Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

MENJADI GURU (SASTRA) ANTARA PILIHAN DAN KETERPAKSAAN



M. Raudah Jambak
MENJADI GURU (SASTRA) ANTARA PILIHAN DAN KETERPAKSAAN

Saat selesai dari pendidikan Sekolah Menegah Atas atau sederajat, seorang anak didik akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jenjang yang dipilih oleh kebanyakan siswa adalah jenjang pendidikan yang bergengsi, seperti kedokteran, teknik atau pertanian. Ada juga yang mengambil ke jenjang pendidikan guru. Ketika memilih pendidikan guru, benarkah siswa tersebut ingin menjadi guru (sastra)? Sudah merupakan hal yang lazim, jika tamat dari pendidikan guru, tentu akan berprofesi menjadi guru (jika ia ingin bekerja). Masalah yang timbul kemudian, saat menjalani profesi guru, mulai timbul permasalahan hidup yang berkaitan dengan profesinya tersebut, misalnya kesejahteraan yang tidak memadai, ditambah lagi pekerjaan seorang guru dikatakan cukup berat bahkan ada yang mengatakan pekerjaan paling berat di dunia.
Menurut Handoko (1992), dari sekian banyak siswa yang memilih pendidikan guru, seringkali terdapat juga mereka-mereka yang sebenarnya tidak mempunyai motivasi menjadi guru dalam arti motivasi yang mereka kurang sesuai dengan tujuan pendidikan guru. Mereka memang menimba ilmu pendidikan guru tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud menjadi guru. Alasannya antara lain karena tidak diterima di universitas atau institut pendidikan yang berstatus negri, ada yang dipaksa oleh orang tua, atau karena ekonomi yang lemah, sehingga mereka terpaksa masuk ke sekolah pendidikan guru yang mereka anggap dapat mengatasi atau menyelesaikan persoalan tersebut di atas. Dalam beberapa kasus, di dalam diri mereka tidak terdapat motivasi untuk menjadi guru. Meskipun demikian, motivasi menjadi guru baru timbul ketika mereka sudah tamat dari pendidikan guru atau sudah menjabat profesi guru. Hal senada yang dituliskan oleh Yulirahmawati (2008) yang melakukan riset mengenai motivasi menjadi guru dengan koresponden mahasiswa master dan doctoral dari bebeapa negara dimana sebagian dari mereka (koresponden) memiliki motivasi menjadi guru setelah beberapa tahun mengajar sebagai guru. Habnoer (2007) juga menuliskan hasil penelitian BALITBANG DEPDIKNAS bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas guru adalah karena mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan guru hanya karena takut tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya
Akan tetapi, dari beberapa kasus di Indonesia, motivasi menjadi guru ini kembali menjadi pertanyaan ketika mereka sudah merasakan bagaimana sebenarnya kehidupan seorang dengan profesi guru. Apakah mereka akan terus termotivasi menjadi guru atau menarik dari dari dunia profesi guru ketika status sosial, kebutuhan dan kesejahteraan mulai ”angkat bicara”? Pada awalnya, ketika mereka memilih memasuki pendidikan guru, mungkin ada di antaranya murni memilih pendidikan guru, mungkin juga karena terpaksa seperti yang dibicarakan di atas. Munculnya dilema antara kebutuhan dan pilihan menjadi guru terus berkembang dan menjadi wacana di tingkat dunia pendidikan. Mulailah timbul tuntutan-tuntutan dari guru yang berkenaan dengan tingkat kesejahteraan. Demo ke pemerintah (pendidikan) sampai ada yang mogok mengajar. Alhasil, anak didik terkena dampak. Damapak yang bisa merusak mental anak didik. Tentunya kita tahu, jika guru tidak lagi mempunyai motivasi untuk mendidik, tidak lagi mendidik dengan sepenuh hati, maka pendidikan di negara kita akan hancur yang selanjutnya bangsa Indonesia pun akan terpuruk, menjadi bangsa yang terbelakang. Jadi, dengan demikian motivasi menjadi guru masih dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar ingin menjadi guru atau karena alasan lainnya?
Sudah kita ketahui bahwa ketika seseorang memilih profesi guru belum tentu menekuni dengan benar profesinya tersebut. Pilihan profesi guru bisa jadi pilihan alternatif atau terakhir. Dunia pendidikan tentunya tidak menginginkan orang-orang yang menempuh pendidikan keguruan adalah orang-rang yang tidak lulus dengan pilihan utamanya karena apabila pilihan guru terpaksa diambil, maka unsur keterpaksaan akan terbawa ketika ia menjadi guru. Keterpaksaan akan semakin terasa ketika tingkat kesejahteraan guru menjadi dilema dalam kehidupannya. Keterpaksaan sebagai guru akan memberi dampak buruk bagi dunia pendidikan khususnya bagi anak didik yang bermuara kepada keterpurukan dunia pendidikan kita.         
Sudah berkali-kali kita mendengar bagaimana nilai karakter budaya selalu diagung-agungkan dalam setiap mata pelajaran, pun mata kuliah. Lalu, ketika masuk ke persoalan sebenarnya hal itu seolah senyap. Padahal, pelajaran sastra justru membawa guru dan anak didik bagaimana menjadi manusia yang memiliki pola pikir yang halus dan santun. 
            Memang butuh kepekaan ketika memahami sastra sebagai media melatih nalar agar mampu menyikapi hidup dan kehidupan. Belajar memanusiakan manusia. Dan disinilah pernan guru yang terpenting. Jika hal itu sudah terlaksana dengan semestinya, saya yakin tak akan ada lagi yang namanya aksi anarkis seperti tawuran atau keterlibatan pada narkoba, dsb.
            Persoalan sebenarnya memang kurangnya kesepahaman antara pihak sekolah, guru dan siswa memahami, menterjemahkan dan menafsirkan nilai-nilai karakter dalam setiap mata pelajaran yang sebenarnya memang sudah ada, terutama sastra. Bagaimana pantun adalah salah satu media menyampaikan nasehat atau ajaran secara lembut. Majas menjadi pembungkus kata-kata atau kalimat yang dianggap kasar. Pribahasa yang membawa manusia menjadi paham memaknai hidup dan kehidupan. Dan guru sastra tentu memiliki kemampuan untuk itu.
Maka, ketika guru terlalu memikirkan pamrih dan status, maka fungsinya sebagai seorang pendidik tentu tidak akan dijalani dengan baik. Guru akan malas mengajar karena memikirkan biaya hidupnya yang pas-pasan ditengah kebutuhan ekonomi yang semakin sulit atau mengharapkan apresiasi yang lebih dari masyarakat. Lantas, kenapa seorang memilih menjadi guru sementara ia tahu bahwa kesejahteraan guru cukup memprihatinkan? Ditambah lagi dengan rutinitas guru yang cukup sibuk dengan tugas-tugas yang cukup berat. Saat seorang guru melihat orang dengan profesi dokter atau insinyur yang kesejahteraannya baik bahkan berlebihan, dan dipandang ”hebat” oleh masyarakat, mungkinkah timbul penyesalan dalam dirinya yang telah menjalani profesi guru? Apakah menjadi guru sudah merupakan jalan hidupnya atau keterpaksaaan karena tidak mempunyai pilihan kerja yang lain? Jika terus mempertanyakan nasibnya sebagai guru, kapan lagi ia mempertanyakan nasib anak didiknya yang tidak mendapat pendidikan dengan baik? Apa yang harus dilakukan seorang guru dalam kondisi ini? Terus mengajar dengan keterpaksaaan atau memantapkan dirinya menjalani profesi tersebut? Melihat banyaknya persoalan-persoalan di dalam kehidupan seorang guru,  masihkah ia tetap ingin menjadi guru? Semua berpulang pada kita. Salam.
Penulis adalah Guru Sastra/Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar