Tanggapan untuk Budi P Hatees;
Pengarang/Penulis
Jangan Mengintervensi Kritikus
Yulhasni.
Jelas sudah, semua mafhum tentang
satu adagium penting dalam proses kreatif: karya bukan lagi milik pengarang
ketika sudah dilempar ke khalayak. Cara seperti ini dianggap mampu melahirkan
satu prinsip dari kreatifitas yakni ‘tidak ikut campur’ terhadap segala hal
yang terkait di dalam karya tersebut. Biarkan pembaca, pengamat ataupun
kritikus sastra yang memberi ‘arti’ pada sebuah karya.
Saya
tidak sedang mengungkit berbagai kekeliruan dalam cara pandang kritikus
terhadap hasil cipta sastra. Kasus yang menghebohkan tentang puisi Sitor
Situmorang berjudul ‘’Malam Lebaran: bulan di atas kuburan, biarlah jadi satu
bentuk salah kaprah pengarang dan kritikus meletakkan sebuah sajak dalam
konteks analisis.
Banyak
orang yang menyalahkan Sitor karena tidak memahami penanggalan di dalam Islam
dan meski kemudian si pengarang mengakui bahwa puisi itu hanyalah simbolisme
kesepian saat dia hendak ke rumah Pramudya Ananta Toer.
Tulisan
Budi P Hatees berjudul ‘’Kritik Sastra atas Cerpen’’ (Analisa edisi 31 Maret
2013) merupakan cara pandang tentang kekeliruan Mihar Harahap menganalisis
cerpennya berjudul “Pembunuh” yang terbit di harian ini. Budi langsung menukik
ke akar dari cara pandang Mihar Harahap yang tebekule, yakni menyisir satu demi
satu bagian dalam dari karya sastra dengan bersiteguh hati memaknai karya
sebagai sebuah bentuk yang otonom. Hal lumrah kemudian jika cerpen Budi P.
Hatees dilihat hanya dalam tiga alinea!
Tulisan
Mihar Harahap bisa kita kategorikan ke dalam berbagai varian tergantung
bagaimana perspektif yang berada dalam fikiran pembaca. Sulitnya ketika Budi P.
Hatees berada dalam fikiran karyanya, sehingga aroma ketidakpuasan tentu saja
akan menyeruak. Saya telah membaca habis cerpen ‘’Pembunuh’’ dan menurut saya
perspektif otonomisasi sastra yang dipraktikkan Mihar Harahap sudah tepat.
Ketika
Budi P. Hatees berharap cerpennya harus dibedah dengan perspektif di luar itu,
maka ruangnya tidak sesederhana di dalam koran yang hanya menyediakan sekian
kata. Tentu saja seorang kritikus sastra seperti Mihar Harahap memiliki
keterbatasan jelajah akademik jika masuk ke dalam bingkai dan perspektif di
luar teks. Bahkan ada proses pemilihan dan pemilahan karya ketika hendak masuk
ke dalam wilayah kritik sastra.
A
Teeuw dalam bukunya ‘’Tergantung pada Kata’’, boleh jadi salah satu contoh
kritikus sastra yang mencoba membedah satu karya hingga tuntas. Tentu saja Budi
P. Hatees tidak bisa berharap hal serupa akan dipraktikkan Mihar Harahap yang
kita kenal rajin dan tekun membaca satu persatu karya sastra di daerah ini dan
kemudian menggeneralisasinya dalam teks-teks kritik sastra. Ketika Budi P.
Hatees menulis ‘’pembacaan Mihar harahap atas cerpen saya, akhirnya memang
puja-puji,’’ tentunya harus diklasifikasikan juga bagian mana dari sebuah karya
memiliki keunggulan.
Di
dalam khazanah perkembangan kritik sastra, sepanjang yang saya pahami amat
sedikit pengarang yang perlu memberi penjelasan atas ulasan kritikus terhadap
karya yang dihasilkannya. Biasanya pengarang akan membiarkan berbagai tanggapan
terhadap karya mereka. Jika perlu si pengarang tidak masuk ke wilayah kritik
sastra agar tidak ada bias dari sebuah ruang yang sering kita sebut sebagai ranahnya
orang lain. Seringkali pengarang berperan ganda ketika karyanya dibicarakan.
Peran ganda inilah yang kini dipraktikkan Budi P Hatess dalam tulisannya
tersebut. Apakah diperlukan seorang pengarang memberi penjelasan atas
kekeliruan kritikus sastra agar pembaca betul-betul memahami isi dari karya
yang diciptakan? Saya kira ada batas etika yang perlu kita buat garis tegas
agar tidak terjadi bermacam-macam pemahaman terhadap karya.
Intervensi
pengarang akan melahirkan satu varian baru dalam ranah sastra yakni
‘’ketidaknyamanan kritikus sastra.’’ Pengarang meski memiliki hak utama atas
isi dan maksud karya, tetap saja tidak bisa masuk ke wilayah kritik sastra.
Saya mengggunakan istilah Medan: ada lapak sendiri, jadi jangan ambil lapak
orang lain! ‘’Lapak’’ pengarang telah berhenti pada karya dan ‘’lapak’’
kritikus ada pada karya yang akan dianalisis. Sementara ‘’lapak’’ pembaca ada
pada karya yang diciptakan. Jika masing-masing orang sudah memahami lapaknya,
maka perkembangan sastra akan berjalan sehat. Bukankah kita sudah sama memahmi
bahwa sebuah ekologi sastra dikatakan berimbang, jika rasio antara penulis,
karya, pembaca dan kritikus sastra juga berimbang.
Pada
kasus cerpen ‘’Pembunuh’’ rasio pengarang, pembaca dan kritikus sudah jelas,
sehingga tidak diperlukan ada penambahan kuato dari seorang bernama Budi P.
Hatess sebagai kritikus sastra baru pula. Saya kuatir tulisan Budi P. Hatees
ini ibarat satu kata yang kerap kita dengar: “seorang kritikus sastra adalah
seorang sastrawan yang gagal.’’ Boleh jadi cerpen ‘’Pembunuh’’ gagal, maka
perlu penjelasan langsung si pengarang dengan perspektif kritik sastra yang
dipahaminya.
Berbagai
argumentasi Budi P Hatess terhadap tulisan Mihar Harahap saya kira sudah
melampaui kewenangan seorang kritikus ketika berhadapan dengan teks. Hal yang
aneh jika kemudian Budi P Hatees menulis: sebab bisa itu, kritik Mihar Harahap
atas cerpen saya tak mampu menjembatani apapun kepada publik pembaca, padahal
saya berharap seorang kritikus membongkar sebuah karya sastra untuk memperkaya
pengetahuan publik pembaca.
Ranah
kritik sastra itu beragam bentuk dan cara pandang. Berbagai aliran dalam kritik
sastra dari model strukturalisme genetik sampai poststrukturalisme dan critical
discourse analysis (CDA), akan selalu dipergunakan oleh para penilai sastra.
Jika Mihar Harahap menggunakan ‘’tebekule’’ untuk cerpen ‘’Pembunuh’’ karya
Budi P.Hatees, maka cara pandang seperti itu menjadi domain seorang kritikus
sastra Sumut yang juga Dekan FKIP UISU.
Domain
Mihar Harahap adalah kritik sastra dan domain Budi P. Hatees adalah pengarang
cerpen ‘’Pembunuh’’. Jadi jangan sampai ada dunia jungkir balik dalam cara
pandang terhadap karya sastra. Mungkin Budi P Hatees perlu mencari karya orang
lain untuk memberi penjelasan terhadap cara pandang Mihar Harahap terhadap
sebuah cerpen. Saya kira pilihan itu lebih elegan dan terhormat.
Penulis Dosen FKIP UMSU dan Bergiat di Komunitas Diskusi
Sastra FOKUS UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar