M. Raudah Jambak
MEMILIH TIDAK MEMILIH ADALAH PILIHAN
Kita adalah makhluk
cerdas yang porsi fisik dan psikisnya tentu berbeda dengan makhluk yang lain.
Kecerdasan itulah yang membuat manusia mampu menjadi seorang kreator. Sebagai
seorang kreator, manusia mampu
menjadikan peristiwa di sekitarnya menjadi kata, menjadi makna, menjadi
sesuatu. Termasuk menjadi ruh karya seni maupun karaya budaya. Dan kita bisa
menafsirkan ‘seuatu’ itu menjadi apa dan siapa saja. Tentu masing-masing punya
dasar pemikiran yang berbeda.
Dasar pemikiran yang
kita maksudkan adalah kejujuran berkarya. Dengan kata lain, motivasi apa yang
melatarbelakangi sesorang itu berkarya. Bisa karena uang, bisa karena ingin
terus mengasah ketajamannya berkarya, dan lain sebagainya. Apapun itu kreator
itulah yang tahu dan kita tidak berhak langsung memvonisnya harus begini dan
begitu. Seperti yang pernah disinggung oleh Hang Kafrawi.
Peristiwa yang terhampar
di alam ini merupakan ruh karya seni. Bukankah seniman ’pembajak’ yang handal
menjadikan hamparan peristiwa ’taman bunga’ tempat pikiran manusia lainnya
bermain? Di ’taman bunga’ itulah manusia diharapkan menafsirkan peristiwa yang
terjadi dengan hati nurani, sehingga bermunculan ’bunga kesadaran’ untuk
mengenal diri lebih dekat lagi. Inilah hakikat karya seni; dapat menjadi
penyuluh bagi manusia.
Pada hari ini, seniman
seakan kehilangan ’ruh’ untuk menukangi karya seni dengan realitas yang terjadi
di sekitarnya. Maka bermunculanlah karya seni yang ’menjauh’ dari keadaan
masyarakat. Dalam karya seni, seniman hanya bercerita tentang keluh-kesah
pribadi; tersebab putus cinta (sebagai salah satu contoh). Karya seni bukan
menjadi keluh kesah universal, tapi lebih banyak kegelisahan individu sang
seniman. Karya seni tak menyentuh hati orang banyak, dia berjalan sendiri
dengan ’kelukaan’ yang maha sunyi.
Mungkinkah peristiwa
yang terjadi di negeri kita pada hari ini melebihi perasaan sensitif para
seniman? Kita setiap hari disuguhi peristiwa yang mengiris hati nurani; seorang
nenek mencuri kakau diganjar hukuman lima tahun penjara. Seorang anak mengambil
sandal jepit ’dipelasah’ dengan hukum penjara. Penegak hukum dengan perkasanya
menghabisi nyawa tahanan yang tergolong muda. Pihak keamanan yang tidak
berpihak kepada rakyat dengan leluasa melepaskan tembakan ke rakyat kecil.
Seorang ibu dituduh mencuri enam buah piring majikannya dan dihukum penjara
selama 140 hari. Peristiwa perih ini, nyata adanya dan orang banyak tidak
memerlukan tafsiran seperti menafsirkan karya seni.
Hati nurani manusia mendiami
negeri ini senantiasa diusik dengan peristiwa-peristiwa perih yang terus
menikam keibaan. Gelombang kelukaan semakin besar menghempas ke tebing hati,
namun kita tetap berdiri dengan kesedihan yang datang sesaat saja. Semakin jauh
peristiwa perih itu berlalu, semakin lupa kita dengan peristiwa itu. Kita pun
dihadapkan dengan peristiwa nyata yang lain pula.
Sebagai seniman, yang
katanya diberi perasaan lebih dibandingkan dengan manusia lainnya, seharusnya
peristiwa nyata itu diabadikan dalam karya seni. Karya seni yang mampu terus
menggoyang hati nurani manusia negeri ini untuk selalu ingat dengan peristiwa
nyata itu. Dengan demikian, rasa kasih sayang sesama manusia negeri ini terus
menyala, sehingga sedikit banyak karya seni dapat membakar perasaan manusia
untuk mengenal akan dirinya. Punca dari segala peristiwa di muka bumi ini,
berawal dari diri manusia itu sendiri. Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, Pasal
1, bait 4 mengatakan, ‘’Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan
yang bahari.’’
Begitupun Budi P. Hatees ada
menyinggung, bahwa jika seseorang
memperbaiki kemampuannya mengolah aksara, lalu menghasilkan bukan saja sajak,
tetapi juga cerpen, novel, esai atau naskah drama, tentu saja bukan hal yang
mustahil dilakukan. Orang tersebut pada dasarnya bekerja dengan ide juga
pengalaman, maka ide dan pengalaman tinggal diolah agar menjadi bagian yang
organis dengan karya sastra. Sangat mungkin jika hasil olahan itu justru
memunculkan hal-hal baru, semacam strategi-strategi baru teks sastra.
Tidak
heran bila akhir-akhir ini dunia kreativitas cerpen mengalami perubahan dengan
masuknya strategi teks puisi ke dalam pola penulisan cerpen. Artinya,
kepiawaian seseorang dalam menulis sajak, cerpen, esai dan naskah drama akan
saling mendukung hingga tercipta karya-karya sastra yang lebih andal.
Seniman melalui karya
seninya, membawa kebenaran-kebenaran untuk kepentingan orang banyak. Karya seni
tidak berpihak kepada siapapun, tetapi karya seni berpihak kepada kesadaran
akan pentingnya kemaslahatan manusia. Dengan kesadaran bahwa manusia saling
mengerti satu dengan lainnya, maka terciptalah keharmonisan, keseimbangan hidup
manusia. Nilai keindahan dalam karya seni adalah ketika karya seni itu memiliki
faedah atau manfaat bagi setiap manusia.
Dengan demikian, karya
seni mengambil posisi sebagai penetral keadaan. Karya seni tidak berpihak pada
kaum tertindas dan tidak juga menyebelah kepada yang menindas. Bagi kaum
tertindas, karya seni menjadi pembangkit semangat untuk tetap berusaha lepas
dari penindasan. Menyadarkan diri bahwa ketertindasan harus tetap dilawan;
hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai. Karya seni memberikan cahaya ke
hati tertindas sementara bagi kaum penindas karya seni dapat dijadikan penunjuk
jalan untuk tidak melakukan penindasan. Bukankah manusia diciptakan oleh Sang
Maha Pencipta sama di mata-Nya? Karya sastra membongkar kesadaran kebersamaan
itu.
Senada juga dengan apa yang
disampaikan oleh Hasan Al Banna, bahwa sesung
guhnya, masing-masing genre dalam sastra, khususnya puisi dan cerpen menyimpan
perangainya sendiri-sendiri. Keduanya berada dalam posisi ‘berdiri sama rendah
berdiri sama tinggi’! Lantas, sangat terbuka kemungkinan bagi seorang kreator
fiksi untuk menunaikan salah satu atau keduanya sekaligus. Tidak mudah menyodorkan
bukti bahwa seorang kreator fiksi yang di masa awal kepenulisannya memilih
"berkelamin tunggal" akan lebih baik ketimbang kreator fiksi yang
membiarkan dirinya "berkelamin ganda". Pun sebaliknya. Intinya,
proses kreatif pengarang mustahil serupa.
Memang,
merujuk pada berbagai proses kreatif sejumlah sastrawan, banyak yang melalui
peristiwa berkarya secara berjenjang, satu demi satu. Bukan tidak ada sastrawan
yang sukses menjalani status "kelamin ganda" sejak masa awal
kepenulisannya. Paling tidak, pilihan "berkelamin ganda" sejak masa
awal kepenulisan malah memberinya jalan untuk pada akhirnya menentukan
"kelamin" mana yang paling dibanggakan dan seterusnya dipelihara
setekun-tekunnya.
Inilah permasalahan yang
dihadapi dunia seni di negeri ini. Selalu menganggap kehidupan nyata yang
berhubungan dengan orang banyak tidak penting lagi dirangkai menjadi karya seni
yang berkualitas. Padahal seniman selalu ditunggu untuk menghasilkan karya yang
mampu ’membaca’ peristiwa yang terjadi dengan mengedepankan kejernihan. Dari
kejernihan inilah, manusia meneguk kesegaran untuk berbuat lebih baik lagi.
Kalaulah dapat diibaratkan, karya seni itu seperti baut penting di sebuah
mesin, tanpa baut tersebut, mesin tidak bisa dihidupkan.
Mungkin saja disebabkan
faktor globalisasi membuat seniman ’membanting setir’; seniman harus
menghasilkan karya seni yang instan dan berbau pop. Atau dari penyair menjadi
cerpenis, dsb. Mereka tak mampu bertahan dari godaan kaum kapitalisme yang
hanya mengedepankan keuntungan. Seniman juga dipaksa untuk menghasilkan karya
seni hanya untuk hiburan, tanpa memikirkan makna yang lebih dalam. Karya seni
diukur seberapa banyak orang senang dan berapa duit yang didapatkan dari karya
seni itu. Masalah sosial dikesampingkan karena tidak menarik untuk dijual.
Bukan ’mengharamkan’
budaya populer, tetapi kemaslahatan orang ramai perlu dikedepankan. Apalah arti
sebuah karya seni apabila hanya sesaat karya seni itu berarti. Seharusnya karya
seni itu bertahan dari segala waktu, berbuah di sembarang musim, bermanfaat
kapan saja. Inilah karya seni seharusnya.
Kembali pada peristiwa
yang terjadi di negeri ini, memang terasa berat rasanya seniman mengokah
realitas tersebut menjadi karya seni yang mampu melantas ke hati setiap orang.
Namun demikian, bukan berarti seniman harus menyerah dan menyelewengkan hati
nurani dengan membiarkan realitas itu terkapar tak berdaya.
Akhirnya, Ys. Rat memberi garis
lurus permasalahan yang dikemukakan, tentang dua tulisan terdahulu, Bila
Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna dan Sastrawan tak
Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees, dimuat bersamaan di Rubrik Rebana (Analisa,
Minggu, 26 Februari 2012). Sebagai pemicu jelas, tulisan saya berjudul,
Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula di rubrik dan surat kabar
sama (Minggu, 12 Februari 2012).
Bermula dari niat sekadar
mengabarkan sejumlah perbedaan kondisi yang mempengaruhi dan kebiasaan antara
para pemilik bakat sastrawan dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an.
Demikian pula mereka yang mulai bergiat pada tahun 2000-an serta sekadar saran
yang sebaiknya dilakukan, dugaan akan munculnya reaksi tak pernah melintas di
benak penulis. Terutama yang diarahkan terhadap sepenggal saran, para pemilik
bakat sastrawan hendaknya juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang
jelas, dalam artian pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap
mencipta puisi dan cerpen misalnya.
Baik terhadap tulisan Bila Sastrawan
Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna, maupun Sastrawan tak Ditentukan
Usia oleh Budi P Hatees. Berkenaan dengan tanggapan dan pendapat mereka
mengenai saran penulis hendaknya para pemilik bakat sastrawan merasa perlu
memiliki "kelamin" yang jelas, sama sekali tak sepatutnya penulis tak
membenarkannya. Salam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar