Kebohongan
Siapa?
Oleh : Hasan Al Banna
Istilah kebohongan publik kembali tenar, khususnya di jagat politik
Indonesia. Banyak pihak seolah berlomba-lomba menuding pemerintah telah
berbohong. Maklum, hal tersebut tidak lepas dari kondisi bangsa yang belakangan
makin terpuruk. Benar, pemerintah dianggap gagal menegakkan menara hukum yang
kokoh dan kewalahan mengelola perekonomian demi kesejahteraan rakyat. Padahal, perbaikan tatanan
perangkat hukum dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan batang janji
pemerintah. Namun, batang janji tersebut tak kunjung menjulang.
Masyarakat pun gerah! Puncaknya,
tokoh lintas agama resah, kemudian bermufakat ‘turun tangan’. Lantas, para
tokoh lintas agama mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan. Mereka menyatakan pemerintah
tidak jujur dalam menangani berbagai masalah bangsa. Pemerintah juga dinilai
belum membuktikan komitmen dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi,
penghormatan hak asasi manusia dan kesejahteraan rakyat. Tokoh masyarakat yang
lain, kaum intelektual dan para politisi pun turut ‘latah’ menyeru-nyerukan
istilah kebohongan publik.
Benarkah pemerintah bohong
sehingga patut dituding sebagai lembaga resmi yang telah melakukan kebohongan publik. Soal berbohong atau
tidak masih akan diuji dalam perdebatan yang panjang. Namun, di atas rel
bahasa, sangat mudah untuk menentukan siapa sebenarnya yang berbohong.
* * *
Kata kebohongan merupakan kata bentukan dari bohong. Kata itu mengalami pengimbuhan dengan ke-an. Di dalam kamus, ke-an
memiliki beberapa makna, yakni (1)
mengalami kejadian atau peristiwa: kelaparan
dan kemalaman; (2) terlalu,
terlampau: kekecilan dan kebesaran; (3) a abstraksi yang mempunyai ciri atau sifat: keadilan dan kemanusiaan;
b tempat: kediaman dan kedudukan.
(Abdul Gaffar Ruskhan, 2007:80).
Jika ditilik, ke-an pada kebohongan berfungsi abstraksi yang mempunyai ciri atau sifat. Ciri
atau sifat tersebut, ya, bohong. Kata
bohong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi III bermakna ‘tidak
sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya; dusta’, ‘bukan yang
sebenarnya; palsu’. Sedangkan kebohongan berarti
‘perihal bohong; sesuatu yang bohong’. Oleh karena itu, kebohongan, selain bermakna ‘perihal dan sesuatu yang bohong’, juga
berarti ciri dan sifat bohong yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok.
Nah, terkait istilah kebohongan publik yang marak beredar
akhir-akhir ini, sudahkah penggunaannya benar untuk menuding pemerintah sebagai
pihak yang berbohong? Misalnya Presiden SBY yang berbohong, maka tudingan yang
tepat untuk diungkapkan adalah kebohongan
SBY. Lantas, kalau yang berbohong itu rakyat, berarti kebohongan rakyat. Lantas, kebohongan
publik, bukankah berarti sedang menyatakan bahwa publik yang melakukan kebohongan?
Alamak, sudahlah diri
sebagai korban kebohongan, malah
menuduh diri pula sebagai pembohong.
Oleh karena itu, bagi siapapun
pihak yang ingin berapi-api menuding pemerintah telah berbohong, nyatakanlah
dengan bahasa yang cerdas. Pergunakanlah istilah kebohongan pemerintah, karena istilah kebohongan publik tiada lain sebagai pernyataan tegas yang menuduh
publik berbohong. Ah, maksud hati hendak
mengkritik pemerintah, apa daya, karena kenaifan berbahasa, kritik yang
dilontar menghujam diri sendiri.
Penulis adalah staf
Balai Bahasa Medan
dan dosen luar biasa di
FBS Universitas Negeri Medan
(Unimed).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar