Di dalam dunia
kesusastraan Melayu, terdapat sebuah gagasan pesuratan baru yang berupaya
mengembangkan cara pandang kesusatraan berbasis Islam dalam memandang masalah
kesusastraan. Mengapa gagasan pesuratan baru ini dikembangkan? Hal ini
disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, Islam sebagai teras atau asas
kesusastraan. Kedua, gagasan persuratan baru ini tidak sekadar menggabungkan
sastra dengan Islam. Ketiga, tidak ada perbedaan antara sastra Islam dengan
sastra bukan Islam. Keempat, al-Quran dijadikan sebagai rujukan. Kelima,
pelurusan atas spirit Islam yang disalahpahami (keliru) dan juga dijadikan
rujukan. Kekeliruan tersebut terjadi karena kekeliruan memahami Islam dan ilmu.
Gagasan persuratan baru membahas tentang pemahaman ilmu yang benar dalam Islam
(yang tidak dikelirukan). Berangkat dari hal inilah pemikiran sastra dengan
konsep gagasan persuratan baru dimunculkan.
Dalam dunia
kesusastraan pada umumnya, terdapat sisi-sisi negatif yang kerap diangkat.
Masalah ini disudutpandangkan sebagai hal yang juga manusiawi atau dapat
dikatakan terdapat sisi-sisi mulia pada sisi keburukan manusia. Hal inilah yang
ingin diubah dan dibahas dalam gagasan persuratan baru.
Sastra sekuler
terbatas pada perkara-perkara fisikal (merekam hal-hal naluriah) dan terdapat
pemisahan pada sisi keruhanian. Sedangkan sastra Islam berisi perkara-perkara
yang bermanfaat serta ditulis secara indah dan berseni, bukan hanya sekadar
merekam saja melainkan juga melukiskan wujud Tuhan. Contoh sastra Islam yang
paling nyata kita lihat adalah karya sastra Hamzah Fansuri.
Terdapat pola umum
persoalan azab (perkara bagaimana pesan disampaikan) dalam sastra Islam. Pola
tersebut dinamakan pola balasan setimpal (poetic justice). Misalnya, terdapat
rentang waktu dari A ke B. Seorang C akan berjalan dari rentang waktu tersebut.
Dalam perjalanannya, 90% dihiasi dengan sikap dan sifat yang sangat buruk,
hingga pada 10% terakhir si C akan mendapatkan azab yang sangat pedih dan akan
menginsafi si C untuk berubah menjadi lebih baik. Sebetulnya, persoalan azab
bukanlah persoalan pokok dalam kesusastraan Islam. Jika kita merujuk pada
kisah-kisah Nabi, sebelum diberikan azab terdapat peringatan-peringatan dalam
bentuk ilmu, tarbiyah, pendidikan, dan wahyu. Jadi, yang paling penting di
titik ini bukanlah azab tetapi peringatan berupa ilmu.
Selain itu, titik
tekan dalam dunia kesusastraan Islam terletak pada teknik penulisan
kesusastraan yang harus mendalam; bukan sekadar merekam. Pesan yang dibawa
dalam kesusastraan Islam juga bukan sekadar disampaikan di akhir cerita tetapi
menulis wacana (diskursus) yang terdapat gagasan di dalamnya. Watak-watak yang
ada di dalam cerita bukan lagi aksi-aksi dari pelakunya tetapi pikiran yang
dibawa di dalam dialog-dialognya.
Islam memiliki
derajat-derajat yang ada di dalamnya. Di dalam sastra pun terdapat pembagian
derajat-derajat kesusastraan. Ada karya sastra yang tidak dapat ditujukan pada
orang yang tidak sederajat (tidak memiliki kemampuan untuk memahami karya
sastra tersebut). Tugas orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memahami
sastra (di dalam suatu derajat) itulah yang harus menjadi jembatan penyambung
untuk memudahkan pemahaman pada orang-orang di bawahnya. Hal yang harus
difokuskan dalam kondisi ini adalah ukuran ke-tamaddun-an yang tinggi. Akan
tetapi, terdapat persoalan yang lebih penting dalam kondisi ini, yaitu
bagaimana mendidik masyarakat untuk menempatkan suatu karya sastra pada
masyarakat pembacanya pada tempat yang tepat. Ukuran yang paling tepat untuk
mengukur hal ini adalah dengan menggunakan ukuran pandangan hidup Islam.
Tradisi kritik
sastra tidak harus dilihat dalam konteks sastra atau fiksi tetapi dalam konteks
keilmuan. Affandi Hasan menggagaskan bahwa pertama, resyarat memberikan
penekanan pada ilmu dan orang yang melakukan hal ini disebut dengan pengarang.
Kedua, sastra memberikan penekanan pada pikir dan orang yang melakukan hal ini
disebut dengan sastrawan.
Sastra Islam
menempatkan fokus kisah-kisah tragedi sebagai kelemahan, nafsu kebinatangan,
dan kerendahan manusia. Sedangkan dalam pandangan hidup Islam, yang ditekankan
adalah konsep uswatun hasanah (keteladanan); menjadi insan yang baik dengan
cara mencontoh Rasulullah saw.
Firman Allah dalam Surah Al-Shu'araa:224
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang
sesat.” (Q.S. al-Syu'ara' : 224) Allah Berfirman dalam Surah Al-Shu'araa:227
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
Akan tetapi, kalangan penyair yang mengikuti
petunjuk-petunjuk ketuhanan dan berbuat kebajikan sehingga memiliki kepribadian
yang luhur, dan selalu mengingat Allah dengan penuh rasa khusyuk hingga timbul
rasa takutnya kepada Allah, adalah penyair-penyair yang menjadikan syairnya
sebagai pelipur lara dan sebagai sarana untuk membela agama dan mempertahankan
kebenaran pada saat kebenaran diinjak- injak.
Orang-orang yang menzalimi diri sendiri dengan berbuat
syirik dan mengejek Rasulullah saw. itu kelak akan tahu akibat buruk mana yang
menjadi tempat kembali mereka.(Qs. Al-Syuara [26]:227) Allah SWT dalam
firman-Nya:
مَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ
وَقُرْآَنٌ مُبِينٌ
"Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya
(Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain
hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan" (Q.S.Yasin: 69).
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ
شُرَيْحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ قِيلَ لَهَا هَلْ كَانَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- يَتَمَثَّلُ بِشَىْءٍ مِنَ الشِّعْرِ قَالَتْ كَانَ
يَتَمَثَّلُ بِشِعْرِ ابْنِ رَوَاحَةَ وَيَتَمَثَّلُ وَيَقُولُ « وَيَأْتِيكَ
بِالأَخْبَارِ مَنْ لَمْ تُزَوِّدِ ». وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
[15] Dari Aisyah beliau berkata: seseorang bertanya
kepadanya: 'Apakah Rasulullah Pernah melantunkan syair, Aisyah menjawab:
"Beliau pernah melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan 'Dan
telah datang kepadamu berita tanpa tambahan'. Hadis Diriwayatkan oleh
al-Tirmidzi dalam sunannya :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ
مَكَّةَ فِي عُمْرَةِ الْقَضَاءِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ بَيْنَ يَدَيْهِ
يَمْشِي وَهُوَ يَقُولُ: (خَلُّوا بَنِي الْكُفَّارِ عَنْ سَبِيلِهِ # الْيَوْمَ
نَضْرِبْكُمْ عَلَى تَنْزِيلِهِ) (ضَرْبًا يُزِيلُ الْهَامَ عَنْ مَقِيلِهِ #
وَيُذْهِلُ الْخَلِيلَ عَنْ خَلِيلِهِ) فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا ابْنَ رَوَاحَةَ
بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَرَمِ
اللَّهِ تَقُولُ الشِّعْرَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَلِّ عَنْهُ يَا عُمَرُ فَلَهِيَ أَسْرَعُ فِيهِمْ مِنْ نَضْحِ
النَّبْلِ
Artinya : Dari Anas Bahwasanya Rasulullah Saw masuk ke
Makkah pada masa umrah dan Abdullah bin Rawah sedang berjalan di depan beliau
sambil berkata : “Berikan jalan kepada anak orang-orang kafir # Hari ini kami
akan memukul kalian dirumah kalian Dengan pukulan yang menghilangkan kesedihan
dari peraduannya # Dan menjauhkan seorang kekasih dari kekasihnya Umar kemudian
berkata kepadanya : ‘wahai Ibnu Rawah dihadapan Rasulullah Saw dan didalam
masjid al-haram kamu melantunkan syair?’ kemudian Nabi Saw berkata kepada Umar
: “Biarkan dia wahai Umar sebab hal itu lebih mempercepat dari siraman yang
baik” Dalam riwayat yang lain Rasulullah Saw memuji syair salah seorang sahabat
yang bernama Labid bin Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَصدق كَلِمَةٍ قالها الشاعر كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا
اللَّهَ بَاطِلٌ وكاد أمية بن أبي الصلت أن يسلم
Artinya ; Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallhu
‘alaihi wa sallam beliau berkata : “Kalimat yang paling benar yang diucapkan
oleh penyair adalah kalimat Labid: “Ketahuilah segala sesuatu yang selain Allah
adalah bathil (rusak dan binasa)”. Dan hampir saja Umayyah bin Abu al-Shalt
memeluk Islam”. Namun pada sisi yang lain Rasulullah Saw melarang untuk
bersyair sebagaimana sabda beliau Saw :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ
يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا.
Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw beliau bersabda:
"Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan
syair". Akan tetapi hadis di atas memiliki asbab al-wurud sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim dari riwayat Abu Said al-Khudri beliau berkata:
بينا نحن نسير مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعرج إذ عرض شاعر ينشد فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : خذوا الشيطان , أو أمسكوا الشيطان , لأن يمتلئ جوف
رجل قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا
"Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah
Saw di al-'Araj, tiba –tiba seorang penyair membacakan syair kepada kami Rasul
pun berkata : "Tahan Syaitan itu, dan peganglah........,lalu beliau
bersabda: "Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh
dengan syair".
Imam An-Nawawi
berkata : syair itu hukumnya boleh selama tidak terdapat didalamnya hal-hal
yang keji dan sejenisnya. Al-Mubarakfury berkata: yang dimaksud dengan memenuhi
(perutnya dengan syair) adalah ketika syair telah menguasainya dimana dia lebih
disibukkan dengannya dari al-Qur'an dan ilmu-ilmu Islam lainnya, maka hal
tersebut menjadi syair yang tercela apapun bentuknya. Maka dari itu Imam
al-Bukhary dalam shahihnya memberikan bab khusus tentang syair dengan nama bab
dibencinya syair ketika lebih mendominasi manusia dari al-Qur'an dan dzikir
kepada Allah. Jadi apabila seseorang menjadikan al-Qur'an dan Ibadah kepada
Allah sebagai kesibukan utama, maka baginya boleh untuk membuat syair dan
melantunkankannya selama syair tersebut, tidak bertentangan dengan aturan-aturan
syari'at Memang terdapat perbedaan pandangan dikalangan para ulama tentang para
penyair, dan semoga setelah membaca beberapa firman Allah, Hadis Rasulullah
s.a.w dan pandangan Imam Imam An-Nawawi kita di berikan petunjuk oleh Allah
tentang
kebenaran dan jalan yang
Lurus.
Dalam sejarah islam karya seni yang sangat mendapat tempat di hati kaum
Muslimin walmuslimat adalah karya sastra, terutama puisi. Alasan yang bisa kita
cari kenapa puisi yang mendapat perhatian, tidak yang lain misalnya, adalah
karena Islam lahir di negeri Arab dan orang-orang Arab Jahiliyah terkenal
dengan kehebatan puisinya.
Oleh
karena itu pulalah banyak ilmuwan mengatakan, Al-Qur'an diturunkan dengan gaya
bahasa yang indah, mampu menyentuh nilai estetika hati manusia. Puisi kemudian
mendapatkan perkembangannya yang kuat dan pesat ketika Islam datang ke Persia.
Sayyed Hussen Nasr menulis, "Tanpa melimpah ruahnya kemunculan orang-orang
bijak dan pujangga persia, Islam tidak aka pernah menyebar ke wilayah-wilayah
seperti india, asia tengah, atau asia tenggar seluas sekarang ini.
Rasulullah
saw. sangat mencintai Puisi. Ini terlihat dari perkataanya yang memuji
puisi-puisi Hasan bin Tsabit, "Sesungguhnya Ruh Kudus telah memancar
dari lidahnya". Dalam kesempatan lain Rasulullah bahkan menanggalkan
jubahnya dan kemudian memberikannya kepada Ka'ab ibnu Zubair sebagai pujian
atas puisinya. "Sesungguhnya, di dalam puisi memancarkan hikmah,"
kata Beliau.
Yang
menjadi pertanyaan?. Puisi yang seperti apakah yang Beliau cintai sekaligus di
kagumi?
Sebelum Islam datang,
paradigma yang menghiasi kaum seniman pada waktu itu adalah "seni untuk
seni". Mereka menciptakan karya seni sebagai ajang pemuasan nafsu semata
(sekalipun puisi-puisi jahiliyah seperti karya Imra'ul Qays dipandang sebagai
elegi-elegi paling indah di dunia). Para penyair yang menggubah puisi yang
menjadi pemuas nafsu belakalah yang diserang habis-habisan oleh
Rasulullah saw. seperti dalam ayat, "Para penyair itu diikuti oleh
orang-orang sesat (Q.S Asy-Syu'ara' : 244)
Maka, puisi-puisi
yang di cintai oleh Rosul, tidak lain puisi yang isinya bermakna kehidupan yang
hakiki sehingga ketika dibaca bisa mendekatkan diri kepada Allah, Hatinya
bergetar tatkala lidahnya mengeluarkan pancarannya. Seolah-olah puisi bagian
dari jiwanya dan tak lupa puisi juga suka dijadikan sebagai Munajat atau Do'a
kepada Allah.
Dari
mulai situlah bermunculan puisi-puisi dari para sahabat Rasul, syuhada, para
sufi, para waliyallah hingga sampai sekarang. Dan tidak sedikit banyak yang
suka dan mencintai akan keindahan Puisi ...
Manusia adalah makhluk yang paling lemah, untuk itu
telah sepantasnya jika manusia meminta pada Allah Tuhan semesta alam dan
bersyukur atas nikmat dan karunia yang telah di berikan. Semuanya telah diatur
dalam islam. Manusia memiliki fitrah tersendiri, salah satunya adalah kesukaan
akan seni. Sadar ataupun tidak, manusia telah mempertahankan seni dan
memperlihatkan aplikasi seni dalam kehidupan, seperti berbusana. Bagaimana
kesenian sesuai fitrah manusia yang di sarankan atau diperbolehkan dalam
agama?? Dalam sebuah hadits, “man tasyabbaha bi qoumin fahuwa minhum” artinya
“barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah golongannya”. Untuk itu,
dalam islam pun ada seni yang telah di jadikan indikasi islam. Seperti sopan
dan santun, cara berpakaian yang menutup aurat, masakan atau makanan, dan lain
sebagainya.
Dakwah dengan media seni; contohnya seperti seni
sastra (puisi atau prosa), seni tari, seni kaligrafi, dsb. Di Zaman rosulullah,
di kota Madinah, ketika rosulullah berada di samping masjid nabawi, ada utusan
kaum Tamim yaitu orang satrawan yang bernama “Al-Aqro bin Harits” dan
“Zaraqon”, dll mengejek rosulullah melalui syairnya. Al-Aqro berkata; “Ya
Muhammad, pujianku akan membuat orang sangat terpuji dan celaanku sangat
membuat orang tercela”. Rosulullah bersabda; “celakalah kamu, yang bisa
melakukan itu hanyalah Allah”. Kemudian Zaraqon menghina Rosul menggunakan
syair. Syaidina Ali ingin menandingi, tetapi Rosul mencegah karena Rosul tahu
bahwa ini bukan bidang Syaidina Ali.
Kemudian Rosul mengutus sahabat untuk menjemput
Hasan bin Tsabit, rosul meminta untuk menjawab syair bani Tamim tadi.
Rosulullah bersabda; “wahai Hasan bin Tsabit, lantunkan syair, tandingi mereka
dan Malaikat Jibril akan bersamamu.” Hasan bin Tsabit pun melantunkan syair
yang membuat bani Tamim terdiam seribu bahasa. Jelaslah disini bahwa Rosul
mendukung seni yang semata-mata untuk agama Allah.
Suatu ketika Hasan bin Tsabit berdendang dengan
syair-syairnya yang sangat di gemari para sahabat, Umar bin Khattab tidak
berkenan dan menatap Hasan bin Tsabit dengan tatapan penolakan terhadap syair
tersebut. Seketika, Hasan bin Tsabit memanggil Abu Hurairah. Hasan pun berkata
kepada Umar; “Wahai Umar, aku pernah bersyair sedang orang disampingku saat itu
lebih mulia dari pada engkau, Umar. Rosul pun mendoakan dan Abu Hurairah
saksinya.” Seraya Umar bin Khattab pun terdiam.
Dalam sebuah ayat di jelaskan, “Ajaklah orang-orang
dengan hikmah, mauidzah hasanah dan berdebatlah (berikan argumen) dengan
sesuatu yang lebih baik.” Pada kata wa jadilhum billati hiya ahsan (dan
berdebatlah (berikan argumen) dengan sesuatu yang lebih baik), contohnya
seperti syair dibalas dengan syair, film barat dengan film islami dll.
Sesuai dan sepadan dengan apa yang dihina dan dengan
apa yang dibalaskan, bahwa islam itu agama rahmatan lil ‘alamin.
Imam al-Ghazali membagi manusia menjadi 4 jenis; 1.
Yadri wa yadri annahu yadri (manusia tahu, dirinya tahu kalau dia tahu) 2.
Yadri wa la yadri annahu yadri (manusia tahu, tapi dirinya tidak tahu kalau dia
tahu) 3. La yadri wa yadri annahu la yadri (orang yang tidak tahu, tapi dirinya
tahu kalau dia tidak tahu. 4. La yadri wa la yadri annahu la yadri (orang yang
tidak tahu tapi dia tidak tahu bahwasanya dia tidak tahu) Dari keempat jenis
manusia, semoga kita masuk dalam jenis pertama, dan seburuk-buruknya diantara
keempat jenis manusia tersebut adalah manusia jenis ke empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar