Menganalisis Puisi
“Batu” Karya Putu Gede Pradipta Dengan Menggunakan Metode
Pendekatan Semantik
Kita
kembali melihat puisi yang unik.
Barisan dan ukuran yang padat membuat puisi ini begitu rapi akan makna. Tidak
terlepas dari puisi, “Batu” karya Putu
Gede Pradipta juga identik dengan tipologi puisi yang kadar tulisannya minim
dan dapat kita simpulkan bahwa tipografi dari puisi ini ialah puisi prismatik,
yakni puisi yang kabur akan makna. Berikut adalah puisi “Batu” karya Putu Gede
Pradipta.
Batu
Setiap
aku datang berniat membesuk
Kau
kukuh melemparkan bisu
Sebab
perlu agar mampu menghindar.
Pada analisis sebelumnya, kita telah
melihat bagaiman teori yang mendasari terbentukunya sebuah puisi dan bagaimana
puisi tersebut dapat dibedah secara matang dan terkonsep. Pada puisi “Batu”
Karya Putu Gede Pradipta hanya terdapat satu bait yang
mencerminkan judul tersebut. Pada larik
1 /Setiap aku datang berniat membesuk/, terdapat makna yang dimaksudkan
sipenyair bahwa Kemauan dalam menjalani pertemuan telah mendarahdanging. Dan
tak terelakkan. Namun, ada hal yang lain ketika aku sedang mengunjungi kediaman
itu. Apa sebab? Kita kembali melihat pada larik 2 /Kau kukuh melemparkan bisu/.
Pada larik tersebut, terdapat sebuah jawaban kecil atas pernyataan diatas, ada
hal yang lain ketika aku sedang mengunjungi kediaman itu, namun kau tidak
berkata apapun. Tidak ada niat menjamuku. Terlihat dari ekspresi yang tercermin
dari kata “bisu”.
Pada larik terakhir/ Sebab perlu agar mampu menghindar/, kekhawtiran
pembaca mulai timbul ketika harus memaknai sebuah larik di atas. Sebab, ada
sesuatu yang ganjil dari larik ini. Tetapi, jika kita melihat dari judul yakni
“ Batu” maka larik ketiga ini, bermaksud agar kita tidak sembarang datang
bertandang ke tempat seseorang. Perlu ada yang dipilah dari setiap pertemuan.
Kata “setiap” pada larik pertama melambangkan bahwa tidak sekali perjamuan itu
terjadi dan tetap menghasilkan buah yang sama yakni “kebisuan”.
Jadi, larik ketiga ini menjadikan
sebuah kesimpulan bagi kita dalam membaca puisi diatas. Betapa tidak! Jika kita
datang dan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya, maka perlu sesuatu
pembenahan atau penghindaran diri terhadap hal yang masih sarat atas keganjilan
itu. Kata “Batu” apda judul puisi ini, tidak sebuah ilustrasi batu seperti apa
keras dan tajamnya, tetapi “batu” disini menjadi pelambangan dari sebuahh
kejadian berulang yang telah rampung dan perlu dibenah.
Puisi
Lelah
Oleh: Julaiha. S
Setiap
rasa yang bergulungan di rahim kalbu
Selalu
ada yang kau tak kau jelaskan maksudunya
Sehingga
hati berpulangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar