MENCARI JATI DIRI atau
MENAPAK JEJAK WACANA
Oleh : M. Raudah Jambak, S. Pd
Menarik yang disampaikan oleh
Yulhasni, ketika acara Omong-Omong Sastra di rumah Sarifuddin Lubis, Binjai
(Minggu, 6/3/11), kemarin. Ia meragukan penting nya sebuah komunitas. Pun apa
yang disampaikan oleh Wahyu Widji Astuti tentang kegamangannya dengan persoalan
sastra kontemporer.
Sebagai manusia, dengan alasan apapun kita adalah
makhluk sosial. Hal ini berarti, bahwa selain
individualis, manusia sangat membutuhkan kelompok. Diantaranya adalah sebuah
komunitas.
Hanya saja bagaimana pemanfaatan
komunitas, hal itu yang paling penting. Mengaturnya sehingga tidak berjalan di
tempat. Dan terus menerus melahirkan gebrakan-gebrakan. Mencari sesuatu yang
baru sebenarnya adalah salah satu ciri dari makhluk yang bernama Manusia.
Manusia
dalam hidup selalu bergerak, bertindak. Bahkan dalam hal ini diam pun adalah
sebuah tindakan, tindakan berdiam diri.Namun tidak semua tindakan bersisa atau
mengesankan.
Dalam
perspektif tertentu,sebuah sikap,tindakan,atau perilaku menjadi bermakna atau
bernilai ketika dibicarakan, diartikulasikan, diwacanakan. Dua orang yang
bertemu secara sepintas tanpa berkomunikasi, mengobrol, kemudian mereka segera
berpisah, tidak sertamerta dapat saling memaknai dengan baik. Di situ tidak ada
pengartikulasian dan pewacanaan yang intens, tidak ada upaya peleburan dua
khazanah maknawi masingmasing pihak. Lewat penalaran tersebut, lebih jauh kita
pun melihat bahwa tindakan dari masa lalu dapat bermakna ketika ia diwacanakan.
Artinya,
tindakan itu ditekskan,dituliskan, dan dibekukan menjadi teks.
Sebuah tindakan, peristiwa, pengalaman,akan bermakna lebih panjang ketika ditransformasikan ke dalam bentuk teks,didokumentasikan secara tertulis. Ini, misalnya, menjadi sebuah autobiografi, biografi, catatan perjalanan, dan sebagainya. Saat sebuah teks dibaca, ketika itulah terjadi pengartikulasian, pewacanaan, perjumpaan, serta peleburan antara khazanah maknawi teks dan khazanah maknawi pembacanya.
Sebuah tindakan, peristiwa, pengalaman,akan bermakna lebih panjang ketika ditransformasikan ke dalam bentuk teks,didokumentasikan secara tertulis. Ini, misalnya, menjadi sebuah autobiografi, biografi, catatan perjalanan, dan sebagainya. Saat sebuah teks dibaca, ketika itulah terjadi pengartikulasian, pewacanaan, perjumpaan, serta peleburan antara khazanah maknawi teks dan khazanah maknawi pembacanya.
Sebuah
perjumpaan yang melampaui ruang dan waktu. Sebuah perjumpaan yang,
sebutlah,memungkinkan makna baru. Teks, karena itu, salah satunya seperti yang
diisyaratkan Paul Ricoeur, yakni memiliki posisi penting dalam paradigma
tindakan.Ia menjadi sampel pemberian makna pada tindakan.
Teks sendiri dimungkinkan kemunculannya oleh interaksi, tafsir, dan transformasi makna.Artinya, teks tidak ada dengan tiba-tiba atau tanpa disiplin logika teruji.Pada tingkat personal maupun yang lebih luas, teks pun menjadi penting bagi manusia dalam upayanya memahami realitas diri, lingkungan, kebudayaan, kehidupan, dan seterusnya.
Teks sendiri dimungkinkan kemunculannya oleh interaksi, tafsir, dan transformasi makna.Artinya, teks tidak ada dengan tiba-tiba atau tanpa disiplin logika teruji.Pada tingkat personal maupun yang lebih luas, teks pun menjadi penting bagi manusia dalam upayanya memahami realitas diri, lingkungan, kebudayaan, kehidupan, dan seterusnya.
Dalam
pandangan tersebut, seorang individu yang memiliki dokumentasi tertulis,catatan
harian, misalnya, dianggap memiliki kemungkinan lebih baik untuk terusmenerus
merumuskan dirinya. Teks, dalam hal ini menjadi representasi ìkeakuanî. Ini
dapat dimaknai sebagai sesuatu yang sangat mungkin selalu menjadi, mengalami
pelbagai perubahan, dan perkembangan.
Karena itu, tatkala seseorang membaca teks yang diproduksinya pada masa lalu, ia sedang melakukan ziarah terhadap dirinya sendiri.Ziarah itu bisa jadi menghasilkan makna baru, bahkan tak terduga. Ini pada tataran personal. Pada tataran kebudayaan, hal serupa pun berlaku.Kebudayaan Barat memiliki dokumentasi teks tertulis yang kaya. Keberadaan teks-teks yang bersifat dokumentatif, argumentatif,eksploratif,serta diskursif ini memungkinkan terus dikajinya peristiwa, tindakan, pun pelbagai teori yang telah dianggap mapan. Dengan demikian, ranah keilmuan dalam tradisi Barat dewasa ini menjadi ranah yang sangat dinamis.
Hal ini menyedot perhatian: sesuatu yang mungkin pada taraf tertentu memunculkan ìhegemoniî. Kebudayaan Timur tentu tidak kalah kaya akan makna, nilai, falsafah, kebijaksanaan—bah kan, bisa jadi lebih kaya.Namun,dalam falsafah, contohnya, nilai-nilai yang kaya dan mendalam itu,di negeri kita misalnya, bisa jadi masih banyak terkubur dalam berbagai artefak bukan teks seperti tembang- tembang, mitologi, taritarian, dan lainnya.
Karena itu, tatkala seseorang membaca teks yang diproduksinya pada masa lalu, ia sedang melakukan ziarah terhadap dirinya sendiri.Ziarah itu bisa jadi menghasilkan makna baru, bahkan tak terduga. Ini pada tataran personal. Pada tataran kebudayaan, hal serupa pun berlaku.Kebudayaan Barat memiliki dokumentasi teks tertulis yang kaya. Keberadaan teks-teks yang bersifat dokumentatif, argumentatif,eksploratif,serta diskursif ini memungkinkan terus dikajinya peristiwa, tindakan, pun pelbagai teori yang telah dianggap mapan. Dengan demikian, ranah keilmuan dalam tradisi Barat dewasa ini menjadi ranah yang sangat dinamis.
Hal ini menyedot perhatian: sesuatu yang mungkin pada taraf tertentu memunculkan ìhegemoniî. Kebudayaan Timur tentu tidak kalah kaya akan makna, nilai, falsafah, kebijaksanaan—bah kan, bisa jadi lebih kaya.Namun,dalam falsafah, contohnya, nilai-nilai yang kaya dan mendalam itu,di negeri kita misalnya, bisa jadi masih banyak terkubur dalam berbagai artefak bukan teks seperti tembang- tembang, mitologi, taritarian, dan lainnya.
Dalam
bidang sains,kita masih merasa gagap merumuskan, misalnya, teknologi yang
dipakai para leluhur saat membangun candi-candi megah di Nusantara. Pun, segala
macam kearifan dan pengetahuan lokal seolah lebih banyak berhenti menjadi
eksotisme.
Hal yang lantas lebih terlihat sebagai pajangan di etalase toko. Demikianlah teks terlihat sangat ampuh sebagai kendaraan manusia dalam memaknai dan memahami realitas.Namun, pandangan ini bukan berarti sesuatu yang final, yang berlaku universal secara mutlak. Rasionalisme atau akal budi, pandangan yang cenderung menempatkan teks sebagai sesuatu yang demikian sentral itu, ternyata tidak pernah secara sempurna menangkap kenyataan. Kenyatan sekarang, jika dituangkan dalam sebuah tulisan tentu itu yang disebut dengan istilah kontemporer. Terlepas apakah ia absurd, realis, surealis, imajis, balada, narasi, dan sebagainya.
Hal yang lantas lebih terlihat sebagai pajangan di etalase toko. Demikianlah teks terlihat sangat ampuh sebagai kendaraan manusia dalam memaknai dan memahami realitas.Namun, pandangan ini bukan berarti sesuatu yang final, yang berlaku universal secara mutlak. Rasionalisme atau akal budi, pandangan yang cenderung menempatkan teks sebagai sesuatu yang demikian sentral itu, ternyata tidak pernah secara sempurna menangkap kenyataan. Kenyatan sekarang, jika dituangkan dalam sebuah tulisan tentu itu yang disebut dengan istilah kontemporer. Terlepas apakah ia absurd, realis, surealis, imajis, balada, narasi, dan sebagainya.
Sebab,
bagaimana pun teks adalah sebuah narasi,sebuah konstruksi. Di dalam narasi
selalu ada konfigurasi, rekayasa, dan pembatasan. Dengan demikian,realitas akan
selalu tereduksi, terluput sebagian, bagaimana pun canggihnya akal-akalan
teoretis abstrak tentang konsep-konsep universal.
Menurut Bambang Sugiharto,akal budi tidak pernah memadai di depan kenyataan murni. Namun,prinsip tentang akal budi yang tidak pernah memadai itu sama sekali tidak hendak mengatakan bahwa rasionalitas harus disingkirkan. Persoalannya hanyalah bahwa diperlukan kewaspadaan terhadap pengagungan rasionalitas yang berlebihan. Hal ini terutama pada kecenderungan kuat yang sering tidak disadari untuk menyamakan rasionalitas dengan keilmiahan. Dengan demikian, menimbulkan pendapat bahwa seakan yang rasional adalah yang ilmiah saja.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, terlihat jelas juga bahwa memaksakan sikap ilmiah terus-menerus terhadap segala hal justru lebih merupakan takhayul (takhayul ilmiah) daripada sikap sederhana yang menerima kenyataan berdasarkan keterbatasan basis pengetahuan kita. Akhirnya, kita membaca ketegangan terus-menerus di mana pun.
Menurut Bambang Sugiharto,akal budi tidak pernah memadai di depan kenyataan murni. Namun,prinsip tentang akal budi yang tidak pernah memadai itu sama sekali tidak hendak mengatakan bahwa rasionalitas harus disingkirkan. Persoalannya hanyalah bahwa diperlukan kewaspadaan terhadap pengagungan rasionalitas yang berlebihan. Hal ini terutama pada kecenderungan kuat yang sering tidak disadari untuk menyamakan rasionalitas dengan keilmiahan. Dengan demikian, menimbulkan pendapat bahwa seakan yang rasional adalah yang ilmiah saja.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, terlihat jelas juga bahwa memaksakan sikap ilmiah terus-menerus terhadap segala hal justru lebih merupakan takhayul (takhayul ilmiah) daripada sikap sederhana yang menerima kenyataan berdasarkan keterbatasan basis pengetahuan kita. Akhirnya, kita membaca ketegangan terus-menerus di mana pun.
Hal
yang sering terpinggirkan oleh teks adalah ambiguitas dunia riil, dunia
pengalaman nyata, dunia yang diam-diam selalu lebih kaya. Sebaliknya,yang kerap
tersisihkan dari kebanyakan manusia di banyak bidang adalah tindakan menulis,
mentransformasi tindakan- tindakan, dan pengalamanpengalaman yang dianggap
berharga kedalam teks.
Dengan demikian, transformasi itu dapat dimaknai, dikaji, dan dikembangkan, baik secara personal maupun oleh publik secara luas, hingga oleh generasi berikutnya.
Dengan demikian, transformasi itu dapat dimaknai, dikaji, dan dikembangkan, baik secara personal maupun oleh publik secara luas, hingga oleh generasi berikutnya.
Juga termasuk
sejauh mana kita menyadari bahwa manusia juga butuh pengakuan baik itu lewat
komunitas, maupun karya-karya yang dilahirkannya. Demikian.
*Penulis adalah direktur
Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar