SASTRA, MEDAN DAN MASYARAKAT URBAN
Oleh : M. Raudah Jambak,
S.Pd
Kampung
Medan dulu/lahir dari kegigihan Guru Patimpus/di antara dua /ertemuan sungai
Deli dan Babura/jernih airnya tempat ikan bermesraan
orang orang mandi berenangan/sampan dan kapal datang dan pergi
orang orang mandi berenangan/sampan dan kapal datang dan pergi
Demikian sebuah
petikan puisi Kampung Medan yang ditulis oleh Afrion sejatinya bicara tentang
ironi keinginan, atau semacam kerinduan. Kegelisahan demi kegelisahan muncul
mengejewantah. Lihat saja, bagaimana fenomena
hidup dan kebidupan berseliweran di depan mata. Tentang kemacetan kota,
gedung-gedung yang menjulang tinggi, atau mungkin gelandangan yang tak pernah
habis-habisnya pulang dan pergi.
Persoalan-persoalan
itu selalu lahir dari ujung pena tidak hanya wartawan tetapi juga sastrawan. Dia
tidak pernah habis, pun tak pernah akan selesai. Seperti apa yang pernah
diungkapkan oleh Irmansyah bahwa Urban bukanlah kenyataan yang terbentuk secara kebetulan. Tapi, ia adalah
bagian dari apa yang kita kerjakan di masa silam, yang di dalamnya termasuk
berbagai kebijakan politik yang tidak adil, konsep dualisme kota-desa, dan kini
terhubung dengan pemiskinan masyarakat pedesaan. Sejarah itu, pada ujungnya,
melahirkan kenyataan urban yang tidak terlepas dengan kenyataan kemiskinan dan
pemiskinan, karena kelahirannya adalah sesuatu yang dikondisikan.
Kandungan sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia
dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya.
Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat
mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang
dikandungnya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang
mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang
menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian
lama belum terumuskan.
Bukankah sesungguhnya usia kebangsaan di negeri ini jauh Iebih tua dari
usia negara? Maka sastra urban akan memfungsikan dirinya sebagai sumber
perenungan, yang mampu berperan aktif untuk merumuskan kenyataan, mengabarkan
keadaan bangsa manusia dimana tanah, sawah dan ladangnya telah berganti rupa,
menumbuhkan pabrik-pabrik.
Kebiasaan (tradisi) menanam telah lama berganti menjadi keterpaksaan
membeli. Konflik internal ini, sesungguhnya, sengaja dikondisikan oleh sebuah
desain yang maha besar untuk kepentingan kapital. Akibatnya, sebuah perangkap
diciptakan untuk menangkap dan menampung makhluk manusia, kemudian dihabisi
tanpa kemanusiaan: dikejar-kejar, ditangkapi dan dimusnahkan daya hidupnya.
Tapi, seniman (sastrawan) selalu berusaha untuk menemukan ruangnya karena
tuntutan nurani. Menjadikan sastra sebagai media yang selalu merdeka, merangkum
persoalan hidup, yang lahir dari kesejatian manusia: layaknya sebuah puisi yang
mencitrakan tragik kehidupan yang sesungguhnya.
Kota takkan memberi ruang kultural bagi mereka dan mereka dipaksa untuk
menjadi konsumer, bukan memproduksi. Tak dapat dibayangkan, dalam hitungan
kira-kira, 20 tahun ke depan, generasi (anak cucu) kita akan makin tumbuh
invalid karena kehilangan akar budayanya.
Seni akan berubah menjadi iven dan ini sudah jelas bukan citraan hidup
manusia. Dari sinilah sastra urban 'mengada', menyiapkan perangkat dan
fungsinya, menyelamatkan kehidupan kemanusiaan!
Coba kita bayangkan bagaimana seorang Gayus Tambunan begitu lihai dalam
’mengolah’ kebijakan pemerintah yang tak jelas menjalankan hukum. Justru lebih
asyik mempersoalkan hal-hal kecil yang sebnarnya tidak perlu dipersoalkan
apalgi sampai dipublikasikan. Miris memang, tetapi sisi baiknya masyarkat
menjadi semakin cerdas dan bernas dalam menanggapi persoalan itu. Walaupun
anrkisme mau tidak mau tidak mampu dibendung. Ia begitu padat dan penuh dengan
segala kekisruahan. Seperti yang mungkin disimbolkan oleh Ook Nugroho dalam puisinya.
Sajak-sajakku telah penuh/Tak tahu di mana lagi mesti menaruh/Harapan dan
keluh-kesahmu itu/Kata dan baris begitu berjejal/Ada yang terpaksa
berdiri/Bergantungan pada judul di pintu//Seperti bus kota di Jakarta/Banyak
impian musti ditinggalkan/Sebagian rencana terpaksa dibatalkan/Beberapa lagi
hilang tercopet waktu/Terlantar begitu saja sepanjang jalan/Macet penuh
rambu-rambu/
Menunggu seribu tahun lagi/Barangkali saja masih ada/Bus kota lain yang masih kosong//Tujuan masih jauh/Tapi sajak-sajakku telah penuh/Mimpi-mimpimu, keluh-kesahmu itu/Maaf, tak bisa ikut terbawa (Bus kota,2008)
Menunggu seribu tahun lagi/Barangkali saja masih ada/Bus kota lain yang masih kosong//Tujuan masih jauh/Tapi sajak-sajakku telah penuh/Mimpi-mimpimu, keluh-kesahmu itu/Maaf, tak bisa ikut terbawa (Bus kota,2008)
B agaimana kota ternyata lebih padat dan pengab dari bus kota itu sendiri. Masyarakat
kota terbiasa dan biasa dengan segala ketidakjujuran. Terbiasa memlihara
perselingkuhan dan pengkhianatan. Penuh sehingga tak tahu legi harus
ditempatkan dan diletakkan. Hm, walau pada akhirnya harapan tak pernah berhenti
dilimpahkan yang pada titiknya harus sampai pada pintu kekecewaan. Afrizal
Malna justru lebih ekstrim lagi dalam menanggapi persoalan ini. Ia mengatakan:
Aku tidur di depan sebuah
kulkas. Suaranya berdengung/ seperti kaos kakiku di siang hari yang terik. Di
dalam kulkas/ itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dari dan/ mengurus
makanan anjing./ (puisi ”Persahabatan dengan Seekor Anjing”), atau, Ia baru
saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur/ dadar. Pagi ini, ia sangat
sibuk membuat tokoh-tokoh baru/ di atas tempat tidur, terdiri dari perempuan
dan lelaki./ (puisi ”Aku Lahir dalam
Kardus”).
Hal itu terjadi dan terus berulang, termasuk di kota besar seperti Medan. Sastrawan,
seniman dan budayawan tak pernah luput melahirkan karya-karyanya lewat puisi,
cerpen, novel, ataupun esay dalam membicarkan ’meneropong’ kekisruhan sebuah
kota mulai dari bawah jembatan atau gedung bertingkan sembilan.
Tapi apalah daya seperti kata TS Pinang masyarakat laksana sepasang kaki
yang tak pernah memegang kendali, pun ketika bersepeda.
Kami ini sepasang kaki, kami mengayuh tungkai sepeda, kiri dan kanan
bergantian, sesekali berjeda, semakin laju sepeda kami semakin kami tahu ke
mana kami menuju. Kami hanya sepasang kaki, bukan
pemegang kendali, yang kami tahu hanya membuat sepeda kami lancer meluncur
maju. Kadang kami membawa penumpang, sebongkah pantat, sekarung kentang, atau
bebek calon santapan yang dipadatkan didalam keranjang. Kalau kami boleh
memilih, kami lebih suka membawa telur. Kami bahagia membayangkan telur itu
kelak akan menetas menjadi ayam yang kelak bertelur juga. Scenario lingkar
kehidupan, kami tak bahagia membayangkan telur itu busuk atau punah di piring
sarapan manusia. Tapi kami tak bias terlalu memilih. Kami ini sepasang kaki.
Kami mengayuh tangkal sepeda. Mengayuh saja.(Bersepeda, 2008)
Demikian. Semoga sastra
(medan) pun
demikian tak hanya sebagai kaki, tetapi ia akan menjadi sepasang tangan yang
lihai memegang kendali.
*Penulis adalah direktur Komunitas Home
Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar