POLITIK, SENIMAN
dan TELUR
Oleh : M. Raudah
jambak
Bicara seni, kembali kita diarahkan pada kemajemukan pandangan. Biasa, jika
dalam sebuah pembicaraan seni kita (terlalu) kritis ketika mengemukakan
pendapat. Tetapi, tunggu dulu. Kritis dalam pembicaraan, atau kritis dalam
perbuatan? Demikian yang tercatat, ketika diskusi dengan Saut Situmorang dan
Katherine bandel, di Galeri Payung Teduh bekerja sama dengan Komunitas Sastra
Indonesia Sumatera Utara (Selasa, 14/06), yang dimoderatori oleh Idris
Pasaribu.
Seperti yang pernah tercatat, bahwa dalam revolusi kemerdekaan kesadaran
geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di
lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil
Anwar, dll. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Tetapi hasil dari
revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat.
Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang
dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer
dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah.
Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara.
Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi).
Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme.
Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi
belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi
dengan Malaysia) menyadari bahwa karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan
dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah
pergaulan bangsa-bangsa. Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi
Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau
di Indonesia belum mempunyai nama.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data
di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. ”Tulis! Suatu saat berguna,” kata Bung Pram dengan
suara tinggi bergetar. Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan
muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Sampai saat ini,
Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi
sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar
kerjanya.
Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang
Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain,
menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari
hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia. Para
sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing.
Kita mengenal Umar Kayam menulis ”Seribu Kunang-kunang di Manhattan”.
Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu
kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip
lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang
mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil.
Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi
AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti
suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita.
Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia,
dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya
ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah
mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun
puisi.
Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga
sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah
rakyat. Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang
dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk
amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata.
Tapi sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia.
Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan
sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di
beberapa majalah dan berkala sastra, ia memuat karya-karya sastra dari (calon)
pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang
diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi
potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya
(1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia.
Dari hasil karya, tentunya telah banyak yang diperbuat oleh budayawan
ataupun seniman. Walaupun, masih perlu kita pertanyakan kembali jiwa
kesenimannya. Terlalu sederhana mungkin pemikiran saya, bahwa seniman dengan
kata dasar seni, yang identik dengan keindahan atau (mungkin) harmonisasi,
tentu jauh dari sifat iri, sombong, merasa lebih baik dari orang lain, terlalu
mengelu-elukan (berlebihan) dengan apa yang telah diperbuat, sehingga
mengecilkan malah menghilangkan apa yang telah diperbuat orang lain.
Seniman tentu juga memiliki tingkat kesadaran tinggi, bahwa apa yang telah
diperbuat nya adalah hadiah kemanusiaan. Artinya, seorang seniman (seperti yang
diungkapkan Togu Sinambela), misalnya seniman lukis merasa berdosa jika tidak
melukis. Begitu juga seniman yang lain merasa miris dengan perekembangan seni
yang berjalan di tempat, tetapi begitu ada keinginan untuk melakukan perobahan,
jalan mereka menjadi buntu.
Pemerintah, Tokoh, Lembaga, dll, selalu menjadi sasaran, ketika kegiatan
seni man deg. Pertanda apa ini? Saya setuju seperti yang dikemukakan Saut,
bahwa sebenarnya bukan persoalan eksternal yang perlu kita perbincangkan. Tetapi,
persoalan internal yang harus kita tanggulangi secara lebih serius. Selalu
mengemukaka persoalan, bahwa seniman tidak peduli. Selalu muncul pertanyaan,
mana seniman? Yang perlu dipertanyakan siapa yang memper tanyakan itu? Seniman?
Saya jadi teringat dengan ayam betina yang baru saja bertelur. Satu butir
telurnya, tetapi hebohnya cukup memekakkan telinga satu kampung. Bayangkan,
jika telur yang dihasil kan banyak. Berapa besar suara yang dihasilkan.
Begitupun seniman telur itu masih jauh lebih berarti dibandingkan seniman
bunglon. Jika seniman angkat telur, jelas yang diangkatnya. Seniman pegang
telur, jelas yang dipe gangnya. Seniman selentik ataupun remas telur juga
jelas. Tetapi, seniman bunglon? Kita selalu ragu terkadang apakah dia seniman
apa tidak. Karena setiap pergerakannya selalu dalam wilayah kepentingan.
Seniman dalam rangka.
Nah, cukup arif saya kira Idris Pasaribu dalam menutup diskusi sore itu.
Biarkanlah mereka begini dan begitu asal jangan kita. Seniman yang dekat dengan
pemerintahan, yang menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan keluarganya, secara
tidaka langsung kita ikut membantu keberlangsungan hidup mereka. Berkaryalah.
Biarkan karya yang bicara. Bukan demo. Bukan demonstrasi, karena toh di
Sumatera Utara hal-hal seperti itu juga masih berbau kepentingan. Introspeksi
kejelekan kita, pelajari kelebihan orang lain. Lebih baik berkarya daripada
mencela. Bukankah begitu? Demikian.
*Penulis adalah Direktu
Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar