Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

pendidikan atau PENDIDIKAN?



Sering kita mendengar pameo yang menyatakan tempat yang paling nyaman menyembunyikan segala kecurangan adalah di tempat atau lembaga yang anti dengan segala kecurangan. Misalnya saja, koruptor jika ingin selamat bersembunyilah di pengadilan. Penjahat jika ingin aman bersembunyilah di kantor Polisi. Lantas, bagaimana dengan departemen agama. Bagaimana dengan departemen pendidikan. Atau yang paling sederhana bagaimana dengan sekolah? Begitu banyak persoalan yang dapat kita daftarkan dalam rumah pikiran kita.   
Kita tentunya sepakat, bahwa sekolah adalah salah satu wadah pendidikan. Kita juga tentunya tidak pernah berfikir, sebagai wadah pendidikan sekolah pastilah menomorsatukan yang namanya pendidikan. Pendidikan yang dimaksud jelas bukan hanya sebatas guru dan murid. Tetapi lebih luas dari yang kita bayangkan selama ini. Guru dengan guru. Manajemen dengan guru. Kepala sekolah dengan guru, dan lain sebagainya. 
Terkadang kita merasa miris, ketika sebuah kesalahan yang terjadi di dalam sekolah atau di dunia pendidikan, selalu guru yang menjadi korban. Murid yang tidak naik kelas, karena guru yang lemah dalam mengajar. Nilai murid yang rendah karena guru yang tidak profesional. Murid yang sedikit mendaftar ke sekolah, karena dianggap kualitas guru yang rendah. Dana bantuan pendidikan yang tidak cair, karena guru yang tidak aktif, dan lain sebagainya. Tetapi, jika sebuah keberhasilan bertandang ke sekolah, nama guru hampir, kalau kita enggan mengatakan mustahil, didengungkan.
Siswa berhasil karena anaknya memang luar biasa, atau karena orangtuanya. Siswa banyak yang lulus karena kepala sekolahnya. Siswa banyak yang mendaftar karena manajemen sekolah yang solid, dan seterusnya. Padahal beban yang diberikan kepada guru, lebih berat dari tukang bangunan. Lebih menyedihkan dari tukang sapu jalanan. Lebih lama dari penjaga malam, dan seterusnya.
Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa terkadang ada juga yang mengakuinya, tetapi dengan “upah” yang paling mahal. “Hadiah” yang paling menarik. “Penghargaan” yang luar biasa, yaitu : Terimakasih, Pak. Terimakasih, Bu. Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, selalu dan kerap terjadi hukuman berupa pemotongan dan ancaman pemecatan. Beribu siswa yang telah dilahirkan menjadi orang-orang besar. Orang-orang sukses. Tetapi dengan satu kesalahan yang disengaja atau tidak, semuanya itu menjadi tidak berguna samasekali dengan adanya pemotongan atau ancaman pemecatan.
Terkadang juga selalu dibanding-bandingkan tingkat keberhasilan guru dengan sekolah lain. Tidak pernah sekalipun pihak sekolah membuat perbandingan tingkat kesejahteraan dengan sekolah lain, seolah guru-guru adalah mahkluk individu yang tidak memiliki keluarga. Jika kita mengikuti seminar atau pelatihan-pelatihan pendidikan, kita terharu. Sehingga pertanyaan-pertanyaan kembali muncul seberapa seringkah Malaysia melaksanakan seminar. Seberapa rajinkah Jepang melakukan pelatihan-pelatihan. Teori kita untuk meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan guru luar biasa hebat. Lalu, bagaimana dengan praktiknya?
Pernah sekali waktu saya berdialog ringan dengan seorang teman. Ada satu pernyataannya yang mengejutkan saya. “Indonesia kalau mau maju hanya ada satu cara basmi korupsi sampai ke akar-akarnya!” Lantas saya bertanya, “Bagaimana caranya?” Lagi-lagi ia menjawab juga membuat bulu kuduk saya berdiri. “Dengan bencana besar yang membuat manusia di Indonesia tidak tersisa.” Wah, sebegitu pesimisnya kita menatap masa depan Indonesia? Masa depan pendidikan kita?
Tetapi, kenyataannya memang tidak bisa dipungkiri. Bantuan untuk guru saja dipotong oleh berbagai lapisan. Di dinas nasional sekian. Di dinas provinsi sekian. Di dinas kabupaten/kota sekian. Di sekolah sekian? Lebih menyedihkan lagi bantuan yang jelas cair itu malah tidak diberikan kepada guru yang bersangkutan. Alasannya? Salahsatunya tentu dicari-cari, padahal hanya sentimen pribadi. Itu bantuan pemerintah. Apalagi bantuan dari sekolah.
Dalam setiap kesempatan, sekolah selalu disamakan dengan perusahaan. Di sana selalu dikatakan siswa adalah nasabah yang harus dilayani semasikmal mungkin. Padahal jika kita memang mengacu ke perusahaan tentu ada uang lembur, tentu ada kesejahteraan. Di perusahaan loyalitas diimbangi dengan kesejahteraan. Tetapi, di sekolah? Loyalitas hanya ditandai dengan pengab-dian.
Jika guru melakukan kesalahan wajar jika diberi hukuman, tentu sebelumnya dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan dunia pendidikan. Lantas, jika guru memberikan kesuksesan,  janganlah sekadar ucapan terimakasih atau dengan sebungkus makanan. Guru punya keluarga. Guru juga manusia. Guru bukanlah makhluk yang nasibnya jauh lebih buruk dari binatang peliharaan.
Bagaimana nasib pendidikan mau maju jika guru dipenuhi beban sedemikian, perut lapar, anak tak mendapatkan susu tambahan, rumah kontrakan menunggak setiap bulan, setiap mengajar selalu menerima ancaman jika tidak melaksanakan tugas tambahan. Apalagi jika berjumpa dengan pemimpin yang memanfaatkan jabatannya memerintahkan sesuatu yang spontan tanpa memahami secara benar tugas dan fungsi yang digariskan. Istilah barunya “NOJAIM”. Kita tentunya faham maksud itu, tetapi jangan sampai merusak atau menjadi disharmoni.                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar