Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Sebuah Pendekatan CDA



Sebuah Pendekatan CDA

Oleh: Yulhasni

Pada umumnya dalam sejarah teori sastra, pendekatan yang sering digunakan dalam membedah karya sastra adalah teori struktural. Sebuah model pendekatan yang melihat sastra sebagai karya yang otonom. Karya dibedah dari unsur intrinsiknya seperti alur, penokohan, tema, sudut pandang, setting ataupun gaya bahasa. Dalam khazanah teori sastra yang sedang berkembang saat ini, terutama yang sudah lama diperkenalkan di Barat (terutama pasca runtuhnya kekuasaan Hitler) pada era 60-an, metode penelitian sastra telah diarahkan dalam bentuk Critical Discourse Analysis (CDA) atau lebih akrab disebut Analisis Wacana Kritis (AWK).

Eriyanto menulis pemikiran CDA bermula dari ilmu sosiologi kritis yang diperkenalkan Mazhab Frankfurt dengan tokoh utamanya Jurgen Habermas. Dia memperkenalkan konsep kritik ideologi. Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. 

CDA berbeda dengan model pendekatan yang kerap dipraktikkan pada level karya sastra oleh peneliti sastra, terutama bagi mereka yang mempercayai analisis isi yang pada hakekatnya bersifat kuantitatif. Menurut Eriyanto, dalam praktiknya CDA lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif. CDA lebih menekankan pemaknaan teks ketimbang panjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari CDA adalah interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan CDA justru berpretensi memfokuskan pada pesan laten (tersembunyi). Makna suatu pesan dengan demikian tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, namun harus dianalisis dari makna yang tersembunyi.

Konsep Pemikiran Norman Fairclough
Norman Fairclough, salah seorang teoritisi beraliran Mazhab Frankfurt memperkenalkan konsep teks dan konteks. Norman Fairclough mengatakan, konsep yang dia bentuk menitikberatkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media dan wacananya.

Mengenal Teks Pincalang
Novel Pincalang karya Idris Pasaribu bercerita tentang masyarakat laut yaitu orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk berlayar. Pincalang adalah kapal layar. Di atas pincalang tokoh Amat dilahirkan untuk kemudian menjadi manusia yang hidup dari pulau ke pulau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan dan membuat ikan asing. Amat menghabiskan waktunya di atas perahu.
Proses hubungan sosial sebagai bentuk transaksi ekonomi berlangsung mulus antara Amat dengan Tuan Haji dan Tuan Guru sambil menyempatkan diri belajar membaca, menulis dan berhitung. Konsep sederhananya untuk dapat hidup dalam posisi bargaining posisition (posisi tawar) yang layak dengan orang daratan. Kelak Amat berharap dia dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan layak.

Modernisasi meruntuhkan segala hal yang dibangun masyarakat Pincalang. Kapitalisme merusak ekosistem masyarakat Pincalang. Hutan bakau dirambah. Biodata laut disapu habis. Penyebabnya karena negara lewat Keputusan Presiden (Keppres) yang membantu kemudahan bagi nelayan mendapat pinjaman agar memiliki kapal bermotor dengan sistem kredit melalui bank. Bisa dibayangkan betapa kapal-kapal bermesin ini menguras habis isi laut. Perlawanan Amat terhadap kapitalisme kemudian dicap sebagai gerakan anti pemerintah. Label PKI kemudian dengan mudah dicapkan kepada mereka yang mencoba melawan kapitalisme negara. Setelah keluar dari penjara, Amat masih mencintai lautnya. Amat masih percaya, masyarakat Pincalang-lah yang selalu melindungi laut dan habitatnya.

Jika mencermati jalan cerita dalam novel ini, akan dapat tergambar situasi di luar teks ketika itu di daerah pesisir pantai Barat Sumatera, saat kapitalisme menghamtan hutan bakau dan biota laut. Merujuk level pertama pada teks model Fairclough yakni representasi, Pinca lang merupakan realitas sosial masyarakat nelayan yang dipindahkan menjadi teks sastra. 

Penulis menggambarkan peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan atau apapun dengan teks yang gamblang. Sebagai karya fiksi, kelemahan tentu saja terletak pada model penceritaan yang menekankan aspek imajinatif. Akan tetapi pengarang mencoba menghindari fiksi tersebut terperangkap kepada dunia imajiner semata. Pada teks Pincalang berikut terlihat pengarang mencoba menggambarkannya seperti layaknya wartawan melaporkan peristiwa:

Hubungan kontruksi teks seperti ini, sebagaimana model yang dibuat Fairclough, cenderung tertutup. Metafora Keppres adalah kontruksi teks yang tertutup karena pengarang tidak memperkuatnya dengan kosakata ‘’pukat harimau’’. Pada level kedua model Fairclough tentang relasi, pengarang masih cenderung menggunakan terminologi model Orde Baru, yakni merepresentasikan perlawanan sebagai kelompok terlarang (baca: PKI).

Meski dalam teks Pincalang terdapat berbagai bentuk penggambaran yang inkosistensi, tetapi pada umumnya wacana Pincalang mampu melahirkan ideologi perlawanan. Mengutip Asmyta Surbakti, Pincalang adalah representasi atas dampak modernisasi, kapitalisasi dan globalisasi. Modernisasi dan kapitalisasi berkontribusi terhadap kacaunya sistem sosial, budaya dan ekonomi manusia perahu yang telah dibangun sejak lama.

Tidak banyak novel di Indonesia yang dengan jernih menggambarkan keterpurukan rakyat dalam menghadapi kekuasaan. Realitas kadang sering dibungkus dengan fakta imajiner. Idris Pasaribu sebagai wartawan mencoba menghindari imajiner-imajiner itu bermain dalam teks-teks wacana Pincalang.

Hal terpenting yang patut dicatat, ketika realitas dipindahkan dalam teks sastra, seharusnya fakta imajiner dapat diminimalisasi dengan cara-cara yang elegan. Kelebihan seorang wartawan jika menulis karya sastra terletak pada fakta-fakta realitas itu sendiri.

Penulis Dosen FKIP UMSU dan Bergiat di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU


Tidak ada komentar:

Posting Komentar