M. Raudah Jambak
MENJADI GURU (SASTRA) ANTARA PILIHAN DAN
KETERPAKSAAN
Saat selesai dari pendidikan Sekolah
Menegah Atas atau sederajat, seorang anak didik akan melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Jenjang yang dipilih oleh kebanyakan siswa adalah
jenjang pendidikan yang bergengsi, seperti kedokteran, teknik atau pertanian.
Ada juga yang mengambil ke jenjang pendidikan guru. Ketika memilih pendidikan
guru, benarkah siswa tersebut ingin menjadi guru (sastra)? Sudah merupakan hal yang lazim, jika tamat dari pendidikan guru, tentu
akan berprofesi menjadi guru (jika ia ingin bekerja). Masalah yang timbul
kemudian, saat menjalani profesi guru, mulai timbul permasalahan hidup yang
berkaitan dengan profesinya tersebut, misalnya kesejahteraan yang tidak
memadai, ditambah lagi pekerjaan seorang guru dikatakan cukup berat bahkan ada
yang mengatakan pekerjaan paling berat di dunia.
Menurut Handoko (1992), dari sekian banyak
siswa yang memilih pendidikan guru, seringkali terdapat juga mereka-mereka yang
sebenarnya tidak mempunyai motivasi menjadi guru dalam arti motivasi yang
mereka kurang sesuai dengan tujuan pendidikan guru. Mereka memang menimba ilmu pendidikan
guru tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud menjadi guru. Alasannya antara
lain karena tidak diterima di universitas atau institut pendidikan yang berstatus
negri, ada yang dipaksa oleh orang tua, atau karena ekonomi yang lemah,
sehingga mereka terpaksa masuk ke sekolah pendidikan guru yang mereka anggap
dapat mengatasi atau menyelesaikan persoalan tersebut di atas. Dalam beberapa
kasus, di dalam diri mereka tidak terdapat motivasi untuk menjadi guru.
Meskipun demikian, motivasi menjadi guru baru timbul ketika mereka sudah tamat
dari pendidikan guru atau sudah menjabat profesi guru. Hal senada yang
dituliskan oleh Yulirahmawati (2008) yang melakukan riset mengenai motivasi
menjadi guru dengan koresponden mahasiswa master dan doctoral dari bebeapa
negara dimana sebagian dari mereka (koresponden) memiliki motivasi menjadi guru
setelah beberapa tahun mengajar sebagai guru. Habnoer (2007) juga menuliskan
hasil penelitian BALITBANG DEPDIKNAS bahwa salah satu penyebab rendahnya
kualitas guru adalah karena mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan guru
hanya karena takut tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya
Akan tetapi, dari beberapa kasus di
Indonesia, motivasi menjadi guru ini kembali menjadi pertanyaan ketika mereka
sudah merasakan bagaimana sebenarnya kehidupan seorang dengan profesi guru.
Apakah mereka akan terus termotivasi menjadi guru atau menarik dari dari dunia
profesi guru ketika status sosial, kebutuhan dan kesejahteraan mulai ”angkat
bicara”? Pada awalnya, ketika mereka memilih memasuki pendidikan guru, mungkin
ada di antaranya murni memilih pendidikan guru, mungkin juga karena terpaksa
seperti yang dibicarakan di atas. Munculnya dilema antara kebutuhan dan pilihan
menjadi guru terus berkembang dan menjadi wacana di tingkat dunia pendidikan.
Mulailah timbul tuntutan-tuntutan dari guru yang berkenaan dengan tingkat
kesejahteraan. Demo ke pemerintah (pendidikan) sampai ada yang mogok mengajar.
Alhasil, anak didik terkena dampak. Damapak yang bisa merusak mental anak
didik. Tentunya kita tahu, jika guru tidak lagi mempunyai motivasi untuk
mendidik, tidak lagi mendidik dengan sepenuh hati, maka pendidikan di negara
kita akan hancur yang selanjutnya bangsa Indonesia pun akan terpuruk, menjadi
bangsa yang terbelakang. Jadi, dengan demikian motivasi menjadi guru masih
dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar ingin menjadi guru atau karena alasan
lainnya?
Sudah kita ketahui bahwa ketika seseorang
memilih profesi guru belum tentu menekuni dengan benar profesinya tersebut. Pilihan
profesi guru bisa jadi pilihan alternatif atau terakhir. Dunia pendidikan
tentunya tidak menginginkan orang-orang yang menempuh pendidikan keguruan
adalah orang-rang yang tidak lulus dengan pilihan utamanya karena apabila
pilihan guru terpaksa diambil, maka unsur keterpaksaan akan terbawa ketika ia
menjadi guru. Keterpaksaan akan semakin terasa ketika tingkat kesejahteraan
guru menjadi dilema dalam kehidupannya. Keterpaksaan sebagai guru akan memberi
dampak buruk bagi dunia pendidikan khususnya bagi anak didik yang bermuara
kepada keterpurukan dunia pendidikan kita.
Sudah berkali-kali kita mendengar
bagaimana nilai karakter budaya selalu diagung-agungkan dalam setiap mata
pelajaran, pun mata kuliah. Lalu, ketika masuk ke persoalan sebenarnya hal itu
seolah senyap. Padahal, pelajaran sastra justru membawa guru dan anak didik
bagaimana menjadi manusia yang memiliki pola pikir yang halus dan santun.
Memang
butuh kepekaan ketika memahami sastra sebagai media melatih nalar agar mampu
menyikapi hidup dan kehidupan. Belajar memanusiakan manusia. Dan disinilah
pernan guru yang terpenting. Jika hal itu sudah terlaksana dengan semestinya,
saya yakin tak akan ada lagi yang namanya aksi anarkis seperti tawuran atau
keterlibatan pada narkoba, dsb.
Persoalan
sebenarnya memang kurangnya kesepahaman antara pihak sekolah, guru dan siswa
memahami, menterjemahkan dan menafsirkan nilai-nilai karakter dalam setiap mata
pelajaran yang sebenarnya memang sudah ada, terutama sastra. Bagaimana pantun
adalah salah satu media menyampaikan nasehat atau ajaran secara lembut. Majas
menjadi pembungkus kata-kata atau kalimat yang dianggap kasar. Pribahasa yang
membawa manusia menjadi paham memaknai hidup dan kehidupan. Dan guru sastra
tentu memiliki kemampuan untuk itu.
Maka, ketika guru terlalu memikirkan pamrih dan status,
maka fungsinya sebagai seorang pendidik tentu tidak akan dijalani dengan baik.
Guru akan malas mengajar karena memikirkan biaya hidupnya yang pas-pasan
ditengah kebutuhan ekonomi yang semakin sulit atau mengharapkan apresiasi yang
lebih dari masyarakat. Lantas, kenapa seorang memilih menjadi guru sementara ia
tahu bahwa kesejahteraan guru cukup memprihatinkan? Ditambah lagi dengan
rutinitas guru yang cukup sibuk dengan tugas-tugas yang cukup berat. Saat
seorang guru melihat orang dengan profesi dokter atau insinyur yang
kesejahteraannya baik bahkan berlebihan, dan dipandang ”hebat” oleh masyarakat,
mungkinkah timbul penyesalan dalam dirinya yang telah menjalani profesi guru?
Apakah menjadi guru sudah merupakan jalan hidupnya atau keterpaksaaan karena
tidak mempunyai pilihan kerja yang lain? Jika terus mempertanyakan nasibnya sebagai
guru, kapan lagi ia mempertanyakan nasib anak didiknya yang tidak mendapat
pendidikan dengan baik? Apa yang harus dilakukan seorang guru dalam kondisi
ini? Terus mengajar dengan keterpaksaaan atau memantapkan dirinya menjalani
profesi tersebut? Melihat banyaknya persoalan-persoalan di dalam kehidupan
seorang guru, masihkah ia tetap ingin
menjadi guru? Semua berpulang
pada kita. Salam.
Penulis adalah Guru Sastra/Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar