Di
mana ada kemauan, di situ ada jalan
Winda Sriana
Illegal alien adalah sebuah kisah nyata menjadi imigran gelap di Amerika
Serikat. Kita ketahui Amerika Serikat merupakan kota impian bagi mereka yang
mencari penghidupan yang lebih baik hingga berbondong-bondong jutaan manusia
memasuki Amerika Serikat, mereka tidak saja datang dari Eropa, tapi juga dari
Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Salah satunya warga Negara Indonesia yang bernama Surya yang
punya semangat menyala-nyala untuk berjaya dan menaklukan Amerika Serikat.
Kisahnya
berawal pada tahun 1998 ketika menjadi seorang waiter di perusahaan kapal
persiar milik perusahaan Amerika Serikat. Gaji yang ia peroleh US$4000 setiap
bulannya, akan tetapi dengan penghasilan sebesar itu ia mengalami tekanan yang
berat dan mendera. Terutama masalah tidur, sebab dalam batinnya kini itu adalah
kebutuhan yang mendasar karena selalu saja terampas oleh timbunan berbagai
tugas tambahan yang seolah tiada akhir. Keluhan ke pihak manejemen sudah tidak
ada artinya lagi, sebab tidak ada seorangpun yang mengaharuskannya untuk
bekerja di atas kapal pesiar itu. walaupun tempat itu memberikan puluhan ribu
dolar setiap tahunnya, tapi surya merasa jenuh dengan pekerjaan yang hanya
memberikan kesempatan untuk menemui bantal empat sampai lima jam setiap harinya, baginya itu sungguh
keterlaluan!
Akhirnya ia memutuskan untuk official resign dari
perusahan itu dengan prosedur yang mulus dan rapi. Ia pun sampai ke daratan Amerika
Serikat dan kisah menjadi illegal alien pun dimulai. “If you never
try, then you never know!” adalah kalimat bijak yang selalu menjadi tombak
semangatnya, ia terus mencari informasi mencari pekerjaan di Amerika melalui
agen-agen tenaga kerja tentu dengan imbalan komisi yang terjangkau. Dan ia
mendapatkan pekerjaan yang juga menjadi waiter di kota bernama Jasper,
dalam perjalanan ke kota itu ia sempat bertemu dengan orang Indonesia bernama
Pak Supri. Dan Pak Supri salah satu orang yang akan banyak membantu Surya dalam
korespodensi di AS. Selama 3 bulan lamanya ia bekerja di Jasper, dan ia pun
dilanda kejenuhan karena dalam pikirnya berpetualang jauh-jauh mengembara ke
negeri orang kurang begitu efektif, ia mengahadapi dilema, antara kenyamanan
dan tantangan yang terasa hambar.
Dan ia kembali menelpon agen tenaga kerja, akhirnya
beberapa restoran sudah ia tempati sebagai waiter, tapi penghasilannya kurang
begitu besar dan juga ia harus terus bergerak agar dapat menyimpan statusnya
sebagai imigran gelap. Hingga bertemu dengan teman yang pernah bekerja di kapal
pesiar dulu bernama Sapto. Sapto awalnya punya kisah yang sama dengan Surya dan
kini Sapto sudah sukses yaitu menjadi koki restoran jepang di kota Sapporo. Dan
Suryapun mengikuti jejak Sapto bekerja di restoran tersebut. Awalnya Surya
menjadi Waiter, tapi dengan banyak belajar dari Sapto ia pun juga
menjadi koki yang dapat diandalkan dengan gaji yang fantastis. Kesuksesan Surya
bukan hanya dalam pekerjaan, dengan uluran tangan Pak Supri, Surya kini telah
mengantongi ID Card alias KTP di Amerika.
Kisah di sajikan dalam cerita ini tidak
membosankan dengan gaya yang dinamis membuat pembaca terus ingin membaca untuk
mengetahui kisah apa lagi yang akan dilakukan Surya dalam perjalanannya yang
luarbiasa di Negara adikuasa itu. Penggambaran setting atau tempatnya
sangat jelas membuat pembaca benar-benar berada di Amerika dengan memberikan
peta perjalanan yang dilalui oleh Surya.
Banyak sekali kisah diceritakan oleh Surya, salah satu
yang dapat mengocok perut kita yaitu tentang dukun dari lereng Merapi dapat
menghirup udara Amerika Serikat dengan tujuan yang aneh dari Sapto. Sapto dapat
dikatakan lebih berhasil daripada Surya akan tetapi uang yang dihasilkannya
habis sia-sia di pusat judi Las Vegas. Sudah banyak sekali uang yang sudah ia
habiskan disana hingga status Sapto dapat dikatakan masuk pada taraf gawat
darurat. Hingga akhirnya ia punya ide untuk menghubungi dukun ampuh di lereng
Merapi, hingga dukun itu dia boyong ke Amerika.
Kisah selanjutnya yaitu Surya akhirnya
mempunyai mobil yang sangat mewah di AS, dan ia berhasil kuliah di Universitas
of North Carolina. Misinya kuliah bukan hanya untuk gagah-gagahan kalau dapat
diploma di universitas itu, akan tetapi untuk mendapatkan pengetahuan yang
lebih detail, dan bergaul dengan orang-orang intelek. Pergaulan itu tentu akan
banyak menfaatnya untuk mengubah pola pikirnya.
Masih banyak kisah-kisah yang ia curahkan dalam buku ini,
seperti ramdhan yang ia rasakan di Negara minoritas Islamnya, lalu bagaimana
cara surya berkelit dari petugas imigrasi dalam kepulangannya ke Indonesia,
hingga perannya dalam mendatangkan kawan-kawan setanah air untuk bekerja secara
legal dan kemudian berhasil. Inilah kisah yang menceritakan semangat pemuda
Indonesia, bagai bara yang sulit padam di tengah timbunan apatisme dan
kendurnya semangat survival di setiap dada pemuda Indonesia yang lebih
cenderung mendapatkan sesuatu secara instant. Belajar dari pengalaman hidup di
Amerika Serikat, seolah mengajarkan banyak hal tentang kekurangan di sana sini
akan tanah airnya. Negara sebesar Amerika Serikat bisa berdiri kokoh, sebagai
Negara adidaya, ternyata berangkat dari persoalan: cara berpikir! Tak ada
salahnya kita belajar dari sana. (winda sriana)
Penulis : Agung Suryawan, Hartono Rakiman
Judul : Ilegal Alien
Penerbit : mediakita
Tebal : 264 hlm
Isbn:
979-794-308-9
Tahun
terbit: 2011
Penulis adalah Mahasiswi jurusan bahasa dan
sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan seni, UNIMED.
-----
Saya heran, kenapa buku ini di negera asalnya
dikategorikan ke dalam buku anak-anak dan remaja. Padahal, membaca konsep dan
muatan di dalamnya, buku ini layak untuk dikategorikan ke dalam buku dewasa.
Sementara anak-anak dan remaja di negara kita disuguhi bacaan-bacaan klise
percintaan ala teenlit, di negara lain telah disuguhi The Hunger Games yang
penuh dengan alegori kekinian, pertarungan hidup dan mati dan gambaran
peradaban yang “sakit”.
The Hunger Games berlatar di sebuah negara
distopis yang berdiri di atas reruntuhan Amerika Utara setelah serangkaian
malapetaka, bencana peradaban, badai, kekeringan, kelaparan dan perang. Negara
itu bernama Panem yang berpusat dan dikendalikan oleh Capitol. Di luar Capitol
adalah 13 distrik yang secara kualitas peradaban jauh berbeda dengan Capitol.
Sebagai hukuman atas pemberontak distrik pada masa lalu, distrik ke 13
dibumihanguskan dan 12 distrik lainnya terikat pada sebuah perjanjian
perdamaian yang bernama Hunger Games, di mana setiap tahunnya, masing-masing
distrik harus mengirimkan seorang anak perempuan dan lelaki untuk perlombaan
bertahan hidup dan bertarung sampai mati di sebuah arena maha luas dalam sebuah
acara reality show yang ditayangkan secara langsung di televisi. Dengan Hunger
Games, Capitol seolah-olah hendak menyampaikan pesan “Lihat bagaimana kami
mengambil anak-anakmu dan mengorbankan mereka, dan tak ada yang bisa kaulakukan
untuk menghalanginya.”(hal. 26)
Katniss Everdeen, gadis 16 tahun dari distrik 12
yang memiliki keahlian berburu dan memanah, mengajukan diri menggantikan adik
perempuannya yang terpilih menjadi peserta Hunger Games. Bersama Peeta Mallark,
anak seorang tukang roti, keduanya menjadi perwakilan dari distrik 12 untuk
bertarung dengan 22 peserta dari distrik lain. Distrik yang memenangkan Hunger
Games akan mendapatkan hadiah-hadian dan kemewahan yang berlebih dari Capitol.
Namun hanya akan ada satu pemenang dalam Hunger Games, hal ini berarti mau
tidak mau, jika ia ingin bertahan hidup dan memenangkan pertarungan, demi
keluarganya dan distriknya, ia harus membunuh Peeta yang sekali waktu pernah
menolongnya saat ia dilanda kelaparan.
Buku ini dituturkan lewat pandangan Katniss,
pembaca diajak mengikuti tahap demi tahap Hunger Games, sebuah acara
pembantaian yang telah menjelma menjadi sebuah perayaan dan budaya pop yang
disebarkan lewat media televisi. Sebelum pertarungan dimulai, para peserta
dirias dan didandani seolah hendak menghadiri perhelatan akbar sebuah peragaan
busana. Wawancara terhadap para peserta pun dilakukan ala talk show selebritas,
dengan puluhan kamera yang siap menyiarkannya secara langsung ke seluruh
penjuru Panem. Semuanya dilakukan demi kemewahan acara televisi dan kepuasan
penonton. Sementara dalam pertarungan nantinya, para peserta akan saling bantai
demi bertahan hidup dan menang. Sebuah perayaan yang absurd dalam menjemput
kematian.
Dalam arena Hunger Games, apa yang tampak nyata
bisa jadi hanyalah artificial dan apa yang tampaknya artificial justru bisa
jadi adalah yang benar-benar nyata. Para
juri bisa melakukan apapun terhadap arena demi membuat pertarungan lebih seru
dan menegangkan. Kamera-kamera tersembunyi telah ditempatkan di mana-mana, siap
untuk merekam dan menyiarkan setiap perilaku dan perkataan para peserta kepada
para penonton. Hal-hal kecil yang dilakukan dan dikatakan oleh para peserta
juga menentukan ada tidaknya sponsor yang akan mengirimi mereka hadiah-hadiah.
Hadiah-hadiah dari sponsor sampai kepada para peserta lewat sebuah parasut
kecil yang mendarat tepat di dekat peserta di manapun peserta berada dalam
arena Hunger Games. Oleh karena itu, Katniss harus memperhitungkan setiap
gerak-gerik dan perkataannya apakah bisa mengundang simpati dan emosi para
penonton dan sponsor, termasuk benih-benih cintanya terhadap Peeta yang sedikit
demi sedikit timbul selama berlangsungnya pertarungan.
Katniss memiliki semua bakat untuk menjadi
pemenang. Selain ia telah terbiasa hidup di hutan, berburu binatang buruan
dengan panahnya, dan mengenali tumbuh-tumbuhan yang bisa digunakan untuk obat
dan bahan makanan. Sudah bisa dipastikan bahwa Katniss lah yang akan
memenangkan Hunger Games. Tentunya, orang tidak akan rela bersusah payah
membaca kisah pertualangan dan pertempuran seorang gadis semenarik dan dengan
karakter yang kuat, hanya untuk mendapati gadis tersebut mati pada akhirnya.
Bagaimana Katniss menjalani proses menuju pemenangan itulah buku ini
diceritakan, tentunya dengan beberapa kejutan dan perkembangan karakter Katniss
seiring bergulirnya Hunger Games.
Lewat The Hunger Games, Suzanne Collins seolah
ingin menunjukkan kegamangan identitas manusia di bawah tekanan budaya televisi.
Acara-acara reality show yang seringnya mengklaim bahwa apa yang ditayangkan
adalah benar-benar realitas, tidak jarang penuh dengan manipulasi demi
memanjakan penonton. Bahkan, lebih dari sekedar alat hiburan, televisi pun
menjadi alat bagi penguasa sebagai media propaganda untuk menegaskan
kekuasaannya. Realitas yang tampak dan ditampakkan dalam televisi menjadi
ambigu dan artificial. Realitas dalam pentas. Realitas manipulatif.
The Hunger Games adalah buku pertama dari trilogi
yang telah direncanakan. Buku kedua berjudul Catching Fire dan buku ketiga
Mockingjay. Dalam waktu dekat novel ini akan diadaptasi ke dalam bentuk film.
Judul buku : The Hunger GamesPengarang : Suzanne Collins
Penerjemah : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Oktober 2009
Judul : Balada Ching-Ching dan Balada Lainnya
Penulis : Maggie Tiojakin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2010
Tebal : 175 hlm
Balada Ching-Ching adalah sebuah kumpulan 13 cerita pendek karya cerpenis
muda Maggie Tiojakin. Maggie adalah cerpenis yang biasa menulis
cerpen-cerpennya dalam bahasa Inggris dan banyak dimuat di media-media
berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post, Writers Journal, La Petite Zine,
Voice, dll. Sebelum meluncurkan kumpulan cerpen ini, Maggie yang pernah mereguk
ilmu kepenulisan keratifnya di Boston AS ini pada 2006 yg lalu telah
menerbitkan kumpulan cerpen berbahasa Inggris yang berjudul Homecoming (And
Other Stories).
Karena terbiasa menulis cerpen dalam bahasa Inggris, otomatis ia tak
memiliki stok cerpen berbahasa Indonesia
yang cukup untuk dijadikan buku, karenanya untuk kepentingan penerbitan buku
ini Maggie harus menerjemahkan sembilan cerpennya kedalam bahasa Indonesia.
Dikemas dalam balutan cover bergaya minimalis dalam sapuan warna merah
marun dengan ilustrasi sebuah sebuah jendela yang terbuka, cover ini seolah
mengajak pembacanya untuk memasuki kisah balada Ching-Ching dan balada lainnya.
Merajuk pada judul buku yang mencantumkan kata ‘balada’ maka setidaknya pembaca
sudah diberi petunjuk kira-kira kisah seperti apa yang hendak ditawarkan dalam
buku ini.
Jika kita membuka kamus besar Bahasa Indonesia, maka kita akan
mendapatkan definisi dari kata balada yaitu: sajak sederhana yg mengisahkan
cerita rakyat yg mengharukan. Jika merajuk pada definisi seperti dalam kamus
sepertinya agak kurang tepat karena keseluruhan kisah dalam buku ini bukanlah
cerita rakyat, hanya saja memang semuanya berisi kisah manusia-manusia biasa
dengan problemanya yang umunya terkesan suram walau tak sampai membuat
pembacanya tertekan.
Cerpen Balada Ching Ching yang dijadikan judul untuk buku ini
menceritakan tentang seorang gadis Tionghoa yang selalu menjadi bulan-bulanan
disekolahnya. Ia bukanlah anak orang kaya karena ayahnya hanyalah seorang
pedagang kwetiaw pinggiran. Keberadaannya sebagai etnis minoritas di sekolahnya
yang menyebabkan dirinya senantiasa diejek dan kehidupan sederhananya dengan
seorang ayah yang keras inilah yang dikisahkan dalam cerpen ini
Saya tak akan membahas satu persatu seluruh cerpen dalam buku ini, namun
ada beberpa cerpen yang bagi saya tampak kuat dan menonjol dalam buku ini.
Salah satu cerpen favorit saya adalah “Liana, liana” dimana menceritakan tokoh
Liana yang sedang menunggu ibunya pulang dari supermarket. Tidak seperti
biasanya dimana ibunya selalu tiba tepat waktu, kali ini ibunya tak kunjung
pulang.
Hal ini menyebabkan Liana merasa khawatiran sehingga ia mencoba menyusun
skenario dalam pikirannya kira-kira apa penyebab keterlambatan ibunya.
Kekhawatirannya memuncak ketika ia membaca headline di surat kabar mengenai kematian seorang wanita
yang ditabrak truk pengangkut bahan bakar. Kisah yang menarik karena di cerpen
ini pembaca bukan diajak membaca sebuah kisah real melainkan diajak menyelami
khayalan-khayalan apa yang ada dalam benak Liana ketika menunggu ibunya pulang.
Cerpen berjudul “Kawin Lari” juga tak kalah menariknya. Ini adalah kisah
paling pendek dari semua cerpen yang ada. Dikisahkan dua remaja yang memutuskan
untuk kawin lari. Mereka lantas pergi ke Las
Vegas naik bus umum. Separuh jalan mereka sadar bahwa
tak ada jalan kembali karenanya si gadis berusaha untuk terus meyakinkan
dirinya bahwa pilihannya tidaklah salah. Walau kisahnya pendek saja namun
melalui dialog-dialog singkat antara dua tokohnya ini penulis mampu memberikan
gambaran pada pembacanya bagaimana khawatirnya si gadis akan masa depannya
kelak.
Jika kawin lari adalah cerpen terpendek dalam buku ini, maka cerpen “Dua
Sisi” merupakan cerpen terpanjang, dibutuhkan 52 halaman untuk mengisahkan
tokoh bernama Andari, pemuda Indonesia yang berkerja di New Yrok. Ia
menyaksikan secara langsung bagaimana runtuhnya menara kembar WTC. Kejadian ini
mempertemukan dirinya dengan seroang gadis asal Beirut bernama Aysah. Pertemuannya ini
melahirkan sebuah persahabatan bahkan berujung pada rasa saling mencintai.
Melalui dialog dan berbagai peristiwa yang dialami Andari dan Aysah
pembaca akan diajak memahami peristiwa WTC dari dua sisi yang berbeda. Andari
yang tadinya bersikukuh bahwa apapun alasannya peristiwa yang membuat korban
berjatuhan adalah hal yang tidak dapat ditorelir dari sisi kemanusiaan akhirnya
gamang ketika ia disadarkan bahwa ada sisi lain dimana ia perlu melihat dari
kacamata yang berbeda dibalik peristiwa penyerangan gedung tersebut. Yang jadi
acungan jempol adalah di cerpen ini penulis tidak terjebak untuk menggiring
pembacanya untuk memihak pihak tertentu melainkan hanya membuka pengertian dan
mengajak pembacanya untuk melihat sisi lain dari peristiwa yang menggedor sisi
kemanusiannnya ini. Dan satu lagi yang membuat cerpen ini istimewa adalah
kejutan di bagian akhirnya yang membuat pembacanya terhenyak.
Jika mencermati keseluruhan cerpen yang ada maka yang menjadi
keistimewaan cerpen-cerpen dalam buku ini adalah kisah-kisahnya yang diangkat
dari peristiwa keseharian. Hanya cerpen “dua sisi” yang agak istimewa karena
mengisahkan peristiwa yang luar biasa. Selebihnya hanyalah kisah-kisah biasa
yang mungkin juga kita alami seperti saat menunggu di ruang tunggu dokter,
kisah seorang terapis, keseharian suami istri, persahabatan, seorang perawat
yang berharap adanya muzizat atas pasiennya, dll.
Penuturan penulis dalam cerpen-cerpennya juga sederhana, tidak ada
kalimat-kalimat yang rumit, tidak ada kalimat-kalimat bersayap dengan
metafor-metafor yang ajaib yang akan membuai pembacanya. Tidak,
tampaknya penulis tak menekankan pada keindahan dan kerumitan dalam menyajikan
cerpen-ceprennya. Kekuatan cerpen ini justru terletak pada kesederhanannya,
keefektifan merangkai kalimat, maupun realitas ceritanya yang membuat seluruh
kisahnya menjadi tak berjarak dengan kehidupan pembacanya.
Ada yang mengatakan bahwa gaya
penulisan Maggie dalam buku ini kental dengan warna penceritaan penulisan dalam
bahasa inggris. Lalu seorang pembaca dalam reviewnya di Goodreads mengungkapkan
keistimewaan cerpen- cerpen Maggie yang tidak
menghadirkan cerita-cerita yang biasa kita temukan di cerpen-cerpen lokal
walaupun settingnya di Jakarta. Karenanya tak heran Duncan Graham dari
The Jakarta Post menyebut Maggie sebagai penulis global. Sisi ini yang saya
rasa bisa dipertajam oleh Maggie sehingga jika terus ditekuni dan setia pada
cara penulisannya seperti ini maka bukan tak mungkin karya-karya Meggie akan
lebih dikenal dan disukai baik di dalam maupun di luar negeri
Dari segi penokohan, karakter-karakter
tokoh yang dibangunpun tak berlebihan dan semua menggambarkan apa yang mungkin
sedang kita alami seperti kesedihan, kegelisahan, kegagalan, obsesi, penantian
dll. Semua itu seolah mewakili apa yang dialami oleh setiap manusia dalam
perjalanan hidupnnya. Jika dicermati, ending dari setiap cerpen-cerpen dalam
buku ini dibiarkan menggantung, bagi saya pribadi hal ini sangat menarik karena
memberi ruang bagi pembacanya untuk melanjutkan imajinasinya dan mengembangkan
sendiri karakter tokoh dan situasi dan akhir dari cerita yang dibacanya.
Satu-satunya kritik untuk buku
ini adalah mengenai judulnya. Setelah membaca semua cerpen yang ada, sepertinya
judul ‘Balada Ching Ching dan balada lainnya’ kurang merepresentasikan seluruh
cerpen yang ada. Dan saya rasa cerpen Balada Ching-ching juga bukanlah cerpen
yang terkuat dari ketiga belas cerpen yang ada. Mungkin ini strategi pemasaran
karena judulnya memang menarik, mudah diingat, dan membuat penasaran, namun
saya rasa masih ada cerpen-cerpen lain dalam buku ini yang lebih kuat dan bisa
lebih mewakili ke-13 cerpen yang ada.
Kampung Bunian yang Musnah
Intan Hs
Judul Buku : Bunian
Musnahnya sebuah Peradaban
Penulis : Azwar Nazir (Nama Pena:
Sutan Malaka)
Penerbit : Masmedia Buana Pustaka
Terbit :
I – Oktober 2009
Tebal : 236 Halaman
Enam orang
remaja yang sering melakukan pendakian, tetapi pendakian di Gumung Merapi yang
terkenal dengan mitosnya tentang kehidupan makhluk gaib penghuni hutan menjadi
pendakian terakhir mereka. Adalah Maya dan Bara yang selamat dari maut di
mangsa inyiak (Kakek atau harimau_
Bahasa Minangkabau), namun seperti selamat dari mulut harimau masuk ke mulut
buaya, keduanya semakin tersesat ke dalam hutan belantara dan mencapai sebuah
kampung yang aneh yaitu kampung Bunian.
Maya dan Bara benar-benar tak tahu berada di mana.
Kampung Bunian seperti sebuah negeri yang jauh, yang mungkin tak ada dalam
dunia sebenarnya. Pada saat seperti ini, Bara teringat tentang sebuah kisah
pada saat ia berusia lima tahun. Pernah suatu hari, bapak terburu-buru pulang
ketika senja sudah tiba, karena seharian bekerja di sawah tidak ingat waktu.
Sawah itu berbatasan langsung dengan hutan, pada saat itu nampaklah kesibukan
orang-orang di pinggir hutan yang seperti baru pulang dari pasar. Bara ingin
masuk ke dalam hutan karena mencium harum rendang, tetapi bapaknya berjalan
tergesa-gesa menjauhi hutan seperti
menghindari sesuatu.
Dalam perjalanan pulang itulah, Bara melihat ke
belakang sekali-kali. Orang-orang di tepi hutan itu tampak bergembira sambil
tertawa sesama mereka. Bara merasa bahagia dengan suasana di tepi hutan yang
seperti sedang berpesta besar.
“Pak, aku ingin pergi ke pesta mereka.” Ucap Bara ketika itu.
“Hus, jangan berkata begitu. Tidak baik.”
Ucap Bapak dalam kecemasan
Sejak saat itu,
Bara tak boleh lagi pergi ke hutan. Bara telah kelepasan bicara saat itu, dan
bisa saja kenyataannya telah terjadi saat ini, ia telah berada bersama mereka.
Bara masih
menerka tentang yang sebenarnya terjadi, namun semua belum dapat jawabannya.
Dalam keadaan yang masih ragu, Maya dan Bara digiring ke sebuah tempat
berkumpul yang biasa disebut “Medan Nan Bapaneh”. Mereka seperti pesakitan yang diarak
menuju alun-alun kampung, suara yang riuh gemuruh dari masyaralat membuat
hatinya gentar. “Bunuh saja. Hanyutkan ke sungai. Kubur hidup-hidup.” Bunyi
teriakan itu.
Sebuah hukuman
akan dijatuhkan kepada mereka, padahal keduanya tidak pernah mengerti
kesalahannya sama sekali, yang memang tak pernah diperbuatnya terhadap
orang-orang yang belum pernah dikenal sebelumnya. Mereka bagaikan persembahan
untuk pengorbanan seperti di negeri Yunani kuno.
Inikah orang
bunian? Bara berusaha mengingat berdasarkan manuskrip-manuskrip yang
dipelajarinya dalam Filologi, saat pertama turun dari kapal yang terdampar di
puncak Gunung Merapi, ada delapan suku besar pada gelombang pertama yang
mencari kampung ke arah bawah. Salah satu dari delapan suku gelombang pertama
yang mencari kampung ke arah bawah itu menghilang dan diperkirakan meninggal,
karena tidak mampu bertahan di daerah yang baru di tempati. Sejak saat itulah
suku yang dianggap punah menjadi orang-orang bunian yang hidup dengan cara
mereka sendiri. Orang Bunian adalah bagian dari masyarakat Minangkabau lama
yang memisahkan diri dari tatanan hukum adat Minangkabau.
Di kampung
bunian itu, terdapatlah seorang pemuda bernama Sutan. Sutan telah membawa orang
luar untuk menghancurkan kampungnya sendiri akibat sakit hati terhadap Tuanku.
Awal sakit hati yang bermula dari jatuh cinta kepada Putri Raja Kampung
Bunian_Datuk Maharajo. Tuanku yang adalah temannya sendiri lebih dipilih untuk
dinikahkan dengan Putri Datuk Maharajo.
Sultan pun tak
pernah menduga bahwa dirinya telah mengkhianati seluruh masyrakat di kampung.
Pengkhiantan yang bermula dari rasa sakit hati telah membuat asap mengepul di
Kampung Bunian, juga bau bangkai yang mengudara. Burung-burung pun mulai
mematuki tubuh-tubuh yang tak terbakar.
Dan kampung
Bunian yang pernah disinggahi oleh Bara, telah memerah karena percikan darah.
Hanyalah satu tujuan Bara hingga sampai disini, yaitu untuk Maya. Maya yang
dahulu memutuskan untuk tinggal di kampung ini, tak akan pernah lagi dilihatnya
untuk selama-lamanya.
Biodata
Nama/nama pena :
Rosintan Hsb, S. Pd/ Intan Hs.
Alumni :
S-1 FMIPA Pend. Biologi Universitas Negeri Medan
Tempat/tgl lhr :
Medan/28-09-1981
Alamat :
Jln. 4 No. 4 CD lingk 6 Pulo Brayan Bengkel Medan
Kode pos 20239
Agama :
Islam
Pekerjaan :
Guru IPA Terpadu di beberapa sekolah SLTP/Mts Swasta
Dan
juga Guru Biologi di SMA Swasta Kota Medan ( dan
Sekarang menjabat sebagai Wakil Kepala
Sekolah di SMP
Bina Satria Mulia Jln Aluminium N0.10, dan
wali kelas di
SMP Karya Bhakti Jln. Karya Ujung)
Hobi :
Menulis, pecinta sastra.
No. Hp :
081396699610
Pengalaman Bidang
Pendidikan
- Wakil kepala Sekolah SMP BINA SATRIA MULIA Medan, jln Alumunium 1 no. 10 dari tahun 2007 s/d 2009
- Wali kelas Sekolah SMP KARYA BHAKTI Medan, jln. Karya ujung dari tahun 2007s/d sekarang
- Wali kelas Sekolah SMP BINA SATRIA MULIA Medan, jln Alumunium 1 no. 10 dari tahun 2007 s/d 2009
- Guru bidang studi IPA Terpadu di sekolah sbb:
- SMP BINA SATRIA MULIA Medan, jln Alumunium 1 no. 10 dari tahun 2005 s/d 2009
- SMP KARYA BHAKTI Medan, jln. Karya ujung dari tahun 2005 s/d sekarang
- MTS SW. BABUL U’LUM jln Pajak Rambe dari tahun 2008 s/d sekarang
- Guru bidang studi Biologi di sekolah SMA SWASTA PULAU BRAYAN DARAT, jln bilal ujung gang sekolah dari 2005 s/d 2009
Pengalaman
Organisasi
- Sekretaris Remaja Mesjid Bustanul Huda Jln 5 Lingk.6 Pulo Brayan Bengkel Tahun 2006 s/d 2008
- Seksi bidang Sosial Ekonomi PK. KH. Ahmad Dahlan IMM FMIPA UNIMED Tahun 2003 s/d 2005
- Anggota FLP Sumut Angkatan Ke-3
- Anggota Lembaga Baca Tulis (eL Be Te)
- Anggota Komisi Usaha Dana Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar