GURU
MENULIS? HARUS
(SEKADAR RENUNGAN)
KATA
Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
Subagyo Sastrowardoyo
“Didiklah
anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu”Ungkapan
di atas tidak kurang dari 13 abad yang lalu disampaikan Ali Bin Abi Thalib R.A.
bahwa masa-masa kita mengenyam pendidikan dulu tidak sama dengan pendidikan
masa sekarang dan di masa yang akan datang. Barangkali kata-kata ini diadaptasi oleh para
pengambil kebijakan pendidikan ditingkat elit sehingga timbul pergantian dan pengembangan
kurikulum. Tercatat tidak kurang dari delapan kali kurikulum pendidikan kita
berubah-ubah, yakni kurikulum 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan
kurikulum 2006 yang kita kenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dengan alasan mutu, relevansi, efisiensi, dan pemerataan kesempatan
untuk memperoleh pendidikan.
Guru yang menjadikan tradisi tulis-menulis sebagai kegiatan sehari-hari
mungkin sama langkanya dengan tradisi membaca yang juga rendah. Dapat
diperkirakan, ini tak lepas dari budaya baca-tulis kita yang memang buruk.
Suasana sekolah-sekolah kita berbeda jauh dari sekolah-sekolah di negara-negara Asia tetangga kita, bahkan dengan Vietnam yang baru merdeka dan belum sedekade bergabung dengan ASEAN.
Pula berbeda dari universitas maupun sentra-sentra pengkajian ilmu zaman dulu yang digambarkan penuh pemandangan orang menenteng buku, berdiskusi, berorasi, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.
Sekolah dan universitas masa kini diwarnai berita tawuran antarpelajar/mahasiswa, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, video porno, tuntutan guru untuk diangkat menjadi pegawai negeri, kenaikan honor, serta Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang monoton dan membosankan.
Menulis adalah kegiatan yang memang seharusnya dilakukan para guru. Selain untuk mendokumentasikan kegiatan pribadinya sebagai agen perubahan, menulis juga dalam rangka mempertanggungjawabkan pengajarannya yang mesti diselaraskan dengan kurikulum.
Administrasi yang diisi guru di antaranya absensi murid, daftar nilai, leger (kumpulan nilai selama semester yang bersangkutan), rencana pelaksanaan pembelajaran, selain administrasi tambahan yang digariskan sekolah tempatnya mengajar. Pengembangan Keilmuan
Kegiatan menulis (dan membaca) pulalah yang memungkinkan terjadinya pengembangan keilmuan. Meski Einstein, misalnya, ketika duduk di bangku sekolah dasar disebut gurunya sebagai ”Herr Langweil” (Si Bodoh), komitmennya terhadap pengembangan ilmu dan potensi diri menjadikannya melahap habis sebuah buku geometri yang diberikan oleh seorang teman ayahnya (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu Tahu: Gemar Membaca, 2009).
Kerajinannya belajar, membuatnya mengadakan dokumentasi—berupa tulisan—atas pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan membaca hingga menemukan teori relativitas yang terkenal itu dan dunia pun mengenangnya sebagai Bapak Sains Modern.
Atau Isaac Newton, yang ketika duduk-duduk santai di bawah pohon apel dan kejatuhan buahnya menemukan teori gravitasi bumi, kemudian didokumentasikannya menjadi buku Philosophie Naturalis Principia Mathematica yang dianggap sebagai karya ilmiah terbaik sepanjang masa (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu: Orang-orang Besar, 2009)
Apa yang terjadi bila orang-orang cerdas ini tak mencatat temuannya? Apa jadinya kalau seorang guru tak pernah mendokumentasikan kegiatan sehari-hari serta pengajarannya untuk murid-murid?
Akankah kita mendapat murid berprestasi jika guru tak mampu mencatat apa-apa yang dibutuhkan murid agar berprestasi? Tentu saja kebutuhan para pelajar lebih diketahui gurunya ketimbang oleh para penulis yang khusus dikontrak penerbit buku.
Pantas saja, guru yang menjadi penulis (buku) dapat dihitung dengan jari. Memang, memadamkan lampu lebih mudah ketimbang menyalakan sebatang lilin.
Kata siapa menulis itu sulit?Suasana sekolah-sekolah kita berbeda jauh dari sekolah-sekolah di negara-negara Asia tetangga kita, bahkan dengan Vietnam yang baru merdeka dan belum sedekade bergabung dengan ASEAN.
Pula berbeda dari universitas maupun sentra-sentra pengkajian ilmu zaman dulu yang digambarkan penuh pemandangan orang menenteng buku, berdiskusi, berorasi, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.
Sekolah dan universitas masa kini diwarnai berita tawuran antarpelajar/mahasiswa, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, video porno, tuntutan guru untuk diangkat menjadi pegawai negeri, kenaikan honor, serta Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang monoton dan membosankan.
Menulis adalah kegiatan yang memang seharusnya dilakukan para guru. Selain untuk mendokumentasikan kegiatan pribadinya sebagai agen perubahan, menulis juga dalam rangka mempertanggungjawabkan pengajarannya yang mesti diselaraskan dengan kurikulum.
Administrasi yang diisi guru di antaranya absensi murid, daftar nilai, leger (kumpulan nilai selama semester yang bersangkutan), rencana pelaksanaan pembelajaran, selain administrasi tambahan yang digariskan sekolah tempatnya mengajar. Pengembangan Keilmuan
Kegiatan menulis (dan membaca) pulalah yang memungkinkan terjadinya pengembangan keilmuan. Meski Einstein, misalnya, ketika duduk di bangku sekolah dasar disebut gurunya sebagai ”Herr Langweil” (Si Bodoh), komitmennya terhadap pengembangan ilmu dan potensi diri menjadikannya melahap habis sebuah buku geometri yang diberikan oleh seorang teman ayahnya (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu Tahu: Gemar Membaca, 2009).
Kerajinannya belajar, membuatnya mengadakan dokumentasi—berupa tulisan—atas pengetahuan yang diperolehnya dari kegiatan membaca hingga menemukan teori relativitas yang terkenal itu dan dunia pun mengenangnya sebagai Bapak Sains Modern.
Atau Isaac Newton, yang ketika duduk-duduk santai di bawah pohon apel dan kejatuhan buahnya menemukan teori gravitasi bumi, kemudian didokumentasikannya menjadi buku Philosophie Naturalis Principia Mathematica yang dianggap sebagai karya ilmiah terbaik sepanjang masa (Suranto Adi Wirawan, Aku Tahu: Orang-orang Besar, 2009)
Apa yang terjadi bila orang-orang cerdas ini tak mencatat temuannya? Apa jadinya kalau seorang guru tak pernah mendokumentasikan kegiatan sehari-hari serta pengajarannya untuk murid-murid?
Akankah kita mendapat murid berprestasi jika guru tak mampu mencatat apa-apa yang dibutuhkan murid agar berprestasi? Tentu saja kebutuhan para pelajar lebih diketahui gurunya ketimbang oleh para penulis yang khusus dikontrak penerbit buku.
Pantas saja, guru yang menjadi penulis (buku) dapat dihitung dengan jari. Memang, memadamkan lampu lebih mudah ketimbang menyalakan sebatang lilin.
Dan siapa yang bilang menulis itu mudah?
Bila
Anda menemui permasalahan atas pertanyaan tersebut di atas, simaklah tulisan
ini. Bagi Anda yang berprofesi menjadi guru tentu hal ini akan menjadi semakin
berguna karena setiap hari Anda bergumul dengan dunia tulis menulis. Kuncinya
terletak pada kebiasaan. Kebiasaan bagi seorang petani yang terbiasa mencangkul
di sawah akan lebih mudah mencangkul daripada orang yang pakai dasi di kantoran
yang kerjanya di belakang meja. Seorang nelayan akan mudah menebar dan membuat jala
dibandingkan dengan pekerjaan lain, karena itu memang kebiasaannya. Dulu saya
terbiasa ikut bapak ke laut mencari ikan di laut, maka saya terbiasa dengan
kehidupan laut. Tapi lambat laun kebiasaan itu hilang ketika saya tidak
membiasakan diri ke laut.
- Teruslah berlatih menulis. Jangan pernah berhenti menulis. Sebab menulis itu seperti menyetir mobil. Semakin tinggi jam terbang Anda, maka keahlian Anda pun insya Allah semakin baik.
- Rajin-rajinlah membaca buku-buku yang berkualitas. Jika tubuh kita diibaratkan “pabrik penulis”, maka inputnya – antara lain adalah bacaan, dan outputnya (atau produk yang dihasilkan) adalah tulisan. Dengan demikian, kegiatan membaca bagi seorang penulis sangat penting. Tulisan kita akan banyak diwarnai oleh jenis bacaan yang kita lahap. Bila Anda rajin membaca teenlit, maka Anda akan menjadi seorang penulis teenlit. Bila Anda rajin membaca opini di surat kabar, maka Anda akan menjadi seorang penulis opini. Demikian seterusnya.
Tulisan yang berkualitas, pastilah didahului dulu
dengan proses membaca. Tak ada tulisan berkualitas yang langsung mengalir
begitu saja bila anda tak membiasakan diri dalam membaca dan menulis. Pada intinya bahwa menulis itu menyenangkan, menulis itu mengasyikkan,
menulis itu membebaskan, menulis itu menata pikiran.
- menulis sebelum tidur
- menulis catatan harian
- jangan pernah menunda menulis
- jangan pernah berhenti menulis
- menulis itu berjuang
Tak usah dari yang sulit-sulit dulu. Menulislah dari hal-hal
sederhana; hal-hal yang sering kita alami, pengalaman sendiri, teman-teman,
hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada
kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.
Jika
sudah terbiasa, maka perlu kita pikirkan
hal-hal lain, misalnya media. Ada beberapa strategi penting menembus
media mulai dari cara nonteknis seperti, banyak membaca, kenali
karakteristik media, kenali pembaca sampai pada cara teknis penulisan yang pada
intinya tidak mempersulit tugas redaktur. “Permudah tugas redaktur” .
Menulis Tanpa Beban
Cara
menulis yang disarankan bagi kalangan penulis
pemula adalah FreeWriting dan Re-Writing. Dengan teknik Free
Writing berarti kita menulis secara bebas, tanpa mempedulikan bagus
tidaknya tulisan yang sedang digarap. Pokoknya terus saja menulis sampai capek,
sampai tidak ada lagi yang mau ditulis. Sekalipun nggak urut biarkan saja.
Tidak bagus cuekin saja. Bahkan karena bingung, akhirnya kita hanya menulis: “…
apa ya? Aku tak tahu mau nulis apa? Ah gimana nih? Dst”. Yang ada dalam pikiran
kita cuma: what next, next, next!
Perhatikan saja
kalau kita lagi emosi (khususnya marah atau gembira), atau dalam pengaruh
tekanan (seperti lagi ujian essay). Naturalnya sebagian besar
kita akan menulis dengan cara free writing, ya ‘kan?
Anda yang dalam
keadaan normal ngakunya tidak bisa menulis, saya yakin sekali dalam
dua keadaan itu dengan ajaib tiba-tiba bisa lancar menulis. Apalagi jika yang
mau disampaikan begitu banyak. Bisa sampai pegel.
Lha, setelah selesai menulis, tentu
hasilnya wow… jelek sekali ya. Semua serba ada. Banyak yang
asal-asalan, atau juga urutannya bisa jadi ngaco.
Disinilah saatnya
anda mulai menyunting, mulai dari membuang yang tidak perlu, menyusun lagi
urutannya serta membaguskan bahasanya. Bisa bolak-balik berkali-kali, sampai
akhirnya anda suka dengan hasil akhirnya.
Cara lain adalah
menulis dengan teknik Re-Writing atau menulis ulang. Ini sangat ampuh
digunakan dan sangat mudah bagi para pemula. Yang kita lakukan hanyalah
mengumpulkan bahan-bahan (tertulis atau hasil wawancara) lalu kemudian menuliskan-ulang
kembali bahan tersebut dengan tentu saja memakai gaya bahasa sendiri. Sebut sajalah
hasilnya sebagai naskah-ramuan.
Ramuan yang baik
biasanya selalu berupa pernyataan yang disusun dengan kalimat lain, yang
berbeda dengan kalimat sumber informasi yang asli. Sedang ramuan yang buruk
seringnya berbentuk kumpulan kalimat sama dengan sumber aslinya. Kadang-kadang
malah ada semacam ramuan atau rangkuman yang tidak merangkum, tapi mengutip
berbagai pernyataan sesuai dengan aslinya, walaupun dengan kata-kata yang
disana-sini diganti dengan kata lain, agar agak berbeda.
Selama naskah-ramuan itu tidak menunjukkan
hasil pengumpulan berbagai informasi (lebih dari satu sumber), ia belum dapat
disebut naskah-ramuan namanya, tapi itu jiplakan yang ringkas.
Sebaiknya dalam
menulis naskah ramuan gunakan gaya
bebas saja, seperti sedang menyampaikan informasi kepada seorang teman akrab.
Apa yang ditulis biasanya memakai kata lain yang berbeda dengan kata dalam
informasi aslinya. Hanya idenya saja yang sama.
Sesudah ramuan itu
selesai ditulis, tetap saja sebaiknya naskah itu disunting lagi minimal
mengedit bahasanya, atau paling tidak ya judul dan leadnya. Bila perlu, agar
lebih gurih rasanya, mungkin masih bisa kita selipkan dan perbaiki intonasinya,
nadanya, gaya
bahasanya, atau bahkan sedikit digarami dengan humor-humor jenaka.
Menulis adalah kegiatan yang mengasyikkan
sekaligus mencerahkan. Banyak
orang berkeinginan untuk bisa menulis secara teratur namun terhalang tidak
adanya waktu karena kesibukan pekerjaan.
Apakah karena halangan tersebut kegiatan menulis harus terhenti? Jawabnya
tidak. Semua orang tetap dapat menyalurkan pemikiran dan perenungannya lewat
tulisan sesibuk apapun jika menemukan kiat yang tepat.
Tulisan
berikut akan memberikan beberapa kiat buat orang-orang yang sibuk agar bisa
menulis secara teratur dan konsisten.
1. Teguhkan niat menulis
Segala sesuatu berawal dari niat. Dengan menetapkan niat yang kuat untuk menulis, maka akan ada dorongan yang
memaksa diri untuk melakukannya. Sama halnya dengan menulis, tetapkan target
yang jelas misalnya 1 tulisan per minggu atau 2 tulisan per bulan. Dengan cara
ini secara mental kita akan merasa berhutang jika belum melakukannya dan secara
aktif akan mencari cara agar bisa menyelesaikan hutang tersebut.
Saya pribadi menetapkan target 2 tulisan per minggunya dan sejauh ini masih
bisa memenuhinya, meskipun dengan berbagai tantangan kesibukan yang ada.
2. Temukan waktu produktif Anda
Tiap orang memiliki waktu produktif yang berbeda-beda. Ada yang sangat
produktif di pagi hari ketika banyak orang belum bangun. Ada yang produktif di
tengah malam ketika semua orang tengah terlelap. Ada pula yang menikmati waktu
di tengah hari ketika semua orang sedang sibuk bekerja.
Menemukan waktu
yang tepat akan membantu produktivitas tinggi dalam menulis. Memanfaatkan waktu
yang tepat dan nyaman secara natural, seseorang dapat menyelesaikan beberapa
tulisan sekaligus.
Saya sendiri paling suka menulis di tengah malam sampai pagi hari setelah
tidur beberapa jam sebelumnya. Pada waktu tersebut, segala sesuatunya menjadi
sangat lancar dan berbagai ide bermunculan. Tak jarang saya menulis 2-3 tulisan
sekaligus untuk diterbitkan di hari yang berbeda dalam blog ini.
3. Manfaatkan waktu senggang dengan baik
Jika Anda memiliki pekerjaan full time yang menuntut perhatian
penuh, maka memanfaatkan waktu dengan baik adalah kunci agar Anda bisa menulis.
Sepulang kerja, coba perhatikan kegiatan apa saja yang Anda lakukan. Mandi,
makan malam, sholat, bercengkrama dengan keluarga, menonton TV, istirahat dan
lain-lain. Kurangi kegiatan yang kurang bermanfaat dan gunakan untuk menulis.
Jika Anda terlalu lelah, maka segeralah beristirahat untuk kemudian bangun
dengan segar sehingga dapat menulis.
Selain itu, Anda juga dapat memanfaatkan waktu istirahat di kantor dengan
menulis. Gunakan waktu istirahat kerja secara efektif sehingga masih ada sisa
untuk menulis. Atau Anda dapat membuat draft tulisan dalam perjalanan
pergi dan pulang dari kantor. Tentunya hal ini baru bisa dilakukan jika Anda
tidak membawa kendaraan sendiri.
Jangan lupa manfaatkan pula waktu akhir pekan ketika libur dari pekerjaan. Saya sering memanfaatkan waktu akhir pekan
ini terutama di pagi hari. Jika beruntung, dalam dua jam bisa menyelesaikan
beberapa tulisan sekaligus.
4. Kurangi waktu istirahat
Jika Anda benar-benar ingin konsisten menulis sementara Anda juga orang
yang sibuk, mau tidak mau harus ada waktu istirahat yang harus dikorbankan.
Sebagai contoh sepulang kerja mungkin Anda harus bercengkrama dengan keluarga
sampai waktunya tidur malam. Setelah anggota keluarga tertidur, Anda dapat
memanfaatkan waktu untuk menulis. Atau sebaliknya, Anda bisa ikutan tidur dan
bangun di tengah malam untuk menyelesaikan tulisan.
Mengurangi waktu istirahat adalah cara paling akhir jika memang Anda
benar-benar tidak punya waktu. Lantas bagaimana dengan kewajiban kerja keesokan
harinya? Jika sudah terbiasa, maka tubuh akan membiasakan diri. Jadi cukup
dengan tidur 3-4 jam sehari sudah membuat Anda segar untuk melaksanakan tugas
keesokan harinya.
5. Catat ide tulisan
Ide dapat muncul
kapan saja. Sama seperti Newton yang mendapat ide gravitasi ketika melihat
sebuah apel jatuh. Oleh karena itu segera catat segala ide yang melintas di
kepala Anda. Menundanya akan
membuat lupa dan menghabiskan energi ketika berusaha mengingatnya kembali.
Catatan ide ini sangat berguna ketika Anda punya waktu senggang untuk
menulis. Seringkali orang yang tidak membuat catatan kehabisan waktu mencari
ide ketika sebenarnya dia punya waktu yang cukup untuk membuat tulisan.
SELAMAT MENCOBA
Menulis resensi atau kritik buku
sebenarnya nggak sulit. Kalau mau,
kamu juga bisa. Nah, berikut ini ada
beberapa tips agar kamu piawai
menulis resensi.
* Tulisan resensi yang menggambarkan
sinopsis harus sesuai dengan isi
buku. Banyak peserta yang terdaftar dalam
kompetisi ini ternyata kurang
memahami isi buku sehingga sinopsis mereka
berbeda dengan isi buku.
* Ketajaman analisa. Setelah memahami isi
buku, kamu harus bisa menilai
apakah isi buku bermanfaat atau tidak ?
Jika memang bagus, beri
penjelasan di mana letak sisi bagus itu.
Begitu pun sebaliknya. Di samping
itu, kamu harus pula menguasai pengetahuan
lain sebagai bahan pembanding
isi buku yang hendak kamu kritisi itu,
termasuk di dalamnya menyikapi
masalah yang ditampilkan buku tersebut.
Asal kamu tahu, prosentase terbesar
kriteria penilaian ada pada
ketajaman analisa. Di sini, kamu harus
bisa mengaitkan masalah lain yang ada
dengan masalah yang diangkat buku itu.
Dari sini, gagasan kamu dan isi
buku mengenai masalah yang sama, bisa
bertemu. Tentu saja kamu bisa
mengungkapkan ketidaksetujuan atas gagasan
penulis buku yang bersangkutan.
Pada saat yang sama, kamu juga harus
menawarkan argumen untuk mendukung
pendapatmu.
* Gunakan bahasa yang terstruktur, lugas,
dan jelas sehingga memudahkan
pembaca memahami maksud kamu. Melalui
bahasa semacam itu, kamu bisa
menulis ulang isi atau materi yang
terkandung dalam buku, kemudian
mengkritisi isinya jika ada yang dinilai
kurang tepat. Selain itu, penulis
resensi juga harus memiliki kemampuan
memahami isi buku secara benar.
* Terakhir, hindari penggunaan kalimat
yang panjang dan bertele-tele.
Kalimat panjang bisa mengaburkan pesan
yang akan disampaikan. Jangan
lupa, pilih kata-kata yang tepat untuk
merangkai tulisan resensimu. Dengan
cara ini, niscaya pembaca akan gampang
memahami maksud kamu. Tidak
sulit, kan? Oke deh, selamat mencoba.
KIAT PENULISAN LAKON
Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan
mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah
gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon, adalah hasil perenungan dan
pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa
yang biasa disebut “inspirasi”.
Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang lain.
Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan, mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon.
Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal,
tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk
itu diperlukan ketrampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang
baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi
persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan.
Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan
yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi flatform dari naskah
itu kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya.
Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.
Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun.
Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita
tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur membuat lakon menjadi potret
atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah pemikiran, sikap dan
rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi
fenomena-fenomena kehidupan yang baru.
Dalam membangun cerita akan muncul berbagai
kebutuhan terhadap: waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik
dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan
dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis mesti memikirkan jalan
keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah
statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau pemberontakan dan
pembaruan, agar lebih menggigit.
Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau
disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak,
idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan
moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah
sebuah pesan moral.
Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis
adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang
konstruksi bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan
cermat wujud naskah itu.
Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang
spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak sehingga
durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup satu babak, sekitar satu jam,
sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan
konsepnya.
Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan.
Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana
memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu ia harus memahami
benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan,
sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh
persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide
tidak terhambat.
Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga
diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus
memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya,
jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekedar alat, tetapi
bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat sederhana,
tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya
berbeda dari apa yang biasa dilakukan.
Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya
disebut “berdarah” atau “memiliki daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya
sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya.
Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu atau baru.
Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu punya nilai lebih.
Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa menjadi luar
biasa.
Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa,
umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta
biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan
kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang
universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya, bukan hanya
masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan.
Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang.
Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya
pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan
dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh
itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur untuk beringas dan aktip kembali
menegakkan keadilan.
Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa
yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk
memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar
keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan
mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau
muncrat.
Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya
menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi
penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah
pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang
terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah
nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di
samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah menunggu.
Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila
tidak terkemas dengan baik. Karena itu sebelum menulis lakon, seseorang harus
mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya pengemasan lakon memerlukan
beberapa unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan. Karena untuk itulah
lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama
“kloset”.
Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan
memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empathi. Empathi
akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada
juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya,
sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial.
Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan
sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah
itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara
tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan
sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam
sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.
Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan kesempatan
kepada sutradara, pemain serta penata artistik mengembangkan lakon itu sehingga
ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di dalamnya
juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang bagus
akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup dan
ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar merupakan
sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga menciptakan
pengalaman spiritual.
Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan
pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat
memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan.
Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi iterpretasi,
kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan
bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap berdarah di
segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap kali
dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.
II.CATATAN DARI LAPANGAN
Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk
perbandingan:
Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi
lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-ide mentah yang belum disentuhkan dengan
pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang saya tulis adalah drama kloset. Drama
yang hanya untuk dibaca, miskin dari kemungkinan pemanggungan.
Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov,
Barabah:Motinggo Boesye dan Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany,
Pelacur:Sartre), baru saya memahami hubungan naskah dengan pementasan, memahami
hubungan naskah dengan penonton. Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja
tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Dalam periode itu saya menulis
Bila Malam Bertambah Malam, Dalam Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan
Bernyanyi (1967), Tak Sampai Tiga Bulan (1965), Orang-Orang Malam (1966).
Semuanya ditulis dan kemudian saya mainkan.
Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di
gedung BTN Jogja, saya melakukan monolog spontan berjudul Matahari Yang
Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main baru naskahnya dituliskan. Menjadi
lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk dibaca tetapi untuk dimainkan.
Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan sesudahnya baru ditulis.
Misalnya Merdeka dan Zmar.
Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan,
saya ikut pementasan Waiting For Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai
Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu, antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai
menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan, Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah).
Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan dengan Teater Mandiri di
Jakarta.
Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan
tanpa memakai naskah (Lho, Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya
suasana dan gambar-gambar. Pementasan Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan,
sangat visual, mengagetkan penonton dan mendapat sambutan bagus sekali.
Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater Arena TIM. Tetapi pementasan
selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang waktu NOL. Waktu itu
saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita. Saya kembali
kepada kata-kata.
Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh
kata-kata untuk pementasan (Dor, Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas,
Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita, karakter dan konflik. Tetapi saya tidak
berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung menjadi teater seni rupa.
Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan
membuat naskah, hanya untuk membuat naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah,
Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang belum pernah saya pentaskan.
Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat
naskah dan hanya melakukan pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art,
Seatle, Brunai Darusssalam, Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto,
Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel II, Bor, The Coffin is too Bif for The
Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat sekumpulan monolog yang terhimpun dalam
buku DAR-DER-DOR.
Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan
monolog (Kemerdekaan, Demokrasi, Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan,
Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya sejak 2004 saya kembali menulis lakon
untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia, Zetan, TVRI). Dalam perjalanan
saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir didorong
oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri.
Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di
samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi
sekali kerja dua hal tercapai.
Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk
berekspresi, berdialog dengan penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang
personal tentang kejadian di sekitar. Saya merasa punya sudut pandang yang lain
dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak ada maksud untuk memenangkan pandangan
sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan kepada masyarakat bahwa perbedaan
itu harmoni yang dinamis.
Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi
terhadap kondisi pemain, keadaan sarana serta keterbatasan biaya produksi yang
semuanya kemudian membentuk sikap dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun
1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada : Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha untuk
memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan dengan mengoptimalkan apa yang
dimiliki. Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin dalam setiap produksi.
Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi
orang-orang biasa. Mereka bukan aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang
tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah tangga. Bahkan pernah suami-sitri
pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah dalam lakon Anu, 1974)
Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan mereka yang juga
membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari pembuatan
naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.
Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin
dan komitmen dalam berlatih. Para pemain jarang datang lengkap dan selalu
merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis naskah yang membuat pemain sekali
masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa keluar sampai lakon
berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang mengetengahkan
kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang menjadi formula
semua naskah yang saya buat sampai 1989.
Pesan moral yang saya pegang dalam setiap
pembuatan naskah adalah usaha untuk melakukan “teror mental”. Upaya untuk
mengganggu, membangunkan, mengingat, membimbangkan, menggoda, menteror batin
penonton. Tujuannya agar penonton terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan
mendusin dari tidurnya.
Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan
(politik, ekonomi, sosial, budaya), banyak orang setelah membuat keputusan
tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena dibius oleh sesuatu yang dahysat (
idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat, ilmu) mengunci dirinya dalam
satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam kehidupan. Banyak manusia
menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan memikirkan lagi posisinya,
tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya kebimbangan adalah suci.
Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap
naskah dengan langsung menggebrak. Dan kemudian mengakhirinya dengan
mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan yang terbuka. Pertanyan berakhir
sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan yang lain. Lakon adalah
sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka berdialog dan kemudian
mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.
Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam
naskah (yang saya lakukan juga dalam membuat skrip film) karena berharap mereka
yang membaca/mempergunakan naskah itu akan melakukan penafsiran. Saya mengambil
posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu tentang naskah itu dari
penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat multi
interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau
penontonnya.
Maksud saya untuk memberikan ruang kepada
sutradara. Tetapi hasilnya agak menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya
kemudian mempergunakan seenak perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang
belum pernah menyaksikan pementasannya menjadi sulit dimengerti.
Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah
mendapat hambatan. Sensor dan batasan dari berbagai aspek di sekitar saya
adalah tantangan, adalah kesempatan yang justru menolong saya mampu melompat.
Pengalaman dalam mengelak, menyiasati hambatan-hambatan itu, membuat saya
percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang tak mungkin di atas pentas.
Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah wilayah yang yang tak
terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.
Sebuah tulisan yang baik tidak
selalu harus benar-benar “tulisan pribadi” atau yang sering kita bayangkan
sebagai karya asli/original, meluncur dari kata-kata sendiri, buah pikiran
asli, murni.Ada memang naskah yang lebih enak ditulis dengan cara “mengarang“, yaitu yang keluar dari hati nurani atau pikiran sendiri. Misalnya saat menulis surat pribadi atau surat pembaca, menulis essay/opini, menulis hasil pengamatan, pengalaman atau observasi. Akan tetapi untuk tulisan jurnalistik, cara “ngarang” ini harus dipakai hati-hati. Jangan sampai kebablasan.
Kekuatan naskah karya jurnalistik sebenarnya bukan lagi terletak pada “cara atau skill anda menulis” melainkan pada isi atau materi alias substansi. Dan ini tidak mungkin dihasilkan hanya mengandalkan pikiran sendiri apalagi melulu suara hati penuh emosi. Pembaca berita tidak akan peduli dengan pikiran anda, juga perasaan anda. Yang mereka mau, fakta-fakta apa yang anda temukan dan laporkan. Fokuslah pada fakta itu.
Jadi intinya, kalau mau menulis untuk media-massa, rahasianya cuma satu. BAHAN! Skill menulis apapun yang anda miliki saat ini, pakai sajalah. Asal bisa menulis kalimat yang orang lain ngerti, sudah cukup itu. Soal bagus atau jelek, biarkan saja. Ntar juga diperbaiki sama editor/redaktur, asalkan memang isinya “layak terbit”. Sambil terus berjalan, saking seringnya menulis, lama-lama skill atau cara kita menulis itu akan baik juga secara otomatis. Pasti akan berlaku teori “kuantitas akan melahirkan kualitas“.
IDE sudah mantap, menulis sudah dilakukan, tulisan sudah jadi, tapi … takut mempostingnya. Nah lho. Kalau menemukan pesharing berperilaku demikian tanpa banyak komentar dikatakan: “Mas, tulisan itu tulisan siapa? Blog itu punya siapa? FB itu milik siapa? Punya Sampeyan kan?”
“Ya”, katanya pendek. “Tapi, saya tidak PD. Minder”, jelasnya mantap. “Begini saja. Coba mindset Sampeyan di upgrade”. “Maksudnya?”, tanyanya bingung. “Begini”, kata saya sesabar mungkin sekaligus ‘menyinggung’ agar rasa percaya dirinya bangkit.
“Sampeyan itu berpikir, orang lain jahat semua. Tidak baik itu. ‘Curigation’ boleh, namun kalau berlebihan merugikan diri sendiri, dan menumpuk dosa”. Dikuliahi sekalian biar lebih mantap: “Hilangkan kecurigaan, biasakan berprasangka baik”. Pikiran buruk itu bersarang di batok kepala Sampeyan.
Wajar saja dia kurang berterima. “Saya tidak …”. Langsung dipotong. “Coba. Anggap saya, juga teman-teman blogger atau Facebooker saudaramu. Orang yang mau menolong. Kalau salah, tidak akan ditertawakan, tetapi dibetulkan. Kalau sesama saudara, mana ada istilah malu. Kekurangan dijadikan bahan perbaikan agar lebih baik”.
Setelah kuliah agak ‘ganas’ pesahring tersebut mengalami kemajuan menulis sangat baik. Dia tidak takut lagi salah. Tidak membesarkan kesalahan, tidak menganggap salah dan kesalahan aib besar. Sekalipun dikatakan: “Kalau salahnya itu-itu saja, salah yang berulang, itu bodoh namanya”.
SALAH KOK DIPELIHARA
Yap, salah adalah hak kita, milik kita. Nabi Adam AS saja melakukan ‘kesalahan’ agar menjadi pelajaran buat manusia sampai hari kiamat. Apalagi menulis. Salah? Ya, bagus itu. Kalau sadar salah, perbaiki. Kalau diketahui teman, ditunjukkan dimana salahnya, perbaiki. Enteng saja kok. Bersalah (dosa) kepada Allah SWT boleh-boleh saja. Makanya dibukakan pintu minta ampun, pintu tobat.
Apalagi, ya apalagi, kalau belajar menulis, baru penulis pemula. Saya pikir, semua penulis pernah melakukan kesalahan. Tetapi, jangan dituduh semua penulis bersalah. Itu lain lagi maknanya. Dari kesalahan itu belajar dengan mantap. Kenapa harus malu? Salah dan kesalahan dipahami agar tidak bersalah pada kesempatan berikutnya.
Hanya mereka yang sok perfeksionis saja yang tidak menoleransi salah, apalagi pada awal belajar. Baru belajar saja sombong, sok hebat. Tapi, kalau menulis untuk lomba, kompetisi, atau karya keilmuan atau sederajatnya, ya tidak mungkin ditolerir. Pada hal sedemikian kualitas prima yang dipertaruhkan.
Dengan kata lain, turunkan kadar kesombongan. Salah, biar saja. Namanya juga belajar. Baru belajar menulis tulisan disepadankan dengan karya Sitor Situmorang, yo opo rek.
Mari lawan takut salah dengan mempublikasikan tulisan, dan dari situ belajar, menapak tulisan agar tidak salah. Salah adalah jalan menuju betul. Mari lakukan, dan dari situ tancapkan percaya diri alias PD. Tidak PD kok dipelihara dengan bangga. Aya-aya wae.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar