M.
RAUDAH JAMBAK
DARI
KATA OLEH KATA UNTUK SIAPA?
Sastra adalah bangunan besar bagi puisi, prosa dan
naskah drama. Sebagai sebuah bangunan tentu ia harus memiliki fondasi yang
terukur dan kuat. Jika fondasinya tidak terukur dan kuat, maka tentu karya
sastra sebagai sebuah bangunan yang kuat itu akan rubuh, bahkan hancur.
Struktur atau fondasi dari bangunan
sastra itu tentunya adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Mungkin juga kita
mengenalnya sebagai struktur batin dan fisik di dalamnya. Effendi
mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra
secara sunguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan
pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra
(Aminuddin, 2004:35). Cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai unsur yang
sangat kompleks, antara lain (1) unsur keindahan, (2) unsur kontemplatif yang
berhubungan dengan nilai-nilai renungan keagamaan, filsafat, politik, serta
berbagai kompleksitas permasalahan kehidupan; (3) media pemaparan, baik berupa
media kebahasaan maupun struktur wacana, serta (4) unsur intrinsik yang
berhubungan dengan karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks
(Aminuddin, 2004: 38).
Struktur adalah sesuatu yang disusun dengan cara
atau pola tertentu untuk menjadikan suatu bentuk. Struktur cerpen adalah
sesuatu unsur yang disusun dengan cara tertentu sehingga menjadi sebuah
cerpen. Begitu pula dengan puisi dan naskah drama, sehingga membentuk cerpen,
puisi dan naskah drama secara fisik atau yang dapat dilihat oleh mata.
Selanjutnya (Naskah) drama. Untuk yang satu ini kita
harus mampu membedakan drama sebagai sebuah pertunjukan dengan teks-teks drama
yang tertulis. Sebagai sebuah pertunjukan kita masih dapat meninjau dari segi
artisktik dan non-artisitiknya. Sementara tinjauan teks ia memiliki wilayah
yang berbeda.
Karya sastra prosa dan drama memiliki unsur intrinsik
serta unsur ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur
intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Akhirnya, kita sebelum bergelut dan
menentukan pilihan harus memahami secara kuat tentang pemahaman kita terhadap
fondasi bangunan sastra ini. Mungkin kita akan lebih memilih puisi tinimbang
prosa, atau malah lebih asyik menulis naskah drama.
Sartre pernah
bertutur, seseorang disebut pengarang bukan karena ia telah mengatakan sesuatu,
melainkan karena ia telah memilih untuk mengatakan dalam suatu cara tertentu.
Seseorang dikatakan pengarang, bila ia telah memilih medium untuk mengatakan
sesuatu (ide maupun intuisi).
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan
sikap bagi penulis. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari
karya yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) – yang menurut
saya – tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya itu dapat mencapai puncak imanen karena ia telah melalui proses katarsis.
Hal yang terpenting, karya itu dapat
menggambarkan banyak hal tanpa harus menghujat, apalagi
memplagiat. Karya sastra(puisi, prosa, dan naskah drama), meskipun bersifat sosial kontrol, tetap saja dengan pendekatan
humanistis, sehingga memungkinkannya jadi universal. Sebab, sesugguhnyalah
esensi sastra untuk membawa pembacanya kepada proses katarsis (penyucian diri).
Apapun
ceritanya, ide yang baik harus tetap didukung. Persoalannya adalah apakah kita
lebih memilih berpuas diri dengan apa yang ada, tanpa adanya upaya untuk
mengasah segenap kemampuan untuk lagi, lagi, lagi menjadi lebih baik? Atau
justru jatuh lebih dalam dan terpuruk dengan kebanggaan nisbi?
Nah,
membaca Serabut Seribu Kata, di Sini, kita seolah membaca ‘kesederhanaan’
pikiran. Buku yang berisi 24 cerpen dan 15 puisi ini merupakan karya Komunitas
Mahasiswa Pencinta Sastra Indonesia
(KOMPSI). Kesederhanaan itu tentunya
tidak hanya sekadar konsistensi, arisan kata-kata, diksi, gaya bahasa, dsb.
Mungkin bisa lebih dari itu, atau tidak lebih dari dua. Bisa saja justru
ambiguitasnya yang terlalu wah. Sehingga muncul pernyataan, Aku mengerti
perkataanmu, tetapi aku tidak mengerti
maksudmu. Atau aku mengerti maksudnya, tetapi aku tidak bisa menjelaskannya
(mengatakannya). Mungkin juga aku tak
mengerti perkataanya, tetapi aku bisa menjelaskannya. Semacam perjalanan uap air dan menjadi hujan, Dalam perjalanannya dari atmosfer ke luar,
air mengalami banyak interupsi. Sebagian dari air hujan yang turun dari awan
menguap sebelum tiba di permukaan bumi, sebagian lagi jatuh di atas daun
tumbuh-tumbuhan (intercception) dan menguap dari permukaan daun-daun. Air yang
tiba di tanah dapat mengalir terus ke laut, namun ada juga yang meresap dulu ke
dalam tanah (infiltration) dan sampai ke lapisan batuan sebagai air tanah.
Mari
kita telisik perlahan beberapa bagian dari cerpen pada antologi ini. Saat
kuterbangun dalam sepi, kulihat serpihan-serpihan duka menyelimutiku. Menggerogoti setiap denyut nadiku dan aku
hanya diam. Diam tersudut dan terisak tanpa kata yang terucap pasti. Tangis dan
dukaku lihat di sepanjang waktu, biar itu pagi, siang, maupun malam, tanpa
kenal lelah air mata terus membanjir di sudut-sudut kota. Kulihat mayat
bergelimpangan tanpa penutup, bayi-bayi terbuang seperti onggokan sampah dan
orang-orang tua meratapi pendampingnya di setiap jalan yang kulewati. Ini
adalah peperangan antarbangsa. Si baik dan jahat, si benar dan salah dan di
setiap tumpukan mayat itu hanyalah bagian kecil dari peperangan ini.
Ade
Irma Suriyani membuka cerpen Lilin Kecil-nya
dengan kegamangan pikiran. Ia ingin bercerita tentang dirinya, oranglain, atau
apa? Ide cerita yang sebenarnya menarik ini kurang dideskripsikan dengan apik.
Judul Lilin Kecil sudah mengisyaratkan kepada kita betapa sikap rela berkorban
memang diperlukan dalam setiap perjuangan. Hanya saja penggambaran yang acak
itu justru lebih mengemuka. Dan akhirnya, Ade lebih memilih pasrah dengan
ketidak berdayaannya.
Dengan
ketidakberdayaannya itulah Ade menutup ceritanya, Lautan yang kusangka indah karena air biru
yang mengalir harmonis kini berubah menjadi lautan mayat yang mengalir dengan darah dan air mata. Dan aku hanya
mampu duduk di sudut kegelapan sampai ajalku tiba.
Gambaran
judul, pembuka dan penutup cerita yang gamang ini terasa juga pada cerpen
Bisakah Dia Romantis (Afrina Lestari), Dua Kepompong Pembeda (Agus Syahputra),
Dengan Seluruh Rasa Sayang (Albina Seftipo), Gaun pengantin(ku)(Aswita
Simarmata), Duka Untuk Suka yang Sejati (Beatrix F. Simbolon), Jadi, Apa yang
Terjadi (Faishal Arief D.W.), Air Mata Orang Tuaku (Jefrany Mely Silaen),
Jangan Sesali Citaku, Dinda (Jekky Gunawan Sinaga), Manusia Setengah Anjing
(Josef fernando Sitorus), Ternyata (Minda sari Nst), Aku dan Mereka (Novalina
Siagian), Bakri (Putri Rizki Adriani), Di Balik ‘Mutiara Dari Toba’(Rimbun
Nadeak), Rahasia di Balik Mobil Mini Cooper (Salmiah), Wajah Tanpa Bingkai
(Sari Uli Octaria Panggabean), Malam (Sri Rezeki Manalu), Geleng, Oh Geleng (Sri
Wahyuni Tarigan), Terangku Belum Habis (Willie E. Firdaus), Hanya Tiga Permohonan (Yuli E. Sinaga), dll.
Sebagai
sebuah karya, sastra mau tak mau menuntut kejujuran. Minimal kejujuran mau
kemana karya kita arahkan. Apakah untuk bagian dari kebutuhan? Mengejar Nilai?
Atau sekadar untuk mencari nama? Untuk hal yang terakhir ini terkadang moral
berkarya pada kahirnya diabaikan. Segala cara pun dilakukan, termasuk dengan
memindahkan sebahagian atau keseluruhan karya oranglain seolah itulah karya
asli kita.
Kejujuran
berkarya itu sebanding dengan totalitas yang kita lakukan. Misalnya, pemilihan
bahan, referensi, penentuan judul, eyd, unsur-unsur yang dibangun, paragraf
pembuka, alur yang disusun, pilihan kata, termasuk menutup cerita.
Kejujuran
berkarya juga termasuk dalam hal kesabaran dalam proses berkarya. Tentunya
dengan banyak membaca, membaca, membaca, menulis, endapkan, edit, tulis, lalu
pada akhirnya mau dipublikasikan atau tidak. Jadi, bukan sim salabim....
Betapa riskannya ketika sebuah karya hadir
justru menjadi boomerang dan batu sandungan buat kita. Tanda baca, Kata atau
kalimat serta paragraf yang tertulis tanpa edit berulang disadari atau tidak
justru akan mengganggu keutuhan karya yang kita tuliskan. Misalnya, kulihat serpihan-serpihan duka
menyelimutiku, Aku mengangguk pelan dan membiarkan Zaka menggandeng tanganku.
Ada yang janggal saat itu kurasakan. Ya. Saat kutahu Zaka mau menggandengku,
Sementara Ibu, diam saja di dalam rumah sambil ngomel-ngomel penuh emosi, Mata
kelamnya kelihatan begitu kaget, “Sabar bentar ya sayang, bentar lagi dah
keluar nih.” Matahari yang memancar dengan warna keemasan dengan udara yang penuh sesak
asap kendaraan, tapi tak baik
mencurigai keluarga sendiri yang ada hanya membuat kerikil kecil itu
menghancurkan pondasi keluarganya, tidak ada hari tanpa berpeluk di bawah terik
matahari, Detak jantungku mengalahkan setiap dentuman jarum jam yang berada di
atas lemariku, Selaksa garis tengah terbayangku pada dinda yang juga tak lekang
selama 9 tahun, “Anjrid! Jangan Anda ganggu lagi hidup saya, sekali lagi anda
menelpon, saya masukkan Anda ke penjara, Taik.” Makiku sembari membantingkan HP
ke lantai, ”Eh, Nes! dia ngeliatin kamu tuh!” kata Naomi sambil tersenyum ke arah
Tito, sang ketua OSIS yang jadi gebetan of the month-nya Naomi, Kusenggol pinggangnya. Dia mengaduh, Aku tidak
ingin melepas pelukan ini agar kami selalu bisa begini selamanya, Aku menangisi
Bakri semalaman sampai akhirnya kami mengantarnya ke peristirahatan terakhir, Hari ini semua
crew dari Cinema Club bersama pemeran-pemeran dalam film yang akan diluncurkan
berangkat ke lokasi syuting, Aku langsung
menuju ke kamar mandi, bersiap-siap pergi mengantarkan jahitan ini ke Pasar
Serba, Semakin lesap kian lusap terlihat jelas pada mimik wajah,
Aku tidak tahu harus merangkai kata darimana, Di kala ada pesta di kampung Kuta
Jurung, dia selalu sibuk membantu, Aku lama tak melihatmu tersenyum. Kini aku
menyaksikanmu tertawa-tawa, menendang-nendang pasir ke arahku dan kita
berkejaran, meninggalkan tapak kaki, Dalam guyatan
cahaya lampu binar-binar serta alunan musik yang menggugah untuk menari, terus
saja kumenari sampai hilang sadar dan gumamanku, Udara dingin menyelinap masuk ke ruangan lewat jendela
kaca yang sebagian tersingkap tirainya, Rasa pahit itu keluar saat mengunyahnya dalam mulut
sambil menyernyitkan hidung menahan rasa yang tak kusukai itu, Awalnya dingin,
kami yang hanya berbincang seadanya.
Ada bagian-bagian tertentu yang sering kita lupakan,
selain persoalan penggunaan tanda baca, kata, kalimat, maupun penyusunan
paragraf secara teknis. Termasuk juga yang sering kita lupakan adalah
konsistensi unsur-unsur yang membangun cerpen itu sendiri. Misalnya, persoalan
analisis tokoh (perwatakan/karakternya), kohesi dan koherensi antar paragraf,
lompatan-lompatan pemahaman, pendeskripsian latar, terutama sering mengabaikan
per-soalan tempatan yang berakibat kepada penggunaan istilah, seperti : Loe,
lu, gue,gua, anda, hoga-hoga, dsb.
Apapun ceritanya
patut pula kita pahami, tidak
ada yang lebih sulit atau lebih mudah. Atau merasa lebih baik puisi daripada
cerpen, cerpen dibandingkan naskah drama, dst. Ia memiliki kekuatan
masing-masing. Bukan hanya sekadar berdasarkan selera, tetapi ada hal-hal lain
yang harus kita pertimbangkan. Pada intinya berkaryalah. Biarkan pembaca menilai
atau mengkritik. Sebab, sebuah karya yang lahir dan telah dipublikasikan,
berarti sudah menjadi hak pembaca untuk memberikan penilaiannya. Biarkan karya
itu menemukan takdirnya sendiri. Apakah tercatat di etalase ‘megah’ sastra.
Atau kemunginan paling buruk, di tong sampah yang berkarat dan lapuk sebelum
waktunya. Yang penting belajar dan terus belajar. Bukankah belajar merupakan
sebuah proses bagaimana kita bertahan hidup?
Setelah kita mendarat pada 24 hamparan cerpen yang ada,
selanjutnya mari kita menyelinap pada celah baris-baris puisi yang hadir. Ada
15 puisi yang termaktub dalam antologi SERABUT SERIBU KATA, DI SINI.
Puisi-puisi yang hadir adalah karya Afrina Lestari (dua
puisi), Agus Syahputra (dua puisi), Aswita Magdalena Simarmata (tiga puisi),
Beatrix Fitriana Simbolon (dua puisi), Faisal Arief D.W. (tiga puisi), Josef
fernando Sitorus (dua puisi), Novalina Siagian (dua puisi), Putri Rizki Adriani
(dua puisi), Rimbun Nadeak (dua puisi), Sri Wahyuni Tarigan (dua puisi), Sri
Rezeki Manalu (dua puisi), Sari Uli Octaria (dua puisi), Salmiah (dua puisi),
Yuli Borsin (dua puisi), dan Willy Firdaus (dua puisi).
Ketika bertemu
denganmu/tak ada ruangan kosong dalam
jiwaku/dan waktupun berjalan begitu cepat/di antara sepoi angin/kita beradu
kasih/menyatukan hatimu dan hatiku, (Afrina, tidak
mengenal waktu).
PUISI tentu kita semua mengenalnya.
Minimal pernah membacanya. Tapi jangan lupa ada hal-hal terpenting disadari
atau tidak harus ada pada puisi. Tema/makna (sense), Rasa (feeling-latar
belakang sosial-psikologi), Amanat/tujuan/maksud (itention), dll. Sebagai
struktur batinnya.
Bangunan puisi
secara batin mungkin kurang lengkap rasanya jika tidak dilengkapi secara fisik.
Misalnya, tipografi, diksi, imaji, dsb. Karakteristik akan memberi kekuatan-kekuatan
lain atau muatan-muatan lain dalam puisi. Bisa saja dalam bentuk muatan lokal,
aliran, eksperimen, dst. Selain itu etika, estetika, dinamika, atau logika
tidak perlu dipungkiri akan mewarnai puisi itu.
Seperti yang selalu kita dengar,
bahwa bagaimana caranya sebuah karya mampu menembus ruang dan waktu. Karya
selalu bertahan sepanjang zaman. Tentunya karya itu mampu mewakili perasaan
semua orang (kelompok maupun lingkungan). Nah, jika hanya mewakili perasaan
pribadi, maka tentu ia akan tergerus dengan sendirinya. Apalagi tanpa
pertimbangan kadar emosi individunya. Dan jika terjadi hal yang demikian, maka
bersiaplah puncak kemunduran yang akan dicapai.
Saat
pertemuan itu/pancaran matamu penuh kerelaan/halusnya tanganmu penuh ikhlas/anggunnya sikapmu, tersipu malu/aku
suka itu, (Agus, Pertemuan).
Sebagai sebuah
karya bermakna ganda, keambiguitasan puisi menjadi tantangan tersendiri bagi
pekarya untuk menyampaikannya kepada pembaca. Bagaimana kursi tidak hanya
sebagai kursi, tetapi ia bisa menjadi simbol kekuasaan. Atau kita ingin menulis
tentang kursi tanpa harus mencatatkan kata-kata kursi di dalamnya. Dan tetap fokus. Begitu juga dengan merah,
selain sebagai warna, bisa juga sebagai ungkapan marah, tanda berhenti,
semangat, dsb.
Semua berebut lahan
dan tanah/kita semua jadi tanah nantinya, (Aswita, Pertikaian)
Penggunaan istilah terkadang
membuat penulis atau pembicara selalu khilap dengan makna dasar dari kata-kata
yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca atau pendengar mencoba memahami dan
memaklumi pemaknaan yang tertuang itu. Bombastiskah? Atau ambigu? Dalam pembicaraan
bahasa memang ada yang disebut dengan polisemi yang berarti satu kata banyak
arti, tetapi dia tidak terlepas dari makna dasarnya. Berbeda dengan homonim
yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama tetapi berbeda arti, hanya
saja tidak ada hubungan dengan makna dasarnya. Ada juga yang kita sebut dengan
sinestia yaitu perobahan nilai rasa pada pancaindera.
Hal-hal yang berkenaan dengan
persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah tata bahasa. Tetapi ketika kita
masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu memiliki pemahaman yang
berbeda pula. Di wilayah sastra, terutama puisi, bahasa hanya sebagai media. Ia
lebih cenderung kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan tersurat. Namun
demikian etika, estetika, dinamika, dan logika tentu tidak bisa kita
kesampingkan.
Wilayah-wilayah seperti ini yang
menyebabkan seorang penulis atau pembicara selalu luput memahaminya. Misalnya,
ketika seseorang membahas persoalan bahasa tentu ia harus masuk ke dalam wilyah
tersurat dalam hal pemaknaan. Namun, ketika ia mengkaji persoalan sastra
tentunya ia pun harus masuk ke dalam hal-hal tersirat, terutama persoalan
ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka akan muncul pro-kontra
pemahaman.
Pro-kontra pemahaman ini yang
sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki perannya sendiri, jika dibandingkan
dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan bahasa
isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda wilayah pemahaman. Bahasa tulisan
masuk kepada tataran konsep. Sementara bahasa lisan dan isyarat masuk kepada
wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa tindakan ini tentu
bisa kita pilah-pilah lagi ke wilayah yang berbeda pula.
Teriakan
dengan penuh lantang/menyanyikan keadilan/melantunkan kemakmuran/berpedang
janji/bertopeng kebajikan/janji...janji...janji.../omong kosong.../semua
berujung luka dengan lautan air mata/adil dan makmur hanya mimpi.....(Beatrix,
Omong Kosong).
Teks semu
dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobatik kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami
bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam
tajuk akrobatik kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati, pada
beberapa waktu yang lalu. Terlepas bahwa
polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa
teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis,
sastra adalah kebohongan.
Mungkin untuk memahami
puisi-puisi ini kita perlu membaca A. Teew, tergantung pada kata, terlebih
dahulu. Jika kita bicara persoalan
postmodenism, hermeneutika, atau
yang diusung Derrida, tentu sangat memusingkan.
Ku
lupa kapak luka,/kulupa kala luka,/kupalu ulu luka./ku palu ala kapak./kalap
aku!,(Faishal,
Pa-Lu Pa-Ku)
Beberapa waktu yang lalu begitu
merebaknya harvest di kalangan remaja dalam puisi. Lalu sekarang kita diajak
untuk masuk ke wilayah teenlit dalam cerpen sebagai pengganti short short
story. Perkawinan mengatasnamakan inovasi atau kreativitaspun bermunculan.
Apakah itu puisi sebagai puisi. Puisi berwajah cerpen. Cerpen berwajah puisi.
Esay puisi. Puisi esay, dsb. Pun termasuk lokal, etnis, dsb, sehingga
pembaharuan kata-kata klise semacam
pameopun bermunculan sehingga istilah kontemporer meluncur ke permukaan.
Hal itu sah-sah saja ketika diksi itu kita olah dengan daya ungkap yang khas
milik penulisnya sendiri, tanpa harus terpengaruh daya ungkap penulis-penulis
pendahulu yang telah menjadi ikon di tengah-tengah masyarakat (pembaca) sastra,
terkhusus puisi. Gemuruh di gunung semua tahu/gemuruh dihatiku siapa yang tahu.
Atau rambut sama hitam dalam hati siapa tahu.
Tiru-meniru dalam karya biasa.
Tapi, yang perlu diingat adalah kesetiaan dalam berproses. Hari ini kita
meniru, selanjutnya yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjadi diri sendiri.
Menjadi penemu. Bukan sekadar ada. Tapi hadir dan mengalir. Tidak hanya sekadar
menapak, tetapi meninggalkan jejak. Persoalannya apakah yang negatif atau
positif. Ingat sejarah akan terus mencatat. Karya akan membuatmu terkenal.
Rendah Hati akan menjadikannya abadi. Kesombongan akan mengahncurkannya
perlahan. Maka, teruslah mengasah diri untuk tetap terus berkarya. Salam.
Komunitas Home Poetry, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar