Membongkar Aplikasi Makna Dalam
Cerpen Bersekolah
Di Kebon Belanda Dengan Pendekatan CDA
Oleh: Julaiha S.
Membaca
setiap pendekatan dalam membedah sebuah cerpen memang akan terasa begitu labil
ketika pendekatan itu menjadi darah dalam daging-daging cerpen. Sama halnya
dengan cerpen yang satu ini, saya menemukan banyak cara dalam membedahnya.
Namun, untuk lebih menekankan pendekatan dalam mengobrak-abrik sebuah cerpen
tidaklah segampang itu. Jika harus membacanya dari segi struktural, saya rasa
saya tinggal membagi cerpen ini kepada
hadirin, maka yang lahir adalah tulisan-tulisan yang jauh lebih indah dari yang
saya punya. Bukan berarti pembedahan saya sudah bagus dengan menggunakan
pendekatan ini, tetapi saya ingin membuka hal-hal yang beda dalam menerawang
cerpen Pak Norman Tamin
Kacamata dalam Pendekatan
CDA
Banyak
Analisa Konversasi/percakapan (conversation) kritis sangat berbeda analisa
berita atau belajar/mengajar. Tetapi sebenarnya ada perspektif dan tujuan CDA
yang sama yaitu tentang struktur wacana yang berkaitan dengan reproduksi
dominasi sosial, apakah itu berbentuk konversasi atau berita atau genre dan
konteks lainnya. Dan untuk kata-kata yang sering menjadi pembahasan CDA yaitu
power (kekuasaan), dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras,
diskriminasi, kepentingan, reproduksi, institusi, struktur sosial atau tatanan
sosial. Boleh jadi jika riset CDA sering merujuk pada ilmuan dan filosof sosial
kritis ternama–seperti Frankfurt School, Habermas, Foucault dsb. atau aliran
neo-marxist- ketika ingin menteorikan dan memahaminya. Lalu untuk menemukan
kerangka teoritis sebaiknya fokus pada konsep dasar yang berkaitan dengan
discourse, cognition, dan society.
Pada umumnya dalam sejarah teori
sastra, pendekatan yang sering digunakan dalam membedah karya sastra adalah
teori struktural. Sebuah model pendekatan yang melihat sastra sebagai karya
yang otonom. Karya dibedah dari unsur intrinsiknya seperti alur, penokohan,
tema, sudut pandang, setting ataupun gaya bahasa. Dalam khazanah teori sastra
yang sedang berkembang saat ini, terutama yang sudah lama diperkenalkan di
Barat (terutama pasca runtuhnya kekuasaan Hitler) pada era 60-an, metode
penelitian sastra telah diarahkan dalam bentuk Critical Discourse Analysis
(CDA) atau lebih akrab disebut Analisis Wacana Kritis (AWK).
Membuka Makna Dari Teks
Bersekolah Di Kebun Belanda
Dalam cerpen bersekolah
di kebun belanda ini, kita kembali diingatkan dengan buku sejarah, bagaimana
fenomena di kehidupan pada masa belanda. Termasuk dalam sekolah-sekolahnya. Cerpen
semacam ini yang selalu mengingatkan kita tentang hal-hal tersebut, seperti
halnya dengan cerpen bersekolah di kebun
belanda (kelas II), penulis
mengambil angel yang pas untuk
menciptakan cerpen tersebut, yakni dalam ruang lingkup belanda yang luas dengan
fenomena kerja paksa, kelaparan, tumpah
darah dan lainnya. Tetapi tidak dalam cerpen ini, Pak Norman Tamin mengambil angel sekolah sebagai sarana dalam
membubuhi cerpennya itu. Tidak hanya kegiatan sekolah yang beragam terjadi
dalam sekolah seperti mengerjai teman sekelas dan timbul persaingan tidak sehat
dibagi beliau didalamnya, tetapi rasa cemburu, nasionalisme, kegigihan dalam
belajar serta potret kecil dalam lingkungan sekolah.
Setiap anak yang naik kelas akan
merasakan rasa yang mengebuh-gebuh bahagia. Tidak terlepas dari itu, mungkin
para orang tua kerap akan membelikan baju baru- lainnya. Namun tidak sama dalam
cerpen ini, seorang anak yang kegirangan tidak naik kelas. Luar biasa! Terlihat
dalam kutipan cerpen berikut:
“Sarean,
matanya berkaca-kaca kesedihan. Paijah tertunduk terus dalam sedih, begitu juga
dengan lainnya, tetapi tidak dengan boirin. Aneh temanku yang itu malah
kegirangan. Kulihat malan menari-nari kegirangan.”
“Boirin!” Kata temanku mengintip. Ali namanya.
boirin teman aneh kami pun mendekat ke dinding. Kami pun
ngintip kontra ngintip.
“Siapa kau?”
“Aku Ali,”
“Mampus kau Ali!”
“Kaulah yang mampu tinggal kelas!”
“Kalian yang naik kelas yang mampus. Dapat guru Batak
kejam”
Teks
dalam wacana cerpen ini menjadikan pendekatan CDA semakin berfungsi dengan
baik, hal ini dikarenakan banyak makna yang begitu luar biasa untuk di cerna
sebagai bangsa yang masih hidup dalam negara Indonesia.
Sama
halnya dengan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh pak Simanjuntak dalam cerpen
ini. Pak simanjuntak ini begitu menjunjung rasa kebangsaan terhadap Indonesia,
sehingga masalah-masalah kecil yang terdapat dalam cerpen harus dibesarkan-besarkan.
Ini yang menjadi dasar bahwa beliau dikenal sebagai guru ‘kejam’ di dalam
sekolah tersebut.
Kiranya ‘aku’ dalam cerpen tersebut
terlibat aktif dalam pembuktian jika pak simanjuntak ini merupakan sosok
kepiawayan dalam hal nasionalisme, ini dapat kita lihat dalam kutipan cerpen
berikut.
Sejatinya, memang penulis tidak akan
lari-lari dengan makna, apapun itu haruslah sebuah tulisan digandrungi oleh
sebuah makna. Pendekatan CDA ini juga lihai dalam menyoroi hubungan
sosial-budaya yang berkembang dalam cerpen tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar