Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Menganalisis Puisi “Batu” Karya Putu Gede Pradipta Dengan Menggunakan Metode Pendekatan Semantik



Menganalisis Puisi “Batu” Karya Putu Gede Pradipta Dengan Menggunakan Metode Pendekatan Semantik
            Kita kembali melihat puisi yang unik. Barisan dan ukuran yang padat membuat puisi ini begitu rapi akan makna. Tidak terlepas dari puisi, “Batu”  karya Putu Gede Pradipta juga identik dengan tipologi puisi yang kadar tulisannya minim dan dapat kita simpulkan bahwa tipografi dari puisi ini ialah puisi prismatik, yakni puisi yang kabur akan makna. Berikut adalah puisi “Batu” karya Putu Gede Pradipta.
Batu
Setiap aku datang berniat membesuk
Kau kukuh melemparkan bisu
Sebab perlu agar mampu menghindar.
            Pada analisis sebelumnya, kita telah melihat bagaiman teori yang mendasari terbentukunya sebuah puisi dan bagaimana puisi tersebut dapat dibedah secara matang dan terkonsep. Pada puisi “Batu” Karya Putu Gede Pradipta hanya terdapat satu bait yang mencerminkan judul tersebut.  Pada larik 1 /Setiap aku datang berniat membesuk/, terdapat makna yang dimaksudkan sipenyair bahwa Kemauan dalam menjalani pertemuan telah mendarahdanging. Dan tak terelakkan. Namun, ada hal yang lain ketika aku sedang mengunjungi kediaman itu. Apa sebab? Kita kembali melihat pada larik 2 /Kau kukuh melemparkan bisu/. Pada larik tersebut, terdapat sebuah jawaban kecil atas pernyataan diatas, ada hal yang lain ketika aku sedang mengunjungi kediaman itu, namun kau tidak berkata apapun. Tidak ada niat menjamuku. Terlihat dari ekspresi yang tercermin dari kata “bisu”.
            Pada larik terakhir/ Sebab perlu agar mampu menghindar/, kekhawtiran pembaca mulai timbul ketika harus memaknai sebuah larik di atas. Sebab, ada sesuatu yang ganjil dari larik ini. Tetapi, jika kita melihat dari judul yakni “ Batu” maka larik ketiga ini, bermaksud agar kita tidak sembarang datang bertandang ke tempat seseorang. Perlu ada yang dipilah dari setiap pertemuan. Kata “setiap” pada larik pertama melambangkan bahwa tidak sekali perjamuan itu terjadi dan tetap menghasilkan buah yang sama yakni “kebisuan”.
            Jadi, larik ketiga ini menjadikan sebuah kesimpulan bagi kita dalam membaca puisi diatas. Betapa tidak! Jika kita datang dan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya, maka perlu sesuatu pembenahan atau penghindaran diri terhadap hal yang masih sarat atas keganjilan itu. Kata “Batu” apda judul puisi ini, tidak sebuah ilustrasi batu seperti apa keras dan tajamnya, tetapi “batu” disini menjadi pelambangan dari sebuahh kejadian berulang yang telah rampung dan perlu dibenah.
















Puisi
Lelah
Oleh: Julaiha. S
Setiap rasa yang bergulungan di rahim kalbu
Selalu ada yang kau tak kau jelaskan maksudunya
Sehingga hati berpulangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar