Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

KejujuranBerkarya dan Mempublikasikan Karya



KejujuranBerkarya
dan Mempublikasikan Karya

Oleh Sobirin Zaini

Tak dapat dinafikan, jika sebagian penyair menganggap kerja kepenyariran adalah sebuah upaya membaca apapun dengan sepenuh kejujuran. Ketika persoalan atau kondisi lingkungan yang terjadi di sekitar diri penyair adalah sebuah kebusukan, misalnya, maka penyairlah yang akan menuangkannya sebagai sisi kebenaran dalam karyanya yang disebut puisi itu.
Mungkin judul yang saya pilih di atas agak membingungkan. Karena pada kenyataannya justru apa pun yang coba ditulis seorang penyair memang adalah upaya untuk mengungkapkan secara jujur dan apa adanya seperti yang saya sebut di atas. Dalam hal ini, tentu, pembaca atau penikmat karya bernama puisi itu dituntut untuk selalu dapat memaknainya secara mendalam dan seksama, sehingga maksud dan pesan yang dituangkan penyair dalam karyanya dapat diterjemahkan ke dalam minda dan perasaan penikmatnya.
Kita tahu, media cetak (dalam hal ini koran harian), dalam perkembangannya memang cukup memberi ruang untuk ikut melestarikan tradisi penulisan sastra lewat rutinitas halaman sastranya. Media cetak dalam format dan periode penerbitan lain seperti majalah, tabloid, buletin dan sebagainya juga memberi alternatif yang sama, disamping teknologi internet seperti sejumlah blog dan website yang menjamur di dunia maya.
Kondisi ini pada akhirnya memang cukup membuat kita berbangga, karena dari sanalah tradisi penulisan sastra itu tetap berlangsung dan bahkan semakin menampakkan wujud perkembangannya. Tengok saja, tidak hanya "sastrawan-sastrawan tua" dengan publikasi luas karya mereka lewat media-media itu kian saja mengukuhkan eksistensinya, penulis atau sastrawan-sastrawan muda yang mengikuti jejak mereka juga akhirnya ikut dibesarkan dan diperhitungkan kehadirannya.
Dan disinilah juga, peran redaktur yang mengurusi seputar tradisi penulisan sastra di media massa (dalam hal ini media cetak) itu mau tidak mau juga harus diperbincangkan. Karena tentu, ketika seorang penulis atau sastrawan mengirimkan karyanya pada sebuah media massa, orang yang pertama sekali membaca dan menyimak karya yang akan dipublikasi adalah redaktur sastra itu sendiri. Sehingga secara tak langsung, redakturlah yang mewakili masyarakat pembaca atau penikmat karya sastra itu sebelum jatuh ke tangan mereka. Dan disinilah kemudian, sejauhmana objektivitas penilaian redaktur terhadap karya sastra yang dipublikasikan juga kadang dipertanyakan, meski akhirnya yang menilai adalah pembacanya sendiri. Maka sangat mungkin, jika ternyata, karya yang telah dipilih dan dipublikasi itu belum tentu terbaik menurut pembaca dan penikmat sastra.
Mungkin kita harus sepakat, jika ini bagaimanapun adalah sebuah otoritas redaktur yang dipercaya oleh jajaran redaksi medianya untuk membuat keputusan pada publikasi karya-karya itu. Sebagian penulis pun menganggap menulis dan berkarya itu sudah menjadi tugasnya, persoalan apakah akan dipublikasi atau tidak di satu media, itu bisa saja dipikirkan kemudian. Namun saya yakin, itu hanya di bibir saja, di hati kecilnya ia pasti berharap juga pada publikasi karyanya. Sampai ia kemudian harus pasrah dan "kalah sesaat" ketika ternyata redaktur sastra memutuskan untuk tidak memuat karyanya itu.
Yang menjadi persoalan di sini––sesuai dengan maksud dari judul di atas---adalah bagaimana jika karya seorang penulis atau sastrawan itu terkesan sebagai sebuah upaya "mengelabui" pembacanya sehingga pembaca karyanya itu akhirya kecewa?
Inilah yang sempat merisaukan saya ketika beberapa waktu lalu mendapatkan itu di sebuah media cetak (koran harian) yang cukup luas pembacanya dan selama ini dianggap mampu membantu memasyarakatkan tradisi penulisan itu.
Secara tak sengaja (meski sebelumnya memang sengaja), saya membaca sebuah karya puisi yang sama dari seorang penyair yang disuguhkan pada edisi berbeda, namun telah dirubah dan coba dikoreksi oleh penyairnya sendiri. Judul puisi yang diterbitkan itu sama, tapi beberapa larik yang ada sudah bertambah dan berubah letaknya. Saya tidak tahu, apakah ini sebuah kesengajaan redakturnya sehingga puisi yang sama itu bisa dipublikasi dua kali meski pada edisi berbeda. Sementara tanda-tanda yang mengisyaratkan kesengajaan redaktur itu tidak ada.
Apakah puisi yang terkesan tak selesai itu lebih penting dari setumpuk karya-karya dari sejumlah penulis atau sastrawan lain? Apakah ini adalah sesuatu hal yang wajar di dunia penulisan sastra koran kita? Sekali lagi, saya memang tidak dapat menjawab ini secara pasti. Karena saya juga bukan krtitikus sastra yang tahu bagaimana layaknya sebuah karya puisi yang proporsional itu. Hanya saja, hal ini tentu telah membuat penulis atau sastrawan lain yang kebetulan menunggu (karena mungkin kebetulan juga mengirimkan karyanya ke media itu) kecewa. Penikmat dan peminat karya sastra juga jadi bertanya-tanya, kenapa karya itu dimuat kembali tanpa ada catatan dari redaksi? Sementara kita tahu, periode penerbitan dua atau tiga bulan, belum tentu mampu menghapus memori mereka (pembaca) tentang apa yang pernah dibaca dan dinikmatinya. Apalagi kemudian mereka ternyata sempat mengkliping karya-karya itu.
Disinilah, lagi-lagi, tanggung jawab seorang redaktur dipertanyakan kembali. Karena saya khawatir, ini adalah dampak kurangnya kejelian dan kecuaiannya, sehingga membuat media cetak bersangkutan terkesan sebagai tempat publikasi karya yang tergesa dari penyair yang coba mengelabui itu. Saya tahu, koreksi dan revisi karya memang sesuatu hal yang wajar bagi penulis atau sastrawan sendiri, tapi apakah pembaca mau menerima hal ini jika koreksi dan revisi karya yang sama itu dimuat berkali-kali? Karena pembaca sastra di sebuah media cetak (koran harian) tentu, selalu menginginkan karya-karya terbaru dan lebih bermutu.
Sekali lagi, saya memang tidak menafikan bahwa koreksi dan penyuntingan kembali pada sebuah karya sastra oleh pengarangya adalah sesuatu hal yang wajar. Namun pertanyaannya, apakah redaktur sastra di sebuah media (koran harian) dapat memberi perlakuan yang sama untuk semua penulis atau sastrawan lain yang juga mengirimkan karyanya? Mungkin, saya pikir, ada baiknya, koreksi dan penyuntingan itu dilakukan secara intens sebelum karya tersebut dipublikasikan. Atau jika memang karya yang telah direvisi itu ingin dimuat kembali, redaktur paling tidak membuat catatan kecil yang menjelaskan itu. Dan hal ini dapat dilakukan tentu, jika redaktur sastranya sendiri mau membuka diri untuk berkomunikasi dan berdiskusi, minimal memberikan konfirmasi tentang "nasib" karya yang pernah dikirimkan penulis atau sastrawan ke medianya.
Saya khawatir, ini adalah persoalan sepele yang tidak begitu perlu dibesar-besarkan, namun saya pikir ini tidaklah perlu terjadi. Karena sekali lagi saya juga paham, kalau penyair yang coba "mengelabui" itu adalah penyair pemula––untuk tidak mau menyebut muda seperti saya––yang masih mencari-cari identitas karya lewat gaya pengucapan, eksplorasi bahasa, dan lainnya. Namun begitu, garisbawahilah bahwa kerja kepenyairan seperti yang saya sebut di awal tulisan ini adalah sebuah pekerjaan membaca apapun dengan sebuah kejujuran. Jika pekerjaan ini dalam prosesnya ternyata tidak dilakukan dengan kejujuran, bagaimana kita bisa menawarkan kejujuran-kejujuran itu?
Penciptaan karya sastra, seperti juga penciptaan karya seni lainnya, kita semua tahu, memang memerlukan sebuah proses dan perenungan-perenungan yang dalam. Seperti yang pernah dikatakan Chairil Anwar ––yang saya kutip sebagian di sini––dalam sebuah prosanya; "kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan."
Penulis atau sastrawan selayaknya memang harus "memeram" beberapa waktu untuk ia sendiri akui kehadiran dan wujud sebuah karyanya. Ia juga dituntut untuk mengoreksi dan merevisi secara intens sebelum terlanjur dipublikasi dan sampai ke tangan pembaca.***


Lagu Purnama Sungai Duku

Oleh M Badri
Di masa kecil, pernahkah nenekmu bercerita tentang perempuan bergaun keemasan bersampan di bawah purnama? Membelah arus Sungai Siak yang menderas menuju hilir, dari tepi ke tepi. Perempuan itu, kata nenekku, adalah penjelmaan peri yang turun ke bumi karena terpesona pada cerita tentang keperkasaan seorang pemuda yang selalu mengayuh lancang menuju hulu. Melawan arus bukan? Ya, pemuda itu mengayuh lancang sambil memainkan seruling sehingga ikan-ikan yang mendiami sungai ini tersihir dan membantunya berlayar menuju hulu yang tiada ujungnya.

Lalu kenapa peri itu ada di Sungai Duku ini, nenek? Kataku, di masa kecil yang begitu lugu. Peri yang mengejar cinta itu, kemudian terdampar di sini karena setelah bersampan ribuan siang ribuan malam tak juga menemukan si pemuda. Padahal jaraknya mungkin hanya dipisahkan satu purnama, namun arus sungai ini tak juga mempertemukan keduanya. Lalu bagaimana cinta sang peri itu, nenek? Katanya, cintanya ikut terdampar di tepi sungai ini ketika musim kemarau mendangkalkan jarak yang telah dia tempuh. Sampan peri itu, menurut cerita terdampar di sekitar pelabuhan Sungai Duku, yang kini selalu dilayari orang-orang menuju muara. Menuju lautan luas dengan banyak rencana dan tujuan.

Maka, setelah angin bertiup ke segala penjuru, di akhir musim kemarau yang ditandai dengan purnama penuh, tubuh sang peri tiba-tiba hilang seiring dengan turunnya hujan selama tujuh hari tujuh malam. Tubuh itu hilang bersama cintanya kepada pemuda yang sampai kini mungkin masih mengayuh lancang menuju hulu, sampai akhir usianya. Menurut cerita nelayan di masa lalu yang biasa mencari ikan di sungai ini, kadang-kadang saat purnama mereka melihat perempuan cantik berambut panjang bergaun keemasan melintasi sungai ini dari tepi ke tepi, sambil memainkan seruling dengan irama yang teramat syahdu. Menurut cerita juga, mereka kemudian mendapatkan banyak tangkapan, sebab ikan-ikan bermunculan karena terpesona dengan irama seruling sang peri.

“Benarkah cerita itu, Nenek?” kataku dua puluh tahun lalu, ketika suatu malam purnama nenek bercerita, melanjutkan kisah-kisahnya tentang hikayat sang peri yang terdampar di Sungai Duku.

“Cerita tetaplah cerita, kita tidak tahu sebelum membuktikan kebenarannya,” katanya sambil membelai rambutku yang kemerahan karena setiap hari terendam hangatnya sungai Siak. Ya, sejak aku mendengar cerita tentang peri itu, hampir tiap senja aku berenang di tepi sungai sambil menaruh harapan bertemu dengannya. Setidaknya sewaktu menyelam aku menyentuh gaunnya yang keemasan atau rambutnya yang panjang.

***

Purnama barangkali merupakan malam yang dinanti semua orang. Ketika bulan berlayar di atas lautan awan yang berarak mengikuti arah angin. Aku begitu terpesona dengan purnama, mungkin juga karena cerita nenek puluhan tahun lalu yang banyak menceritakan keindahan purnama. Tentang hikayat raja-raja di negeri entah yang selalu berpesta di malam terang itu. Tentang bidadari-bidadari cantik yang mandi di telaga di malam yang sama. Tapi keindahan purnama, kadang teracuni juga oleh cerita-cerita drakula atau siluman serigala yang sering kulihat di layar kaca.

Aku tidak akan banyak bercerita tentang purnama kepadamu Ai. Bukankah keindahannya sering kau nikmati di malam-malam sunyi ketika engkau bersampan dengan kekasihmu? Kekasih yang telah meninggalkanmu menuju muara dengan kapal feri, kemudian menyeberangi lautan Melaka yang begitu luasnya. Tapi setidaknya cerita peri itu tidak meracunimu sehingga engkau tenggelamkan rencana dan impianmu di dasar sungai ini. Ya, memang kenangan tidak akan hilang selama kita masih hidup.

“Maaf, kalau aku terlalu banyak bercerita tentang kisah cintaku yang begitu pilu, sehingga kau menyamakanku dengan peri seperti yang kau dengar dari nenekmu,” katanya suatu malam ketika dia kuajak menikmati purnama dari tepi pelabuhan.

“Tidak pernah sama Ai...” kataku kepada perempuan yang kemudian menjadi temanku, setelah perkenalan karena ketidaksengajaan.

“Lalu?”

“Perbedaan antara cerita dengan dunia nyata bisa tidak terhingga, tapi bisa juga sangat tipis. Tergantung bagaimana kita memaknai cerita itu,” kataku sambil memainkan ranting ke permukaan air yang mengalir perlahan-lahan.

“Apakah kamu juga menyukai senja?” kataku.

“Aku dulu sering menghabiskan senja di Danau Buatan bersama kekasihku, eh bekas kekasihku, yang kini pergi bersama cinta palsunya ke negeri yang aku tak pernah tahu. Barangkali, dia sudah bersampan dengan kekasihnya yang lain di danau lain,” dia mengusap air mata yang sebagiannya jatuh ke sungai.

“Senja itu membatasi gelap dan terang, hanya beberapa menit sebelum waktu berganti dan rotasi berputar mengikuti detak jam.”

“Lalu apa hubungannya dengan purnama?” katanya terlihat bingung.

“Renungkan saja...”

“Sok filosofis! Kamu yang benar saja kalau ngomong. Ihhh...”

Aku tertawa lepas, dan membiarkannya hanyut dalam kenangan yang selama ini begitu menghantui mimpi-mimpinya. Dia ingin melupakan kenangan buruk tentang cinta, tentang kekasihnya yang tiba-tiba meninggalkan rencana yang telah mereka rangkai berdua.
Kekasihnya pergi sendirian, dari dermaga ini, mengikuti arah angin dan arus sungai, ketika senja begitu asing dan ganjil. Dia hampir tidak bisa menerima kejadian itu, dan nyaris saja menenggelamkan rencana dan impiannya di dasar sungai ini.

Aku bukan psikolog, kataku suatu ketika. Ketika dia ingin melepaskan beban yang teramat dalam menghunjamnya. Tapi dia terus saja bercerita tentang kisah cinta dan kehidupannya, sampai selesai dan membuatnya bisa tidur dengan nyenyak. Ceritanya seperti sebuah lagu malam yang pilu, selalu diputar berulang kali, sampai gerimis dan angin ikut menuntaskan kesedihannya.

“Aku tidak bisa tidur kalau belum bercerita kepadamu,” katanya dalam telepon suatu malam ketika hujan membasahi kota.

“Kenangan itu hal indah jika kau tak perlu berurusan dengan masa lalu.”

“Tapi aku ingin mengubur kedua-duanya,” dia semakin bersikeras dengan sikapnya. “Sudah sepuluh butir pil kutelan untuk menghapusnya.”

“Sepuluh butir pil? Kenapa tidak bola bilyar sekalian. Ah, kamu jangan berpikiran ngaco, Ai!”

“Nggak kok, cuma lima butir supaya aku bisa segera terbang ke alam mimpi. Lalu aku harus bagaimana?” dia terus menyeracau.

“Masa lalu biarlah berlalu, biarkan dia terbang bersama angin....”

“Bull shit...!”

Begitu juga dengan malam-malam berikutnya, sampai dia memaksa aku kembali bercerita tentang cerita masa kecil itu. Setelah sekian lama menumpahkan segala kisah, kesedihannya mulai hanyut dalam arus sungai yang sebelumnya menghanyutkan harapannya. Dia semakin menyukai malam di dermaga, sambil mendengarkan lagu-lagu sendu, di bawah purnama yang terlihat mengambang di permukaan air. Dia menyukai itu, sambil berharap bertemu dengan peri bergaun keemasan yang mengayuh sampan dari tepi ke tepi.

“Apakah kamu ingin bersampan dari tepi ke tepi juga?” kataku kemudian.

“Gila kamu...! Kenapa tidak kamu suruh saja aku berenang atau menyelam dan berharap bisa menyentuh gaun keemasannya atau rambutnya yang panjang, seperti obsesimu itu? Supaya aku bisa berbagi kisah dan pengalaman dengannya, tentang makna kehilangan. Tapi boleh juga, sesekali aku ingin bersampan dari tepi ke tepi agar bisa menghayati hati peri purnama itu.” Dia mengangguk-angguk.

***

Sudah sepekan lebih perempuan itu tidak ada kabarnya. Atau tepatnya sudah berbulan-bulan. Tiba-tiba dia seperti menghilang. Dua nomor telepon genggamnya tidak ada yang aktif. Ke mana kamu Ai? Untuk bertanya kepada teman-temannya? Aku sama sekali tidak tahu siapa-siapa temannya, juga rumahnya.
Pertemanan kami hanya sebatas di telepon dan di atas pelabuhan. Pada malam-malam tertentu, kadang saat senja. Bukankah pertemuan adalah awal dari kehilangan?

“Sesekali buatlah cerita tentangku, kamu penulis cerita kan?” katanya suatu ketika, jauh-jauh hari sebelum dia pergi dan tak pernah kembali.

“Kenapa?”

“Supaya kamu juga bisa menceritakan kepada orang-orang tentang perempuan-perempuan yang kehilangan. Tidak hanya peri bergaun keemasan, tetapi juga tentang aku. Mungkin juga nantinya ada cerita tentang perempuan-perempuan lain yang mengalami nasib sama.”

Aku tertawa. Tapi dia hanya tersenyum kecut.

“Apakah kehilangan harus ditertawakan?
Buatlah cerita ya, tentang aku, pliiis... Aku akan senang sekali bila kisahku kamu abadikan,” dia memohon.

“Mengabadikan kehilangan? Sangat sentimental bukan?”

“Biarlah, biar orang-orang bisa memaknai kehilangan. Sehingga tidak harus bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Kehilangan adalah akhir dari pertemuan. Itu bagian dari realitas hidup yang harus kita jalani. Tinggal bagaimana kita memaknainya.”

Dia terlihat serius. Dilemparkannya sebuah kerikil ke tengah sungai. Plung!

“Okelah, aku akan menceritakannya setelah aku kehilangan kamu. Ha-ha-ha... Bercanda kok. Sejujurnya aku tidak ingin kehilangan kamu, kehilangan cerita-cerita tentang kehilanganmu itu.”

Karena itulah kemudian aku membuat cerita tentangnya. Setelah berbulan-bulan cerita itu baru selesai. Namun aku tidak ingin segera menceritakan kepada orang-orang. Sangat sentimental tapi tidak populer. Seperti pesannya, agar orang-orang tidak harus bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Ke mana dia berbulan-bulan ini? Mestikah dia menghilang agar aku segera menceritakan kisahnya?

Tapi aku yakin dia tidak jauh-jauh dari sungai ini. Sebab dia dulu pernah bilang, ingin selalu dekat dengan sungai Siak. Tapi entah di mana dia sekarang berada, apakah di sekitar Sungaiduku ini juga (tapi aku yakin tidak), di sekitar jembatan Leighton, atau malah ke hilir seperti Perawang, Siak Sriindrapura, Sungaiapit atau di Pakning. Dengan kekasih barunya, suami, mungkin juga dengan kekasih masa lalu yang kembali setelah membuatnya kehilangan.

Dengan siapa dia sekarang, itu tidak penting. Yang jelas dia menghilang dalam kondisi hidup, sebab setiap orang yang hanyut di sungai Siak mayatnya selalu terapung. Sebab juga dia pernah bilang, tak perlu bunuh diri atau meratapi sepanjang hari. Maka aku pun kembali sendiri, setiap ingin melihat purnama dari dermaga. Ditemani lagu-lagu sendu yang mengalun dari MP3 player atau telepon genggam. Sambil berharap munculnya peri bergaun keemasan yang berlayar dari tepi ke tepi, meniup seruling yang katanya berirama syahdu.

***

Kepada orang-orang kemudian aku bercerita tentang peri bersampan di Sungai Duku setiap purnama, dari tepi ke tepi. Juga tentang perempuan yang kehilangan. Ada yang pura-pura percaya banyak juga yang tidak. Tapi ini nyata, hampir setiap senja (bukan setiap purnama) aku melihat perempuan setengah baya mengayuh sampan, dari tepi dermaga Sungaiduku ke tepinya yang lain. Kadang sendiri kadang bersama orang lain. Dia mengayuh dan terus mengayuh, sampai keringatnya yang berwarna keemasan karena memantulkan sinar matahari senja, bercucuran. Melawan gelombang dari kapal-kapal besar yang lewat. Atau beradu nasib dengan kedalaman sungai berwarna kecoklatan. Sungai yang kadang bersahabat kadang sangat murka.

Perempuan setengah baya itu, apakah penjelmaan dari peri bergaun keemasan? Atau perempuan kehilangan yang tiba-tiba menjadi tua setelah menyelam saat purnama, lalu terkena radiasi Sungai Siak yang kini dipenuhi sampah dan limbah industri. Ataukah dia bukan keduanya, tapi perempuan perkasa yang sedang mengayuh kehidupan keluarganya.
Datanglah ke pelabuhan Sungai Duku, saat senja, dan kamu akan menemukan perempuan itu. Dengan sampan kayu dan sepasang dayung. Datanglah, lalu pandangi keringat keemasan yang mengalir dari tubuhnya...***


Bogor – Pekanbaru, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar