MEBACA GURU- DULU DAN SEKARANG
Muhammad Raudah Jambak, S.Pd*
Pendahuluan
Ada imej yang berkembang dalam masyarakat
bahwa profesi guru tidak memiliki masa depan yang cerah dan mempunyai
kesejahteraan yang tetap, baik dari guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non
PNS. Guru tidak “hebat” seperti zaman dahulu. Imej ini mungkin berawal dari
kualitas pendidikan di Indonesia yang bisa dikatakan rendah. Tahusetya (2007),
guru tidak lagi dijadikan sebagai sumber informasi, bahkan dalam banyak hal
guru tidak lagi dijadikan patron yang teladan oleh anak didik sehingga kualitas
anak didik pun menjadi rendah. Kualitas pendidikan di Indonesia tergantung pada
anak didik sebagai penerus bangsa yang mendapat didikan dari guru. Nasib bangsa
ditentukan oleh pemuda-pemuda yang berkualitas intelektual, moral dan mental.
Jika guru tidak lagi mampu menghasilkan penerus bangsa yang berkualitas, maka
bagaimana bangsa kita ke depan?
Ketika guru terlalu memikirkan pamrih dan
status, maka fungsinya sebagai seorang pendidik tentu tidak akan dijalani
dengan baik. Guru akan malas mengajar karena memikirkan biaya hidupnya yang
pas-pasan ditengah kebutuhan ekonomi yang semakin sulit atau mengharapkan
apresiasi yang lebih dari masyarakat. Lantas, kenapa seorang memilih menjadi
guru sementara ia tahu bahwa kesejahteraan guru cukup memprihatinkan? Ditambah
lagi dengan rutinitas guru yang cukup sibuk dengan tugas-tugas yang cukup
berat. Saat seorang guru melihat orang dengan profesi dokter atau insinyur yang
kesejahteraannya baik bahkan berlebihan, dan dipandang ”hebat” oleh masyarakat,
mungkinkah timbul penyesalan dalam dirinya yang telah menjalani profesi guru?
Apakah menjadi guru sudah merupakan jalan hidupnya atau keterpaksaaan karena
tidak mempunyai pilihan kerja yang lain? Jika terus mempertanyakan nasibnya
sebagai guru, kapan lagi ia mempertanyakan nasib anak didiknya yang tidak
mendapat pendidikan dengan baik? Apa yang harus dilakukan seorang guru dalam
kondisi ini? Terus mengajar dengan keterpaksaaan atau memantapkan dirinya
menjalani profesi tersebut? Melihat banyaknya persoalan-persoalan di dalam
kehidupan seorang guru, masihkah ia
tetap ingin menjadi guru?
Motivasi Menjadi Guru
Saat selesai dari pendidikan Sekolah
Menegah Atas atau sederajat, seorang anak didik akan melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Jenjang yang dipilih oleh kebanyakan siswa adalah
jenjang pendidikan yang bergengsi, seperti kedokteran, teknik atau pertanian.
Ada juga yang mengambil ke jenjang pendidikan guru. Ketika memilih pendidikan
guru, benarkah siswa tersebut ingin menjadi guru? Sudah merupakan hal yang
lazim, jika tamat dari pendidikan guru, tentu akan berprofesi menjadi guru
(jika ia ingin bekerja). Masalah yang timbul kemudian, saat menjalani profesi
guru, mulai timbul permasalahan hidup yang berkaitan dengan profesinya
tersebut, misalnya kesejahteraan yang tidak memadai, ditambah lagi pekerjaan
seorang guru dikatakan cukup berat bahkan ada yang mengatakan pekerjaan paling
berat di dunia.
Menurut Handoko (1992), dari sekian banyak
siswa yang memilih pendidikan guru, seringkali terdapat juga mereka-mereka yang
sebenarnya tidak mempunyai motivasi menjadi guru dalam arti motivasi yang
mereka kurang sesuai dengan tujuan pendidikan guru. Mereka memang menimba ilmu
pendidikan guru tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud menjadi guru.
Alasannya antara lain karena tidak diterima di universitas atau institut
pendidikan yang berstatus negri, ada yang dipaksa oleh orang tua, atau karena
ekonomi yang lemah, sehingga mereka terpaksa masuk ke sekolah pendidikan guru
yang mereka anggap dapat mengatasi atau menyelesaikan persoalan tersebut di
atas. Dalam beberapa kasus, di dalam diri mereka tidak terdapat motivasi untuk
menjadi guru. Meskipun demikian, motivasi menjadi guru baru timbul ketika
mereka sudah tamat dari pendidikan guru atau sudah menjabat profesi guru. Hal
senada yang dituliskan oleh Yulirahmawati (2008) yang melakukan riset mengenai
motivasi menjadi guru dengan koresponden mahasiswa master dan doctoral dari
bebeapa negara dimana sebagian dari mereka (koresponden) memiliki motivasi
menjadi guru setelah beberapa tahun mengajar sebagai guru. Habnoer (2007) juga
menuliskan hasil penelitian BALITBANG DEPDIKNAS bahwa salah satu penyebab
rendahnya kualitas guru adalah karena mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan
guru hanya karena takut tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi
lainnya
Akan tetapi, dari beberapa kasus di
Indonesia, motivasi menjadi guru ini kembali menjadi pertanyaan ketika mereka
sudah merasakan bagaimana sebenarnya kehidupan seorang dengan profesi guru.
Apakah mereka akan terus termotivasi menjadi guru atau menarik dari dari dunia
profesi guru ketika status sosial, kebutuhan dan kesejahteraan mulai ”angkat
bicara”? Pada awalnya, ketika mereka memilih memasuki pendidikan guru, mungkin
ada di antaranya murni memilih pendidikan guru, mungkin juga karena terpaksa
seperti yang dibicarakan di atas. Munculnya dilema antara kebutuhan dan pilihan
menjadi guru terus berkembang dan menjadi wacana di tingkat dunia pendidikan.
Mulailah timbul tuntutan-tuntutan dari guru yang berkenaan dengan tingkat
kesejahteraan. Demo ke pemerintah (pendidikan) sampai ada yang mogok mengajar.
Alhasil, anak didik terkena dampak. Damapak yang bisa merusak mental anak
didik. Tentunya kita tahu, jika guru tidak lagi mempunyai motivasi untuk
mendidik, tidak lagi mendidik dengan sepenuh hati, maka pendidikan di negara
kita akan hancur yang selanjutnya bangsa Indonesia pun akan terpuruk, menjadi
bangsa yang terbelakang. Jadi, dengan demikian motivasi menjadi guru masih
dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar ingin menjadi guru atau karena alasan
lainnya?
Apresiasi Profesi Guru
Profesi
guru memang memperihatinkan. Belum lagi masalah tingkat kesejahteraan yang
menjadi problema hidup, ditambah lagi masalah status di di lingkungan
masyarakat yang membuat guru bertambah ”lemas”.
Pada
zaman penjajahan Belanda dan Jepang, profesi seorang guru dipandang sebagi
profesi yang mulia dan bermartabat tinggi. Kedudukan atau status sosial guru
sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Perkataan guru dianggap sebagai ”sabda”,
digugu dan ditiru (Pagau, 2008; Tuhusetya, 2008). Tidak banyak orang yang
menjadi guru pada waktu itu. Seorang guru telah menjadi panutan bagi masyarakat
di sekitarnya. Guru dipandang sebagai pribadi yang arif, cerdas dan bijaksana.
Namun sekarang, pandangan itu sudah hampir tidak ada lagi. Perkembangan zaman
telah membuat status guru seperti tak ubahnya profesi lain yang tidak ”hebat”
seperti halnya profesi dokter atau insinyur. Padahal timbulnya profesi dokter,
insinyur dan lainnya tidak terlepas dari didikan dari guru tempat mereka
menuntut ilmu. Profesi guru di mata masyarakat masa kini telah kehilangan
pamor, tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang luhur dan mulia. Status
sosial guru semakin tersisih di tengah-tengah masyarakat yang mendewakan
hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan. Sudiono (2007) mengatakan, profesi
tentu saja memiliki konsekuensi, bukan saja kompetensi akademik, sosial atau
kompetensi lainnya melainkan melekat apa yang disebut sebagai kaum profesional.
Salah satunya guru sebagai suatu golongan kaum profesional. Namun, nasib
profesional guru tidak secepat dan secemerlang profesi lainnya.
Pada
dasarnya, guru sama sekali tidak mengharapkan apresiasi yang berlebihan dari
masyarakat. Bagi mereka mungkin cukuplah dihargai sebagai manusia yang juga
tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Bukan harus selalu disalahkan
ketika prestasi anak didik yang dididiknya mengalami penurunan. Kenyataannya
masyarakat masa kini terutama orangtua anak didik kurang menghargai eksistensi
guru yang telah mendidik anak-anak mereka. Mengapa demikian? Masyarakat
menganggap, kualitas pendidikan mutlak ditentukan oleh guru karena mereka
bertugas sebagai pendidik. Guru bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan
anak mereka. Apabila hasil pendidikan tidak baik, maka guru akan disalahkan. Sama sekali masyarakat tidak melihat
faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Masih
banyak lagi prilaku dan pandangan terhadap guru yang kurang apresiatif, baik
dari anak didik sendiri, orang tua, masyarakat maupun pemerintah dari segi
kesejahteraan guru. Dengan demikian menjadi guru mungkin penuh dengan ”ujian
hidup”. Melihat kondisi ini, wajar jika masih ada guru yang mengajar dengan
pengajaran yang tidak berkualitas yang mungkin unsur keterpaksaan berperan di
dalamnya.
Kualitas dan Kesejahteraan Guru
Sebuah persepsi umum yang sama, bahwa gaji
guru kecil ditambah lagi dengan bermacam-macam potongan dengan dalih asuransi,
dana sosial dan sebagainya. Lebih ironis lagi bagi guru non PNS dimana mereka
akan mendapat potongan jika tidak masuk mengajar.
Menurut Kristianawati (2002), rendahnya
tingkat kesejahteraan guru Indonesia membuat mereka tidak bisa optimal dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pendidik karena selalu mengurusi
persoalan ekonomi keluarga. Tidak mengherankan jika ada guru yang menekuni
profesi sampingan untuk menambah biaya hidupnya, misalnya sebagai supir angkot,
bisnis MLM (multi level marketing), menjadi guru privat bahkan melakukan
transaksi perdagangan di sekolah baik sesama guru maupun dengan anak didik.
Bisa dibayangkan bagaimana proses pembelajaran di sekolah yang dilaksanakan
oleh guru dengan pikiran yang bercabang-cabang antara tanggung jawab mendidik dengan tanggung jawab terhadap keluarga.
Tentu saja kualitas pendidikan tidak akan optimal. Bagaimana pula peranan
pemerintah khususnya di bidang pendidikan dalam mengatasi masalah kualitas guru
tersebut?
Dalam rapat terbatas bidang pendidikan,
Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mengemukakan, pada hakekatnya pendidikan
nasional dijalankan untuk membangun human capital, sumberdaya manusia
yang cerdas, memiliki daya saing yang tinggi, dan berkepribadian yang tangguh.
Untuk itu pemerintah telah menetapkan kebijakan agar prioritas pendidikan
nasional tahun 2007-2009 benar-benar bisa meningkatkan mutu, akutabel, lebih
merata dan dapat dijangkau semua kalangan (Tempo, 8 Juli 2007). Pandangan
presiden sangat baik, namun bagaimana mutu pendidikan bisa tercapai optimal
kalau kualitas gurunya masih rendah dan dipertanyakan? Wahyudin dkk. (2004),
kualitas pendidikan sangat tergantung pada beberapa aspek, yaitu kualitas anak
didik itu sendiri, orangtua, sarana dan prasarana, terakhir kualitas guru.
Studi BALITBANG menyimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat pencapaian
prestasi anak didik dengan kualitas guru. Salah satu komponen untuk
meningkatkan kualitas guru adalah dengan peningkatan kesejahteraan guru
sehingga bisa kita sumsikan bahwa kualitas pendidikan nasional tidak akan tercapai
dengan baik jika para pendidiknya masih dominan memikirkan kesejahteraan dan
status sosialnya.
Pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan
berupaya mengatasi masalah kesejateraaan guru dengan merencanakan kenaikan gaji
guru di dalam APBN tahun 2009. Direncanakan kisaran gaji guru pegawai negeri
sipil (PNS) antara Rp. 1,55-2,07 juta sesuai dengan pangkat dan golongan. Bagi
guru non PNS, akan mendapat tunjangan profesional sebesar Rp. 200.000 per bulan untuk non sarjana
dan Rp. 300.000 bagi kualifikasi sarjana (Kompas, 21 Oktober 2008). Sementara
itu Pemerintahan Kota Medan juga berencana meningkatkan kesejateraan guru
dengan memberi bantuan (insentif) untuk guru swasta melalui APBD Medan sebesar
Rp.250.000 per bulan (Sumut Pos, 28 April 2008). Di samping itu, pemerintah
juga menerapkan sistem sertifikasi untuk meningkatkan kualitas guru yang
dibarengi dengan tunjangan bagi yang telah memiliki sertifikasi baik bagi guru
PNS maupun non PNS. (Pada beberapa kasus, guru yang telah lulus sertifikasi,
belum mendapat tunjangan sampai berbulan-bulan). Berita ini tentu saja membuat
para guru cukup senang, walaupun tidak mengetahui pasti bagaimana aplikasinya
di lapangan. Namun, masih perlu kita jadikan pertanyaan apakah dengan adanya
kenaikan gaji guru dan tunjangan profesi akan meningkatkan kualitas guru secara
signifikan atau tidak. Mampukah kita melakukan sertifikasi dengan ikhlas tanpa
ada unsur keterpaksaan untuk mendapatkan tunjangan profesi yang lebih? Kembali
kita pertanyaan pada diri kita masing-masing.
Penutup
Sudah kita ketahui bahwa ketika seseorang
memilih profesi guru belum tentu menekuni dengan benar profesinya tersebut.
Pilihan profesi guru bisa jadi pilihan alternatif atau terakhir. Dunia
pendidikan tentunya tidak menginginkan orang-orang yang menempuh pendidikan
keguruan adalah orang-rang yang tidak lulus dengan pilihan utamanya karena
apabila pilihan guru terpaksa diambil, maka unsur keterpaksaan akan terbawa
ketika ia menjadi guru. Keterpaksaan akan semakin terasa ketika tingkat
kesejahteraan guru menjadi dilema dalam kehidupannya. Keterpaksaan sebagai guru
akan memberi dampak buruk bagi dunia pendidikan khususnya bagi anak didik yang
bermuara kepada keterpurukan dunia pendidikan kita.
Tugas
seorang guru adalah mendidik. Melaksanakan tugasnya dengan baik akan
menghasilkan kualitas anak didik yang baik pula yang pada akhirnya kualitas
pendidikan di negara kita akan menjadi lebih baik, tentu saja dalam upaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, peranan guru, anak didik, orang tua,
masyarakat dan pemerintah sebaiknya harus berada dalam suatu koridor yang
terarah dengan baik dan proporsional.
Apabila seorang guru telah menentukan
pilihan menjalani profesi guru, maka faktor-faktor eksternal dan internal yang
mempengaruhi kinerja guru sebaiknya tidak mendominasi, misalnya tingkat
kesejahteraan, tugas yang banyak serta kewajiban-kewajiban lain yang dibebankan
kepada guru.
Tondowidjojo (1985) mengatakan bahwa tugas
guru memang sangat berat, sedangkan gaji yang didapat kecil. Disinilah
dibutuhkan pengorbanan seorang guru. Apabila memang ada pengorbanan, maka
pengorbanan inilah yang dicintainya.
Motivasi menjadi guru mungkin timbul
ketika kita menjalani profesi guru.
Ketika motivasi ini telah tertanam maka seorang guru yang baik akan
belajar mencintai profesinya tersebut karena hakekat profesi ini bukanlah
menuntut nafkah hidup yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaannya
melayani sesamanya. Kristianawati (2002); Pagau (2008), menyatakan bahwa
imbalan yang diterima guru baik yang bersifat materil maupun moril masih jauh
dari tuntutan rasa kepuasan guru meskipun sesungguhnya martabat dan harga diri
guru tidak diukur dari aspek materil dan simbol-simbol lahiriah.
Martabat,
panggilan hidup dan tanggung jawab kita sebagai pendidik mewajibkan kita untuk
mengusahakan apa saja guna memperluas, memperdalam, mengadakan pembaharuan pada
kompetensi kita demi peningkatan kualitas anak didik meskipun apa yang telah
kita perjuangkan dan telah kita lakukan tidak mendapatkan imbalan yang sepadan
(Tondowidjojo, 1985). Jika kita merasa terpanggil untuk menjadi guru, maka
penuhilah panggilan tersebut karena orang yang memenuhi panggilan hidupnya
adalah orang yang baik, namun jika kita menjadi guru karena motivasi atau
orientasi kebendaan dan status sosial maka sebaiknya dipertimbangkan untuk
terus menjalani profesi guru karena itu sama saja dengan melakukan perbuatan
yang terpaksa. Perbuatan yang mengandung unsur keterpaksaan tentu saja akan
menghasilkan sesuatu yang tidak baik.
Pada akhirnya,
kita pertegas bahwa memilih menjadi guru harus siap dengan segala konsekuensi
yang muncul dalam kehidupan profesi guru.
*
BIODATA PENULIS
Nama : Muhammad Raudah
Jambak, S.Pd
Tempat/tgl Lahir : Medan, 5 Januari 1972
Alamat :
Jl. Murai batu E10-Komp. Rajawali Indah-Sunggal/Medan
Telp/Hp : 085830805157
Pekerjaan : Guru SMK Panca Budi Medan
Alamat Kantor : SMK Panca Budi-2 Medan
Jl. Gatot Subroto Km. 4.5 Medan
N0. rekening : mandiri Cab. Medan balaikota:
1060004699933
a.n Muhammad Raudah jambak
Sumber Pustaka
Habnoer, S., 2007. ”Masalah Kesejahteraan
dan Pencitraan Profesi”. Internet. 10 November 2008
Handoko, M., 1992. ”Motivasi: Daya
Penggerak Tingkah Laku. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Kristianawati, A. 2002. ”Guru dan Tuntutan
Kompetensi Profesi”. Internet.
10 November 2008
Wahyidin, D, D. Supriadi, I. Abdulhak,
2004. ”Pengantar Pendidikan”. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta
Kompas 21 Oktober 2008. ” Mempertanyakan
Nasib Guru”. Media Cetak.
Pogau, O., 2008. ” TakPerlu Ragu Menjadi
Guru”. Internet. 10 November 2008
Sudiono, 2007. ”Profesi Guru: Antara
Harapan dan Realitas”. Internet. 10 November 2008.
Sumut Pos 28 April 2008. ” Perhatikan Guru
Swasta. Media Cetak
Tahusetya, S., 2007. ”Mempertanyakan
Apresiasi Masyarakat Terhadap Profesi Guru. Internet. 10 November 2008.
Tempo 8 Juli 2007. Jalan Panjang Membangun
Human Capital.” Majalah.
Tondowidjojo, JVS., 1985. ” Kunci Sukses Pendidik”. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta
Yulirahmawati, 2008. ”Untuk Apa Menjadi
Guru”. Internet. 10 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar