OMONG-OMONG SASTRA :
MEMPERTAHANKAN TRADISI SILATURAHMI DAN BERKARYA
Oleh : M. Raudah Jambak
Sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan
kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi
dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki
pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang
dikandungnya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang
mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang
menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian
lama belum terumuskan.
Berdasarkan
persoalan itu kembali Omong-omong sastra (OOS) diaktifkan kembali. Mengingat
usianya yang tidak bisa dikatakan muda
lagi (beranjak 35 tahun), OOS merevitalisasi kembali persoalan-persoalan sastra
yang memang tidak akan pernah selesai.
Saripuddin lubis
pernah menyinggung bahwa Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera
Utara dianggap sebagai tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu
sastrawan Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air.
Pertama sekali
dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai peletak dasar
berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu muncullah nama Amir Hamzah,
pemuda dari Langkat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan Pujangga Baru.
Kemudian lahir
pula Chairil Anwar yang merupakan orang yang paling populer namanya dalam
wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih dianggap sebagai
ikon sastra di Indonesia
bersama Amir Hamzah. Jika diadakan survei, tentunya nama merekalah yang
menduduki peringkat pertama sastrawan di Tanah Air yang dikenal masyarakatnya.
Setelah itu,
perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada teman-teman
sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-nama sastrawan dari
Sumatera Utara mulai tenggelam ditelan zaman. Nama-nama yang masih bertahan
hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud
dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal di jagad sastra
nasional. Dan akhirnya, Saripuddin lubis menuturkan bahwa duaribuan kebangkitan
sastrawan terutama dari yang muda-muda, mulai merambah belantara sastra Indonesia.
35 Tahun Omong-Omong Sastra Sumatera Utara
Darwis Rifai Harahap ada menuliskan bahwa di abad serba digital ini, bahwa
banyak penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam
karena tak mampu bersaing. A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Ali Sukardi, Maulana
Samsuri, Aldian Arifin, masih terus bekarya walau usia mereka telah diatas enam
puluh lima tahun.
Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin
Siregar juga telah menghadap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari
angkatan Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat
tua. Kini muncul nama-nama sastrawan muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak,
Idris Siregar, Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah
nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran
budaya surat kabar yang ada di Sumatera Utara. Mampukah karya-karya mereka
berbicara di khazanah sastra Indonesia?
Persis seperti yang diungkapkan Darwis Rifai Harahap, penulis menangkap
sinyal-sinyal harapan. Bagaimana karya sastra sastrawan muda dapat bertahan
menembus zaman. Tidak mudah berpuas diri dengan apa yang dihasilkan. Pun tidak
langsung tinggi hati dengan satu dua karya yang dilahirkan.
Sastrawan harus terus menyimpan ‘kegelisahan’. Sastrawan harus melahirkan
‘kegelisahan’ itu. Oleh sebab itu, maka OOS yang beranjak 35 tahun ini harus
dipertahankan. Ia hadir tidak hanya sebagai ‘rumah’ nostalgia masa lalu, tetapi juga
tempat pembelajaran kualitas dan kuantitas karya, serta pengasahan mental. Hal
ini penting, sebab seperti yang pernah tetulis bahwa karya menyatakan kita kita
ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, tetapi kesombongan akan
menghancurkannya perlahan.
Terkadang ada yang berfikiran picik, mengatakan bahwa sastra bukan untuk
diomongkan, dipertengkarkan, atau kesabaran menikmati segala hidangan
nostalgia. Atau segelintir yang lain mengatakan bahwa belajar tidak harus di
Komunitas OOS. Semua terserah kita. Kita adalah makhluk yang bebas. Tetapi,
sebagai sebuah kekayaan OOS yang beranjak 35 tahun ini harus kita pertahankan,
walaupun kekisruhan pernah terjadi beberapa kali kepemimpinan.
Jujur, bahwa sampai sekarang komunitas OOS Sumatera Utara yang masih
bertahan sampai sekarang di Indonesia, bahkan dunia, mengingat usianya. Melahirkan
banyak sastrawan kawakan, seperti yang pernah disinggung sebelumnya.
Sekarang, bagaimana kita menjadikan OOS adalah milik semua sastrawan,
seniman, maupun budayawan Sumatera Utara, bukan milik segelintir orang yang
memang kebetulan termasuk sebagai penggagas OOS ini sebelumnya.
Mengingat Herman Ks, NA. Hadian, Rusli A. Malem, Awaluddin Ahmad, Z.
Pangaduan Lubis, dll, yang telah berjuang ikut mengharumkan kejayaan sastra
Sumatera Utara, maka wajarlah kiranya kita sedikit rendah hati untuk sama-sama
peduli sekaligus ikut andil dengan keberadaan OOS ini tanpa harus mengingat
segelintir orang yang sempat ‘menodai’ OOS Sumatera Utara ini.
Dengan berbiaknya komunitas sastra saat ini, seperti KSI (komunitas sastra
indonesia) medan, LABSAS, Komunitas Home Poetry, Komunitas Rumah Kata, KOMPAK,
KONTAN, KOMISI, juga sebelumnya ada FKS, Kedai Sastra Kecil, dll, wajarlah
kiranya yang kesemuanya itu saling berbagi ilmu, berbagi wawasan, termasuk
saling bersilaturahmi di Omong-Omong Sastra Sumatera Utara.
Juga diakui, tidak ada yang baru di bawah matahari. Dan walaupun matahari
mati berkali-kali ia akan tetap lahir esok pagi. Indah memang kalau kita saling
berbagi. Seperti sebuah keluarga ada orangtua yang mengayomi, juga
saudara-saudara saling berbagi kasihsayang, walau pertengkaran abang-adik, juga
orang tua dan anak, maupun suami-istri, toh tetap tidak akan pernah berhenti,
justru itu adalah kekayaan yang harus ada dalam setiap sisi kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar