Ketika Rendra Membela Perempuan yang Papa
Oleh Hasan Al Banna
Meski nampak keletihan, Rendra dengan usianya yang
sudah 69 tahun, masih menunjukkan kepaiwaiannya dalam membaca sajak atau yang
dikenal dengan istilah poetery reading yang dipopulerkannya di Indonesia
setelah pulang dari Amerika Serikat. Tidak salah kalau dalam catatan sejarah,
Rendra adalah pembaca sajak yang dibayar termahal. Paling tidak, gambaran
itulah yang terlihat ketika Mas Willy, panggilan kecilnya, membacakan
sajak-sajak panjangnya yang teranyar di Hotel Garuda Plaza Medan dalam
rangkaian acara “Kampanye Budaya Sehat” Jumat, 7 Mei 2004, sekitar pukul 20.00
WIB yang baru lewat. Dalam acara itu turut ditampilkan pertunjukan wayang
plastik, musik, dan talk show dengan nara sumber Rendra dan istrinya Ken
Zuraida.
Seperti biasa, sajak-sajak Rendra masih tetap menyodorkan protes-protes
sosial tentang kesenjangan sosial, carut-marut ekonomi, orang-orang yang
teraniaya, otoriter penguasa, penindasan kaum papa ke tengah-tengah kita.
Protes-protes yang hampir secara keseluruhan menjadi tema karya-karya Rendra
tersebut lahir dari hasil pergumulannya dengan kehidupan manusia, khususnya
manusia Indonesia. Tak tersangkal memang, bahwa karya-karyanya dalam bentuk
sajak, lakon, cerita pendek, dan esai-esai budayanya selalu menerangkan
keterlibatannya dengan hidup manusia dengan begitu intens. Benar apa yang
dituliskan Bakdi Soemanto dalam “Rendra: Karya dan Dunianya” (2003:200),
bahwa sebagai penyair, pembaca sajak, penulis lakon, aktor dan penulis esai,
Rendra selalu menempatkan diri berada di tengah persoalan manusia.
Mencatat Sejarah Buram
Seorang Rendra dalam sajak-sajaknya, adalah seorang
saksi sejarah buram Indonesia yang sekaligus berani membeberkan keburaman
sejarah itu dengan tegas dan jelas. Begitu juga malam itu, Si Burung Merak
masih mampu membuat penonton hening untuk mendengarkan baris-baris sajaknya
yang menunjukkan semangat solidaritas dan keberpihakannya terhadap
manusia-manusia Indonesia yang tidak diuntungkan. Termasuk sajak-sajak solidaritas
dan keberpihakannya terhadap kaum perempuan, kaum yang menurut Rendra selalu
menjadi korban manipulasi dan menjadi makhluk yang tersisihkan, serta kaum yang
seharusnya juga memperoleh kebebasan. Masalah ketertindasan perempuan menjadi
tema yang dominan dalam sajak-sajak yang dibacakan Rendra malam itu. Salah satu
sajak tersebut adalah “Perempuan yang Tergusur” yang bercerita tentang seorang
perempuan desa yang tak kenal siapa ayah dan ibunya dan lalu terabai hidupnya
di ibu kota sebagai pelacur.
Tanpa pilihan
ibumu mati
ketika kamu bayi
dan kamu tak
pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh
nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam
belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir
taxi yang mengawinimu.
Karena suka
berjudi
ia menambah
penghasilan sebagai germo.
Ia paksa
kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu
ragu dan murung,
lalu kurang
setoran kamu berikan,
ia memukul
kamu babak belur.
Tapi
kemudian ia mati ditembak tentara
Ketika ikut
demonstrasi politik
sebagai
demonstran bayaran.
Tapi kisah kepahitan hidup yang ia lalui bukan hanya sampai di situ saja.
“Perempuan yang Tergusur” itu sudah dianggap penguasa sebagai sampah. Bahkan
lebih hina dari binatang sekalipun: “Sebagai janda yang pelacur/ kamu
tinggal di gubuk di tepi kali di batas kota/ Gubernur dan para anggota
DPRD/ menggolongkan kamu sebagai tikus
got/ yang mengganggu peradaban/ Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada/ Jadi
kamu digusur/”. Sebuah kondisi yang memperihatinkan yang selalu terjadi di
sekitar Rendra dan juga di sekitar kita. Kondisi ironi antara dua kekuatan yang
selalu bertolak belakang, yaitu rakyat dan penguasa. Maka secara insting
manusiawi, Rendra menjadi orang yang bersimpati penuh kepadanya, meski tak tahu
hendak berbuat apa untuk meringankan “Perempuan yang Tergusur” itu. “Aku tak
tahu cara seketika untuk membelamu/ Tapi aku memihak kepadamu/ Dengan sajak ini
bolehkah aku menyusut keringat dingin dari jidatmu?/”. Bahkan puncak
kesimpatian Rendra terungkap jelas dalam dua bait terakhir sajaknya tersebut.
Tapi aku
kagum pada daya tahanmu,
pada caramu
menikmati setiap kesempatan,
pada
kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada
kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu
merawat selimut dengan hati.
Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang
berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan
kamu tertawa
karena
melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam
aku memuja kamu di hati ini.
Melindungi dan Menghormati “Ibu”
Tidak jauh berbeda dengan tema sajak “Perempuan yang Tergusur” di atas,
sajak “Jangan Takut Ibu” yang juga dibacakannya malam itu masih berkisah
tentang realitas sosial yang rusak oleh ulah penguasa dan sekaligus
menggambarkan semangat solidaritas Rendra terhadap kaum perempuan yang menjadi
korban kerusakan tatanan sosial itu sendiri sebagai kaum yang dicap lemah dan
penakut. “Ibu”, seorang perempuan mulia di mata Rendra harus di lindungi di
tengah zaman yang ironi.
Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,
Bupati mengunyah aspal,
anak-anak sekolah dijadikan
bonsai.
Jangan takut, Ibu!
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
Meningkatkan penindasan.
“Ibu” yang mungkin merasa takut karena: “Di antara kelahiran dan kematian/ bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki,/ serdadu-serdadu Jepang memenggal kepala patriot-patriot Asia,/ Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro,/ teroris Amerika meledakkan bom di Oklahoma/ memanggang orangtua, ibu-ibu, dan bayi-bayi,/ di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,/ serdadu Inggris membantai para pemuda di Irlandia,/ orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman./. Tapi Rendra sekali menguatkan “Ibu” dengan baris sajak: “Jangan takut, Ibu!/ Jangan mau digertak./ Jangan mau diancam./ Karena ketakutan meningkatkan penjajahan/.
Begitulah, perlindungan yang dinyatakan Rendra kepada “Ibu” merupakan wujud penghormatannya kepada hak dari hakekat manusia itu sendiri, terlebih hak perempuan bernama “Ibu”, yang dilukiskan Rendra sebagai makhluk mulia yang mengalirkan kekuatan hidup kepada setiap anak-anaknya.
Aku cium tanganmu, Ibu!
Rahim dan susumu adalah persemaian harapan.
Kekuatan jaib insan
Dari zaman ke zaman
Menyulutkan Api Perlawanan
Rendra memang dikenal sebagai penyair yang
mendudukkan para kaum papa, teraniaya, dan yang tersisihkan di kursi paling
terhormat dalam sajak-sajaknya. Bahkan Rendra dengan berani melawan arus, bahwa
orang-orang yang menurut anggapan masyarakat lebih cocok disebut sebagai sampah
tak luput dari pembelaan Rendra. Pembelaan itu dapat disimak dalam sajak
“Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”, ketika para pelacur kota Jakarta
hendak dibredel penguasa saat itu, pada tahun 1967.
Pelacur-pelacur kota
Jakarta
Dari klas tinggi dan
klas rendah
Telah diganyang
Telah diharu-biru
Mereka kecut.
Keder
Terhina
Tidak terhindarkan, jika tudingan masyarakat luas
menganggap pelacur sebagai kelompok sosial yang bermoral rendah dan harus
dicampakkan adalah benar. Tapi tidak bagi Rendra, ia lebih mementingkan alasan
seorang perempuan menjadi pelacur. Sebab menjadi pelacur bukanlah semata-mata
pekerjaan yang rela dilakukan mereka, melainkan larena kemisikinan yang menghantam
mereka. Meskipun pada hakekatnya, hal itu tetap perbuatan dosa. “Kalian tak
bisa bilang “tidak”/Lantaran kelaparan yang menakutkan/ Kemiskinan yang
mengekang/ Dan telah lama sia-sia cari kerja./ Ijazah sekolah tanpa guna/ Para
kepala jawatan/ Akan membuka kesempatan/ Kalau kau membuka paha/”.
Persoalan yang hampir sama juga dihadapi perempuan
pelacur bernama Maria Zaitun dalam baris sajak “Nyanyian Angsa” dalam bentuk
dialog antara tokoh dengan seorang pastor sebagai berikut.
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi
melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk
setan.”
“Tidak. Saya terdesak
kemiskinan,
Dan gagal mencari
kerja!”
Tapi mereka bagi Rendra adalah manusia, adalah juga
saudaranya yang sedang menderita. “Saudari-saudariku./ Bersatulah/ Ambillah
galah/ Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya/ Araklah keliling kota/ sebagai
panji-panji yang telah mereka nodai /kini giliranmu menuntut/ Katakan kepada
mereka:/ Menganjurkan mengganyang pelacuran/ Tanpa menganjurkan Mengawani para
bekas pelacur/ Adalah omong kosong/.
Ketika masyarakat umum beramai-ramai mencemooh para
pelacur, Rendra malah menyeru mereka dengan kata “Saudari-saudariku…”. Sebuah
seruan yang pasti menyentuh hati para pelacur, semacam ungkapan “kasih-sayang”
yang sangat jarang didengar, sekalipun oleh para hidung belang yang membayar
mereka. Lebih dari itu, Rendra bahkan menyulutkan api perlawanan terhadap
pengganyangan kepada para pelacur.
Pelacur-pelacur kota
Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulu keder
pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi
kaum palsu.
Naikkan tarifmu dua
kali
Dan mereka akan
kelabakan.
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan
berjina
Dengan isteri
saudaranya.
Sebuah anjuran dan nasehat perjuangan yang tidak
lazim untuk dialamatkan kepada para pelacur. Bait penutup dari sajak di atas
secara tersirat melukiskan dukungan Rendra terhadap profesi pelacur yang
nyata-nyata ditentang masyarakat. Di situ, betapa lugas Rendra membentangkan
larik-larik sajak yang sengaja mengangkat harkat para pelacur untuk serta-merta
membangkitkan harga diri mereka.
Itulah Rendra, seorang legenda sastra Indonesia yang
selalu berbicara lugas tentang fakta kehidupan di sekeliling kita. Rendra
adalah sosok yang memiliki perhatian besar terhadap penderitaan rakyat yang
teraniaya dan ia selalu melecutkan perlawanan kepada setiap pengganyang, atau
penganiayaan. Malam itu, Rendra tetap mampu menunjukkan kepada khalayak, bahwa
ia adalah seorang penulis sajak dan sekaligus pembaca sajak (poetry reading)
terbaik yang pernah ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar