PERLUKAH HUKUMAN DALAM MENDIDIK ANAK?
YUNI MULATI, S.Si
UNIT
SEKOLAH DASAR
PERGURUAN PANCA BUDI
MEDAN
MENJADI GURU- PILIHAN ATAU KETERPAKSAAN ?
Pendahuluan
Ada imej yang berkembang dalam masyarakat
bahwa profesi guru tidak mempunyai kesejahteraan yang tetap, baik dari guru PNS
maupun non PNS. Imej ini berawal dari tingkat kesejahteran guru yang bisa
dikatakan memprihatinkan. Sementara tulang punggung pendidikan negara kita
tergantung pada penerus-penerus bangsa yang mendapat pendidikan dari guru.
Nasib bangsa ditentukan oleh pemuda-pemuda yang berkualitas intelektual, moral
dan mental. Jika guru tidak lagi mampu menghasilkan penerus bangsa yang
berkualitas, maka bagaimana bangsa kita nanti? Mungkinkah ini terjadi? Muingkin
saja. Ketika guru terlalu memikirkan kesejahteraannya, maka fungsinya sebagai
seorang pendidik tentu tidak akan dijalani dengan baik. Guru akan malas
mengajar karena memikirkan biaya hidupnya yang pas-pasan ditengah kebutuhan
ekonomi yang semakin sulit. Lantas, kenapa seorang memilih menjadi guru
sementara ia tahu bahwa kesejahteraan guru cukup memprihatinkan? Ketika seorang
guru melihat seorang dengan profesi dokter atau insinyur yang kesejahteraannya
baik malahan berlebihan, mungkinkah timbul penyesalan dalam dirinya yang telah
menjalani profesi guru? Apakah menjadi guru sudah merupakan jalan hidupnya atau
keterpaksaaan karena tidak mempunyai pilihan kerja yang lain? Jika seseorang
terus mempertanyakan nasibnya sebagai guru, kapan lagi ia mempertanyakan
bagaimana nasib anak didiknya yang tidak diberi pendidikan dengan baik. Apa
yang harus dilakukan seorang guru dalam kondisi ini? Terus mengajar dengan
keterpaksaaan atau memantapkan dirinya menjalani profesi tersebut? Belum lagi
tuntutan dari orang tua murid yang menitipkan anaknya untuk dididik menjadi
orang yang berguna. Melihat banyaknya pertanyaan yang berkecamuk didalam
pemikiran seorang guru, masihkan ia tetap ingin menjadi guru? Adakah pihak lain
yang perduli dengan nasib guru tersebut? Bagaimana dengan pemerintah?
Motivasi menjadi guru
Saat selesai dari pendidikan SMA, seorang
anak didik akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jenjang
yang dipilih oleh kebanyakan siswa adalah jenjang pendidikan yang bergengsi,
sepertti kedokteran, teknik atau pertanian. Ada juga yang mengambil ke jenjang
pendidikan guru. Ketika memilih pendidakan guru, benarkan siswa tersebut ingin
menjadi guru? Sudah merupakan hal yang lazim, jika tamat dari pendidikan guru,
tentu ia akan berprofesi menjadi guru (jika ia ingin bekerja). Masalah yang
timbul kemudian, saat ia menjalani profesi guru, mulai timbul permasalaha-
hidup yang berkaitan dengan profesinya tersbut. Seperti kesejahteraan yang
tidak memadai, belum lagi pekerjaan seorang guru dikatakan cukup berat malah
ada yang mengatakan pekerjaan paling berat di dunia.
Menuru Martin handoko(1992) Dari sekian
banyak siswa yang memilih pendidkan guru, seringkali terpadat juga
mereka-mereka yang sebenarnya tidak mempunyai motivasi menjadi guru dalam arti
motivasi yang mereka kurang sesuiai dengan tujuan pendidikan guru.Mereka memang
menimba ilmu di institiute keguruan dan ilmu pendidikan (selanjutnya IKIP)
tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksaud menjadi guru. Alasannya antara lain
karena tidak diterima di universitas atau institute penddikan status negri, ada
yang dipaksa oleh orang tua, atau karena ekonomi yang lemah, sehingga mereka
terpaksa masuk ke sekolah pendidikan guru yang mereka anggap dapat mengatasi
atyau menyelesaikan persoalan tersebut di atas. Dalam beberapa kasus, didalam
didri mereka tidak terdapat motivasi untuk menjadi guru. Meskipun demikian,
motivasi menjadi guru baru timbul ketika mereka sudah tamat dari pendidikan
guru atau udah menjabat profesi guru.
Akan tetapi, dari beberapa kasus, motivasi
menjadi guru ini kembali menjadi pertanyaan dalam diri mereka ketika mereka
sudah merasakan bagaimna sebenarnya kehidupan seorang dengen prodfesi guru.
Apakah merekla akan terus termotivasi menjadi guru tau menarik dari dari dunia
proffesi guru ketika kebutuhan dan kesejahtreaan mulai ”angkat bicara”?. Pada
awalnya, ketika mereka memilih memasuki pendidkan guru, mungkin ada diantaranya
murni meililih pendiekna guru, mungkin juga karenma terpaksa sepertti yang
dibicarakan di atas. Munculnya dilema antara kebutuhan dan pilihan menjadi guru
terus berkembang dan menjadi wacana ditingkat dunia pendidikna. Mulailah timbul
tuntutan-tuntutan dari guru yang berkenaan dengan tingkat kesejahteraan. Demo
ke pemerintah (pendidikan) sampaia ada yang mogok mengajar. Alhasil, anak didik
terkena imbass. Imbas yang bisa merusak jiwa-jiwa anak didik yang belum
mengerti apa yang telah terjadi dengan guru mereka (anak didik). Tentunya kita
tahu, jika guru tidak lagi bermotivasi untuk mendidik, tidak lagi mendidik
dengan spenuh hati, maka pendidikan di negatra kita akan hancur yang
selanjutnya bangsa Indonesiapun akan terpuruk, menjadi bangsa yang terbelakang.
Jadi, dengan demikian, motivasi menjadi guru masih dipertanyakan. Aapha mereka
benar-benar ingin menjadi guru tau karena alasan lainnya?
Apresiasi profesi guru
Profesi
guru memng meperihatinkan. Belum lagi maslah ktingkat kesejahteraan yang menjadi
problema hiodup, ditambah lagi maslah status di dlingkungan masytrakat yang
membuta guru bertambah ”lemas”.
Pada
zaman penjahahan Belanda dan Jepang, profesi seorang guru dipandang sebagi
profesi yang mulia dan bermartabat tinggi. Tidak banyak orang yang menjadi guru
pawa waktu itu. Seorang guru telah enjadi panutan bagi mansyarakat
disekitarnya. Guru dipandang sebagi proibadi yang arif, cerdas dan bijaksana.
Namun sekarang, pandangan itu sudah hampir tidak ada lagi. Perkembangan zaman
telah mebuat staus guru seperti tak ubahnya profesi lain yang tidak ”hebat”
seperti profesi dokter atau insyiur. Padahal, timbulnya profesi dokter,
insinyur dan lainya tidak terlepas dari pendiekan dari guru tenpat merek
menuntut ilmu. Sudiono (2007) mengatakan, profesi tentu saja meemilki
konsekuens, bukan saja kompetesi akadenmik, sosial atrau kompetrensi lainya.
Melainkan melekat apa yang disebut sebagi kaum profesional.Salah satunya guru
sebagi suatu golongan kaum profesional. Nasib profesional guru tidak secepat
dan secemerlang dengan profesi lainnya. Liahat saja, usaha pemerintah yang
berniat membatu guru dengan sebutan ”tunjangan profesional” tidak dengan sepenuh
hati. Seperti yang tertuang dalam UU Guru dan Dosen tahun 2005 yang dipandang
oleh beberapa ahli penedidikan belum menampung aspirasi guru. Belum lagi adanya
perbedaan tunjangan profesional antara guru PNS dangan non PNS. Guru PNS yang
sudah mempunyai gaji poko masih merasa belum cukup, apalagi guru non PNS, yang
gajinya tergantung pada jam pelajaran yang di asuh termasuk masalah berbagai
macam potongan. Dimana apresiasi terhadpa guru harus diletakkan sementara
pemerintah saja belum benar-benar memberi apresiasi kepada guru?
Bagi
guru PNS bolehlah bergembira sejenak. Pasalnya, pemerintah telah berencana
meninggkat tunjangan profesiona bagi guru untuk anggaran pendieikan tahuin
2009. Untuk guru PNS, total pendapatan seorang guru tingat Sarjana dapat mencapai
Rp.2,1 juta per bulan. Sementara bagi guru non PNS mereka,endapat Rp. 300.000
per bulan (aplikasinya terkadanga sampai berbulan-bulan baru dicairkan).
Pemerintah saja telah membuat perbedaan dalam memberi apresiasi kepad guru,
bagaimana dengan masyarakat?
Pada
dasarnya, guru sama sekali tidak emngharapkan apresiasi yang berlebihan dari
masyarakat. Bagi mereka mungkin cukuplah ucapan terima kasih dari orangtua
siswa atau rasa sopan dan taat dari anak didik mereka. Namaun kenyataannya,
banyak orangtua siswa kurang respek terhadap guru yang telkah mendidik anak
anak mereka. Mengfapa dem,ikian? Karean banyak orang tua yang sibuk bekerja,
menitipkan anknya di sekolah-sekolah ”full day school” merasa tak mau perduli
dengan keberadaan guru. Bagi orang tua, yang terpenting anak mereka mendapat
pendidikan sedusai dengan besar bieaya yag telah meraeka keluarkan,ketika hasil
akademiuk anak mereka taidak memuaskan, maka guru akan disalahkan. Sama sekali
oramng tua tidak melihat faktor-faktor yang menteukan keberhasilan pendiekan
anak mereka. Mereka (orangtua) hanya tau, bahwa gurlah yang bertanggung jawab
penuh terhadap peneidkan anak mereka. Ketika
anak mereka berhasil, mereka mengaanggap karena anak mereka pintar dan
disini peran guru tidak terkalu menonjol. Maish banyak lagi perilkau perilkau
terhadpguru yang kurang apresatif, baik dari anak didik sendiri, orang tua,
masyrakat maupoun pemerintah. Dengan demikian menjadi guru mungkin penuh dengan
”ujian hidup”.
Kebutuhan akan guru
Mungkin salahs atu faktor menjadi guru adalh
dibutuhkannya profesi guru untuk jumlah yang cukup bewsar. Melihat peluang
kerja yang demikian, maka banyak oerang mereka,emilih menjadi guru. Soal merek
siap untuk ditempatkan di pelosok desa mungkiun tidak menjadi menjadi maslah
bagi guru atau dari sektor pendidikan swasata yang sekarang menjamur,
membutuhkan tenaga kerja sebagai guru sehingga membuka peluang kerja bagi
tamatan pendidikan guru tak tetrtutup bagi tamatam pendidikan non guru (non
dik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar