Sering kita mendengar pameo yang menyatakan tempat yang paling nyaman
menyembunyikan segala kecurangan adalah di tempat atau lembaga yang anti dengan
segala kecurangan. Misalnya saja, koruptor jika ingin selamat bersembunyilah di
pengadilan. Penjahat jika ingin aman bersembunyilah di kantor Polisi. Lantas,
bagaimana dengan departemen agama. Bagaimana dengan departemen pendidikan. Atau
yang paling sederhana bagaimana dengan sekolah? Begitu banyak persoalan yang
dapat kita daftarkan dalam rumah pikiran kita.
Kita tentunya sepakat, bahwa sekolah adalah salah satu wadah pendidikan.
Kita juga tentunya tidak pernah berfikir, sebagai wadah pendidikan sekolah
pastilah menomorsatukan yang namanya pendidikan. Pendidikan yang dimaksud jelas
bukan hanya sebatas guru dan murid. Tetapi lebih luas dari yang kita bayangkan
selama ini. Guru dengan guru. Manajemen dengan guru. Kepala sekolah dengan
guru, dan lain sebagainya.
Terkadang kita merasa miris, ketika sebuah kesalahan yang terjadi di dalam
sekolah atau di dunia pendidikan, selalu guru yang menjadi korban. Murid yang
tidak naik kelas, karena guru yang lemah dalam mengajar. Nilai murid yang
rendah karena guru yang tidak profesional. Murid yang sedikit mendaftar ke
sekolah, karena dianggap kualitas guru yang rendah. Dana bantuan pendidikan
yang tidak cair, karena guru yang tidak aktif, dan lain sebagainya. Tetapi,
jika sebuah keberhasilan bertandang ke sekolah, nama guru hampir, kalau kita
enggan mengatakan mustahil, didengungkan.
Siswa berhasil karena anaknya memang luar biasa, atau karena orangtuanya.
Siswa banyak yang lulus karena kepala sekolahnya. Siswa banyak yang mendaftar
karena manajemen sekolah yang solid, dan seterusnya. Padahal beban yang
diberikan kepada guru, lebih berat dari tukang bangunan. Lebih menyedihkan dari
tukang sapu jalanan. Lebih lama dari penjaga malam, dan seterusnya.
Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa terkadang ada juga yang mengakuinya,
tetapi dengan “upah” yang paling mahal. “Hadiah” yang paling menarik.
“Penghargaan” yang luar biasa, yaitu : Terimakasih, Pak. Terimakasih, Bu.
Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, selalu dan kerap terjadi hukuman berupa
pemotongan dan ancaman pemecatan. Beribu siswa yang telah dilahirkan menjadi
orang-orang besar. Orang-orang sukses. Tetapi dengan satu kesalahan yang
disengaja atau tidak, semuanya itu menjadi tidak berguna samasekali dengan
adanya pemotongan atau ancaman pemecatan.
Terkadang juga selalu dibanding-bandingkan tingkat keberhasilan guru dengan
sekolah lain. Tidak pernah sekalipun pihak sekolah membuat perbandingan tingkat
kesejahteraan dengan sekolah lain, seolah guru-guru adalah mahkluk individu
yang tidak memiliki keluarga. Jika kita mengikuti seminar atau
pelatihan-pelatihan pendidikan, kita terharu. Sehingga pertanyaan-pertanyaan
kembali muncul seberapa seringkah Malaysia melaksanakan seminar. Seberapa rajinkah
Jepang melakukan pelatihan-pelatihan. Teori kita untuk meningkatkan pendidikan
dan kesejahteraan guru luar biasa hebat. Lalu, bagaimana dengan praktiknya?
Pernah sekali waktu saya berdialog ringan dengan seorang teman. Ada satu
pernyataannya yang mengejutkan saya. “Indonesia kalau mau maju hanya ada satu
cara basmi korupsi sampai ke akar-akarnya!” Lantas saya bertanya, “Bagaimana
caranya?” Lagi-lagi ia menjawab juga membuat bulu kuduk saya berdiri. “Dengan
bencana besar yang membuat manusia di Indonesia tidak tersisa.” Wah, sebegitu
pesimisnya kita menatap masa depan Indonesia? Masa depan pendidikan kita?
Tetapi, kenyataannya memang tidak bisa dipungkiri. Bantuan untuk guru saja dipotong
oleh berbagai lapisan. Di dinas nasional sekian. Di dinas provinsi sekian. Di
dinas kabupaten/kota sekian. Di sekolah sekian? Lebih menyedihkan lagi bantuan
yang jelas cair itu malah tidak diberikan kepada guru yang bersangkutan.
Alasannya? Salahsatunya tentu dicari-cari, padahal hanya sentimen pribadi. Itu
bantuan pemerintah. Apalagi bantuan dari sekolah.
Dalam setiap kesempatan, sekolah selalu disamakan dengan perusahaan. Di
sana selalu dikatakan siswa adalah nasabah yang harus dilayani semasikmal mungkin.
Padahal jika kita memang mengacu ke perusahaan tentu ada uang lembur, tentu ada
kesejahteraan. Di perusahaan loyalitas diimbangi dengan kesejahteraan. Tetapi,
di sekolah? Loyalitas hanya ditandai dengan pengab-dian.
Jika guru melakukan kesalahan wajar jika diberi hukuman, tentu sebelumnya
dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan dunia pendidikan. Lantas, jika guru
memberikan kesuksesan, janganlah sekadar
ucapan terimakasih atau dengan sebungkus makanan. Guru punya keluarga. Guru
juga manusia. Guru bukanlah makhluk yang nasibnya jauh lebih buruk dari
binatang peliharaan.
Bagaimana nasib pendidikan mau maju jika guru dipenuhi beban sedemikian,
perut lapar, anak tak mendapatkan susu tambahan, rumah kontrakan menunggak
setiap bulan, setiap mengajar selalu menerima ancaman jika tidak melaksanakan
tugas tambahan. Apalagi jika berjumpa dengan pemimpin yang memanfaatkan
jabatannya memerintahkan sesuatu yang spontan tanpa memahami secara benar tugas
dan fungsi yang digariskan. Istilah barunya “NOJAIM”. Kita tentunya faham
maksud itu, tetapi jangan sampai merusak atau menjadi disharmoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar