Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Ular Tangga Sastra Anak



Ular Tangga Sastra Anak

Apa Kata Mereka?
            Menurut Wahidin, 2009,  sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
Menurut Hurlock (2002: 161) menjelaskan, salah satu karakteristik tugas perkembangan anak-anak adalah berkaitan dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Anak senang memuaskan keingintahuannya dengan hal-hal baru yang berbeda dengan menjelajahinya. Anak yang lebih besar ingin menjelajah lebih jauh dari lingkungannya rumah dan lingkungan tetangga serta menjelajah daerah baru.   
            Teknologi adalah alat pengantar kita untuk dapat berpikir lebih maju. Bukan berarti harus menyalahgunakannya. Bukan berarti juga kabiasaan budaya kita harus hangus dibuatnya. Nah, yang menjadi permasalahnnya adalah, dimanakah letak kesalahan tersebut?, Apa solusi yang harus kita temukan untuk mengatasi kebiasaaan anak-anak zaman sekarang?
             Kunci dari permasalah kita disini adalah orangtua. Kita harus berpikir mundur sejenak. Orang tua disisni memiliki peranan yang sangat penting terhadap perkembangana anak-anaknya. Zaman dahulu, anak-anak masih dikenalkan dengan sastra yang berbau kebudayaan yang pantas untuk dikonsumsi oleh anak-anak, misalnya dongeng,puisi anak-anak, cerita pendek, dan nyanyian-nyanyian anak. Sudah seharusnya anak-anak dibawah usia 15 tahun dikenalkan oleh orangtuanya sastra anak yang seperti telah disebutkan sebelumnya, bukan dengan membiarkan mereka terjerumus dalam tekhnologi yang tiada batasnya.
            Zaman sekarang orangtua sudah jarang membiasakan anak-anaknya untuk mendengarkan cerita-cerita rakyat dari orangtuanya, atau membuat puisi singkat tentang orangtuanya, ataupun membacakan dongeng pangantar tidur untuk anak-anaknya. Mengapa? Kebanyakan orang tua sekarang sibuk akan pekerjaannya sehingga perhatian untuk anak-anaknya semakin lama akan semakin berkurang, khususnya pada masyarakat yang tinggal di kota. Apabila dengan cara seperti itu sudah dilakukan, maka anak-anak tidak akan menjadi seperti yang sekarang. Boleh saja anak-anak menggunakan teknologi, akan tetapi harus dilakukan dengan baik, jangan menjadi salah kaprah. Boleh saja mereka bermain Point Blank, akan tetapi harus pandai mengatur waktu, jangan hanya gara-gara ingin mnegikuti perkembangan zaman saja agar merasa lebih "in", sehingga waktu untuk belajar dan istirahat pun terganggu hanya gara-gara game online tersebut.
            Disinilah kesalahnnya, seharusnya orang tua menempa kebiasaan baik anak-anaknya dari usia dini. Dimulai dari penerapan sastra anak yang seharusnya sudah diberikan sejak usia anak masih dini. Jangan sampai sastra anak yang sudah menjadi sebuah pengantar anak-anak untuk  dapat mengembangkan imajinasi dan kekreatifitasannya hangus oleh teknologi. Jadi kesimpulannya adalah bahwa orangtualah yang menjadi kunci bagi perkembangan anak-anaknya dan solusi untuk mencegah hangusnya sastra anak ini adalah dengan cara memulainya dari sekarang untuk memperkenalkan satra anak dirumah, maupun di sekolah-sekolah.

Masihkah Sastra Anak Mampu Berkembang?
Dunia sastra pada awalnya dipandang sebelah mata. Begitu juga dimata anak-anak, sastra dimata anak-anak tidak begitu diminati. Bisa dibandingkan satu dari tiga orang yang tertarik dengan sastra. Itupun karena dorongan dari orang tua, tetapi bagaimana jika orang tuanya tidak begitu tertarik pada sastra?  Jelas saja anak juga tidak tertarik pada sastra.
Dunia anak memang indah. Keindahannya tidak dapat digantikan dengan apapun. Oleh karena itu, perlakuan padanya tidak sama dengan kepada orang dewasa. Anak-anak bukanlah manusia dewasa dalam bentuk mini. Alwi berpendapat anak adalah manusia yang masih kecil (2002:41). Itu berarti bahwa anak memiliki semua sifat manusia hanya saja secara fisik dan emosional mereka belum seutuhnya seperti manusia dewasa. Kondisi ini memudahkan orang dewasa menanamkan nilai-nilai. Perilaku dan sikap seseorang di masa datang sangat ditentukan oleh penanaman nilai di masa kanak-kanak. Tidak mengherankan jika anak banyak meniru perilaku orang tua, perilaku baik atau buruk.
Selain itu, dunia anak juga penuh rasa ingin tahu. Hurlock dalam Psikologi Perkembangan mengungkapkan bahwa anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya juga mengenai tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Reaksi pertama adalah dalam bentuk penjelajahan sensomotorik; kemudian sebagai akibat dari tekanan sosial dan hukuman, ia bereaksi dengan bertanya (hlm. 116). Hurlock juga menegaskan bahwa setiap anak mempunyai sifat ingin tahu tentang hal-hal baru yang tidak pernah ia ketahui.
Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari sastra. Misalnya saja anak bisa berpikir kreatif , inofatif dan imajinatif dalam sastra. Pendidikan intelektual semakin berkembang, anak tersebut tidak hanya memperoleh ilmu formal saja tetapi ilmu non formal juga ia peroleh.
Bergaul dengan sastra menurut Tarigan dapat mengembangkan imajinasi anak-anak dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, insan, pengalaman, atau gagasan dengan/ dalam berbagai cara (1995:6). Oleh karena itu, tidak usah heran jika isi sastra yang diciptakan anak-anak pun bertema berbagai segi kehidupan. Bahkan terkadang tema itu sama dengan sastra dewasa hanya dengan sudut pandang anak-anak.
Sebuah karya sastra pada hakekatnya merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan (Umar Yunus). Saya mempunyai kecenderungan jika seorang anak menyukai karya sastra maka anak tersebut akan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian anak akan lebih termotipasi untuk membaca ataupun berkarya.


Seperti Apa Yang Biasa Disukai Anak?
Bentuk karya sastra yang diminati anak biasanya seperti prosa dan puisi. Bentuk bahasa yang digunakan anak berbeda dengan bahasa orang dewasa. Bahasa anak dominan terhadap apa yang ia rasakan dan apa yang dilihatnya. Isi cerita dalam prosa anak-anak memang lebih sederhana dari pada prosa yang diciptakan oleh orang dewasa. Begitupula dengan tema yang tidak sekompleks prosa orang dewasa. Umumnya isi dan tema masih berhubungan dengan hal-hal konkrit yang ada di sekitarnya. Misalnya, tentang pekerjaan, binatang, atau keluarga. Demikian juga untuk dongeng, tokoh dan tema yang dipilih tidak jauh berbeda dengan dongeng yang sudah ada. Namun penyampaiannya tidak terlalu panjang.
Cobalah simak dongeng berikut yang berkisah tentang kebaikan hati kucing dan jiwa penolongnya. Dongeng ini merupakan karya ananda Aliya Fauziah berjudul Kucing yang Baik Hati terdapat pada buku Mencontoh Nabi.

Pada Suatu hari seekor kucing sedang berjalan-jalan dan melihat seekor kelinci yang sedang menangis. Hik hik..
Lalu kucing mendekati kelinci dan bertanya Mengapa engkau menangis kelinci?
Lalu kelinci menjawab, Saya tidak tahu jalan pulang ke rumah.
Kucing pun menawarkan diri untuk membantu kelinci yang masih menangis. Mereka berdua bersama-sama mencari rumah kelinci. Setelah beberapa menit, akhirnya kucing menemukan rumah kelinci. Kelinci senang sekali dan berterima kasih kepada kucing. Kucing pun tidak menangis lagi. Kucing senang sekali dapat menolong kelinci.

Kesederhanaan juga tampak pada penceritaannya tetapi mudah dimengerti pesan yang ingin disampaikan. Hal yang sama juga terlihat pada cerita pengalaman. Pada bagian ini menunjukkan bahwa tolong menolong pun bisa dilakukan pada makhluk lain.
Dari karya sastra, anak bisa mendapatkan nilai-nilai sastra. Misalnya saja nilai agama, nilai moral, nilai sejarah, nilai budaya dan tradisi. Dengan membaca karya sastra saja mereka dapat memperoleh nilai-nilai sastra tersebut.wah, betapa nikmatnya jika kita bisa memanfaatkan semua ini dengan baik. Asalkan mereka bisa melakukannya dengan baik .
 Faktor yang melatar belakangi kurangnya minat sastra pada anak. Misalnya saja perkembangan Teknologi yang semakin pesat. Banyak anak-anak yang menuangkan pikirannya dalam wadah teknologi. Anak yang usianya 14 tahun ke bawah belum mampu membandingkan yang baik untuk dirinya, anak-anak adalah pribadi yang belum matang secara fisik dan emosi. Dalam menghadapi suatu masalah, biasanya mereka berpikir secara dangkal sesuai dengan pengalaman yang mereka terima. mereka lebih tertarik pada permainan games dari pada mambaca dongeng ataupun prosa lainya.
Solusi yang dapat ditempuh untuk tertarik pada sastra adalah berupa memperkenalkan dirinya sejak dini terhadap nilai-nilai sastra. perkembang teknologi yang semakin pesat. Jika anak ditanamkan sejak dini sastra maka anak tersebut akan melatih berpikir imajinatif  dan semakin tetarik membaca. Dan mengawasi anak dalam perkembang teknologi yang semakin pesat.

Bedakah Dengan Orang Dewasa?
Sama halnya seperti orang dewasa, maka anak-anak juga memiliki keinginan untuk mempelajari berbagai kebijaksanaan hidup. Anak-anak memiliki ketakutan, kerinduan, kesepian atau kegelisahannya sendiri; yang seringkali tak mampu dirumuskan dan diungkapkannya.
Tentu saja, dilihat dari kacamata orang dewasa, apa yang dirasakan dan dialami oleh anak-anak terkesan sepele dan mengada-ada. Tapi, sesuai dengan takaran jiwa anak-anak itu, maka intensitas ketakutan, kerinduan atau kesepian yang dialaminya sama saja dengan yang dialami oleh orang dewasa. Anak-anak memiliki pergumulannya sendiri; yang tak kalah hebatnya dengan orang dewasa.
Ketika saya masih kecil, misalnya, sepanjang malam saya selalu dihantui oleh pikiran bahwa ada seorang asing yang menyelinap di kolong tempat tidur. Karena itu, setiap kali bangun pagi, saya selalu mengambil ancang-ancang untuk melompat beberapa langkah dari sisi tempat tidur. Dengan demikian maka “orang asing” itu tak akan bisa menangkap kaki saya. Dan barulah setelah mencapai pintu, saya melongok ke kolong. (Tidak ada apa-apa di sana. Tapi upacara yang sama akan berlangsung setiap pagi).
Ketika saya masih kecil, misalnya, tubuh saya kurus-kering dan saya bukanlah tipikal anak yang senang berkelahi. Tapi saya adalah anak paling tua dari beberapa bersaudara. Karena itu, setiap kali harus mengiringi adik-adik pulang dan pergi sekolah, saya selalu dipenuhi oleh kegelisahan. Saya takut, bagaimana saya harus membela mereka, kalau kami diganggu oleh anak-anak di pojok jalan sana yang selalu berteriak, “Hei, banci, banci….”.
Ketika saya masih kecil, misalnya juga, saya selalu bingung kalau malam sebelum hari penerimaan rapor, ibu menyuruh saya berdoa agar Tuhan memberi nilai-nilai yang baik. Padahal saya tahu benar, sejak dua hari yang lalu, buku rapor tersebut telah diisi oleh ibu guru dan disimpan di dalam lemari kelas. (Bagaimana mungkin dan apa perlunya Tuhan repot-repot menyelinap ke dalam lemari dan mengubah-ubah angka yang telah ada di sana?).
Dalam aspek sosial anak pun seringkali mengalami kebingungan dan kegelisahan. Ketika saya masih kecil, misalnya, saya mempunyai teman sekelas yang bernama Johnny Tjong. Dan saya tidak pernah bisa mengerti, mengapa bila lepas dari pagar sekolah, Johnny–anak Cina itu– seolah-olah menjadi sah untuk diperlakukan apa saja oleh anak-anak lainnya. Bahkan orang dewasa yang melihatnya pun sering tidak mengambil tindakan apa pun.
Ketika saya masih kecil, misalnya, saya juga pernah ikut berlari-lari di belakang serombongan pemuda yang sedang melakukan “sweeping” terhadap orang-orang yang diduga anggota PKI. Saya masih ingat wajah sepasang suami-isteri yang digelandang pemuda-pemuda itu keluar dari gubuknya dan dibawa ke balik kerimbunan pohon-pohon pisang di tepi sungai. Ketika kami anak-anak ingin mengetahui lebih jauh apa yang akan terjadi dengan suami-isteri itu, salah seorang dari pemuda itu mengacungkan goloknya sebagai isyarat agar kami pergi. Tentu saja saya berlari tunggang-langgang. Setibanya di rumah saya menceritakan apa yang baru saya lihat dan bertanya, “Apa salahnya orang-orang itu?” Tapi saya tidak mendapat jawaban apa pun, kecuali tamparan yang keras di pipi dari ayah.
Dalam kaitan yang sama dengan pengalaman di atas, maka ketika masih kecil, saya juga mempunyai seorang sahabat. Suatu hari sahabat saya tidak masuk sekolah untuk waktu yang cukup lama. Kemudian kami mendengar kabar bahwa ayahnya ditahan karena diduga terlibat dalam kegiatan PKI. Ketika ia kembali masuk sekolah, semua anak menjauhinya, seperti layaknya seorang penderita penyakit menular yang berbahaya. Dengan alasan yang tidak terlalu jelas, saya juga ikut-ikutan mengambil jarak dengan sahabat tersebut. Tapi hal itu saya lakukan dengan penuh pergumulan. Dan sampai sekarang–setelah saya dewasa–pengalaman tersebut selalu mengganggu hati saya. (Apalagi, di kemudian hari saya mendengar kabar bahwa sahabat saya tersebut telah meninggal dunia. Saya tak pernah meminta maaf kepadanya).
Begitulah, banyak hal yang ingin diketahui anak. Banyak ketakutan, kebingungan, kegelisahan yang dirasakan anak, yang tak mampu dirumuskan serta diungkapkannya secara jelas. Karena itu anak juga membutuhkan teman untuk merefleksikan hidup dan sarana untuk pembebasan jiwa. Anak membutuhkan sastra.

Terobosan Untuk Sastra Anak.
Pada tahun 70-an, di Amerika Serikat terbit sebuah buku cerita bergambar anak-anak yang berjudul “Where The Wild Things Are” karya Maurice Sendak. Buku itu bercerita tentang seorang anak yang di alam mimpinya bergabung dan bermain dengan monster-monster bertanduk dan berwajah jelek. Buku yang pernah mendapat penghargaan sebagai buku cerita bergambar anak-anak terbaik itu, mendapat sambutan yang hangat dari anak-anak. Di dalam cerita dan gambar-gambar yang kreatif dari Maurice Sednak, anak-anak mendapatkan jawaban dan pembebasan atas ketakutannya. Kalau buku tersebut terbit di Indonesia, maka ia tentu adalah buku yang tepat bagi seorang anak yang mempunyai phobia bahwa ada orang asing yang selalu menyelinap di kolong tempat tidurnya.
Pada tahun 40-an, di Amerika Serikat pernah pula terbit buku cerita bergambar yang berjudul “Ferdinand The Bull” karangan Munro Leaf. Buku ini bercerita tentang seekor anak banteng yang tidak senang berkelahi. Hobinya hanya merenung-renung di pinggir kali dan mencium harumnya bunga-bunga. Beberapa kali dalam setahun, secara teratur, peternakan itu selalu didatangi oleh para promotor adu banteng. Mereka selalu mengamat-amati banteng-banteng muda untuk dilatih menjadi banteng aduan. Bila promotor-promotor ini datang ke peternakan, maka anak-anak banteng umumnya akan pasang aksi agar terpilih untuk dibawa ke kota dan dilatih menjadi banteng aduan. Tapi Ferdinand tak pernah memperdulikan hal itu. Ia asyik saja mencium bunga-bunga. Begitulah, secara tak sengaja Ferdinand mencium bunga yang berisi lebah dan lebah itu menyengat hidungnya. Ferdinand kesakitan dan melompat kian-kemari. Melihat aksi Ferdinand, maka para promotor berkesimpulan inilah banteng muda yang tepat untuk dilatih (Mereka tidak tahu bahwa Ferdinand bersikap demikian karena disengat lebah!). Begitulah, Ferdinand pun dibawa ke kota. Tentu saja ia tidak bahagia. Ketika hari adu banteng tiba penonton penuh sesak memenuhi stadion. Matador masuk ke gelanggang dengan diiringi oleh tepuk tangan penonton. Tapi Ferdinand tak merasa terangsang untuk berkelahi. Ia justeru sibuk menatap bunga-bunga yang terpasang di telinga para wanita suporter sang matador. Begitulah, ketika matador telah mengibaskan bendera merahnya, tiba-tiba ada sekutum bunga yang dilemparkan dari tribun dan jatuh di dekat kaki Ferdinand. Alih-alih berlari menabrak sang matador, Ferdinand berbalik dan duduk mencium bunga. Semua geger. Apa pun yang dilakukan oleh matador, Ferdinand tak tertarik menanggapinya. Akhirnya dengan kecewa para promotor adu banteng mengembalikannya ke peternakan. Ferdinand bahagia. Kini setiap hari ia boleh duduk-duduk menikmai keindahan.
Kalau “Ferdinand The Bull” diterbitkan di Indonesia, maka ia tentu adalah sastra untuk anak lelaki yang kurus-kerempeng dan tak pandai berkelahi. Buku-buku yang baik untuk anak-anak yang mengalami kebingungan atas sejarah atau realitas sosial masyarakatnya juga banyak kita jumpai di negara-negara maju.
Di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropah, para pustakawan pendidik, psikolog dan ahli sastra telah menyadari benar tentang pentingnya sastra anak-anak. Cukup banyak buku yang telah ditulis mengenai sastra anak-anak. Buku yang berisikan ulasan para ahli tentang buku-buku anak-anak–subyek, sasaran umur dan sasaran pembacanya–tak kurang pula banyaknya.

Problematik Sastra Anak Di Indonesia.
Secara umum bacaan anak-anak sekarang pasti tak lepas dari komik. Tak bisa dielakkan, daftar buku terlaris anak pada jaringan toko buku terkemuka menunjukkan golongan buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney-lah yang sering kali tampak di pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya. Benarkah? Lalu di mana ya buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri?
Sastra anak sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana baiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun karena berpatok kaku pada tataran ini banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, tidak berkembang, terlebih lagi unsur didaktik yang kuat menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia tidak banyak pemerhati sastra anak. Sastra anak adalah sastra yang tersisihkan, jarang ada peneliti yang memperhatikan. Jika kita mau menengok, hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka-mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi.
Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku picture book terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa islami dari Mizan. Picture book (buku cerita bergambar) banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Anak sejak usia dini mulai dikenalkan mengenai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dll.
Tapi ada juga yang menggunakan picture book sebagai media mengenalkan hitungan, abjad, warna, ukuran, alam semesta, ruang angkasa, tumbuhan, binatang, dll. Beberapa buku juga ada yang tanpa huruf (wordless picture book) yang berguna mengasah anak berbahasa dengan menciptakan ceritanya sendiri menurut pengertiannya mengenai gambar.
Kemudian pada periode lanjutan biasanya disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya. Baru di sekolah mereka mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah, itupun tidak banyak, dari sekitar 2000 hingga 8000 koleksi sekolah, paling kurang dari 60 yang merupakan cerita rakyat. Jika tidak melalui membaca, biasanya anak-anak mengenal cerita rakyat melalui dongeng oleh guru atau orang tua mereka, dan cerita favorit yang biasa diberikan biasanya tak luput dari Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinat dari bacaan terjemahan. Kenyataannya memang penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Jadilah kita tamu di negeri sendiri. Bejibun karya terjemahan hadir, lihat saja Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), delapan judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, enam judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, tiga judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin.
Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang ada 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, enam judul Seri Kembar, tiga judul Seri Sirkus, enam judul Seri Mallory Towers, dan tiga judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul dipermukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres. Tentu saja dibandingkan dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut jauh di bawah. Karya-karya terjemahan tersebut muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah dengan tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi.
Bahkan siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini nampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang biasa saja mutunya tapi gemanya sudah ke mana-mana.
Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan. Penerbit mizan juga memelopori terbitan serial Kecil-Kecil Punya Karya, walaupun hasilnya bisa dibilang children writing namun cukup efektif mengasah bakat-bakat menulis pada anak.
Pada periode 70 dan 80-an dikenal karya-karya dengan tema toleransi, keragaman budaya, arti perdamaian, dan sadar persamaan gender melalui pengarang-pengarang senior, seperti Suyadi, Alm. Kurnaen Wardiman, Djoko Lelono, Diah Ansori, Alm. Suyono, Dwianto Styawan. Tentu saja sudah banyak yang terlupakan. Namun kiranya karya-karya yang penuh humor, tidak berkhutbah, penuh ketrampilan menggunakan bahasa yang terkadang penuh suspens dan taburan fantasi, menyebabkan karya-karya mereka dapat dimodifikasi menjadi karya kreatif lain, semisal drama radio, drama panggung, dan mendongeng.
Pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini adalah Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs.
Bukan cuma itu, sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales.
Kini dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.




Daftar Pustaka
Adzani, Khairida. Artikel. 2011. Hangusnya Sastra Anak-Anak.
Yanti, Isna. Artikel. 2011. Perkembangan Sastra Pada Anak Yang Semakin Berkurang.
Harahap, Mula. Artikel. 2007. Tentang Sastra Anak-Anak.

Asrori, Mochammad. Artikel. 2007. Setangkup Problematika Sastra Anak Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar