Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Pengarang/Penulis Jangan Mengintervensi Kritikus



Tanggapan untuk Budi P Hatees;
Pengarang/Penulis Jangan Mengintervensi Kritikus

Yulhasni. 

Jelas sudah, semua mafhum tentang satu adagium penting dalam proses kreatif: karya bukan lagi milik pengarang ketika sudah dilempar ke khalayak. Cara seperti ini dianggap mampu melahirkan satu prinsip dari kreatifitas yakni ‘tidak ikut campur’ terhadap segala hal yang terkait di dalam karya tersebut. Biarkan pembaca, pengamat ataupun kritikus sastra yang memberi ‘arti’ pada sebuah karya.
Saya tidak sedang mengungkit berbagai kekeliruan dalam cara pandang kritikus terhadap hasil cipta sastra. Kasus yang menghebohkan tentang puisi Sitor Situmorang berjudul ‘’Malam Lebaran: bulan di atas kuburan, biarlah jadi satu bentuk salah kaprah pengarang dan kritikus meletakkan sebuah sajak dalam konteks analisis.
Banyak orang yang menyalahkan Sitor karena tidak memahami penanggalan di dalam Islam dan meski kemudian si pengarang mengakui bahwa puisi itu hanyalah simbolisme kesepian saat dia hendak ke rumah Pramudya Ananta Toer.
Tulisan Budi P Hatees berjudul ‘’Kritik Sastra atas Cerpen’’ (Analisa edisi 31 Maret 2013) merupakan cara pandang tentang kekeliruan Mihar Harahap menganalisis cerpennya berjudul “Pembunuh” yang terbit di harian ini. Budi langsung menukik ke akar dari cara pandang Mihar Harahap yang tebekule, yakni menyisir satu demi satu bagian dalam dari karya sastra dengan bersiteguh hati memaknai karya sebagai sebuah bentuk yang otonom. Hal lumrah kemudian jika cerpen Budi P. Hatees dilihat hanya dalam tiga alinea!
Tulisan Mihar Harahap bisa kita kategorikan ke dalam berbagai varian tergantung bagaimana perspektif yang berada dalam fikiran pembaca. Sulitnya ketika Budi P. Hatees berada dalam fikiran karyanya, sehingga aroma ketidakpuasan tentu saja akan menyeruak. Saya telah membaca habis cerpen ‘’Pembunuh’’ dan menurut saya perspektif otonomisasi sastra yang dipraktikkan Mihar Harahap sudah tepat.
Ketika Budi P. Hatees berharap cerpennya harus dibedah dengan perspektif di luar itu, maka ruangnya tidak sesederhana di dalam koran yang hanya menyediakan sekian kata. Tentu saja seorang kritikus sastra seperti Mihar Harahap memiliki keterbatasan jelajah akademik jika masuk ke dalam bingkai dan perspektif di luar teks. Bahkan ada proses pemilihan dan pemilahan karya ketika hendak masuk ke dalam wilayah kritik sastra.
A Teeuw dalam bukunya ‘’Tergantung pada Kata’’, boleh jadi salah satu contoh kritikus sastra yang mencoba membedah satu karya hingga tuntas. Tentu saja Budi P. Hatees tidak bisa berharap hal serupa akan dipraktikkan Mihar Harahap yang kita kenal rajin dan tekun membaca satu persatu karya sastra di daerah ini dan kemudian menggeneralisasinya dalam teks-teks kritik sastra. Ketika Budi P. Hatees menulis ‘’pembacaan Mihar harahap atas cerpen saya, akhirnya memang puja-puji,’’ tentunya harus diklasifikasikan juga bagian mana dari sebuah karya memiliki keunggulan.
Di dalam khazanah perkembangan kritik sastra, sepanjang yang saya pahami amat sedikit pengarang yang perlu memberi penjelasan atas ulasan kritikus terhadap karya yang dihasilkannya. Biasanya pengarang akan membiarkan berbagai tanggapan terhadap karya mereka. Jika perlu si pengarang tidak masuk ke wilayah kritik sastra agar tidak ada bias dari sebuah ruang yang sering kita sebut sebagai ranahnya orang lain. Seringkali pengarang berperan ganda ketika karyanya dibicarakan. Peran ganda inilah yang kini dipraktikkan Budi P Hatess dalam tulisannya tersebut. Apakah diperlukan seorang pengarang memberi penjelasan atas kekeliruan kritikus sastra agar pembaca betul-betul memahami isi dari karya yang diciptakan? Saya kira ada batas etika yang perlu kita buat garis tegas agar tidak terjadi bermacam-macam pemahaman terhadap karya.
Intervensi pengarang akan melahirkan satu varian baru dalam ranah sastra yakni ‘’ketidaknyamanan kritikus sastra.’’ Pengarang meski memiliki hak utama atas isi dan maksud karya, tetap saja tidak bisa masuk ke wilayah kritik sastra. Saya mengggunakan istilah Medan: ada lapak sendiri, jadi jangan ambil lapak orang lain! ‘’Lapak’’ pengarang telah berhenti pada karya dan ‘’lapak’’ kritikus ada pada karya yang akan dianalisis. Sementara ‘’lapak’’ pembaca ada pada karya yang diciptakan. Jika masing-masing orang sudah memahami lapaknya, maka perkembangan sastra akan berjalan sehat. Bukankah kita sudah sama memahmi bahwa sebuah ekologi sastra dikatakan berimbang, jika rasio antara penulis, karya, pembaca dan kritikus sastra juga berimbang.
Pada kasus cerpen ‘’Pembunuh’’ rasio pengarang, pembaca dan kritikus sudah jelas, sehingga tidak diperlukan ada penambahan kuato dari seorang bernama Budi P. Hatess sebagai kritikus sastra baru pula. Saya kuatir tulisan Budi P. Hatees ini ibarat satu kata yang kerap kita dengar: “seorang kritikus sastra adalah seorang sastrawan yang gagal.’’ Boleh jadi cerpen ‘’Pembunuh’’ gagal, maka perlu penjelasan langsung si pengarang dengan perspektif kritik sastra yang dipahaminya.
Berbagai argumentasi Budi P Hatess terhadap tulisan Mihar Harahap saya kira sudah melampaui kewenangan seorang kritikus ketika berhadapan dengan teks. Hal yang aneh jika kemudian Budi P Hatees menulis: sebab bisa itu, kritik Mihar Harahap atas cerpen saya tak mampu menjembatani apapun kepada publik pembaca, padahal saya berharap seorang kritikus membongkar sebuah karya sastra untuk memperkaya pengetahuan publik pembaca.
Ranah kritik sastra itu beragam bentuk dan cara pandang. Berbagai aliran dalam kritik sastra dari model strukturalisme genetik sampai poststrukturalisme dan critical discourse analysis (CDA), akan selalu dipergunakan oleh para penilai sastra. Jika Mihar Harahap menggunakan ‘’tebekule’’ untuk cerpen ‘’Pembunuh’’ karya Budi P.Hatees, maka cara pandang seperti itu menjadi domain seorang kritikus sastra Sumut yang juga Dekan FKIP UISU.
Domain Mihar Harahap adalah kritik sastra dan domain Budi P. Hatees adalah pengarang cerpen ‘’Pembunuh’’. Jadi jangan sampai ada dunia jungkir balik dalam cara pandang terhadap karya sastra. Mungkin Budi P Hatees perlu mencari karya orang lain untuk memberi penjelasan terhadap cara pandang Mihar Harahap terhadap sebuah cerpen. Saya kira pilihan itu lebih elegan dan terhormat.
Penulis Dosen FKIP UMSU dan Bergiat di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar