Ular Tangga Sastra Anak
Apa Kata Mereka?
Menurut Wahidin, 2009, sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus
dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan
anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Seperti pada jenis karya
sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan
hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak.
Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan
kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi
pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak
dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira
mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan
kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
Menurut Hurlock (2002: 161) menjelaskan, salah satu
karakteristik tugas perkembangan anak-anak adalah berkaitan dengan rasa ingin
tahu yang tinggi. Anak senang memuaskan keingintahuannya dengan hal-hal baru
yang berbeda dengan menjelajahinya. Anak yang lebih besar ingin menjelajah
lebih jauh dari lingkungannya rumah dan lingkungan tetangga serta menjelajah
daerah baru.
Teknologi adalah alat pengantar kita
untuk dapat berpikir lebih maju. Bukan berarti harus menyalahgunakannya. Bukan
berarti juga kabiasaan budaya kita harus hangus dibuatnya. Nah, yang menjadi
permasalahnnya adalah, dimanakah letak kesalahan tersebut?, Apa solusi yang
harus kita temukan untuk mengatasi kebiasaaan anak-anak zaman sekarang?
Kunci dari permasalah kita disini adalah orangtua. Kita harus berpikir mundur
sejenak. Orang tua disisni memiliki peranan yang sangat penting terhadap perkembangana
anak-anaknya. Zaman dahulu, anak-anak masih dikenalkan dengan sastra yang
berbau kebudayaan yang pantas untuk dikonsumsi oleh anak-anak, misalnya
dongeng,puisi anak-anak, cerita pendek, dan nyanyian-nyanyian anak. Sudah
seharusnya anak-anak dibawah usia 15 tahun dikenalkan oleh orangtuanya sastra
anak yang seperti telah disebutkan sebelumnya, bukan dengan membiarkan mereka
terjerumus dalam tekhnologi yang tiada batasnya.
Zaman sekarang orangtua sudah jarang
membiasakan anak-anaknya untuk mendengarkan cerita-cerita rakyat dari
orangtuanya, atau membuat puisi singkat tentang orangtuanya, ataupun membacakan
dongeng pangantar tidur untuk anak-anaknya. Mengapa? Kebanyakan orang tua
sekarang sibuk akan pekerjaannya sehingga perhatian untuk anak-anaknya semakin
lama akan semakin berkurang, khususnya pada masyarakat yang tinggal di kota.
Apabila dengan cara seperti itu sudah dilakukan, maka anak-anak tidak akan
menjadi seperti yang sekarang. Boleh saja anak-anak menggunakan teknologi, akan
tetapi harus dilakukan dengan baik, jangan menjadi salah kaprah. Boleh saja
mereka bermain Point Blank, akan tetapi harus pandai mengatur waktu, jangan
hanya gara-gara ingin mnegikuti perkembangan zaman saja agar merasa lebih
"in", sehingga waktu untuk belajar dan istirahat pun terganggu hanya
gara-gara game online tersebut.
Disinilah kesalahnnya, seharusnya
orang tua menempa kebiasaan baik anak-anaknya dari usia dini. Dimulai dari
penerapan sastra anak yang seharusnya sudah diberikan sejak usia anak masih
dini. Jangan sampai sastra anak yang sudah menjadi sebuah pengantar anak-anak
untuk dapat mengembangkan imajinasi dan kekreatifitasannya hangus oleh
teknologi. Jadi kesimpulannya adalah bahwa orangtualah yang menjadi kunci bagi
perkembangan anak-anaknya dan solusi untuk mencegah hangusnya sastra anak ini
adalah dengan cara memulainya dari sekarang untuk memperkenalkan satra anak
dirumah, maupun di sekolah-sekolah.
Masihkah Sastra Anak Mampu Berkembang?
Dunia sastra pada awalnya dipandang sebelah mata. Begitu
juga dimata anak-anak, sastra dimata anak-anak tidak begitu diminati. Bisa
dibandingkan satu dari tiga orang yang tertarik dengan sastra. Itupun karena
dorongan dari orang tua, tetapi bagaimana jika orang tuanya tidak begitu
tertarik pada sastra? Jelas saja anak juga tidak tertarik pada sastra.
Dunia anak memang indah.
Keindahannya tidak dapat digantikan dengan apapun. Oleh karena itu, perlakuan
padanya tidak sama dengan kepada orang dewasa. Anak-anak bukanlah manusia
dewasa dalam bentuk mini. Alwi berpendapat anak adalah manusia yang masih kecil
(2002:41). Itu berarti bahwa anak memiliki semua sifat manusia hanya saja
secara fisik dan emosional mereka belum seutuhnya seperti manusia dewasa.
Kondisi ini memudahkan orang dewasa menanamkan nilai-nilai. Perilaku dan sikap
seseorang di masa datang sangat ditentukan oleh penanaman nilai di masa
kanak-kanak. Tidak mengherankan jika anak banyak meniru perilaku orang tua,
perilaku baik atau buruk.
Selain itu, dunia anak juga penuh
rasa ingin tahu. Hurlock dalam Psikologi Perkembangan mengungkapkan bahwa anak
mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya juga mengenai
tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Reaksi pertama adalah dalam bentuk
penjelajahan sensomotorik; kemudian sebagai akibat dari tekanan sosial dan
hukuman, ia bereaksi dengan bertanya (hlm. 116). Hurlock juga menegaskan bahwa
setiap anak mempunyai sifat ingin tahu tentang hal-hal baru yang tidak pernah
ia ketahui.
Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari sastra. Misalnya
saja anak bisa berpikir kreatif , inofatif dan imajinatif dalam sastra.
Pendidikan intelektual semakin berkembang, anak tersebut tidak hanya memperoleh
ilmu formal saja tetapi ilmu non formal juga ia peroleh.
Bergaul dengan sastra menurut Tarigan dapat mengembangkan
imajinasi anak-anak dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam,
insan, pengalaman, atau gagasan dengan/ dalam berbagai cara (1995:6). Oleh
karena itu, tidak usah heran jika isi sastra yang diciptakan anak-anak pun
bertema berbagai segi kehidupan. Bahkan terkadang tema itu sama dengan sastra
dewasa hanya dengan sudut pandang anak-anak.
Sebuah karya sastra pada hakekatnya
merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan (Umar Yunus). Saya mempunyai
kecenderungan jika seorang anak menyukai karya sastra maka anak tersebut akan
peka terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian anak akan lebih
termotipasi untuk membaca ataupun berkarya.
Seperti Apa Yang Biasa Disukai Anak?
Bentuk karya sastra yang diminati
anak biasanya seperti prosa dan puisi. Bentuk bahasa yang digunakan anak
berbeda dengan bahasa orang dewasa. Bahasa anak dominan terhadap apa yang ia
rasakan dan apa yang dilihatnya. Isi cerita dalam prosa anak-anak memang lebih
sederhana dari pada prosa yang diciptakan oleh orang dewasa. Begitupula
dengan tema yang tidak sekompleks prosa orang dewasa. Umumnya isi dan
tema masih berhubungan dengan hal-hal konkrit yang ada di sekitarnya.
Misalnya, tentang pekerjaan, binatang, atau keluarga. Demikian juga
untuk dongeng, tokoh dan tema yang dipilih tidak jauh berbeda dengan dongeng
yang sudah ada. Namun penyampaiannya tidak terlalu panjang.
Cobalah simak dongeng berikut yang
berkisah tentang kebaikan hati kucing dan jiwa penolongnya. Dongeng ini
merupakan karya ananda Aliya Fauziah berjudul Kucing yang Baik Hati terdapat
pada buku Mencontoh Nabi.
Pada Suatu hari seekor kucing sedang berjalan-jalan dan
melihat seekor kelinci yang sedang menangis. Hik hik..
Lalu kucing mendekati kelinci dan bertanya Mengapa engkau
menangis kelinci?
Lalu kelinci menjawab, Saya tidak tahu jalan pulang ke
rumah.
Kucing pun menawarkan diri untuk membantu kelinci yang masih
menangis. Mereka berdua bersama-sama mencari rumah kelinci. Setelah beberapa
menit, akhirnya kucing menemukan rumah kelinci. Kelinci senang sekali dan
berterima kasih kepada kucing. Kucing pun tidak menangis lagi. Kucing senang
sekali dapat menolong kelinci.
Kesederhanaan juga tampak pada
penceritaannya tetapi mudah dimengerti pesan yang ingin disampaikan. Hal yang
sama juga terlihat pada cerita pengalaman. Pada bagian ini menunjukkan bahwa
tolong menolong pun bisa dilakukan pada makhluk lain.
Dari karya sastra, anak bisa
mendapatkan nilai-nilai sastra. Misalnya saja nilai agama, nilai moral, nilai
sejarah, nilai budaya dan tradisi. Dengan membaca karya sastra saja mereka
dapat memperoleh nilai-nilai sastra tersebut.wah, betapa nikmatnya jika kita
bisa memanfaatkan semua ini dengan baik. Asalkan mereka bisa melakukannya
dengan baik .
Faktor yang melatar belakangi
kurangnya minat sastra pada anak. Misalnya saja perkembangan Teknologi yang
semakin pesat. Banyak anak-anak yang menuangkan pikirannya dalam wadah
teknologi. Anak yang usianya 14 tahun ke bawah belum mampu membandingkan yang
baik untuk dirinya, anak-anak
adalah pribadi yang belum matang secara fisik dan emosi. Dalam menghadapi suatu
masalah, biasanya mereka berpikir secara dangkal sesuai dengan pengalaman yang
mereka terima. mereka lebih tertarik pada permainan games dari pada mambaca
dongeng ataupun prosa lainya.
Solusi yang dapat ditempuh untuk
tertarik pada sastra adalah berupa memperkenalkan dirinya sejak dini terhadap
nilai-nilai sastra. perkembang teknologi yang semakin pesat. Jika anak
ditanamkan sejak dini sastra maka anak tersebut akan melatih berpikir
imajinatif dan semakin tetarik membaca. Dan mengawasi anak dalam
perkembang teknologi yang semakin pesat.
Sama halnya
seperti orang dewasa, maka anak-anak juga memiliki keinginan untuk mempelajari
berbagai kebijaksanaan hidup. Anak-anak memiliki ketakutan, kerinduan, kesepian
atau kegelisahannya sendiri; yang seringkali tak mampu dirumuskan dan
diungkapkannya.
Tentu saja,
dilihat dari kacamata orang dewasa, apa yang dirasakan dan dialami oleh
anak-anak terkesan sepele dan mengada-ada. Tapi, sesuai dengan takaran jiwa anak-anak
itu, maka intensitas ketakutan, kerinduan atau kesepian yang dialaminya sama
saja dengan yang dialami oleh orang dewasa. Anak-anak memiliki pergumulannya
sendiri; yang tak kalah hebatnya dengan orang dewasa.
Ketika saya
masih kecil, misalnya, sepanjang malam saya selalu dihantui oleh pikiran bahwa
ada seorang asing yang menyelinap di kolong tempat tidur. Karena itu, setiap
kali bangun pagi, saya selalu mengambil ancang-ancang untuk melompat beberapa
langkah dari sisi tempat tidur. Dengan demikian maka “orang asing” itu tak akan
bisa menangkap kaki saya. Dan barulah setelah mencapai pintu, saya melongok ke
kolong. (Tidak ada apa-apa di sana. Tapi upacara yang sama akan berlangsung
setiap pagi).
Ketika saya
masih kecil, misalnya, tubuh saya kurus-kering dan saya bukanlah tipikal anak
yang senang berkelahi. Tapi saya adalah anak paling tua dari beberapa
bersaudara. Karena itu, setiap kali harus mengiringi adik-adik pulang dan pergi
sekolah, saya selalu dipenuhi oleh kegelisahan. Saya takut, bagaimana saya
harus membela mereka, kalau kami diganggu oleh anak-anak di pojok jalan sana
yang selalu berteriak, “Hei, banci, banci….”.
Ketika saya
masih kecil, misalnya juga, saya selalu bingung kalau malam sebelum hari
penerimaan rapor, ibu menyuruh saya berdoa agar Tuhan memberi nilai-nilai yang
baik. Padahal saya tahu benar, sejak dua hari yang lalu, buku rapor tersebut
telah diisi oleh ibu guru dan disimpan di dalam lemari kelas. (Bagaimana
mungkin dan apa perlunya Tuhan repot-repot menyelinap ke dalam lemari dan
mengubah-ubah angka yang telah ada di sana?).
Dalam aspek
sosial anak pun seringkali mengalami kebingungan dan kegelisahan. Ketika saya
masih kecil, misalnya, saya mempunyai teman sekelas yang bernama Johnny Tjong.
Dan saya tidak pernah bisa mengerti, mengapa bila lepas dari pagar sekolah,
Johnny–anak Cina itu– seolah-olah menjadi sah untuk diperlakukan apa saja oleh
anak-anak lainnya. Bahkan orang dewasa yang melihatnya pun sering tidak
mengambil tindakan apa pun.
Ketika saya
masih kecil, misalnya, saya juga pernah ikut berlari-lari di belakang
serombongan pemuda yang sedang melakukan “sweeping” terhadap orang-orang yang
diduga anggota PKI. Saya masih ingat wajah sepasang suami-isteri yang
digelandang pemuda-pemuda itu keluar dari gubuknya dan dibawa ke balik
kerimbunan pohon-pohon pisang di tepi sungai. Ketika kami anak-anak ingin
mengetahui lebih jauh apa yang akan terjadi dengan suami-isteri itu, salah
seorang dari pemuda itu mengacungkan goloknya sebagai isyarat agar kami pergi.
Tentu saja saya berlari tunggang-langgang. Setibanya di rumah saya menceritakan
apa yang baru saya lihat dan bertanya, “Apa salahnya orang-orang itu?” Tapi
saya tidak mendapat jawaban apa pun, kecuali tamparan yang keras di pipi dari
ayah.
Dalam kaitan
yang sama dengan pengalaman di atas, maka ketika masih kecil, saya juga
mempunyai seorang sahabat. Suatu hari sahabat saya tidak masuk sekolah untuk
waktu yang cukup lama. Kemudian kami mendengar kabar bahwa ayahnya ditahan
karena diduga terlibat dalam kegiatan PKI. Ketika ia kembali masuk sekolah,
semua anak menjauhinya, seperti layaknya seorang penderita penyakit menular
yang berbahaya. Dengan alasan yang tidak terlalu jelas, saya juga ikut-ikutan
mengambil jarak dengan sahabat tersebut. Tapi hal itu saya lakukan dengan penuh
pergumulan. Dan sampai sekarang–setelah saya dewasa–pengalaman tersebut selalu
mengganggu hati saya. (Apalagi, di kemudian hari saya mendengar kabar bahwa
sahabat saya tersebut telah meninggal dunia. Saya tak pernah meminta maaf
kepadanya).
Begitulah,
banyak hal yang ingin diketahui anak. Banyak ketakutan, kebingungan,
kegelisahan yang dirasakan anak, yang tak mampu dirumuskan serta diungkapkannya
secara jelas. Karena itu anak juga membutuhkan teman untuk merefleksikan hidup
dan sarana untuk pembebasan jiwa. Anak membutuhkan sastra.
Terobosan Untuk Sastra Anak.
Pada tahun
70-an, di Amerika Serikat terbit sebuah buku cerita bergambar anak-anak yang
berjudul “Where The Wild Things Are” karya Maurice Sendak. Buku itu bercerita
tentang seorang anak yang di alam mimpinya bergabung dan bermain dengan
monster-monster bertanduk dan berwajah jelek. Buku yang pernah mendapat
penghargaan sebagai buku cerita bergambar anak-anak terbaik itu, mendapat
sambutan yang hangat dari anak-anak. Di dalam cerita dan gambar-gambar yang kreatif
dari Maurice Sednak, anak-anak mendapatkan jawaban dan pembebasan atas
ketakutannya. Kalau buku tersebut terbit di Indonesia, maka ia tentu adalah
buku yang tepat bagi seorang anak yang mempunyai phobia bahwa ada orang asing
yang selalu menyelinap di kolong tempat tidurnya.
Pada tahun
40-an, di Amerika Serikat pernah pula terbit buku cerita bergambar yang
berjudul “Ferdinand The Bull” karangan Munro Leaf. Buku ini bercerita tentang
seekor anak banteng yang tidak senang berkelahi. Hobinya hanya merenung-renung
di pinggir kali dan mencium harumnya bunga-bunga. Beberapa kali dalam setahun,
secara teratur, peternakan itu selalu didatangi oleh para promotor adu banteng.
Mereka selalu mengamat-amati banteng-banteng muda untuk dilatih menjadi banteng
aduan. Bila promotor-promotor ini datang ke peternakan, maka anak-anak banteng
umumnya akan pasang aksi agar terpilih untuk dibawa ke kota dan dilatih menjadi
banteng aduan. Tapi Ferdinand tak pernah memperdulikan hal itu. Ia asyik saja
mencium bunga-bunga. Begitulah, secara tak sengaja Ferdinand mencium bunga yang
berisi lebah dan lebah itu menyengat hidungnya. Ferdinand kesakitan dan
melompat kian-kemari. Melihat aksi Ferdinand, maka para promotor berkesimpulan
inilah banteng muda yang tepat untuk dilatih (Mereka tidak tahu bahwa Ferdinand
bersikap demikian karena disengat lebah!). Begitulah, Ferdinand pun dibawa ke
kota. Tentu saja ia tidak bahagia. Ketika hari adu banteng tiba penonton penuh
sesak memenuhi stadion. Matador masuk ke gelanggang dengan diiringi oleh tepuk
tangan penonton. Tapi Ferdinand tak merasa terangsang untuk berkelahi. Ia
justeru sibuk menatap bunga-bunga yang terpasang di telinga para wanita
suporter sang matador. Begitulah, ketika matador telah mengibaskan bendera
merahnya, tiba-tiba ada sekutum bunga yang dilemparkan dari tribun dan jatuh di
dekat kaki Ferdinand. Alih-alih berlari menabrak sang matador, Ferdinand
berbalik dan duduk mencium bunga. Semua geger. Apa pun yang dilakukan oleh
matador, Ferdinand tak tertarik menanggapinya. Akhirnya dengan kecewa para
promotor adu banteng mengembalikannya ke peternakan. Ferdinand bahagia. Kini
setiap hari ia boleh duduk-duduk menikmai keindahan.
Kalau
“Ferdinand The Bull” diterbitkan di Indonesia, maka ia tentu adalah sastra
untuk anak lelaki yang kurus-kerempeng dan tak pandai berkelahi. Buku-buku yang
baik untuk anak-anak yang mengalami kebingungan atas sejarah atau realitas
sosial masyarakatnya juga banyak kita jumpai di negara-negara maju.
Di
negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropah, para pustakawan
pendidik, psikolog dan ahli sastra telah menyadari benar tentang pentingnya
sastra anak-anak. Cukup banyak buku yang telah ditulis mengenai sastra
anak-anak. Buku yang berisikan ulasan para ahli tentang buku-buku
anak-anak–subyek, sasaran umur dan sasaran pembacanya–tak kurang pula
banyaknya.
Problematik Sastra Anak Di
Indonesia.
Secara umum
bacaan anak-anak sekarang pasti tak lepas dari komik. Tak bisa dielakkan,
daftar buku terlaris anak pada jaringan toko buku terkemuka menunjukkan golongan
buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan
Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals,
atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli.
Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney-lah yang
sering kali tampak di pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacan-bacaan tersebut
telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai
universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya. Benarkah? Lalu di mana ya
buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri?
Sastra anak sebagai salah satu bentuk karya
sastra, wujud pertama dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam
pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan
sebagaimana baiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam
sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun
karena berpatok kaku pada tataran ini banyak karya sastra anak Indonesia yang
terjebak dalam tema yang itu-itu saja, tidak berkembang, terlebih lagi unsur
didaktik yang kuat menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia
tidak banyak pemerhati sastra anak. Sastra anak adalah sastra yang tersisihkan,
jarang ada peneliti yang memperhatikan. Jika kita mau menengok, hanya
segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah
Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha Sarumpaet, dan Christantiowati.
Mereka-mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun
dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi.
Literatur
tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan
ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada
Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan
Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka,
1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka
Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita
Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara
literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer
(Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita
Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula
di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti
Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku picture book terjemahan Gramedia dan
Elex Media, juga buku-buku bernuansa islami dari Mizan. Picture book
(buku cerita bergambar) banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan
persoalan. Anak sejak usia dini mulai dikenalkan mengenai pluralisme,
penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi,
persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dll.
Tapi ada juga
yang menggunakan picture book sebagai media mengenalkan hitungan,
abjad, warna, ukuran, alam semesta, ruang angkasa, tumbuhan, binatang, dll.
Beberapa buku juga ada yang tanpa huruf (wordless picture book) yang
berguna mengasah anak berbahasa dengan menciptakan ceritanya sendiri menurut
pengertiannya mengenai gambar.
Kemudian pada
periode lanjutan biasanya disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu
banyak ragam judul dan temanya. Baru di sekolah mereka mengenal buku-buku
cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak.
Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah,
itupun tidak banyak, dari sekitar 2000 hingga 8000 koleksi sekolah, paling
kurang dari 60 yang merupakan cerita rakyat. Jika tidak melalui membaca,
biasanya anak-anak mengenal cerita rakyat melalui dongeng oleh guru atau orang
tua mereka, dan cerita favorit yang biasa diberikan biasanya tak luput dari
Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung
Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak
Indonesia bisa dikatakan tersubordinat dari bacaan terjemahan. Kenyataannya
memang penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Jadilah
kita tamu di negeri sendiri. Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja Seri
Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora,
Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), delapan judul Seri Petualanganmu yang
Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci
Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12
judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara,
Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, enam
judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, tiga judul Seri Adikku yang
Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai
karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke,
Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya
Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The
Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin.
Satu lagi, Ratu
Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang
diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di
Indonesia, tidak kurang ada 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam
Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama
Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri
Komplotan, enam judul Seri Kembar, tiga judul Seri Sirkus, enam judul Seri
Mallory Towers, dan tiga judul Seri Gadis Badung.
Begitulah,
karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak
lokal yang tidak dapat muncul dipermukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak
perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi
pemerintah melalui program Inpres. Tentu saja dibandingkan dengan karya
terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut jauh di bawah.
Karya-karya terjemahan tersebut muncul dengan tampilan gambar, warna, dan
kertas yang menawan.
Kemandegan
sastra anak lokal juga diperparah dengan tidak adanya program-program sastra di
sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk
buku-buku sastra dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat
apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami,
dan Habiburrahman El Shirazi.
Bahkan siapapun
orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini
nampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque,
Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica
Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang biasa saja mutunya
tapi gemanya sudah ke mana-mana.
Jika demikian,
semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti
pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup
menjanjikan. Penerbit mizan juga memelopori terbitan serial Kecil-Kecil
Punya Karya, walaupun hasilnya bisa dibilang children writing
namun cukup efektif mengasah bakat-bakat menulis pada anak.
Pada periode 70
dan 80-an dikenal karya-karya dengan tema toleransi, keragaman budaya, arti
perdamaian, dan sadar persamaan gender melalui pengarang-pengarang senior, seperti
Suyadi, Alm. Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Alm. Suyono, Dwianto
Styawan. Tentu saja sudah banyak yang terlupakan. Namun kiranya karya-karya
yang penuh humor, tidak berkhutbah, penuh ketrampilan menggunakan bahasa yang
terkadang penuh suspens dan taburan fantasi, menyebabkan karya-karya mereka
dapat dimodifikasi menjadi karya kreatif lain, semisal drama radio, drama
panggung, dan mendongeng.
Pengarang
sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini adalah Murti Bunanta yang
karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat
penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize
Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA,
2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire
d’Ailleurs.
Bukan cuma itu,
sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang
mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa
Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional
selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport,
Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang
kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales.
Kini dia
menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai
belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli
oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di
Australia.
Daftar Pustaka
Adzani, Khairida. Artikel. 2011. Hangusnya Sastra Anak-Anak.
Yanti, Isna. Artikel. 2011. Perkembangan Sastra Pada Anak Yang Semakin Berkurang.
Harahap, Mula. Artikel. 2007. Tentang
Sastra Anak-Anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar