dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Selain sebagai instalasi kata-kata, puisi Afrizal Malna juga menggambarkan suatu instalasi benda-benda urban. Contoh, Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung/ seperti kaos kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas/ itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dari dan/ mengurus makanan anjing./ (puisi ”Persahabatan dengan Seekor Anjing”), atau, Ia baru saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur/ dadar. Pagi ini, ia sangat sibuk membuat tokoh-tokoh baru/ di atas tempat tidur, terdiri dari perempuan dan lelaki./ (puisi ”Aku Lahir dalam Kardus”).
Benda-benda urban itu menjadi sosok atau subjek yang ”hidup”, memiliki ”biografi” tersendiri sebagaimana makhluk hidup pada umumnya dan membangun personifikasi dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Benda-benda telah menjadi lingkungan semiotik yang sangat sensitif, membangun bahasa imajinasi tersendiri yang khas, menyusun rangkaian-rangkaian pengucapan yang membawa asosiasi pembaca ke sebuah wilayah yang bernama urban.
Afrizal Malna tentu kurang fasih bicara lewat bahasa dari lingkungan khazanah alam-agraris, misal kabut, batu, langit, daun, angin, atau bulan, yang biasa dipakai penyair kita kebanyakan selama ini. Ia menulis puisi lewat lingkungan bahasanya dan kosmosnya sendiri, yang dia kenali dan akrabi secara alami, yaitu lingkungan urban. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar