Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Diksi-diksi Sederhana Antonius Silalahi dalam “Bara Hati”



Diksi-diksi Sederhana Antonius Silalahi
dalam “Bara Hati”

Oleh HASAN AL BANNA

1.      Puisi dan Apresiasi

Ada empat genre sastra yang dikenal, yaitu puisi, cerpen, novel, dan naskah drama. Secara bentuk, puisi memiliki ciri yang berbeda dibanding ketiga genre yang lain. Herman J. Waluyo mengatakan, “Perbedaan pokok antara puisi dengan prosa adalah dalam hal tipogratik dan struktur tematiknya. Tipogratik puisi sejak kelahirannya menunjukkan baris-baris putus yang tidak membentuk kesatuan sintaksis seperti dalam prosa.” (Waluyo, 1987:3).
Secara sederhana, puisi adalah hasil cipta fiksi tentang ketertarikan atau kedekatan seseorang (penyair) terhadap objek dengan ungkapan bahasa yang jarang, atau bahkan tidak pernah diucapkan orang lain. Tetapi tidak pula harus mengada-ada dalam mengungkapkan kata-kata tersebut. Misalnya, ungkapan: “aku jatuh bangun karena cinta…” akan lebih puitis jika diungkapkan dengan: “pada kelokan cinta, aku acap tergelincir…”, atau: “setelah hujan muncullah pelangi...” lebih menarik jika dituturkan dengan: “hujan yang usai mengirimkan secarik pelangi..”, serta masih banyak contoh-contoh yang lain. Asul Wiyanto menyatakan, “Bahasa puisi berbeda dengan bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Penyair sengaja memilih kata-kata yang indah, yang dapat menimbulkan kemerduan bunyi dan sekaligus dapat menggambarkan ide yang ingin disampaikan dengan tepat.” (Wiyanto, 2005:41).
Menulis puisi adalah menulis suatu objek yang cenderung dekat dengan diri si penulis itu sendiri, baik dekat dengan perasaan atau pemikiran. Kedekatan si penulis puisi dengan objek muncul dari ketertarikan dia kepada objek tersebut, sehingga si penulis hendak pula menuangkannya ke wajan kata-kata bernama puisi. Tetapi sebelum menuangkannya, penulis perlu merawat ketertarikan itu dengan tekun, sehingga ia bisa lebih dan lebih dekat lagi dengan objek. Sebab puisi yang baik adalah puisi yang berawal dan lahir dari proses kedekatan objek dengan perasaan atau pemikiran penulis. Semakin dekat suatu objek dengan diri penulis, maka semakin baik pula puisi yang akan ditelurkan. Nah, ketertarikan itu adalah sebuah ilham untuk diteruskan menjadi puisi. Untuk tahap awal, rumus di atas sudah merupakan rumus wajib bagi para penyair.
Bagi penikmat puisi, tentu memiliki kesempatan untuk menafsirkan sebuah karya yang lahir dari proses kreatif seorang penyair. Banyak unsur yang dapat menjadi landasan untuk menilai sebuah puisi, antara lain tema, diksi, pengimajinasian, majas, dan verifikasi. Masing-masing unsur tersebut memiliki kekuatan yang mengikat puisi dalam sebuah keutuhan. Salah satu unsur di atas, yaitu diksi, akan menjadi pembahasan penulis dalam mengapresiasi kumpulan puisi “Bara Hati” karya Antonius Silalahi.

2.     Antonius Silalahi, Penyair Tunanetra

Bagi Antonius Silalahi, “Bara Hati” sebagai buku kumpulan puisi tunggal pertamanya menjadi begitu berarti dalam proses kepenyairannya. Berbagai tanggapan positif meluncur baik secara tertulis maupun secara lisan seiring dengan kemunculan “Bara Hati”, termasuk dalam Kata Pengantar berjudul “Bara Hati & Kehidupan” yang dituturkan Drs. Antilan Purba, M. Pd. Lalu Aishah Basar dalam “Bara Hati, Kabar Dari Negeri Orang-orang Buta” yang menjadi pemakalah dalam sebuah diskusi buku “Bara Hati”. Kemudian Alfiannur Syafitri selaku Sekretaris Komunitas PUALAM Medan (Waspada, Minggu 22 Februari 2004) dengan tulisan berjudul “Dari Kumpulan Puisi Bara Hati Antonius Silalahi: Perlawanan terhadap Diskriminasi”. Begitu juga dengan sambutan lisan dari berbagai pihak yang menerima kehadiran “Bara Hati” dengan simpati.
Namun, dari beraneka-ragam tanggapan, penulis masih menangkap garis rata bahwa pembicaraan “Bara Hati” lebih cenderung kepada sosok pengarangnya yang mengalami tunanetra sejak umur 9 tahun, ketimbang pembicaraan “Bara Hati” sebagai jejeran (karya) puisi. Padahal “Bara Hati” memuat puisi yang berjumlah sekitar 87 buah. Bisa jadi disebabkan oleh sesuatu hal yang tidak memungkinkan untuk membicarakannya secara menukik dan tajam.
Antonius Silalahi, penyair tunanetra yang lahir di Pematangsiantar, 21 Mei 1973. Anton, demikian nama panggilan sehari-hari penyair bernama lengkap Xilferius Antonius Arison Silalahi ini. Dia menjadi tunanetra ketika berumur 9 tahun. Waktu itu dia sedang duduk di kelas 3 SD Inpres Pasar VI Pematangsiantar. Tiba-tiba dia jatuh sakit demam yang sangat tinggi. Penyakit itu menyebabkan dia menjadi tunanetra.
      Sejak kecil, putra Tarianus Silalahi dan Theresia Simbolon ini sudah mencecap kepahitan hidup. Ibunya meninggal dunia ketika dia masih kecil, tepatnya saat dia berusia lima tahun (1978). Pada usia 10 tahun, ayahnya meninggal dunia pula (2 Februari 1983). Sepeninggal kedua orang tuanya, Anton dirawat oleh neneknya. Sehari-hari dia membantu sang nenek bekerja di ladang.
Penderitaan Antonius tidak berlangsung lama karena Tuhan mempertemukannya dengan Suster Jeanette, seorang biarawati keturunan Belanda. Suster Jeanette membawanya ke Medan. Sejak 22 April 1983, Anton pun dimasukkan ke SLB Karya Murni Medan. Di  SLB khusus tunanetra ini, Anton memulai pendidikan sejak dari TK hingga menamatkan SD dan SMP (1990). Setelah tamat SMP, dia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 8 Bandung. Di sekolah ini, dia belajar bersama siswa yang sehat secara fisik. Pemisahan hanya dilakukan pihak sekolah saat ujian berlangsung sebab Anton harus ujian dengan menggunakan guru pendamping khusus.
Setelah tamat SMA, dia melanjutkan kuliah di Jurusan Pendidikan Khusus IKIP Yogyakarta (1994-2000). Di kota gudeg, dia belajar pijat tunanetra selama enam bulan yang kemudian memberi penghasilan bagi hidupnya. Sewaktu menyelesaikan pendidikan ini pula dia mengembangkan bakat menulisnya. Pada tahun 1988, dia berhasil menjadi juara pertama penulisan puisi yang diselenggarakan oleh Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia). Kemudian, dalam masa kuliah dia memperoleh juara pertama penulisan puisi yang diadakan oleh Laetikia, sebuah lembaga tunanetra yang dikelola oleh gereja di Jakarta.
Di samping menulis puisi, Anton juga menulis naskah drama. Drama hasil kreasinya banyak dipentaskan oleh para tunanetra, khususnya acara yang berkaitan dengan Hari Natal. Naskah dramanya yang berjudul Keringat Manusia, sebuah drama komedi dipentaskan di Jakarta (2000). Kemudian, naskah dramanya berjudul Balada Manusia Berlian dipentaskan pada hari ulang tahun ke-20 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menjadi cabang SLB Karya Murni di Flores (2004).
Setelah menyelesaikan pendidikan khusus untuk mahasiswa tunanetra dengan gelar S.Pd., Anton kembali ke Medan. Pada awalnya, publik sastra Medan mengenal namanya setelah dia selalu mengikuti acara Puisi Malam. Untuk mengembangkan bakatnya, Anton bergabung pada Komunitas Pualam, sebuah perkumpulan peminat siaran Puisi Malam, salah satu rubrik RRI Pro-2 Medan. Dia aktif mengikuti siaran Puisi Malam dengan penyiar Eddy Siswanto, Yusrianto, Yusriadi, dan Nirwan Lola. Sebuah puisinya berjudul Surat Pos memperoleh penghargaan sebagai puisi terbaik dalam lomba penulisan puisi kemerdekaan di RRI tersebut.
Anton mempunyai motto, “Netra Hilang Hati Berkumandang”. 74 puisi yang ditulisnya pada 2002-2004 dibukukan dengan judul Dalam Matahari yang diterbitkan oleh Penerbit Sastera Leo Medan pada tahun 2005. Kedua buku kumpulan puisinya diberi ulasan oleh Prof. H. Ahmad Samin Siregar dari Fakultas Sastra USU Medan.
Kreativitas penyair yang tunanetra semakin lengkap setelah dia berumah tangga. Pada 30 Juni 2006, Anton menikah dengan Verawaty Ginting. Mereka telah dikaruniai seorang putra yang diberi nama Bara.
Puisi-puisi Antonius Silalahi diterbitkan oleh berbagai media massa, baik di Medan maupun Pulau Jawa. Surat kabar Analisa, Medan Bisnis, Buletin Suara Hati, Gema Braile (Bandung), Pelkris (Semarang), dan Buletin Peka (Jakarta) menerbitkan puisi-puisi karyanya. Sekarang, Anton sedang mengusahakan kepemilikan komputer bersuara khusus untuk penyandang tunanetra, meskipun suara itu berbahasa Inggris. Begitulah riwayat hidup singkat Antonius Silalahi yang terangkum dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia di Sumatera Utara susunan Balai Bahasa (Rosliani dkk, 2007:33).
* * *
 Memang benar, jika ada pendapat yang menyatakan bahwa pembicaraan sebuah karya itu tidak bisa dilepaskan dari biografi pengarangnya. Tetapi di lain pendapat, karya juga mesti dibicarakan sebagai karya, dan harus dipandang sebagai hasil cipta. Lantas sebuah karya puisi yang dipublikasikan bukan lagi milik pengarangnya, melainkan mutlak milik pembacanya.  Maka berdasarkan pendapat yang terakhir, dalam membicarakan “Bara Hati”, penulis mencoba melepaskan diri dari layar memori tentang Antonius yang seorang tunanetra. Meskipun pada akhirnya, penulis juga sangat mengagumi semangat Antonius sebagai seorang tunanetra yang memiliki kemauan sekaligus kemamampuan untuk menulis karya puisi. Lalu hal ini (pembicaraan karya sebagai karya) dimaksudkan lebih kepada penyemarakan warna apresiasi terhadap “Bara Hati”.

3.     Ungkapan-ungkapan yang Sederhana

Penulis sependapat dengan apa yang disampaikan Aishah Basar dalam makalahnya, bahwa Antonius hadir dengan bahasa yang sederhana dan tidak berlebihan, serta tidak berniat berambiguitas ria. Antonius tidak menggunakan bahasa-bahasa dengan penafsiaran yang rumit dan yang terlalu sulit untuk dimengerti. Hal itu hampir senada dengan apa yang disampaikan Prof. Samin Siregar, bahwa puisi-puisi yang terdapat di dalam “Bara Hati” Antonius Silalahi dapat dibaca dan dengan mudah dipahami oleh anak-anak SMU. Bukankah tidak terlampau sulit meresapi larik-larik puisi di bawah ini:
INSIDEN TROTOAR 5,5

Sepi kutunggu di trotoar itu
Temanku menuju pulau seberang
Tiba-tiba kau datang
Lalu menikamku dengan recehan itu
Aku terkapar seketika
Dan kau berlalu sambil tersenyum bangga

Aku terinjak-injak di trotoar 5,5
Tak ada ambulance yang membawaku ke rumah sakit
Penikamku tak ada yang mengejar dan menangkap
Hanya sunyi yang menjenguk dan berbisik
“Kawan, ini negeri orang-orang buta”
                                                                  (Hal 11)

Dalam “Insiden Trotoar 5,5” di atas, Antonius bercerita tentang sifat sesungguhnya dari masyarakat kota yang kehilangan fungsi sosialnya sebagai makhluk bernama manusia. Mereka (orang-orang kota), adalah manusia yang dengan secara sadar dan sengaja menulikan telinga, bahkan membutakan mata untuk menjadi makhluk yang pura-pura tidak tahu tentang keadaan di sekitarnya. Manusia kota kembali ditegaskan Antonius sebagai manusia yang kehilangan rasa solidaritas dan ketenggangannya. Semakin nyatalah, jika manusia kota adalah manusia yang individualistis dan egois.
Kritik sosial serupa kembali dan tetap menjadi gumpalan-gumpalan yang dilemparkan-hujamkan Antonius ke hadapan kita bersama. Pergulatan kehidupan manusia yang sering kehilangan kontrol nurani dan hati. Manusia yang sanggup berbuat apa saja demi memuaskan “berahi” diri, tidak perduli jika yang menjadi korban adalah kerabat, kawan, bahkan saudara sendiri. Lihatlah pada baris puisi “Kepada yang Terhormat II” berikut ini:”Kemarin saudaraku telah mati/ Ditikam belati dustamu/Hari ini/ Kulihat kau kembali mengasah belati itu/ Siapakah korban selanjutnya/” (Hal 33).

MAMA BANGUNLAH


Gugusan rindu ini kian meninggi mama

Sementara pilar kesabaran
Yang kutancapkan di anjungan harapan mulai goyah
Mama apa lagi yang kau tunggu
Marilah segera bertolak menuju istana nirmala
Sebelum musim menyudahi segalanya

Mama jangan hiraukan gerimis yang menggamit kulit tubuhmu
Di tanganmu ada pedang bermata dua
Segalanya putus dalam satu kedipan mata

Mama maafkan aku lancang masuk ke kamarmu
Tapi kuingin kau segera bangun
Karena si ucok sedari tadi menangis tak tahan
Haus dan lapar

                                                                  (Hal 47)

Begitu juga dalam “Mama Bangunlah”, Antonius menciptakan sebuah puisi dengan pilihan kata yang sangat sederhana. Tapi sungguh menyodorkan makna yang begitu kuat, dan juga menyudutkan kita semua. Perhatikanlah kekuatan itu dalam: “Mama/ Jangan hiraukan gerimis yang menggamit kulit tubuhmu/ Di tanganmu ada pedang bermata dua/ Segalanya putus dalam satu kedipan mata.
Begitu juga yang tertangkap “Di Kotamu”, ketika:”Menyusuri trotoar-trotoar senja di kotamu/ Ekor kenangan terus mengibas-ngibas/ Mengajak berkunjung ke rumahmu/ Singkirkan rindu yang menyusup menggigil-gigil/” (Hal 82). Dan juga dalam “Perhentian”nya, Antonius bertutur: ”Sementara alamat tujuan/ Masih dikekang bayang-bayang hitam/ Dan kita kekurangan daya menentangnya/ Membuat kita nyaris gagal/ Bayar lunas bakti yang kita terima/” (Hal 108) 

4.     Kesederhanaan yang Terusik
Tetapi di balik kesederhanaan tutur kata dalam puisi-puisi Antonius, sebenarnya masih banyak terdapat pilihan kata yang memang terkesan sederhana (mungkin karena sering terdengar), tetapi menjurus ekslusif jika dikawinkan dengan kata-kata atau larik-larik yang pada dasarnya berdiri secara sederhana. Antonius kelihatannya tidak mampu menahan “ketergiurannya” untuk menggunakan kata-kata “asing” (semacam istilah bagi penulis) yang acap didengarnya ke dalam larik-larik puisinya, seperti diskriminasi, arogansi, nepotisme, globalisasi, marjinalisasi, birokrasi, politisi, aspirasi, embargo, portal, bangsal, iptek dan lain sebagainya.
Memang, tidak salah jika Antonius memberi tumpangan kepada kata-kata “asing” di atas ke dalam gerbong-gerbong puisinya. Tetapi sekali lagi, pilihan kata-kata tersebut tidak sepadan dengan kata-kata sederhana yang menjadi muasal kekuatannya. Perkawinan antara kata dengan kata, atau antara larik dengan larik berlangsung akibat “pemaksaan” kehendak. Bukan karena pertimbangan kecocokan satu sama lainnya.
Tidakkah cukup riskan jika membaca pasangan-pasangan kata berikut ini dalam puisi-puisinya Antonius: “..hari-hari ekspres”, “.. Bias-bias globalisasi”, “… puncak-puncak arogansi”, “Menjadi orkestra retorika eforia hedonisme”, “Diskriminasi dan staf-stafnya”, “Ke pedalaman individu”, “…di pagar diskriminasi”, “… di mercusuar matamu”, “Di belantara industrialisasi dan komputerisasi”, “…di bawah tenda propaganda”, “Tancapkan tower di hatimu”, “Gadis konglomerat rambut”, “…untuk mereboisasi harapanku”, “Konteiner nestapa ini”, atau dengan ungkapan: “…ranting-ranting individualistis”. Dengan perkawinan-perkawinan kata semacam itu, mengangalah jurang makna yang cukup tajam antara pasang demi pasang kata. Tentu hal itu cukup  mengganggu keutuhan makna puisi yang diharapkan secara keseluruhan.
Terlihat juga di beberapa puisinya yang lain, ketika kesederhanaan larik yang—mungkin dengan susah payah—dibangunnya dari awal harus goyah, goncang, bahkan rubuh ketika godaan kata-kata “asing” semacam komputerisasi, industrialisasi, institusi, egosentris, atau hedonisme tidak kuasa ditampik Antonius. Di sini, Antonius terlalu memberikan hati kepada kata-kata “asing” itu. Terlampau membuka diri ia.
Hidup adalah rentetan pertanyaan
Yang hanya mampu dijawab sunyi
Jangan kau sisakan isak tangis itu
Karena cerita yang kusam
Telah lama membunuhnya bersama waktu
Dengarlah hempasan demi hempasan
Di medan perebutan jati diri
Hati ditukar jantung

Begitu manis Antonius memulai potretannya tentang kemisterian hidup dalam “Padamu Kuberitahukan Saudaraku III” (Hal 25). Tetapi bisa jadi pembaca merasa terganggu secara rasa, makna maupun secara irama, ketika larik: “Solidaritas ditukar dengan individualistik”, menyusul setelahnya. Hal yang serupa terdapat pula dalam “Surat Tertuju” (Hal 38). Kesederhanaan dalam larik: “Tuhan…/ Jangan murkai sumpah kami yang ternoda/ Beri kami amunisi baru/ Perjuangan ini tak mungkin berhenti di sini/ Perang belumlah usai/ Guratan-guratan amanah dalam lubuk sejarah/ jadi terusik dengan pemakaian larik: “Harus dimateraikan di haribaan bangsa-bangsa/. Begitu juga dalam puisi-puisinya yang berjudul “Berhentilah Menguras Sumur Kami” (Hal 39), “Entah Bagaimana Nanti” (Hal 40), “Air Titipan” (Hal 45), atau “Wak Udin Pendorong Gerobak” (Hal 57).
Kegagalan perkawinan antara kata dan larik dalam bahtera puisi-puisi Antonius pada akhirnya menghasilkan kepincangan rasa, makna, dan irama. Jadilah di dalam puisi-puisi Antonius tidak terjalin komunikasi kata yang saling menyambung dan saling mendukung. Padahal sekali lagi, sangat banyak ditemukan ungkapan-ungkapan puitis Antonius yang lainnya, yang kuat dan memikat, seperti: “Maju tak gentar membela yang bayar”, dan seperti: “Tanah-tanah di negeri ini pun telah membatu/ Tak mampu ditembus bambu/”. Tetapi kemudian yang terjadi, adalah itu hanya cocok menjadi potongan-potongan slogan. Kuat memang, tetapi tidak terimbangi dengan “kawanan” kata yang berada di sekitarnya.
Padahal seperti pernyataan Dr. S. Effendi (2002:103), bahwa tiap bagian dari puisi (kata, larik, bait, dan judul) tidak dapat berdiri sendiri. Tiap bagian sajak baru benar-benar bermakna dalam hubungan dengan bagian-bagian yang lain. Hal tersebut senada dengan pernyataan berikut ini, “Keserasian antara bunyi yang merdu, imajinasi yang dibangun, pemikiran yang dituangkan, watak yang dimunculkan, dan majas khas yang digunakan merupakan ramuan keapikan puisi.” (Sugono dkk, 2003:133).

5.     Puisi yang Tidak Utuh

Kegagalan Antonius tersebut mengakibatkan beberapa puisi-puisinya tidak mempunyai kekuatan utuh secara keseluruhan sebuah puisi. Maka muncullah kesan, bahwa puisi-puisi Antonius hanya memiliki kekuatan dalam penggalan-penggalan lariknya saja. Seperti larik yang terdapat dalam setiap permulaan penggalan (terdapat 5 penggalan) dalam “Bara Hati”. Tetapi larik-larik tersebut menjadi lemah ketika membaca rangkaian puisinya secara keseluruhan. Bukankah begitu memikat jika larik yang terletak di bagian belakang sampul “Bara Hati” dinyatakannya sebagai sebuah puisi, ketimbang sebagai penggalan puisi?
Aku tahu kau ada di situ
Tapi pernahkan kau tahu aku ada di sisimu
Aku jadi bingung
Siapakah sebenarnya yang buta di antara kita
Tetapi usaha keras Antonius untuk memperkuat puisi “Padamu Kuberitahukan Saudaraku IV” di atas menjadi sia-sia ketika ia begitu mudah meluncurkan dan menyerahkan pesan hatinya dengan larik-larik berikut: “Tapi barangkali betul/ Kau tak pernah tahu aku ada di sisimu/ Baiklah hari ini kuberitahukan padamu saudaraku…/”. Pernyataan yang persis sama dengan larik sebelumnya, yaitu antara: “Tapi pernahkan kau tahu ada di sisimu”  dan “Kau tak pernah tahu aku ada di sisimu/ sebenarnya tidak perlu diujarkan Antonius lagi.
Jika Antonius lebih sabar dalam “mengeramkan” karyanya, dan dalam menampiskan kata-katanya. Maka dalam “Bara Hati” akan lebih banyak lagi ditemukan puisi-puisi yang memiliki kekuatan utuh secara keseluruhan sebuah puisi, seperti kekuatan yang terdapat dalam “Insiden Trotoar 5,5” (Hal 11), “Mama Bangunlah” (hal 47), “Di Kotamu” (hal 82), “Mata dan Hati Batu” (Hal 27), atau “Ibu, Akupun Anakmu” (Hal 28) yang mengiris berikut ini:

Ibu, akupun seperti Bambang dan Mira

Kami semua anak-anak Ibu
Tak seorang pun kami lahir dari perempuan lain
Walau akhirnya sebatang tongkat membedakanku
Dari Bambang dan Mira
Tapi aku tetap anak Ibu sampai kapan pun
Harapan dan cita-citaku masih utuh
Dan tak sabar dikeluarkan dari sarangnya

Ibu, walau aku tak seperti Bambang dan Mira
Aku pun sanggup mempersembahkan matahari
Tatkala senja itu menghampirimu
Apa pun sanggup kulakukan untukmu
Tapi izinkan kusebarangi jembatan kecil
Di depan rumah kita
Beri aku segelas susu
Seperti yang kau suguhkan pada bambang dan Mira
Setiap hari

Ibu, tak terhapuskan namaku di kartu keluarga
Itutulisan Tuhan
Yang harus kau bacakan setiap saat kepada semua orang
Izinkan kuseberangi jembatan kecil
Di depan rumah kita
Aku pasti pulang dengan sejuta mawar untukmu

Kita terhenyak sejenak, ketika Antonius menceritakan “aku” sebagai anak yang selalu diabaikan oleh ibunya memberontak lewat larik yang tidak meledak-ledak. Malah sebaliknya, “aku” bertanya dengan larik yang anggun tapi begitu mengiris:“…izinkan kuseberangi jembatan kecil/ Di depan rumah kita/ Beri aku segelaas susu/ Seperti yang kau suguhkan  pada Bambang dan Mira Setiap hari/”.
“Aku” di situ hanya menginginkan sedikit keadilan dari Ibu dengan keinginananya menyeberangi: “… jembatan kecil/ Di depan rumah” nya. Juga keinginannya untuk meminum: “… segelas susu”, sehingga san “aku”: “… pasti pulang dengan sejuta mawar untuk” Ibunya yang pilih kasih terhadap “aku” tersebut.  Atau juga “aku” malah: “… sanggup mempersembahkan matahari”  sekalipun. Disebabkan oleh beberapa hal, memang sangat banyak ditemukan orangtua yang berperilaku  serupa demikian.
Tetapi yang lebih penting, penulis masih bisa merasakan “Bara Hati” Antonius yang menyala. Tinggal bagaimana cara Antonius mampu menjaga nyala itu secara baik lewat proses kepenyairannya.
Berikan piala itu untuk kami kirab ke seluruh penjuru
Biar lepas jiwa dari tatapan nista
Dan roh diskriminasi itu tak lagi
Bergentayangan bunuh cita-cita luhur
Pemegang estafet perjuangan bangsa
Berikan piala itu
Kami telah tua hidup tanpa jiwa
                                         
                                                      (Hal 20)

Pada akhirnya, meski Drs. Antilan Purba, M.Pd., dalam Kata Pengantar menyatakan bahwa kurun waktu sepuluh tahun masih terasa singkat untuk dapat menemukan pengucapan dan pergulatan perolehan bentuk pengungkapan, memang benar. Tetapi Antonius telah menunjukkan hasil dari proses pergulatannya lewat ucap puisi di “Bara Hati”. Terserah kepada pembaca, menafsirkan makna dari ucapan puitis tersebut. Bahkan tidak ada larangan keras untuk saling berbeda tafsir, apalagi berbeda maksud dengan si pengarangnya.
Maka Antonius, sesungguhnya kau telah mendapatkan: “…piala” yang kau minta itu. Dan silakan kau: “…kirab ke seluruh penjuru/”. Teruslah berkarya Antonius, sebab kau belumlah: “…tua”. Sebab juga kau masih punya: “…jiwa”.





Daftar Pustaka

Effendi, S. 2002. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta:Dunia Pustaka
Jaya.
Wiyanto, Asul. 2005. Kesustraan Sekolah. Jakarta: Grasindo
Waluyo J, Herman. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:Erlangga
Rosliani dkk. 2007. Ensiklopedi Sastra Indonesia di Sumatera Utara. Medan. Balai Bahasa Medan.
Silalahi, Antonius. 2004. Bara Hati. Medan: Sastra Leo
Sugono, Dendy, dkk. (ed). 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa.




































Tidak ada komentar:

Posting Komentar