Data
Buku
|
Judul: Dua Pintu Kita
Penulis: Utomo Soconingrat
Desain
Cover: Pratama DP
Penerbit: Hening,
Bekasi
Terbit: April 2009
Tebal: xiii + 39 hlm: 14 x 21
cm
|
Zikir Penyair Belia dalam Puisi
Oleh HASAN AL BANNA
“Aku lahir
dalam keadaan putih suci/ Nikmat terberi/ Kesenangan terbangun/ Kesedihan
terperih/ Namun lalai bersyukur// Ya Allah, taburkan ampunku/ Jauhkan kami
dari durhaka dan iri dengki/ Jernihkan pikiranku dari kegelapan/ Bersihkan
pikirkanku dari mimpi dunia/ Sucikan hatiku dari kotoran/ Tuntun
langkahku, agar ku tak sesat/ Menuju jalan pintu-Mu”. (Puisi “Menuju
Jalan Pintu-Mu”)
* * *
Hakikatnya, zikir kepada Allah tidak semata bergulir ketika seorang muslim
harus bersila di atas sajadah. Siapapun boleh berzikir sambil berdiri, berjalan,
atau berlari. Di pasar silakan mendesirkan zikir. Berzikir di atas kendaraan,
boleh. Pada hilir yang lebih luas, zikir adalah peristiwa mengingat Allah. Memohon
ampun kepada Allah itu zikir. Menakjubi Allah yang Agung, ya, zikir. Menyadari
diri sebagai makhluk yang terbatas, pun sewujud zikir.
Lantas, ketika peristiwa-peristiwa yang mengaitkan seorang manusia dengan
Sang Maha Pencipta digelar di dalam baris-baris puisi, zikir jugakah? Ya,
puisi-puisi yang memuja-muji Allah boleh diganjar dengan sebutan puisi zikir.
Sesungguhnya, banyak puisi yang menyerahkan kekuatan kata dan maknanya untuk
membesarkan Sang Khalik. Namun, coba sebutkan berapa jumlah penyair belia di
negeri ini? Lantas, siapa di antara penyair belia itu yang menulis puisi-puisi yang
bernapaskan zikir?
10 Tahun, 30 Puisi
Tersebutlah Utomo Soconingrat salah satu penyair belia yang mencoba memahat
keakbaran Pencipta Semesta dalam puisi. Dan puisi-puisi tersebut menjadi bagian
dari Himpunan Puisi “Dua Pintu Kita”. Memang, 30 puisi Utomo yang termaktub
dalam “Dua Pintu Kita” tidak semata mengandalkan tema yang bersinggungan dengan
persoalan Ketuhanan, melainkan juga kait-mengait dengan ranah keindividuan
penyair sebagai manusia dan keterlibatanya sebagai makhluk sosial.
Utomo Soconingrat lahir di Jakarta, 13 Oktober 1999. Saat ini Utomo bersama
kedua orangtuanya; EM. Yogiswara dan Lilik Bekti Lestari tinggal di Jambi dan
sedang menuntut ilmu di SD Islam Al-Fallah Jambi. Puisi-puisi Utomo sudah
menyebar di Harian Pagi Jambi Ekspres dan
Harian Pagi Jambi Independent. Inilah
persembahan seorang anak laki-laki yang masih berusia 10 tahun.
Dr. Sudaryono, M.Pd., dalam apresiasinya tentang “Dua Pintu Kita”
menyatakan, “...Puisi yang digubah Utomo Soconingrat secara tematis berkenaan
dengan tiga dimensi, yakni persoalan personal-individual, persoalan sosial, dan
persoalan religius (dalam pengertian yang luas)...”
Selanjutnya, Dr. Sudaryono, M.Pd., mengungkapkan, “...tema boleh sama,
namun yang menarik adalah bagaimana tema itu diekspresikan oleh penggubahnya ke
dalam puisi. Ini berarti bahwa daya tarik puisi terutama bukan terletak pada
tematiknya, melainkan pada daya tarik ekspresinya.”
Meskipun demikian, adalah sebuah hal yang menarik ketika anak seusia Utomo
berbicara tentang Allah; yang nyata dalam keyakinan, namun abstrak dalam wujud.
Dalam hal ini, Utomo malah termasuk berani merambah tema keagamaan,
bagaimanapun ia mengekspresikannya dalam puisi.
Lantaran itu, karya-karya dengan tema ini menjadikan puisi-puisi zikir
Utomo terlihat lebih menonjol, seperti dalam “Matahari”, “Dua Pintu Kita”,
“Melihat Kebesaran-Mu”, “Menuju Jalan Pintu-Mu”, “Tobat di Perut Paus”,
“Subuh”, “Yang Maha Esa”, “Berpuasa”, dan “Ramadhan”. Bagaimanakah Allah dalam
pandangan Utomo?
Pengagum Allah
Utomo adalah makhluk yang mengagumi Allah! Dengan kekaguman tersebut, Utomo
juga sedang menyatakan batapa tak berdaya ia sebagai manusia. Kebesaran Allah
dan kekerdilan manusia menjadi dua titik yang kerap dibandingkan Utomo dalam
puisi-puisinya. Simak puisi “Yang Maha Esa” di berikut ini.
“Ya Allah/ Engkau telah membuat dunia begitu indah/ Tapi kenapa kami tak
menjaganya// Ya Allah/ Engkau telah menciptakan alam/ Tapi kenapa kami tak
mempelajarinya// Ya Allah/ Lewat Nabi Muhammad/ Sholat ditegakkan/ Tapi kenapa
masih ada orang tak menjalaninya// Ya Allah Kau ciptakan kami menjadi manusia
sempurna/ Tapi kenapa kesempurnaan tak kami pelihara// Ya Allah/ Hanya engkau
yang tahu//”
Perbadingan antara dua titik tidak hanya diseiringkan Utomo antara kekuasaan
Allah dengan kebutuhan manusia secara terang-terangan. Meskipun, pada hakikatnya,
apapun yang dibutuhkan manusia di dunia ini, bukankah milik Allah semata? Maka,
tatkala manusia memerlukan air, api, angin, tumbuhan, makanan, tanah, termasuk
bulan, bintang, serta matahari, tak akan bisa memindahkan permohonan selain
kepada Allah. Puisi “Matahari” di bawah ini adalah sebuah permohonan kepada
matahari sekaligus permintaan kepada Allah. Bukankah matahari diciptakan;
ditegakkan dan direbahkan oleh Allah?
Matahari
Sampai kapan kau menyinari bumi
Jangan pergi dari bumi
Kalau kau tak ada bumi bak kubur
Gulita dalam gelap
Matahari
Sampai kapan kau menjadi sumber kami
Jangan alfa memberi cahayamu
Jika kau tak ada bumi mati
Matahari
Sampai kapan apimu meredup
Gaib bersama bumi
Jambi, 20 Februari
2008
Memilih Antara Dua Pintu
Kegemaran Utomo menyandingkan hal yang bertolak
belakang; kuat-lemah, suci-kotor, terang-gelap seolah ingin (kembali) menyatakan
kekuasan Allah yang menciptakan banyak hal di atas dunia dengan berpasangan. Ya,
hitam-putih, salah-benar, tidur-bangun, dosa-pahala, serta neraka-surga. Manusia
diberi pilihan! Syukur atau ingkar, lurus atau belok, kiri atau kanan? Setiap
manusia pasti menginginkan kebaikan. Ingin nikmat, ingin rahmat, ingin pahala,
ingin surga. Puisi “Dua Pintu Kita”, meskipun bercerita tentang neraka dan
surga, adalah sebuah perwujudan betapa pilihan di atas dunia kerap menunggu.
Dua Pintu Kita
Kita tidur di bumi
Bangun di akhirat
Kelak kita dilempar di dua pintu
Neraka atau surga
Kita tidur di bumi
Bangun di akhirat
Tiba waktunya
kita berbaris melewati dua pintu
Neraka atau surga
Dua pintu kita
Senantiasa menunggu
Jambi, 21 Februari
2008
Hidup memang dihadapkan dengan peristiwa memilih!
Lantas, manusia, siap tidak siap, harus mampu menanggung segala risiko dari
pilihannya. Siapa ingin menuai kebaikan maka tanamlah kebaikan. Jika bahagia
hendak direngkuh, tempuhlah jalan menuju kebahagian. Ingin surga? Rajinlah
menabung amal! Kalau itu dijalankan, itulah namanya upaya dan ikhtiar. Upaya
dan ikhtiar adalah landasan bagi manusia untuk pasrah! Pasrah terhadap
ketentuan Allah. Seperti kepasrahan Utomo dalam bait terakhir puisi “Menuju
Jalan Pintu-Mu”:
Aku lahir dalam keadaan putih suci
Hidup di bumi bangun di surga
: semua hak Tuhan
sepenuhnya
Penulis adalah alumnus FBS—Universitas Negeri Medan,
Penenun tulisan fiksi dan non fiksi,serta pengoleksi buku.
Kini bekerja Balai Bahasa Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar