Sebuah Pendekatan CDA
Oleh: Yulhasni.
Pada umumnya dalam sejarah teori sastra, pendekatan
yang sering digunakan dalam membedah karya sastra adalah teori struktural.
Sebuah model pendekatan yang melihat sastra sebagai karya yang otonom. Karya
dibedah dari unsur intrinsiknya seperti alur, penokohan, tema, sudut pandang,
setting ataupun gaya bahasa. Dalam khazanah teori sastra yang sedang berkembang
saat ini, terutama yang sudah lama diperkenalkan di Barat (terutama pasca
runtuhnya kekuasaan Hitler) pada era 60-an, metode penelitian sastra telah
diarahkan dalam bentuk Critical Discourse Analysis (CDA) atau lebih akrab
disebut Analisis Wacana Kritis (AWK).
Eriyanto
menulis pemikiran CDA bermula dari ilmu sosiologi kritis yang diperkenalkan
Mazhab Frankfurt dengan tokoh utamanya Jurgen Habermas. Dia memperkenalkan
konsep kritik ideologi. Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang
berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin
menunjukan bahwa dirinya yang terhebat.
CDA
berbeda dengan model pendekatan yang kerap dipraktikkan pada level karya sastra
oleh peneliti sastra, terutama bagi mereka yang mempercayai analisis isi yang
pada hakekatnya bersifat kuantitatif. Menurut Eriyanto, dalam praktiknya CDA
lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya
kuantitatif. CDA lebih menekankan pemaknaan teks ketimbang panjumlahan unit
kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari CDA adalah interpretatif yang mengandalkan
interpretasi dan penafsiran peneliti. analisis isi kuantitatif pada umumnya
hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat
manifest (nyata), sedangkan CDA justru berpretensi memfokuskan pada pesan laten
(tersembunyi). Makna suatu pesan dengan demikian tidak bisa hanya ditafsirkan
sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, namun harus dianalisis dari makna
yang tersembunyi.
Konsep Pemikiran Norman Fairclough
Norman
Fairclough, salah seorang teoritisi beraliran Mazhab Frankfurt memperkenalkan
konsep teks dan konteks. Norman Fairclough mengatakan, konsep yang dia bentuk
menitikberatkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki
tiga fungsi, yaitu representasi, relasi dan identitas. Fungsi representasi berkaitan
dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam
bentuk teks. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media
memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi;
sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja
media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai
menjadi berita di dalam media. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga
hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan
ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga
mempengaruhi istitusi media dan wacananya.
Mengenal Teks Pincalang
Novel
Pincalang karya Idris Pasaribu bercerita tentang masyarakat laut yaitu
orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk berlayar. Pincalang adalah kapal
layar. Di atas pincalang tokoh Amat dilahirkan untuk kemudian menjadi manusia
yang hidup dari pulau ke pulau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan
dan membuat ikan asing. Amat menghabiskan waktunya di atas perahu.
Proses
hubungan sosial sebagai bentuk transaksi ekonomi berlangsung mulus antara Amat
dengan Tuan Haji dan Tuan Guru sambil menyempatkan diri belajar membaca,
menulis dan berhitung. Konsep sederhananya untuk dapat hidup dalam posisi
bargaining posisition (posisi tawar) yang layak dengan orang daratan. Kelak
Amat berharap dia dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan layak.
Modernisasi
meruntuhkan segala hal yang dibangun masyarakat Pincalang. Kapitalisme merusak
ekosistem masyarakat Pincalang. Hutan bakau dirambah. Biodata laut disapu
habis. Penyebabnya karena negara lewat Keputusan Presiden (Keppres) yang
membantu kemudahan bagi nelayan mendapat pinjaman agar memiliki kapal bermotor
dengan sistem kredit melalui bank. Bisa dibayangkan betapa kapal-kapal bermesin
ini menguras habis isi laut. Perlawanan Amat terhadap kapitalisme kemudian
dicap sebagai gerakan anti pemerintah. Label PKI kemudian dengan mudah dicapkan
kepada mereka yang mencoba melawan kapitalisme negara. Setelah keluar dari
penjara, Amat masih mencintai lautnya. Amat masih percaya, masyarakat
Pincalang-lah yang selalu melindungi laut dan habitatnya.
Jika
mencermati jalan cerita dalam novel ini, akan dapat tergambar situasi di luar
teks ketika itu di daerah pesisir pantai Barat Sumatera, saat kapitalisme
menghamtan hutan bakau dan biota laut. Merujuk level pertama pada teks model
Fairclough yakni representasi, Pinca lang merupakan realitas sosial masyarakat
nelayan yang dipindahkan menjadi teks sastra.
Penulis
menggambarkan peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan atau apapun dengan
teks yang gamblang. Sebagai karya fiksi, kelemahan tentu saja terletak pada
model penceritaan yang menekankan aspek imajinatif. Akan tetapi pengarang
mencoba menghindari fiksi tersebut terperangkap kepada dunia imajiner semata.
Pada teks Pincalang berikut terlihat pengarang mencoba menggambarkannya seperti
layaknya wartawan melaporkan peristiwa:
Hubungan
kontruksi teks seperti ini, sebagaimana model yang dibuat Fairclough, cenderung
tertutup. Metafora Keppres adalah kontruksi teks yang tertutup karena pengarang
tidak memperkuatnya dengan kosakata ‘’pukat harimau’’. Pada level kedua model
Fairclough tentang relasi, pengarang masih cenderung menggunakan terminologi
model Orde Baru, yakni merepresentasikan perlawanan sebagai kelompok terlarang
(baca: PKI).
Meski
dalam teks Pincalang terdapat berbagai bentuk penggambaran yang inkosistensi,
tetapi pada umumnya wacana Pincalang mampu melahirkan ideologi perlawanan. Mengutip
Asmyta Surbakti, Pincalang adalah representasi atas dampak modernisasi,
kapitalisasi dan globalisasi. Modernisasi dan kapitalisasi berkontribusi
terhadap kacaunya sistem sosial, budaya dan ekonomi manusia perahu yang telah
dibangun sejak lama.
Tidak
banyak novel di Indonesia yang dengan jernih menggambarkan keterpurukan rakyat
dalam menghadapi kekuasaan. Realitas kadang sering dibungkus dengan fakta
imajiner. Idris Pasaribu sebagai wartawan mencoba menghindari imajiner-imajiner
itu bermain dalam teks-teks wacana Pincalang.
Hal
terpenting yang patut dicatat, ketika realitas dipindahkan dalam teks sastra,
seharusnya fakta imajiner dapat diminimalisasi dengan cara-cara yang elegan.
Kelebihan seorang wartawan jika menulis karya sastra terletak pada fakta-fakta
realitas itu sendiri.
Penulis Dosen FKIP UMSU dan Bergiat di Komunitas Diskusi
Sastra FOKUS UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar