Diksi-diksi Sederhana Antonius Silalahi
dalam “Bara Hati”
Oleh HASAN
AL BANNA
1.
Puisi dan
Apresiasi
Ada
empat genre sastra yang dikenal, yaitu puisi, cerpen, novel, dan naskah drama.
Secara bentuk, puisi memiliki ciri yang berbeda dibanding ketiga genre yang
lain. Herman J. Waluyo mengatakan, “Perbedaan pokok antara puisi dengan prosa
adalah dalam hal tipogratik dan struktur tematiknya. Tipogratik puisi sejak
kelahirannya menunjukkan baris-baris putus yang tidak membentuk kesatuan
sintaksis seperti dalam prosa.” (Waluyo, 1987:3).
Secara
sederhana, puisi adalah hasil
cipta fiksi tentang ketertarikan atau kedekatan seseorang (penyair) terhadap
objek dengan ungkapan bahasa yang jarang, atau bahkan tidak pernah diucapkan
orang lain. Tetapi tidak pula harus mengada-ada dalam mengungkapkan kata-kata
tersebut. Misalnya, ungkapan: “aku jatuh bangun karena cinta…” akan lebih
puitis jika diungkapkan dengan: “pada kelokan cinta, aku acap tergelincir…”,
atau: “setelah hujan muncullah pelangi...” lebih menarik jika dituturkan
dengan: “hujan yang usai mengirimkan secarik pelangi..”, serta masih banyak
contoh-contoh yang lain. Asul Wiyanto menyatakan, “Bahasa puisi berbeda dengan
bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Penyair sengaja memilih kata-kata yang
indah, yang dapat menimbulkan kemerduan bunyi dan sekaligus dapat menggambarkan
ide yang ingin disampaikan dengan tepat.” (Wiyanto, 2005:41).
Menulis puisi adalah menulis suatu objek yang
cenderung dekat dengan diri si penulis itu sendiri, baik dekat dengan perasaan
atau pemikiran. Kedekatan si penulis puisi dengan objek muncul dari
ketertarikan dia kepada objek tersebut, sehingga si penulis hendak pula
menuangkannya ke wajan kata-kata bernama puisi. Tetapi sebelum menuangkannya,
penulis perlu merawat ketertarikan itu dengan tekun, sehingga ia bisa lebih dan
lebih dekat lagi dengan objek. Sebab puisi yang baik adalah puisi yang berawal
dan lahir dari proses kedekatan objek dengan perasaan atau pemikiran penulis.
Semakin dekat suatu objek dengan diri penulis, maka semakin baik pula puisi
yang akan ditelurkan. Nah, ketertarikan itu adalah sebuah ilham untuk
diteruskan menjadi puisi. Untuk tahap awal, rumus di atas sudah merupakan rumus
wajib bagi para penyair.
Bagi penikmat puisi, tentu memiliki kesempatan
untuk menafsirkan sebuah karya yang lahir dari proses kreatif seorang penyair. Banyak
unsur yang dapat menjadi landasan untuk menilai sebuah puisi, antara lain tema,
diksi, pengimajinasian, majas, dan verifikasi. Masing-masing unsur tersebut
memiliki kekuatan yang mengikat puisi dalam sebuah keutuhan. Salah satu unsur
di atas, yaitu diksi, akan menjadi pembahasan penulis dalam mengapresiasi
kumpulan puisi “Bara Hati” karya Antonius Silalahi.
2.
Antonius
Silalahi, Penyair Tunanetra
Bagi Antonius Silalahi, “Bara
Hati” sebagai buku kumpulan puisi tunggal pertamanya menjadi begitu berarti
dalam proses kepenyairannya. Berbagai tanggapan positif meluncur baik secara
tertulis maupun secara lisan seiring dengan kemunculan “Bara Hati”, termasuk
dalam Kata Pengantar berjudul “Bara Hati & Kehidupan” yang dituturkan Drs.
Antilan Purba, M. Pd. Lalu Aishah Basar dalam “Bara Hati, Kabar Dari
Negeri Orang-orang Buta” yang menjadi pemakalah dalam sebuah diskusi buku “Bara
Hati”. Kemudian Alfiannur Syafitri selaku Sekretaris Komunitas PUALAM Medan
(Waspada, Minggu 22 Februari 2004) dengan tulisan berjudul “Dari Kumpulan Puisi
Bara Hati Antonius Silalahi: Perlawanan terhadap Diskriminasi”. Begitu juga
dengan sambutan lisan dari berbagai pihak yang menerima kehadiran “Bara Hati”
dengan simpati.
Namun, dari beraneka-ragam
tanggapan, penulis masih menangkap garis rata bahwa pembicaraan “Bara Hati”
lebih cenderung kepada sosok pengarangnya yang mengalami tunanetra sejak umur 9
tahun, ketimbang pembicaraan “Bara Hati” sebagai jejeran (karya) puisi. Padahal
“Bara Hati” memuat puisi yang berjumlah sekitar 87 buah. Bisa jadi disebabkan
oleh sesuatu hal yang tidak memungkinkan untuk membicarakannya secara menukik
dan tajam.
Antonius Silalahi, penyair tunanetra yang lahir di Pematangsiantar, 21 Mei 1973. Anton, demikian nama panggilan
sehari-hari penyair bernama lengkap Xilferius Antonius Arison Silalahi ini. Dia
menjadi tunanetra ketika berumur 9 tahun. Waktu itu dia sedang
duduk di kelas 3 SD Inpres Pasar VI Pematangsiantar. Tiba-tiba dia jatuh sakit
demam yang sangat tinggi. Penyakit itu menyebabkan dia menjadi tunanetra.
Sejak kecil, putra Tarianus Silalahi dan Theresia Simbolon ini sudah mencecap
kepahitan hidup. Ibunya meninggal dunia ketika dia masih
kecil, tepatnya saat dia berusia lima tahun (1978). Pada usia 10 tahun, ayahnya
meninggal dunia pula (2 Februari 1983). Sepeninggal kedua orang tuanya, Anton
dirawat oleh neneknya. Sehari-hari dia membantu sang nenek bekerja di ladang.
Penderitaan Antonius tidak berlangsung lama
karena Tuhan mempertemukannya dengan Suster Jeanette,
seorang biarawati keturunan Belanda. Suster Jeanette membawanya ke Medan. Sejak
22 April 1983, Anton pun dimasukkan ke SLB Karya Murni Medan. Di SLB khusus tunanetra ini, Anton memulai
pendidikan sejak dari TK hingga menamatkan SD dan SMP (1990). Setelah tamat
SMP, dia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 8 Bandung. Di sekolah ini, dia
belajar bersama siswa yang sehat secara fisik. Pemisahan hanya dilakukan pihak
sekolah saat ujian berlangsung sebab Anton harus ujian dengan menggunakan guru
pendamping khusus.
Setelah tamat SMA, dia melanjutkan kuliah di
Jurusan Pendidikan Khusus IKIP Yogyakarta (1994-2000). Di kota gudeg, dia
belajar pijat tunanetra selama enam bulan yang kemudian memberi penghasilan
bagi hidupnya. Sewaktu menyelesaikan pendidikan ini pula dia mengembangkan
bakat menulisnya. Pada tahun 1988, dia berhasil menjadi juara pertama penulisan
puisi yang diselenggarakan oleh Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia).
Kemudian, dalam masa kuliah dia memperoleh juara pertama penulisan puisi yang
diadakan oleh Laetikia, sebuah lembaga tunanetra yang dikelola oleh gereja di
Jakarta.
Di samping menulis puisi, Anton juga menulis
naskah drama. Drama hasil kreasinya banyak dipentaskan oleh para tunanetra,
khususnya acara yang berkaitan dengan Hari Natal. Naskah dramanya yang berjudul
“Keringat Manusia”, sebuah drama komedi
dipentaskan di Jakarta (2000). Kemudian, naskah dramanya berjudul “Balada Manusia Berlian” dipentaskan pada hari ulang
tahun ke-20 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menjadi cabang SLB Karya Murni di
Flores (2004).
Setelah menyelesaikan pendidikan khusus untuk
mahasiswa tunanetra dengan gelar S.Pd., Anton kembali ke Medan. Pada awalnya,
publik sastra Medan mengenal namanya setelah dia selalu mengikuti acara Puisi
Malam. Untuk mengembangkan bakatnya, Anton bergabung pada Komunitas Pualam,
sebuah perkumpulan peminat siaran Puisi Malam, salah satu rubrik RRI Pro-2
Medan. Dia aktif mengikuti siaran Puisi Malam dengan penyiar Eddy Siswanto,
Yusrianto, Yusriadi, dan Nirwan Lola. Sebuah puisinya berjudul Surat Pos memperoleh penghargaan sebagai
puisi terbaik dalam lomba penulisan puisi kemerdekaan di RRI tersebut.
Anton mempunyai motto, “Netra Hilang Hati Berkumandang”. 74 puisi yang
ditulisnya pada 2002-2004 dibukukan dengan judul Dalam Matahari yang diterbitkan oleh
Penerbit Sastera Leo Medan pada tahun 2005. Kedua buku kumpulan puisinya diberi
ulasan oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar dari Fakultas Sastra USU Medan.
Kreativitas penyair yang tunanetra semakin
lengkap setelah dia berumah tangga. Pada 30 Juni 2006, Anton menikah dengan
Verawaty Ginting. Mereka telah dikaruniai seorang putra yang diberi nama Bara.
Puisi-puisi Antonius Silalahi diterbitkan oleh
berbagai media massa, baik di Medan maupun Pulau Jawa. Surat kabar Analisa, Medan Bisnis, Buletin Suara Hati,
Gema Braile (Bandung), Pelkris (Semarang),
dan Buletin Peka (Jakarta)
menerbitkan puisi-puisi karyanya. Sekarang, Anton sedang mengusahakan
kepemilikan komputer bersuara khusus untuk penyandang tunanetra, meskipun suara
itu berbahasa Inggris. Begitulah riwayat hidup singkat Antonius Silalahi
yang terangkum dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia di Sumatera Utara susunan
Balai Bahasa (Rosliani dkk, 2007:33).
* * *
Memang benar, jika ada pendapat yang
menyatakan bahwa pembicaraan sebuah karya itu tidak bisa dilepaskan dari
biografi pengarangnya. Tetapi di lain pendapat, karya juga mesti dibicarakan
sebagai karya, dan harus dipandang sebagai hasil cipta. Lantas sebuah karya
puisi yang dipublikasikan bukan lagi milik pengarangnya, melainkan mutlak milik
pembacanya. Maka berdasarkan pendapat
yang terakhir, dalam membicarakan “Bara Hati”, penulis mencoba melepaskan diri
dari layar memori tentang Antonius yang seorang tunanetra. Meskipun pada akhirnya,
penulis juga sangat mengagumi semangat Antonius sebagai seorang tunanetra yang
memiliki kemauan sekaligus kemamampuan untuk menulis karya puisi. Lalu hal ini
(pembicaraan karya sebagai karya) dimaksudkan lebih kepada penyemarakan warna
apresiasi terhadap “Bara Hati”.
3.
Ungkapan-ungkapan
yang Sederhana
Penulis sependapat dengan apa yang disampaikan
Aishah Basar dalam makalahnya, bahwa Antonius hadir dengan bahasa yang
sederhana dan tidak berlebihan, serta tidak berniat berambiguitas ria. Antonius
tidak menggunakan bahasa-bahasa dengan penafsiaran yang rumit dan yang terlalu
sulit untuk dimengerti. Hal itu hampir senada dengan apa yang disampaikan Prof.
Samin Siregar, bahwa puisi-puisi yang terdapat di dalam “Bara Hati” Antonius
Silalahi dapat dibaca dan dengan mudah dipahami oleh anak-anak SMU. Bukankah
tidak terlampau sulit meresapi larik-larik puisi di bawah ini:
INSIDEN
TROTOAR 5,5
Sepi
kutunggu di trotoar itu
Temanku
menuju pulau seberang
Tiba-tiba
kau datang
Lalu
menikamku dengan recehan itu
Aku
terkapar seketika
Dan kau
berlalu sambil tersenyum bangga
Aku
terinjak-injak di trotoar 5,5
Tak ada
ambulance yang membawaku ke rumah sakit
Penikamku
tak ada yang mengejar dan menangkap
Hanya
sunyi yang menjenguk dan berbisik
“Kawan,
ini negeri orang-orang buta”
(Hal 11)
Dalam “Insiden Trotoar 5,5” di atas, Antonius
bercerita tentang sifat sesungguhnya dari masyarakat kota yang kehilangan
fungsi sosialnya sebagai makhluk bernama manusia. Mereka (orang-orang kota),
adalah manusia yang dengan secara sadar dan sengaja menulikan telinga, bahkan
membutakan mata untuk menjadi makhluk yang pura-pura tidak tahu tentang keadaan
di sekitarnya. Manusia kota kembali ditegaskan Antonius sebagai manusia yang
kehilangan rasa solidaritas dan ketenggangannya. Semakin nyatalah, jika manusia
kota adalah manusia yang individualistis dan egois.
Kritik sosial serupa kembali
dan tetap menjadi gumpalan-gumpalan yang dilemparkan-hujamkan Antonius ke
hadapan kita bersama. Pergulatan kehidupan manusia yang sering kehilangan
kontrol nurani dan hati. Manusia yang sanggup berbuat apa saja demi memuaskan
“berahi” diri, tidak perduli jika yang menjadi korban adalah kerabat, kawan,
bahkan saudara sendiri. Lihatlah pada baris puisi “Kepada yang Terhormat II”
berikut ini:”Kemarin saudaraku telah mati/ Ditikam belati dustamu/Hari ini/
Kulihat kau kembali mengasah belati itu/ Siapakah korban selanjutnya/” (Hal
33).
MAMA BANGUNLAH
Gugusan rindu ini kian meninggi mama
Sementara pilar kesabaran
Yang kutancapkan di anjungan harapan
mulai goyah
Mama apa lagi yang kau tunggu
Marilah segera bertolak menuju istana
nirmala
Sebelum musim menyudahi segalanya
Mama jangan hiraukan gerimis yang
menggamit kulit tubuhmu
Di tanganmu ada pedang bermata dua
Segalanya putus dalam satu kedipan mata
Mama maafkan aku lancang masuk ke kamarmu
Tapi kuingin kau segera bangun
Karena si ucok sedari tadi menangis tak
tahan
Haus dan lapar
(Hal 47)
Begitu juga dalam “Mama Bangunlah”, Antonius
menciptakan sebuah puisi dengan pilihan kata yang sangat sederhana. Tapi
sungguh menyodorkan makna yang begitu kuat, dan juga menyudutkan kita semua.
Perhatikanlah kekuatan itu dalam: “Mama/ Jangan hiraukan gerimis yang
menggamit kulit tubuhmu/ Di tanganmu ada pedang bermata dua/ Segalanya putus
dalam satu kedipan mata.
Begitu juga yang tertangkap
“Di Kotamu”, ketika:”Menyusuri trotoar-trotoar senja di kotamu/ Ekor
kenangan terus mengibas-ngibas/ Mengajak berkunjung ke rumahmu/ Singkirkan
rindu yang menyusup menggigil-gigil/” (Hal 82). Dan juga dalam
“Perhentian”nya, Antonius bertutur: ”Sementara alamat tujuan/ Masih dikekang
bayang-bayang hitam/ Dan kita kekurangan daya menentangnya/ Membuat kita nyaris
gagal/ Bayar lunas bakti yang kita terima/” (Hal 108)
4.
Kesederhanaan
yang Terusik
Tetapi di balik kesederhanaan
tutur kata dalam puisi-puisi Antonius, sebenarnya masih banyak terdapat pilihan
kata yang memang terkesan sederhana (mungkin karena sering terdengar), tetapi
menjurus ekslusif jika dikawinkan dengan kata-kata atau larik-larik yang pada
dasarnya berdiri secara sederhana. Antonius kelihatannya tidak mampu menahan
“ketergiurannya” untuk menggunakan kata-kata “asing” (semacam istilah bagi
penulis) yang acap didengarnya ke dalam larik-larik puisinya, seperti
diskriminasi, arogansi, nepotisme, globalisasi, marjinalisasi, birokrasi,
politisi, aspirasi, embargo, portal, bangsal, iptek dan lain sebagainya.
Memang, tidak salah jika
Antonius memberi tumpangan kepada kata-kata “asing” di atas ke dalam
gerbong-gerbong puisinya. Tetapi sekali lagi, pilihan kata-kata tersebut tidak
sepadan dengan kata-kata sederhana yang menjadi muasal kekuatannya. Perkawinan
antara kata dengan kata, atau antara larik dengan larik berlangsung akibat
“pemaksaan” kehendak. Bukan karena pertimbangan kecocokan satu sama lainnya.
Tidakkah cukup riskan jika
membaca pasangan-pasangan kata berikut ini dalam puisi-puisinya Antonius: “..hari-hari
ekspres”, “.. Bias-bias globalisasi”, “… puncak-puncak arogansi”, “Menjadi
orkestra retorika eforia hedonisme”, “Diskriminasi dan staf-stafnya”, “Ke
pedalaman individu”, “…di pagar diskriminasi”, “… di mercusuar matamu”, “Di
belantara industrialisasi dan komputerisasi”, “…di bawah tenda propaganda”,
“Tancapkan tower di hatimu”, “Gadis konglomerat rambut”, “…untuk mereboisasi
harapanku”, “Konteiner nestapa ini”, atau dengan ungkapan: “…ranting-ranting
individualistis”. Dengan perkawinan-perkawinan kata semacam itu,
mengangalah jurang makna yang cukup tajam antara pasang demi pasang kata. Tentu
hal itu cukup mengganggu keutuhan makna
puisi yang diharapkan secara keseluruhan.
Terlihat juga di beberapa puisinya yang lain, ketika kesederhanaan larik yang—mungkin dengan susah payah—dibangunnya dari awal harus goyah, goncang, bahkan rubuh ketika godaan kata-kata “asing” semacam komputerisasi, industrialisasi, institusi, egosentris, atau hedonisme tidak kuasa ditampik Antonius. Di sini, Antonius terlalu memberikan hati kepada kata-kata “asing” itu. Terlampau membuka diri ia.
Hidup adalah rentetan pertanyaan
Yang
hanya mampu dijawab sunyi
Jangan
kau sisakan isak tangis itu
Karena
cerita yang kusam
Telah
lama membunuhnya bersama waktu
Dengarlah
hempasan demi hempasan
Di
medan perebutan jati diri
Hati
ditukar jantung
Begitu manis Antonius memulai
potretannya tentang kemisterian hidup dalam “Padamu Kuberitahukan Saudaraku
III” (Hal 25). Tetapi bisa jadi pembaca merasa terganggu secara rasa, makna
maupun secara irama, ketika larik: “Solidaritas ditukar dengan
individualistik”, menyusul setelahnya. Hal yang serupa terdapat pula dalam
“Surat Tertuju” (Hal 38). Kesederhanaan dalam larik: “Tuhan…/ Jangan murkai
sumpah kami yang ternoda/ Beri kami amunisi baru/ Perjuangan ini tak mungkin
berhenti di sini/ Perang belumlah usai/ Guratan-guratan amanah dalam lubuk
sejarah/ jadi terusik dengan pemakaian larik: “Harus dimateraikan di
haribaan bangsa-bangsa/. Begitu juga dalam puisi-puisinya yang berjudul
“Berhentilah Menguras Sumur Kami” (Hal 39), “Entah Bagaimana Nanti” (Hal 40),
“Air Titipan” (Hal 45), atau “Wak Udin Pendorong Gerobak” (Hal 57).
Kegagalan perkawinan antara
kata dan larik dalam bahtera puisi-puisi Antonius pada akhirnya menghasilkan
kepincangan rasa, makna, dan irama. Jadilah di dalam puisi-puisi Antonius tidak
terjalin komunikasi kata yang saling menyambung dan saling mendukung. Padahal
sekali lagi, sangat banyak ditemukan ungkapan-ungkapan puitis Antonius yang lainnya,
yang kuat dan memikat, seperti: “Maju tak gentar membela yang bayar”, dan
seperti: “Tanah-tanah di negeri ini pun telah membatu/ Tak mampu ditembus
bambu/”. Tetapi kemudian yang terjadi, adalah itu hanya cocok menjadi
potongan-potongan slogan. Kuat memang, tetapi tidak terimbangi dengan “kawanan”
kata yang berada di sekitarnya.
Padahal seperti pernyataan Dr. S. Effendi (2002:103), bahwa tiap bagian
dari puisi (kata, larik, bait, dan judul) tidak dapat berdiri sendiri. Tiap
bagian sajak baru benar-benar bermakna dalam hubungan dengan bagian-bagian yang
lain. Hal tersebut senada dengan pernyataan berikut ini, “Keserasian antara bunyi yang merdu,
imajinasi yang dibangun, pemikiran yang dituangkan, watak yang dimunculkan, dan
majas khas yang digunakan merupakan ramuan keapikan puisi.” (Sugono dkk,
2003:133).
5.
Puisi yang
Tidak Utuh
Kegagalan Antonius tersebut mengakibatkan
beberapa puisi-puisinya tidak mempunyai kekuatan utuh secara keseluruhan sebuah
puisi. Maka muncullah kesan, bahwa puisi-puisi Antonius hanya memiliki kekuatan
dalam penggalan-penggalan lariknya saja. Seperti larik yang terdapat dalam
setiap permulaan penggalan (terdapat 5 penggalan) dalam “Bara Hati”. Tetapi
larik-larik tersebut menjadi lemah ketika membaca rangkaian puisinya secara
keseluruhan. Bukankah begitu memikat jika larik yang terletak di bagian
belakang sampul “Bara Hati” dinyatakannya sebagai sebuah puisi, ketimbang
sebagai penggalan puisi?
Aku
tahu kau ada di situ
Tapi
pernahkan kau tahu aku ada di sisimu
Aku
jadi bingung
Siapakah
sebenarnya yang buta di antara kita
Tetapi usaha keras Antonius untuk memperkuat
puisi “Padamu Kuberitahukan Saudaraku IV” di atas menjadi sia-sia ketika ia
begitu mudah meluncurkan dan menyerahkan pesan hatinya dengan larik-larik
berikut: “Tapi barangkali betul/ Kau tak pernah tahu aku ada di sisimu/
Baiklah hari ini kuberitahukan padamu saudaraku…/”. Pernyataan yang persis
sama dengan larik sebelumnya, yaitu antara: “Tapi pernahkan kau tahu ada di
sisimu” dan “Kau tak pernah tahu
aku ada di sisimu/” sebenarnya
tidak perlu diujarkan Antonius lagi.
Jika Antonius lebih sabar
dalam “mengeramkan” karyanya, dan dalam menampiskan kata-katanya. Maka dalam
“Bara Hati” akan lebih banyak lagi ditemukan puisi-puisi yang memiliki kekuatan
utuh secara keseluruhan sebuah puisi, seperti kekuatan yang terdapat dalam
“Insiden Trotoar 5,5” (Hal 11), “Mama Bangunlah” (hal 47), “Di Kotamu” (hal
82), “Mata dan Hati Batu” (Hal 27), atau “Ibu, Akupun Anakmu” (Hal 28) yang
mengiris berikut ini:
Ibu, akupun seperti Bambang dan Mira
Kami semua anak-anak Ibu
Tak seorang pun kami lahir dari perempuan
lain
Walau akhirnya sebatang tongkat
membedakanku
Dari Bambang dan Mira
Tapi aku tetap anak Ibu sampai kapan pun
Harapan dan cita-citaku masih utuh
Dan tak sabar dikeluarkan dari sarangnya
Ibu, walau aku tak seperti Bambang dan
Mira
Aku pun sanggup mempersembahkan matahari
Tatkala senja itu menghampirimu
Apa pun sanggup kulakukan untukmu
Tapi izinkan kusebarangi jembatan kecil
Di depan rumah kita
Beri aku segelas susu
Seperti yang kau suguhkan pada bambang
dan Mira
Setiap hari
Ibu, tak terhapuskan namaku di kartu
keluarga
Itutulisan Tuhan
Yang harus kau bacakan setiap saat kepada
semua orang
Izinkan kuseberangi jembatan kecil
Di depan rumah kita
Aku pasti pulang dengan sejuta mawar untukmu
Kita terhenyak sejenak,
ketika Antonius menceritakan “aku” sebagai anak yang selalu diabaikan oleh
ibunya memberontak lewat larik yang tidak meledak-ledak. Malah sebaliknya,
“aku” bertanya dengan larik yang anggun tapi begitu mengiris:“…izinkan kuseberangi
jembatan kecil/ Di depan rumah kita/ Beri aku segelaas susu/ Seperti yang kau
suguhkan pada Bambang dan Mira Setiap
hari/”.
“Aku” di situ hanya
menginginkan sedikit keadilan dari Ibu dengan keinginananya menyeberangi: “…
jembatan kecil/ Di depan rumah” nya. Juga keinginannya untuk meminum: “…
segelas susu”, sehingga san “aku”: “… pasti pulang dengan sejuta mawar
untuk” Ibunya yang pilih kasih terhadap “aku” tersebut. Atau juga “aku” malah: “… sanggup
mempersembahkan matahari” sekalipun.
Disebabkan oleh beberapa hal, memang sangat banyak ditemukan orangtua yang
berperilaku serupa demikian.
Tetapi
yang lebih penting, penulis masih bisa merasakan “Bara Hati” Antonius yang
menyala. Tinggal bagaimana cara Antonius mampu menjaga nyala itu secara baik lewat
proses kepenyairannya.
Berikan
piala itu untuk kami kirab ke seluruh penjuru
Biar
lepas jiwa dari tatapan nista
Dan
roh diskriminasi itu tak lagi
Bergentayangan
bunuh cita-cita luhur
Pemegang
estafet perjuangan bangsa
Berikan piala itu
Kami
telah tua hidup tanpa jiwa
(Hal 20)
Pada akhirnya, meski Drs. Antilan Purba, M.Pd.,
dalam Kata Pengantar menyatakan bahwa kurun waktu sepuluh tahun masih terasa
singkat untuk dapat menemukan pengucapan dan pergulatan perolehan bentuk
pengungkapan, memang benar. Tetapi Antonius telah menunjukkan hasil dari proses
pergulatannya lewat ucap puisi di “Bara Hati”. Terserah kepada pembaca,
menafsirkan makna dari ucapan puitis tersebut. Bahkan tidak ada larangan keras
untuk saling berbeda tafsir, apalagi berbeda maksud dengan si pengarangnya.
Maka Antonius, sesungguhnya kau telah
mendapatkan: “…piala” yang kau minta itu. Dan silakan kau: “…kirab ke
seluruh penjuru/”. Teruslah berkarya Antonius, sebab kau belumlah: “…tua”.
Sebab juga kau masih punya: “…jiwa”.
Daftar Pustaka
Effendi, S. 2002. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta:Dunia Pustaka
Jaya.
Wiyanto,
Asul. 2005. Kesustraan Sekolah.
Jakarta: Grasindo
Waluyo J,
Herman. Teori dan Apresiasi Puisi.
Jakarta:Erlangga
Rosliani
dkk. 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia
di Sumatera Utara. Medan. Balai Bahasa Medan.
Silalahi, Antonius. 2004. Bara Hati. Medan: Sastra Leo
Sugono, Dendy, dkk. (ed). 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar