DARI WARUNG
DISKUSI KE OMONG-OMONG SASTRA
Oleh : M. Raudah Jambak, S.Pd
Ada sebuah pernyataan yang menggelitik, yang mengatakan karya bukan untuk
diomongkan. Berkarya sajalah! Tentu kita harus arif memahami pernyataan ini.
Satu sisi mungkin pembicaraan itu muncul dikarenakan ada yang ingin dicapai.
Sisi yang lain bisa jadi menghindari diri dari campurtangan orang-orang yang
tidak bertanggungjawab. Boleh saja kita setuju dengan pernyataan itu, atau
mungkin kita lebih memilih tidak memilih. Terserah pada kita tanpa harus
kehilangan kreativitas dan kejujuran berkarya.
Proses Kreatif dan Kejujuran Berkarya
Persis seperti apa yang selalu kita dengar dan
dengungkan bahwa proses kreatif setiap kreator tentu tidak sama. Pun proses
kreatif setiap karya yang dilahirkan. Tetapi, tentu tidak salah jika kita
menikmati proses kreatif yang berbeda itu sebagai sebuah ‘siksaan’ yang nikmat.
Tanpa harus ‘curiga’ terhadap seorang kreator tentang bentangan proses
kreatifnya, yang bisa jadi merupakan hasil karangan berikutnya setelah karya
itu ditetaskan.
Demikianlah yang terjadi, ketika
warung diskusi menghadirkan proses kreatif Ilham wahyudi sebagai objek
pembicaraan dan Hasan Al banna sebagai penyeimbang, serta Arif Tarigan yang
memoderasi persiggungan itu dengan peserta (Sabtu, 5/2/11), di ruang pameran
Taman Budaya Suamatera Utara.
Sering kita dengar bahwa, sebagian penyair menganggap kerja kepenyariran
adalah sebuah upaya membaca apapun dengan sepenuh kejujuran. Ketika persoalan
atau kondisi lingkungan yang terjadi di sekitar diri penyair adalah sebuah
kebusukan, misalnya, maka penyairlah yang akan menuangkannya sebagai sisi
kebenaran dalam karyanya yang disebut puisi itu.
Kita tahu, media cetak (dalam hal
ini koran harian), dalam perkembangannya memang cukup memberi ruang untuk ikut
melestarikan tradisi penulisan sastra lewat rutinitas halaman sastranya. Media
cetak dalam format dan periode penerbitan lain seperti majalah, tabloid,
buletin dan sebagainya juga memberi alternatif yang sama, disamping teknologi
internet seperti sejumlah blog dan website yang menjamur di dunia
maya.
Seperti yang disinggung oleh Sobirin Zaini, Penciptaan karya sastra,
seperti juga penciptaan karya seni lainnya, kita semua tahu, memang memerlukan
sebuah proses dan perenungan-perenungan yang dalam. Seperti yang pernah
dikatakan Chairil Anwar ––yang saya kutip sebagian di sini––dalam sebuah
prosanya; "kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama
sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan."
Penulis atau
sastrawan selayaknya memang harus "memeram" beberapa waktu untuk ia
sendiri akui kehadiran dan wujud sebuah karyanya. Ia juga dituntut untuk
mengoreksi dan merevisi secara intens sebelum terlanjur dipublikasi dan sampai
ke tangan pembaca
Setiap karya,
setiap, creator, setiap redaktur, setiap provinsi, bahkan setiap negara, dll,
tentu tidak akan pernah sama dalam menimbang, memilih, mengupas, atau mungkin
membuang setiap karya yang lahir. Misalnya, ketika negara maju lebih memikirkan
antologi (buku) dalam mengumpulkan karya-karya mereka, tentu akan terjadi lagi
perdebatan siapa editor (kuratornya)?, ya, penulisnya sendiri. Lalu, apakah itu
onani? Tunggu dulu. Kemudian, ketika kita berpikir ciri-ciri negara miskin,
seorang creator selalu berpikir di media mana dimuat? Dipuji siapa karyanya? Dan untuk inipun kita harus
dipertimbangkan masak-masak. Karena yang terpenting adalah niat, tujuan seorang
kreator tersebut dalam melahirkan karya-karyanya. Siapa yang tahu? Mungkin juga
bagaimana kedekatannya dengan pengalamanya sendiri terhadap karya yang
diluncurkan. Hm, bukankah ada penelitian pustaka selain penelitian lapangan?
Jadi, tentu tidak ada pantangan bagi kreator yang tinggal di pelosok kampung
membicarakan persoalan urban, misalnya, atau sebaliknya, bukan?
Kota, Urban atau Urbanisasi
Kandungan sastra tentu tak lepas
dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua
terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan
faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan
kedalaman makna yang dikandung nya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan
kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan
kemanusiaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali
ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan.
Kota takkan memberi ruang kultural bagi mereka dan mereka dipaksa untuk
menjadi konsumer, bukan produsen. Tak dapat dibayangkan, dalam hitungan
kira-kira, 20 tahun ke depan, generasi (anak cucu) kita akan makin tumbuh
invalid karena kehilangan akar budayanya.
Keakuan, ketidakmandirian, masabodoh, dan sikap ’keras’ mental yang juga
cenderung rapuh tentu menjadi ciri khas dari masyarakat kota. Hal inilah yang
menja di dasar perjuangan sastrawan ketika membentangkan karya sastra bertema
urban.
Sastra urban berkumandang saat bermunculan sastrawan ibukota yang membawa
identitas kedaerahannya masing-masing. Sebutlah Asrul Sani, Ajip Rosidi,
Rendra, Ramadhan KH, Nirwan Dewanto, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Danarto, Taufiq
Ismail, dll. Kini pada perkembangannya sastra urban berkembang dalam keberadaan
komunitas dan kantung-kantung sastra di wilayah sekitar kota. Sastra urban dinilai memberi peran dan
sumbangan besar pada pertumbuhan sastra di Indonesia .
Hal itu yang terungkap dalam omong-omong sastra yang bertema "Tema Urban
dalam Cerpen Medan" yang digelar Komunitas omong-omong sastra Sumatera
Utara, di rumah Idris Siregar, (Minggu, 6/2/11), Tanjung Morawa, baru-baru ini.
Omong-omong sastra tersebut menghadirkan pembicara Hidayat Banjar dan Intan
Hs, serta di moderasi Hasan Al Banna. Acara ini juga diselingi pembacaan dan rampak puisi ”Seratus Untai Biji
Tasbih”.
Persoalan Kota, urban, ataupun urbanisasi adalah persoalan yang pelik dan
seharusnya tidak perlu kita pandang sempit. Banyak karya yang hadir dan
mengalir dari media maupun buku-buku antologi, Sumatera Utara, pun luar Sumatera
Utara mengemukakan persoalan yang demikian
Puisi-puisi Afrizal Malna dari buku puisi Abad yang Berlari (1984) hingga
buku puisi mutakhirnya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002) telah memberikan
suatu gambaran, citraan, atau sosok yang lain dari berbagai kecenderungan yang
pernah berlangsung dan menonjol dalam arus utama khazanah perpuisian Indonesia
modern yang telah umum dikenal masyarakat kita selama ini. Perhatikan
judul-judul puisi yang disusun dari diksi dan idiom yang tak lazim sepanjang
sejarah bahasa penulisan puisi modern kita selama ini, misal ”Kota-kota dalam
Tas Koper”, ”Aku Terbang Bersama Kipas Angin”, atau ”Hujan dari Sebuah Dapur”.
Jika kita selama ini hanya mengenal sosok utama puisi Indonesia modern
lewat Amir Hamzah (”Padamu Jua”), Chairil Anwar (”Derai-derai Cemara”),
Sutardji Calzoum Bachri (”O, Amuk, Kapak”), Goenawan Mohamad (”Interlude”),
Taufik Ismail (”Trem Berkelenengan di San Fransisco”), dan Rendra (”Nyanyian
Angsa”) kemungkinan besar kita akan merasakan sesuatu yang sangat berbeda jika
membaca puisi Afrizal Malna ini.
Jika di Sumatera Utara ada antologi 6 Penyair Urban, Antologi Cerpen Medan,
Antologi Cerpen DKM, Denting, dll.
Akhirnya, persoalan Urban memang tidak akan pernah selesai. Pun begitu kita
tidak akan pernah berhenti begitu saja. Bukankah tidak ada yang baru di bawah
matahari?
*Penulis adalah direktur
Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar