Novel Teenlit
DAUN-DAUN HIJAU
Karya : TAM
Angin
berhembus bebas menggerakkan rambut Nina. Gadis itu membiarkan saja perlakuan
angin di tepian pantai cermin itu. Namun sesaat kemudian jemari mungilnya
refleks merapikan rambut panjang nan indah yang mengilaukan pandangan. Dalam
posisi duduk di pesisir pasir putih tindakanya tersebut tidak akan sempurna.
“ Duh anginnya nakal kali…” ujar
Nina sembari memandang lepas ke tengah pantai.
“ kamu aja yang cengkal, Nin. Di tepian pantai begini kamu membiarkan rambut yang
panjang tak diikat. Ini nih aku ada karet. Ikat rambutmu…” komentar Mia yang
duduk di sampingnya..
“ ah, hari gini ikat rambut pakek
karet,,,” balas Nina bernada canda.
“ ya sudah kalau nggak mau.” Mia
nggak kalh pasang aksi seolah – olah emosi.
Nina tersenyum melihat sobat
kentalnya agak sewot. “ Ia lah, sini biar aku ikat ini rambut.”
“ Gitulah.”
“ Sekarang aman dari gangguan
angina…”
“ Rambutmu oke juga, Nin?”
“ Siapa dulu, Nina……”
“ Nggak kalah sama iklan sampho di televisi.”
“ Masak ?”
“ Swear! Aku menilainya secara
objektif. Iniu bisa jadi modal bagi mu untuk jadi iklan shampoo.”
“ Ah! Aku nggak mau bermimpi, Aku
mau yang realitis saja.”
“ Itu artinya kamu pesimis. Belum
bertarung sudah menyerah. Semestinya berlaga dulu, Nin, sembari kobarkan
semangat untuk optimis di campur dengan ambisi.”
“ Hey sejak kapan kamu ikutan
training pengembangan potensi diri.”
“ Gini-gini aku punya kebutuhan satu
dua jam main internet setiap hari, Nin.”
“ Kog jadinya lari ke internet,
segala !”
“ Ya ialah. Di alam maya berjuta
informasi yang di peroleh dengan mudah. Dengan berinternet ria, tiap hari aku
dapat informasi terkini.
“ Ya kalau sudah begitu penilaianmu,
Ya sudah makasihlah.mudah-mudahan bisa jadi kenyataan. Bisa jadi model iklan.
Masuk televise. Di lihat jutaan pemirsa. Akhirnya jadi terkenal dan punya uang
banyak!.
“ Makanya mulai besok rajin – rajin
membaca Koran, Nin…”
“ Apalagi hubungannya dengan rambut,
Mia?”
“ Ya adalah! Di media cetak apakah
itu Koran dan majalah kerap ada pengumuman-pengumuman berkaitan dengan lomba
kecantikan secara umum. O, ya aku baru ingat, majalah Remaja Hello juga bikin kontes gadis sampul
lho?!”
“ Kamu udah beli, Mia?”
“ Udah, tapi aku ingin coba-coba
ikutan. Ntar kalau berhasil, lumayan juga tuh buat pintu untuk masuk ke dunia
entertainment akan semakin lebar.”
“ Kok bisa?”
“ Ya, Bisa. Soalnya wajah kita
selalu di ekspose di media cetak. Siapa tau dengan seringnya kita di ekspose
ada agency yang tertarik merekrut kita dan menyalurkan kita sebagai model iklan
ataupun pemain sinetron. Apalagi kalau kita punya bakat menyanyi. Produser
musik tentunya tidak menyia-nyiakan suara emas kita untuk di rekam mereka.
Mendengar penjelasan Mia, Nina
tertarik untuk mencoba mengikuti kontes gadis sampul itu., meskipun mesti
membeli majalah tersebut.
“ Harganya berapa, Mia?”
“ Majalah Hello itu?”
Nina
menganggukkan kepala
“
Nggak mahal-mahal kali. Lima belas ribu.”
Nina berfikir. Uang lima belas ribu
dari mana ia bisa peroleh Soalnya ia Cuma di kasih jatah sama ibunya setiap
harinya untuk ongkos pergi dan pulang sekolah. Ia tidak punya kesempatan untuk
berjajan ria di kantin sekolah. Kalau pun ada uang lebih itu hanya untuk uang
pegangan yang tidak boleh di belanjakan. Dan, terkadang ada juga uang yang ia
peroleh dari honormenulis puisinya yang di muat di Koran Medan.
Terkadang ia malu dengan Mia, yang
kerap mentraktirnya makan pada setiap jam istirahat. Tapi mau macam mana lagi.
Yang pastinya bukan ia yang terlebih dahulu mengajak Mia. Seperti saat ini, Mia
juga yang mengajak ia bolos! Nina oke-oke saja. Kesempatan kan enggak dating
dua kali! Meskipun pelajaran di sekolah jadi tertinggal, ia berusaha untuk
mempelajarinya di rumah, dan membaca di perpustakaan umum yang berdekatan
dengan tempat tinggalnya.
“ Tapi teringatnya kamu gak lapar
nih, Nin?” Mie memecahkan kebisuan yang tercipta sesaat di antara mereka.
“ Kamu?” balik Nina yang bertanya.
“ Lapar juga. Cuma mau ngetes kamu saja,
siapa yang duluan antara kita memproklamirkan perutnya minta jatah makan
siang,” ujar Mia.
“ O, gitu rupanya…” komentar Nina
sembari membetulkan posisi duduk nya di pasir putih. Air pasang dating
membasahi kaki mereka.
“ Ya sudah…yuk kita ke pondok yuk.
Pesan makanan…”ajak Mia.
“ Kamu yang…”
“Don’t Worry. Aku cukupan kok bawa
uang,” jawab Mia seolah tau apa yang akan di ucapkan Nina.
Nina tersenyum. Ia memang tidak
mempunyai uang untuk bepergian ketempat rekreasi, sambil makan-makan yang
harganya di atas harga standar.
“ Pesan apa kamu,Nin?” Tanya Mia
saat mereka sudah berada di pondok yang mereka sewa.
“ Udang, trus juice jeruk, sekalian
kepiting dan nasinya.”
Mia memberi kode kepada penjual
makanan yang tidak berada jauh dari tempat mereka berada. Seseorang melangkah
kea rah mereka.
“ Pesan makanan Dik?” Sapanya
kemudian.
“ Nasi, pakai udang, kepiting dan
juice jeruk dua porsi,bang.”
Anggota dari penjual makanan itu
melangkah menuju warungnya. Tak berapa lama pesanan tiba. Nina dan Mia
menyantapnya dengan Nikmat.
“ Kenapa kamu gak mau sekolah hari
ini?” Tanya Nina dengan pandangan mata tertuju kepada Mia.
“ Lagi mau rileks saja,Nin”
“ Apa ada yang mengganggu
pikiranmu?”
Mia menggelengkan kepala.
“ Terus?”
“ Terus apanya?”
“ Kan bisa hari minggu kamu kemari
atau kemana saja kamu suka untuk refreshing…”
“ masalahnya aku lagi ingin hari
ini, Nin. Kenapa Tanya begitu? Biasanya kamu oke-oke saja kalau aku ajak
membolos?”
“nggak apa-apa, Mia. Namun kalau
kita sering-sering membolos akan mengganggu proses pembelajaran.”
“ takut enggak lulus? Kitakan pakai
senjata alasan untuk tidak masuk sekolah. Nggak percuma si andi jadi ketua
kelas. Dia paling bisa ngertiin aku. Tadi sudah aku kontak. Aku kasih alasan
sama andi bahwa aku kurang sehat badan. Dan kamu sakit.”
“ lama-ama guru bisa curiga. Asal
kamu tak sekolah, aku juga tak masuk sekolah, masak duduk satu meja sakitnya
bisa bersamaan.”
“ tenang ajalah, Nin. Kita gak akan
di pecat gara-gara enggak masuk. Kita bisa di pecat dari sekolah jika kita
terlibat tindak pidana atau tindakan yang memalukan sekolah. Orang-orang di
sini pun gak tau kalau kita bolos sekolah.”
“ ya karma kita memang tidak memakai
seragam sekolah.”
“ makanya cuek saja. Nanti sepulang
dari sini kita mampir ke rumah andi, untuk meminjam seluruh mata pelajaran hari
ini.”
Tiba-tiba handphone Mia bergetar.
“ Tumben Mama nelpon jam dua siang
begini.” Setelah tau siapa yang menghubunginya.
“ Wah, gawat, Mia.”
“ Tenang saja. Kamu saja yang
angkat. Bilang saja aku lagi…..lagi apa ya? O, ya lagi sholat Zuhur.”
“ Tumben kamu solat, Mia. Ujar Mia.
Alasan yang tak pas”
“ jadi apa alasan yang tepat?”
Nina memutar otak mencari alasan
yang pas.
“ Sakit perut saja.”
“ Ya betul. Kamu yang ambil, bilang
aku di toilet.”
Nina menyeskan handphone milik Mia. “ Hallo…!” suara Nina terdengar
lembut.
“ Mia?”
“ Bukan,tante. Ini Nina.
“ Mianya mana?”
“ Mia lagi di toilet, dia titip
handphone nya ke saya, Tante.”
“ Nina yang teman sebangkunya Mia?”
“ Benar, Tante.”
“ Oohh, Bilang sama Mia, tente
berangkat ke pematang siantar sekarang. Ada urusan penting.”
“ Baik, Tante.”
“ begitu pun nanti akan tante
hubungi lagi mia.
“
ya, Tante.”
Sambungan telepon seluler diputus.
“ apa kata mamaku?”
“ katanya ia mau ke pematang
siantar.”
“ Berapa lama Nin?”
“ Nggak di sebutkan mama kamu. Cuma
katanya lagi nanti ia akan menghubungi kamu lagi,” ucap Nina sembari memberikan
handphone itu ke Mia.
“ Merdeka aku.” Wajah Mia makin
riang.
“ kok senang mama kamu pergi?”
“ Habis di rumah pun gak memberikan
warna bagiku. Mama selalu pulang di atas jam sembilan. Malah papa sering pergi
ke luar kota berhari-hari.
“ Namanya cari uang. Kan untuk kamu
juga yang nikmatinnya…”
“ Uang memang perlu, Nin. Tapi kalau
terus menerus mengejar materi, sampai-sampai gak ada waktu untuk bersama-sama
ya enggak enak juga rasanya. Aku selalu berdua dengan mbok sari. Rumah menjadi
sepi dan berkesan gersang. O, ya kamu tidur di rumahku saja nanti malam ya…”
“ wah, nanti merepotkan Kamu,Mia.”
“ nggak! Justru aku senang ada yang
menemani.”
“ nanti papa dan mamamu marah?”
“ Mereka cuek abis, Nin. Ntar aku
bilang sama ibu dan ayah kamu.
“ Terserah kamu sajalah.”
“ kalau kesini gak mandi – mandi
nggak sempurna juga, Nin.”
“ Kamu mau mandi?”
“ Iya lah. Yuk kita mandi.”
Nina dan Mia menuju tepi pantai.
Dengan tetap mengenakan pakaian Nina dan Mia menceburkan diri ke dalam air.
Mereka berenang sepuas hati berbuat dengan pengunjung lainnya yang juga
menikmati air pantai cermin.
Jam pun berputar. Tanpa terasa
posisi waktu telah menunjukkan pukul lima sore.
“ gimana balik kita, Mia?”
“ Ayolah.”
Lalu mereka berkemas, Mia membayar
sewa pondok dan tikar serta makanan yang dipesan. Setelah beres semua, mereka
beranjak menuju mobil. Mia menstater. Mesin mobil hidup. Perlahan gas di tekan.
Ban mobil berputar. Tak berapa lama mereka telah meninggalkan objek wisata
Pantai Cermin.
Ini untuk pertrama kalinya Nina
Menginap di rumah sobatnya Mia. Dan untuk pertama kalinya juga ia melihat kamar
tidur Mia. Kamar tidur tersebut berukuran berukuran enam kali enam meter.
Dinding kamar bercatkan warna pink. Sedangkan gymsum putih bersih menutup
bagian atas, dengan empat lampu kecil terletak di setiap sudut, dan satu lampu
hias terletak di tengahnya.
Jendela berukuran besar yang
menghabiskan satu dinding disebelah utara yang menghadap taman mungil diluarnya,
dipadu dengan gorden putih bermotifkan bunga-bunga yang melapisi jendela dan
ambal biru muda yang di tata sedemikian apiknya. Dekat springbad empuk itu. Ada juga pendingin ruangan dengan tekanan suhu
yang menyejukkan sekaligus mengharumkan karena di semprot pengharum, serta
pernak oernik nya yang memberikan kesan mewah.
Nina melihat juga televise layar
datar berukuran dua puluh satu inci, lengkap dengan yang sering di sebut-sebut
home teater di sudut ruangan. Adalagi seperangkat computer lengkap keluaran terbaru.
Dan di meja belajar itu terletak juga notebook. Juga keluaran terbaru. Kamar
mandi juga tersedia berdekatan dengan jendela yang mengarah ke taman.
Nina endecak kagum dalam hati. Ia
membayangkan gadis itu beteapa senangnya dalam menjalankan kehidupan ini.
Betapa tidak ? semua fasilitas ada dan dimilikinya. Apalagi sebagai putrid
semata wayang, tentunya harta yang berlimpah hasil kerja keras papa dan mamanya
akan menjadi miliknya kelak.
Nina jadi terbayang dengan situasi
dan kondisi kehidupannya. Ayahnya hanya seorang tukang temple ban sepeda motor.
Untuk mengurangi beban biaya hidup ibunya bekerja sebagai penjual lontong dan
menerima pesanan menjahit pakaian.
Rumah yang mereka tempati juga msih
sewa. Sewanya bulanan lagi. Rumah sewa itu kecil dengan dua kamar. Kamar
tidurnya berukuran dua kali tiga meter. Ia harus tidur berdua bersama adiknya
arni yang saat ini duduk di kelas satu sma. Sedangkan dido adik bungsunya yang
saat ini duduk di kelas dua smp harus setia tidur di ruangtamu merangkap ruang makan.
“ kok bengong, kalau mau istirahat
rebahkan ya rebah saja ke springbad ini, Nin. Nggak usah sungkan. Macam baru
kenal saja kita.” Kata-kata Mia lepas dari bibir mungilnya dan membuyar lamunan
Nina.
“ Wow!” spontan Nina menumpahkan
kekagumannya.
“ Apanya yang wow, Nin?”
“ kamu manusia yang sangat
beruntung,” puji Nina dengan mengatur tubuhnya untuk mendarat di tepian
springbed itu.
“ Tapi belum memberikan
kebahagiaankan?”
“ Lihatlah apa yang ada khususnya di
kamar ini? Semuanya begitu memberikan kepuasan. Tepatnya lagi kenikmatan.”
“ Tapi belum memberikan kebahagiaan
kan?”
“ Tentu juga itu”
“ Kebahagiaan itu tidak semata-mata
karma harta melimpah, Nin.”
“ apa kamu kira dengan orang tak ada
harta bisa bahagia?” nina mencoba menemukan jawaban dari mulut mia.
“ Aku bisa mengatakan yang tak
berharta juga bisa bahagia. Tapi orang yang punya harta belum tentu bahagia,
Nin.”
“ Setidaknya kesenangan itu tlah kau
dapatkan, Mia.”
“ ah, sudah. Kok kita membahas topic
beginian, lebih baik kita chating yuk. Siapa tau ada yang bisa di gangguin.”
Mia beranjak menuju meja computer.
Jemari mia cekatan menghidupkan
computer dan menekan tust-tustnya untuk sampai kea lam maya.
Nina memperhatikan apa yang di
lakukan Mia. Ia sebenarnya tak terlalu berminat dengan chating-chattingan
begitu. Entah siapa-siapa di seberang sana, nggak jelas. Bisa memang yang sudah
di kenal. Tapi kadang kala orang iseng saja. Ngakunya cowok keren, gak taunya
duda beranak lima, atau om-om gatal yang seneng ngomongin kawasan daerah sensitive
milik manusia.
“ Atau kamu mau liat situs xxx?” Mia
angkat bicara.
“ Situs apaan?” pancing Nina. Ia
sesungguhnya mengerti sekali apa yang di katakana Mia. Namun salah satu hal
yang paling disukai pribadinya adalah merendah dan pura-pura tidak tahu.
Padahal di perpustakaan umum sekarang sudah ada layanan internet yang bisa
akses dengan tariff tiga ribu lima ratus
rupiah. Dan itu cukup untuk nina sekali-kali berselancar ke dunia maya.
“ Situs begituan lah…”
Nina memancing Mia, “ Boleh juga.”
“ Tapi tahan seleranya kalau enggak
kesampaian,” celetuk Mia.
“ kan toilet dekat tuh,” balas Nina.
“ Mau ngapain ke toilet?”
“ Yam au pipis saja!” ujar Nina
spontan.
Mereka tertawa lepas.
“ Non Mia!” suara Mbok Sari
menghentikan Niat Mia membuka situs porno.
“ Ngapain mbok sari nih!” Mia
ngedumal.
Ia melangkah kaki menuju pintu
kamar. Membukanya. Dan dengan wajah cemberut menatap wajah pembantu di
rumahnya.
“ Ada apa, Mbok?”
“ Ada telepon?”
“ Telepon?”
“ Benar. Dari Andi?”
Mia bergegas ke ruang keluarga. Menghempaskan
pantatnya di sofa empuk dekat telepon berada, lalu dengan suaranya pun bergema,
Hallo?”
“ Hai, Mia?”
“ Hai juga.”
“ HP-mu nggak bukanya?”
“ Sengaja aku matiin.”
“ Pantasan.”
“ Ada acara malam ini?”
“ Malam ini?”
“ Iya. Kan ada konserny raja di
benteng hall. Ku piker kamu singgah ke rumah mau ngambil materi pelajaran hari
ini. Nyatanyua dsudah jam tujuh malam begini, kamu belum dating juga. Aku
berkesimpulan kamu sudah tiba dirumah. Makanya aku telepon kamu.”
“ Kamu apa enggak salah ngajak aku?”
“ Salah?”
“Iya!”
“ Nggak salah,.Mia justru inilah
yang benar.”
Mia tersenyum-senyum sendiri.
Lumayan ada jalan menghirup udara malam sekaligus menikmati musiknya raja.
“ Okelah. Tapi aku saja yang jemput
kamu.”
“ nggak usah,Mia. Biar aku yang jemput kamu.”
“ Begini saja, kita ketemuan di
depan komplek perumahan ini. Nanti aku parkirkan Mobil ku disitu.”
“ Ya sudah.”
Mia masuk ke kamar.
“ siapa Mia?”
“ Seseorang. Anu…Nin aku ada urusan
penting sebentar. Kamu jangan marah ya. Pokoknya kamu stanbay saja disini.
Kalau mau tidur, ya tidur. Atau mau nonton tv, atau apalah terserah kamu. Aku
enggak lama,” ucap Mia sambil mengganti pakaiannya.
Nina terheran heran dan sempat untuk
meminta penjelasan sobatnya itu. Aneh! Kemana dia? Batin Nina Bertanya-tanya.
Namun Nina tak mau repot – repot
mempersoalkan hal itu. Sekarang ia sendirian di kamar mewah itu. Ia rebahkan
badannya di springbed miring ke kiri, miring kekanan. Kemudian terlungkup.
Terus telentang. Dan memandangi ruangan dengan matanya.
Sampai akhirnya matanya menangkap
tumpukan majalah di bawah meja belajar Mia. Nina bangkit. Kakinya melangkah ke
meja belajar itu. Berjongkok dan mengambil majalah-majalah. Majalah Hello!
Edisi minggu lalu. Dengan cepat ia membuka-buka lembaran isi majalah itu. Apa
yang di ucapkan Mia tentang kontes gadis sampul itu benar. Ia melihat pada
halaman dua puluh informasi tentang kontes gadis sampul itu dengan jelas
dibacanya. Salah satu persyaratannya herus mengisi formulir yang ada di dalam
majalah itu.
Nina berfikir bagaimana cara
mendapatkan formulir itu, tanpa harus membeli majalahnya. Seandainya ia
koyakkan khusus yang berkaitan dengan kontes, kemungkinan Mia tau dan
mencurigainya yang mengambil pasti ada.
Begitu juga kalau diambil majalah itu secara utuh, tetap saja Mia akan tahu.
Karena ia yang berada di kamar Mia. Jika terus terang memintanya, apa Mia tidak
merasa di saingi dalam mengikuti kontes gadis sampul ini? Banyak hal yang
memerlukan pertimbangan untuk akhirnya memutuskan keputusannya. Jika salah
memutuskan, bisa kacau hasilnya. Dan itu akan berakhir pada hancurnya
persahabatan yang telah di jalin.
Tiba-tiba Mbok Sari mengetuk pintu.
Nina membukanya.
“ Belum tidur?”
“ Belum, Mbok.”
“ Non Mia mana?”
“ Lho, kan ia keluar, katanya ada urusan
peenting. Kenapa, Mbok ?”
“ Papanya dari Jakarta nelepon.”
“ Bilang saja udah tidur, Mbok.”
“ Mbok takut berbohong.”
“ enggak usah takut. Dari pada terus
terang, papanya bisa marah nanti. Ini sudah jam sepuluh malam. Dan jangan
bilang saya ada di sini ya, Mbok.”
“ Gawat kalau begini trus-trusan.”
Ucap Mbok sari sambil melangkah ke luar kamar.
Nina mengikuti Mbok Sari. Setidaknya
ia ingin memastikan apa yang akan di katakana pembantu di keluarga Mia itu
seperti yang ia sarankan.
“ Hallo Pak. Mianya sudah tidur. Ia
kurang sehat badan.”
Telepon terputus.
“ mbok lama-lama enggak tahan kerja
di sini…” mbok sari mengeluarkan kata-kata itu.
“ Kenapa, Mbok? Kan enak kerja di
tempat seperti ini.”
“ Sepi dan selalu seperti ini. Mia
itu kalau mama dan papanya keluar kota pasti ia keluyuran entah kemana.
Pulangnya paling cepat pukul dua belas malam. HP-nya selalu di matiin dan kasi
alasan lagi drop batrenya, atau lupa menghidupkannya. Padahal ia sengaja
sehingga ia tidak bisa di hubungi mama dan papanya.
“ Tapi cari kerjaan susah Mbok…”
“ Iya ya nin, apalagi simbok sudah
tua. Keluarga di daerah sini tidak ada. Mau pulang ke indramayu sana juga
susah. Rumah tak punya. Keluarga memang masih ada di sana. Tapi tak mungkin
trus-trusan numpang sama mereka.
“ kalau boleh tau anak dan suami
Mbok..”
“ “ suami Mbok sudah meninggal.
Sedangkan anak tidak ada.”
“Ooh…”
“ Ah, sudahlah. Kamu belum makan
kan. Makan dulu, Nin…nanti kamu bisa sakit.”
“ Nanti saja, biar Mia pulang dulu.”
“ Nunggu Mia pulang ? kan sudah Mbok
bilang, Mia paling cepat pulang jam dua belas.”
“ Nggak apa-apa Mbok,” ucap Nina
meskipun perutnya dari tadi sudah minta diisi. Tapi ia tahu diri.
“ kalau begitu, untuk mengisi perut
sementara wakt, Mbok buatkan indomie ya…”
Nina tidak menolak.
# #
#
Kelas III IPS 1 SMA Bahana menjelang
setengah jam lagi bubaran.
Andi duduk di depan di dampingi
sekretaris dan bendahara kelas. “Teman-teman sekalian setengah jam pelajaran
Ibu Asti ia berikan kepada kita untuk mengadakan rapat,” ucap cowok yang oke
juga, dengan fostur tubuh tinggi. Kulit yang putih bersih. Rambut di tata rapi
dengan sentuhan minyak rambut keluaran terbaru. Plus aroma pewangi yang lembut
menjadikan penampilan selalu pede.
“ apa yang kita bahas Di?” Tanya
samsul lantang.
“ Baiklah. Begini teman-teman
sekalian untuk menambah wawasan dan pengalaman kita, kami para pengurus kelas
setelah berkonsultasi dengan pengurus OSIS dan pihak berencana untuk mengadakan
study tour.”
“ Study banding, Di?” tukas Dodo.
“ samalah itu…” jawab andi.
“ nama kerenya sekarang study
banding, Di! Itu tuh seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.”
Celetuk Ilham.
“ Ya, apa kita mau kemesir juga,
Di?” Tanya samsul lagi.
“ ke Mesir atau ke Samosir?” Amri
angkat bicara.
“ kita merencanakan ke danau Toba.
Ya sekalian lah ke Samosir…” jawab Andi tegas.
“ Acaranya apa saja, DI?”
“ kelas kita dijadikan kelas
percontohan untuk mengadakan outbond.”
“ Outbond?”
“ Ya. Maksutnya outbond itu secara
garis besar ya pengenalan dan pemahaman terhadap diri maupun kelompok dengan
melakukan berbagai bentuk kegiatan yang sifatnya permainan. Nemun permainan itu
mempunyai maksut dan tujuan terutama dalam mempersamakan persepsi dalam satu
tim yang kompak,. Sekaligus mengintropeksi diri kita dalam menghargai dan menghormati
pendapat orang lain. Nanti akan kita lakukan di sana. Di samping itu ada acara
hiburan, bisa baca puisi dan juga bernyanyi.
Pokoknya oke
habislah, teman-teman…”
“ Nah itu yang kita tunggu-tunggu,
Di.”
“ Namun mengingat keterbatasan dana
kas kelas maupun bantuan dari sekolah, kepada kita di minta pengertiannya untuk
menambah biaya kegiatan ini. Setuju kan teman-teman…?”
“ Ntar dulu. Jangan koor setuju
saja. Sekarang kan zaman transparan dan akutanbilitas. Saran saya nih
informasikan dahulu beberapa dana yang harus digunakan. Beberapa dana yang
sudah ada. Lalu sisanya kita bagi-bagi lah untuk menutupi kekurangannya,” kata
Amri.
“ Bagai mana teman=teman?”
Rosa mengancungkan tangan
“ Ya! Ada saran, Ros?” Tanya andi.
“ saran saya, kelas ini bukan
lembaga pemerintahan yang harus membayar dana milyard-milyard begitu. Ketua
kelas tetapkan saja berapa rupiah yang harus di bayar masing-masing siswa.
Apalagi waktu kita sempit nih. Ntar kalau perlu dana cadangan saya, terutama
Mia pasti siap memberikannya. Bukan begitu, Mia??”
Mia di kenal sebagai anak orang kaya
hanya tersenyum – senyum mendengar kata
– kata Rosa.
“ Dia type manusia yang tak mau
kalah.” Bisik Mia kepada Nina.
“ apa perlu discounter?”
“ apa kamu bisa?”
Nina tak menjawab, ia mengacungkan
tangan.
“ silahkan Nin…”
“ saya kira kita tidak usah
melibatkan orang lain kalau mau berbuat baik! Dengan kata lain. Apa yang di
kemukakan amri telah tepat. Seharusnya pengurus kelas sudah mempunyai bahan
untuk rapat ini. Khususnya yang berkaitan dengan dana. Artinya lagi
masing-masing kita dapat menerima dengan akal sehat bahwa pembebanan dana
tambahan itu memang logis adanya.”
“ saya mau bicara.” Potong olla.
“ Bicaralah, kita di sini memang
sedang belajar berdemokrasi.”
“ Apa yang di katakana seseorang
yang bernama Nina tadi tidak tepat.”
“ Maksut kamu apanya yang tidak
tepat?” Nina menyalip perkataan olla.
“ Karena jika harus membaca
keseluruhan rancangan dana akan membutuhkan waktu. Padahal waktu kita
berbeda-beda. Artinya masing-masing ada keperluan lain yang harus di lakukan
oleh teman-teman, terutama saya. Jadi saya usul tetapkan saja, berapa
persiswanya yang harus membayar. Titik!”
“ Izinkan saya bicara. Saya kira
kami pengurus kelas tidak ada maksud mengambil keuntungan dalam hal ini. Nanti
selesai acara kita akan buat laporan tertulis mengenai pertanggung jawaban
dana. Jadi saya beri alternative bagaimana kalau seratus ribu perorang ? “
“ Setuju ! “ jawab Rosa cepat.
“ Apa perlu dikurangi ? “
“ Tanya saja sama Nina, Di ? “ dian
kasi komentar.
Nina terdiam.
“ bagaimana, Nin ?”
Mia mengguit Nina.
“ Saya setuju saja. “
“
Steju ya seratus ribu?”
“ Setuju..!!!”
“ Kalau begitu keputusan sudah kita
ambil. Mulai besok teman-teman bisa membayar kepada bendahara kelas yaitu kepada
Nancy. Sedangkan jadwal keberangkatan kita rencanakan dua minggu ke depan. Ada
yang mau bertanya lagi ??”
Mia mengancungkan tangan. Ruang
kelas hening. Murid-murid ingin tahu apa yang akan ditanyakan Mia. Gadis yang
dapat di katakana terkaya di kelas itu.
“ Mau Tanya apa kamu?” bisik Nina
ketelinganya.
“ Boleh nggak bawa kendaraan
sendiri?” jawab Nina.
“ Hups! Batalkan, Mia. Itu
pertanyaan terlalu sensitive. Tidak enak di dengar teman-teman.”
“ Kenapa ? orang mobil mobilnya aku
kok!”
“ Memang. Tapi ini dalam forum
resmi, jangan buat kecemburuan social.”
“ Sok tahu kamu.”
“ Sungguh! Aku tidak setuju jika itu
yang kau tanyakan dalam rapat beginian.” Tegas suara Nina didengar Mia.
“ Oke Mia. Katakana saja. Jangan
dengarkan bisikan dari sebelah,” cetus Andi.
Mia ragu “ sebenarnya yang mau
bertanya lagi si Nina. Udah kamu aja nanya langsung, Nin!”
Nina Tersikap.
“ Nanya kok pakai telangkai segala.”
“ Kan lagi trend jubir. Juru
bicara!”
Nina Cepat putar akal. Ya ia dapat
ide. “ begini, sebaiknya ada surat resmi kepada orang tua kita masing-masing,
bahwa sekolah, khususnya kelas kita iniu mau mengadakan outbond tersebut.”
“ Ya itu ide bagus. Nanti akan kita
sampaikan kepada wali kelas. Catat itu sekretaris.”
“ ada lagi?”
“ saya kira itu saja dulu.”
“ atau yang lain ada mau kasih
masukan?”
“ cukup ketua kelas.”
“ baiklah rapat di tutup dan kita
bubaran.”
“ pertanyaan bagus, Nin.” Ucap Mia
saat mereka jalan keluar kelas.
Nina tersenyum-senyum.
“ Mia! Tunggu!”
“ Nina dan Mia berhenti. Andi telah
berada di dekat mereka.
“ Aku mau bicara dengan Mia.”
“ O, ya. Kalau begitu aku duluan.”
“ Eit! Ntar dulu. Mengapa nina mesti
tak boleh dengar ?” selidik Mia.
“ Masalahnya……..”
“ Udahlah aku tunggu di parkiran.
Kita barengankan? Atau kalau kalian ada janjian, aku naik kendaraan umum saja.”
Nina berinisiatif mengambil keputusan.
“ Sepertinya begitu Nin.”
“ ada apa rupanya, Di?” Mia
penasaran.
“ okelah duluan aja.” Tukas Nia dan
cepat-cepat meninggalkan Mia dan Andi.
“ Di tepi jalan Nina berdiri menunggu
angkutan umum yang trayeknya menuju rumahnya. Di dekatnya ada olla dan dian.
“ Hari ini ada yang tumben naik
kendaraan umum juga!” sindir olla.
“ Maklum kehabisan tenaga kali,”
jawab dian.
“ Tenaga apa ya?”
“ Tenaga ya itu…”
“ Ya itu apa?”
“ Dian..,”
“ Aku masih disini la.”
“ Pernah baca buku tentang parasit.”
“ Ya pernah. Liat parasit juga
sering.”
“ Ah yang benar? Dimana kamu liat
parasit?”
“ Dekat-dekat kita sekarang juga ada
parasit, la.”
“ Enaknya jadi parasit.”
“ Ya enaklah! Kemana saja hinggap
dapat menggerogoti tempat yang ia hinggapi. Bisa numpang nebeng plus beng beng
trusss….!” Ucap ola dengan bibir di kedepankan lalu ntah merasa lucu dengan
kata-kata itu, olla dan dian tertawa lepas.
Nina yakin kata-kata yang terlontar
dari mulut olla dan dian sengaja di ucapkan. Mereka menyindir total dirinya.
Nini mencoba bersabar dan tidak ambil hati dengan ucapan olla maupun dian.
Meskipun di dalam sanubarinya yang
paling dasar berkecamuk deburan mara, kesal dan sakit hati. Itu sungguh menyesakkan
yang memerlukan penyaluran untuk di keluarkan. Bagaikan lahar yang ada di
gunung merapi. Ingin dan ingin sekali nina mengeluarkannya.
“ Penampilan pertama memang
mengesankan. Tapi kalau udah tau belangnya, ya seperti ban pecah yang sulit
sekali untuk di temple,” lanjut olla bersemangat.
“ Apa maksutnya ?”
“ Maksutnya? Masak nggak tau kamu
dian?”
“ Benar. kali ini Otak ku hang.”
“ Maksutnya enggak ngaca diri.”
“ Siapa yang nggak ngaca diri?”
“ Ya parasit tadi lah.”
Olla dan Dian kembali tertawa
terbahak-bahak.
Nina yang tadi melihat kearah jalan,
kali ini tak kuasa. Ia mendekati lagi kepada dua siswa sekelas dengannya. Ia
memandang tajam ke arah olla. Tidak berapa lama mengalihkan pandangan kepada
dian.
“ Jaga mulut kalian ya.” Suara Nina
tinggi.
“ Eit..! ada yang gondok. Seru olla.
“ Siapa yang gondok?” Tanya dian
cepat.
“ Ya parasit tadi lah.”
Olla dan Dian lagi-lagi
menghamburkan tawa dari bibir mereka.
“ Nggak normal juga nih orang.”
Umpat nina.
“ Yang nggak normal kamu.” Serang olla.
“ kalau manusia normal itu masih
punya malu. Masih punya harga diri. Masih punya apa lagi la?”
“ Masih mau punya kemauan untuk
tidak menjadi Parasit.”
“ Nah. Itu baru manusia Normal.”
Suara klakson kendaraan umum
berbunyi. Nina membaca mengalihkan matanya kekendaraan umum, Nomor 27. itu
kendaraan yang melintas tempat tinggalnya. Ia menyetop bus tersebut. Bus
berhenti. Nina masuk ke bus membawa hati yang membara. Tunggu kalian pembalasan
ku, kata nina dalam hati.
# # #
Di
kamar tidur Nina merebahkan diri. Penat menergap tubuhnya. Barusan ia
menyelesaikan tugas rutin. Mencuci piring, yang disusul dengan mengerjakan
pekerjaan rumah yang di titahkan gurunya.
Nina menatap lekat – lekat asdes
rumah yang telah pudar catnya. Rencana outbond
itu masih mengiang – ngiang di
telinganya. Ia tak mungkin menyatakan ketidaksetujuan kegiatan itu
dilaksanakan. Ia pasti kalah. Karena kegiatan itu berkaitan dengan kepentingan
sekolah.
Tapi konsekuensi dari diadakannya outbond setiap siswa harus merogoh
kantong orang tua masing – masing untuk nilai seratus ribu rupiah. Menurutnya
uang seratus ribu rupiah dagi teman – temannya bukan sesuatu yang sulit untuk
di minta dari orang tua.
Tapi baginya bukan sesuatu yang
mudah. Bagaimana memeberitahukan hal ini kepada ibunya ?, Ayahnya pasti bilang
tak usah ikut – ikutan kegiatan seperti itu.yang penting sekolahnya. Nina yakin
itu yang akan diucapkan ayahnya. Kalau tidak diberitahu sama ayah dan ibunya,
apa cara untuk mendapatkan uang sebesar itu.
Apalagi surat resmia akan
disampaikan kepada masing – masing orang tua siswa. Mau tidak mau ayah dan
ibunya akan tahu juga pelaksanaan outbound
tersebut.
Lalu Nina duduk ditempat
tidur.tanganya menggaet gitar yang ada didekatnya. Ia memetik senar itu
perlahan – lahan. Menyanyikan lagu yang ia ciptakan sendiri.
Mengapa
jalan hidupku sarat dengan kisah
Antara
harap dan kenyataan
Tak
jua sampai di tepiannya
Aku
terus melangkah
Di
kegelapan malam
“
Belum tidur kak ?” Tanya Arni lembut yang muncul dari luar. Wajahnya, tangannya
dan rambutnya basah oleh air wudhu’
“
Belum”
“
Arni mau sholat Isya dulu”
“Ya, Sholatlah”
“ kakak kok jarang sholat ya?” Tanya
Arni yang mendadak membuat wajah Nina memerah.
Ini
pertanyaan yang sensitive. Berani – beraninya adiknya itu bertanya seperti itu
kepadanya. Nina agak emosi. Sebagai seorang kakak merasa di atur. Mau sholat
kek mau nggak sholat kek,itu kan urusan pribadi saya. Kok bisa – bisanya
adiknya mengeluarkan pertanyaan seperti itu kepadanya.
“Mengapa
tanya – tanya begitu?” Nina balik bertanya
“sholat
lima waktu kan wajib hukumnya.kecuali kalau kita lagi berhalangan, baru kita
tidak wajib mendirikan sholat.”
“
Dari dulu kajiannya memang sudah pas begitu”
“
Tapi, kaji itu memang mesti di ulang – ulang. Bukankah lancer kaji karna di ulang?”
“kamu
kenapa, Ni ? Baru selesai ikutan pesantren kilat ya?
“Merupakan
suatu kewajiban untuk saling mengingatkan, kak.”
“Aku
belum lupa ingatan, Ni.nggak usah diingat – ingatkan.”
“tahu
nggak kak, ada lima belas perkara siksaan dari Allah bagi mereka orang yang
melecehkan dan menganggap enteng terhadap sholat.”
Nina
belum pernah mengetahui itu. Ia memandang wajah teduh milik adiknya.
Sebelum ia
berucap sepatah kata, Arni sudah berkata lagi.
Enam perkara di dunia ini, tiga
perkara pada saat mati, tiga lagi pada saat di kuburan, dan tiga lagi pada hari
kiamat ketika keluar dari kubur. Rinciannya ada pun enam siksaan yang di
berikan di dunia yaitu hilangnya berkah dari usia, menghapuslah berkah dari
rezekinya, wibawa orang soleh akan hilang dari wajahnya, amalan yang dikerjakan
tidak akan memperoleh pahala, serta do’anya tidak akan naik ke langit.”
Nina mendengar kata-kata adiknya
itu.
“ adapun tiga perkara yang menimpa
orang yang meninggalkan sholat pada waktu ia mati ia akan mati dalam keadaan
sangat hina, dia akan mati dalam keadaan lapar, dan dia akan mati dalam keadaan
dahaga. Kemudian tiga siksaan yang akan menimpa di alam kubur yaitu tuhan akan
menempatkan malaikat yang kerjaannya hanya mengganggu dia, sehingga perasaan
berkecamuk dan badannya terguncang di alam kubur, dan kuburanya akan sempit,
serta kuburannya menjadi gelap.”
Nina masih terdiam mendengar
kata-kata arni.
“ Sedangkan tiga perkara yang akan
menyiksa pada hari kiamat adalah wajahnya diseret oleh para malaikat di mana
semua makhluk akan melihatnya, dan di hisab dengan hisaban yang berat serta
azab yang pedih akan menimpanya.”
“ Sudah selesai ceramah agamanya,
Ni. Spontan saja Nina berkata seperti itu.
“ Dan kita tidak boleh takabbur
kak.”
“ Siapa yang takabbur? Ah, sudahlah!
Nggak usah di perpanjang pembicaraan. Ayo, sholat saja kamu sekarang.” Nina bangkit
dari tempat tidur dan melangkahkan kaki keluar kamar tidur.
Di ruangan tamu Nina melihat ayah
dan ibunya sedang menonton televise. Sinetron komedi terpancar dari layer
gelas. Ayah terbatuk-batuk mesti adegan – adegan yang ditayangkan menawarkan
kelucuan yang di perankan para bintang sinetron. Sementara ibu tersenyum-senyum
menikmati tayangan komedi tersebut.
“ Dido mana ya bu?” Tanya Nina
kepada Ibunya. Ia mengambil posisi duduk di samping ibunya.
“ Dido lagi beli obat nyamuk.”
Gimana sekolahmu Nin?” Tanya ayahnya
tanpa melepaskan pandangan mata kea rah televisi dengan rokok yang terselip di
tangannya.
“ Biasa, Yah.”
“ Biasa gimana?”
“ Ya biasa gitu la, Yah.” Jawab Nina
seenaknya.
“ Kalau ngomong itu yang jelas Nin,”
Komentar ibunya Nina.
“ Gimana lagi menjelaskannya bu.
Yang jelas tak lama lagi kami akan mengikuti ujian akhir,” ucap Nina dengan
mata yang tak terlepas tertuju ke layer televise.
“ Persiapkan lah dirimu untuk
mengikuti ujian akhir tersebut. Hanya saja ayah berharap tamat dari sma ini,
kamu segera mencari kerjaan saja,” ujar ayah tenang.
“ Maksut ayah ?....”
“ Ya maksut ayah kamu tidak usah
melanjut ke perguruan tinggi. Adikmu arni dan dido masih membutuhkan biaya
untuk sekolahnya.” Suara ayah nina pelan namun terasa menggores ke sanubarinya.
Ia sadar betul apa yang di ungkapkan
ayahnya merupakan suatu bentuk pengakuan, bahwa mereka tak seberuntung sebagian
manusia lainnya. Keluarga potret bisa di bilang keluarga yang jauh dari
kesederhanaan.
Namun Nina mencoba menghibur
hatinya, bahwa masih banyak anak-anak lain yang tak seberuntung dirinya yang
kini duduk di kelas tiga SMA. Masih banyak anak-anak yang tidak dapat
meneruskan pendidikannya ke jenjang SMA.
“ Kamu harus memakluminya, Nin..
sambung ibu Nina.
“ Saya mengerti bu. Tapi sebelum
sampai ke ujian akhir tersebut, kelas kami atas nama sekolah akan melakukan
kegiatan outbond ke prapat dan pulau samosir. Kira-kira waktunya dua minggu
yang akan datang, Bu.
“ Wah kegiatan apa pula itu?”
“ Outbond secara garis besar adalah
salah satu priode menejemen untuk membangun dan mengembangkan jati diri dan
membangun kerja sama tim atau istilah kerennya team building. Pelatihanya di
lakukan di alam bebas.
“ Terus?”
“ Ya tentunya kegiatan ini di
lakukan di alam bebas. Di mana di alam ini kami mengusulkan agar outbond di
lakukan sembari mengunjungi objek wisata. Oleh karena itu di sepakati dalam
rapat yang kami lakukan memilih prapat dengan Danau Tobanya serta pulau samosir.
“ Jadi apa masalahnya?” ayah Nina
bertanya dengan rokok yang masih terselip di dua jarinya.
“ Ayah macam gak ngerti aja.”
“ Maksudmu?”
“ Ya yang namanya kegiatan ya perlu
biay. Karena ada beban biaya yang mesti di lunasi, maka di butuhkan uang. Dalam
rapat di putuskan masing-masing siswa dikenakan biaya seratus ribu rupiah.”
Ucap Nina pelan.
“ Seratus ribu rupiah?!” nada suara
ayah nina mengandung keterkejutan.”
“ Benar, Ayah.”
“ Apa wajib semua siswa harus ikut?”
“ Wajib ayah.”
“ Kalau tidak mampu?”
“ Kegiatan ini sudah di putuskan
oleh rapat kelas dan mendapat sokongan dari sekolah. Karena keputusan kelas
sudah bulat semuanya wajib turut serta, Yah.”
“ Ayah upayakan, Nin. Tapi kalau
tenggat waktunya tiba ayah enggak dapatkan uang sebesar itu ya apa boleh buat…”
kata ayah Nina pasrah.
“ Ibu akan usahakan juga Nin.”
“ Makasih ibu, makasih ayah, gumam
Nina dalam hati.
# #
#
Di kantin sekolah sore itu, Nina dan
Mia sedang menikmati juice jeruk. Nina ingin Mia bercerita apa yang ia bicarakan
dengan Andi ketoka pulang sekolah semalam. Namun Mia tak jua menunjukkan tanda
– tanda akan melakukan hal itu. Apakah ada rahasia yang ia sedang bangun di
sudut sanubari? Meskipun sebagai sobat kental, Nina tidak ingin Mia
tersinggung.
“O,ya?”
“Ada oleh – oleh dibawa papa dari
Jakarta”
“Bagilah, Mia”
“Nanti aku berikan padamu.”
“Oleh
– oleh apa?”
“Biasalah,dodol!”
“Hm…
sebelumnya makasih ya,Mia”
Mia
mengganggukkan kepala.Lalu meminum juice jeruk itu perlahan.
“Tahu
nggak Nin.”
“Tahu
apa,Mia?”
“Masak
si Andi semalam main tembak langsung aja ngomong.”
“Ngomong
apaan dia?”
“Mulai
sekarang aku ingin berteman lebih dekat denganmu, Mia”Begitu katanya. Iiih!
Norak juga tuh cowok.
“Jadi,
apa respon kamu?:
“Ya,
aku diam habis saja.tidak ku iyakan tidak ku tolak.”
“ Reaksi Andi?”
“Dia langsung cabut.”
“sebentar saja kalian bicara?.”
“Bicaranya sebentar.pesan makanan,
lalu memakannya itu yang bikin lama, Nin.”
“Mimpi apa kamu sebelumnya, Mia?”
“Nggak ada.”
“Tapi kamu senangkan…..?
“Ah,biasa saja, Nin. Di luaran sana
masih ada yang ngebet mau jadiin aku pacarnya. Aku mau terus mengokekan.”
“Siapa?”
“Ya temanku di les musik yang
namanya Ihsan. Ada juga Chairullah temanku di komunitas mobil.kemudian Marcello
teman satu compleks.
“Wajar saja, Mia. mana ada semut
yang tidak doyan gula.”
“Memangnya aku gula?”
“Perumpamaannya. Artinya kamu
memiliki daya tarik dan daya pesona yang mampu membuat mata normal cowok
memberikan penilaian bahwa aromamu manis sehingga merekapun dengan rela datan, dengan
isyarat atau secara blak – blakan mencoba menikmati manisnya kamu ..”
“Tapi semua itu semu, Mia …”
“Semu?”
“Ya semu.seperti bayang – bayang.ada
tapi tak bisa di genggam. Mereka bagaikan bayang – bayang.Ada. tapi belum tentu
bisa aku genggam secara nyata.
“Maksudnya?”
“Aku menyangsikan keinginan mereka
untuk menjadikan aku pacar mereka hanya bukan semata rasa itu,tapi ada alasan
tertentu.”
“Menurut kamu?”
“Karena aku anak orang kaya. Karena
aku boleh jugalah soal wajah dan penampilan. Pikir mereka aku bloon apa?”
“Kamu jangan memvonis perasaan orang
lain semudah itu. Mia. Itu artinya kamu berprasangka buruk kepada mereka. Ya
wajarlah cowok naksir cewek yang cantik, dan dari keluarga kaya lagi. Seperti
kamu.”
Nina melihat Olla dan Dian berjalan
menuju kantin. Tiba di kantin mereka duduk berhadapan dengan Nina dan Mia.
“Aku
masih seperti yang dulu…” ucap Olla mengutip satu kalimat yang bersumber
dari sebuah lagu terkenal zamannya Dian Pishesa.
Nina dan Mia diam. Tidak berkomentar
dengan gaya Olla yang dibuat-buat. Nina nggak habis pikir apa maunya dua
mahkluk yang berada di depannya itu. Ia merasa tak pernah mengganggu mereka.
Tapi kenapa mulut usil mereka begitu awet mereka pelihara.
“Kita Bm-Bm ya, Dian!” suara Olla
berintonasi tinggi, seolah-olah agar Nina mendengar kata-kata itu.
“Ya ialah. Masak kamu terus-terus
yang membayari aku. Aku masih punya harga diri, Olla.”
“Begitulah kalau berteman. Jangan
mumpuni terus. Bisa bangkrut aku kalau kamu menggerogoti aku hari demi hari.”
“Ada apa nih?” Mia angkat bicara.
Olla mengangkat tangannya. “Nggak
ada apa-apa…..”
“Kenapa nih orang, Nin?” tanya Mia.
“Nggak tahu, Mia. Kali aja lagi
kambuh penyakitnya,”jawab Nina sekenanya.
Wajah Olla memerah. Raut muka Dian
pun berubah. Ada emosi terpancar daro bola matanya.
“Dengar ya, Mia. Biarpun kamu anak
orang berada, kamu jangan mentang-mentang di sini. Yang kaya orang tua kamu.
Bukan kamu!” Olla berkata pelan dengan mendekatkan wajahnya ke muka Mia.
“Dan kamu juga Nin. Tahu dirilah.
Anak tukang temple ban jangan berpenampilan seperti selebriti. Mau muntah aku
melihat kamu,” ujar Dian sengit.
Kemarahan Nina memuncak. Tangannya
reflek menggenggam gelas yang masih menyisahkan seperti air jeruk pesanannya.
Ia curahkan juice jeruk itu ke baju Olla dan Dian. Olla dan Dian tak sempat
mengelak. Tepatnya lagi tak menyangka Nina akan berbuat seperti itu. Akibatnya
baju putih mereka menjadi basah.
“Ini masih pendahuluan. Nanti waktu outbond aku habisin kalian! ucap Nina
beraromakan ancaman.
“Mestinya kamu enggak sampai
bertindak sejauh itu, Nin.” Mia mengikuti langkah Nina keluar dari kantin
menuju kelas.
“Mereka sudah keterlaluan.”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi-tapian, Mia.”
“Masalahnya kamu bisa di hokum.”
“Siapa yang akan menghukumku?”
“Ya guru pembimbingmu.”
“Aku punya alasan untuk hal ini.”
“Kalau guru pembimbing bisa memahami
kamu oke-oke saja. Tapi kalau tidak? Bisa gawat kamu, Nin. Apalagi mereka itu
pintar memutar balikkan faktanya, bisa-bisa kamu diskors!”
“Taka apa, Mia. Itu sudah resiko
yang harus aku hadapi. Dalam hidup ini kita harus punya prinsip. Prinsipku
siapapun orangnya yang menghina keluargaku aku akan lawan. Memang benar ayahku
hanya seorang tukang tempel ban. Tapi cara ia mengungkapkan sudah merupakan
penghinaan. Apa kamu mau diperlakukan semena-mena seperti itu?”
Mia menggelengkan kepala.
“Begitu juga aku, Mia.”
Mereka tiba di kelas. Baru saja Nina
menduduki bangkunya, Andi dating dengan nafas tersengal-sengal.
“Kalian berdua dipanggil ke ruangan
guru pembimbing.”
“Siapa takut!” balas Nina. Berdiri
dan bergegas keluar kembali dari ruangan kelas. Mia menyusul Nina dengan
harap-harap cemas. Selama bersekolah baru sekali ini ia mengalami peristiwa
seperti ini.
“Kamu jangan takut, Mia. Aku yang
bertanggungjawab dalam hal ini. Karena aku yang mencurahkan air jeruk itu ke
baju mereka.”
Nina dan Mia tiba di ruangan guru
pembimbing. Olla dan Dian duluan sampai. Mereka telah duduk di bangku yang
tersedia di situ.
“Selamat sore, Pak,” sapa Nina
tenang.
Berdiri kamu di situ! hardik Pak Ruslan.
Nina berdiri di dekat meja Pak
Ruslan,
Kamu boleh duduk di sana.”
Mia menuruti perintah Pak Ruslan.
“Kamu sadar nggak apa yang telah
kamu lakukan kepada teman kamu sendiri?.”
“Saya tidak merasa punya teman
seperti mereka, Pak.”
“Diam kamu!” bentak Pak Ruslan.
Merasa benar Nina tidak takut.
Wajahnya tenang. Berdiri dengan sempurna, tanpa dipengaruhi rasa gemetar.
Justru ia merasa dengan tindakannya tadi kepada Olla dan Dian, ia telah membela
diri, membela keluarganya.
“Saya paling benci dengan siswa yang
melanggar aturan sekolah. Saya paling tidak senang ada siswa yang dengan
gampangnya memperlakukan siswa lainnya seperti yang kamu lakukan kepada mereka
berdua. Kamu harus diskors. Panggil orang tuamu kemari besok. Kalau tidak kamu
akan dikenakan sanksi tidak dapat mengikuti ujian akhir.”
“Bapak harus dengar dulu penjelasan
saya.”
Apa lagi yang mesti kamu jelaskan.
Faktanya sudah ada. Baju mereka kamu siram dengan juice jeruk.”
Mereka menghina saya. Menghina
keluarga saya.”
“Apa buktinya mereka menghina kamu?”
“Mereka bilang tahu diri kamu, anak
tukang tempel ban jangan
berpenampilan seperti selebritis.”
“Ya memang seharusnya begitu. Kita jangan besar pasak dari pada tiang.”
“Tapi
saya tidak merasa berpenampilan sebagai selebritis, Pak. Dan saya rasa apapun
pekerjaan orang tua kita asal halal tidak masalah, tapi bukan berarti harus
diumbar dengan nada yang sifatnya mengejek.”
“Kamu
juga mengancam mereka. Mau menghabisi mereka. Hebat benar kamu. Apa orang tuamu
preman?”
“Tidak
usah berdebat. Di sini kamu siswa. Saya guru pembimbing. Kalau kamu masih mau
dibimbing dengarkan kata-kata saya, kamu sore ini sehabis sekolah harus menyapu
seluruh kelas. Kedua orang tua kamu suruh datang kemari. Dan ketiga kamu mesti
minta maaf kepada Olla dan Dian.”
“Saya
akan menyapu seluruh ruang kelas sehabis pulang sekolah. Besok saya yakini ayah
dan ibu saya akan datang ke sekolah menemui bapak. Tapi, untuk minta maaf
kepada mereka saya tidak akan, Pak” ujar Nina dengan sikap sempurna.
Pak
Ruslan tersekiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nina. Ternyata ia
menghadapi sosok siswa yang tangguh. Belum pernah ada siswa yang menolak
perintahnya. Untuk tidak menjatuhkan marwahnya di depan empat orang siswa itu,
Pak Ruslan ngotot agar Nina minta maaf kepada Olla dan Dian.
“Kalau
kamu tidak mau minta maaf kepada mereka, kamu akan dikeluarkan dari
sekolah,”ancam Pak Ruslan.
“Apa
karena saya tidak mau minta maaf kepada kedua orang ini saya dikeluarkan dari
sekolah? Aneh juga sekolah ini menurut saya.”
“Kalian
bertiga kembali ke kelas.”
Olla
dan Dian serta Mia keluar dari ruangan. Nina masih berdiri dengan sikap
sempurna.
“Kamu
jangan melawan saya ya. Saya bisa nekat!” Pak Ruslan membelalakkan matanya.
Bapak
kok ngotot berat belain mereka”?
Tiba-tiba
Pak Ruslan memegang tangan kanan Nina. Dan tangan satunya lagi menjambak rambut
panjang Nina.
“Dengar ya kesabaran saya sudah mulai habis. Kamu harus minta maaf
kepada Olla dan Dian. Titik. Saya kasih waktu sampai besok. Di depan kedua
orang tuamu. Jika tidak? Kamu akan menyesal. Kalaupun saya tidak berhasil
mengeluarkan kamu dari sekolah ini, kamu akan terus saya kejar!”
Psikopat
juga nih manusia satu ini, batin Nina berkata. Tapi justru ia juga menjadi
tertantang. Semangatnya untuk survive memuncak. Ia telah lama menderita dan
hidup dalam bayang-bayang kecemasan saat harus berpindah-pindah tempat tinggal.
Tapi untungnya dengan kondisi seperti itu Nina banyak bertemu manusia. Ia
banyak belajar dari tingkah laku manusia di sekitar tempat ia tinggal.
“Lepaskan,
Pak. Atau saya menjerit sekuat-kuatnya!”
“Coba
kalau berani? Menjeritlah sekeras-kerasnya!.Ayo menjeritlah!”
Nina
pantang ditantang. Dengan cepat ia melakukannya. “Tolong!!! Tolong!!!” spontan
Nina berteriak sekuat-kuatnya. Guru-guru dan siswa pada berhamburan dan berlari
menuju sumber suara. Pak Ruslan gelagapan. Ia tak menyangka Nina akan bertindak
seperti itu.
“Ada
apa?” tanya Ibu Rifka yang duluan tiba di ruangan.
“Tidak
ada apa-apa, Bu” Jawab Pak Ruslan gugup.
“Ada
apa ini?” tanya Pak Broto guru olah raga yang memiliki ilmu bela diri Karate.
“Saya
terkejut. Mungkin halusinasi saya atau apalah namanya, saya merasa ada melihat
penampakan di sudut itu.” Nina mengarang. Tentunya untuk konsumsi para guru
yang ada di ruangan itu.
Nina
tidak mau menceritakan hal sebenarnya apa yang dilakukan Pak Ruslan kepadanya.
Hal ini disadari karena tidak adanya sanksi, sehingga bisa saja apa yang
katakannya nanti dibantah oleh Pak Ruslan.
Salah
seorang guru sudah membubarkan kerumunan guru. Mereka diperintahkan untuk
kembali ke kelas masing-masing. Beberapa guru juga kembali ke kelas untuk
mengajar. Tinggal Pak Broto, Pak Ruslan dan Ibu Corista yang berada di dekat
Nina.
“Sebaiknya
kamu pulang saja. Bukan begitu Pak Ruslan.” Ibu Corista memberikan saran,
Pak Ruslan tak bisa berkeras. Ia menganggukkan kepala.
Nina
tersenyum kemenangan. Tentunya di dalam hati.
# # #
Pagi
yang cerah. Mentari menyirami kota Medan dengan sinarannya. Angin berhembus
lembut. Di halaman parkir sekolah, anak-anak siswa kelas III IPS 1 menyambut
suasana pagi dengan riang. Pagi ini mereka berkumpul untuk berangkat menuju
Prapat dalam rangka kegiatan Outbond.
Anak-anak sudah tak sabar untuk masuk ke dalam bus.
“Hey,
Mia sebelumnya aku ucapkan thank’s ya”
“What for?”
“Ya
atas bantuanmu membayar biaya outbond.”
“Sudahlah,
Nin. Aku senangnya aja bisa bantu kamu.”
“Orang
tuaku sebenarnya telah memberikan uang untuk biaya outbond ini. Ada baiknya aku berikan kepadamu uang seratus ribu
ini.”
“Nggak!
Nggak usah, Nin. Udalah nggak kita bahas. Kasus ditutup!”
Nina
menghela nafas. Namun dalam hatinya ya sudah kalau nggak mau terima. Lumayan
dapat seratus ribu. Bisa beli majalah Hello. Meskipun Nina tahu ibunya terpaksa
meminjam uang kepada seorang ibu yang punya aktifitas meribakan uang di lingkungan
tempat tinggal mereka.
Pak
Broto memberikan aba-aba kepada siswa untuk masuk ke dalam bus dengan tertib.
Seluruh barang juga dimasukkan ke dalam bagasi bus pariwisata itu. Tidak
beberapa lama semua siswa sudah berada di dalam bus.
“Tidak
ada yang ketinggalan?”
“Tidak,
Pak….!”
“Oke,
kita berangkat. Sebelum berangkat mari kita berdoa dalam hati semoga perjalanan
kita selamat sampai tujuan.”
“Baik,
Pak.”
Pak supir mulai menjalankan kendaraan itu. Pelan namun pasti kenderaan
sampai di persimpangan Amplas. Melewati Amplas, bus masuk jalan tol Tanjung
Morawa. Tidak berapa lama keluar tol dan menyelusuri jalanan menuju Lubuk Pakam
ibu kota Kabupaten Deli Serdang. Terus melaju ke Kabupaten Serdang Berdagai.
Kemudian tiba di kota Tebing Tinggi Dari kota Tebing Tinggi menuju kota
Pematang Siantar. Bus mulai menyusuri jalan mendaki menuju Parapat di mana di
daerah itu terletak Danau Toba dengan di tengah-tengah terdapat pulau yaitu
Pulau Samosir.
Nina
menyaksikan keindahan alam lewat jendela bus. Baru sekali ini ia bisa menikmati
perjalanan ke Prapat. Itu bisa dimaklumi, mengingat kondisi perekonomian orang
tuanya yang tidak memungkinkan mengajak anak-anaknya untuk berekreasi. Dan itu
tidak perlu disesali. Karena kalau dipikirkan bisa bikin stress saja. Bisa
gila! Masih dapat bersekolah hingga kelas III SMA sudah merupakan sesuatu
penghiburan bagi Nina.
“Kamu
udah punya pacar, Nin?” tanya Mia berbisik saat Danau Toba telah terhampar di
kerjauhan.
Nina
memalingkan wajahnya ke kanan dan berkata kepada Mia, “Aneh pertanyaan kamu,
Mia.”
“Aku
serius, Nin.”
“Selalu
kita bersama masak nggak bisa kamu ambil kesimpulan. Lagi pula siapa mau
denganku? Aku bukan gula, Mia. Aku mungkin hanya semacam minyak goreng. Rasanya
kurang sedap jika dimakan begitu saja.”
“Kamu
bilang hidup jangan pesimis. Nyatanya kamu pesimis, Nin.”
“Aku
nggak pesimis. Justru aku realis, untuk apa mengejar yang tak pasti. Lebih baik
menjaga apa yang dimiliki sekarang ini. Sekarang ini aku masih mempunyai ibu,
ayah, dua orang adik. Ya kepada mereka aku curahkan kasih sayang, dan cinta
kasih.
Bus
yang membawa Nina dan teman sekelas sampai di salah satu tempat penginapan yang
telah dipesan sebelumnya, yang mana lokasinya di salah satu tepian Danau Toba.
Para siswa keluar dengan tertib. Nina membiarkan saja teman-temannya
keluar duluan. Setelah bus mulai lapang, ia pun mengangkat tubuhnya dari kursi.
Berjalan menuju pintu bus. Lalu turun. Mia ada di belakangnya.
“Mau
bikin perhitungan kepada Olla dan Dian, Nin?”
“Tiga
hari diskorsing membuat hati ini makin sakit, Mia? Masih di sekolah yang bisa
disebut lingkungan kecil, namun keadilan itu tak berjalan sesuai hati nurani,
gimana lagi dalam bejana yang lebih besar di lingkungan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?” suara Nina kata Nina tegas.
“Untuk
misi ini aku akan melakukannya sendiri, Mia. Kamu bersih. Kamu tidak ada urusan
dengan mereka. Kamu bukan musuh mereka. Yang berseteru itu adalah aku. Jadi
nggak usah ikut-ikutan!” lanjut Nina
Nina
dan Mia menuju kamar yang diperuntukkan kepada mereka. Ibu guru Corista
mengingatkan bahwa para siswa diberi waktu satu jam untuk beristirahat dan
merapikan kamar tidur. Nanti di lanjuti makan bersama. Sholat Dzuhur yang
menjalankan nya, dan jam tiga dimulailah kegiatan-kegiatan Outbond yang dipandu oleh beberapa instruktur dari pihak luar yang
melakukan kerja sama dengan sekolah.
# # #
Jam
menunjukkan pukul delapan malam. Nina sendirian di kamar. Sesuai makan malam
barusan perutnya mulas, ia balik ke kamar untuk melepaskan sisa-sisa makanan.
Berbagai game yang mereka laku siang hingga menjelang Maghrib cukup membuat
badannya terasa penat. Namun malam ini diagendakan sebagai acara hiburan Nina
ingin bernyanyi. Pelajaran di sekolah tidak ada lagi yang namanya bernyanyi di
depan kelas. Ia ingin teman-temannya tahu ia juga bisa bernyanyi.
“Sudah
kumpul semua?” Instruktur yang dipanggil Pak Ninok bertanya.
“Sudah,
Pak.”
“Acara
hiburan ini kita selingin dengan beberapa permainan, ya…”
“Ya,
Paaakkk.”
Pak Ninok memang jagonya memotivasi siswa. Anak – anak dimotivasi untuk
berani berbicara di depan umum, Di samping itu potensi diri mereka dicoba untuk
digali sehingga memiliki semangat untuk terus berkembang. Apalagi masa depan
itu memerlukan perjuangan untuk meraihnya. Dan untuk meraihnya memerlukan kerja
keras, semangat yang tangguh, dan kemampuan diri dalam mengendalikan diri.
Nina
sudah bergabung di antara teman-teman. Ia mengambil posisi duduk di samping
Syamsul. Matanya mencari-cari Mia. Ternyata sobatnya duduk mulai lengket dengan
Andi. Ia melihat Mia dan Andi berbisik-bisik bicara.
“Oke
siapa yang mau menyumbangkan suaranya?” tanya Pak Ruslan setelah salah seorang penyanyi
dari kelompok keyboard itu usai melantunkan sebuah lagu miliknya Siti
Nurhalizah, Bukan Cinta Biasa.
“Ayo,
jangan malu-malu. Tadikan kita belajar untuk pede dan berani berdiri di depan.
Sekarang kita harus berani berdiri di depan. Sekarang kita harus berani berdiri
di depan sambil bernyanyi. Soalnya nanti belum pas benar suara dengan musiknya
ya nggak apa-apa. Kita disini belajar. Belajar menggali potensi diri….” Suara
Pak Ninok yang khas mencoba menggugah para siswa.
“Ketua
kelas dulu yang nyanyi…”
“Ya
ketua dulu baru nanti anggota.”
“Tidak
mesti begitu. Sekarang kita buat aturan mainnya. Kita wajib mematuhi aturan
mainnya.”
Anak-anak
serius mendengar apa yang dikatakan Pak Ninok. “Pemain Keyboard memainkan
instrumental sebuah lagu yang bersamaan dengan itu sebuah tas di gilirkan
kepada masing-masing kepada siswa. Apalagi musik berhenti dan tas juga harus
berhenti dioperkan. Nah, bagi siapa yang memegang tas pada saat musik berhenti,
dia yang harus bernyanyi. Dan setelah ia bernyanyi ia boleh menunjuk siapa yang
berikutnya untuk bernyanyi. Jelaskan aturan mainnya?”
“Jelas,
Pak.”
“Oke
kita mulai.”
Pemain
keyboard ditutup matanya. Lalu menghidupkan musik yang sudah direkam dalam
disket. Instruktur memberi aba-aba berhenti. Musik berhenti. Tas berhenti di
hadapan Amri.
“Nah , sekarang Amri yang harus bernyanyi.”
Amri
bernyanyi dengan seadanya. Teman-teman geli melihat penampilan Amri. Setelah
selesai, Amri menunjukkan Syamsul. Begitulah mereka saling bergiliran
menunjukkan kemampuan suara mereka.
Ketika
Mia ditunjuk ke depan. Ia minta izin bernyanyi sambil memainkan keyboard. Itu
bukan hal baru baginya. Ia memang les musik sekaligus les vokal. Dengan
fasilitas yang ia miliki dan memang ada hobby dalam hal musik dan nyanyi
membuat teman-teman minta tambah.
Usai
Mia bernyanyi, Mia menunjuk Rosa. Rosa termasuk anak orang golongan berada
juga. Tetapi kesan ekslusifnya luar biasa. Pergi dan pulang sekolah di antar
supir pribadi. Pendiam dan kesannya menutup diri. Sesekali ngomong namun
omongannya terkadang membuat pedas telinga.
Nina
pernah ketiban ucapan yang tak mengenakkan dari Rosa.
“Uang
jajan kamu berapa sehari, Nin?”
“Nggak
ada. Saya nggak punya uang jajan.”
“Oohh…pantas…”
“Pantas
kamu dekati terus si Mia. Pandai juga kamu membuat strategi.”
“Maksudmu.”
“”Ya,
dengan berkawan sama si Mia, kamu bisa lepas untuk minum juice atau apa kek
namanya.”
“Kok
gitu ngomongnya, Ros!?”
“Soalnya
kamu akrab banget dengan Mia. Di situ ada Mia pasti ada kamu.”
Itulah
yang diingat Nina dari Rosa. Mau marah? Ya seharusnya marah, tapi kalau
dipikir-pikir untuk apa harus marah-marah. Toh, yang ia lakukan hanya sekedar
menjalani ritual persahabatan saja. Ia tidak pernah minta sama Mia. Kalau Mia
memberi atau menawarkan sesuatu ya kan nggak salah di terima. Ketika Mia
mengajakikan pulang bareng sekolah naik mobilnya, ya tentunya tidak tolak.
Lumayan ongkosnya bisa dipergunakan untuk hal lain.
Nina melihat penampilan Rosa. Ia juga tak mau kalah dengan Mia. Rosa
bernyanyi sambil memainkan alat musik keyboard. Suaranya lumayan juga. Rosa
menyanyikan sebuah lagu miliknya Melly G.
Rosa
menunjuk Nina untuk bernyanyi selanjutnya. Nina melangkah ke depan.
“Lagu
potong bebek angsa saja!” Olla berkomentar.
Nina
mendengar komentar Olla. Ia tidak menggubris.
“Baiklah
saya akan mencoba untuk menyanyikan sebuah lagu. Tanpa bermaksud meninggi,
kalau teman-teman sudah pada bawain lagu-lagu miliki penciptanya. Saat ini saya
mencoba menyanyikan lagu ciptaan saya sendiri.”
“Yang
benar ciptaan kamu…!”serang Dian.
“Kita
tidak mau berdebat di sini. Baik saya akan menyanyikan. O, ya saya juga akan
memainkan sendiri alat musiknya.
Nina
menuju ke bangku itu. Di hadapannya sudah ada keyboard. Tanpa ada yang pernah
diketahuinya teman-temannya, Nina ternyata sejak sekolah dasar sudah mengenal
keyboard.
Kebetulan
tetangganya waktu mereka tinggal daerah Sei Mati punyai alat keyboard. Ia
berteman dengan tetangganya. Tetangganya itu dileskan privat alat musik
keyboard. Ia ikutan belajar. Begitu juga SMP. Ada saja orang-orang yang berada
disekitar tempat tinggalnya yang memiliki kemampuan dan berkenan mengajaknya
untuk bernyanyi dan berkeyboard.
Ketika
kelas satu SMA ia belajar musik di Taman Budaya atas bantuan dari guru keseniannya di SMP yang menaruh
perhatian kepadanya. Nina juga diajari menulis komposisi lagu dan mengaransemen
lagu.
Musik
mulai mengalun lembut bercampur dengan nada-nada sendu. Berkisah tentang
kehidupan yang sarat dengan kepedihan. Jiak dihayati mendalam akan membuat
sentuhan di kalbu. Bait-demi bait syair lagu karyanya sendiri Nina lantumkan
dengan syahdu.
Ku berjalan menyusuri malam
Ketika asa tak jua terangkaikan
Hanya derita sepanjang
perjalanan
Mencari dan mencari
lagi bahagia
Ku bertanya padamu
angin
Akan kah tirai ini
terbuka
Membaca lagi tanda masa
depan
Adakah lembaran damai
tercatat bersama
“Tak
kuduga ternyata kamu pandai nyanyi, Nin,” puji Mia saat mereka di kamar
penginapan.
“Biasa
saja, Mia”
“Sudah
banyak lagu yang kamu ciptakan.”
“Belum
banyak.”
“Itu
merupakan modal besar bagimu untuk terus maju.”
“Thank’s,
Mia.”
Handphone
Mia bergetar. Ada SMS masuk. Mia membacanya pelan namun pasti. Aku tunggu di bawah ya.
“Dari
Andi ya?” selidik Nina.
“Tahu
aja kamu!”
“Benarkan?”
“Ya
benar. Aku keluar sebentar”.
Mia
beranjak ke luar. Nina memerhatikan sesaat sobatnya itu. Tapi matanya mulai tak
bisa diajak kompromi. Ia memutuskan untuk tidur.
# # #
Nina membaca terlebih dahulu dengan teliti formulir kontes gadis sampul
majalah Hello. Lalu ditulisnya pelan-pelan agar tidak salah, Mulai dari mana,
tempat tanggal lahir, alamat rumah, alamat sekolah, hobby. Setelah selesai
mengisi formulir tersebut ia pun memeriksa kelengkapan persyaratan yang harus
dilampirkan, seperti foto close up dan seluruh badan, foto copy identitas diri.
“Nin!”panggil
ayahnya setengah berteriak.
Nina
cepat-cepat keluar kamar.
“Ada
apa, Yah.”
Ayah
Nina terbatuk-batuk. Tangan kanannya memegangi dada.
“Buatkan
ayah kopi, Nin.”
“Ya,
Yah.”
Nina
menuju dapur. Tak ada ditemuinya kopi. Begitu juga gula.
Ia
kembali menemui ayahnya.
“Mana
kopinya”
“Kopinya
nggak ada.”
“Nggak
ada gimana?”
“Ya…memang
nggak ada, yah. Kopi, gula nggak ada.”
“Pergi
belikan dululah!”
“Uangnya,
yah?”
“Pakai
dulu uangmu.”
“Mana
ada uang saya, Yah,” jawab Nina berdusta. Ia masih punya sisa uang tujuh puluh
ribu rupiah. Lima belas ribu beli majalah, dan lima belas ribu dipergunakan
untuk beli buah-buahan ketika pulang dari Prapat.
“Hutanglah
dulu di warung Pak Haji Abidin.”
“Apa
dikasihnya, Yah.”
“Dikasihnyalah
itu. Cepatlah!”
“Baik,
Yah.”
Nina
berjalan tergesa-gesa menuju warung Pak Abidin. Hati Nina sangat malu untuk
mengatakan kepada Pak Haji Abidin, bahwa ia mau beli kopi dan gula, tapi
Hutang dulu! Namun sebelum tiba di warung Pak Haji Abidin Nina menemukan
jalan keluarnya.
“Pak……”
“ya
mau hutang lagi ya…” sambung Pak Haji Abidin dengan wajah tenang namun ucapan
itu terasa menenggelamkan harga diri Nina.
“Bukan,
Pak. Justru saya mau beli dengan tunai. Kopi dan gulanya seperempat kilo.”
“Ayahmu
itu ingatkan untuk beribadah. Sholat Jum’at dan sholat lima waktu serta
seringlah mengikuti wirid yasin atau majelis pengajian.”
Nina
terdiam mendengar kata-kata Pak Haji Abidin. Bagaimana mungkin ia mengingatkan
ayahnya untuk beribadah, sedangkan ia sendiri tak lebih dari ayahnya.
“Kegiatan
Remaja Mesjid juga ada di Mesjid. Setiap malam Senin ada pengajiannya. Saya
tidak pernah melihat kamu di majelis pengajian. Bapak salah seorang yang
memberikan materi dalam majelis pengajian itu.”
“Lain
kali saya ikut, Pak Haji.”
“Ya,
lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.”
“Berapa,
Pak Haji?”
“Sudahlah.
Ambil saja dulu.”
“Terima
kasih, Pak Haji.”
Nina
kembali ke rumah. Ia menemui ibunya di dapur, sedang memasak nasi.
“Ibu
dari mana tadi?”
“Dari
rumah Ibu yang meminjami uang. Ibu terpaksa pinjam uang lagi, Nin.”
“Untuk
apa, Bu?”
“Dido
perlu uang berenang katanya. Arni juga perlu membeli buku komputer.”
“Berapa
yang ibu pinjam?”
“Dua
ratus ribu.”
“Ibu
mulai bingung, Nin. Jualan lontong untungnya tak seberapa. Harga bahannya sudah
pada naik. Sedangkan harga lontongnya sulit untuk dinaikkan. Sebab kalau
dinaikkan, bisa-bisa tak ada pembeli. Akhirnya jalan keluarnya porsinya yang
ibu kurangi.”
“Gimana dengan usaha ayah, Bu?”
“Usah
tempel ban manalah bisa diharapkan kali, Nin. Ibu sudah bilang ke ayah kamu,
coba pikirkan lagi untuk mengganti usaha lain.”
“Apa
tanggapan ayah, Bu?”
“Ayahmu
hanya menjawab, ya nanti dipikirkan lagi. Begitu saja.”
Nina
membawa segala kopi permintaan ayahnya. Dilihatnya ayahnya hanya duduk sembari
menikmati rokok yang terselip di bibir.
“Ini
kopinya, Yah.”
Ayah
Nina menenguknya.
“Apa
kata Pak Haji?”
“Nggak
apa-apa?”
“Ayah
pernah menolongnya di pasar. Waktu itu ia mau dicopet orang. Makanya kalau ayah
berhutang uang sama Pak Haji, tapi Pak Haji berhutang budi kepada ayah.”
“Tapi,
setahu saya yang saya baca pada salah satu buku, di tulis bahwa kebaikan yang
kita berikan kepada seseorang, janganlah diingat-ingat lagi, Yah. Justru
sebaliknya kebaikan orang lain kepada kita yang mesti kita ingat sampai mati,”
kata Nina lembut.
“Bisa
saja kamu!”
Nina
masuk ke dalam usai ayahnya berkata seperti itu.
# # #
Setelah
mengenakan pakaian seragam dan memeriksa isi tasnya, Nina pamit kepada ibu dan
ayahnya.
Ia
singgah ke kantor pos. Nina mengirimkan surat untuk mengikuti kontes gadis
sampul.
“Kilat
khusus ya, Mbak.”
Nina
memberikan uang sesuai tarif yang dikenakan oleh pegawai Pos itu. Lalu ia
melangkah keluar Kantor Pos. Di depan pintu masuk dan keluar Kantor Pos itu ada
tempat pengumuman. Banyak yang membacanya. Nina tertarik untuk berhenti dan
ikut
membacanya. Ternyata ragam
pengumuman lowongan kerja. Matanya tertuju pada salah satu pengumuman. Ia
membaca dengan seksama pengumuman itu.
DI BUTUHKAN PENYANYI
Sebuah kelompok musik membutuhkan penyanyi
dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Berpenampilan menarik
2. Dapat bekerja sama dengan pemain
lainnya
3. Siap bernyanyi hingga pukul dua
belas malam
Jika berminat dapat menghubungi Sdr.
Yansen melalui Kotak pos 234 Medan. Audisi dilakukan dua minggu setelah surat
lamaran diterima
Aku
harus mencobanya. Nina kembali ke dalam. Membeli amplop dan materai. Kemudian
menulis permohonan di atas selembar kertas HVS Folio yang ia beli tempat
fotocopy dekat kantor pos itu.
Setelah
selesai surat lamaran itu Nina kirim dengan kilat khusus.
“Nina
ya?” seseorang menyapanya. Cowok. Nina dan cowok itu berpandangan.
“Saya
Dani. Teman waktu SMP.”
“O,
ya…….ya. Saya baru ingat. Apa khabar, Dan?”
“Biasa.
Kamu?”
“Biasa
juga.”
“Lagi
mengirim surat.”
“Ya,
Kamu.”
“Sama.”
“Sekolah
di SMA Bahana ya?”
Nina
mengiyakan dengan anggukan kepala.
“Kamu?”
“SMA
Negeri 2.”
“Sudah
pulang?”
“Sudah.”
“Yang benar?”
“Ya.
Tadi kami membezuk salah seorang anak guru kami yang di opname. Demam berdarah.
Kamu?”
“Justru
mau masuk nih.”
“Tinggal
di mana sekarang, Nin?”
“Di
Marindal.”
“Lengkapnya?”
Nina
mengambil secarik kertas. Ia menulis alamat lengkapnya.
“Kapan-kapan
saya main ke rumahmu ya, Nin.”
“Boleh
saja.”
“Yuk
saya antar ke sekolah kamu.”
“Nggak
usah, Dan.”
“Jangan
begitulah. Nggak baik menolak tawaran teman lama. Atau ada yang cemburu
nantinya?”
“Nah,
jadi nggak ada masalah kan.”
“Justru
saya yang khawatir ke kamu. Ntar ada yang cemburu melihat kamu jalan bersama
saya.”
“Nggak
ada itu!”
Nina
tidak tak kuasa menolak ajakan Dani. Dani dengan senang hati mengantarkan Nina
ke sekolah.
“O,
ya ini nomor handphone saya, Nin. Simpan saja di HP-mu.”
“Saya
nggak punya handphone, Dan.” Jawab Nina apa adanya.
“Kalau
begitu saya tuliskan di kertas ya.”
“Oke
ya Dan.”
“Sampai
jumpa, Nin.”
Nina
tersenyum. Dani juga tersenyum.
# # #
Nina masih menyimpan perhitungan kepada Olla dan Dian. Olla temannya itu
sebenarnya siswa pindahan. Ia masuk ketika Nina naik ke kelas tiga. Jadi baru
sekitar enam bulan lebih sedikit. Ia tidak banyak bicara dengan Olla. Setahunya
Olla pergi dan pulang naik kendaraan umum. Nina belum pernah ke rumah Olla. Apa
pekerjaan orang tuanya juga ia tidak tahu. Tapi ia mengetahui alamat rumah Olla
secara tak sengaja, ketika Olla bercerita panjang lebar dengan Dian di kelas.
Olla dan Dian duduk bersebelahan.
Dengan
mengganti pakaian seragamnya dengan kaos yang kerap ada di dalam tas untuk
mengantisipasi jika Mia mengajaknya bolos, Nina menuju rumah Olla. Rumah itu
tampak sederhana saja. Di samping rumah Olla ada kedai kecil. Nina berhenti di
kedai itu. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore.
“Air
mineralnya satu,” ucap Nina.
Gadis
remaja sepertinya sebaya dengannya yang menjaga kios itu memberikan Nina air
mineral.
“Saya
mau tanya.”
“Tanya
apa?”
“Tahu
nggak rumahnya Olla?”
“Rumah
Olla ya yang sebelah ini.”
“O,
ya..”
“Benar.
Tapi dia sekolah. Biasanya pulangnya malam. Jam dua belas malam.”
“Jam
dua belas malam?!”
Gadis
itu menganggukan kepala.
“Kerja?”
“Iya”
“Di
sebuah café di sekitar petisah.”
“Memangnya
orang tuanya…”
“Ayahnya
di penjara. Kasus narkoba. Ibu nya jadi TKI di Singapore. Tapi khabarnya kawin
lagi di sana dengan duda setempat.”
“Ini
rumah?”
“Ia sewa dari kami”
“Sendirian
saja di tinggal di situ?”
“Nggak.
Ada neneknya. Ada tiga orang adiknya. Dan sesekali ada yang menginap di situ.
Katanya keluarga dekat. Ia menyebutnya Om. Om Ruslan namanya.”
“Om
Ruslan?”
“Ya.
Tapi ngomong-ngomong kamu siapa, kok nanya-nanya terus tentang Olla.”
“Saya
bukan siapa-siapa. Makasih atas informasinya.”
Nina
bergegas. Cepat-cepat ia menyetop sudaco yang sedang melintas di jalan. Ia
mencoba mengingat-ingat rumah Dian. Dian temannya ketika kelas dua. Dian masuk
di semester dua. Dengan Dian ia tidak begitu akrab. Orangnya agak tertutup dan
menutup diri. Entah mengapa sejak bertemu Olla, ia mulai tampak berubah. Pergi
dan pulang sekolah biasanya naik kendaraan umum. Nina belum pernah ke rumah
Dian.
File
di memory otak Nina terbuka. Ia mengingat kembali alamat rumah Dian yang tak
sengaja ia dengar ketika Dian mengatakannya kepada Andi. Meskipun ia belum
pernah ke rumah Dian, namun jalan untuk menuju kesana ia tidak buta. Karena
sejak kecil ia berpindah-pindah tempat tinggal, sehingga jalan-jalan di kota
Medan cukup di ketahui.
Lagi-lagi
Nina menemukan rumah sederhana. Rumahnya Dian. Dua rumah dari rumah Dian ada
warung makanan. Nina ke sana. Pesan bakso dan the manis hangat.
“Numpang
tanya ya, Bu, rumahnya Dian ibu tahu nggak?”
“Lha
itu rumahnya.”
“Itu.”
“Iyo.”
“Sering
kemari Diannya, Bu?”
“Jarang.
Jarang di rumah juga.”
“Kok
gitu?”
“Siang
sekolah. Malamnya kerja. Paginya tidur.”
“Kerja
dimana?”
“Di
bar gitu.”
“Lokasinya,
Bu?”
“Ibu
nggak ngerti. Tapi dengar-dengar di Kawasan Petisah.”
“Mengapa
harus kerja?”
“Ayah
dan Ibunya cerai. Kini tinggal bersama keluarga dari ibunya. Bersama paman dan
dua anaknya.”
Nina
telah memperoleh informasi tentang kedua orang yang telah menyakiti hatinya.
Malampun kian bertambah malam. Nina yakin seratus persen ayah dan ibunya akan
menunjukkan wajah tak mengenakkan jika ia tiba di rumah nanti.
Haruskah
ia mengutarakan kejadian sore tadi kepada ibu dan ayahnya? Tapi apa untungnya?
Hanya menyalurkan belas kasihan orang tua? Nina berubah pikiran. Di sedaco yang
melaju daerah rumahnya, ia mengambil keputusan untuk tidak memberitahukan
peristiwa sore tadi.
“Dari
mana kamu?”
“Dari
rumah Mia. Kebetulan ada bahan dari Internet yang kami akses, Yah”
“Kenapa
tak diantarnya?” tanya ibu Nina.
“Bu,
nggak mungkin saya terlalu bergantung dengan Mia. Sudaco kan banyak. Mana lagi
Mia sudah lelah. Makanya saya pulang naik sudaco.”
“Sudah
sana makan…”
Nina
masuk ke kamar tidur. Dilihatnya Arni masih berdoa. Nina duduk di tepi tempat
tidur. Tak lama kemudian adiknya selesai berdoa. Membuka mukena dan merapikan
sajadah.
“Kamu
ingat berapa kali kamu telah berdoa, Ni?”
“Aku
nggak pernah mengingatnya, Kak”
“Kamu
merasa doa kamu telah di kabulkan Tuhan, Ni?
“Kakak
kok bertanya begitu?”
“Ya
jawab saja dulu pertanyaan kakak.”
“Aku
yakin dan percaya, Kak, yang namanya doa akan di kabulkan oleh Allah swt. Ada
yang dikabulkan secara spontan. Ada yang di tunda untuk waktu tertentu. Dan ada
yang kita berdoa,kita dilindunginya daru segala marabahaya dan malapetaka yang
seharusnya menimpa kita.
“Tapi
mengapa hidup kita begini terus. Terus
saja miskin.”
“ada
hikmah dari sesuatu yang terjadi. Allah swt punya rahasia yang tak satupun
manusia bisa menerkanya. Bukankah, pertemuan, jodoh dan maut adalah kuasanya
mutlak. Jadi nggak perlu dibahas kenapa hidup kita begini – begini saja,dan
kenapa teman kakak yang bernama mia itu kaya.”
“kamu
tahu, hari ini ada orang yang menyakiti hati kakak.”
“Namanya
kamu nggak perlu tahu.”
“Lalu
?”
“Ya
kakak harus membalasnya.”
“Itu namanya dendam, kak”
“Ia
memutar balikkan fakta. Itu artinya dia memfitnah.”
“Bukankah
orang yang suka memaafkan itu orang yang beruntung, kak.”
“Apa
yang kamu katakan benar adanya.masalahnya bagaimana mungkin kakak yang tidak
bersalah harus minta maaf kepada orang yang telah menghina kakak, menghina
keluarga kita,Ni. Anehkan?”
“Sebaliknya
kakak shalat Isya sekarang.”
Namun
sekejap kemudian Nia sudah terlelap dalam tidurnya.
# # #
Azan
Shubuh bergema. Alunan yang syahdu sayup – sayup masuk ke telinga Nina. Ia buka
mata sekejap. Arni adiknya sudah tidak ada di tempat tidur. Badannya berat
untuk bangkit. Angin dingin membuat badannya menggigil. Ia tarik kain sampai ke
batas leher mencoba mengusir rasa dingin.
Tiba – tiba ada yang
mengguncang tubuhnmya.
“Kak, bangun, kak
bangun! Ayah,kak!”
Nina
mengusap matanya.ia melihat Dido berdiri di samping tempat tidur.
“Apaan,Do.”
“Ayah….”
“Kenapa dengan Ayah ?”
“Nggak tahu. Mengerang kesakitan. Di
kamar.cepat kak.”
Nina gontai berjalan, menuju kamar ibunya.
“Kenapa ayah, Bu?”
Ibu Nina belum menjawab. Ia mengurut dada ayah.
“Aduh…..sakit…, Bu….” Ayah Nina mengerang.
Tak biasanya ayahnya mengaduh
seperti itu. Ayahnya lelaki yang kuat dan tegar. Nina mendekati ayahnya. Ia
mengurut-urut tangan ayahnya.
“Buatkan teh pahit, Ni,” seru ibu Nina kepada
Arni.
“Kamu Do pijat-pijat kaki ayah.”
Dido melakukan apa yang dikatakan ibunya.
“Sebaiknya di bawa ke rumah sakit, Bu,” ucap
Nina.
“Biayanya dari mana, Nin.?”
Ayah Nina mengarahkan tangan
kanannya ke arah bantal. Nina menangkap isyarat itu. Cepat ia bergerak. Di
bawah tilam di temukan sebuah amplop. Nina membukanya. Ada uang. Dihitung.
Seratus lima ribu. Uang sebesar itu ia yakini cukup untuk membawa ayahnya
berobat.
Nina melangkah keluar. Ia masuk ke
kamarnya. Berganti pakaian. Lalu keluar rumah. Ada becak mesin yang sudah
mangkal di dekat situ, yang biasanya membawa ibu – ibu yang berbelanja ke pasar
untuk dijual lagi di lingkungan tempat tinggal mereka.
“Bang ke rumah sakit ya. Ayah saya
sakit.”
Abang becak itu membantu ayah naik
ke becak.
“Ibu ikut, Nina….”
“Gimana dengan jualan ibu?”
“Biar Arni yang berjualan.”
“Bantu kakakmu jualan, Do. Hari ini
kamu nggak usah sekolah!” lanjut Nina kepada adik bungsunya.
Becak mesin itu melaju. Melewati
Sisingamangaraja, Belok ke kanan. Terus sampai di persimpangan jalan Juanda.
Tak lama kemudian berhenti di rumah sakit Cahaya Insan.
Nina melapor ke suster jaga.
“Kita selesaikan administrasinya
dahulu ya” Suster itu menanyakan data-data tentang ayah Nina.
Kemudian ayah Nina di bawa ke
ruangan pemeriksaan.
“Selanjutnya tunggu saja di luar,”
ucap seorang suster.
Nina dan ibunya beranjak keluar.
Menanti dengan ketak pastian, penyakit apa gerangan yang menimpa ayahnya.
“Pemeriksaan sudah dilakukan ibu di
persilahkan menemui Dokter di ruangan sebelah.”
Nina dan ibunya masuk ke ruangan
dokter itu.
“Begini, Bu. Dari pemeriksaan awal,
suami ibu mengalami gejala paru-paru basah.”
“Paru-paru basah?”
“Ya. Penyakit Barah Paru-paru
merupakan tumor mengancam. Istilahnya malignant
tumour pada paru-paru. Yang biasa yaitu disebut juga istilahnya Bronchogenic carcinoma yang mencapai
sembilan puluh prosen.”
“Apakah penyakit ini berbahaya,
Dok?”
“Secara medis atau ilmu kedokteran,
penyakit paru-paru basah adalah tumor yang paling berbahaya di seluruh dunia.
Penyakit ini menyebabkan lebih kurang tiga juta kematian setahun. Kelainan
kepada karsinogen, seperti yang hadir dalam asap tembakau, menyebabkan terjadi
perubahan kecil pada selaput tisu pada bronkus di paru-paru atau istilahnya bronchial mucous membrane.”
Nina dan ibunya mendengar kata-kata
Dokter tersebut penuh keseriusan.
“Apabila dibiarkan akan menyebabkan
lebih banyak tisu rusak sehingga tumor terbentuk. Jika tumor membesar ke dalam
ia mungkin menghalang jalannya udara sehingga seseorang yang mengalami penyakit
ini akan kesulitan dalam bernafas. Di samping itu paru-paru bisa saja berlubang
dan jangkitan berlaku, menyebabkan bisul
paru-paru lung abscess. Pesakit akan mulai batuk bahan lendir berdarah. Bagaimanapun
jika tumor membesar ke luar paru-paru, seseorang penderita mungkin tidak
menyadarinya sehingga ia mula menjangkiti bahagian tubuh yang lain.”
“Tanda-tandanya apa ya, Dok?”
“Tanda-tandanya antara lain batuk
berdarah atau bahan paru-paru, batuk teruk yang kronik, nafas bersiul, sakit
dada, kehilangan berat badan atau kehilangan selera makan dan pendek nafas.
Sebaiknya kita lakukan opname, Bu”
“Apa itu jalan satu-satunya, Dok?”
“Ya ini langkah terbaik untuk suami
ibu. Tentunya kita berharap dengan dilakukan opname Pak Hadi bisa dirawat
secara intensif.”
“Ibu dan Nina berpandangan.
“Bagaimana dengan biayanya, Dok?”
Nina memberanikan diri bertanya.
“Yang berkaitan dengan hal itu bisa
dinyatakan kepada suster di depan. Tapi saya sebagai Dokter tetap berusaha
untuk melakukan perawatan kepada orang tua kamu. Pak Hadi saat ini telah
diinfus, dan diberi obat.”
“Terima kasih, Dok.”
“Ya.”
Nina dan ibunya kembali ke depan
menemui suster di bahagian pendaftaran pasien.
“Sesuai dengan peraturan di rumah
sakit ini, uang jaminan minimal satu juta rupiah. Jika ibu setuju bapak di
rawat kami akan menempatkannya di ruangan sal saja. Obat-obatannya biasanya
dari kami, tapi bisa saja ibu yang beli di apotik sebelah. Perhitungan biaya
selanjutnya diselesaikan jika Dokter mengisyaratkan bapak sudah boleh pulang
atau ada hal-hal lebih lain yang membuat adanya perubahan juang jaminan.
Misalnya saja jika pasien ditempatkan di ruangan ICU.
“Jadi uangnya harus sekarang, Sus?”
“Ya mestinya begitu.”
“Sus, saya minta tolong, beri waktu
satu hari ini.”
“Saya nggak bisa memutuskan nya,”
“Denga siapa saya harus bicara,
Sus?”
“Pagi-pagi begini beliau belum
hadir.”
“Siapa, Sus?”
“Begini saja, cepatlah usahakan uang
satu juta itu.”
“Makasih ya, Sus.”
Nina dan ibunya berjalan ke depan
pintu masuk rumah sakit.
“Saya balik dulu ke rumah, Bu untuk
mengambil perlengkapan untuk ayah dan mencari uang satu juta rupiah.”
“Dari mana kamu mau cari?”
“Biarkan saya berfikir untuk
melakukannya, Bu.
“Cepatlah, Nin.”
“Baik, Bu.”
Di luar rumah sakit, Nina melihat
wartel. Ia teringat kepada sobatnya, Mia. Mia tentu punya uang sebesar satu
juta rupiah. Kali ini ia harus meminta tolong kepada Mia. Nina masuk ke wartel.
Diputarnya nomor menuju Handphone Mia. Ia mencoba mengusir rasa sungkannya
siapa tahu Mia mau membantu. Toh ia bukan mau minta, tapi mau minjam uang Mia.
Ia akan mengembalikan pinjaman itu secara berangsur nantinya.
Nina menekan nomor yang menuju
handphone Mia. Ada nada masuk terdengar. Kemudian suara di seberang terdengar.
“Siapa ini?”
“Aku, Mia”
“Aku siapa?”
“Nina.”
“Suara kamu kok lain.”
“Aku di wartel di rumah sakit Cahaya
Insan. Mia, ayahku masuk rumah sakit.”
“Sakit apa, Nin?”
“Paru-paru basah.”
“Lalu?”
“Ya perlu perawatan intensiflah,
Mia. Makanya aku minta tolong ke kamu.”
“Katakan saja, Nin?”
“Bisakan kamu pinjami aku uang.”
“Berapa, Nin?”
“Aku belum tahu berapa total biaya
yang harus dibayar nantinya. Tapi, untuk uang jaminan mereka meminta satu juta
rupiah. Tentunya aku perlu uang untuk membeli obat-obatan. Aku pinjam dua juta
saja dulu….”
“Dua juta?”
“Iya!”
“Nanti aku tanyakan dulu sama mamaku
ya, Nin.”
“Mereka minta secepatnya, Mia.”
“Ya, aku usahakan secepatnya, Nin.”
“Kamu yang mengantar kemari atau aku
yang datang ke rumahmu?”
“Nanti aku hubungi rumah sakit
Cahaya Insani.”
“Okelah, Mia. Udah dulu ya. O, ya
nanti aku tidak masuk sekolah. Tolong permisikan ya, Mia.”
“Iya, nanti aku permisikan kamu.”
“Thank’s, Mia.”
“Dahhh…”
# # #
“Dua juta?!” mama Mia kaget
mendengar permintaan putri semata wayangnya.
“Benar, Ma. Saya butuh uang sebanyak
itu.”
“Untuk apa?”
“Untuk teman. Ayahnya masuk rumah
sakit.”
“Wah! Enak benar. Ayah teman kamu
yang rumah, kok kamu yang sibuk habis-habisan.”
“Dia kan Cuma minjam. Bukan minta,
Ma.”
“Lalu dengan apa ia akan
melunasinya?”
“Ia janji mengangsurnya, Ma.”
“Sampai kapan?”
“Mama kok gitu?”
“Eit! Berani benar kamu ngomong
seperti itu kepada Mama.”
“Habis mama nggak punya rasa belah
kasih.”
“Dengarnya, Papa dan Mama
mati-matian bekerja bukan untuk meminjamnya kepada orang lain.”
“Lalu untuk apa disimpan-simpan,
Ma?”
“Ya terserah mamalah. Uang itu uang
mama kok.”
Mia baru menyadari bahwa mamanya
bukan type manusia pengasih. Uang sebesar dua juta saja notabene sebagai
pinjaman saja tidak dikasih. Apalagi kalau diminta. Ternyata mamanya tidak peka
dengan kesusahan orang lain.
Begitupun Mia tidak kehilangan
nyali. Ia ada ide, walaupun pada akhirnya jika ketahuan pasti mamanya akan
marah besar. Ia akan menjual perhiasan yang ia miliki.
“Dengar Mia, di zaman yang keras
sekarang ini, kita harus bertahan untuk hidup. Pikirin saja dulu dirimu
sendiri! Nggak usah mau jadi dermawan. Segala.”
Usai mamanya bicara, Mia masuk ke
kamar. Dibukanya laci tempat perhiasannya disimpan. Diambilnya rantai seberat
sepuluh gram lebih hadiah ulang tahun nya yang dihadiahkan mama tahun lalu,
kemudian gelang tiga buah masing-masing seberat lima gram, dan cincin berlian.
Aku yakin ini sudah lebih dari dua juta kalau aku jual, ucapnya dalam batin.
DRAK! Pintu terbuka. Mia terkejut.
Tak disangkanya mamanya akan bertindak sejauh ini. Tanpa mengucap salam mama
Mia melangkah mendekati Mia. Mia tak sempat menyembunyi perhiasan itu.
Kemarahan mama Mia jelas tergurat di wajah wanita itu.
“Berani-beraninya kamu mengambil
keputusan yang tak bijak. Sini semua itu. Juga kartu ATM kamu. Handphonemu pun
harus kamu tukar nomornya mulai sekarang ! Kan mama sudah katakan jangan sok
jadi dermawan kalau belum mampu berdiri di kaki sendiri! Bentak mama Mia.
“Jangan, Ma,” lirih suara Mia
memohon.
“Kamu mulai keterlaluan!”
Mama Mia mengambil paksa ragam
perhiasan dan kartu ATM Nina. Ini ultimatum mama, mulai sekarang kamu jangan
bergaul dengan teman kamu itu. Tidak level tahu! Hardik mama Mia lalu melangkah
keluar kamar Mia.
Mia terduduk lemas. Hilang sudah
harapannya untuk membantu Nina.
Tiba-tiba handphone nya berdering.
Nomor handphone Andi terpajang dilayar handphonenya.
“Ada apa, Di?”
“Lagi ngapain, Mia?” balik Andi
bertanya.
“Lagi nonton televisi,” jawab Mia
berbohong.
“Nanti kamu nggak usah bawa
mobilnya.”
“Kenapa?”
“Aku jemput kamu ya…..”
“Kenapa?”
“Pulang sekolah kita nonton yuk….”
Mia sadar benar, si Andi naksir
berat kepada dirinya. Memang jika direnungkannya, sudah kelas tiga begini ia
belum punya pacar. Aneh! Padahal ia memiliki segalanya.
Kalau wajah, ya oke-oke ajalah.
Apalagi dibackup dengan materi. Atau hal itu yang menyebabkan cowok pada mider
berhadapan dengannya?
Namun, sekarang Andi mulai
menunjukkan ke jantanan sebagai cowok. Main tembak langsung. Meskipun cowok itu
belum mengucapkan kata cinta, tetapi hati Mia bicara dan menilai Andi lagi
naksir berat samanya.
“Kok diam saja, Mia…?”
“Kamu juga diam, Di.”
“Kamulah yang ngomong.”
“Kamu aja duluan. Kan kamu yang
mengontak aku.”
“Apa perlu dijawab…….”
“Ya sudah, kalau gitu sampai jumpa
nanti siang.”
“Eit tunggu dulu, Di,” kata Mia
cepat. Ia ingat Andi berasal dari keluarga yang cukup mapan juga. Kenapa tidak
minta bantuan cowok itu. Bak bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba. Strategipun
di atur Mia.
“Apa ya, Mia?”
“Kamu
bisa nggak nolongi aku?”
“Nolongi apa, Mia?”
“Pinjami aku uang, Di?”
“Minjami kamu uang . Nggak salah tuh
! Justru aku selayaknya yang minjam uang ke kami,” suara Andi jelas terdengar
Mia. Mengesankan keterkejutan sekaligus gurauan.
“Ini serius, Di… ?
“Oke aku serius sekarang.”
“Aku butuh dua juta sekarang juga.”
“Dua juta ?!”
“Iya! Dua juta. Ada nggak ?”
“Dari mana aku dapati uang sebanyak
itu?”
“Ya usahakanlah. Namanya kamu cowok.
Cari aja akal untuk memperolehnya. Dan, akupun bukan minta lho. Ini pinjaman.
Nanti aku ganti kalau tak bisa tunai, ya secara angsuran. Aku tunggu nanti siang
uangnya ya …” ucap Mia dan langsung memutuskan hubungan. Handphonenya dimatiin
supaya Andi tidak bisa menghubunginya lagi. Sekarang, satu ujian buat kami Andi
! Mia membatin.
# # #
Nina tiba di rumah. Arni dan Dido menghampir
kakak mereka.
“Bagaimana ayah, Kak ? serempak adiknya
bertanya.
“Ayah kena paru – paru basah. Harus diopname.
Tolong siapkan perlengkapan untuk ayah. Kakak mau mandi dulu..”
“Sebaiknya kakak makan dulu,” tawar Arni.
“Ya, nantilah siap mandi saja.”
Nina masuk ke kamar. Diikuti Arni.
“Gimana dengan biaya biaya rumah sakit, Kak?”
“Entalah, Ni. Beruntung kita, rumah
sakit itu akan menghitung segala biayanya nanti jika ayah diperbolehkan
pulang.”
O, ya ?”
Nina menganggukkan kepala. Teman
kakak di Mia juga bersedia memberikan pinjaman uang sebensar dua juta rupiah.
Nanti ia akan memberinya kepada kakak.”
“Alhamdullillah . Allah SWT
memberikan jalan kepada kita untuk mengatasi satu masalah.”
“Ya, tapi menimbulkan satu masalah
baru.”
“Masalah baru?”
“Ya ialah, bagaimana caranya kakak
membayar pinjaman itu.”
“Sudahlah, Ni, saya mau mandi dulu.”
Setengah jam kemudian Nina selesai
mandi dan berpakaian rapi. Ia menikmati makanan yang dihidang adiknya.
“Sudah beres perlengkapan untuk ayah
?”
“Sudah, Kak.”
“Assalamualaiku …..”
“Siapa itu ?”
Arni beranjak menuju pintu depan.
Lalu masuk kembali.
“Pak Amrun, pemilik rumah in.”
“Mau ngapain beliau?”
“ Ya bicarakannya saja, Ni”
“Kakaklah yang bicara sama beliau.”
Nina mempercepat makannya.
“Ada apa ya, Pak?” tanya Nina
setelah menyelesaikan makan dan mengambil posisi duduk di dekat Pak Amrun.
“Saya tidak melanjutkan lagi sewa
rumah ini kepada ayah kamu.”
“Kenapa, Pak Kan kami tida ada
menunggak.”
“Benar, tapi rumah ini mau saya
jual. Sudah dalam tahap negoisasi. Jadi bulan ini tidak usah di bayar. Saya
kasih kemudahan kepada keluarga ini. Hanya saja dalam tempo dua minggu ke depan
kalian harus pindah dari sini. Bilang sama ayah kamu ya.”
“Ayah saya opname di rumah sakit,
Pak…” ujar Nina perlahan.
“Ya bilanglah sama ibu kamu.”
“Apa tidak bisa ditunda, Pak.”
“Ditunda bagaimana?! ini juga sudah
merupakan kebaikan saya kepada kalian. Dua minggu masa nggak dapat rumah sewa
di daerah lain?”
Nina tidak mengomentari kata – kata
Pak Amrun.
Beberapa menit setelah Pak Amrun
meninggalkan tempat Nina. Nina pun berangkat menuju rumah sakit.
“Jangan ke mana-mana, ya Do…”
“Ya. Kak.”
“Saya pergi dulu, Ni.”
Arni menganggukkan kepala
Nina menumpang beca mesin. Beca
mesin berjalan dengan kecepatan sedang. Di jalan Sisingamangaraja pas di
simpang ke jalan Stadion Teladan, tiba – tiba sebuah seda hijau metallic
menyalip beca yang ditumpangi Nina. Sipengemudi mobil mungkin mengira bisa
melakukan manuver seperti itu. Nyatanya lampu belakang sebelah kirinya
menyenggol stang beca mesin. Prak ! Suara benturan terdengar. Sedan hijau
metallic itu berhenti . Beca mesin yang ditumpangi Nina pun berhenti.
“Punya mata nggak kamu! Lantang
suara abang beca mesin itu.
Sipengemudi yang ternyata cowok
masih muda, taka mau kalah nyali.
“Saya kan sudah kasi lampu tangan,”
“Ya, tapi kau potong dari kiri.
Pakai otakmu itu,” emosi abang beca tak terbendungkan.
“Lihat stang saya ini. Kau harus
ganti!” lanjutnya.
“Lampu mobil saya pun pecah.”
“Itu nggak urusan saya. Saya minta
ganti.”
“Aduh, urusanya kok jadi ribet gini.
Saya ganti kenderaan saja. Ini ongkosnya Bang,”
Mata Nina dan mata cowok itu sejenak
bertemu. Kesan pertama, tampan, dan menarik perhatian. Barangkali cowok ini
akan kuliahan. Nina mencoba menilai.
“Tunggu dulu.”
“Apa kaitaan dengan saya ? Maaf saya
terburu – buru !”
“Saya mohon. Lima menit saja. Saya
selesaikan dulu urusan dengan abang beca ini.”
Lalu cowok itu mengeluarkan selembar
uang seratus ribu. Ia menulis nomor handphonenya dan memberikannya kepada abang
beca tersebut.
“ Kalau kurang
hubungi saja saya saya
orangnya bisa dipercaya
kok,, ucap cowok itu
datar.
“Saya pasti mencarimu kalau biaya
perbaikannya tak mencukupi.”
“Selesai!”
“Kalau begitu saya mau pergi.”
“Sabar dulu….”
“Ayah saya lagi diopname di rumah
sakit . Saya terburu – buru.”
“Gimana jika saya antar.”
Nina nggak habis pikir.”
“Mengantar saya?”
“Benar.”
“Terima kasih. Saya bisa naik beca
yang lain.”
“Ayolah,”
“Maaf lain kali saja.”
“Nggak usah takut. Kebetulan saya
mau kuliah. Jadi sekalian jalan saja kan. Kalau kamu ragu, biar saya tunjukkan
kartu tanda identitas saya.”
Nina menyimpulkan cowok itu kategori
cowok baik. Ia memutuskan menerima ajakan cowok itu. Toh suasananya pagi
menjelang siang. Kalau cowok ini macam – macam, ia akan berteriak dan melakukan
perlawanan.
“Di rumah sakit mana ayahmu diopename?” cowok
itu membuka pembicaraan ketika mobil melaju sedang.
“Rumah sakit Cahaya Insani.”
“Kebetulan!”
“Kebetulan?”
“Oh, nggak apa-apa,” ralat cowok
itu.
“Sepertinya ada pake acara
rahasia-rahasiaan nih,” kata Nina dengan nada suara yang lembut.
“O, ya nama saya Rio.”
“Saya Nina.”
“Masih sekolah?”
“Kelas III di SMA Bahana.”
“Saya kuliah semester dua di
Fakultas Sastra.”
“Di Perguruan Tinggi mana?”
“Universitas Sumatera Utara.”
“Ceritanya senimanlah ya…”
“Kok tahu ?”
“Nebak aja. Umumnya yang kuliah di
fakultas sastra semestinya senang dengan sastra.”
“Kamu sendiri?”
“Berdua. Sekarang dengan kamu.”
“Maksud saya senang juga dengan
sastra?”
“Senang. Terutama tater dan puisi.”
“Pernah tampil di panggung?”
“Di radio. Tapi sekali saja. Drama
radio lepas.”
“Suara kamu memang bagus. Wajah juga
oke. Fostur tubuh mendukung. Kamu berpotensi untuk menjadi bintang sinetron dan
model iklan.”
Nina sejenak melupakan keprihatinan
kedaan yang dialaminya saat ini mendengar pujian Rio yang bertubi – tubi.
Ternyata pujian memang bisa membuat perasaan jadi jreng juga. Nina tertawa
lepas. Matanya sampai berkaca – kaca.
“Kok bisa-bisanya kamu menilai
begitu. Apa kamu juga bekerja sebagai pencari bakat.?”
“Ini serius, Nin . Tapi nantilah
kita bicarakan lagi. Sepulang kuliah saya akan temui kamu di rumah sakit.”
Pembicaraan terhenti karena sedan
hijau metallic itu telah tiba di depan rumah sakit Cahaya Insani . Nina turun
dan melemparkan senyuman kepada Rio.
“Makasih sebelumnya.”
Rio membalas senyuman Nina.
“Sampai ketemu nanti.”
Nina melambaikan jemari tanganya.
Rio membalas dengan membunyikan klakson mobinya.
# # #
Jam menunjukkan pukul satu siang.
Nina mondar-mandir di koridor di depan ruangan Sal. Ia gusar . Mia belum muncul
juga. Padahal jelas sekali di telepon tadi pagi Mia menyanggupi untuk
memberikannya pinjaman uang. Apa Mia berubah pikiran ? Ya kalau memang berubah
pikiran bilang –bilang begitu. Jangan membuat orang menanti tanpa ada
kepastian. Nina mulai berprasangka. Ah! Sebaiknya aku hubungi lagi Mia. Ya, itu
satu solusi yang arif.
“Bu, saya nelepon sebentar di
wartel.”
“Jangan lama – lama, Nin.”
“Ya, Bu.”
Nina melangkagkan kakinya menuju
wartel di samping rumah sakit itu yang masih satu komplek dengan rumah sakit.
Sampai di wartel, Nina memutar
nomornya Mia. Masih ada nada masuk. Dan suara dari seberang terdengar Nina
dengan jelas.
“Hallo, siapa ya?”
“ Aku, Nina. Gimana, Mia?”
Mia tidak langsung menjawab.
“hallo!”
“Ya, aku masih dengar, Nin.”
“Jadi gimana aku yang ke rumahmu,
atau kamu yang ke rumah sakit?”
“Sorry Nin, Aku ….aku ….”
“Kenapa kamu, Mia ?”
“Aku nggak bisa nolong kami,” suara
Mia tersedak
Nina kaget luar biasa atas jawaban
Mia. Jantungnya berdebar – debar . Ia harus putra otak untuk mencari pinjaman
uang kepada pihak lain. Marah, kesal dan sedih bercampur baur dalam hati. Tapi
apa mau dikata, dia sudah mengetahui dengan jelas ucapakan sobatnya itu.
“Ya nggak apa-apalah, Mia. Tapi kamu
punya waktu nggak ke sini?”
“Sorry juga, Nin, aku nggak punya
waktu.”
“Kamu kok berubah. Mia Ada apa
denganmu,?”
“Nggak ada apa-apa, Nin.”
“Soalnya kami tidak Mia yang aku
kenal. Kamu seperti Mia asing. Kalau kamu punyak masalah katakanlah kepadaku.
Dalam situasi begini pun aku masih sudi mendengar keluh kesahmu.”
Mia terdiam, Isak tangisnya terdengar
oleh Nina
“Apa yang kamu tangisi, Mia ?”
“Nggak apa-apa, Nin.”
“Masak nggak ada-apa, nangisnya
sedih habis. Bicaralah Bicaralah , Mia Jangan disimpan sendiri.”
“Hidup memang keras, Nin aku belum
sanggup berdiri di kakiku sendiri. Segera aku sedih. Tidak bisa membantumu. Aku
hanya bisa berdoa, semoga ayah mu segera sembuh dan kamu diberikanNya
kesuksesan hidup…”
“Mia … Hallo!”
Hubungan seluler itu telah
diputuskan Mia.
Nina melangkah lemas menuju ruangan
ayahnya dirawat. Terbayang sama kebaikan yang pernah diberikan Mia kepadanya.
Anak itu memang luar biasa kebaikannya. Apalagi kalau soal uang. Ia paling
tidak terkira. Mia selalu dan selalu yang membayar apapun yang mereka nikmati
bersama. Makan dan minum di plaza, di restoran-restoran, Orangnya pun tidak
milih – milih tempat. Makan di kedai nasi kebanyakan juga mau . begitu juga di
kantin sekolah, tak pernah Mia lewatkan untuk nongkrong di kantin bila ia masuk
sekolah.
Kemudian Mia juga yang membayarinya
jika mereka menonton dia bioskop pergi ke objek wisata seperti ke Mora Indah,
taman Dewi, Pantai Cermin, Sialang Buah. Mia juga memberikan sebahagian
oleh-oleh yang ia dapat takkala papanya pulang dari luar kota.
Sementara ia tak pernah memberikan
kontribusi berarti dalam persahabatan ini. Ini hanya bagikan kerbau dicucuk
hidung kemana saja Mia ajak ya nurut. Apapun yang dikatakan Mia, ia tak akan
membantahya. Itulah harga untuk menjadi sebagai penurut.
Tak kala ia yang membutuhkan
sesuatu. Dengan gampangnya Mia bilang sorry ya Nin. Tak kala ia berharap
ditemani dengan mudahnya Mia juga bilang. Soory ya Nin aku nggak waktu’.Hanya
dua juta. Dua juta saja. Apa payahnya bagimu, Mia ?
Mulai terasa oleh Nina, ada butiran
air mata pelan - pelan jatuh dan menggenangi pipinya. Kalau bisa menjerit, ia
ingin sekali menjerit. Tapi ini rumah sakit. Ke mana lagi harus mengadu ?
Nina berhenti di kantin rumah sakit.
Ia pesan the manis panas. Tiba-tiba ia melihat Arni dan Dido.
“ArniQ”
Arni dan Dido menghampiri Nina.
“Kami mau nginap juga di rumah
sakit.”
“Pesan the dulu ya….” Tawar Nina.
Kedua adiknya itu mengangguk tanda
setuju.
“Tadi pagi banyak yang datang ke
rumah kita, Kak.”
“Siapa?”
“Ibu Sisca yang renternir itu. Minta
hutangnya segera dilunasi semuanya. Terus ada Wak Ujang pemilik kedai di ujung
jalan, juga minta hutang belanjaan ibu segera dilunasi. Lalu ada Pak Alex, mau
menagih hutang kepada ayah.”
“Apa kamu jawab, Ni?”
“Ya aku bilang apa adanya. Ayah
diopname di rumah sakit.”
“Lalu apa tanggapan mereka.”
“Mereka tak mau tahun mengenai hal
itu.”
Nina terdiam mendengar jawaban Arni.
“Gimana kak, uang pinjaman itu sudah
diberikan teman kakak?”
“Tidak . ia berubah pikiran. Kemari
saja ia tak ada waktu katanya.”
“Dari mana kakak tahu ia berubah
pikiran.”
“Barusan saya telepon…..”
“O, ya tadi aku dan Dido juga
beres-beresin barang. Siapa tahu kita lebih cepat pindah dari rumah itu. Ketika
bersih-bersih barang aku menemukan dua amplop besar bubuk putih, Kak.”
“Di mana kamu temui?”
“Di bawah lemari ayah.”
“Kamu tahu namanya?”
“Entahlah, kak. Tapi sepertinya barang
yang mencurigakan.
“Lalu di mana kamu simpan barang itu
?”
“Aku bawa sekarang.”
“Gila kamu, Ni. Mungkin sana itu
narkoba.”
“Narkoba?”
“Ya.”
“Aku tak percaya ayah pengedar
barang hitam seperti itu?”
“Sebaiknya kita ke ruangan ayah.”
Nina membayar pesanan. Kemudian
mereka bergegas dari kantin rumah sakit itu menuju ke tempat ayah mereka di
rawat.
Arni dan Dido menemui ayah mereka.
Nina masuk ke kamar mandi . Dua amplop yang berisi bubuk putih itu sudah
berpindah tangan dari Arni kepadanya. Dikeluarkannya dua amplop putih itu dari
kantong celana jins birunya. Diamatinya lama-lama benda itu. Ada rasa penasaran
untuk mencoba mencicipinya.
Ia pernah membaca tentang narkoba
diinternet. Salah satu jenis narkoba adalah shabu-shabu . nama aslinya
methamphetamine. Berbentuk kristal seperti gula atau bumbu penyedap makanan.
Jenisnya antara lain yaitu gold river, coconut dan kristal. Sekarang ada yang
berbentuk tablet. Obat ini dapat ditemukan dalam bentuk kristal dan obat ini
tidak mempunyai warna maupun bau, maka ia disebut dengan kata lain yaitu Ice.
Obat ini juga mempunyai pengaruh
yang kuat terhadap syaraf. Si pemakai shabu-shabu akan selalu bergantung pada
obat bius dan akan terus berlangsung lama, bahkan bis mengalami sakit jantung
atau bahkan kematian.
Shabu-shabu juga di kenal dengan
julukan lain seperti :Glass, Quartz, Hirropon, Ice Cream. Dikonsumsi dengan
cara membakarnya di atas aluminium foil sehingga mengalir dari ujung satu ke
arah ujung yang lain.
Kemudia asap yang ditimbulkannya
dihirup dengan sebuah Bong, sejenis pipa yang didalamnya berisi air. Air Bong
tersebut berfungsi sebagai filter karena asap tersaring pada waktu melewati air
tersebut. Ada sebagian pemakai yang memilih membakar Shabu dengan pipa kaca
karena takut efek jangka panjang yang mungkin ditimbulkan aluminium foil yang
terhirup.
Ini jelas sudah shabu-shabu, Nina
menyimpulkan setelah mengamati seksama barang itu dengan apa yang diaksesnya
dari internet beberapa waktu lalu. Lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana
shabu-shabu itu bisa disimpan di bawah lemari pakaian ayahnya. Dugaan sangat
kuat tentunya tertuju kepada ayahnya. Hatinya bertanya – tanya apakah ayahknya
sempat-sempatnya menjadi pengedar? atau pemakai ? atau pemakain sekaligus
pengedar ?
Apa yang harus dilakukan sekarang ?
Apa harus membuang barang haram itu lwati pembungan air kamar mandi ini? Atau
menyimpannya dahulu sampai ayahnya sembuh dan ia dapat bertanya kepada ayahnya.
Otak Nina mulai berpikir nekat.
Seandainya dijual, pasti menguntungkan ! Tapi resikonya memang berat. Zaman
sekarang ini kepolisian lagi meningkatkan pemberantasakn narkoba. Jika
tertangkap basah, penjara taruhannya. Dan akibatnya masa depan pun turut
hancur. Meskipun ia menyadari masa depannya pun belum tentu cerah-cerah banget
. Jual ? Nggak ? Jual ? Nggak ?
Pintu kamar mandi di ketuk.
“Siapa?”
“Aku . Arni.”
“Nina membuka pintu . Arni masuk ke
dalam.”
“Gimana kak?”
“Ini sejenis narkoba, Ni. Namanya
shabu-shabu. Untung saja tadi tidak ada razia, Kalau ketahuan sama polisi,
sudah ketangkul kamu, NI.”
“Maafkan saya, Kak.”
“Nggak apa. Bukan salah kamu. Cuma
yang menjadi masalah sekarang, mau kita apakan barang terlarang ini?”
“Ya, dibuang saja, Kak.”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Segala sesuatuanya harus dipikirkan
matang – matang . Ayo kita keluar nanti orang – orang di sini jadi curiga.”
Lalu mereka keluar dari kamat mandi
dan kembali ke tempat ayah mereka di rawat.
# # #
Siapa lagi yang bisa diharapkan
bantuannya ? Pak Haji Abidin ? Ah mana mungkin Pak Haji itu mau membantu. Kalau
ibu Sisca yang renterinir itu ? Itu masih ada harapan. Tapi ia tak yakin ibu
ada di rumah siang begini. Siang – siang begini ia keliling menagih hutang
orang – orang kepadanya.
“Nin?’
“Ya, Bu.”
“Ibu haru menjumpai ibu Susca…”
“Apa ia ada di rumah ?”
“Ibu akan tunggu sampai ia pulang.
Tidak ada jalan lain sepertinya kecuali meminjam lagi kepada ibu Sisca.
“Nina juga akan berusaha ke pihak
lain, Bu”
“Kalau begitu ibu pergi dulu ya.”
“baik , bu.”
Tidak berapa lama ibunya pergi, Nina
teringat dengan Dani, teman SMPnya yang ketemu di Kantor Pos . mencoba juga tak
ada salahnya. Lalu Nina beranjak ke depan rumah sakit. Ia masuk ke dalam
wartel. Nina memutar nomor handphonenya Dani. Terdengar nada masuk.
“Hallo!” Sapa Nina lembut.
“Ya. Siapa nih?” tanya Dani
“Saya.”
“Saya siapa?”
“Nian…?
“Oohh Nina.”
“Ya, dan.”
“Apa kabar, Nin.”
“baik-baik saja. Kamu?”
“Baik juga.”
“Lagi dimana, Nin?”
“Di rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Ayah saya, Dan?”
“Ayah saya, Dan.”
“Sakit apa?”
“Paru-paru basah.”
“Ohh…?
“ Maaf ya Dan.. saya mau minta tolong
ke kamu.”
“Ah, katakan saja. Kok pakai minta
maaf segala.”
“Berkaitan dengan hal yang saya
katakan tadi, kami kesulitan biaya pengobatan ayah.”
“Itu masalahnya?”
“Ya, Dan…”
“Oke saya ke rumah sakit. Tunggu
saja saya di sana..?
Setengah jam Nina menunggu serasa
sudah seharian penuh. Akhirnya danu yang dinanti itu benar – benar muncul dan
kini berada disampingnya.
“Berapa uang yang kamu butuhkan, Nin
?”
“Uang jaminan satu juta, Belum lagi
biaya obatan-obatan dan lainnya.”
“kebetulan saya punya uang dua juta.”
“Saya pinjam ya, Dan.”
“Kita ambil sekarang.”
“Di mana?”
“Di rumah saya?”
Nina setuju. Ia memberitahukan
kepada Arni dan adik bungsunya untuk menungguin ayah mereka.
“Rumah kamu dimana, Dan?”
“Perumabahan Mawar Indah.”
Mereka sampai di salah satu rumah
diperumahan Mawar indah. Rumah itu berkesan mewah. Meskipun masih kalah
dibandingkan dengan rumah Mia.
“Ayo masuk.”
Nina masuk tanpa curiga
“Kok sepi?”
“ Mama dan papa kan kerja. Adik-adik
pada sekolah. Hanya ada mbok Sutiyem. Yuk ke kamar saya saja.”
“Ke kamar kamu?”
“Iya uangnya di kamar saya.”
Nina yang begitu berharap uangitu
dengan berat hati mengikuti Dani ke kamr tidurnya.
Mereka masuk ke kamar tidur Dani.
Nina duduk di dekat pintu.
“Ayo, duduklah dulu.”
“Mana uangnya, Dan?”
“Sebentar ya, saya ambil?” Dani
membuka pintu lemari. Ia mengambil sesuatu dari laci. Lalu menunjukkannya
kepada Nina. Benar itu uang.
Nina mendekati Dani.
“Ini uangnya …”
Nina menerimanya. Tangan Dani
menggengam, tangan Nina.
“Saya juga minta tolong sama kamu,
Nin.”
“Minta tolong apa?”
Dani tidak menjawab. Bibirnya yang
langsung beraksi. Mencium bibir Nina. Nina terkejut, dan tak menyangka Dani
bertindakseperti itu. Malah tangannya yang satu dengan cepat berupaya meraba
dua bukit indah milik Nina.
“Dan, apa-apaan ini!” teriak
Nina marah sambil menepis tangan Dani.
“Jangan kurang ajar kamu, Dan!” teriak Nina kemudian.
DANI tidak menjawab. Ia semakin
beringas memperlakukan Nina sebagai objek kenikmatan nafsu syahwatnya. Ia
mendorong Nina ke tempat tidur. Lalu menindihnya.
“Dan, sadar, Dan!”
“Kamu mau ditolong nggak?!”
“Tapi bukan begini caranya.”
”Ah! Sudahlah, aku janji nggak
sampai begituan. Hanya peluk cium saja.
Nina mendorong kuat badan Dani. Ia
melakukan perlawanan habis-habisan atas perlakuan Dani yang sudah di batas norma
kesusilaan. Ia muak dengan kata-kata Dani barusan. Meskipun ia jarang
beribadah, namun untuk melakukan hal seperti itu maaf-maaf saja!
“Di Dunia ini nggak ada yang gratis,
Nin!” umpat Dani, menahan sakit ketika Nina memukul dadanya.”
Nina melemparkan uang itu ke wajah
Dani.
“Ambillah lagi uangmu ini,” kata
Nina sembari berlari keluar kamar.
“Nin, tunggu dulu!”
Nina duluan tiba diluar da ia sempat
mengunci pintu itu dari luar.
Ya tuhan, betapa beratnya cobaan
yang kau berikan kepadaku dan keluargaku. Nina membatin dan melangkah lunglai
keluar dari runah Dani.
# # #
Malam di kota Medan, dengan
lampu-lampu hias dan lampu jalan menggerlapkan suasana. Dan pada saat itu bulan
purnama dengan indahnya menambah keindahan kota. Beberapa persimpangan jalan
air mancur dengan model yang beraneka ragam memberikan sarana penghibur bagi
warga yang penat dalam bekerja, maupun masyarakat lainnya yang haus akan
hiburan, maka jadilah air mancur sebagai salah satu objek hiburan yang layak
untuk dinikmati.
Rio mengendarai mobilnyadengan
santai. Ada alunan nada-nada lembut dari Glen Fredly dari Compact Disk.
Menyusuri jalan Gatot Subroto. Baru ia sadari malam ini adalah malam minggu. Ia
seharusnya ke rumah Maici, pacarnya yang baru dua bulan ini jadinnya.
Namun hatinya entah mengapa begitu
berhasrat untuk bertemu lagi dengan Nina. Rio ingin mengajak Nina dalam satu
proyek sinematrografinya. Untuk itu ia, mengeluarkan handphone, dan mulai
memberi satu alasan yang masuk akal kepada Maici.
“Hai, Rio.”
“Hai juga.lagi ngapain .”
‘Lagi nunggu kamula.”
“Aku minta maaf, Mai. Malam ini aku
tidak bisa datamg.”
‘Kenapa?”
‘Aku kurang enak badan. Ini lagi mau
cari dokter.”
“Ya,sempati sebentar ke sini. Pulang
dari dokter ke sini ya.”
“Aku upayakan, Mai.”
“Awas, kalau nggak datang.”
“Udah dulu ya…”
Rio tersenyum sendiri. Heran nengok
cewek zaman sekarang. Belum menyatu dalam ikatan perkawinan sudah berani
mengancam-ancam segala. Apalagi kalau sudah kawin. Bisa-bisa tinggal di rumah
saja jadinya.
Uh! Ini kalu dibiarkan sangat tak
mengenakkan perasaan. Mana lagi persiapan untuk pembuatan film tersebut yang
tentunya akan menyita waktu dan tenaga serta pikiran. Apa Maici mau mengerti?
Lamun Rio buyar. Rumah sakit Cahaya
Insani telah didepan mata. Ia mencari tempat parkir buat mobilnya. Matikan
mesin. Lalu turun dari mobil. Dan berjalan menuju ruang informasi.
Tidak berapa lama, Rio sampai
didepan ruangan sal. Ia mencari informasi tentang ayah Nina kepada seorang
suster.
“Nama pasiennya siapa?”
“Aduh lupa saya. Yang jelas orang
tua dari teman saya yang bernama Nina. Baru tadi masuk kemari.”
“Og, Ayah Nina. Tempatnya pas
didinding sebelah kiri. Masuk saja ke dalam ruangan dan setelah masuk belok
kiri.”
“Ya. Saya mengerti. Terima kasih,
Sus.”
“Sama-sama”
Rio menuruti apa yang dikatakan
Suster itu, tapi tak ditemukannya Nina. Justru yang ada seorang gadis. Tapi…
sepertinya mirip Nina. Barangkali ini adiknya Nina, Rio menerka.
“Mau bezuk siapa,Bang?” tanya Arni
sopan.
“Mau bezuk ayahnya Nina.”
“Ini ayah kami. Tapi lagi tidur.”
“Kamu adiknya Nina?.
“Benar. Abang siapa?”
“Saya temannya kakak kamu. Nama saya
Rio.”
“Teman sekolah?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Teman baru Nina.”
“Teman baru? Maksudnya?”
“Ya … teman baru ketemu gitu … “
Ibu Arni tiba. Ia baru sholat dari
Mushola. Rio menyalami ibu Nina dengan hormat.
“Saya temannya Nina, Bu.”
“Oh, kebetulan Nina lagi keluar.”
“Nggak apa-apa, Bu. Saya tunggu
diluar saja.
“Ar, temani teman kakakmu ini.”
“Baik, Bu.”
“Kemana Ninanya, Ni?” tanya Rio,
ketika ia dan Arni baru saja menduduki di kursi panjang didepan ruangan sal.
“Katanya ada urusan penting.”
“Penting?”
“Ya.”
“Begitu pentingnya.”
“Begitulah … “
“Kalau boleh saya tahu?”
Arni melirik wajah Rio. Kemudian
membiarkan matanya menatap langit malam yang diwarnai bintang-bintang. Haruskah
ia mengutarakan segala kesulitan yang mereka hadapi kepada teman kakaknya itu?
“Saya tidak memaksa. Saya bisa
tanyakan nanti kepada Nina. Namun kalau
tahu apa masalahnya sedini mungkin, ya siapa tahu saya bisa membantu
secepatnya.
“Ada baiknya biar kak Nina saja yang
mengatakannya kepada abang. Itu pun kalau kak Nina mau memberitahukannya.
Rio tersenyum. Dirogohnya kantung
celana. Lalu diambilnya rokok yang tersimpan disitu. Dibukannya, lalu ia
selipkan sebatang rokok di bibirnya. Tas! Suara mancis mengeluarkan api
terdengar. Kemudian ia hisap dalam-dalam. Tak lama kemudian ia keluarkan
perlahan-lahan.
Dido duduk didekat Arni.
“O, ya ini adik saya.”
Rio mengulurkan tangan. “Siapa
namanya.”
“Dido.”
“Dari mana tadi, Do.”
“Sholat Isya.”
“O, ya Bang saya mau sholat Isya
dahulu.”
“Ya silahkan … “
“Saya masuk dulu, Bang.”
“Oke, Do.”
“Handphone Rio berbunyi.”
“Ada apa, Lex?”
“Dimana kamu, Rio.”
“”Lagi dirumah sakit.”
“Aku mau tanya kepastian tentang
pembuatan film itu. Waktu semakin dekat saja. Kalau tidak mulai dari sekarang.
Kapan lagi ? Apa nunggu tahun depan?”
“Ya kasih waktu dulu satu kali dua
puluh empat jam ini.”
“Apa masalahnya?”
“Aku sedang menjajagi seseorang
untuk menjadi pemeran utama film kita.”
“Tapi kesepakatannya kan Nadia yang
jadi pemeran utamanya.”
“Kesepakatan apa? Aku nggak merasa
menyepakatinya, Lex.”
“O, Ya?”
“Ialah!”
“Tapi Nadia sudah gembar gembor di
Kampus dia yang akan menjadi pemeran utamanya.”
“Apa dasarnya ngomongnya begitu.”
“Yang aku dengar nih, ia bersedia
menymbang tiga piluh persen dari biaya produksi asalkan dia yang menjadi
pemeran utamanya.”
“Kita mau buat fil berkualitas atau
mau mengangkat popularitas seseorang, Lex?”
“Ya itu tergantung kamu, Rio.
Kamukan penulis Scenario dan sutradaranya sekaligus pemodal utama. Aku hanya
asisten merangkap koordinator lapangan.”
“Aku yakin besok sudah ada keputusan
siapa pemeran utamanya.”
“Dan bagaimana dengan Nadia. Apa
tidak diinformasikan lebih awal kepadanya.”
“Tugaskan saja anggota lainnya untuk
mengatakan kepada Nadia, bahwa bukan dia pemeran utamanya. Kalau kau ada waktu,
ya hubungi saja dia sekarang, Lex.”
“Okelah, Rio.”
“Oke, Lex.”
Rio meng-offkan Handphonenya. Masih
sabar menunggu Nina. Tak berapa lama Arni tiba.
“Sudah sholatnya?”
“Sudah, Bang.”
“Kelas berapa sekarang, Arni?”
“Kelas satu SMA.”
“O, ya saya sampai lupa, ayah kamu
sakit apa? Nina belum sempat cerita kepada saya untuk yang satu ini.”
“Ayah mengidap pwnyakit paru-paru …
“
“Apa kata Dokter?”
“Ya katanya dirawat dulu untuk
melihat perkembangan selanjutnya.”
“Pekerjaan ayah Arni apa ya?”
Arni tidak harus menjawab. “Hm.. ada
baiknya biar kan Nina yang menjawabnya, Bang.”
“Ohhh begitu…”
“Maaf ya bang saya kedalam dulu.”
“Silahkan.”
# # #
Mengenakan jeans hitam ketat dipadu
dengan T-Shirt hitam dan topi biru, Nina melangkah pasti masuk kedalam sebuah
Bar.
“Saya sedang menunggu seseorang.
Pesanan nanti saja,”kata Nina mantap.
Pelayan meninggalkan Nina. Nina
mengawai sekitar ruangan Bar yang remang-remang. Ia mencoba mendekati Olla yang
bekerja disitu. Nah, itu dia! Nina pelan-pelan mendekati Olla.
Nina menepuk pundak Olla dari
belakang. Merasa ada yang menepuk pundaknya Olla memalingkan wajah kebelakang.
Nina tersenyum. Olla terkejut.
“Kamu?”
“Ya heran bisa menemui kamu ditempat
seperti ini?”
“Saya kerja disini.”
“Kerja apa ker-ja?”
“Kamu jangan sembarangan bicara. Aku
bisa menyuruh pihak keamanan kami mengusir kamu.”
“Aku punya bukti fakta, kamu tidak
semata-mata bekerja di bar ini. Kamu ya pokoknya kalau diungkapkan akan membuat kamu tak bisa
tidur tenag. Makanya aku dantang kemari. Aku bukan musuhmu, La, aku butuh bantuanmu.”
“Kamu kira kamu siapa, Nin.
Bisa-bisanya maksa begini.”
“Kalau kamu tidak mau ya tidak
apa-apa. Tapi riwayat kesiswaanmu di sekolah akan hancur. Kemana pun kamu pergi
bayang-bayang hitam itu akan mengikutimu terus.”
“Bukti apa yang kamu miliki?”
“Kamu sering diajak jalan usai
bekerja oleh orang-orang tertentu. Kamu sering menjadi penghubung dalam
transaksi jual beli narkoba. Namun nasibmu baik sampai detik ini belum ketahuan
sama aparat.”
“Cukup, Nin …. “
“Sekarang mari kita bicara tidak
sambil berdiri.”
Olla mengajak Nina mencari posisi
didekat bartender.
“Apa yang kamu minta, Nin?” Olla
langsung ke focus pembicaraan/
“Aku butuh uang. Empat juta dahulu.”
“Untuk biaya ayahmu?”
“Tidak perlu aku jawab.”
“Mengapa tidak minta dengan teman
kamu itu. Siapa namanya. O,ya Nia kan?”
“Bukan urusanmu …. !”
“Kelas memang berbeda dengan Serikat
Tolong Menolong. Namun setidaknya ada sesuatu yang bisa ditunukkan kelas
kepedulian ini tumbuh dan bersemi disana. Nyatanya tidak aku lihat tadi siang.”
“Kamu bicara apa?”
“Bicara tentang Mia. Kamu tahu, Mia
memang mengatakan ayah kamu sakit. Opname. Itu saja! Tidak ada sedikit pun
inisiatif darinya untuk memberikan dorongan moril bagi teman-teman guna
meringankan biaya berobat ayahmu. Apa salahnya jika ia didepan kelas mengutarakan
hal itu dalam konteks kamu teman sebangkunya dan selama ini kamu akrab habis
dengannya. Anak orang kaya macam begitu!”
Nina mendengar serius ucapan Olla.
Ada juga benarnya kata-kata Olla
barusan. Namun ia tak mau membuat penilaian Olla terhadap ia semakin miring.
“Aku tidak mau melibatkan
siapa-siapa!”
“Nyatanya kamu tarik aku kedalam
permasalahanmu.”
“Kamu pengecualian.”
Besok aku berikan uangnya.”
“Tidak bisa besok. Harus sekarang
juga.”
“Mana ada Bank buka pukul sembilan
malam begini, Nin?”
“Jangan pura-pura bodoh, ATM buka
dua puluh empat jam kan … “
“Tapi aku kerja.”
“Permisi sebentar. Di Plaza sekitar
seratus meter dari sini, ada ATM. Aku yakin kamu menabung di Bank papan atas.”
Olla bangkit. Ia bicara sebentar
dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu mengangguk kepala.
“Kamu tunggu saja disini.”
“Tidak, sebaiknya kita sama-sama
kesana.”
Olla dan Nina melangkah menuju ATM
yang terletak di Plaza Merdeka.
Olla mnyerahkan uang empat juta
kepada Nina. Nina menerimanya dengan
gembira. Seolah-olah batu yang mengempit dadanya telah terangkat saat ini.
Dibayangkannya besok ia akan lunasi hutang-hutang ayah dan ibunya serta mencari
sewa ruamh ditempat lain dan dapat membayar biaya perawatan ayahnya.
“Nin…”
“Apa?” tanya Nina dengan wajah
kemenangan.
“Kamu mau aku temani kerumah sakit.”
Nina menatap wajah orang yang pernah
menyakiti perasaannya.
“Apa aku nggak salah dengar?”
“Aku yakin telingamu masih sehat.”
“Untuk apa? Mau menghinaku didepan
ayahku dan ibu serta adik-adikku?”
“Kenapa kamu berprasangka begitu
kepadaku?”
“Buktinya di sekolah.”
“Kamu yang memulainya kan?”
“Lho kok aku ? Apa karena aku
berteman dengan Mia?”
“Itu barangkali salah satu
penyebabnya.”
“Apa masalahnya dengan kamu?”
“Karena kamu itu punya potensi.”
“Potensi apaan?”
“Ya jagonya nyanyi. Main keyboard
juga oke.”
“Terus ?”
“Kan selama ini tidak kamu
kembangkan . Kamu terus – menerus berada dalam bayang – bayang Mia.”
“Itu urusanku.”
“Sekarang jadi urusanku.”
“Kenapa?”
“Seperti katamutadi, aku pun bukan
musuh bagimu.”
Mata mereka beradu pandang, Dalam
hitungan detik, sampai Olla angkat bicara lagi.
“Karena aku tahu kamu itu punya
latar belakang soail ekonomi gimana. Keluarga kamu itu macam mana, Apa kamu
nggak merasa terhina dengan situasi kondisi ekonomo keluarga saat ini. Kita
sama-sama menderita, Nin. Hanya saja cara kita memandang penderitaan itu yang
berbeda. Aku harus hidup . Karena itu aku bekerja sambil sekolah. Sementara
yang kau temani Mia anak orang kaya dengan segala kelengkapan materi. Tidak ada
kesempatan baginya untuk merasakan bagaimana malam-malam harus pulang yang
rawan dan tindak kriminalitas maupun pelecehan seksual. Makan juga harus irit
dan selalu memperhitungkan sesuatu dengan seksama.”
Nina menatap wajah Olla serius.
“Tidak ada yang mampu merubah nasib
seseorang, kalau bukan orang itu sendiri.
“Jadi?”
“Sekali lagi aku katakan kamu punya
potensi. Aku melihat itu. Jadi kamu harus menjadi dirimu sendiri meski jadi
apapun dirimu. Aku bermaksud memotivasi kamu. Kamu harus membuka diri ke dunia
luar. Bukan berada di dalam payung kebesaran Mia.”
“Kali ini aku yang bertanya memangnya
siapa kamu yang harus bela-belain aku agar termotivasi dan membuka diri ke
dunia lain?”
“Itu menjadi pertanyaan yang kelak
akan kamu temui jawabanya.”
“Ada baiknya kamu kembali ke Bar
itu. Aku yakin malam ini kamu dapat uang tips yang besar. Jangan lupa, kalau
aku terdesak aku pinjam yang ke kamu.”
Mereka berpisah. Nina menumpang
taksi menuju rumah sakit. Olla kembali ke Bar . Di perjalanan ke rumah sakit,
Nina merenungkan kembali apa yang barusan ia lakukan kepada Olla.
Ia tak yakin sepenuhnya apakah
tindakannya itu sepenuhnya berhasil sehingga Olla bersedia memberikan uang itu.
Atau memang ada sisi baik seseorang manusia yang bernama Olla ? Karena
sesungguhnya ia tak terlalu banyak tahu tentang data dan fakta perilaku Olla
usai bekerja di Bar.
Taksi berhenti di depan rumah sakit
Cahaya Insani. Nina turun setelah membayar ongkos taksi. Berjalan dengan cepat
berharap cepat sampai ke tempat ayahnya dirawat.
Alangkah terkejut bercampur senang wajah
Nina saat melihar Rio duduk dibangku panjang itu.
“Lama menunggu?”
“Ya nggak apa-apa. Kata adikmu kamu
ada urusan penting. Jadi ya saya tunggu saja di sini. Karena pasti kembali ke
sini.”
“Hm, sebenarnya saya mesti beritahu
ibu dan adik – adik kamu.”
“Ya, silakan, Nin”
Nina masuk ke dalam. Seiring dengan
berlalunya Nina, handphone Rio berbunyi Maici menhubunginya.
“Hallo?”
“Rio, kamu kok belum ke rumah. Tadi
aku telepon ke rumah. Nyatanya kamu belum tiba di rumahmu dan di rumahku. Apa
berjam –jam lamanya di tempat praktek dokter ?”
“Kamu masih di rumah sakit. Jelas.
Aku lagi di rumah sakit.?”
“Rumah sakit mana?”
“Tidak aku baca-baca nama rumah
sakitnya.”
“Kamu bohong!”
“Udah dulu, Dokternya sudah datang.”
Rio mematikan telepon selulernya.
Nina muncul dan duduk di samping Rio
.” Sudah makan, Rio?”
“Sudah. Di rumah.”
“Saya belum makan. Kita makan di
kantin yuk ?”
“Saya temani kamu makan, Saya pesan
kopi susu atau kalau ada bandrek susu.”
“Aku yakin ada, Namanya juga
kantin!”
Saat berpapasan dengan Nina dan Rio,
beberapa Dokter tersenyum dengan Rio. Ada juga perawat yang memberi kesan
hormat kepada Rio.
Nina penasaran. Siapa sebenarnya
cowok ini. Tapi ia tak hendak menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Ia
akan menjadi detektif bagi dirinya sendiri.
“Saya masih ingat ada pembicaraan
kita yang terputus tadi pagi ya …”
“Daya ingat kami ternyata oke juga,
Nin”
“Pasti ada sesuatu yang hendak kamu
katakan sampai menunggu saya kembali ke sini. Itu jadi salah satu indikasinya,
bahwa ada hal yang ingin kamu sampaikan kepada saya ?”
“Seratus persen benar”
“Tentang apa, Rio?”
“Film.”
“Maksudny.”
“Kami sedang dalam persiapan
pembuatan film untuk diikut sertakan dalam Festival Dilm Independen.”
“Selamat semoga filmnya sukses…”
“Saya mengharapkan kamu ikut terlibat
dalam pembuatan film ini, Nin ?”
“Saya?”
“Iya.”
“Aduh, saya begitu tersanjung, Rio.
Tapi saya bukan siapa – siapa, maksud saya…. Begini Rio, kamu jangan melihat
saya dari luarnya saja.”
“Maksud kamu ?”
Nina teringat dengan apa yang dikatakan
Olla. Pas benar untuk ia terapkan dalam moment ini. Yap, kita harus menunjukkan
jati diri kita meskipun pada posisi bagaimana kita berada.
“Katakanlah, Nin?”
“Ayah saya saat ini sakit, Mungkin
itu benar memecahkan sedikit konsentrasi saya. Kemudian saya hanya dari keluar
sangat – sangat sederhana, kalau tak mau dikatakan dikalsifikasikan keluarga
miskin. Ayah saya hanya tukang tempel ban. Ibu saya saya penjual lontong untuk
sarapan pagi.
Tempat tinggal kami selalu
berpindah-pindah, karena kami belum mampu membeli rumah sendiri. Dan …. Sajah
saya tidak punya nilai jual, Rio.”
“Oke kita bahas satu-satu. Begini
Nin, masalah ayah kamu, yakinlah kamu akan ditangani dengan serius. Besok ayah
kamu akan dipindahkan kekamar kelas satu. Itu sudah bagus, Nin.”
“Siapa yang nyuruh pemindahan itu.”
“Saya.”
“Kamu?”
“Biayanya?”
“Jangan khawatir, Nin. Itu sudah
saya selesaikan.”
“Kamu?”
“Iya!”
“Terima kasih, Rio. Tapi aku tak
bisa langsung menerima kebaikanmu.”
“Kenapa?”
“Karena …..
Nina tidak langsung menjawab. Ia
terbayang dengan tawaran kebaikan Dani. Ia trauma menerima kebaikan seseorang
yang tiba-tiba. Dan hatinya mulai berkesimpulan manusia memang memberikan
sesuatu kepada orang lain karena ada maunya. Sulit mencari lagi sosok manusia
yang rela memberikan kebaikan untuk atas nama keikhlasan dan hanya berharap
pahala dari Yang Maha Kuasa.
Sakit bagi Nina jika
mengingat-ngingat apa yang dilakukan Dani. Meskipun tidak sampai pemerkosaan
itu terjadi, tetapi dimata Nina, laki-laki memberikan sesuatu sembilan prosen
pasti ada maunya.
“Karena saya dan ibu masih sanggup
untuk membiayai perawatan ayah saya.”
“Jangan terus berpraduga, Nin.”
“Saya tidak berprasangka. Namun
hargai juga keputusan saya. Saya belum bisa menerima kebaikan kamu. Rio.
Wajah Rio menampakkan kekecewaan.
Nina tetap bersekukuh untuk tidak menerima kebaikan Rio.
“Selanjutnya apa, Rio?”
“Mengenai latar belakang keluarga
saya kira tidak ada kaitanya dengan pandangan saya terhadap potensi yang kamu
miliki. Kebetulan saja kamu berasal dari ayah yang katamu kerjanya sebagai tukang
tambal ban, dan ibu yang penjual lontong. Itu belum selesai, Nin Hidup ini
terus bergerak . hari ini sperti itu. Namun siapa yang bisa memastikan besok
juga seperti itu ?
“O, ya …”
“Yang terakhir ?”
“Mengenai wajahmu yang tidak nilai
jual . Itukan kata kamu. Kata penulis scenario film dan sutradara beda. Justru
wajah kamu memiliki artistic sebagai daya pemikat sebuah film, terumata kisah –
kisah sedih.
“Siapa sebanarnya kamu, Rio ?”
Nina tak sanggup lagi menyimpan rasa
penasaranya dengan cowok tampan itu.
“Nanti juga kamu tahu. Ini
permohonan kalau memang disebut begitu, kamu ikutan film saya ya, Nin…”
“Maafkan saya. Kalau itu yang kamu
minta saya tidak bisa. Kamu kan tahu kondisi ayah saya lagi tidak fit.
Kosentrasi saya tidak focus. Kamu tentu maklum adanya.
“Ayah kamu kan dirawat dengan baik
di sini.”
“Tapi sebagai anak saya tidak akan
jauh-jauh dari ayah saya, Rio, apa layak seorang ayah yang terbaring di rumah
sakit dibiarkan.
“Ini kesempatan kamu untuk memberi
yang terbaik kepada ayah kamu.”
“yang terbaik bagi ayah saya adalah
ketika ia sakit anak –anaknya tetap berada di dekatnya.”
“sayang sekali. Kesempatan biasanya
datang sekali. Dan ketika kesempatan itu tak di raih, maka penyesalan yang akan
timbul di hati.”
“Hanya Tuhan yang tahu kesempatan
itu berada kali datangnya kepada seseorang, Rio. Saya rasa sudah jelas
semuanya.”
“Ya, sangat jelas.”
“Kalau begitu Saya mau menemui ayah
saya.”
“Baiklah, Saya pamit pulang.”
#
# #
Pagi – pagi Nina berangkat dari rumah sakit.
Ia harus mencari rumah sewa baru. Tidak mudah untuk mencari rumah sewa yang
tarifnya terjangkau dan tidak jauh dari tempat sekolahnya maupun Arni dan Dido.
Minimal sekali pergi dan pulang naik kenderaan umum. Di samping itu rumah itu
haruslah memiliki lahan di depannya untuk usaha.
Biasanya
kalau rumah-rumah sewa yang untuk golongan menengah ke bawah ditanya langsumg
dengan penduduk sekitar.
Arni
menyusuri jalan damai sekitar dua kilometer dari rumah sewa terdahulu.Ia yakin
di daerah itu ada pemilik rumah yang menyewakan rumahnya.
Begitu
pun ia mencoba mengorek informasi melalui kedai.
“Beli air mineralya,bu?”
“Berapa?’
“Satu saja.”
Nina
menerima air mineral itu. Lalu ia membayarnya dengan uang pas. Meminumnya
sekenak.
“Di sini ada yang mau nyewakan rumah, Bu?’
“Adan. Nanti ada gang namanya gang sejahtera di
sana ada Mesjid, Di dekat Mesjid itu tanya saja nanti.”
Nina
senang. Meskipun harganya belum tahu pasti, namun dengan adanya rumah yang mau
disewakan, usahanya setidaknya telah mencapai tujuh puluh prosen
Ia
permisi dengan pemilik kedai. Nina melangkahkan kakinya menuju gang sejahtera.
Tiba di depan sebuah rumah.Ada papan pengumuman terpapang di dekat pagar yamg
belum siap. Disewakan. Itu bunyinya. Rumah itu hanya berjarak dua rumah
dengan sebuah Mesjid. Sederhana. Tapi yang begini yang cocok untuk keluarga
Nina.
Nina
mengetuk pintu.
Pintu
dibuka.
“Ada
apa?” tanya cowok yang menurut Nina masih sembayang dengannya.
“Mau
nanya, rumah sebelah kan disewakan. Saya mau tanya mungkin tahu dengan siapa
bisa berhubungan ya?”
“Rumah
itu kami yang punya.”
“Boleh
tahu berapa sewanya?”
“Namanya
mau disewa, ya pasti bolelah diberi uang sewanya. Masuklah dulu.”
Nina
melangkah ke dalam.
“Silahkan
duduk..”
Nina
duduk di kursi terdekat dari pintu.
“Tunggu
sebentar ya…”
“Ya.”
Tak
lama kemudian seorang wanita setengah baya menghampiri.
“Mau
menyewa rumah ya?”
“Benar
Bu.”
“Yang
mau tinggal di situ siapa?”
“Saya
beserta keluarga.”
“Mana
orang tuanya?”
“Lagi
tidak ikut.”
“Kenapa?”
“Kebetulan
mereka lagi ada kerjaan, Bu…”
“Ya
sudah. Kalau berniat mau nyewa di rumah sebelah boleh aja. Tapi harga sewanya
pertahun”
“Satu
tahun berapa, Bu?”
“Dua
juta rupiah aja.”
“Bisa
kurang, Bu?”
Ibu
itu tersenyum, sembari menggelengkan kepala.
“Kurang
dikitlah, Bu.”
“Nggak
bisa, Dik. Harga itu telah sesuai dengan situasi kondisi saat ini.”
Nina
berpikir dengan rumah semi permanen dan halamannya ada sekitar enam meter dari
jalan, rasanya sudah oke aja. Ngapain mencari-cari yang lain yang belum jelas.
“okelah,
Bu. Kami sewa satu tahun.”
“Baik.
Saya ambil dulu kwitansiya.”
“Silahkan,Bu.”
Ibu
itu bangkut dari kursi. Ia menuju ke ruang belakang. Nina mempunyai kesempatan
untuk melihat-lihat ruang tamu. Ada foto keluarga yang diletakkan di buffet.
Kemudian foto cowok yang ditemui Nina dalam poseberpakaian teluk belaga.
Ibu
iti muncul membawa kwintas ya.”
“Ini
uangya, Bu.”Nina menyodorkan uang dua juta rupiah kepada ibu itu.
Ibu
itu menerimanya.
“Hitung
dulu, Bu.”
“Saya
yakin nggak kurang. Tapi biar senang, biar anak saya yang menghitungnya.
“Rafid.”
“Ya,
Bu.”
“Tolong
dulu hitung uangnya.”
“Baik,Bu.”
Rafid
menghitung uang pembayaran sewa rumah dari Nina. Nina memperhatikan cowok itu.
Sederhana dan tak memiliki kesan wah. Badannya kurusan. Matanya agak memerah.
Rambutnya semi ngondrong. Kulitnya agak hitam.
“Ini
anak pertama saya.”
“Masih
sekolah?”
“Sudah
kuliah. Semester empat.”
“pas,Ma….”Farid
berkata.
Kemudian
Farid memberikan kembali uang itu kepada ibunya.
“Kalau
begitu saya minta kuncinya,Bu…”
“O,
ya. Lupa saya.”
Ibu
Farid ke kamar tidur.
“Kamu
masih sekolah?” tanya Farid ketika ibunya sudah di dalam kamar tidur.
“Ya.”
“Kelas
berapa?”
“Kelas
tiga SMA.”
“Masuk
siang?”
“Ya.
Tapi hari ini saya memang tidak masuk sekolah. Banyak yang harus saya
kerjakan.”
“O,
ya.”
“Benar.
Saya rencanakan hari juga barang-barang kami bisa dipindahkan ke rumah sewa
itu.”
“Kamu
perlu bantuan? Maksud saya jika butuh mobil pick up atau semacamnya saya bisa
membantu.”
“Sepertinya
memang diperlukan.Tapi gimana dengan harganya?”
“Harga
miring dikitlah,. Hitung-hitung membantu tetangga baru kan…”
“Ya,
nggak apa-apa. Kapan bisanya?”
“Kapan
saja.”
“Kalau
sekarang?”
“Ya,nggak
apa-apa. Kebetulan teman saja tinggalnya tidak jauh dari sini. Kamu tunggu aja
di rumah ya.”
Nina
menangguk.
Ibu
Farid kembali ke ruang tamu. Ia memberikan kunci rumah kepada Nina.
“Terima
kasih, Bu. Saya mau lihat-lihat kedalam sekalian membersihkan ruangannya.”
“Silahkan.”
Nina
menuju rumah sewa baru keluarga mereka. Di bukanya pintu rumah. Itu. Nina
melihat ruangan di dalam rumah cukup bersih. Sepertinya tiap hari ruangan demi
ruangan di sapu. Hanya ada dua kamar tidur. Satu ruang dapur merangkap ruang
makan
Begitupun
untuk mengisi waktu Nina menyapu ulang dengan memulainya dari ruang tamu.
Jendela ia buka lebar-lebar. Sinar matahari memasukakan hawa panasnya ke dalam
ruangan. Bagi Nina hal itu cukup memberikan suasana hangat dalam ruangan itu.
Ada
sekitar setengah Nina menunggu kehadiran Rafid, barulah cowok itumuncul dengan
mobil pick up yang parkir di depan rumah.
“Berangkat
kita sekarang?”
“Ayo.
Tapi kamu sudah beritahu mama kamu?”
“Sudah.”
Mereka
berjalan beriring menuju mobil pick up hitam itu.
“Kita
menuju jalan apa?”
“Jalan
garu sepuluh di daerah marindal.”
“Lho.
Nggak berapa jauh dari sini?”
“Memang.”
“Hmm…
pantas aja.”
“Pantas
apa?”
“Sepertinya
saya pernah lihat kamu.”
“Di
mana?”
“Ya
di sekitar daerah Marindal sana.”
Tiba
di depan rumah itu, mobil pick up hitamyang dikemudikan Rafid berhenti. Nina
turun dari mobil. Rafid menyusul.
“Kok
sepi?” tanya rafid masih berdiri di dekat kursi tamu.
“Ya.”
“Mana
orang tua kamu?”
“Lagi
di rumah sakit, Nin?”
“Siapa
yang sakit, Nin?”
“Ayah
saya.”
“Sakit
apa?”
“Paru-paru.”
“Saudaramu?Maksud
saya adik atau kakakmu?”
“Saya
paling tua. Dua adik saya juga di rumah sakit.”
“Oohh…”
“Mau
bantuin, mengangkatnya ke mobil Fid.’
“Sini
biar saya angkat.Yang man duluan mau di bawa. Menurut saya kita harus dua trip
juga nih mengangkutnya.”
“Nggak
keberatan kan?”
“Nggak.Cuma
mau kasih tahu saja.”
Nina
dan Rafid mengangkati kursi dan meja, serta perlengkapan dapur maupun bungkusan
yang berisikan pakaian ke atas mobil.
Nina merasakan pertolongan yang diberikan Rafid mengesankan ketulusan.
Disela-sela kesibukan mereka mengangkati barang-barang itu Nina memberanikan
diri menanyakan lebih jauh sisi kehidupan cowok itu.
“Kamu
punya adik berapa orang?”
“Hanya
satu.”
“Tadi
tidak nampak. Apa lagi sekolah?”
Rafid
menggelengkan kepala.
“Lalu
?”
Dia
dan ayah dua bulan lalu mengalami kecelakaan lalu lintas. Mereka telah
meninggal dunia…”
“Maafkan
saya, Fid.”
“Kok
mesti minta maaf. Itu kenyataan hidup yang harus saya terima.
# #
#
Malam
yang dingin menusuk ke tulang. Hujan barusan berhenti setelah mencurahkan
airnya sejak pukul enam sore. Lalu lalang kenderaan lengang di jalanan. Jam
masih menunjukkan pukul sepuluh malam.
Nina
melangkah masuk ke sebuah bar. Ia memperhatikan sejenak sekeliling, dan
seseorang mempersilahkannya kemeja kosong.
“Makasih,
saya mau mencari teman.”
“O,
ya.”
“Ya.”
“Salah
seorang pengunjung atau….”
“Yang
bekerja di sini.”
“Siapa
namanya?”
“Dian.”
“Dian.
Dia masih bekerja . Tidak bisa diganggu.”
“Sebentar
saja, Bang.”
“Okelah,
tunggu saja di situ.”
“Makasih
ya, Bang”
“Tunggu
saja di sini.”
“Ya
Bang.”
Tak
berapa lama Dian muncul. Nina menggamit tangan temannya dan mendekatkan
kursinya ke kursi Dian.
“Ada
apa?!” mimik wajah Dian menampakkan ketekerjutan.
“Aku
mau minta bantumu.”
“Bantuan
apa, Uang ?”
“Tahu
aja kamu.”
“Aku
nggak punya . Nin”
“Jangan
bohonglah. Aku pinjam. Bukan minta.”
“Ya
masalahnya aku nggak bawa uang kontan saat ini.”
“Kartu
ATM kan punya?”
“Aku
lagi kerja. Pengunjung mulai ramai. Nanti aku dimarahi manager.”
“Cari
alasan yang paslah. Kan ada ATM dua ratus meter dari tempat ini.”
“Kenapa
nggak minjam sama Mia? Mia kan orang kaya.”
Nina
terdiam.
“Makanya
aku minjam ke kamu, Dian.” Ucap Nina bergetar
“Begini
saja. Kalau kamu percaya sama aku, nanti aku antar ke rumah sakit. Pulang aku
kerja nanti.”
Berapa
kamu kasih pinjam.?
“Sama
seperti Olla. Empat juta rupiah.”
Air
mata Nina mengalir, membasahi pipinya . Ada tanya menggump Al dada mengapa
justru orang – orang yang pernah menyakitinya yang malah membantunya kini, saat
ia butuh pertolongan. Orang – orang yang harus bekerja sampai dini hari demi
mencari makan sambil sekolah, dengan rela memberikan uang hasil jerih payahnya
untuk dipinjam.
Padahal
belum tenti ia bisa membayarnya dalam tempo yang sesingkat – singkatnya . Tanpa
ada jaminan apapun. Empat juta dari Olla. Dan empat juta lagi dari Dian. Ah!
Empat juta, bukan uang yang sedikit . ia sendiri tak memiliki uang sebesar itu.
Nina
jadi ingat betapa dekatnya ia dengan Mia, tapi sampai saat ini Mia sobatnya itu
tak sempat juga mengujunginya , sekedar untuk memberikan dukungan moral. Kenapa
kamu , Mia Kok bisa jadi berubah total begitu ?
“Eit,
sudahlah Nina jangan pakai acara nangis segala. Aku janji. Tunggu saja di rumah
sakit. Ya”
Nina
menggenggam tangan Dian
“Makasih
ya Dian.”
“Sudahlah.
Aku bisa larut dengan kesedihan. Padahal aku paling takur menggeluarkan air
mata.”
Nina
menghapus air matanya, Ia mencoba tersenyum.
“Hey,
Kapan kamu masuk sekolah?”
“belum
tahu.”
“Mia
makin lengket sama Andi.”
“Biarlah
mereka begitu.”
“Barang
kali pengurus kelas besok baru membezuk ayah kamu.”
“Okelah
aku balik dulu.”
Dian
menggangguk.
Nina
menyusuri jalan Mataram. Kenderaan umum satu – satu yang lewat. Itu pun bukan
trayek yang menuju ke rumah sakit Cahaya Insani. Memang kalau naik taksi masih
bisa di bayar. Tapi sayang rasanya, Biarlah di tunggu dulu kenderaan umum yang
ke arah rumah sakit Cahaya Insani.
Nina
berhenti berjalan. Berdiri di dekat gardu penjagaan sebuah perkantoran tidak
ada orang di sekeliling. Hanya kenderaan yang masih lalu lalang.
Tiba
– tiba sebuah sedan biru metalik yang melaju kencang mendadak merem pakem.
Suaranya berderit habis, dan DARR. Suara benturan terdengar.
Peristiwanya
begitu cepat. Nina melihat ada yang miskomunikasi antara pengemudi sedan biru
metalik dengan pengemudi pick up hitam.
Entah
kenapa, Nina yang biasanya tidak mau ikut campur dalam urusan orang, terlebih
yang berkaitan dengan kecelakaan, berlari mendekati mobil sedan itu. Ia membuka
pintu mobil itu. Ternyata pengemudinya seorang wanita dan tak sadarkan diri.
Beberapa
mobil berhenti dan mencari tahu apa yang terjadi. Penjaga keamanan di perkantoran
itu juga mendekati Nina.
“Cepat
bawa ke rumah sakit!”
“Tolong
Pak, di pindahkan ke jok belakang.”
Laki
– laki di bantu rekannya yang lain. Memindahkan wanita itu ke bangku belakang
mobil.
“Biar
saya bawa ke rumah sakit.”
“Kamu
bisa nyeri?”
“Bisa,
Pak.”
“Ke
rumah sakit Mongosidi saja.”
“Baik,
Pak.”
Nina
menggas mobil itu. Masih bisa jalan meskipun telah menabrak bumper belakang
mobil pick up.
Ia
tidak canggung untuk mengemudi mobil. Sebab saat ada waktu luang mobil Mia
dijadikan sarana untuk memahirkan kemampuanya menyetir mobil. Ternyata ada juga
manfaatnya.
Nina
tiba di rumah sakit. Pihak rumah sakit tanggap ketika Nina melihat Nina membawa
pasien korban kecelakaan lali lintas. Apalagi, setelah di lihat kartu
penduduknya, jelas wanita itu dari keluarga kaya.
Nina
terkejut. Alamat wanita itu tidak berbeda dengan alamat rumah Mia. Masih masih
ingat meskipun tidak sering – sering berkunjung ke rumah Mia.
Diamatinya
wajah perempuan itu. Tak salah lagi ! Ini mamanya Mia.
Nina
menunggu hasil perawatan rumah sakit. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas
malam.
Mau
menghubungi rumah Mia. Ia tidak ingat lagi nomor handphone Mia. Nomor telepon
rumah juga ia tidak ingat. Tapi, ia baru ingat, pasti mama Mia membawa
handphone.
Nina
mencari melihat tas coklat itu. Tidak ada. Lalu ia tergerak untuk melihat ke
dalam mobil. Ia pun menuju tempat parkir mobil. Benar, handphone itu ternyata
terletak di dekat dasboard mobil. Ia kembali ke ruang tempat mama Mia di rawat.
“Kamu,
siapa ibu ini ? tanya dokter jaga.
“Bukan
siapa – siapa ibu in, Dok Ketebutulan, saat kecelakaan itu terjadi saya berada
di situ. Lalu saya ambil inisiatif untuk membawa ibu ini ke rumah sakit.”
“Sulit
menemukan orang sebaik kamu saat ini, yang mau menolong orang lain ketika orang
itu mendapat musibah,” kata dokter itu lagi.
Nina
tersanjung mendengar kata – kata dokter itu. Tapi hatinya segera sadarkan diri.
Ia membatu bukan untuk dipuji atau pun mengharapkan kompensasi dari orang yang
ditolong. Biarlah tuhan yang membalasnya kelak. Bisik batinnya.
“Tolong
diberitahukan kepada keluarganya,”ucap dokder itu.
“Iya,
Dok.”
Dokre
itu keluar dari kamar inap kelas atau diiringi oleh seorang perawat.
Mamanya
mia tertidur pulas. Nina merongoh tas coklat miliki mama Mia. Tidak
ditemukannya telepon seluluer. Barangkali tertinggal di mobil. Lalu Nina
bergegas ke tempat parkir. Dibukanya pintu mobil. Benar! Ternyata handphone
tersebut tergeletak di bawah lantai mobil. Nina memungutnya. Nasib tak berpihak
kepadanya. Ternyata handphone itu bateraynya lagi drop.
Di
mana ada wartel di sekitar sini ya. Tanyanya dalam hati. Ia melihat sekeliling.
Di sebelah rumah sakit ada Mesjid. Di sebelah kanan terdapat rumah penduduk. Memakai
peribahasa malu bertanya sesat di jalan, membuat Nina melangkahkan kaki ke
tempat satpam rumah sakit siaga.
“Maaf
ya, pak…. Wartel di mana ya, pak?
“Lho.
Itukan wartel.”
“Di
mana, pak?”
“Di
sebelah mesjid ini.”
“Oohh
makasih, pak.”
“Iya!”
Nina
berjalan kaki menuju wartel yang ternyata terletak di sebelah Mesjid.
Diputarkan nomor 108.
“Hallo
selamat malam, 108 di sini dengan Iwan. Ada yang bisa di bantu.”
“Selamat malam. Tolong pak, nomor telepon
jalan Beo perumahan Menteng Indah.”
“Sebentar
ya…”
“Ya.”
“Nomornya
7734281.”
“Terima
kasih, pak.”
“Sama-sama”
Nina
memutar kembali nomor di telepon itu. 7-7-3-4-2-8-1. Ada nada masuk. Tapi belum
diangkat.
“Hallo!”
“
Hallo.”
“Siapa
ini?”
“Bisa
bicara dengan Mia.”
“Ini
siapa?”
“Ini…..”
Nina menggantung kata-katanya. Apakah harus berterus terang mengatakan siapa
dirinya. Atau mengatasnama kan seseorang.
“Hallo!”
“Ya.”
“Ada
perlu apa dengan Mia? Mia sudah tidur. Tidak bisa digangu. Besok saja kalau mau
nelepon. Atau titipkan saja pesan. Besok saya sampaikan kepada Mia.”
Telepon
diputus. Nina menghela nafas. Ia tidak bernafsu untuk memberitahukan apa yang
terjadi dengan mama Mia.
Setelah
membayar biaya pulsa, Nina melangkahkan kaki menuju rumah sakit. Ketika berada
di jalan di depan Mesjid, hujan turun lagi. Bagaikan air yang ditumpahkan dari
ember. Tiba-tiba saja!
Nina
berlari ke Mesjid. Rambut dan badannya basah. Di kibas-kibaskan rambut
panjangnya itu. Disekanya wajah yang terlihat kacau karena jarang tidur malam
itu. Ia berdiri di tangga paling atas Mesjid.
Di
lihatnya sejenak ke dalam Mesjid. Masih ada sekumpulan wanita yang semuanya
berjilbab. Jumlahnya sekira enam orang. Dan laki-laki ada tiga orang. Mereka
membentuk lingkaran.
Kemudian
Nina mengalihkan pandangan ke langit. Gelap hanya air hujan yang jatuh diiringi
oleh angin malam.
“Asslamua’alaikum
…..”
Nina
menolehkan wajah mencari sumber suara yang merdu dan membuatnya tersentuh ia
ingin tahun siapa yang menyapanya.
“Maafkan
saya jika menganggu kamu.” Apa tidak lebih bagus masuk ke dalam di isi anginnya
terasa dan kamu perlu pakai baju.
“Nggak
usah repot – repot”
“Nggak
repot kok.”
Nina
memperhatikan gadis berjilbab itu manis dan sepertinya masih sebayanya juga.
“Saya
ambilkan pakaian ganti untuk kamu ya.”
Nina
menganggu
Gadis
melangkah kesebuah ruangan, lalu kembali dengan membawa sebuah pakaian model
pakaian terusan.
“Itu
kamar mandinya.”
“Makasih
ya.” Nina berjalan ke kamar mandi.
Hanya
10 menit Nina di dalam kamar ia sempatkan untuk mandi.
Hujan
masih mengguyur kota Medan. Nina masuk ke dalam masjid pergabung dengan gadis
dan teman – temannya dengan cepat ia bisa membayurkan diri setidaknya menunggu
hujan berhenti mungkin ada hal – hal baru yang bisa diserapnya dari pertemuan
itu. Meskipun hatinya sedikit apakah Dian masih menunggunya di rumah sakit
untuk menyerahkan uang empat juta rupiah itu. Semoga Dian panjang akalnya
minimal ia titipkan kepada saja Arni atau ibunya.
“Sebenarnya
saya tadi dari wartek, mau ke rumah sakit, E, nggak disangka hujan turun lagi
dengan lebat sehingga saya mencari perteduhan di sini”
“Kita
anggota majelis pengajian dan saya berkeluarga tinggal di lingkungan mesjid
sini malam ini jadwal untuk melaksanakan kegiatan diskusi tentang sabar.” Ujar
gadis itu.
“Sebenarnya
acaranya sudah selesai tapi karena hujan turun lagi kita belum bisa pulang ke
rumah makanya kita masih berbincang – bincang. Ungkap pemuda berkobyah hitam
menurut tebakan. Nina pemuda itu sebagai nara sumber atau disebut juga dengan
sebutan Fasilitator.”
“
Siapa yang sakit ?” tanya gadis yang satu lagi.
Nina
tidak segera menjawab ia merem hatinya untuk berterus terang kesannya akan
menumbuhkan rasa hebat bahwa ia telah menolong orang yang mengalami kecelakaan.
Nina
tersenyum. “ Seseorang membuat saya kemari maksud saya ke rumah sakit itu.
Hmm,…. Kalau boleh sedikit bertanya ….”
“
Mau bertanya apa ?”
“Apa
yang teman – teman maknai dengan cinta ?”
Pemuda
yang memakai peji dikepalanya menjawab . “ Mengutip apa yang ditemukan Algajali
bahwa cinta adalah keberagaman ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan
kita kalau pun nada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta makam
itu hanya pengantar ke arah cinta. “ dan bila ada makam – makam sesudah cinta,
makam itu khayalan akibat dari cinta saja.”
“Mengapa
seseorang berbuat hati kepada seseorang ?” tanya Nina lagi
“Menurut
Algajali, jika ada orang terbaik kepada kita, paling tidak itu karena 2
sebab.Pertama, karena ingin pahala yang di akhirat dan kedua, ia ingin pahala
dari orang yang ditolong dalam hal ini ia berbentuk materi pujian atau
penghargaan dengan kata lain ada pamrih dibalik semua pertolongan itu saya
teringat dengan syiar Arab. Begini bunyinya “Jadilah kamu seperti pohon buah di
pinggir jalan, Meskipun dilembari orang dengan batu ia tetap menhadiahkan buah
yang matang kepadanya.
“Sebelum
dan sesudahnya saya mengucapkan terima kasih. Pertemuan ini memberikan manfaat
bagi saya. Saya mau pamit dulu cuma saya mohom maaf bila pakaian ini tidak
dapat secepatnya saya kembalikan….”
“Tidak
apa – apa.”
“Mengapa
terburu – buru?”
“Saya
harus menjenguk seseorang.”
“Ya,
kami maklum datanglah kemari lagi bila ada waktu.”
“Terima
kasih.”
“O,
ya nama saya Zahwa, ucap gadis itu dan mengulurkan tanganya.”
“Saya
Nina,” jawab Nina menyambut uluran tangan Zahwa
Nina
me
Kemudian
Nina memakai sepatunya ia menebarkan senyum kepada Zahwa.
Zahwa
membalas sekejap telah itu Nina berlari kecil ke arah rumah sakit. Masuk kamar
kelas 1A.
“Siapa
kamu?” ternyata mama Mia telah sadar, Dan ia tidak terlalu mengenalinya sebagai
teman putrinya. Memang Nina baru sekali bertemu ketika hari ulang tahun Mia
sepuluh bulan lalu. Itupun sekilas saja, pada saat pamitan. Setelah itu ia
tidak pernah bertemu lagi. Nina pernah diajak Mia ke rumahnya tak kala mama dan
papa Mia pergi ke luar kota.
“Lho,
itukan tas saya. Kemarin tas saya! Mama Mia setengah berteriak. Nina memberikan
tas coklat itu. Nina memperhatikan mamanya Mia mengaduk-aduk isi tas, dan
mengehal nafas panjang ketika mengetahui tak ada sesuatu barang miliknya yang
hilang. Kemudian ia mengambil sepuluh lembaran lima puluh ribu dan
mengulurkannya kepada Nina.
“Ambillah sebagai tanda terima kasih. Perawat sudah cerita kepada saya.”
Masih jelas dalam memorinya apa-apa yang dikatakan pemuda berpeci di
Mesjid. Sekarang tinggal hatinya yang memilih, apakah mau mendapatkan pahala
dari Allah Swt, atau memperoleh materi dari kebaikan yang ia berikan kepada seseorang.
Hingga
akhirnya Nina memutuskan tidak menerima uang itu.
“Apa
?” Mama Mia tidak percaya dengan kata – kata Nina.
“Benar,
Bu. Saya membantu ibu tidak mengharapkan imbalan. Biar Allah SWT yang
memberikan pahala kepada saya. Simpan saja uang ibu itu. O, ya ini kunci mobil
ibu.”
Nina
meninggalkan kamar inap tersebut.
Ada
tiga taksi nongkrong di tepi jalan depan ke rumah sakit. Nina mendekat salah
satu taksi.
“Paka
ke rumah sakit Cahaya Insani berapa ?”
“Sudahalah
dua puluh ribu saja.”
“Kuranglah,
Pak.”
“Kalau
begitu kita pakai argo saja ?”
Mau
tak mau Ninas masuk juga ke dalam taksi.
Sampai
di rumah Cahaya Insanai. Dibayarnya ongkos taksi. Kemudian berlari – lari kecil
menuju tempat ayahnya di rawat.
Di
depan di kursi panjang, Nina melihat Olla dan Dian tertidur dalam posisi duduk.
Astaga
! Betapa pulasnya mereka setelah bekerja
keras untuk memperoleh penghasilan.
“Olla
…. Dian….” Nina menepuk lembut bahu ke dua tamanya.
Olla
terbangun. Begitu juga Dian
“Kemana
saja kamu, Nin ?”
“Hujan
lebat. Aku terjebak dalam hujan,” Jawab Nina sekenanya .
“Naik
taksi kan bisa.”
“Ya,
akhirnya aku memang naik taksi juga kemari.”
“Tapi
heran juga aku, Masak aku duluan sampai dari kamu. Yang jelas aja, Nin, singgah
kemana lagi kamu tadi ?” Selidik Dian.
“Kan
sudah ku bilang, aku terjebak hujan. Lalu aku bertedu di sebuah Mesjid.”
Olla
dan Dian berpandangan.
“Ada
yang aneh.”
“Tumben
cari tempat berteduh di Mesjid.”
“Ya,
karena pada saat hujan turun aku berada di depan sebuah Mesjid.”
“Sendirian.”
“Nggak,
kebetulan ada majelis pengajian yang sedang menunggu hujan berhenti.”
“Terus
?”
“Mereka
mengajak bergabung dan kita diskusi tentang cinta.”
“Diskusi
tentang cinta di mejis ?” Dian membelalakkan matanya.
“Han,
pasti kalian salah tanggap.”
“Ya,
ialah, biasanya kalau pengajian kan kajinya sudah jelas. Kalau nggak bicara
tentang haram. Tentu tentang halal.”
“Kayak
–kayaknya aku nggak sabaran untuk tidur, Nin. Aku capek habis nih!”
“Ya,
tanggung untuk pulang ke rumah. Kami tidur sini aja, Nin”
“Tapi
jangan di sini. Maksudku jangan di kursi ini. Di dalam saja. Ada tikar di
dalam. Para keluarga pasien juga pada tidur di dekat situ kok.”
“
Sudah di sini saja.”
“Di
sini dingin. La. Lagi tidur dalam posisi duduk sangat tidak nyaman.
Ayolah
….”
“Gimana
La ?” tanya Dian.
“Mana
bagusnya aja”
Akhirnya
mereka masuk ke dalam
Nina
melihat ibu dan kedua adiknya sudah pada tidur. Masih ada satu tikar lagi yang
terletak di dekat tempat tidur ayahnya. Ia segera mengambilnya. Lalu pelan –
pelan mengembangkan tikar itu di depan ruangan masuk ke ruangan sal. Dian
merebahkan badan. Begitu juga Olla
“Kalian
tidur aja dulu aku mau melihat ayah.”
“O,
ya, Nin ini uangnya.” Kata Dian sembari memberikan uang itu kepada Nina.
Nina
menerima uang itu dari tangan Dian, dan berkata “Makasih ya, Dian.”
“Sudahlah
pakai saja dulu.
Nina
melihat Pak haji Abidin sedang berjalan menuju ruangan Sal. Sendiri. Istrinya
sudah meninggal setahun yang lalu. Anaknya dua orang, tapi sudah berumah tangga
dua – duanya, satu tinggal di Padang, dan satunya tinggal di Binjai.
“Bagaimana
keadaan ayahmu?” tanya Pak haji.
“Masih
lemah, Pak haji. Dada ayah masih terasa sakit . Terus badanya kian menyusut.
Sekarang masih infus, pak Haji.”
“Ayo
kita lihat ayahmu.”
“Silakan,
Pak Haji.”
Pak
Haji melangkah duluan. Nina menyusul di belakang Pak Haji.
Kemudian
Pak Haji menyalami ayah Nina.
“Pak
Haji….” Lirih suara ayah Nina.
Pak
Haji menggenggam tangan ayah Nina.
“Berdoalah
kepada Allah SWT, semoga Bapak cepat sembuh dan dapat bekerja seperti sedia
la;a.”
“Ketika
sakit begini baru terasa banyak hal yang seharusnya dilakukan ketika sehat.”
“Sabarlah,
Pak. Mungkin bapak pernah mendengar dari ulama atau ustad.”
“tentang
apa, Pak Haji ?”
“Bahwa
ada dua hal yang mesti dilakukan manusia untuk dapat memenangkan pertempuran
agung.”
“Apa
itu, Pak Haji?”
“Sholat
dan Sabar.”
Nina
yang masih berdiri di samping ayahnya mendengarkan dengan seksama pembicaraan
ayahnya dan Pak Haji.
“Ceritakanlah
tentang suatu nasehat kepada saya dan putri saya ini.”
“Ceritanya
begini : ada seorang anak. Suatu ketika ia minta izin kepada orang tuanya untuk
menginap di rumah temanya. Orang tuanya menyetujuinya. Setelah anaknya pergi,
orang tuanya pergi juga untuk menonton operas. Saat orang tuanya masih keluar
rumah si anak kembali lagi dan membatalkan keinginannya untuk tidur di rumah
temannya. Anak ini tiba – tiba mempunyai rencana. Ia ingin membuat kejutan
kepada orang tuanya, kejadian ini pada malam hari.”
“Apa
rencana anak itu, Pak haji ?” tanya Nina penasaran.
“Rencananya
adalah anak itu akan berdiam di toilet. Nah, saat orang tuanya datang ia akan meloncat
dari toilet itu msabil berteriak.”
“Apa
yang terjadi, Pak Haji?”
“Selanjutnya
orang tua anak itu pulanglah dari nonton opera. Mereka melihat lampu toilet di
rumahnya menyala. Padahal ketika mereka pergi lampu itu telah mereka matikan.
Mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Orang tua anak itu masuk ke dalam
rumah dan perlahan – lahan membuka pintu kemudian mengambil pistol. Lalu
mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu berada. Ketika sampai diatas,
tiba – tiba terdengar teriak dari toilet itu. Ditembak mereka orang yang
berteriak itu sampai lehernya putus, Dua jam kemudian anak itu meninggal.”
“Apa
makna cerita itu, Pak Haji ?” tanya Nina serius.
“Penyesalan
selalu datangnya terlambat. Dan mereka hanya mengikuti emosi ketakutan serta
kekahwatiran yang membuat panca indranya belum sempat menyerap informasi yang
sempurna, tentang orang yang meloncat dan berteriak itu. Namun karena
kecerdasan emosionalnya rendah menimbulkan ketak sabaran. Mereka melakukan
tindakan ceroboh yang memperturutkan emosi mereka semata.”
“Apa
ada jenis – jenis sabar, Pak Haji ?”
“Ya,
ada tiga jenis kesabaran. Yang pertama sabar dalam menghadapi musibah. Kedua
sabar dalam melakukan ibadah. Dan ketiga sabar dalam menahan diri untuk tidak
melakukan maksiat. Apabila seseorang sabar dalam menghadapi musibah maka ia
akan memperoleh pahala yang besar. Sabar dalam menjalankan ibadah pahalanya
lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah. Dan sabar dalam menahan
diri untuk tidak melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar daripada dua
jenis sabar yang lainnya.
“Ceritakanlah
satu kisah lagi tentang kesabaran ?” pinta ayah Nina
“Ada
sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kita Jihad Al – Nafs karya Ayatullah
Mazhahiri.
“Bagaimana
ceritanya, Pak haji…” Nina tak sabar untuk mengetahui jalan ceritanya.
“Diriwayatkan
pada masa Rasulullah, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Ia seorang
muslimah. Tidak bisa membaca dan menulus, namun ia mukmin sejati. Imannya
memenuhi jantung dan hatinya, Itu ditandai dalam kesabarannya ketika menghadapi
ujian.”
“Ujian
apa, Pak Haji?” tanya ayah Nina
“Suatu
hari anaknya sakit, sementara suaminya sedang bekerja di tempat jauh. Anak itu
akhirnya meninggal dunia saat suaminya tidak di rumah. Ibu anak itu duduk di
samping jenazah anaknya. Ia menangis sejenak. Kemudian ia terjaga dari
tangisnya saat menyadari suami sebentar lagi pulang. Perempuan itu berkata pada
dirinya sendiri kalau aku menangis terus menerus di samping anakku, kehidupan
tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku melukai perasaan suamiku, padahal ia
akan pulang dalam keadaan lelah. Setelah berkata begitu ia meletakkan anaknya
yang sudah meninggal pada suatu tempat.”
“Kemudian,
Pak Haji?”
“Kemudian
tibalah suaminya di rumah, Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istrinya itu
menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihannya. Ia sambut
suaminya dengan mengajaknya makan. Ia basuh kaki suaminya itu. Suaminya
bertanya mana anak kita yang sakit. Istrinya menjawab Allhamdulillah sudah
lebih baik. Istrinya itu pada dasarnya tidak berbohong sebab anak kecilnya
sudah berada di surga yang keadaan jauh lebih baik. Istri itu terus berupaya
menghibur suaminya. Ia mengajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang
waktu subuh. Sang suami bangun, mandi dan shalat qabla subuh.
“Selanjutnya,
Pak Haji.”
“Ketika
ia akan berangkat ke mesjid, untuk shalat berjemaah, istrinya mendekat sanbil
berkata, “Suamiku, aku punya keperluan.” “Sebutkanlah.” Kata suaminya. Sang
istri berkata “kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu
pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana
pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan
kepadanya?” Suaminya menjawab,” pastinya aku menjadi suami yang paling buruk
akhlaknya dan khianat dalam beramal, Itu merupakan perbuatan yang sangat
tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.” Lalu istrinya
berkata, “Sudah tiga tahun Allah menitipkan amanat kepada kita. Kemarin dengan
kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu kepada kita. Anak kita kini sudah
meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah.” Lalu suaminya pergi ke kamar untuk
menengok anaknya yang telah meninggal dunia. Kemudian ia pergi ke mesjid. Pada
waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata “ Diberkatilah malam kamu yang tadi
itu.”Malam itu adalah ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi
musibah.”
Nina
terharu mendengar riwayat yang disampaikan Pak Haji Abidin. Matanya
berkaca-kaca. Ia keluar dari ruangan. Di luar ia berdiri-diri memandang langit
dengan awan-awanya yang berarak-arak.
Tanpa
ia sadari ada seseorang yang melangkah menghampiri.
“Nina.”
Siapa laki-laki itu.
Nina
terkejut. Ia menolehkan wajah. Ternyata Rafid.
Nina
mengusap kedua matanya. Mencoba tersenyum.
“Tidak
kuliah?”
“Kuliah.
Tadi. Dari kampus terus kemari. O, ya ini aku bawakan jeruk…”m
Nina
menerima buah tangan yang dibawa Rafid.
“Yuk
ke dalam…”:
Nina
dan Rafid masuk ke dalam. Nina melihat Pak Haji Abidin memberikan amplop kepada
ayahnya. Lalu ia pamit.
“Ibumu
mana, Nin?” tanya Pak Haji.
“Ibu
pulang, Pak Haji. Banyak pakaian yang harus dicuci.”
Nina
mengantar Pak Haji Abidin hingga ke depan ruangan. Kemudian ia masuk lagi dan
memperkenalkan Rafid kepada ayahnya.
“Yah,
ini Rafid.’
“Teman
sekolahmu?”
“Bukan,
Yah. Keluarganya memiliki rumah yang kita sewa itu.”
“Oohhh….”
“Bagaimana
keadaan bapak?”
“Ya
masih terasa sakit. Saya ingin pulang saja. Lama-lama di rumah sakit biayanya
terus membengkak.”
“Dalam
hal ini dokter yang lebih paham, Pak.”
“Bilang
saja kepada dokternya, Nin, ayah mau pulang.”
“Ya,
sabar dulu. Baru sebentar Pak Haji berbicara tentang sabar, ayah kok malah
nggak sabar berada di sini.”
“Berobat
jalan saja,Nin.”
“Ya,
tunggu ibu datanglah, Yah…”
“Berikan
kepada ibu amplop dari Pak Haji.”
“Baik,
Yah.”
“Sudah
berapa biaya perobatan ayah, Nin?”
“Saya
belum tahu, Yah.”
“Tanyakan
sama perawatnya.”
“Nanti
saya tanya, Yah. Sekarang ayah tidur saja dulu…..”
“Ke
mana Arnidan Dido.”
“Mereka
ikut pulang sama ibu, Yah.”
“Kok
mereka nggak bilang sama ayah.”
“Mereka
pulang saat ayah tidur.”
“Tunggu
dulu!”
“Apa,
yah.”
“Tadi
kamu bilang keluarga Rafid ini yang memiliki rumah sewa yang baru kita sewa.”
“Benar,
ayah.”
“Lalu
dari mana uang membayar sewa rumah itu?”
“Adalah
ayah.”
“Dari
mana?”
“Pinjam
ayah.”
“Siapa
yang amu meminjam uamg kepada keluarga kita? Apa dari ibu Sisca?”
Nina
bingung. Apakah ia berterus terang saja kepada ayahnya bahwa ia mendapatkan
uang dari temannya.
“Ya,
kebetulan ada yang mau meminjam uang kepada saya, Yah.”
‘Siapa?”
“Teman
sekolah.”
“Tanpa
jaminan?”
“Iya,
Yah.”
“Kok
mereka mau kasih pinjaman tanpa adanya jaminan?”
“Namanya
juga teman, Yah. Makanya mereka mau meminjamkan uang kepada saya atas dasar
persahabatan dan kepercayaan,” ucap Nina.
Tak
lama kemudian ayah Nina tertidur. Nina mengajak Rafid ke luar.
‘Tadi
saya ketemu dengan Rio.”
“O,
ya.”
“Ia
kecewa kamu tidak mau ikut dalam produksi filmnya.”
“Cowok
seperti itu kayaknya egois ya, Fid?”
“Kenapa?”
“Maunya
dia saja yang dituruti.”
“Seharusnya
kamu bangga, punya kenalan seperti dia. Dia energik dan mau memberikan peluang
kepada orang tanpa kompensasi apa-apa.”
“Tapi
meskinya dia mikir, saya dalam situasi yang tidak fid dalam berkosentaris.
Banyak hal yang wajib saya pikirkan.”
“Betul.
Yang namanya manusia tentu ada saja masalahnya.”
“makanya
saya bilang kepadanya untuk saat ini belum bisa. Entah esok hari, Entah esok
lusa.”
“Tapi
kenepa kamu mau ikut kelompok musik?”
Nina
mengerutkan dahinya. Ia teringat dengan surat ramalan yang ia kirimkan beberapa
bulan yang lalu.
“Kok
kamu tahu, Fid.”
“Karena
itu kelompok musik kami.”
“Kebetulan.
Fid. Saya diterima kan?”
Rafid
menggeleng.
“Kenapa?”
“Ya
karena Rio. Saya setuju masuk group band kita. Tapi Rio tidak setuju.”
“Apa
hubungannya dengan Rio, Fid?”
“Karena
group band yang kami bentuk itu didanai oleh Rio.”
Nina
lemas mendengar ucapan Rafid. Sebab satu kesempatan untuk memperoleh uang
melalui main musik kandas sementara waktu.
“Hey
kamu enggak usah sedih. Saya juga nggak ikut band itu sekarang.”
“Lho?”
“Iya.”
“Pasalnya.”
“Ya,
saya berusaha untuk mengusulkan kepada Rio agar kamu yang diterima.
Tapi
ia malah ngotot menolaknya. Akhirnya saya ultimatum Rio, jika ia tidak berkenan
menerima kamu ikut kelompok musik, maka saya keluar! Ternyata Rio tetep ngotot
untuk menolak”
“Ngapain
kamu pake bele-bela saya. Sampai-sampai kamu tidak jadi ikut kelompok musik
itu.’
“Saya
mau bikin group musik sendiri. Saya sedang cari pemain dan promotor yang berkenan
mengembangkan kreatifitas saya. Lebih enaknya begini, dari pada berada dibawah
bayang-bayang Rio.
“Tapi
kesempatan untuk kamu maju dan berkembang di dunia musik itu sudah di depan
mata. Fid. Mengapa tidak diambil.”
“Ya,
itu yang tadi saya bilang, saya tidak mau di bawah bayang-bayang Rio. Saya
harus bisa meski tanpa Rio. Itu tekad saya, Nin.”
“jadi
sudah ada ancar-ancar siapa pemain lainnya.”
“Belum.”
“Dari
mana kamu memulainya?”
“Dari
kamu?”
“Kok
saya?”
“Kamu
kan pandai nyanyi dan main keybord.”
“Saya
butuh uang, Fid. Makanya saya harus kerja.”
“Maksudnya?”
“Apa
kita punya akses untuk main di café atau masuk dapur rekaman?”
“Itulah
yang akan saya perjuangan.”
“Ya,
saya menghargai keputusanmu tidak jadi bergabung dengan groupnya Rio, karena
saya tidak diterima Rio. Tapi, jangan terlalu berharap saya bisa terlibat dalam
kelompok musik yang ingin kamu buat. Banyak faktor yang harus dipikirkan.
Apalagi kamu kan masih kuliah, saya juga masih sekolah meski nggak jelas juga
yang katakana, kesempatan itu jangan di sia-siakan!”
“Banyak
hal yang sangat membebankan perasaan sekarang ini.”
“Saya
maklum. Saya mengerti posisi kamu saat ini yang memikirkan kondisi ayahmu,
belum juga situasi ekonomi keluargamu. Namun jangan jadikan itu semacam dinding
yang menghalangi untuk melangkah ke depan. Anggap saja keadaan sekarang ini
seperti pelangi. Indah. Tapi sesaat. Tentunya kamu tidak ingin hanya sampai di
situ kan?”
Nina
mengangguk.
“Kamu
tentu mengharapkan adanya keindahan yang lebih lama, yang tidak sekedar bisa
dipandang tak bisa dipengang.”
“Wah,
puisi juga kata-katamu, Fid.”
“Artinya
keindahannya yang harus kita raih adalah keindahan yang bisa dipandang dan
dapat digenggam itulah yang disebut orang-orang adalah cita-cita.” Tapi
cita-cita yang saya maksud di sini bukan semata-mata menjadi dokter, menjadi
insiyur, menjadi guru….”
“Jadi?”
“Menurut
saya sesuatu yang bisa membuatmu senang dan bahagia adalah mencapaian sebuah
cita-cita. Dan itulah keindahan yang tiada tara. Makanya ketika kita
menyaksikan seorang anak petani yang asyik bermain di sawah nan menguning
meskipun sawah itu belum tentunya orang tuanya, namun karena ia senang dan
bahagia dapat bermain di sawah yang menguning, itulah keindahan yang ia miliki.
Dan tidak semua orang bisa seperti itu.”
“Bicara
kamu makin dalam. Berat ah, Fid…”
“Artinya
lagi jika kamu dapat mencintai seseorang yang membuat kamu senang da bahagia,
itu juga keindahan bagimu.”
“Kok
larinya ke cinta?”
“Jangan
salah tafsir dulu. Ini cinta dalam arti luas. Ya, seperti kamu mencintaimu ayah
kamu. Keluarga kamu terutama diri sendiri.”
“Nyerah
saya kalau begini…”
“Ini
bukan pertempuran, Nin.”
“Tapi
ada baiknya juga saya mencoba. Carilah teman yang lain,Fid.”
“Dalam
waktu secepatnya, Nin.”
“Kamu
sudah makan, Nin?”
“Belum.”
“Kita
makan di kantin yuk….”
“Tidak
ada yang jaga ayah.”
“Kalau
begitu saya belikan saja nasi bungkus. Kita makan di sini ya?”
“Terserah
kamu, Fid.”
Fid
berdiri dan melangkah kan kaki ke kantin. Nina memperhatikan cowok itu. Di
antara Rio, Dani dan Rafid, Nina menilai Rafid memiliki sifat dan sikap yang
baik, tidak berkesan memaksakan diri, dan sederhana.
# #
#
Malam itu Nina dan ibunya memutuskan
untuk merawat ayah di rumah. Kondisi ayah secara medis agak sulit disembuhkan.
Kalau lama-lama di rumah sakit biayanya akan semakin besar.
“Taksinya
sudah dipanggil, Fid?”
“Sudah.
Ia nunggu di depan kantin. Gimana dengan urusan administrasi, Nin?”
“Sudah
saya selesaikan seluruhnya.”
Lalu
Rafid mengangkati barang. Arni dan Dodi turut membantu. Sedangkan ayah di
dampingi Nina dan ibunya.
Ayah
Nina duduk di depan taksi. Ibu dan kedua adik Nina di belakang.
“Saya
sama Rafid, Bu…” ucap Nina.
“Hati-hati,
Nin.”
“Ya,
Bu. Ongkos taksi adakan, Bu.”
“Ada.”
Taksi
bergerak perlahan.
“Saya
ambil kereta, Nina.”
“Di
mana diparkir, Fid.”
“Di
sana.”
“Ya
udah kita ke sana saja sama-sama.”
“Tunggu
saja di sini. Nanti kamu capek.”
“Jalan
dua puluh meter aja kok capek.”
Nina
menyusul Rafid. Mereka berjalan beriringan.
“Kami
telah merepotkan kamu,Fid.”
“Gini
aja kok repot.”
“Ntar
ada lagi yang cemburu…..” Selidiki Nina.
“Siapa?”
“Adalah.
Kamu lah yang tahu persis.”
“Pacar?”
“Bisa
dibilang begitu.”
“Nggak
ada itu.”
“Maksud
kamu belum punya.”
Ada
cewek di kampus yang ingin kerap kasih perhatian ke saya. Namun saya memang
nggak ada rasa ke dia.”
“kenapa?”
“Ya
sulit dijabarkan, Nin. Udah ah! Nggak usah bicara yang begituan lagi. Kita
pulang terus atau mau ke mana nih?”
“Jangan
singgah-singgah lagi, Fid.”
“Oke!
Kalau begitu kita langsung pulang.”
Rafid
mengendarai sepeda motor itu dengan kecepatan sedang. Nina duduk diboncengnya.
Tangannya memengang tempat duduk untuk mengantisipasi dirinya tidak terjatuh
jika Rafid merem tiba-tiba, guna menghindari jalan berlobang atau pun lain hal.
Posisi
waktu masih disekitar pukul sembilan malam. Kenderaan yang lalu lalang di
jalan-jalan protocol agak lengang jika dibantingkan dengan sore menjelang
Mahgrib. Rafid membelokkan sepeda motornya ke jalan Tritura.
Di
tepi jalan di depan sebuah café Nina melihat dua mobil berhenti dengan lampu
depan masih dinyalakan, dan terdapat tiga orang pemuda yang terlibat
pertengkaran dengan seorang pemuda.
“Fid,
mereka bertengkar tuh!”
“Nggak
usah ikut campur urusan orang.”
“Lihat
tuh, yang seorang di pukuli mereka, Fid.”
“Kita
nggak tahu pihak mana yang salah mana yang benar. Bukan berarti yang dipukuli
itu yang benar. Jangan-jangan dia telah melakukan kesalahan terhadap keempat
cowok itu.”
` “Taruhlah
dia bersalah, tapi nggak boleh main hakim sendiri kan. Putar, Fid.”
Rafid
tidak bisa berkeras. Ia sebenarnya suka dengan sikap tegas Nina itu. Ia melihat
sosok Nina punyai kepedulian kepada orang lain.
Pelan-pelan
sepeda motor Rafid melewati kelompok pemuda itu.
Tiba-tiba
yang dipukuli itu minta tolong kepada Rafid.
“Tolong,
Bang. Tolong saya….”
Nina
terkejut. Cowok yang minta tolong itu ternyata Dani.
“Kenapa
kamu, Dan?”
“Kamu
kenal dia, Nin.”
Iya.
Teman saya ketika smp.”
Mau
minta tolong?! Nggak takut kami?!”
Salah seorang dari
mereka mendekati Rafid.
“Jangan ikut
terjadi, Dan ?”
“Mereka
menjebak saya, Nin. Cewek yang saya bawa itu ternyata gandengannya. Mereka
memeras saya, Nin.
“Berapa
mereka minta?”
“Lima
juta.”
“kalau
tidak ?”
“Cewek
itu akan melaporkan saya ke Polisi dengan tuduhan pelecahan seksual.”
“Giman
nih, Fid?”
Rafid
turun dari sepeda motor. Begitu juga Nina.
“Ayo!
Mana uangnya!” sergah salah seorang dari cwok bergundal itu.
Rafid
mendekati cowok yang berteriak tadi. Dipeganganya krah baju cowok itu dan berkata,
“Jangan banyak bacot kau !
Cowok
itu tak mau kalah. Ia mencoba melepaskan genggaman tangan rafid. Sambil memaki
Rafid,” Jangan ikut campur kau, Monyet !”
Rafid
kehilangan kendali diri. Di kasihnya satu jab ke muka cowok itu. Cowok itu
terjajar ke belakang. Dua temanya mencoba mengeroyok Rafid. Dengan sigap Rafid
melakukan perlawanan. Beberapa jurus bela diri rafid tunjukkan. Kedua orang itu
kewalahan melawan Rafid. Dan Nina tidak tinggal diam, diam – diam ia mengambil
pasir di dekat bram jalan.
“Jangan
mendekat, atau pasir itu masuk ke mata kalia !” teriak Nina.
Ia
lemparkan ke wajah mereka. Mereka mengaduh kesakitan.
Beberapa
pengendera berhenti. Ingin tahu apa yang terjadi. Ketiga laki – laki itu ciut
juga nyalinya, Mereka bergegas masuk ke mobil, dan tancap gas.
“Makasih
ya Nin…. Makasih ya …”
“Saya
Rafid.”
“Makasih
Fid.”
“Makanya
kamu harus belajar untuk sabar menahan diri untuk tidak berbuat yang aneh –
aneh .” ucap Nina
“Masalahnya
pasti berkembang…”
“Nggak
usah khawatir. Kalu mereka macam – macam, bilang pada saya. Saya punya teman
seorang aparat.”
“Jika
mereka melapor ke polisi ?”
“Saya
kira mereka hanya mengancam. Mereka pasti takut juga untuk melapor ke polisi,
karena bisa dituduh melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan.”
“Kalau
cewek itu yang melapor ke polisi.”
“Saya
yakin ia masih punya rasa malu. Toh yang ia lakukan juga merupakan kesengajaan
untuk menjebakmu. Ia juga bisa kenal !”
“Sebaiknya
kamu pulang saja, Dan.”
“Okelah.”
Mereka
pun berpisah.
# #
#
Tiga hari setelah ayah Nina pulang
dari rumah sakit, batuk ayahnya terus – terusan kambuh. Ia terbaring lembah di
tempat tidur.
“Nina…
“Ya,
Yah.”
“Mana
ibumu?”
“Lagi
ke Mesjid. Sholat Suhur, Yah.”
“Kamu
tidak sekolah?”
“Nggak
ayah.”
“Ujian
kan sudah dekat.”
“Biarlah
ayah. Saya ingin merawat ayah. Soal sekolah bisa diulang nanti jika tidak
lulus.”
“Jangan begitu. Kamu akan rugi waktu satu tahun lagi
untuk mengulang kelas tiga.”
Nina
terdiam
“Ada
yang ingin ayah katakan.”
“
Apa, yah …”
“Ketika
membereskan barang – barang, ada kamu temui dua amplop di bawah lamari.”
“Kenapa,
yah ?”
“Ayah
sudah mengambil jalan yang salah. Tadi pagi ayah baca di koran miliknya Rafid
orang itu di tangkap. Orang itu menitipkan barang haram itu kepada ayah. Ketika
itu ayah sudah merasa tak ada pilihan lain, bahwa itulah jalan untuk membayar
hutang – hutang kita kepada Pak Haji Abidin dan juga dengan ibu Sisca juga
untuk keperluan hidup kita.”
“Lebih
baik terlambat dari pada tidak sama sekali, Yah.”
“Maka
dari itu ayah minta barang itu di buang saja.”
“Saya
akan buang, Yah.”
“Ayah
ingin sholat, Nin…”
“
Ayah masih lemah.”
“Tak
mengapa, bantulah ayah ke kamar mandi.”
“Apa
tidak menunggu ibu dulu, Yah.”
“Ayah
ingin sholat Zuhur sekarang.”
Nina
memenuhi permintaan ayahnya. Ia memegang ayahnya menuju kamar mandi. Lima menit
kemudian ayahnya selesai berwudhu. Nina menuntun ayahnya ke ke kamar tidur . Di
atas sajadah itu ayah Nina terduduk. Ia melakukan sholat sambil duduk.
“Kamu
sudah sholat?”
“Belum,
yah.”
“Ambilaah
wudhu. Kita sholat berjamaah.”
Nina
tidak dapat mengelak. Ia tidak berhalangan sehingga tidak ada alasan yang kuat
untuk meningkatkan salah satu rukun Islam tersebut. Nina pun melangkah menuju
kamar mandi untuk berwudhu. Tidak berapa lama ia sudah ada di belakang ayahnya.
Mengenakan mukena dan kain. Mereka sholat Zuhur berjemaah.
Selesai
sholat Nina melangkah ke pintu depan. Ada ketukan pintu beberapa kali terdengar
ketika Nina dan ayahnya sedang melakukan ibadah sholat.
Siapa
pula yang datang ? Batin bertanya – tanya. Sebab kalau ibunya yang datang tentu
akan membuka pintu karena itu tidak dikunci.
Nina
membuka pintu. Nyaris ia tidak percaya siapa yang ada dihadapannya kini.
Bagaikan mimpi saja.
“Nin…!”
“Mia….”
“Apa
kabarnya, Nin?”
“Ya
beginilah keadaanku, Ayo masuk …”
Mia
duduk. Nina juga duduk di smaping Mia.
“Khabarmu
gimana ?”
“Biasa
saja.Soory ya aku baru bisa datang hari ini.”
“Kok
tahu aku tinggal di sini.”
“Aku
tadi ke rumahmu yang di Marindal. Tetanggamu bilang kamu sudah pindah. Lalu ia
memberikan alamatmu yang baru.
“ya,
aku sengaja memberikan alamat kami yang di sini kepada tetangga di sana.”
“Kamu
tidak sekolah ?”
“Belum
bisa, Mia Ayahku masih lemah,” kata Nina pelan.
“Aku
lagi malas ke sekolah,” Mia berkata sebelum Nina menanyakan hal yang sama
kepadanya.
“Aku
buatkan teh manis ya…”
“Nggak
usah repot – repot, Nin air putih saja.”
“mash
ada gula kok di dapur.”
“Bukan
begitu, Nin. Aku baru minum teh manis di rumah. Swear!”
“Ya
sudah, aku ambilkan air putih”
Nina
ke dapur. Tidak smapai tiga menit, ia sudah tiba lagi di ruang tamu. Melatakkan
gelas berisikan air putih itu di meja.
“Selamat
ya, Nin….”
“Selamat
untuk apa?” tanya Nina cepat.
“Kamu
terpilih sebagai finalis gadis sampul. Kamu diundang ke Jakarta untuk acara
Grand Finalnya,”ucap Mia dan memberikan majalah Hello terbitan terbaru kepada Nina.
Wajah
Nina berubah. Wajah yang menyiratkan kegembiraan sekaligus ketakpercayaan ia
terpilih sebagai salah satu finalis dan sepuluh orang finalis. Ia mmebuka
halaman dua puluh, Aha ! ini dia. Lalu dibaca Nina dalam hati siapa – siapa
yang menjadi finalis. Salah satu nya jelas memang dia. Tertulis di situ pada
urutan ke tiga namanya : Nina Andari Rifka
“Mimpi
apa aku selamam ya….”ujar Nina spontan.
“Kamu
harus ke Jakarta, Nin. Kalu kamu tidak keberatan aku bersedia menemainu.”
“Nanti
mamamu marah ?”
“Mamaku
? Ini khabar tidak baik ya, Nin.”
“Kenapa,
Nin.”
“Mamaku
baru – baru ini mengalami kecelakan.”
“terus
?”
“Seorang
gadis menolongnya dalam kecelakaan itu. Gadis itu membawa mama ke rumah sakit.
Ketika mama ingin memberikan uang, gadis itu menolaknya. Dan gadis itu bilang
ia menolong bukan mengharapkan imbalan. Mama merenungkan kejadian itu, hingga
akhirnya ia menyadari bahwa uang bukan segala – segalanya. Ada yang tidak bisa
dinilai dengan uang.”
“Lalu
?”
“Lalu
bayang – bayang wajah gadis yang menolong mama kerap hadir di dalam pikirannya.
Bahkan dalam tidurnya bermimpi tentang gadis itu. Ia ingin sekali bertemu
dengan gadis itu.”
“Untuk
apa mama kamu mau bertemu lagi dengan yang menolong ketika kecelakaan itu.”
“Ingin
tahu namanya dan memeluknya gadis itu sekaligus mengucapkan kata – kata terima
kasih yang keluar dari hati paling dalam.”
“Apa
mama kamu ingat dengan gadis itu?”
“Ia
bilang gadis itu rambutnya panjang. Langsing dan mengesankan seksi meskipun
dalam balutan pakaian yang sederhana. Wajahnya manis, dengan tahi lalat di
bibir bawah,” Mia menjelaskan dengan pelan – pelan.
Nina
hanya mendengar apa yang dikatakan Mia. Pikiranya melayang jauh mencari – cari
keputusan haruskah ia berterus terang dengan Mia bahwa ia yang menolong mama
Mia ketika kecelakaan itu terjadi. Atau tetap saja bungkam dan merasa tidak
tahu apa – apa.
“Manusia
di kota Medan jutaan, Mia. Gimana mau mau mencari sosok gadis yang menolong
mama kamu ?” kata – kata itu akhirnya
yang keluar dari bibir Nina.
“Maka
dari itu ketika aku memberikan mama bahwa kamu terpilih sebagai finalis gadis
sampul dan keinginanku untuk ke Jakarta bersamamu, mama justru seneng dan ingin
juga turut ke Jakarta.”
“O,
ya …?
“Iya,
Nin, Malah mama sudah pesan tiga tiket pesawat. Kita berangkat besaok, karena
lusa kamu haru melapor ke panitia.
“Nomor
handphone berapa, Mia?”
Mia
membuka tas, mengambik pulpen dan buku tulis. Dikoyakkan selembar. Lalu
ditulisnya angka-angka yang menjadi nomor telepon selulernya. Mia memberikannya
kepada Nina.
“Aku
minta tolong handphonemu menjadi penghubung keluargaku di sini dengan ku selama
di jakarta ya, Mia.”
“Nggak
apa-apa. Kamu pengang saja Hpku ini.”
“Nggak
usah sampai begitu. Kamu aja yang pengang.”
“Okelah,
Nin. Besok aku jemput kamu.”
Nina
mengiakan dengan anggukan kepala.
# # #
Pagi
yang cerah. Nina menggunakan jeans biru, t-shirt putih semi ketat. Ia menunggu
kehadiran Mia untuk menjemputnya.
“Saya
harus ke jakarta hari ini, Yah,” ucap Nina dan menyalami ayahnya.
“Ibumu
sudah cerita. Hati-hatilah di sana. Semoga kamu terpilih sebagai juara pertama
gadis sampul itu. Ayah doakan agar kamu berhasil, Nin.”
Ayahnya
memeluk Nina erat sekali! Seakan tak ingin dilepaskan ayah Nina pelukan kasih
sayang seorang ayah kepada anaknya.
“Kalau
saya menang dan dapat uang, saya akan belikan ayah makanan yang enak-enak….”
“Nggak
usah., Nin. Berikan saja kepada adik-adik dan ibumu,” kata ayahnya
terbatuk-batuk.
“Ayah
maunya apa?”
“Ayah
ingin sajadah dan peci serta kain untuk sholat saja, Nin…”
“Nanti
akan Nina belikan untuk ayah.”
“Kak,
teman kakak sudah datang!” Adik bungsunya memberitahukan Nina.
“Nina
pergi ya, Yah.”
Ayah
Nina tersenyum melepas kepergian Nina, Walaupun hanya bisa memandangnya dari
pembaringan dik kamar tidur itu. Nina melangkah ke luar.
Mia
sudah duduk di ruang tamu. Tidak sendirian. Sudah ada ibunya, Arni dan Dodi.
Dan mamanya Mia. Pandangan mata mereka beradu. Nina merasa terus diperhatikan
oleh mama Mia.
Mama
Mia berdiri dan mendekati Nina.
“Ka-mu…
Kamu kan yang menolong saya waktu kecelakaan itu?” tanya mama Mia dengan
lembut.
“Benar,
Bu,” jawab Nina perlahan.
“Ya
Allah, Kau pertemukan aku dengan gadis baik ini.” Mama Mia memeluk Nina dan
memberikan kecupan kasih sayang.
“Anak
ibu menolong saya ketika saya mengalami kecelakaan…” sambung Mama Mia lagi dan
menoleh kepada ibunya Nina.
Mia
terkejut. Tak menyangka bahwa yang menolong mamanya waktu kecelakaan adalah
Nina. Mia juga heran mengapa Nina tidak mau berterus terang kepadanya semalam.
“Kenapa
kamu tidak berterus terang semalam, Nin?”
“Karena
kurasa hal itu tak perlu lagi diungkapkan.”
Nina
pamit kepada ibunya. Nina menyalami adik-adiknya. Mia dan mamanya serta Nina
telah berada di dalam mobil. Supir menghidupkan mesin. Nina melirik ke rumah
sebelah. Ia belum sempat memberitahukan Rafid tentang keberangkatan ke jakarta.
Ada sesuatu yang kurang sempurna rasa di hati.
“Mia,
bisa tunggu sebentar.”
“Boleh…”
“Nina
turun lagi.”
Ia
mendekati ibunya.
“Bu,
Saya mau kasih tahu Rafid.”
“Jadi
Rafid belum tahu kamu mau ke jakarta.”
“Belum,
Bu.”
“Kalau
kamu merasa perlu Rafid diberitahu, ibu tidak keberatan. Cepatlah ke rumahnya.”
“Ya,
Bu.”
Nina
berlari kecil. Semalam ia tak sempat mengatakannya kepada Rafid. Semoga saja ia
ada di rumah, bisik hati Nina.
“Assalamualikum.”
“Walaikumsalam.”
Pintu
di buka. Ibunya Rafid yang membuka.
“Rafid
ada, Bu?”
“Rafidnya
kuliah. Ada pesan, Nin? Sepertinya mau berpegian?”
“Saya
mau ke jakarta, Bu.”
“Tapi
ayahmu kan masih sakit?”
“Benar,
Bu. Tapi saya meski ke jakarta hari ini.”
“Dalam
rangka apa, Nin?”
“Saya
terpilih sebagai finalis gadis sampul, Bu. Mohon doa dari ibu dan Rafid, semoga
saya berhasil.”
Ibu
Rafid spontan memeluk Nina. Ia tahu hubungan Nina dengan putranya Rafid
merupakan hubungan pertemanan yang baik.
“Hati-hati,
nin.”
“Makasih,
Bu.”
Nina
menuju mobil. Masuk ke dalam sedan merah metallic itu. Pak supir mulai menekan
gas. Perlahan namun pasti mobil pun bergerak.
# # #
Bandara
polonia Medan.
Untuk
pertama kalinya Nina akan terbang dengan pesawat. Hatinya dikuatkannya agar
tidak gemetar saat berada di angkasa.
“Nanti
ketika pesawat sudah lepas landas nggak usah lihat-lihat ke bawah, Nin.” Ujar
Mia seolah-olah tahu yang menjadi beban pikiran Nina.
Ketika
mereka masih di ruang tunggu, rafid muncul dengan nafas tersengal-sengal.
Nina
menyebut Rafid dengan senyuman. Senyum manis yang belum pernah ia lepaskan
kepada cowok manapun.
“Ibu
tadi menghandphoneku. Makanya aku segera ke mari.”
“Aku
mau minta tolong, Fid.”
“Soal
Dani?”
“Bukan
itu!”
“Jadi?”
“Tentang
ayahku. Sejak semalam ayah batuk-batuk terus.”
“Maksud
kamu?”
“Siapa
tahu harus masuk ke rumah sakit lagi, tolong di antar ya, Fid.”
“Kalau
itu aku stanby dua puluh empat jam. Kamu Nggak usah khawatir, Nin.”
“Terima
kasih, Fid.”
“Bawa
saja Hpku ini, Nin…”
“Kamu?”
“Nggak
apa-apa di rumah kan ada telepon. Biar mudah kita berkomunikasi. Berapa hari
kamu di jakarta?”
“Belum
tahu. Lihat pengarahan besok, Fid.”
“Bila
sudah tiba di Soerkano- Hatta hubungi aku ya. Nin.”
Nina
menganggukkan kepala dan tak lupa melepaskan senyuman indahnya. Rafid
membalasnya penuh kasih.
# # #
Malam
penganugerahan Gadis sampul.
Acara
berlangsung di Balai Kartika. Pengunjung telah memadati ruangan. Para musisi
dan penyanyi yang mengisi hiburan telah siap di belakang panggung. Begitu juga
sepuluh finalis gadis sampul termasuk Nina dan teman-temannya, mereka telah
berada di belakang stege untuk tampil secara berurutan dan membentuk formasi
yang telah ditentukan oleh penata acara.
Para
pengunjung yang sebahagian besar anak baru Gede memedati Balai kartika
tersebut. Mereka ingin menyaksikan acara yang dipandu oleh Aldi presenter muda
yang lagi naik daun dengan didampingi artis berbakat Ririna dan diisi oleh
penyanyi maupun group musik yang sudah punya nama. Terutamanya lagi sebahagian
penonton adalah para penduduk dari finalis gadis sampul tersebut.
Nina
berdiri dan menarik nafas panjang, dan dikeluarkannya perlahan-lahan. Dalam
keramaian orang yang ada di depan panggung, dan juga sembilan finalis lainnya
yang tentunya berharap menjadi pemenang dalam perlombaan itu.
Apa
yang harus aku lakukan? Tanya batin Nina. Tiba-tiba ia teringat dengan Zahwa,
gadis yang memberikannya bantuan ketika hujan lebat beberapa waktu lalu yang
mengatakan manusia mempunyai kewajiban untuk berusaha. Jika sudah berusaha,
maka berdoalah. Dan soal hasilnya itu keputusan Yang Maha Kuasa. Sebab Allah
Swt sangat mengerti apa yang terbaik bagi kita manusia.”
“Ayo
siap-siap semua!” teriak salah seorang panitia.
Nina
segera mengambil posisi. Bibirnya bergerak perlahan mengucapkan sebait doa,” Ya
Allah sudah begitu berat beban hidup keluargaku. Aku hamba yang kerap lupa akan
dikewajibanku memohon ampun kepadaMu, dan aku mohon berilah aku rezki yang luas
Ya, Allah . Aminnn”
Acara
demi acara berlangsung dalam suasana yang semarak. Hingga akhirnya berpuncak
kepada pengumunan pemenang gadis sampul
Ketua
Dewan Juri naik ke atas panggung.
“Pemenang
ketiga Nadia Eksanti dari Jakarta, Pemenang kedua Ismawati Amelia dari Bandung,
dan pemenang pertama sekaligus sebagai gadis sampul untuk tahun ini adalah Nina
dari Medan.
Gemuruh
tepuk tangan penontong menggema ke sekeling ruangan itu. Dan Nina terkejut
becampur gembira saat namanya disebut ketua juri sebagai pemenang pertama. Air
matanya spontan membasahi pipinya.
“Alhamdullillah…”
Nina mengucap kedua tanganya ke wajahnya
Hadiah
kepada masing – masing pemenang diberikan. Hadiah dalam bentuk uang dan piala
serta adanya tawaran kontrak untuk menjadi model dalam satu tahun ke depan,
serta kegiatan – kegiatan lainnya untuk mempromosikan majalah Hello maupun kegiatan lainnya yang
bersifat promosi majalah tersebut.
Setelah
acara selesai dan Nina para pemenang maupun finalis kembali ke belakang
panggung, Nina mengambil handphone miliki Rafid yang dititipkan kepada salah
seorang panitia. Ia segera menekan nomor telepon rumah Rafid. Terdengar nada
masuk tapi tidak diangkat – angkat. Posisi waktu masih pukul sebelas malam. Apa
Rafid sudah tidur ? Atau dia lagi tidak berada di rumah.
Nina
lalu menghandphone Mia.
“Di
mana kamu, Mia ?”
“Aku
sudah diluar gedung.”
“Mama
kamu?”
“Masih
di sini.”
“Mungkin
masih ada pembicaraan dengan pihak panitia. Aku nggak mau repoti kalian. Kalian
mau pulang duluan nggak apa – apa. Besok kita ketemu di rumah Tante kamu.
Soalnya kami masih harus inap di hotel.”
“Ya,
nggak apa – apa.”
“Teringatnya
ada yang nelepon dari Medan, Mia.”
“Nggak
ada, Nin…”
“Okelah,
Mia.”
“O,
ya …selamat ya Nin…. Kamu pantas jadi pemenang…”
“Makasih,
Mia.”
Hubungan
terputus. Nina mengikuti salah seorang dari panitia yang mengarahkan mereka
untuk kembali ke Hotel. Nina dan teman – teman naik bus khusus. Sekitar
setengah jam perjalanan tibi di Hotel Sartika.
Nina
bergegas ke kamarnya. Tanpa mengganti terlebih dahulu pakaiannya, ia segera
memutar kembali nomor telepon Rafid. Ada nada masuk tapi tetap tidak diangkat.
Perasaanya
mulai disergap oleh rasa tak nyaman. Kemenangan yang baru diraih nyaris
tenggelam oleh was – was akan keadaan ayahnya.
Nina
berpikir untuk mencari informasi dari Medan. Siapa yang bisa dihubungi lagi.
Lalu setelah berjalan mondar – mandir di kamarnya ia teringat nomor handphone
Ollah dan Dian.
Mudah
– mudah bisa nyambung, bisiknya dalam hati.
“Hallo
siapa ya?” tanya Olla dari seberang.
“Ini
aku. Nina, La.”
”Nina
?”
“Ya.”
“Sudah
punya handphone kamu sekarang ?”
“Kau
serius, La. Aku lagi di Jakarta.”
“Di
Jakarta ? Ngapain kamu di sana ?”
“Nanti
aku ceritain. Yang penting sekarang aku minta tolong sama kamu”
“Minjami
kamu duit lagi ? Kehabisan uang di Jakarta ya?”
“Ngaco
kamu. Ini serius kali, La !”
Hubungan
komunikasi seluler itu ditutup Nina.
Nina
merebahkan ke tempat tidur. Sebentar saja. Kemudian dia ke toilet Mandi.
Meskipun hal itu tidak pernah dilakukannya sepanjang hidup mandi pada pukul
setengah dua belas malam. Sehabis mandi ia berwudhu.
Namun
ia hanya bisa merenungkan diri. Ternyata ia tidak membawa mukena dan kain untuk
sholat. Sungguh terlalu naifnya aku sebagai hambaMU ya Tuhan. ….
Nina
kemudian menelepon resepsionist
“Selamata
malam ada yang di bantu?”
“Malam,
Mbak. Ini dari kamar nomor 78.”
“Ya..”
“Ada
nggak pegawai hotel yang bisa minjami saya mukena sekaligus kain untuk sholat,
ada sajadahnya,” kata Nina penuh percaya diri.
Resepsionits
itu binggung menjawabnya
“Begini
saja, Mbak. Saya tanya dulu dengan pegawai hotel yang lain. Kalau pun tidak ada
yang bawa permintaan mbak itu. Saya usahakan salah seorang pegawai untuk
membelikannya besok pagi.”
“Terima
kasih, Mbak.”
“Sama
– sama.”
Sepuluh
menit Nina menunggu, belum ada juga khabar dari resepsionits. Nina mulai resah.
Tiba
– tiba pintu diketuk.
“Assalamua’alaikum
…..” suara dari luar terdengar Nina.
Nina
menjawab, “Allaikum salam,”
Lalu
ia membuka pintu kamarnya.
Matanya
beradu pandang mata yang ada di hadapannya kini. Wajah yang teduh dengan jilbab
dan baju muslimah itu membuatnya kaget.
“Zahwa!?”
“Mereka
berpelukan.
“Ayo
masuk ….”
“Ini
mukena, sajadah dan kami.”
“Kok
kamu tahu….”
“Kebetulan,
Nin. Waktu kamu telepon resepsionits itu, aku masih berada di sekitar situ.
“Kamu
dalam rangka apa ke Jakarta,”
“Ada
acara seminar tentang remaja dan peranannya dalam penguatan syiar Islam.”
“Kamu
?”
“Ada
acara pemilihan gadis sampul majalah Hello.”
“Kamu
pemenang ya ?”
“Ya
begitulah ….”
“Selamat
ya…” Zahwa menggenggam tangan Nina
Nina
tersebyum dan membalas genggaman tangan Zahwa.
“Tapi
adakalanya kesenangan dunia adalah racun yang membahayakan akhlak kita sebagai
manusia. Hati – hatilah dalam meniti dunia yang satu ini, Nin.”
Nina
tidak berkomentaratas kata – kata Zahwa. Dicobanya untuk menafsirkannya
sendiri. Belum ditemui jawaban pasti. Namun, nina tak hendak untuk berpanjang
pembicaraam tentang hal itu. Apalagi handphonenya pun berbunyi kemudian.
“Olla…”
ucap Nina mereka.
“Ya,
aku Olla, Nin.
“Gimana,
La ?”
“Pkoknya
pesan aja tiket sekarang, Usahakan dengan pesawat pertama ya, Besok kamu tahu
jawabannya.”
“Katakan
saja sekarang. La. Kok pakai rahasia segala. Aku siap mendengar apapun yang
kamu katakan ..”
“Ayahmu
berharap kamu segera pulang.”
“Ayah
di rumah atau di rumah sakit ?”
“DI
rumah sakit. Nin Tadi aku ketemu Arni. Mereka tidak ingin kosentrasimu
terganggu dengan berita ini. Jadinya
mereka belum menghubungimu.”
“Kamu
di mana sekarang ?”
“
DI rumah sakit. Dian juga di sini. Rafid sedang sibuk membeli obat bersama
Arni.”
“Ayah
di ruang ICU atau ….”
“Saat
ini di ruang ICU, nin.”
“Bilang
sama ibuku aku segera pulang besok pagi, La.”
“Baiklah,
Nin.”
“Sampaikan
juga khabar aku keluar sebagai pemenang pertama gadis sampul ya…”
“Kamu…
pemenang gadis sampul?”
“Iya!Bilang
ya sama mereka.”
“Iya,
nanti aku sampaikan.”
Hubungan
telepon diputus.
“Sebaiknya
kamu sholat Isya dulu, Nin. Saya permisi dulu ya. O, ya saya nginap di kamar
nomor 40.’
Nina
memeperhatikan kepergian Zahwa. Pintu ia tutup setelah Zahwa keluar dari
kamarnya. Ia kemudian mengenakan mukena dan kain. Dfikembangkannya sajadah.
Lalu ia sholat isya.
# # #
Bandara
polonia pagi hari.
Pesawat
Adam air mendarat dengan mulus. Sesaat kemudian pintu pesawat terbuka. Satu
persatu penumpang keluar dari dalam pesawat. Nina pun keluar. Ingin segera tiba
di rumah sakit. Tiba di ruang pemeriksaan barang, ia mengambil kopernya, dan
bergegas mencari taksi.
“Ke
mana kita?” tanya supir taksi kepada Nina.
“Ke
rumah sakit Cahaya Insani, Pak.”
Taksi
itu berjalan dengan kecepatan sedang.
Tidak
beberapa lama Nina sampai di depan rumah sakit Cahaya Insani. Ia bergegas
menuju ruang ICU.
“Kamu
siapa?” tanya salah seorang penjaga ruang ICU.
“Saya
anaknya pasien di dalam.”
“Pak
Hadi?”
“Benar.”
“Cepat
masuk.”
Nina
masuk. Di dalam ibu dan dua adiknya, serta Rafid, Olla dan Dian.
“Ayah….”
Nina memengang tangan ayahnya.
Mata
ayahnya masih terbuka. Mata ayahnya masih bergerak, meski perlahan dan
mengarahkan pandangannya ke Wajah Nina. Tangannya sudah lemah dan tidak bisa
diangkat.
“Ayah,
ini Nina, Yah…”
Ayah
diam saja. Dan, mata ayahnya lambat laun mulai tertutup. Mesin pengukur pacu
jantung pun menggambarkan kurva yang lurus.
“Maaf,
Bu. Bapak telah meninggal dunia…” kata perawat dengan suara pelan.
Ibu
Nina menganggukkan kepala, mencoba tabah menerima kenyataan bahwa suaminya
telah pergi untuk selama-lamanya. Arni dan Dodi tak kuasa menahan isak tangis.
Nina tegar meski matanya berkaca-kaca karena air mata.
“Ibu
keluar dulu ya. Kami mau memindahkan jenazah pak Hadi.”
Nina
sekeluarga bersama Rafid, Olla dan Dian meninggalkan ruang ICU.
“Saya
selesikan dulu administrasi diselesikan dan ambulan pun sudah menunggu di tepi
jalan di perataran rumah sakit, jenazah ayah Nina di dorong memakai tempat
tidur beroda menuju ambulan. Ibu Nina dan Dodi duduk di depan. Nina dan Arni
duduk di belakang bersama satu orang pegawai rumah sakit. Rafid mengendarai sepeda
motornya. Sedangkan Olla dan Dian naik taksi.
Di
perjalanan menuju rumah, Nina berfikir mengapa Tuhan begitu cepat memanggil
ayahnya. Ketika ia dalam posisi yang menjanjikan. Ketika ia berhasil keluar
sebagai pemenang gadis sampul, dan Wajahnya akan selalu muncul di media
televisi, maupun majalah maupun koran sebagai model iklan. Ketika ia telah
meneken kontrak untuk main film sebagai pemain utama. Ketika ia memenuhi
janjinya membawakan ayah peci, kain dan sajadah.
Handphone
berbunyi.
“Assalamua’laikum…”
“Allaikumsalam…”
‘Ini
Zahwa, Nin. Bagaimana kabar ayahmu?”
“Ayah
telah pergi, Wa.”
“innalilahi
wainnalliha rrojiun… tabah ya, Nin……”
“Ya…..”
jawab Nina dengan suara tertahan.
Sampai
di depan rumah handphone Nina berbunyi lagi. Dari Mia.
“Nin.
Giman kabar ayahmu?”
“Ayah
telah pergi, Mia.”
“Sabar
ya, Nin.”
“Kamu
kapan balik dari jakarta.”
“Aku
sudah di Soekarno-Hatta, Nin.”
“Udah
dulu ya, Mia.”
“Baiklah,
Nin.”
Siang
yang terik. Rumah Nina ramai orang
melayat. Teman-teman sekelasnya pada hadir. Begitu juga tetangga di
sekitar rumah, dan beberapa tetangga mereka di rumah sewa yang lama. Termasuk
Pak Haji Abidin turut melayat setelah mendengar kabar meninggalnya Pak Hadi.
Begitu juga dengan Rio yang hadir bersama teman-temannya, serta hadir juga Dani
memberikan ucapan turut belangsungkawa.
Prosesi
kewajiban fardu kifayah dilakukan. Mulai dari memandikan, mengkafani,
menyolatkan dan menguburkan ayah Nina berlangsung dalam suasana sendu.
# # #
Angin
berhembus bebas menggerakkan rambut Nina. Beberapa saat masih Nina biarkan
keadaan seperti itu. Ia masih membiarkan saja perlakuan angin di tepian pantai
cermin itu. Namun sesaat kemudian jemarinya yang indah itu refleks merapikan
rambut panjang nan indah yang mengkilaukan pandangan. Dalam posisi duduk di di
pasir putih tindakannya tersebut tidak akan sempurna.
Arni
menyodorkan pengikat rambut.
“Kakak
sudah membulatkan tekad, Ni. Kakak mau pindah ke jakarta. Film dan sinetron
yang kakak bintangi akan diproduksi Begitu juga kewajiban kakak untuk shooting
iklan. Anggaplah ini satu perjuangan baru bagi keluarga kita. Nanti jika memang
dunia ini tidak memberikan kebaikan hakiki buat kakak, kita kembali ke Medan
dan memulai usaha baru.”
“Ibu
setuju?”
“Ibu
harusnya setuju. Karena kakak akan membawa ibu, kamu dan Dido.’
“Gimana
dengan Rafid, Kak?”
“Rafid?”
“Ya…
Rafid?’
“memangnya
kenapa dengan Rafid?” tanya Nina tak mengerti.
“Ia
telah banyak membantu keluarga kita.”
“Lalu?”
“Apa
ia setuju kakak pindah ke jakarta.’
“Ia
juga harusnya setuju?”
“Gimana
kalau ia tak setuju?”
“Hey,
kamu kok mengintegorasi kakak?” Nina mencubit lengan adiknya.
“Aduh
sakit kak…” ujar Arni setengah berteriak.
“Kak,
ibu nanya apa kita sudah bisa pulang?” Dido bertanya dengan nafas
tersengal-sengal.
“Ibu
mau pulang?”
Dido
mengiakan dengan anggukan kepala.
Nina
bangkit dari duduknya. Diikuti oleh Arni. Handphonenya berbunyi.
“Hallo.”
“Hallo
juga.”
“Gimana
enakan di situ, Nin?”
“Ya
lumayanlah. Kamu sudah selesi ujian semesternya?”
“Baru
saja selesai.”
“Dapatkan?”
“Ya
dapat-dapat begitulah. O, ya ntar malam kita keluar yuk.”
“Keluar
ke mana? Kalau nggak jelas tujuannya aku nggak mau…”
“Kita
ke Mesjid Agung. Ada tablig akbar. Mubalighnya dari jakarta.”
“Kita
berdua aja?”
“Maunya
kamu?”
“Ibu
dan adikku bolehkan ikutan?”
“Fid,
aku mau akan ke jakarta lagi. Mungkin untuk waktu yang lama….”
“Ya
pergilah bila itu telah menjadi pilihanmu, Nin.”
“Aku
bawa keluargaku.”
“Ya,
nggak apa-apa. Justru itulah yang terbaik. Itu menunjukan kamu anak yang
bertanggung jawab, Nin. Tapi jangan lupa…”
“Jangan
lupa apa?”
“Kalau
sudah terkenal jangan lupakan kita di sini….”
“Apa
aku type orang yang melupakan kebaikan orang lain. Apalagi kebaikan kamu?”
“Nin…”
“Ya….”
“Jangan
pernah berhenti mencintai ya….”
Nina
tersenyum. Matanya menyiratkan kebahagiaan. Ia kehilangan kata-kata untuk
mengomentari ucapan Rafid.
“Tapi,
hidup memang harus dijalani kan. Maka jalani saja hidup kita seperti air yang
mengalir. Ya kan?”
“Sekarang
aku tidak ingin hanya melihat pelangi lagi, Fid. Aku ingin melukiskannya untuk
ayahku dan keluargaku dan untukmu….”
“Apapun
yang kamu lukis merupakan keindahan bagiku, Nin.”
“Okelah.
Sampai ketemu ntar malam.”
“Oke,
Nin.”
Nina
mematikan handphonenya. Ia melangkahkan kaki ke arah mobil yang ia carter. Ibu
dan adiknya sudah menanti di dalam mobil.
“Ibu
akan mendukung keputusanmu, Nin,’ ucap ibu Nina ketika Nina menstater mobil
itu.
“Arni
sudah cerita, Bu.”
Ibunya
tersenyum dan mengangguk.
Arni
pun tersenyum dan memeluk ibunya.
Lalu
Nina menginjak gas pelan-pelan. Mobil itu bergerak keluar dari areal objek
wisata pantai cermin. Ia merasakan beban kehidupan yang berat yang selama ini
ia dan keluarga hadapi telah keluar dari kehidupan mereka. # # #
SELESAI
06-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar