ulang tahun teater keliling ke 37
ULANG TAHUN TEATER
KELILING KE 37.
( 13 PEBRUARI 1974-2011)
Catatan Rudolf Puspa
Mengelola kelompok teater
Indonesia sepanjang 37 tahun merupakan satu kegiatan yang lebih banyak duka
dibanding sukanya. Perjuangan tiada henti untuk memenuhi kebutuhan berkesenian
khususnya teater berupa pementasan terasa begitu berat karena tantangannya
benar benar menguras tenaga, pikiran dan perasaan. Inilah catatan utama pagi
ini dalam memperingati hari jadi teater keliling ke 37 . Tanpa ada upacara
meriah dalam arti fisik namun lebih kepada perenungan akan apa yang sduha
dilakukan selama 37 th.
Teman teman anggota
teater keliling angkatan pertama tentu saja sudah banyak yang kembali ke
pangkuan Tuhan. Dan kini teater keliling dipenuhi generasi muda bahkan remaja
yang cukup dapat menunjukkan kerja nyata yang layak diberikan penghargaan.
Suasana pergumulan teater hari ini dibanding 37 tahun silam tentu sangat
berbeda. Situasi sosial politik di negeri ini yang harus kita akui sedang dalam
keadaan morat marit dimana warna harian dipenuhi kekerasan serta jeritan rakyat
akibat harga sadang pangan yang terus membubung; mau tidkla mau, suka atau
tidak suka selalu menjadi pakaian kita sehari hari yang harus dipakai dan
dirawat agar tidak terlalu menyakiti.
Hingga hari ini sudah
1439 pertunjukkan dilakukan teater keliling. Memang harus diakui bahwa kegiatan
keliling tidak sebanyak sepuluh tahun lalu. Tidak mudha lagi mendapatkan
anggota yang siap berkeliling tanpa hirau hal hal yang berupa finansiil. Ini
masih haruss menjadi sikap hidup teater keliling karena mengerjakan kesenian
yang idealis jelas masih merupakan kegiatan yang kurang populer ditengah arus
kehidupan yang kapitalistik dimana setiap butir keringat mesti diukur dengan
lembaran fulus. Ini catatan yang benar benar menyedihkan karena teater keliling
tetap bersikap memberikan pendidikan untuk menjadi manusia yang cerdas sehingga
mampu menjadi agen agen perubahan bangsa. Teater keliling tetap tidka
menyiapkan pertunjukkan yang hanya sekedar menghibur dan sekedar menyampaikan
kritik yang tidak memperhitungkan apakah kritik itu sampai kepada yang dituju
atau tidak. Teater keliling masih tetap menolak karya yag memamah biak dalam
arti hanya suka melempar kritik namun esok pagi sudah lepas dari sikap dan
pemikiran sehari hari kita. Kritik yang hanya dibungkus dengan celoteh
ringan yag mengundang tawa belaka namun selesai setelah upacara tawa berhenti.
Untuk apa menghamburkan kritik sosial hingga politik namun tak merubah apa apa?
Selama masa reformasi
yang sudha berumur 10 tahun tanpa terasa ada kemajuan dalam hal mengadakan
perubahan hidup; teater keliling benar benar merasakan betapa sulit memberikan
pendidikan politik.aka teater keliling selama 10 tahun terakhir lebih banyak
bergaul dnegan anak anak remaja di sekolah skeolah smp dan sma untuk membuka
hati dna pikiran mereka terhadap suasana kehidupan sospol dan budaya yang sedang
sakit. Pelan memang jalannya namun secara meyakinkan ada terasa kemajuan
kemajuan. Banyak mereka yang mulai menyadari dan mampu melihat serta mendengar
apa yang tengah hidup disekelilingnya. Sementara di sekolah sendiri tidka
mendapatkan pelajaran untuk itu. Dan menjalakan kegiatan seperti ini bukan
mudah karena tidka setiap kepala skeolah atau guru mau menyetujui. Selalu saja
yag penting adalah anak anak belajar sesuai kurikulum dan lebih menyedihkan
adalah bahwa yang utama adalah nama sekolah menjadi baik mendapat ranking bagus
sehingga laku jual. Soal murid mau pandai, cerdas atau punya reputasi itu bukan
tujua utama. Toh murid datang dan pergi. Inilah hal paling menyedihkan yang
dirasakan selama menjadi pelatih ekskul teater di sekolah sekolah.
Tahun 2010 mendapat
penghargaan MURI sebagai grup terbanyak pentas di 10 negara. Penghargaan yang
sangat mendukung bagi aliran semangat dalam bekerja di bidnag kesenian yang
bernama teater. Penghargaan yang tak terkira dari Jayasuprana atas rekomendasi
Radhar dari Federasi Teater Indonesia ini merupakan hadiah akhir tahun yang
menyulut semangat berteater tanpa harus merasa sebagai manusia yang tersisih.
Teater ada yang memeperhatikan dan dengan iklas memberikan penghargaan. Dan
selanjutnya diberikan kepercayaan untuk menjadi pelatih teater di
Jayasuprana School of peforming arts. Maka hilanglah semua rasa kecil hati
selama ini dan hidup dalam dunia teater semakin terasa betapa membanggakan.
Wahai teman teman, para
peserta ekskul teater MTs 4, 20, 24, SMA 21, 53,59,77,92,103, SMA dan MTs
Pesantren Darunnajah; yang hingga hari ini masih memberi kepercayaan kepada
teater keliling untuk menjadi pelatih teater; kami menyampaikan penghargaan dan
rasa terima kasih yang mendalam. Kalianlah yang selalu menyadarkan bahwa teater
Indonesia tidak mati. Teater Indonesia masih hidup, masih terasa denyut
jantungnya; Kini mari kita terus melangkah merawat kehidupan teater Indonesia
dengan melahirkan karya karya yang mampu menggelitik para penonton teater untuk
menyadari bahwa republik ini perlu ada perubahan mindsetnya sehingga tidak
semakin terjerat oleh berbagai kerusakkan moral, etika dan kecerdasan.
Kami bangga kalian menjadi pionir teater Indonesia.
Kami mengucapkan terima
kasih kepada smeua teman yag memberikan ucapan selamat kepada kami baik melalui
sms ataupun facebook kami.
Selamat ulang tahun
Teater Keliling ke 37.
Salamku:
Rudolf Puspa
13 Pebruari 2011.
081310678865.
pengaruh media dalam pendidikan
by
Teater
Keliling Full on Sunday, December 26, 2010 at 12:55pm
PENGARUH MEDIA DALAM
PENDIDIKAN
Catatan Rudolf Puspa.
Bangsa Indonesia memiliki
sejarah kelam selama 3 abad ketika berada di bawah kekuasaan penjajah dari
Eropa. Ada Portugis, Inggris dan yang paling lama Belanda. Melihat tujuan
penjajah yakni mencari rempah rempah yang tak ada di Eropa yang selanjutnya
meluas dengan menggali tambang tambang kekayaan bangsa ini; kita dapat
menyimpulkan bahwa semua penjajah ingin mengeruk kekayaan dari hasil bumi
bangsa yang dijajah. Tidak ada bukti mereka mensejahterakan rakyat yang
dijajah.
Pengalaman dijajah selama
3 abad itu ternyata belum membuat bangsa ini; terutama para pemimpinnya
kapok dijajah. Padahal para pendiri Republik Indonesia berusaha keras
menolak penjajahan apapun bentuknya. Bahkan perusahaan milik asing di
nasionalisasi dan dikerjakan sendiri oleh tangan tangan pribumi. Memang berat
dan harus berani susah dalam jangka panjang karena untuk seratus persen
menangani sendiri kekayaan bumi kita memerlukan pendidikan yang tentunya
memakan waktu panjang. Maka pemerintahan Sukarno rajin mengirim mahasiswa
Indonesia untuk sekolah di luar negeri. Ini kesadaran yang terbaik bahwa
pendidikan adalah nomer satu jika ingin menjadikan Indonesia menjadi negara
besar yang tidak kerdil.
Sementara itu kekuatan
kapitalis dunia bukan menjadi bodoh dan menerima begitu saja kemerdekaan negeri
negeri bekas jajahannya. Maka mulailah berusaha keras menghancurkan musuh
besarnya yakni komunis yang tahun 1980 berhasil diporak porandakan. Indonesia
yang termasuk negeri yang dianggap Sukarno ikut komunis juga bernasib terguling
di tahun 1965 dan tahun 1966 Sukarno diganti Suharto yang didukung Amerika.
Kapitalis melalui bank dunia dan IMF menggelontorkan pinjaman besar besaran
untuk membangun pemerintahan orde baru hingga Suharto mendapat gelar bapak
pembangunan. Dan selama dekade kepemimpinannya memang getol membangun
gedung, pabrik, membuka tambang tambang yang semuanya adalah kerja patungan
dengan investor.
Untuk menunjang sukses
Suharto maka kran media dibuka lebar. Televisi swasta yang dikuasai kerajaan
Cendana muncul menjadi corong kapitalis. Anak anak pejabat atau pengusaha
pribumi yang patungan dengan asing dikirim kuliah di Amerika dan pulang membawa
lisensi membuka gerai makanan siap saji yang menjamur di Indonesia . Mulailah
penjajahan lewat ekonomi yang dilakukan tanpa paksaan seperti zaman VOC. Tidak
perlu tentara untuk memaksa dan para jendralnya dijadikan pemimpin sipil
seperti Gubernur, bupati hingga lurah, direktur BUMN, menteri . Penghijauan
merata dan rakyat tetap saja dijadikan sapi perahnya. Namun hebatnya kaum
kapitalis adalah mampu menawarkan kenikmatan duniawi sehingga tanpa disadari
telah menjadi bius yang membuat bangsa ini terlena. Siapa yang pada zaman orde
baru tidak punya hutang? Punya rumah dan isinya seperti furniture, kulkas,
televisi, sepeda motor, semuanya kredit. Dipotong dari gaji bahkan kalau
pegawai negeri hingga 30 tahun bekerja. Ini tanpa sadar sudah menggadaikan
dirinya seumur hidup sehingga selama itu takut berbuat salah dan nurut saja apa
kata atasan agar selamat. Hari tua pensiun dan hutang selesai. Oleh karenanya
pegawai disebut sebagai karyawan. Bukan orang yang berkarya tapi yang
dikaryakan sehingga harus nurut kepada yang mengkaryakan. Hidup pun tenteram
dan aman tapi seperti di kuburan, artinya tidak ada kehidupan. Gejolak kecil,
kritikan di media akan segera diberangus. Kesenian yang berani bicara kejujuran
akan segera dilenyapkan. Di sini peran tentara yang pangkat rendah digunakan.
Saya teringat kata kata
George Orwell :” Siapapun yang menguasai media akan mampu menguasai dunia”.
Hari ini saya sadar bahwa
ucapannya benar. Melalui televisi swasta sejak orde baru berkuasa kita diajar
melihat kemewahan kemewahan, kenikmatan duniawi hingga tergiur lalu ingin
memiliki. Memang benar bahwa media televisi memiliki kemampuan mendidik. Dan
justru kemampuan tersebut dipakai untuk mendidik penontonnya menyukai apa yang
diperlihatkan. Berapa persen iklan makanan dengan sasaran kaum remaja dan anak
anak muncul di televisi? Sinetron remaja yang ada selalu berkisar soal cinta?
Hasil penjualan slot iklan cukup besar hingga bisa memberikan kemewahan hidup
pada pelakon sinetron. Lalu dimunculkan acara gosip yang terutama tentang
kehidupan percintaan para selebritis dengan kemewahan mobil, rumah dan pesta
pestanya. Maka hal ini mau atau tidak mau telah mendidik anak muda kita untuk
mengikuti ajaran kapitalis ini. Sekolah bukan hal utama lagi, yang penting
cepat lulus lalu kuliah pun masuk bidang bidang yang cepat selesai dan lalu
menjadi selebritis. Tidak heran jika para rektor perguruan tinggi teknik,
kedokteran menjerit melihat animo orang muda memasuki perguruan tersebut
menurun. Biaya kuliah kedokteran mahal dan cukup makan waktu lama sehingga
untuk segera bekerja dan mendapatkan hasil yang cepat kaya juga perlu waktu
panjang. Lebih enak jadi pemain sinetron, penyanyi, peragawati, host yang bisa
dicapai mudah jika cantik dan seksi dan berani adegan panas. Al hasil
pendidikan menjadi carut marut hingga saat ini.
Adakah media berhasil
menjadikan bangsa ini punya karakter yang dicita citakan para pendiri bangsa
ini? Yang ada adalah karakter manusia yang ingin cepat kaya dengan jalan
pintas. Masalah etika, moral, kebudayaan, bukan lagi menjadi pemikiran para
selebritis karbitan. Jika dibutuhkan kegiatan sosial biar tampak punya
perhatian kepada kaum miskin, maka tidak keberatan menyumbang duit atau barang
kepada rakyat yang terkena bencana alam misalnya. Sekali setahun bulan puasa
mengadakan buka puasa bersama dengan anak yatim. Para penyiar televisi sekali
setahun berpakaian muslim di bulan puasa karena perintah manajer dan pakaian
sudah tersedia. Maka ekonomi, tehnologi, media telah menjadi alat yang hanya
memiskinkan kebudayaan manusia. Pendidikan, kesenian dan agama sudah tak
berdaya dihadapan kekuasaan sang pemodal. Media mampu memberikan
kenikmatan angan angan, melambungkan mimpi mimpi kebahagiaan, mampu menjadi
katarsis. Inilah pendidikan yang dilakukan media secara sadar atau tidak. Di
zaman orde baru, penguasa sangat sadar akan kehebatan media sehingga saat 32
tahun Suharto, media dikuasai dan dikontrol. Mana ada media televisi atau cetak
yang berani menulis kritik terhadap kekuasaan?
Zaman berubah lagi.
Suharto tumbang dan ganti zaman reformasi. Sudah sepuluh tahun berjalan namun
apakah media sudah mereformasi dirinya? Sudahkah media cetak dan televisi
menjalankan misi pendidikannya? Kita bisa bertanya dan menjawab sendiri untuk
keadaan media saat ini. Pendidikan apa yang kita dapat dari menonton sinetron
di televisi? Apa yang didapat dari acara lawakan Opera Van Java? Bukan empat
mata? Acara musik dahsyat dan sejenisnya? Kwis yang berhadiah milyaran? Acara
acara yang selalu menghadirkan kelompok masyarakat atau bahkan mahasiswa
menjadi penonton di studio untuk meramaikan suasana, dimana untuk tepuk tangan
dan tertawa harus tunggu komando? Bahkan banyak anggota penonton yang
memang bayaran 50 ribu dan sebungkus nasi makan siang sekali acara. Bandingkan
dengan penghasilan host nya ? Para host datang dan pulang dengan mobil mewahnya
sementara para pendukung keramaian naik bis umum berdesakan. Jika ada acara
yang cukup ada kritik sosialnya sering adanya sudah jauh malam yang tentu saja
penontonnya bukan generasi muda yang memerlukan pendidikan kesadaran
sosial politik budayanya. Generasi muda sudah terberangus oleh dugem yang
dibawa kaum kapitalis mancanegara. Merekalah yang mencekoki makanan, pakaian,
hingga etika pergaulan yang konsumtif. Pasar bebas juga membawa kebebasan hidup
yang tanpa batas. Remaja kita sudah tidak lagi memanggil bapak atau ibu kepada
ortunya, makan piza merasa modern walau tak tau cara memakai garpu dan
pisaunya. Semua ini tak ada di kurikulum pendidikan di sekolah.
Pembantu rumah pun banyak
yang memberi persyaratan harus ada mesin cuci, kompor gas, strika listrik, ada
sepeda motor dan belanja ke super market. Lihatlah di saku celananya
pasti terselip handphone. Inilah perubahan besar yang sedang terjadi yang tanpa
sadar kita telah dikuasai kaum kapitalis asing. Super market umumnya milik
asing dan sudah merasuk ke pelosok bahkan tidak peduli batasan untuk tidak
dekat pasar tradisional. Barang yang dijual adalah barang import yang harganya
bisa jauh lebih murah dari hasil dalam negeri. Akibatnya buah buahan dan
sayuran hasil kita yang sebenarnya lebih enak menjadi hilang dipasaran. Mau
jual singkong, ubi, jagung, durian Palembang, Pontianak, Parung? Mana laku?
Anak sekarang makanan yang serba made in luar negeri. Sayur lodeh? Sayur asem?
Sayur pare? Rebung? Bunga pepaya? No way bung. Jika masih mau ke warteg adalah
karena terpaksa oleh penghasilan yang memang masih rendah.
Dalam keadaan ekonomi
global ini jangan heran jika pada zaman Suharto, para ortu malu jika anaknya
tidak masuk IPA maka kini mulai berubah. Rata rata sekolah kini IPS lebih banyak
peminatnya. Bahkan yang nilainya bisa masuk IPA sering minta pindah ke IPS.
Orang muda kita sudah mulai terinfeksi wabah karakter yang diciptakan lewat
media televisi, internet, majalah infotemen bahwa hidup harus cepat kaya apapun
jalannya. Bukan menjadi cerdas atau orang pandai dalam artian memiliki gelar
kesarjanaan; tapi kekayaan adalah nilai yang justru mengalahkan itu semua
gelar. Karakter konsumtif sudah mewabah di bangsa Indonesia. Kegiatan yang
sifatnya hura hura pasti akan diikuti. Contohnya adalah yang sedang terjadi
demam sepak bola. Yang tidak pernah nonton aja para kaum muda ikutan nonton,
beli kaos, ikut nyanyi, teriak di stadion; namun bukan soal sepak bolanya tapi
karena ingin melihat dan jika mungkin kenalan dengan pemain yang di idolakan
seperti berita di televisi. Untuk itu pemain pun di gotong kesana kemari
mengikuti acara acara yang sifatnya seremonial, hanya untuk kesenangan badan
saja, yang sebenarnya melelahkan dan bila tidak awas justru akan merusak
ketahanan mentalnya. Mana ada yang berpikir untuk tujuan memberi semangat main
sepak bola? Arus euforia diciptakan melalui media. Yang untung? Para kapitalis
atau pemodal yang menjadi broker besar yang memberi bonus besar, menghadiahkan
tanah; namun ini semua untuk menciptakan citra bagi tujuan politiknya tahun
2014. Maka seorang ketua umum PSSI (Nurdin Halid) berani mengatakan ia
menurunkan harga tiket karena perintah dari ketua umum Golkar dan ia sebagai
kadernya menurut; bukan karena perintah presiden yang dari partai lain. Nah
ketahuan kan permainannya dibelakang riuhnya sepak bola yang kebetulan menang
terus? Tapi siapa yang peduli dengan sang pelatih yang mati matian hanya
berpikir untuk menciptakan pemain pemain yang tangguh dan bisa menang?
Kapitalis bekerja untuk
keuntungan individualnya. Tak ada terlintas untuk kesejahteraan rakyat banyak
apalagi pendidikan bagi pencerdasan bangsa. Justru kebodohan harus dipelihara
agar terus menerus bergantung kepada mereka seumur hidupnya. Dan media adalah
alat ampuh untuk memberikan hiburan segar sambil membodohkan penikmatnya. Oleh
karenanya kesenian apapun bentuknya, entah seni rupa, musik, teater, tari,
sastra yang bicara tentang kebenaran, kejujuran yang mendidik rakyat menjadi
cerdas, sadar akan nasionalisme, sadar akan keburukan kapitalis ataupun komunis
atau borjuasi; pasti tidak akan hidup. Jika kita jujur melihat keadaan nyata
media saat ini maka kita bertanya mana hiburan yang mendidik? Hiburan yang
mampu menyadarkan etika, moral, kebersamaan, kesatuan, sehingga kita bangun dan
ikut bekerja untuk mensejahterakan bangsa; apakah dapat kita temukan?
Pertunjukkan kesenian yang mahal justru laku dan yang ada hanyalah onani
bersama; karena penonton yang berduit adalah kaum yang tak mementingkan
pendidikan karakter, sementara rakyat yang disuarakan lewat kesenian tersebut
tak mampu beli tiketnya sehingga tidak mendapat kesempatan untuk menjadi
manusia yang mampu bertahan dan berjuang merubah nasibnya.
Yang saya merasa prihatin
adalah kenyataan bahwa seniman yang bekerja serius dan bicara tentang kenyataan
bangsanya selalu terpinggirkan. Kaum miskin yang melata yang sebenarnya butuh
pendidikan yang menyegarkan sehingga mampu merubah dirinya untuk tidak terjebak
pada arus kekerasan sehingga mudah diadu domba justru tidak mendapatkan karena
tak mampu beli tiket. Sementara yang mampu beli tiket tak akan berbuat apa apa
untuk bangsa dan negerinya. Mereka adalah anak anak pemimpi, yang tidak hidup
di tanah negerinya. Sedih melihat penggarap seni merasa telah bicara tentang
bangsanya sementara penontonnya nikmat dengan mimpi mimpinya, sementara itu
yang mestinya mendengar dan berbuat nyata serta yang harusnya mendapat hiburan
karena merasa nasibnya ada yang memperjuangkan justru tidak mendapatkan tempat.
Sekali lagi justru kaum pemodal mau menjadi sponsor agar menutup biaya milyaran
karena percaya kesenian tersebut akan tidak mencapai sasaran; itupun kalau
punya sasaran. Tujuan nya tetap adalah memberi hiburan angan angan sambil
menjaga kebodohan . Mengerikan jika para penonton yang mampu itu ternyata memang
tidak jauh beda kebodohannya dengan rakyat miskin. Sama miskinnya tentang
kesadaran berbangsa dan bernegara, atau jangan jangan justru jauh lebih miskin.
Yang menjadi pertanyaan
adalah kenapa ada acara acara di media telivisi atau artikel di media cetak
yang selalu memberikan kritik kepada penguasa didiamkan saja? Jawabnya mudah
yakni karena peminatnya dalam jumlah kecil dan bukan generasi muda pada umumnya
sehingga tidak mengkawatirkan untuk pemilu presiden tahun 2014. Pendidikan di
sekolah sudah dikuasai sehingga sekolah hanya mendidik anak anak kita untuk
menjadi karyawan dan bukan pemimpin atau perubah keadaan. Maka benar kata
george orwell bahwa siapa yang menguasai media maka akan menjadi penguasa.
Kekuasaan yang dimiliki akan mengontrol media, walau katanya sudah menjadi
penguasa yang demokratis.
Jika saya menulis melalui
media facebook ini tentu dengan kesadaran dibaca kaum muda karena penggemar
facebook umumnya anak muda. Barangkali membaca catatan ini akan jadi penghibur
diri sambil mengasah indera kecerdasan kita. Saya bersyukur bila bisa menjadi
bahan dialog kita bersama.
Wasalam.
Jakarta 26 Desember 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar