Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Kebohongan Siapa?



Kebohongan Siapa?
Oleh : Hasan Al Banna

Istilah kebohongan publik kembali tenar, khususnya di jagat politik Indonesia. Banyak pihak seolah berlomba-lomba menuding pemerintah telah berbohong. Maklum, hal tersebut tidak lepas dari kondisi bangsa yang belakangan makin terpuruk. Benar, pemerintah dianggap gagal menegakkan menara hukum yang kokoh dan kewalahan mengelola perekonomian demi  kesejahteraan rakyat. Padahal, perbaikan tatanan perangkat hukum dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan batang janji pemerintah. Namun, batang janji tersebut tak kunjung menjulang.
Masyarakat pun gerah! Puncaknya, tokoh lintas agama resah, kemudian bermufakat ‘turun tangan’. Lantas, para tokoh lintas agama mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan. Mereka menyatakan pemerintah tidak jujur dalam menangani berbagai masalah bangsa. Pemerintah juga dinilai belum membuktikan komitmen dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi, penghormatan hak asasi manusia dan kesejahteraan rakyat. Tokoh masyarakat yang lain, kaum intelektual dan para politisi pun turut ‘latah’ menyeru-nyerukan istilah kebohongan publik.
Benarkah pemerintah bohong sehingga patut dituding sebagai lembaga resmi yang telah melakukan kebohongan publik. Soal berbohong atau tidak masih akan diuji dalam perdebatan yang panjang. Namun, di atas rel bahasa, sangat mudah untuk menentukan siapa sebenarnya yang berbohong.
* * *
Kata kebohongan merupakan kata bentukan dari bohong. Kata itu mengalami pengimbuhan dengan ke-an. Di dalam kamus, ke-an memiliki beberapa makna, yakni (1)  mengalami kejadian atau peristiwa: kelaparan dan kemalaman; (2) terlalu, terlampau: kekecilan dan kebesaran; (3) a abstraksi yang mempunyai ciri atau sifat: keadilan dan kemanusiaan; b tempat: kediaman dan kedudukan. (Abdul Gaffar Ruskhan, 2007:80).
Jika ditilik, ke-an pada kebohongan berfungsi abstraksi yang mempunyai ciri atau sifat. Ciri atau sifat tersebut, ya, bohong. Kata bohong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III bermakna ‘tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta’, ‘bukan yang sebenarnya; palsu’. Sedangkan kebohongan berarti ‘perihal bohong; sesuatu yang bohong’.  Oleh karena itu, kebohongan, selain bermakna ‘perihal dan sesuatu yang bohong’, juga berarti ciri dan sifat bohong yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok.
Nah, terkait istilah kebohongan publik yang marak beredar akhir-akhir ini, sudahkah penggunaannya benar untuk menuding pemerintah sebagai pihak yang berbohong? Misalnya Presiden SBY yang berbohong, maka tudingan yang tepat untuk diungkapkan adalah kebohongan SBY. Lantas, kalau yang berbohong itu rakyat, berarti kebohongan rakyat. Lantas, kebohongan publik, bukankah berarti sedang menyatakan bahwa publik yang melakukan kebohongan?
Alamak, sudahlah diri sebagai korban kebohongan, malah menuduh diri pula sebagai pembohong.
Oleh karena itu, bagi siapapun pihak yang ingin berapi-api menuding pemerintah telah berbohong, nyatakanlah dengan bahasa yang cerdas. Pergunakanlah istilah kebohongan pemerintah, karena istilah kebohongan publik tiada lain sebagai pernyataan tegas yang menuduh publik berbohong. Ah, maksud hati hendak mengkritik pemerintah, apa daya, karena kenaifan berbahasa, kritik yang dilontar menghujam diri sendiri.

Penulis adalah staf Balai Bahasa Medan
dan dosen luar biasa di FBS Universitas Negeri Medan (Unimed).




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar