MENULIS,
PENDIDIKAN KARAKTER DAN GENG MOTOR
Oleh : M. Raudah Jambak
Menulis merupakan salah
satu aspek keterampilan berbahasa yang aktif selain berbicara. Menyimak dan
membaca merupakan bagian lain yang mendukung menulis dan berbicara dalam
keterampilan berbahasa itu. Pun, dalam pembelajaran bahasa dan sastra menulis
merupakan bagian yang terpenting. Terutama pada tataran tata bahasa.
Hanya saja selain tata
bahasa, di wilayah sastra menulis juga mau tidak mau harus berada pada porsi
yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi pendidikan karakter telah
dicanangkan di dunia pendidikan kita sekarang ini. Tidak ada kata terlambat
untuk berbenah, walau sebelumnya kita sudah diperkenalkan dengan pendidikan
budi pekerti dan lain-lain sebagainya. Tetapi keputusan untuk kembali
menetapkan kebijakan pendidikan karakter adalah keputusan yang memang tidak
bisa ditawar-tawar lagi.
Karakter merupakan
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya dan adat istiadat.
Bagi bangsa Indonesia
sekarang ini, pendidikan karakter juga
berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk
membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia
bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkankarakter rakyat
Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa
diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan,
tanpa semangat belajar yang
tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di
tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi
bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah
tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt
mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a
menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan
aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)
Pendidikan karakter penting
bagi pendidikan di
Indonesia. Pendidikan karakter akan
menjadi basik atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas
bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi,
kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan
melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja
namun memiliki karakter yang
mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian
di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak
semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinya
(hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain
(soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar
20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft
skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.
Berpijak pada ciri
dasar pendidikan karakter,
kita bisa menerapkannya dalam polapendidikan yang
diberikan pada anak didik.
Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan
buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi
potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya,
menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap
dirinya, menanamkan pada anakdidik
akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Kalau
menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan pilihannnya, namun kemampuan
memilih kita dan pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita tersebut, yakni
dengan cara berkomitmen pada pilihan tersebut.
Pendidikan karakter hendaknya
dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan,
dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan
masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter.
Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia yang unggul akan dilahirkan dari
sistem pendidikan karakter.
“Siul Gelombang", karya pujangga India, Rabindranath
Tagore (1861-1941) dikenal sebagai simbol kepahlawanan, pengabdian dan
pengorbanan, serta mewakili suara kaum penentang terorisme. Karya tersebut
lahir pada 1934, suatu era revolusioner menjelang kemerdekaan Bangladesh yang
membuat negeri India banyak diguncang teror.
Melalui tokoh Ela dalam novel tersebut, pembaca bisa
digelitik untuk merenungkan kehidupan masing-masing, memaknai cinta, ideologi,
dan hubungan antar manusia.
Tagore yang banyak melahirkan karya besar diakui
sebagai sastrawan dunia, ia menjadi sosok yang banyak menyuarakan kebudayaan
agung India dan artis serba bisa. Melalui karyanya dalam bentuk cerpen, puisi,
naskah drama bahkan juga musik, ia pun “dinobatkan” sebagai salah seorang bapak
bangsa dan dianugerahi penghargaan Nobel bidang sastra pada tahun 1913.
Sebuah karya sastra memang selalui diciptakan oleh
para penulisnya untuk mengajak khalayak pembaca memikirkan dan merenungkan
sesuatu hal menyangkut olah pikir dan jiwanya.
Hubungan antara karya sastra dan nilai karakter serta
perilaku manusia memiliki keterkaitan. Karya sastra bisa membuat seseorang
menjadi lebih stabil dan mampu mengendalikan emosinya. Jika banyak membaca
karya sastra, seseorang biasanya tidak akan cepat marah, karena karya-karya
sastra dapat menggugah pembacanya untuk berpikir dan bertindak secara positif,
dengan mempelajari kompleksitas hidup yang disajikan dalam cerita sastra.
Sekarang ini, ketika kesusastraan di Indonesia sedang
lesu dan beban hidup semakin berat, banyak orang Indonesia menjadi cepat marah,
misalnya ketika `senggolan` di jalan raya bisa memicu pertengkaran. Namun, begitu
karya sastra dilahirkan justru dijauhi oleh pembaca, bahkan pelajaran bahasa
Indonesia di sekolah pun menomorsekiankan kesusastraan.
Mungkin, hanya ada segelintir sekolah yang kini
menyentuh pelajaran kesusastraan, itu pun sangat bergantung pada inisiatif guru
dan sekolah. Hal ini juga menyangkut minat baca masyarakat. Seperti apa pilihan
bacaan orang Indonesia dewasa ini?
Buku bermutu dalam arti yang mengemukakan nilai-nilai
positif atau disebut sebagai buku-buku ‘idealis’ terjual di bawah rata-rata, dibandingkan
dengan buku-buku popular bisa terjual di atas rata-rata untuk tiap judul dalam
sebulan.
Kelesuan sastra Indonesia bukan bersumber hanya dari
masalah ketiadaan penulis sastra atau kurangnya minat baca semata, tetapi juga
terpengaruh oleh situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia.
Ketika masa Orde Baru sudah bisa memberikan rasa aman
pada masyarakat, maka seni sastra pun tumbuh. Pada masa 1970-an, pendidikan sastra
di sekolah jauh lebih bagus dibanding sekarang. Siswa diwajibkan membaca dan
meringkas karya-karya sastra Indonesia yang muncul sejak masa penjajahan
Belanda dan era kemerdekaan.
Kini, pada masa gonjang-ganjing politik di Indonesia,
ketika masyarakat kebanyakan masih merasakan kesulitan hidup (mencari nafkah),
maka orang mengabaikan kepentingan membaca karya sastra. Orang lebih memilih
buku-buku yang memberikan pengetahuan praktis (how to ...) yang hasilnya segera
bisa dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan atau ketrampilan dan bermanfaat
untuk menambah penghasilan.
Buku Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrachman El Shirazy
yang meledak adalah salah satu buktinya dan jenis tersebut segera diikuti oleh
sederet buku dengan isi relegius, begitu pula dengan buku Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata yang memberikan warna baru dalam kancah bacaan Indonesia sekarang
yang dapat memberi inspirasi pembacanya.
Buku bertema seks meskipun masih laku terjual, tetapi
sudah mulai tersisih demikian pula buku misteri dan genre ‘teenlit’ yang sempat
meledak beberapa waktu lalu. Pergeseran selera pembaca dan pertumbuhan penulis
bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah menggglobal. Sebutan Chiclit
muncul ketika penulis-penulis perempuan di belahan barat menghadirkan
kisah-kisah kaum perempuan, muda dan tinggal di kota (urban). Isinya
menceritakan diri mereka sendiri. Gejala itu segera menjalar ke Indonesia,
bahkan kemudia muncul penulis yang amat belia, para remaja yang karyanya
dikelompokkan dalam karya teenlit.
Namun, terlepas dari itu semua, menulis sendiri sudah
memberikan pembelajaran bagaimana mengelola kesebaran. Bagaimana dengan cara
membaca, membaca, membaca, menulis. Kemudian, setelah menulis, baca lagi, lagi,
lagi, edit. Selanjutnya edit, edit, edit, sempurnakan, dan publikasikan.
Dari proses ini juga kita melihat secara sadar atau
tidak , peserta didik dilatih untuk lebih hati-hati. Ketelitian dan
kehati-hatian akan membentuk karakter anak hati-hati berbicara, bersikap dan
berbuat dalam hidup dan kehidupan.
Sementara pada proses yang lain, ketika ia menulis
sastra, selain kesabaran dan kehati-hatian, peserta didik dilatih
memperhalusnya. Jhon F, Kennedy, mantan presiden Amerika pernah mengatakan,
jika politik itu kejam, maka puisi (sastra) yang akan menghaluskannya.
Hal ini berarti, bahwa kesabaran, ketelitian dan kesantunan
sangat penting dalam memupuk, membina dan mengarahkan anak (peserta didik)
menjadi manusia yang berkarakter dan berbudi pekerti halus.
Lihat saja betapa terpuruknya negeri ini dengan
kasus-kasus yang terjadi sekarang ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, pemerkosaan,
mutilasi, dsb. Selain itu free sex kaum pelajar yang cukup mencengangkan kita.
Narkotikan dan obat-obatan terlarang juga seolah menjadi konsumsi sebagai
‘penanda’ kemoderenan. Termasuk dengan maraknya Geng-Geng Motor.
Sekarang ini begitu terasanya pengaruh negatif dari
Geng-Geng Motor akan menimbulkan pengaruh negatif lainya. Tidak hanya sekadar pengrusakan dan
penganiayaan, tetapi bisa lebih dari itu pembakaran, bahkan pembunuhan. Dari
hal ini, kekhawatiran lain bisa saja muncul. Masyarakat akan terbiasa tidak
lagi mempercayai hukum. Sehingga pada titik kejenuhannnya, justru Geng-Geng
Motor ini akan menjadi bulan-bulanan masyarakat. Bisa juga justru yang tidak
bersalah dari kedua belah pihak ikut mengalami imbasnya.
Sementara kesibukan orangtua dengan segala aktivitas
dan rutinitasnya membuat mereka menciptakan jarak dalam membimbing dan
mengarahkan anak-anak mereka secara sungguh-sungguh. Alasan ekonomi selalu
menjadi dasar utama keterpurukan ini,
Akhirnya, kita tentu dapat memahami bagaimana
pendidikan karakter ini harus secara sungguh-sungguh dan serius kita jalani.
Selain penyaluran-penyaluran hobi yang positif, bimbingan orangtua, perhatian
guru dan sekolah, menulis juga dapat menjadi pilihan yang tepat. Cocok?
*Penulis adalah Guru dan Dosen Panca
Budi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar