Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Membongkar Aplikasi Makna Dalam Cerpen Bersekolah Di Kebon Belanda Dengan Pendekatan CDA



Membongkar Aplikasi Makna Dalam
Cerpen Bersekolah Di Kebon Belanda Dengan Pendekatan CDA
Oleh: Julaiha S.
            Membaca setiap pendekatan dalam membedah sebuah cerpen memang akan terasa begitu labil ketika pendekatan itu menjadi darah dalam daging-daging cerpen. Sama halnya dengan cerpen yang satu ini, saya menemukan banyak cara dalam membedahnya. Namun, untuk lebih menekankan pendekatan dalam mengobrak-abrik sebuah cerpen tidaklah segampang itu. Jika harus membacanya dari segi struktural, saya rasa saya  tinggal membagi cerpen ini kepada hadirin, maka yang lahir adalah tulisan-tulisan yang jauh lebih indah dari yang saya punya. Bukan berarti pembedahan saya sudah bagus dengan menggunakan pendekatan ini, tetapi saya ingin membuka hal-hal yang beda dalam menerawang cerpen Pak Norman Tamin
Kacamata dalam Pendekatan CDA
            Banyak Analisa Konversasi/percakapan (conversation) kritis sangat berbeda analisa berita atau belajar/mengajar. Tetapi sebenarnya ada perspektif dan tujuan CDA yang sama yaitu tentang struktur wacana yang berkaitan dengan reproduksi dominasi sosial, apakah itu berbentuk konversasi atau berita atau genre dan konteks lainnya. Dan untuk kata-kata yang sering menjadi pembahasan CDA yaitu power (kekuasaan), dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras, diskriminasi, kepentingan, reproduksi, institusi, struktur sosial atau tatanan sosial. Boleh jadi jika riset CDA sering merujuk pada ilmuan dan filosof sosial kritis ternama–seperti Frankfurt School, Habermas, Foucault dsb. atau aliran neo-marxist- ketika ingin menteorikan dan memahaminya. Lalu untuk menemukan kerangka teoritis sebaiknya fokus pada konsep dasar yang berkaitan dengan discourse, cognition, dan society.
            Pada umumnya dalam sejarah teori sastra, pendekatan yang sering digunakan dalam membedah karya sastra adalah teori struktural. Sebuah model pendekatan yang melihat sastra sebagai karya yang otonom. Karya dibedah dari unsur intrinsiknya seperti alur, penokohan, tema, sudut pandang, setting ataupun gaya bahasa. Dalam khazanah teori sastra yang sedang berkembang saat ini, terutama yang sudah lama diperkenalkan di Barat (terutama pasca runtuhnya kekuasaan Hitler) pada era 60-an, metode penelitian sastra telah diarahkan dalam bentuk Critical Discourse Analysis (CDA) atau lebih akrab disebut Analisis Wacana Kritis (AWK).
Membuka Makna Dari Teks Bersekolah Di Kebun Belanda
            Dalam cerpen bersekolah di kebun belanda ini, kita kembali diingatkan dengan buku sejarah, bagaimana fenomena di kehidupan pada masa belanda. Termasuk dalam sekolah-sekolahnya. Cerpen semacam ini yang selalu mengingatkan kita tentang hal-hal tersebut, seperti halnya dengan cerpen bersekolah di kebun belanda (kelas II), penulis mengambil angel yang pas untuk menciptakan cerpen tersebut, yakni dalam ruang lingkup belanda yang luas dengan fenomena  kerja paksa, kelaparan, tumpah darah dan lainnya. Tetapi tidak dalam cerpen ini, Pak Norman Tamin mengambil angel sekolah sebagai sarana dalam membubuhi cerpennya itu. Tidak hanya kegiatan sekolah yang beragam terjadi dalam sekolah seperti mengerjai teman sekelas dan timbul persaingan tidak sehat dibagi beliau didalamnya, tetapi rasa cemburu, nasionalisme, kegigihan dalam belajar serta potret kecil dalam lingkungan sekolah.
            Setiap anak yang naik kelas akan merasakan rasa yang mengebuh-gebuh bahagia. Tidak terlepas dari itu, mungkin para orang tua kerap akan membelikan baju baru- lainnya. Namun tidak sama dalam cerpen ini, seorang anak yang kegirangan tidak naik kelas. Luar biasa! Terlihat dalam kutipan cerpen berikut:
            “Sarean, matanya berkaca-kaca kesedihan. Paijah tertunduk terus dalam sedih, begitu juga dengan lainnya, tetapi tidak dengan boirin. Aneh temanku yang itu malah kegirangan. Kulihat malan menari-nari kegirangan.”
            “Boirin!” Kata temanku mengintip. Ali namanya.
            boirin teman aneh kami pun mendekat ke dinding. Kami pun ngintip kontra ngintip.
            “Siapa kau?”
            “Aku Ali,”
            “Mampus kau Ali!”
            “Kaulah yang mampu tinggal kelas!”
            “Kalian yang naik kelas yang mampus. Dapat guru Batak kejam”
            Teks dalam wacana cerpen ini menjadikan pendekatan CDA semakin berfungsi dengan baik, hal ini dikarenakan banyak makna yang begitu luar biasa untuk di cerna sebagai bangsa yang masih hidup dalam negara Indonesia.
            Sama halnya dengan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh pak Simanjuntak dalam cerpen ini. Pak simanjuntak ini begitu menjunjung rasa kebangsaan terhadap Indonesia, sehingga masalah-masalah kecil yang terdapat dalam cerpen harus dibesarkan-besarkan. Ini yang menjadi dasar bahwa beliau dikenal sebagai guru ‘kejam’ di dalam sekolah tersebut.
            Kiranya ‘aku’ dalam cerpen tersebut terlibat aktif dalam pembuktian jika pak simanjuntak ini merupakan sosok kepiawayan dalam hal nasionalisme, ini dapat kita lihat dalam kutipan cerpen berikut.


            Sejatinya, memang penulis tidak akan lari-lari dengan makna, apapun itu haruslah sebuah tulisan digandrungi oleh sebuah makna. Pendekatan CDA ini juga lihai dalam menyoroi hubungan sosial-budaya yang berkembang dalam cerpen tersebut.
           

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar