Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

METODE PEMBELAJARAN YANG BAIK



METODE PEMBELAJARAN YANG BAIK
Oleh : Melly Latifah
(Maret, 2008)

Dewasa ini, banyak orang tua yang bingung dengan cara guru melaksanakan pembelajaran di sekolah anak-anaknya karena caranya yang berbeda dengan cara yang diterapkan guru jaman dulu ketika orang tua sekolah. Ada yang tidak setuju ketika anak-anaknya diajak guru keluar kelas untuk memetik berbagai jenis daun, atau bercerita di bawah pohon rindang, atau memanen ikan sambil menghitung dan kemudian mengolah hasil tangkapannya. “Kok anak-anak hanya bermain saja, tidak belajar?” Begitu biasanya pertanyaan beberapa orang tua.

Banyak orang tua yang masih beranggapan bahwa belajar itu seharusnya hanya di ruang kelas, di mana anak-anak duduk tekun mendengarkan gurunya menjelaskan setiap mata pelajaran. Bahkan untuk pendalamannya, anak seharusnya diberi pekerjaan rumah (PR). Ternyata, banyak juga guru yang berpendapat demikian. Apakah benar bahwa seperti itulah metode pembelajaran yang baik? Bagaimanakah metode pembelajaran yang baik itu?

Metode pembelajaran yang baik seharusnya selaras dan mendukung pencapaian tujuan kurikulum yang baik. Di Indonesia, kurikulum sekolah harus selaras dengan Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003, yang pada intinya adalah mengamanat kepada setiap sekolah untuk melaksanakan pendidikan secara holistik dengan cara mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik bukan hanya mengembangkan aspek kognitif atau akademik saja, tetapi juga harus mampu membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole) (Megawangi, Latifah, Dina, 2004).

Dengan demikian, orang tua dan guru harus menyadari bahwa metode pembelajaran yang baik harus mampu mengembangkan seluruh potensi anak secara holistik. Artinya, seluruh dimensi perkembangan anak dikembangkan. Perlu diketahui pula bahwa hasil studi mutakhir (Megawangi, dkk., 2004) menunjukkan bahwa seluruh dimensi perkembangan anak tersebut (fisik, sosial, emosi, dan kognitif/akademik) terjadi secara simultan dan terintegrasi; tidak masing-masing berdiri sendiri. Dengan kata lain, perkembangan salah satu aspek dipengaruhi oleh aspek yang lainnya. Sebagai contoh, anak yang perkembangan sosialnya kurang baik, cenderung tidak disukai oleh teman-temannya. Kondisi ini akan mempengaruhi kemampuannya dalam bekerja dan belajar kelompok dan membuat anak merasa tidak nyaman berada di lingkungannya. Akhirnya, proses belajarnya terganggu dan prestasi pun tidak baik.

Berdasarkan paparan di atas, maka sangat penting bagi para pendidik untuk menyadari pentingnya konsep pendidikan anak secara holistik, yaitu konsep pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi anak dan metode pembelajarannya disajikan secara terintegrasi dan menyenangkan bagi anak sehingga anak dapat terkembangkan berbagai potensinya secara simultan. Hal ini sesuai dengan pemikiran para pakar dan pendidik yang bergabung dalam NAEYC (National Association for the Education of Young Children) di AS (yang beranggotakan lebih dari 100.000 orang dari berbagai negara) yang menekannkan bahwa pendidikan harus sesuai dengan konsep Developmentally Appropriate Practices (DAP) (Megawangi, dkk., 2004).

Metode pembelajaran yang sejalan dengan konsep DAP adalah metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Metode ini, selain sesuai dengan tahapan perkembangan anak, juga memperhatikan keunikan setiap anak. Metode pembelajaran dengan konsep DAP dianggap dapat mempertahankan, bahkan meningkatkan gairah belajar anak-anak. Konsep DAP memperlakukan anak sebagai individu yang utuh (the whole child) yang melibatkan empat komponen, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings); karena pikiran, emosi, imajinasi, dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Dengan kata lain, metode pembelajaran yang baik adalah metode pembelajaran yang dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan, sehingga perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan (Megawangi, dkk., 2004).

Telah disebutkan bahwa pendidikan di sekolah seharusnya bertujuan untuk membangun manusia holistik. Agar tujuan itu tercapai, maka prinsip pendidikan harus mengacu kepada prinsip-prinsip pembelajaran yang dapat mengarahkan proses pembelajaran secara efektif. Berdasarkan hasil studi pustaka dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa ada tiga prinsip pembelajaran efektif bagi pendidikan terutama di tingkat dasar (Megawangi, dkk., 2004) :
  1. Pembelajaran memerlukan pastisipasi aktif para siswa (belajar aktif). Motivasi belajar akan meningkat kalau siswa terlibat aktif (mempraktekan) dalam mempelajari hal-hal yang konkrit, bermakna, dan relevan dalam konteks kehidupannya.

  1. Setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda

  1. Anak-anak dapat belajar dengan efektif ketika mereka dalam suasana kelas yang kondusif (conducive learning community), yaitu suasana yang memberikan rasa aman dan penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.

Ketiga prinsip pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa hasil riset otak yang mempunyai implikasi terhadap pendidikan. National Research Council (1999) dalam Megawangi, dkk. (2004) mengumpulkan dan mengkompilasikan berbagai hasil riset otak yang harus menjadi acuan bagi para pendidik agar proses pendidikan dapat berjalan dengan efektif. Beberapa hasil riset tersebut adalah :
  1. Proses belajar melibatkan seluruh dimensi manusia (tubuh, pikiran, dan emosi)

  1. Faktor emosi sangat berperan dalam mempengaruhi sistem limbik otak yang dikenal sebagai otak emosi. Sistem limbik ini berperan dalam memfilter segala macam persepsi yang masuk. Apabila persepsi yang masuk berupa ancaman, ketakutan, kesedihan, maka bagian batang otak yang merupakan otak reptil (binatang) akan lebih berperan sehingga seseorang akan berada dalam modus bertahan atau menyelamatkan diri. Suasana di kelas tradisional yang kaku akan menurunkan fungsi otak menuju batang otak, sehingga anak tidak bisa berpikir efektif. Sedangkan dalam kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian neo-cortex (otak berpikir), sehingga dapat mengoptimalkan proses belajar dan meningkatkan kepercayaan diri anak.

  1. Informasi yang menarik dan bermakna akan disimpan lebih lama dalam memori, sedangkan informasi yang membosankan dan tidak relevan, akan mudah dilupakan.

  1. Kaitan erat antara aspek fisiologi, emosi dan daya ingat mempunyai implikasi penting bagi proses belajar, yaitu : suasana belajar yang menyenangkan, melibatkan seluruh aspek sensori manusia (panca-indera), relevan atau kontekstual, dan yang terpenting, proses belajar harus memberikan rasa kebahagiaan.

  1. Manusia akan lebih mudah mengerti kalau terlibat secara langsung dalam mengerjakannya, atau dengan ingatan spatial (bentuk atau gambar).

Hasil studi Lewis dan Schaos (1996) dalam Megawangi, dkk. (2004) menunjukkan bahwa suasana kelas yang kondusif akan mempunyai dampak yang positif motivasi dan kemampuan anak. Adapun ciri-ciri kelas yang kondusif sehingga membuat para siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi, berani mencoba (risk-taker), dan menjadi pembelajar sejati adalah sebagai berikut :
  • Adanya pendidikan karakter secara eksplisit, sehingga akan terbentuk sikap anak yang saling menghormati, saling menghargai, bertanggung jawab, dan sebagainya.

  • Adanya peraturan dan kode etik yang dibuat dengan kesepakatan seluruh kelas dan dipatuhi dengan baik.

  • Hubungan antar siswa saling mendukung, tidak terlihat adanya persaingan antar siswa yang tidak sehat.

  • Adanya rasa saling percaya dan saling menghormati antar siswa dan guru. Guru menghormati dan memperlakukan siswa dengan baik.

  • Guru berusaha mengenal siswa secara pribadi dan mengetahui keunikan masing-masing siswa.

  • Guru bertindak sebagai fasilitator yang memberikan peluang berinisiatif bagi siswa dan memotivasi siswa untuk tertarik pada materi pelajaran.

  • Guru selalu siap untuk merencanakan kegiatan harian yang dapat menstimulasi seluruh dimensi perkembangan siswa.

  • Setiap siswa merasa bahwa keberadaannya sebagai anggota kelas diterima dan dihargai.

  • Setiap siswa merasa terlibat dalam pengambilan keputusan, dan para siswa berpartisipasi aktif dalam proses belajar.

  • Adanya kesempatan bagi para siswa untuk belajar dalam kelompok sehingga siswa dapat belajar bagaimana berinteraksi secara positif.

  • Iklim belajar yang menyenangkan; tidak ada tekanan dan beban yang berlebihan, tetapi siswa-siswa tercelup dalam kegiatan belajar secara intensif.

  • Iklim belajar yang memberikan peluang bagi siswa untuk membuat kesalahan sebagai bagian alami dalam proses belajar (tidak memvonis siswa yang belum menguasai pelajaran), sehingga para siswa bisa menjadi risk-taker, dan mempunyai motivasi untuk mempelajari hal-hal yang baru dan sulit.

Dari paparan tersebut di atas, maka kita sebagai orang tua dapat menilai apakah metode pembelajaran di sekolah anak-anak kita sesuai atau tidak dengan ketiga prinsip pembelajaran efektif ? Apakah proses pembelajarannya mempertimbangkan berbagai hal sesuai dengan hasil riset otak ? Apakah suasana kelasnya cukup kondusif bagi proses pembelajaran yang efektif ? Mengacu kepada indikator-indikator di atas, maka kita dapat menilai bagaimana praktek pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia. Sekarang kita dapat menilai apakah tindakan benar jika guru mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya? Hal ini dapat menyebabkan anak malu untuk mengungkapkan pikirannya di muka umum, dan menjadi tidak percaya diri. Selain suasana kelas yang tidak kondusif, sejak kecil anak-anak kita juga di “vonis” dengan adanya sistem ranking di kelas, sehingga ada istilah “mendapatkan ranking” (sepuluh besar) atau “tidak masuk ranking”. Sebagian besar anak kita sudah divonis bodoh sejak kecil karena hanya sedikit saja yang mendapat ranking. Terlebih jika anak sering dihukum dan dikritik oleh gurunya. Kondisi seperti ini akan membuat anak-anak kita menjadi individu-individu yang tidak memiliki rasa percaya diri atau malas untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa kualitas SDM Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) cukup memprihatinkan?

Jika banyak guru yang mengajar di kelas dengan suasana yang tidak kondusif, maka hal itu bukan semata kesalahan guru, tetapi merupakan kesalahan sebuah sistem pendidikan yang orientasinya kepada mengejar keberhasilan akademik, yaitu sistem yang mengejar target kurikulum sekolah dengan segenap jadwal tes harian, ulangan umum, dan ujian akhir. Padahal menurut Megawangi, dkk. (2004), untuk anak-anak usia dini, yang terpenting adalah ditanamkan sikap agar anak selalu cinta belajar, bukan semata-mata harus bisa. Jika harus bisa (dengan mengadakan ulangan atau tes), suasana belajar menjadi penuh beban, sehingga otak limbik anak tertutup, yang akhirnya membuat anak tidak dapat mencapai potensi optimalnya.

Nah, bagaimana pendapat Anda sekarang tentang metode pembelajaran anak Anda di sekolah? Apakah belajar itu harus selalu di ruang kelas dengan suasana yang membosankan? Apakah sekolah anak Anda sudah menerapkan metode pembelajaran yang baik? Silakan Anda menilainya.

Mungkin setiap orang tua mengetahui bahwa untuk melaksanakan proses pendidikan, setiap sekolah memiliki kurikulum. Pada saat ini, kurikulum sekolah disebut KTSP, yang merupakan singkatan dari (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dengan berpedoman pada kurikulum sekolah itulah setiap guru melaksanakan proses pengajaran di kelas untuk mengembangkan kemampuan anak kita. Akan tetapi, mungkin tidak semua orang tua - bahkan mungkin tidak semua guru - mengetahui bagaimana kurikulum yang baik itu.

Kurikulum yang baik seharusnya dirancang untuk mencapai tujuan pengembangan anak dalam berbagai aspek. Dalam Undang-undang pasal 3 nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Bila kita kaji isi Undang-undang Sisdiknas di atas, maka tampak jelas bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki ciri, yaitu : (1) Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Berakhlak mulia; (3) Sehat; (4) Berilmu; (5) Cakap; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis dan bertanggung jawab sebagai warga negara. Dengan kata lain, tujuan pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mengembangkan seluruh aspek potensi manusia secara holistik. Kedelapan ciri yang diharapkan muncul sebagai hasil pendidikan tersebut berkaitan dengan aspek: (1) Spiritual; (2) Moral/karakter; (3) Jasmaniah/fisik; (4)Kognitif/akademik; (5)Psikomotor/keterampilan; (6) Kreativitas; (7) Kecerdasan emosi; dan (8) Kematangan sosial (Megawangi, Latifah, Dina, 2004).

Jadi jelaslah bahwa Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003 mengamanatkan kepada para penyelenggara pendidikan dan guru untuk melaksanakan pendidikan secara holistik dengan cara mengembangkan seluruh potensi peserta didik, bukan hanya aspek kognitif atau akademik saja, tetapi membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole). Dengan kata lain, membangun manusia holistik adalah cita-cita pendidikan nasional kita. Masalahnya sekarang adalah apakah kurikulum sekolah anak kita selaras dengan paradigma membangun manusia holistik?

Selaras dengan konsep pendidikan manusia holistik, maka kurikulum yang baik adalah kurikulum yang dapat mengembangkan seluruh aspek potensi anak secara holistik. Artinya, proses pendidikan dengan menggunakan kurikulum tersebut harus mampu membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan (the person within a whole). Oleh karena itu, kurikulum yang baik harus dapat mengembangkan potensi yang ada pada anak, yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial, keativitas, spiritual, dan akademik.

Menurut Megawangi, dkk. (2004), ada beberapa hal penting yang perlu diingat dalam merancang kurikulum pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, yaitu :
§ Kurikulum harus mencakup aktivitas yang dapat mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, bahasa, estetika, dan akademik siswa, termasuk mengaplikasikan konsep kecerdasan majemuk.
§ Kurikulum harus mencakup seluruh mata pelajaran secara terintegrasi yang relevan (kontekstual), berarti bagi siswa, serta yang dapat mencelupkan siswa dalam pembelajaran yang mengasyikan.
§ Kegiatan yang dirancang dalam kurikulum harus berdasarkan pengetahuan tentang apa yang telah diketahui siswa sebelumnya, dan siswa mampu mengerjakannya (teori constructivism).
§ Kurikulum harus dapat meningkatkan pemahaman akan konsep, prosesnya, dan kemampuan melakukannya, sehingga siswa tahu manfaat konsep yang dipelajarinya dan tertarik untuk terus mempelajarinya.
§ Kurikulum harus dirancang agar siswa secara langsung berpartisipasi aktif, misalnya dengan melakukan eksperimen ilmiah, mengumpulkan, dan menganalisis data, atau melakukan peran-peran sebagai ilmuwan lainnya dalam berbagai disiplin ilmu.
§ Kompetensi yang ingin dicapai dalam kurikulum harus realistik dan sesuai dengan kemampuan siswa menurut umur dan keunikan individu.
§ Kurikulum harus dirancang untuk meningkatkan daya imajinasi siswa.
§ Kurikulum harus dirancang untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi, bekerja sama, mengembangkan kecakapan sosialnya, dan menghargai kemampuan dirinya dan kawannya.
§ Kurikulum harus mencakup kegiatan yang dapat menumbuhkan sikap toleran dan menghargai segala perbedaan budaya atau agama.
§ Kurikulum harus menumbuhkan sikap atau karakter yang menghargai segala macam profesi, kebanggaan dengan apa yang telah dikerjakannya, kemampuan bekerja dalam tim, dan sikap pantang menyerah.
§ Kurikulum harus mengintegrasikan antar mata pelajaran sehingga anak terbiasa untuk melihat segala aspek dalam konteks bagian dari keseluruhan.

Pada tanggal 22 Juli 2007 kembali kita memperingati Hari Anak Indonesia, dan pada saat itu kita seperti dingatkan kembali tentang nasib anak-anak Indonesia, termasuk anak-anak kita. Apakah mereka sudah mendapatkan semua haknya sebagai anak? Apakah kita - sebagai orang tua, guru, warga negara, atau pemerintah - sudah melakukan stimulasi yang optimal bagi anak-anak Indonesia agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal? Apakah kita sudah memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan segala potensi yang ada pada diri mereka?

Mungkin di antara kita ada yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan lantang. “Tentu saja sudah! Anak-anak sudah saya sekolahkan di sekolah terbaik, sejak TK hingga saat ini.” Bahkan mungkin ada yang mengaku sudah menyekolahkan anak-anaknya di institusi pendidikan yang terbaik sejak mereka umur 2 tahun, bahkan mungkin sejak bayi. Akan tetapi, apakah benar kita sudah memberikan yang terbaik untuk mereka, sesuai dengan kebutuhan setiap anak yang memiliki kepribadian unik serta potensi yang berbeda satu sama lain.
Jangan-jangan selama ini yang kita lakukan hanyalah membentuk anak-anak sesuai dengan keinginan kita sendiri tanpa memperdulikan kebutuhan, kepribadian dan potensi mereka. Apalagi jika kita - sebagai orang tua, guru, warga negara, atau pemerintah - memiliki keyakinan bahwa kecerdasan kognitif adalah kunci utama kesuksesan hidup.
Jadi tidaklah mengherankan jika kemudian banyak orang tua yang tidak mempermasalahkan nilai pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) dan Olah Raga anaknya yang kurang bagus, asal nilai lainnya - terutama matematika dan IPA - bagus. Oleh karenanya, tidak mengherankan juga jika banyak orang tua yang berpendapat jika anak-anaknya SMA, mereka harus masuk jurusan IPA. Sebaliknya, orang tua akan kecewa jika anaknya memilih jurusan IPS atau ditentukan masuk IPS oleh sekolah.

Kita mungkin lupa atau tidak tahu bahwa setiap anak itu unik. Mereka memiliki minat, bakat dan kepribadian yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga kebutuhannya pun berbeda-beda. Oleh karenanya, kita harus mengenali dan memaklumi apa yang dimiliki dan diminati anak. Kewajban kita hanyalah memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat, bakat dan kepribadian yang mereka miliki.

Saat ini banyak orang tua yang menilai bahwa pelajaran-pelajaran yang terkait dengan life skills, seperti Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) dan Olah Raga serta kegiatan ekstra kurikuler, seperti OSIS, pramuka, paskibraka, pecinta alam, PMR dll. tidak penting. Bahkan, di rumah pun anak-anak sekarang tidak lagi kita ajari memasak, menjahit, merawat rumah atau kebun/pekarangan, mengasuh adik, atau sekedar menyajikan suguhan kepada tamu seperti anak-anak jaman dulu. Anak sekarang pun banyak yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenal lingkungan alam, bahkan yang terdekat sekalipun.
Padahal di arena itulah anak-anak kita memiliki kesempatan untuk mengembangkan otak kanan atau otak emosinya, karena pelajaran-pelajaran lain di sekolah umumnya cenderung mengembangkan potensi otak kiri atau otak perfikir saja.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak anak yang tidak bisa membedakan antara rumput dan padi, atau kerbau dan sapi. Bahkan mereka tidak merasa penting untuk membuang sampah pada tempatnya, dan mencoret-coret dinding bangunan (graffiti) dianggap aksi “heroik” di mata teman-temannya.
Selama ini mungkin kita merasa sudah memberi bekal yang cukup agar anak-anak kita kelak sukses dalam kehidupannya. Akan tetapi, kita mungkin lupa atau tidak tahu bahwa bekal kecerdasan dalam berpikir saja tidak cukup. Untuk hidup sukses, diperlukan juga kecakapan mengelola/mengatur diri sendiri, kecakapan menangani suatu hubungan - baik dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik/alam - serta keterampilan dalam bekerja (psikomotorik), yang kesemuanya itu melibatkan kecerdasan emosi atau otak kanan.
Tanpa semua itu, mustahil seseorang dapat meraih kesuksesan dalam hidupnya. Pintar berpikir saja tidak cukup, sekolah tinggi saja tidak cukup tanpa memiliki keterampilan dalam berkerja dan berinteraksi. Bahkan Daniel Goleman yang terkenal dengan bukunya yang fenomenal - Emotional Intelligence - menyatakan bahwa kesuksesan hidup seseorang ditentukan sebesar 80% oleh kecerdasan emosi atau otak kanan, sementara kecerdasan berfikir atau otak kiri hanya menyumbang sebesar 20% saja.
Sebagai warga IPB - yang dekat dengan pertanian atau lingkungan alamiah - seharusnya kita bertanya, “Apa yang sudah kta lakukan dalam rangka turut mengembangkan kualitas anak-anak bangsa?” Apakah kta tidak merasa bersalah atau paling tidak merasa prihatin jika banyak anak-anak Indonesia yang tidak tahu perbedaan antara rumput dan padi, atau kerbau dan sapi, bahkan mereka tidak tahu dari mana asalnya nasi yang mereka makan sehari-hari? Apakah kita tidak prihatin jika banyak anak-anak yang membuang sampah sembarangan tanpa merasa bersalah?
Mungkin berangkat dari keprihatinan itulah IPB dapat ikut memikirkan bagaimana caranya agar kita - sebagai perguruan tinggi yang menfokuskan kajiannya pada bidang pertanian - dapat berpartisipasi dalam mengembangkan anak-anak Indonesia, paling tidak dalam mengembangkan otak kanannya, khususnya kesadaran dan keterampilannya yang terkait dengan pertanian atau lingkungan alamiah. Dengan demikian, anak-anak Indonesia kelak dapat hidup sukses, bahkan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di era globalisasi ini.
Semoga….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar