Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Sastra (dI) Sumatera Utara



Sastra Sumatera Utara

D. Rifai Harahap

Karya sastra di Sumatera Utara, belum menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Berbeda

dengan cerita bergambar yang ditulis dan di gambar oleh Taguan Hardjo, Zam Nuldyn, Bahtar

Sy, Djas dan beberapa nama lainnya .

  Sastra dalam cerita bergambar, memang beda dengan karya sastra dalam bentuk cerita

pendek, novel dan roman. Penulis tidak menyamakan karya cerita gambar dengan karya cipta

sastra yang meliputi puisi, cerpen, dan novel.

Dalam cerita gambar, memang ada teks sebagai pengiring gambar. Ada balon percakapan dan

ada narasi singkat untuk memperkuat gambar. Keberhasilan tokoh yang berjaya di tahun 50-an

dan 60-an itu, sepertinya tak akan terulang lagi di era serba digital sekarang ini.

Cerita gambar karya-karya pelukis cergam asal Sumatera Utara tidak saja merambah Sumatera

Utara. Karya-karya bergambar pelukis yang nama-namanya kita sebutkan di atas tadi sempat

dijadikan acuan oleh pelukis-pelukis cergam asal pulau Jawa, seperti Ganes TH, Yan Mintaraga

yang karya-karya mereka telah banyak difilmkan, mengaku berguru dari karya-karya Taguan

Hardjo.

Nama besar Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisyahbana, Asrul Sani, Armin Pane

dan yang lainnya, semua asal Sumatera Utara, nama besar mereka masih jadi sebutan sampai

sekarang ini.

Kebesaran Taguan Hardjo, Zam Nuldyn memang tidak sebesar Chairil dan Amir Hamzah.

Karya-karya Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn tenggelam begitu saja di makan zaman. Generasi

sekarang tak lagi mengenal nama-nama seniman yang penulis sebutkan. Kebesaran mereka

sebagai pelukis cerita gambar, tergilas habis oleh karya-karya pelukis muda dari pulau Jawa

dan sekarang ini. Cerita-cerita gambar impor, apalagi yang datangnya dari Jepang, menggilas

habis karya-karya pelukis dalam negeri.

Karya sastra serius sekarang ini, sepertinya tak jauh beda dengan nasib sastra begambar. Sulit

untu kembali menjadi tuan di kampung halaman sendiri. Sastra picisan ditahun-tahun 50-an

cukup tersohor walau sebutan ‘picisan’ adalah sebutan yang sebenarnya bernada sinis dengan

karya-karya yang ada di masa itu. Sastra picisan memang tidak dapat kita samakan dengan

karya-karya pengarang dari Sumatera Barat yang melahirkan roman seperti Siti Nurbaya, Salah

Asuhan dan Layar Terkembang.

Sastra picisan buah karya pengarang Sumatera Utara itu, sampai kini tetap menjadi

pembicaraan peneliti sastra baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sumatera Utara

tidak cuma Batak, Karo, Simalungun dan Melayu sebagai suku-suku yang ada di Sumatera

Utara. Delapan suku bangsa yang ada di Sumatera Utara memiliki cabang-cabang seni dan

bahasanya yang khas.

Masuknya gerak tari Melayu ke dalam tari Minang, karena adanya peluang dari bahasa Melayu

sebagai lingua franca di Nusantara, sehingga unsur-unsur ke – Melayuan terbawa serta ,

  1 / 3



Sastra Sumatera Utara

dikarenakan tari Melayu Serampang 12 pernah dinobatkan sebagai “Tari Nasional” pada

decade tahun 1950-1960-an.

Tidak demikian dengan karya sastra walau Chairil Anwar, Amir Hamzah, Armijn Pane, berhasil

memacakkan karya-karya mereka, menjadi milik bangsa Indonesia. Karya-karya mereka tetap

disebut sebagai karya sastra pengarang Indonesia.

Beda dengan Wilem Iskander. Putra Mandailing yang berkesempatan mengenyam pendidikan

sampai kenegeri Belanda. Karya-karya Wilem Iskander yang nama kecilnya adalah Sutan Sati

itu, tetap mengingatkan saudara-saudaranya di tanah Mandailing agar tidak bodoh dan terus

belajar dan belajar.

Beda dengan Amir Hamzah yang bangsawan Melayu Langkat. Di Langkat Amir Hamzah tidak

begitu popular sebagai sastrawan pejuang. Malah nasibnya sungguh tragis. Bangsawan Melayu

yang dinobatkan sebagai Raja Penyair itu, harus mati ditangan algojo, karena dianggap

sebagai raja yang berpihak kepada penjajah Belanda.

Willem Iskander yang disekolahkan ke negeri Belanda dan meninggal dunia dinegeri yang

menjajah tanah kelahirannya, Mandailing, perjuangannya sebagai seniman pendidik. Jerih

payah Willem Iskander, masih tetap dihargai oleh saudara-saudaranya di Tano Bato. Dia

dinobatkan sebagai pionir pendidikan bumiputra.

Di tahun 50-an sampai 60-an, tersebut nama Iwan Simatupang sebagai pembaharu ‘prosa’

Indonesia di zamannya. Novel yang dia ciptakan tidak banyak. Setelah Chairil Anwar dan Amir

Hamzah, karya-karya Iwan Simatupang yang anak Sibolga, Sumatera Utara dari kawasan

Tapanuli Tengah itu, banyak dibahas oelh penulis-penulis ternama di Jakarta. Termasuk Paus

sastra Indonesia HB Yasin.

Novel yang beri judul ‘Merahnya Merah’ 1968, ‘Ziarah’ 1969, ‘Kering’ 1972, diterbitkan

PT..Gunung Agung. Iwan Simatupang sudah dipanggil Khaliknya. Iwan meninggal 4 Agustus

1970. Iwan adalah penulis generasi majalah Siasat, Siasat Baru, Zenith, Mimbar Indonesia dan

Sastra. Kesemua majalah itu sudah tidak terbit lagi.

Ketiga novel Iwan itu berhasil memancing kritikan dari HB. Yasin, Gayus Siagian, Alfons Triadi,

Wing Kardjo, Umar Yunus, Henri Chamber –Loir dan Gunawan Mohammad. Kritikan buat Iwan

macam-macam. Ada yang memuji, ada yang sinis dan ada yang menaruh harapan dengan

mengatakan, di manakah tempat tiga novel Iwan Simatupang di dalam kesusastraan Indonesia

Mutahkir?

Kebesaran Iwan Simatupang sebagai sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara memang

menarik untuk dikaji sampai kapanpun. Masih adakah di toko-toko buku, tiga novel Iwan

Simatupang yang irrasionil itu?

Kini abad serba digital. Penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang

tenggelam karena tak mampu bersaing. A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Ali Sukardi,

Maulana Samsuri, Aldian Arifin, masih terus bekarya walau usia mereka telah diatas enam

  2 / 3


puluh lima tahun.
Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin Siregar juga telah
menghadap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari angkatan Choking Susilo Sakeh,
Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul nama-nama sastrawan
muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak, Idris Siregar,
Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing
lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran ‘budaya’ surat kabar yang ada di Sumatera
Utara. Mampukah karya-karya mereka berbicara di khazanah sastra Indonesia?

Balai Bahasa Sumatera Utara terus melakukan berbagai upaya agar generasi muda tetap dan bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari, terutama di lingkungan yang resmi seperti dikantor, sekolah dan kampus.

Staf Balai Bahasa Sumut, Agus Mulia di Medan, Senin (29/6) mengatakan dewasa ini tantangan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar terutama dikalangan generasi muda cukup besar, karena pengaruh bahasa asing yang cukup kuat, baik melalui media televisi maupun internet.

Atas dasar itu tentunya harus ada satu metode baimana agar penggunaan Bahasa Indonesai tidak tersingkirkan dalam kehidupan sehari-hari, yang tentunya diperlukan dukungan semua pihak untuk mensukseskannya.

Atas dasar itu pula, sejak tahun 2006, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Balai Bahasa Sumatera Utara telah melaksanakan pemilihan Duta Bahasa untuk tingkat Sumut yang merupakan bagian dari upaya melibatkan pemuda Indonesia dalam menjaga tonggak-tonggak kebangsaan.

"Para Duta Bahasa yang terpilih nantinya akan menjadi mitra kerja Balai Bahasa Sumut dalam memasyarakatkan penggunaaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta menjadi wakil Sumut ke tingkat regional dan nasional," katanya.

Ia mengatakan tujuan digelarnya duta bahasa tersebut yang paling utama adalah membangkitkan minat generasi muda untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, mencari tunas muda yang mampu berbahasa Indonesa, daerah dan berbahasa asing dengan cukup baik.

Selain itu menjadikan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dan duta yang terpilih nantinya diharapkan dapat mempengaruhi lingkungannnya untuk dapat menggunakan Bahasa Indonesia yang baik.

Sedangkan visinya adalah terwujudnya generasi muda unggul, inovatif, sadar, dan bangga Berbahasa Indonesia serta cinta terhadap sastra Indonesia.

Serta sebagai perekat untuk membangun kehidupan berbangsa yang dilandasi semangat solidaritas dan kesetaraan dalam memelihara keutuhan nkri dan martabat di mata dunia.

"Misinya adalah berperan aktif dalam memasyarakatkan penggunaan Bahasa Indonesia secara baik, tepat dan bernalar serta komunkatif dalam berbahasa, serta membangun kesadaran dan kebanggaan generasi muda untuk berbahasa Indonesia dengan baik benar dan tertib," katanya.
Sastra Sumatera Utara

puluh lima tahun.

Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin Siregar juga telah

menghadap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari angkatan Choking Susilo Sakeh,

Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul nama-nama sastrawan

muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak, Idris Siregar,

Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing

lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran ‘budaya’ surat kabar yang ada di Sumatera

Utara. Mampukah karya-karya mereka berbicara di khazanah sastra Indonesia?

2010.JUNI 23.

  3 / 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar