Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

SASTRA SEBAGAI MEDIA DAKWAH



Di dalam dunia kesusastraan Melayu, terdapat sebuah gagasan pesuratan baru yang berupaya mengembangkan cara pandang kesusatraan berbasis Islam dalam memandang masalah kesusastraan. Mengapa gagasan pesuratan baru ini dikembangkan? Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, Islam sebagai teras atau asas kesusastraan. Kedua, gagasan persuratan baru ini tidak sekadar menggabungkan sastra dengan Islam. Ketiga, tidak ada perbedaan antara sastra Islam dengan sastra bukan Islam. Keempat, al-Quran dijadikan sebagai rujukan. Kelima, pelurusan atas spirit Islam yang disalahpahami (keliru) dan juga dijadikan rujukan. Kekeliruan tersebut terjadi karena kekeliruan memahami Islam dan ilmu. Gagasan persuratan baru membahas tentang pemahaman ilmu yang benar dalam Islam (yang tidak dikelirukan). Berangkat dari hal inilah pemikiran sastra dengan konsep gagasan persuratan baru dimunculkan.
Dalam dunia kesusastraan pada umumnya, terdapat sisi-sisi negatif yang kerap diangkat. Masalah ini disudutpandangkan sebagai hal yang juga manusiawi atau dapat dikatakan terdapat sisi-sisi mulia pada sisi keburukan manusia. Hal inilah yang ingin diubah dan dibahas dalam gagasan persuratan baru.
Sastra sekuler terbatas pada perkara-perkara fisikal (merekam hal-hal naluriah) dan terdapat pemisahan pada sisi keruhanian. Sedangkan sastra Islam berisi perkara-perkara yang bermanfaat serta ditulis secara indah dan berseni, bukan hanya sekadar merekam saja melainkan juga melukiskan wujud Tuhan. Contoh sastra Islam yang paling nyata kita lihat adalah karya sastra Hamzah Fansuri.
Terdapat pola umum persoalan azab (perkara bagaimana pesan disampaikan) dalam sastra Islam. Pola tersebut dinamakan pola balasan setimpal (poetic justice). Misalnya, terdapat rentang waktu dari A ke B. Seorang C akan berjalan dari rentang waktu tersebut. Dalam perjalanannya, 90% dihiasi dengan sikap dan sifat yang sangat buruk, hingga pada 10% terakhir si C akan mendapatkan azab yang sangat pedih dan akan menginsafi si C untuk berubah menjadi lebih baik. Sebetulnya, persoalan azab bukanlah persoalan pokok dalam kesusastraan Islam. Jika kita merujuk pada kisah-kisah Nabi, sebelum diberikan azab terdapat peringatan-peringatan dalam bentuk ilmu, tarbiyah, pendidikan, dan wahyu. Jadi, yang paling penting di titik ini bukanlah azab tetapi peringatan berupa ilmu.
Selain itu, titik tekan dalam dunia kesusastraan Islam terletak pada teknik penulisan kesusastraan yang harus mendalam; bukan sekadar merekam. Pesan yang dibawa dalam kesusastraan Islam juga bukan sekadar disampaikan di akhir cerita tetapi menulis wacana (diskursus) yang terdapat gagasan di dalamnya. Watak-watak yang ada di dalam cerita bukan lagi aksi-aksi dari pelakunya tetapi pikiran yang dibawa di dalam dialog-dialognya.
Islam memiliki derajat-derajat yang ada di dalamnya. Di dalam sastra pun terdapat pembagian derajat-derajat kesusastraan. Ada karya sastra yang tidak dapat ditujukan pada orang yang tidak sederajat (tidak memiliki kemampuan untuk memahami karya sastra tersebut). Tugas orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memahami sastra (di dalam suatu derajat) itulah yang harus menjadi jembatan penyambung untuk memudahkan pemahaman pada orang-orang di bawahnya. Hal yang harus difokuskan dalam kondisi ini adalah ukuran ke-tamaddun-an yang tinggi. Akan tetapi, terdapat persoalan yang lebih penting dalam kondisi ini, yaitu bagaimana mendidik masyarakat untuk menempatkan suatu karya sastra pada masyarakat pembacanya pada tempat yang tepat. Ukuran yang paling tepat untuk mengukur hal ini adalah dengan menggunakan ukuran pandangan hidup Islam.
Tradisi kritik sastra tidak harus dilihat dalam konteks sastra atau fiksi tetapi dalam konteks keilmuan. Affandi Hasan menggagaskan bahwa pertama, resyarat memberikan penekanan pada ilmu dan orang yang melakukan hal ini disebut dengan pengarang. Kedua, sastra memberikan penekanan pada pikir dan orang yang melakukan hal ini disebut dengan sastrawan.
Sastra Islam menempatkan fokus kisah-kisah tragedi sebagai kelemahan, nafsu kebinatangan, dan kerendahan manusia. Sedangkan dalam pandangan hidup Islam, yang ditekankan adalah konsep uswatun hasanah (keteladanan); menjadi insan yang baik dengan cara mencontoh Rasulullah saw.
Firman Allah dalam Surah Al-Shu'araa:224
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (Q.S. al-Syu'ara' : 224) Allah Berfirman dalam Surah Al-Shu'araa:227
 إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
Akan tetapi, kalangan penyair yang mengikuti petunjuk-petunjuk ketuhanan dan berbuat kebajikan sehingga memiliki kepribadian yang luhur, dan selalu mengingat Allah dengan penuh rasa khusyuk hingga timbul rasa takutnya kepada Allah, adalah penyair-penyair yang menjadikan syairnya sebagai pelipur lara dan sebagai sarana untuk membela agama dan mempertahankan kebenaran pada saat kebenaran diinjak- injak.
Orang-orang yang menzalimi diri sendiri dengan berbuat syirik dan mengejek Rasulullah saw. itu kelak akan tahu akibat buruk mana yang menjadi tempat kembali mereka.(Qs. Al-Syuara [26]:227) Allah SWT dalam firman-Nya:
مَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآَنٌ مُبِينٌ
"Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan" (Q.S.Yasin: 69). Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ قِيلَ لَهَا هَلْ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَتَمَثَّلُ بِشَىْءٍ مِنَ الشِّعْرِ قَالَتْ كَانَ يَتَمَثَّلُ بِشِعْرِ ابْنِ رَوَاحَةَ وَيَتَمَثَّلُ وَيَقُولُ « وَيَأْتِيكَ بِالأَخْبَارِ مَنْ لَمْ تُزَوِّدِ ». وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
[15] Dari Aisyah beliau berkata: seseorang bertanya kepadanya: 'Apakah Rasulullah Pernah melantunkan syair, Aisyah menjawab: "Beliau pernah melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan 'Dan telah datang kepadamu berita tanpa tambahan'. Hadis Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam sunannya :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ فِي عُمْرَةِ الْقَضَاءِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ بَيْنَ يَدَيْهِ يَمْشِي وَهُوَ يَقُولُ: (خَلُّوا بَنِي الْكُفَّارِ عَنْ سَبِيلِهِ # الْيَوْمَ نَضْرِبْكُمْ عَلَى تَنْزِيلِهِ) (ضَرْبًا يُزِيلُ الْهَامَ عَنْ مَقِيلِهِ # وَيُذْهِلُ الْخَلِيلَ عَنْ خَلِيلِهِ) فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا ابْنَ رَوَاحَةَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَرَمِ اللَّهِ تَقُولُ الشِّعْرَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلِّ عَنْهُ يَا عُمَرُ فَلَهِيَ أَسْرَعُ فِيهِمْ مِنْ نَضْحِ النَّبْلِ
Artinya : Dari Anas Bahwasanya Rasulullah Saw masuk ke Makkah pada masa umrah dan Abdullah bin Rawah sedang berjalan di depan beliau sambil berkata : “Berikan jalan kepada anak orang-orang kafir # Hari ini kami akan memukul kalian dirumah kalian Dengan pukulan yang menghilangkan kesedihan dari peraduannya # Dan menjauhkan seorang kekasih dari kekasihnya Umar kemudian berkata kepadanya : ‘wahai Ibnu Rawah dihadapan Rasulullah Saw dan didalam masjid al-haram kamu melantunkan syair?’ kemudian Nabi Saw berkata kepada Umar : “Biarkan dia wahai Umar sebab hal itu lebih mempercepat dari siraman yang baik” Dalam riwayat yang lain Rasulullah Saw memuji syair salah seorang sahabat yang bernama Labid bin Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَصدق كَلِمَةٍ قالها الشاعر كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ بَاطِلٌ وكاد أمية بن أبي الصلت أن يسلم
Artinya ; Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam beliau berkata : “Kalimat yang paling benar yang diucapkan oleh penyair adalah kalimat Labid: “Ketahuilah segala sesuatu yang selain Allah adalah bathil (rusak dan binasa)”. Dan hampir saja Umayyah bin Abu al-Shalt memeluk Islam”. Namun pada sisi yang lain Rasulullah Saw melarang untuk bersyair sebagaimana sabda beliau Saw :
 عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا.
Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw beliau bersabda: "Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair". Akan tetapi hadis di atas memiliki asbab al-wurud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari riwayat Abu Said al-Khudri beliau berkata:
بينا نحن نسير مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعرج إذ عرض شاعر ينشد فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خذوا الشيطان , أو أمسكوا الشيطان , لأن يمتلئ جوف رجل قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا
"Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah Saw di al-'Araj, tiba –tiba seorang penyair membacakan syair kepada kami Rasul pun berkata : "Tahan Syaitan itu, dan peganglah........,lalu beliau bersabda: "Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair".
Imam An-Nawawi berkata : syair itu hukumnya boleh selama tidak terdapat didalamnya hal-hal yang keji dan sejenisnya. Al-Mubarakfury berkata: yang dimaksud dengan memenuhi (perutnya dengan syair) adalah ketika syair telah menguasainya dimana dia lebih disibukkan dengannya dari al-Qur'an dan ilmu-ilmu Islam lainnya, maka hal tersebut menjadi syair yang tercela apapun bentuknya. Maka dari itu Imam al-Bukhary dalam shahihnya memberikan bab khusus tentang syair dengan nama bab dibencinya syair ketika lebih mendominasi manusia dari al-Qur'an dan dzikir kepada Allah. Jadi apabila seseorang menjadikan al-Qur'an dan Ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka baginya boleh untuk membuat syair dan melantunkankannya selama syair tersebut, tidak bertentangan dengan aturan-aturan syari'at Memang terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama tentang para penyair, dan semoga setelah membaca beberapa firman Allah, Hadis Rasulullah s.a.w dan pandangan Imam Imam An-Nawawi kita di berikan petunjuk oleh Allah tentang
kebenaran dan jalan yang Lurus.

Dalam sejarah islam karya seni yang sangat mendapat tempat di hati kaum Muslimin walmuslimat adalah karya sastra, terutama puisi. Alasan yang bisa kita cari kenapa puisi yang mendapat perhatian, tidak yang lain misalnya, adalah karena Islam lahir di negeri Arab dan orang-orang Arab Jahiliyah terkenal dengan kehebatan puisinya.

Oleh karena itu pulalah banyak ilmuwan mengatakan, Al-Qur'an diturunkan dengan gaya bahasa yang indah, mampu menyentuh nilai estetika hati manusia. Puisi kemudian mendapatkan perkembangannya yang kuat dan pesat ketika Islam datang ke Persia. Sayyed Hussen Nasr menulis, "Tanpa melimpah ruahnya kemunculan orang-orang bijak dan pujangga persia, Islam tidak aka pernah menyebar ke wilayah-wilayah seperti india, asia tengah, atau asia tenggar seluas sekarang ini.

Rasulullah saw. sangat mencintai Puisi. Ini terlihat dari perkataanya yang memuji puisi-puisi Hasan bin Tsabit, "Sesungguhnya Ruh Kudus telah memancar dari lidahnya". Dalam kesempatan lain Rasulullah bahkan menanggalkan jubahnya dan kemudian memberikannya kepada Ka'ab ibnu Zubair sebagai pujian atas puisinya. "Sesungguhnya, di dalam puisi memancarkan hikmah," kata Beliau.

Yang menjadi pertanyaan?. Puisi yang seperti apakah yang Beliau cintai sekaligus di kagumi? 
Sebelum Islam datang, paradigma yang menghiasi kaum seniman pada waktu itu adalah "seni untuk seni". Mereka menciptakan karya seni sebagai ajang pemuasan nafsu semata (sekalipun puisi-puisi jahiliyah seperti karya Imra'ul Qays dipandang sebagai elegi-elegi paling indah di dunia). Para penyair yang menggubah puisi yang menjadi pemuas nafsu belakalah yang diserang habis-habisan  oleh Rasulullah saw. seperti dalam ayat, "Para penyair itu diikuti oleh orang-orang sesat (Q.S Asy-Syu'ara' : 244)
Maka, puisi-puisi yang di cintai oleh Rosul, tidak lain puisi yang isinya bermakna kehidupan yang hakiki sehingga ketika dibaca bisa mendekatkan diri kepada Allah, Hatinya bergetar tatkala lidahnya mengeluarkan pancarannya. Seolah-olah puisi bagian dari jiwanya dan tak lupa puisi juga suka dijadikan sebagai Munajat atau Do'a kepada Allah.

Dari mulai situlah bermunculan puisi-puisi dari para sahabat Rasul, syuhada, para sufi, para waliyallah hingga sampai sekarang. Dan tidak sedikit banyak yang suka dan mencintai akan keindahan Puisi ...  

Manusia adalah makhluk yang paling lemah, untuk itu telah sepantasnya jika manusia meminta pada Allah Tuhan semesta alam dan bersyukur atas nikmat dan karunia yang telah di berikan. Semuanya telah diatur dalam islam. Manusia memiliki fitrah tersendiri, salah satunya adalah kesukaan akan seni. Sadar ataupun tidak, manusia telah mempertahankan seni dan memperlihatkan aplikasi seni dalam kehidupan, seperti berbusana. Bagaimana kesenian sesuai fitrah manusia yang di sarankan atau diperbolehkan dalam agama?? Dalam sebuah hadits, “man tasyabbaha bi qoumin fahuwa minhum” artinya “barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah golongannya”. Untuk itu, dalam islam pun ada seni yang telah di jadikan indikasi islam. Seperti sopan dan santun, cara berpakaian yang menutup aurat, masakan atau makanan, dan lain sebagainya.

Dakwah dengan media seni; contohnya seperti seni sastra (puisi atau prosa), seni tari, seni kaligrafi, dsb. Di Zaman rosulullah, di kota Madinah, ketika rosulullah berada di samping masjid nabawi, ada utusan kaum Tamim yaitu orang satrawan yang bernama “Al-Aqro bin Harits” dan “Zaraqon”, dll mengejek rosulullah melalui syairnya. Al-Aqro berkata; “Ya Muhammad, pujianku akan membuat orang sangat terpuji dan celaanku sangat membuat orang tercela”. Rosulullah bersabda; “celakalah kamu, yang bisa melakukan itu hanyalah Allah”. Kemudian Zaraqon menghina Rosul menggunakan syair. Syaidina Ali ingin menandingi, tetapi Rosul mencegah karena Rosul tahu bahwa ini bukan bidang Syaidina Ali.
Kemudian Rosul mengutus sahabat untuk menjemput Hasan bin Tsabit, rosul meminta untuk menjawab syair bani Tamim tadi. Rosulullah bersabda; “wahai Hasan bin Tsabit, lantunkan syair, tandingi mereka dan Malaikat Jibril akan bersamamu.” Hasan bin Tsabit pun melantunkan syair yang membuat bani Tamim terdiam seribu bahasa. Jelaslah disini bahwa Rosul mendukung seni yang semata-mata untuk agama Allah.
Suatu ketika Hasan bin Tsabit berdendang dengan syair-syairnya yang sangat di gemari para sahabat, Umar bin Khattab tidak berkenan dan menatap Hasan bin Tsabit dengan tatapan penolakan terhadap syair tersebut. Seketika, Hasan bin Tsabit memanggil Abu Hurairah. Hasan pun berkata kepada Umar; “Wahai Umar, aku pernah bersyair sedang orang disampingku saat itu lebih mulia dari pada engkau, Umar. Rosul pun mendoakan dan Abu Hurairah saksinya.” Seraya Umar bin Khattab pun terdiam.
Dalam sebuah ayat di jelaskan, “Ajaklah orang-orang dengan hikmah, mauidzah hasanah dan berdebatlah (berikan argumen) dengan sesuatu yang lebih baik.” Pada kata wa jadilhum billati hiya ahsan (dan berdebatlah (berikan argumen) dengan sesuatu yang lebih baik), contohnya seperti syair dibalas dengan syair, film barat dengan film islami dll.
Sesuai dan sepadan dengan apa yang dihina dan dengan apa yang dibalaskan, bahwa islam itu agama rahmatan lil ‘alamin.
Imam al-Ghazali membagi manusia menjadi 4 jenis; 1. Yadri wa yadri annahu yadri (manusia tahu, dirinya tahu kalau dia tahu) 2. Yadri wa la yadri annahu yadri (manusia tahu, tapi dirinya tidak tahu kalau dia tahu) 3. La yadri wa yadri annahu la yadri (orang yang tidak tahu, tapi dirinya tahu kalau dia tidak tahu. 4. La yadri wa la yadri annahu la yadri (orang yang tidak tahu tapi dia tidak tahu bahwasanya dia tidak tahu) Dari keempat jenis manusia, semoga kita masuk dalam jenis pertama, dan seburuk-buruknya diantara keempat jenis manusia tersebut adalah manusia jenis ke empat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar