Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan




Di mana ada kemauan, di situ ada jalan
Winda Sriana
                                    
Illegal alien adalah sebuah kisah nyata menjadi imigran gelap di Amerika Serikat. Kita ketahui Amerika Serikat merupakan kota impian bagi mereka yang mencari penghidupan yang lebih baik hingga berbondong-bondong jutaan manusia memasuki Amerika Serikat, mereka tidak saja datang dari Eropa, tapi juga dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Salah satunya warga Negara Indonesia yang bernama Surya yang punya semangat menyala-nyala untuk berjaya dan menaklukan Amerika Serikat.
 Kisahnya berawal pada tahun 1998 ketika menjadi seorang waiter di perusahaan kapal persiar milik perusahaan Amerika Serikat. Gaji yang ia peroleh US$4000 setiap bulannya, akan tetapi dengan penghasilan sebesar itu ia mengalami tekanan yang berat dan mendera. Terutama masalah tidur, sebab dalam batinnya kini itu adalah kebutuhan yang mendasar karena selalu saja terampas oleh timbunan berbagai tugas tambahan yang seolah tiada akhir. Keluhan ke pihak manejemen sudah tidak ada artinya lagi, sebab tidak ada seorangpun yang mengaharuskannya untuk bekerja di atas kapal pesiar itu. walaupun tempat itu memberikan puluhan ribu dolar setiap tahunnya, tapi surya merasa jenuh dengan pekerjaan yang hanya memberikan kesempatan untuk menemui bantal empat sampai lima jam setiap harinya, baginya itu sungguh keterlaluan!
Akhirnya ia memutuskan untuk official resign dari perusahan itu dengan prosedur yang mulus dan rapi. Ia pun sampai ke daratan Amerika Serikat dan kisah menjadi illegal alien pun dimulai. “If you never try, then you never know!” adalah kalimat bijak yang selalu menjadi tombak semangatnya, ia terus mencari informasi mencari pekerjaan di Amerika melalui agen-agen tenaga kerja tentu dengan imbalan komisi yang terjangkau. Dan ia mendapatkan pekerjaan yang juga menjadi waiter di kota bernama Jasper, dalam perjalanan ke kota itu ia sempat bertemu dengan orang Indonesia bernama Pak Supri. Dan Pak Supri salah satu orang yang akan banyak membantu Surya dalam korespodensi di AS. Selama 3 bulan lamanya ia bekerja di Jasper, dan ia pun dilanda kejenuhan karena dalam pikirnya berpetualang jauh-jauh mengembara ke negeri orang kurang begitu efektif, ia mengahadapi dilema, antara kenyamanan dan tantangan yang terasa hambar.
Dan ia kembali menelpon agen tenaga kerja, akhirnya beberapa restoran sudah ia tempati sebagai waiter, tapi penghasilannya kurang begitu besar dan juga ia harus terus bergerak agar dapat menyimpan statusnya sebagai imigran gelap. Hingga bertemu dengan teman yang pernah bekerja di kapal pesiar dulu bernama Sapto. Sapto awalnya punya kisah yang sama dengan Surya dan kini Sapto sudah sukses yaitu menjadi koki restoran jepang di kota Sapporo. Dan Suryapun mengikuti jejak Sapto bekerja di restoran tersebut. Awalnya Surya menjadi Waiter, tapi dengan banyak belajar dari Sapto ia pun juga menjadi koki yang dapat diandalkan dengan gaji yang fantastis. Kesuksesan Surya bukan hanya dalam pekerjaan, dengan uluran tangan Pak Supri, Surya kini telah mengantongi ID Card alias KTP di Amerika.
  Kisah di sajikan dalam cerita ini tidak membosankan dengan gaya yang dinamis membuat pembaca terus ingin membaca untuk mengetahui kisah apa lagi yang akan dilakukan Surya dalam perjalanannya yang luarbiasa di Negara adikuasa itu. Penggambaran setting atau tempatnya sangat jelas membuat pembaca benar-benar berada di Amerika dengan memberikan peta perjalanan yang dilalui oleh Surya.
Banyak sekali kisah diceritakan oleh Surya, salah satu yang dapat mengocok perut kita yaitu tentang dukun dari lereng Merapi dapat menghirup udara Amerika Serikat dengan tujuan yang aneh dari Sapto. Sapto dapat dikatakan lebih berhasil daripada Surya akan tetapi uang yang dihasilkannya habis sia-sia di pusat judi Las Vegas. Sudah banyak sekali uang yang sudah ia habiskan disana hingga status Sapto dapat dikatakan masuk pada taraf gawat darurat. Hingga akhirnya ia punya ide untuk menghubungi dukun ampuh di lereng Merapi, hingga dukun itu dia boyong ke Amerika.
  Kisah selanjutnya yaitu Surya akhirnya mempunyai mobil yang sangat mewah di AS, dan ia berhasil kuliah di Universitas of North Carolina. Misinya kuliah bukan hanya untuk gagah-gagahan kalau dapat diploma di universitas itu, akan tetapi untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih detail, dan bergaul dengan orang-orang intelek. Pergaulan itu tentu akan banyak menfaatnya untuk mengubah pola pikirnya.
Masih banyak kisah-kisah yang ia curahkan dalam buku ini, seperti ramdhan yang ia rasakan di Negara minoritas Islamnya, lalu bagaimana cara surya berkelit dari petugas imigrasi dalam kepulangannya ke Indonesia, hingga perannya dalam mendatangkan kawan-kawan setanah air untuk bekerja secara legal dan kemudian berhasil. Inilah kisah yang menceritakan semangat pemuda Indonesia, bagai bara yang sulit padam di tengah timbunan apatisme dan kendurnya semangat survival di setiap dada pemuda Indonesia yang lebih cenderung mendapatkan sesuatu secara instant. Belajar dari pengalaman hidup di Amerika Serikat, seolah mengajarkan banyak hal tentang kekurangan di sana sini akan tanah airnya. Negara sebesar Amerika Serikat bisa berdiri kokoh, sebagai Negara adidaya, ternyata berangkat dari persoalan: cara berpikir! Tak ada salahnya kita belajar dari sana. (winda sriana)


Penulis : Agung Suryawan, Hartono Rakiman
Judul : Ilegal Alien
Penerbit : mediakita
Tebal : 264 hlm
Isbn: 979-794-308-9
Tahun terbit:  2011

   Penulis adalah Mahasiswi jurusan bahasa dan sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan seni, UNIMED.

-----
Saya heran, kenapa buku ini di negera asalnya dikategorikan ke dalam buku anak-anak dan remaja. Padahal, membaca konsep dan muatan di dalamnya, buku ini layak untuk dikategorikan ke dalam buku dewasa. Sementara anak-anak dan remaja di negara kita disuguhi bacaan-bacaan klise percintaan ala teenlit, di negara lain telah disuguhi The Hunger Games yang penuh dengan alegori kekinian, pertarungan hidup dan mati dan gambaran peradaban yang “sakit”.
The Hunger Games berlatar di sebuah negara distopis yang berdiri di atas reruntuhan Amerika Utara setelah serangkaian malapetaka, bencana peradaban, badai, kekeringan, kelaparan dan perang. Negara itu bernama Panem yang berpusat dan dikendalikan oleh Capitol. Di luar Capitol adalah 13 distrik yang secara kualitas peradaban jauh berbeda dengan Capitol. Sebagai hukuman atas pemberontak distrik pada masa lalu, distrik ke 13 dibumihanguskan dan 12 distrik lainnya terikat pada sebuah perjanjian perdamaian yang bernama Hunger Games, di mana setiap tahunnya, masing-masing distrik harus mengirimkan seorang anak perempuan dan lelaki untuk perlombaan bertahan hidup dan bertarung sampai mati di sebuah arena maha luas dalam sebuah acara reality show yang ditayangkan secara langsung di televisi. Dengan Hunger Games, Capitol seolah-olah hendak menyampaikan pesan “Lihat bagaimana kami mengambil anak-anakmu dan mengorbankan mereka, dan tak ada yang bisa kaulakukan untuk menghalanginya.”(hal. 26)
Katniss Everdeen, gadis 16 tahun dari distrik 12 yang memiliki keahlian berburu dan memanah, mengajukan diri menggantikan adik perempuannya yang terpilih menjadi peserta Hunger Games. Bersama Peeta Mallark, anak seorang tukang roti, keduanya menjadi perwakilan dari distrik 12 untuk bertarung dengan 22 peserta dari distrik lain. Distrik yang memenangkan Hunger Games akan mendapatkan hadiah-hadian dan kemewahan yang berlebih dari Capitol. Namun hanya akan ada satu pemenang dalam Hunger Games, hal ini berarti mau tidak mau, jika ia ingin bertahan hidup dan memenangkan pertarungan, demi keluarganya dan distriknya, ia harus membunuh Peeta yang sekali waktu pernah menolongnya saat ia dilanda kelaparan.
Buku ini dituturkan lewat pandangan Katniss, pembaca diajak mengikuti tahap demi tahap Hunger Games, sebuah acara pembantaian yang telah menjelma menjadi sebuah perayaan dan budaya pop yang disebarkan lewat media televisi. Sebelum pertarungan dimulai, para peserta dirias dan didandani seolah hendak menghadiri perhelatan akbar sebuah peragaan busana. Wawancara terhadap para peserta pun dilakukan ala talk show selebritas, dengan puluhan kamera yang siap menyiarkannya secara langsung ke seluruh penjuru Panem. Semuanya dilakukan demi kemewahan acara televisi dan kepuasan penonton. Sementara dalam pertarungan nantinya, para peserta akan saling bantai demi bertahan hidup dan menang. Sebuah perayaan yang absurd dalam menjemput kematian.
Dalam arena Hunger Games, apa yang tampak nyata bisa jadi hanyalah artificial dan apa yang tampaknya artificial justru bisa jadi adalah yang benar-benar nyata.  Para juri bisa melakukan apapun terhadap arena demi membuat pertarungan lebih seru dan menegangkan. Kamera-kamera tersembunyi telah ditempatkan di mana-mana, siap untuk merekam dan menyiarkan setiap perilaku dan perkataan para peserta kepada para penonton. Hal-hal kecil yang dilakukan dan dikatakan oleh para peserta juga menentukan ada tidaknya sponsor yang akan mengirimi mereka hadiah-hadiah. Hadiah-hadiah dari sponsor sampai kepada para peserta lewat sebuah parasut kecil yang mendarat tepat di dekat peserta di manapun peserta berada dalam arena Hunger Games. Oleh karena itu, Katniss harus memperhitungkan setiap gerak-gerik dan perkataannya apakah bisa mengundang simpati dan emosi para penonton dan sponsor, termasuk benih-benih cintanya terhadap Peeta yang sedikit demi sedikit timbul selama berlangsungnya pertarungan.
Katniss memiliki semua bakat untuk menjadi pemenang. Selain ia telah terbiasa hidup di hutan, berburu binatang buruan dengan panahnya, dan mengenali tumbuh-tumbuhan yang bisa digunakan untuk obat dan bahan makanan. Sudah bisa dipastikan bahwa Katniss lah yang akan memenangkan Hunger Games. Tentunya, orang tidak akan rela bersusah payah membaca kisah pertualangan dan pertempuran seorang gadis semenarik dan dengan karakter yang kuat, hanya untuk mendapati gadis tersebut mati pada akhirnya. Bagaimana Katniss menjalani proses menuju pemenangan itulah buku ini diceritakan, tentunya dengan beberapa kejutan dan perkembangan karakter Katniss seiring bergulirnya Hunger Games.
Lewat The Hunger Games, Suzanne Collins seolah ingin menunjukkan kegamangan identitas manusia di bawah tekanan budaya televisi. Acara-acara reality show yang seringnya mengklaim bahwa apa yang ditayangkan adalah benar-benar realitas, tidak jarang penuh dengan manipulasi demi memanjakan penonton. Bahkan, lebih dari sekedar alat hiburan, televisi pun menjadi alat bagi penguasa sebagai media propaganda untuk menegaskan kekuasaannya. Realitas yang tampak dan ditampakkan dalam televisi menjadi ambigu dan artificial. Realitas dalam pentas. Realitas manipulatif.
The Hunger Games adalah buku pertama dari trilogi yang telah direncanakan. Buku kedua berjudul Catching Fire dan buku ketiga Mockingjay. Dalam waktu dekat novel ini akan diadaptasi ke dalam bentuk film.
Judul buku    : The Hunger Games
Pengarang    : Suzanne Collins
Penerjemah    : Hetih Rusli
Penerbit    : Gramedia
Cetakan        : Oktober 2009
 
 
Judul : Balada Ching-Ching dan Balada Lainnya
Penulis : Maggie Tiojakin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2010
Tebal : 175 hlm
Balada Ching-Ching adalah sebuah kumpulan 13 cerita pendek karya cerpenis muda Maggie Tiojakin. Maggie adalah cerpenis yang biasa menulis cerpen-cerpennya dalam bahasa Inggris dan banyak dimuat di media-media berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post, Writers Journal, La Petite Zine, Voice, dll. Sebelum meluncurkan kumpulan cerpen ini, Maggie yang pernah mereguk ilmu kepenulisan keratifnya di Boston AS ini pada 2006 yg lalu telah menerbitkan kumpulan cerpen berbahasa Inggris yang berjudul Homecoming (And Other Stories).
Karena terbiasa menulis cerpen dalam bahasa Inggris, otomatis ia tak memiliki stok cerpen berbahasa Indonesia yang cukup untuk dijadikan buku, karenanya untuk kepentingan penerbitan buku ini Maggie harus menerjemahkan sembilan cerpennya kedalam bahasa Indonesia.
Dikemas dalam balutan cover bergaya minimalis dalam sapuan warna merah marun dengan ilustrasi sebuah sebuah jendela yang terbuka, cover ini seolah mengajak pembacanya untuk memasuki kisah balada Ching-Ching dan balada lainnya. Merajuk pada judul buku yang mencantumkan kata ‘balada’ maka setidaknya pembaca sudah diberi petunjuk kira-kira kisah seperti apa yang hendak ditawarkan dalam buku ini.
Jika kita membuka kamus besar Bahasa Indonesia, maka kita akan mendapatkan definisi dari kata balada yaitu: sajak sederhana yg mengisahkan cerita rakyat yg mengharukan. Jika merajuk pada definisi seperti dalam kamus sepertinya agak kurang tepat karena keseluruhan kisah dalam buku ini bukanlah cerita rakyat, hanya saja memang semuanya berisi kisah manusia-manusia biasa dengan problemanya yang umunya terkesan suram walau tak sampai membuat pembacanya tertekan.
Cerpen Balada Ching Ching yang dijadikan judul untuk buku ini menceritakan tentang seorang gadis Tionghoa yang selalu menjadi bulan-bulanan disekolahnya. Ia bukanlah anak orang kaya karena ayahnya hanyalah seorang pedagang kwetiaw pinggiran. Keberadaannya sebagai etnis minoritas di sekolahnya yang menyebabkan dirinya senantiasa diejek dan kehidupan sederhananya dengan seorang ayah yang keras inilah yang dikisahkan dalam cerpen ini
Saya tak akan membahas satu persatu seluruh cerpen dalam buku ini, namun ada beberpa cerpen yang bagi saya tampak kuat dan menonjol dalam buku ini. Salah satu cerpen favorit saya adalah “Liana, liana” dimana menceritakan tokoh Liana yang sedang menunggu ibunya pulang dari supermarket. Tidak seperti biasanya dimana ibunya selalu tiba tepat waktu, kali ini ibunya tak kunjung pulang.
Hal ini menyebabkan Liana merasa khawatiran sehingga ia mencoba menyusun skenario dalam pikirannya kira-kira apa penyebab keterlambatan ibunya. Kekhawatirannya memuncak ketika ia membaca headline di surat kabar mengenai kematian seorang wanita yang ditabrak truk pengangkut bahan bakar. Kisah yang menarik karena di cerpen ini pembaca bukan diajak membaca sebuah kisah real melainkan diajak menyelami khayalan-khayalan apa yang ada dalam benak Liana ketika menunggu ibunya pulang.
Cerpen berjudul “Kawin Lari” juga tak kalah menariknya. Ini adalah kisah paling pendek dari semua cerpen yang ada. Dikisahkan dua remaja yang memutuskan untuk kawin lari. Mereka lantas pergi ke Las Vegas naik bus umum. Separuh jalan mereka sadar bahwa tak ada jalan kembali karenanya si gadis berusaha untuk terus meyakinkan dirinya bahwa pilihannya tidaklah salah. Walau kisahnya pendek saja namun melalui dialog-dialog singkat antara dua tokohnya ini penulis mampu memberikan gambaran pada pembacanya bagaimana khawatirnya si gadis akan masa depannya kelak.
Jika kawin lari adalah cerpen terpendek dalam buku ini, maka cerpen “Dua Sisi” merupakan cerpen terpanjang, dibutuhkan 52 halaman untuk mengisahkan tokoh bernama Andari, pemuda Indonesia yang berkerja di New Yrok. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana runtuhnya menara kembar WTC. Kejadian ini mempertemukan dirinya dengan seroang gadis asal Beirut bernama Aysah. Pertemuannya ini melahirkan sebuah persahabatan bahkan berujung pada rasa saling mencintai.
Melalui dialog dan berbagai peristiwa yang dialami Andari dan Aysah pembaca akan diajak memahami peristiwa WTC dari dua sisi yang berbeda. Andari yang tadinya bersikukuh bahwa apapun alasannya peristiwa yang membuat korban berjatuhan adalah hal yang tidak dapat ditorelir dari sisi kemanusiaan akhirnya gamang ketika ia disadarkan bahwa ada sisi lain dimana ia perlu melihat dari kacamata yang berbeda dibalik peristiwa penyerangan gedung tersebut. Yang jadi acungan jempol adalah di cerpen ini penulis tidak terjebak untuk menggiring pembacanya untuk memihak pihak tertentu melainkan hanya membuka pengertian dan mengajak pembacanya untuk melihat sisi lain dari peristiwa yang menggedor sisi kemanusiannnya ini. Dan satu lagi yang membuat cerpen ini istimewa adalah kejutan di bagian akhirnya yang membuat pembacanya terhenyak.
Jika mencermati keseluruhan cerpen yang ada maka yang menjadi keistimewaan cerpen-cerpen dalam buku ini adalah kisah-kisahnya yang diangkat dari peristiwa keseharian. Hanya cerpen “dua sisi” yang agak istimewa karena mengisahkan peristiwa yang luar biasa. Selebihnya hanyalah kisah-kisah biasa yang mungkin juga kita alami seperti saat menunggu di ruang tunggu dokter, kisah seorang terapis, keseharian suami istri, persahabatan, seorang perawat yang berharap adanya muzizat atas pasiennya, dll.
Penuturan penulis dalam cerpen-cerpennya juga sederhana, tidak ada kalimat-kalimat yang rumit, tidak ada kalimat-kalimat bersayap dengan metafor-metafor yang ajaib yang akan membuai pembacanya. Tidak, tampaknya penulis tak menekankan pada keindahan dan kerumitan dalam menyajikan cerpen-ceprennya. Kekuatan cerpen ini justru terletak pada kesederhanannya, keefektifan merangkai kalimat, maupun realitas ceritanya yang membuat seluruh kisahnya menjadi tak berjarak dengan kehidupan pembacanya.
Ada yang mengatakan bahwa gaya penulisan Maggie dalam buku ini kental dengan warna penceritaan penulisan dalam bahasa inggris. Lalu seorang pembaca dalam reviewnya di Goodreads mengungkapkan keistimewaan cerpen- cerpen Maggie yang tidak menghadirkan cerita-cerita yang biasa kita temukan di cerpen-cerpen lokal walaupun settingnya di Jakarta. Karenanya tak heran Duncan Graham dari The Jakarta Post menyebut Maggie sebagai penulis global. Sisi ini yang saya rasa bisa dipertajam oleh Maggie sehingga jika terus ditekuni dan setia pada cara penulisannya seperti ini maka bukan tak mungkin karya-karya Meggie akan lebih dikenal dan disukai baik di dalam maupun di luar negeri
Dari segi penokohan, karakter-karakter tokoh yang dibangunpun tak berlebihan dan semua menggambarkan apa yang mungkin sedang kita alami seperti kesedihan, kegelisahan, kegagalan, obsesi, penantian dll. Semua itu seolah mewakili apa yang dialami oleh setiap manusia dalam perjalanan hidupnnya. Jika dicermati, ending dari setiap cerpen-cerpen dalam buku ini dibiarkan menggantung, bagi saya pribadi hal ini sangat menarik karena memberi ruang bagi pembacanya untuk melanjutkan imajinasinya dan mengembangkan sendiri karakter tokoh dan situasi dan akhir dari cerita yang dibacanya.
Satu-satunya kritik untuk buku ini adalah mengenai judulnya. Setelah membaca semua cerpen yang ada, sepertinya judul ‘Balada Ching Ching dan balada lainnya’ kurang merepresentasikan seluruh cerpen yang ada. Dan saya rasa cerpen Balada Ching-ching juga bukanlah cerpen yang terkuat dari ketiga belas cerpen yang ada. Mungkin ini strategi pemasaran karena judulnya memang menarik, mudah diingat, dan membuat penasaran, namun saya rasa masih ada cerpen-cerpen lain dalam buku ini yang lebih kuat dan bisa lebih mewakili ke-13 cerpen yang ada.


Kampung Bunian yang Musnah

Intan Hs

Judul Buku               : Bunian
                                      Musnahnya sebuah Peradaban
Penulis                       : Azwar Nazir (Nama Pena: Sutan Malaka)
Penerbit                    : Masmedia Buana Pustaka
Terbit                                    : I – Oktober 2009
Tebal                          : 236 Halaman
Enam orang remaja yang sering melakukan pendakian, tetapi pendakian di Gumung Merapi yang terkenal dengan mitosnya tentang kehidupan makhluk gaib penghuni hutan menjadi pendakian terakhir mereka. Adalah Maya dan Bara yang selamat dari maut di mangsa inyiak (Kakek atau harimau_ Bahasa Minangkabau), namun seperti selamat dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, keduanya semakin tersesat ke dalam hutan belantara dan mencapai sebuah kampung yang aneh yaitu kampung Bunian.
Maya dan Bara benar-benar tak tahu berada di mana. Kampung Bunian seperti sebuah negeri yang jauh, yang mungkin tak ada dalam dunia sebenarnya. Pada saat seperti ini, Bara teringat tentang sebuah kisah pada saat ia berusia lima tahun. Pernah suatu hari, bapak terburu-buru pulang ketika senja sudah tiba, karena seharian bekerja di sawah tidak ingat waktu. Sawah itu berbatasan langsung dengan hutan, pada saat itu nampaklah kesibukan orang-orang di pinggir hutan yang seperti baru pulang dari pasar. Bara ingin masuk ke dalam hutan karena mencium harum rendang, tetapi bapaknya berjalan tergesa-gesa  menjauhi hutan seperti menghindari sesuatu.
Dalam perjalanan pulang itulah, Bara melihat ke belakang sekali-kali. Orang-orang di tepi hutan itu tampak bergembira sambil tertawa sesama mereka. Bara merasa bahagia dengan suasana di tepi hutan yang seperti sedang berpesta besar.
“Pak, aku ingin pergi ke pesta mereka.” Ucap Bara ketika itu.
“Hus, jangan berkata begitu. Tidak baik.” Ucap Bapak dalam kecemasan
Sejak saat itu, Bara tak boleh lagi pergi ke hutan. Bara telah kelepasan bicara saat itu, dan bisa saja kenyataannya telah terjadi saat ini, ia telah berada bersama mereka.
Bara masih menerka tentang yang sebenarnya terjadi, namun semua belum dapat jawabannya. Dalam keadaan yang masih ragu, Maya dan Bara digiring ke sebuah tempat berkumpul yang biasa disebut “Medan Nan Bapaneh”. Mereka seperti pesakitan yang diarak menuju alun-alun kampung, suara yang riuh gemuruh dari masyaralat membuat hatinya gentar. “Bunuh saja. Hanyutkan ke sungai. Kubur hidup-hidup.” Bunyi teriakan itu.
Sebuah hukuman akan dijatuhkan kepada mereka, padahal keduanya tidak pernah mengerti kesalahannya sama sekali, yang memang tak pernah diperbuatnya terhadap orang-orang yang belum pernah dikenal sebelumnya. Mereka bagaikan persembahan untuk pengorbanan seperti di negeri Yunani kuno.
Inikah orang bunian? Bara berusaha mengingat berdasarkan manuskrip-manuskrip yang dipelajarinya dalam Filologi, saat pertama turun dari kapal yang terdampar di puncak Gunung Merapi, ada delapan suku besar pada gelombang pertama yang mencari kampung ke arah bawah. Salah satu dari delapan suku gelombang pertama yang mencari kampung ke arah bawah itu menghilang dan diperkirakan meninggal, karena tidak mampu bertahan di daerah yang baru di tempati. Sejak saat itulah suku yang dianggap punah menjadi orang-orang bunian yang hidup dengan cara mereka sendiri. Orang Bunian adalah bagian dari masyarakat Minangkabau lama yang memisahkan diri dari tatanan hukum adat Minangkabau.
Di kampung bunian itu, terdapatlah seorang pemuda bernama Sutan. Sutan telah membawa orang luar untuk menghancurkan kampungnya sendiri akibat sakit hati terhadap Tuanku. Awal sakit hati yang bermula dari jatuh cinta kepada Putri Raja Kampung Bunian_Datuk Maharajo. Tuanku yang adalah temannya sendiri lebih dipilih untuk dinikahkan dengan Putri Datuk Maharajo.
Sultan pun tak pernah menduga bahwa dirinya telah mengkhianati seluruh masyrakat di kampung. Pengkhiantan yang bermula dari rasa sakit hati telah membuat asap mengepul di Kampung Bunian, juga bau bangkai yang mengudara. Burung-burung pun mulai mematuki tubuh-tubuh yang tak terbakar.
Dan kampung Bunian yang pernah disinggahi oleh Bara, telah memerah karena percikan darah. Hanyalah satu tujuan Bara hingga sampai disini, yaitu untuk Maya. Maya yang dahulu memutuskan untuk tinggal di kampung ini, tak akan pernah lagi dilihatnya untuk selama-lamanya.


Biodata

Nama/nama pena                     : Rosintan Hsb, S. Pd/ Intan Hs.
Alumni                                    : S-1 FMIPA Pend. Biologi Universitas Negeri Medan
Tempat/tgl lhr                          : Medan/28-09-1981
Alamat                                                : Jln. 4 No. 4 CD lingk 6 Pulo Brayan Bengkel Medan
                                                   Kode pos 20239
Agama                                     : Islam
Pekerjaan                                 : Guru IPA Terpadu di beberapa sekolah SLTP/Mts Swasta
                                                  Dan juga Guru Biologi di SMA Swasta Kota Medan ( dan            
                                                  Sekarang menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah di SMP
                                      Bina Satria Mulia Jln Aluminium N0.10, dan wali kelas di
                                      SMP Karya Bhakti Jln. Karya Ujung)
Hobi                                        : Menulis, pecinta sastra.
No. Hp                                                : 081396699610

Pengalaman Bidang Pendidikan

  1. Wakil kepala Sekolah SMP BINA SATRIA MULIA Medan, jln Alumunium 1 no. 10 dari tahun 2007 s/d 2009
  2. Wali kelas Sekolah SMP KARYA BHAKTI Medan, jln. Karya ujung dari tahun 2007s/d sekarang
  3. Wali kelas  Sekolah SMP BINA SATRIA MULIA Medan, jln Alumunium 1 no. 10 dari tahun 2007 s/d 2009
  4. Guru bidang studi IPA Terpadu di sekolah sbb:
    1. SMP BINA SATRIA MULIA Medan, jln Alumunium 1 no. 10 dari tahun 2005 s/d 2009
    2. SMP KARYA BHAKTI Medan, jln. Karya ujung dari tahun 2005 s/d sekarang
    3. MTS SW. BABUL U’LUM jln Pajak Rambe dari tahun 2008 s/d sekarang
  5. Guru bidang studi Biologi di sekolah SMA SWASTA PULAU BRAYAN   DARAT, jln bilal ujung gang sekolah dari 2005 s/d 2009

Pengalaman Organisasi

  1. Sekretaris Remaja Mesjid Bustanul Huda Jln 5 Lingk.6 Pulo Brayan Bengkel Tahun 2006 s/d 2008
  2. Seksi bidang Sosial Ekonomi PK. KH. Ahmad Dahlan IMM FMIPA UNIMED Tahun 2003 s/d 2005
  3. Anggota  FLP Sumut Angkatan Ke-3
  4. Anggota Lembaga Baca Tulis (eL Be Te)
  5. Anggota Komisi Usaha Dana Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar