MENGAPRESIASI
IMUNITAS KOMUNITAS SASTRA
Oleh : M. Raudah
Jambak, S. Pd
Sumatera Utara cukup dikenal
apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja memang perhatian secara
sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar.
Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan dan seniman yang beberapa
diantaranya tentu dikenal di seantero Nusantara. Begitu juga Komunitas Sastra
di dalamnya.
Untuk Komunitas Sastra, misalnya. Komunitas Sastra Indonesia Sumatera Utara
telah melahirkan begitu banyak penulis dan karya yang cukup melegakan hati.
Setuju atau tidak setuju. Pun, untuk komunitas sastra yang lain yang
menghasilkan calon militansi sastra yang mulai terasah kemampuannya.
Seperti yang pernah kita baca, bahwa Seiring dengan perkembangan zaman,
sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan
berbagai “wajah” terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi.
Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai
kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya.
Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh
pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan
nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan “asupan” gizi batin yang lezat dan
bermakna bagi pembaca.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat
memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai
yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu
pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang
mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan), nilai etis, moral,
agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang
berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang
mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata
sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat
beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun
karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi, dan kreasi dengan
berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi
sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang
memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka
kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita
untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan
kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian,
dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan
kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Oleh
karena itu, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak
menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu
mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang,
dan dewasa.
***
***
Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk
mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak,
ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Misalnya saja aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan
memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak
membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan
rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan
nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu
membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang
terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra
kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami
dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan,
dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi
ruang dan waktu. Ia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa
silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong
berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini
artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak
menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia
berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
Kemudian aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu
kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau
mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran.
Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan
berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam
menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan.
Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi
yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain
drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi
terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di
bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi
masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan
kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam
berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan
kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena
dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta
seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya,
sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara
khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan,
membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan
baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan
mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang
pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa
mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif
meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa
yang dia tulis.
Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap
orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang
mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan
berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan,
imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses
perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu
melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya
sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik,
tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang
berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya
sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat dan lingkungannya.
Namun, kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan
imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang,
sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca.
Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya
besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.
Berdasarkan hal ini ada yang menuliskan, bahwa kesuksesan komunitas juga
tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih
kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan
seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk
menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit
(juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah
kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan adalah bahwa keberhasilan aktivitas
kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk
menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat
untuk terus berkarya. Sehingga percuma saja menempel di depan kebesaran nama
komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta
dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya
anggotanya.
Dalam beberapa kali diskusi kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas ––terutama pemula.
Dalam beberapa kali diskusi kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas ––terutama pemula.
Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya
––tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama
komunitas. Sehingga menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak
memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya
sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan
justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah “luar biasa”
sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini
sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca
karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya
sendiri. Bukan malah “buruk muka cermin dibelah”.
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya
virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan “mendewakan” sang senior atau
sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar
bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi
indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan
menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah
bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai
yang mengalirkan kreativitas. Maka komunitas hanya akan kontraproduktif dan
memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas adalah bagaimana individu-individu yang
akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas
hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan
idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas,
jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau
batas-batas kreativitas. Sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis.
Maka pegiat komunitas sastra, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar
mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Nah, mungkin ini hanya sebuah wacana yang mungkin tidak perlu kita
persoalkan tetapi ke depan adalah bagaimana kita mampu dan mau mengasah tidak
hanya karya tetapi mental positif (rendah hati) yang kita punya sebagai bagian
dari pendidikan, penataan permukiman, dan lingkungan hidup sastra bagi
komunitas sastra yang pernah dilakukan oleh teman-teman sastrawan di daerah
lain, seperti M. Badri, Sawali, Irmansyah, dll, sebagai bahan perbandingan
kita. Terimakasih.
Penulis : Direktur
Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar