Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Ketika Rendra Membela Perempuan yang Papa



Ketika Rendra Membela Perempuan yang Papa

Oleh Hasan Al Banna


Meski nampak keletihan, Rendra dengan usianya yang sudah 69 tahun, masih menunjukkan kepaiwaiannya dalam membaca sajak atau yang dikenal dengan istilah poetery reading yang dipopulerkannya di Indonesia setelah pulang dari Amerika Serikat. Tidak salah kalau dalam catatan sejarah, Rendra adalah pembaca sajak yang dibayar termahal. Paling tidak, gambaran itulah yang terlihat ketika Mas Willy, panggilan kecilnya, membacakan sajak-sajak panjangnya yang teranyar di Hotel Garuda Plaza Medan dalam rangkaian acara “Kampanye Budaya Sehat” Jumat, 7 Mei 2004, sekitar pukul 20.00 WIB yang baru lewat. Dalam acara itu turut ditampilkan pertunjukan wayang plastik, musik, dan talk show dengan nara sumber Rendra dan istrinya Ken Zuraida.
Seperti biasa, sajak-sajak Rendra masih tetap menyodorkan protes-protes sosial tentang kesenjangan sosial, carut-marut ekonomi, orang-orang yang teraniaya, otoriter penguasa, penindasan kaum papa ke tengah-tengah kita. Protes-protes yang hampir secara keseluruhan menjadi tema karya-karya Rendra tersebut lahir dari hasil pergumulannya dengan kehidupan manusia, khususnya manusia Indonesia. Tak tersangkal memang, bahwa karya-karyanya dalam bentuk sajak, lakon, cerita pendek, dan esai-esai budayanya selalu menerangkan keterlibatannya dengan hidup manusia dengan begitu intens. Benar apa yang dituliskan Bakdi Soemanto dalam “Rendra: Karya dan Dunianya” (2003:200), bahwa sebagai penyair, pembaca sajak, penulis lakon, aktor dan penulis esai, Rendra selalu menempatkan diri berada di tengah persoalan manusia.

Mencatat Sejarah Buram

Seorang Rendra dalam sajak-sajaknya, adalah seorang saksi sejarah buram Indonesia yang sekaligus berani membeberkan keburaman sejarah itu dengan tegas dan jelas. Begitu juga malam itu, Si Burung Merak masih mampu membuat penonton hening untuk mendengarkan baris-baris sajaknya yang menunjukkan semangat solidaritas dan keberpihakannya terhadap manusia-manusia Indonesia yang tidak diuntungkan. Termasuk sajak-sajak solidaritas dan keberpihakannya terhadap kaum perempuan, kaum yang menurut Rendra selalu menjadi korban manipulasi dan menjadi makhluk yang tersisihkan, serta kaum yang seharusnya juga memperoleh kebebasan. Masalah ketertindasan perempuan menjadi tema yang dominan dalam sajak-sajak yang dibacakan Rendra malam itu. Salah satu sajak tersebut adalah “Perempuan yang Tergusur” yang bercerita tentang seorang perempuan desa yang tak kenal siapa ayah dan ibunya dan lalu terabai hidupnya di ibu kota sebagai pelacur.

Tanpa pilihan

ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.
Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
Ketika ikut demonstrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Tapi kisah kepahitan hidup yang ia lalui bukan hanya sampai di situ saja. “Perempuan yang Tergusur” itu sudah dianggap penguasa sebagai sampah. Bahkan lebih hina dari binatang sekalipun: “Sebagai janda yang pelacur/ kamu tinggal di gubuk di tepi kali di batas kota/ Gubernur dan para anggota DPRD/  menggolongkan kamu sebagai tikus got/ yang mengganggu peradaban/ Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada/ Jadi kamu digusur/”. Sebuah kondisi yang memperihatinkan yang selalu terjadi di sekitar Rendra dan juga di sekitar kita. Kondisi ironi antara dua kekuatan yang selalu bertolak belakang, yaitu rakyat dan penguasa. Maka secara insting manusiawi, Rendra menjadi orang yang bersimpati penuh kepadanya, meski tak tahu hendak berbuat apa untuk meringankan “Perempuan yang Tergusur” itu. “Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu/ Tapi aku memihak kepadamu/ Dengan sajak ini bolehkah aku menyusut keringat dingin dari jidatmu?/”. Bahkan puncak kesimpatian Rendra terungkap jelas dalam dua bait terakhir sajaknya tersebut.
Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana

semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Melindungi dan Menghormati “Ibu”

Tidak jauh berbeda dengan tema sajak “Perempuan yang Tergusur” di atas, sajak “Jangan Takut Ibu” yang juga dibacakannya malam itu masih berkisah tentang realitas sosial yang rusak oleh ulah penguasa dan sekaligus menggambarkan semangat solidaritas Rendra terhadap kaum perempuan yang menjadi korban kerusakan tatanan sosial itu sendiri sebagai kaum yang dicap lemah dan penakut. “Ibu”, seorang perempuan mulia di mata Rendra harus di lindungi di tengah zaman yang ironi.

Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,

Bupati mengunyah aspal,
anak-anak sekolah dijadikan bonsai.
Jangan takut, Ibu!
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
Meningkatkan penindasan.

“Ibu” yang mungkin merasa takut karena: “Di antara kelahiran dan kematian/ bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki,/ serdadu-serdadu Jepang memenggal kepala patriot-patriot Asia,/ Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro,/ teroris Amerika meledakkan bom di Oklahoma/ memanggang orangtua, ibu-ibu, dan bayi-bayi,/ di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,/ serdadu Inggris membantai para pemuda di Irlandia,/ orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman./. Tapi Rendra sekali menguatkan “Ibu” dengan baris sajak: “Jangan takut, Ibu!/ Jangan mau digertak./ Jangan mau diancam./ Karena ketakutan meningkatkan penjajahan/.
Begitulah, perlindungan yang dinyatakan Rendra kepada “Ibu” merupakan wujud penghormatannya kepada hak dari hakekat manusia itu sendiri, terlebih hak perempuan bernama “Ibu”, yang dilukiskan Rendra sebagai makhluk mulia yang mengalirkan kekuatan hidup kepada setiap anak-anaknya.
Aku cium tanganmu, Ibu!
Rahim dan susumu adalah persemaian harapan.
Kekuatan jaib insan
Dari zaman ke zaman

Menyulutkan Api Perlawanan

Rendra memang dikenal sebagai penyair yang mendudukkan para kaum papa, teraniaya, dan yang tersisihkan di kursi paling terhormat dalam sajak-sajaknya. Bahkan Rendra dengan berani melawan arus, bahwa orang-orang yang menurut anggapan masyarakat lebih cocok disebut sebagai sampah tak luput dari pembelaan Rendra. Pembelaan itu dapat disimak dalam sajak “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”, ketika para pelacur kota Jakarta hendak dibredel penguasa saat itu, pada tahun 1967.
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Dari klas tinggi dan klas rendah
Telah diganyang
Telah diharu-biru
Mereka kecut.
Keder
Terhina

Tidak terhindarkan, jika tudingan masyarakat luas menganggap pelacur sebagai kelompok sosial yang bermoral rendah dan harus dicampakkan adalah benar. Tapi tidak bagi Rendra, ia lebih mementingkan alasan seorang perempuan menjadi pelacur. Sebab menjadi pelacur bukanlah semata-mata pekerjaan yang rela dilakukan mereka, melainkan larena kemisikinan yang menghantam mereka. Meskipun pada hakekatnya, hal itu tetap perbuatan dosa. “Kalian tak bisa bilang “tidak”/Lantaran kelaparan yang menakutkan/ Kemiskinan yang mengekang/ Dan telah lama sia-sia cari kerja./ Ijazah sekolah tanpa guna/ Para kepala jawatan/ Akan membuka kesempatan/ Kalau kau membuka paha/”.
Persoalan yang hampir sama juga dihadapi perempuan pelacur bernama Maria Zaitun dalam baris sajak “Nyanyian Angsa” dalam bentuk dialog antara tokoh dengan seorang pastor sebagai berikut.
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan,
Dan gagal mencari kerja!”

Tapi mereka bagi Rendra adalah manusia, adalah juga saudaranya yang sedang menderita. “Saudari-saudariku./ Bersatulah/ Ambillah galah/ Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya/ Araklah keliling kota/ sebagai panji-panji yang telah mereka nodai /kini giliranmu menuntut/ Katakan kepada mereka:/ Menganjurkan mengganyang pelacuran/ Tanpa menganjurkan Mengawani para bekas pelacur/ Adalah omong kosong/.
Ketika masyarakat umum beramai-ramai mencemooh para pelacur, Rendra malah menyeru mereka dengan kata “Saudari-saudariku…”. Sebuah seruan yang pasti menyentuh hati para pelacur, semacam ungkapan “kasih-sayang” yang sangat jarang didengar, sekalipun oleh para hidung belang yang membayar mereka. Lebih dari itu, Rendra bahkan menyulutkan api perlawanan terhadap pengganyangan kepada para pelacur.
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulu keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu.
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan kelabakan.
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berjina
Dengan isteri saudaranya.

Sebuah anjuran dan nasehat perjuangan yang tidak lazim untuk dialamatkan kepada para pelacur. Bait penutup dari sajak di atas secara tersirat melukiskan dukungan Rendra terhadap profesi pelacur yang nyata-nyata ditentang masyarakat. Di situ, betapa lugas Rendra membentangkan larik-larik sajak yang sengaja mengangkat harkat para pelacur untuk serta-merta membangkitkan harga diri mereka.
Itulah Rendra, seorang legenda sastra Indonesia yang selalu berbicara lugas tentang fakta kehidupan di sekeliling kita. Rendra adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap penderitaan rakyat yang teraniaya dan ia selalu melecutkan perlawanan kepada setiap pengganyang, atau penganiayaan. Malam itu, Rendra tetap mampu menunjukkan kepada khalayak, bahwa ia adalah seorang penulis sajak dan sekaligus pembaca sajak (poetry reading) terbaik yang pernah ada di Indonesia.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar