Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

MEMAHAMI SENI BUDAYA YANG BERLANDASKAN ISLAM




Workshop Teater, Sinetron, dan Film Lesbumi :
MEMAHAMI SENI BUDAYA YANG BERLANDASKAN ISLAM
Oleh : M. Raudah Jambak, S. Pd

Sifat kebudayaan yang pragmatis atau lebih dikenal dengan kebudayaan populer, kini menjadi tantangan bagi Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) untuk menghasilkan kebudayaan dan kesenian yang manusiawi dan berkualitas.
Sejak awal berdirinya, Lesbumi tidak hanya hidup untuk berkesenian seperti prinsip yang dimiliki oleh Manikebu dengan prinsip art for art atau berkesenian untuk kesenian sementara Lesbumi prinsipnya art for humanity atau seni untuk kemanusiaan. “Apakah ini masih bisa kita pegangi terus atau kita ikut manikebu yang indah-indah, yang bagus-bagus, tanpa ada misi-misi kebudayaan dan moral tertentu
Lembaga seniman budayawan muslimin Indonesia  (Lesbumi) merupakan lembaga seni-budaya yang di usung oleh NU pada tahun 1950-1960-an. Di lembaga itu para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul. Lembaga ini sempat stagnan hingga pasca pemerintahan Soeharto.
Lesbumi, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama) saat organisasi ini menjadi partai politik tahun 1960-an.Kehadiran Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern jika dilihat dari pandangan NU melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap seni budaya, dan modern jika dilihat dari personifikasi ketiga tokoh pendirinya: Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Inilah respons NU terhadap modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam konteks “kemusliman” melalui pendefinisian ulang seni-budaya “Islam”.
Agama dewasa ini, demikian menurut Al-Zastrow, terjebak dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.
Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program utamanya adalah, melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan hampir hilang. Pembentukan Lesbumi secara bertahap akan dilakukan di seluruh Jawa dan Sumatra.
Adalah tiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memprakarsai berdirinya Lesbumi di lingkungan NU. Ketokohan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani di bidang sinematografi tidak diragukan lagi. Berbagai terobosan telah dilakukan oleh ketiga tokoh ini di bidang sinematografi, mulai dari mendirikan industri film, mengikuti festival-festival film di luar negeri, menyelenggarakan festival film di dalam negeri dan meletakkan dasar kerjasama kebudayaan yang dapat mempertinggi mutu seni film Indonesia. Sementara itu, basis massa NU memiliki latar belakang seni budaya yang sering disebut ‘tradisional’.
Persentuhan NU dengan Lesbumi, dengan demikian, telah mendorong warga NU untuk berkecimpung di dunia seni ‘kontemporer’ seperti seni lukis, seni drama, sastra dan film.
Di samping upaya ‘pemodernan’ di bidang seni budaya yang coba dilakukan oleh seniman budayawan Lesbumi, persoalan utama yang nampaknya dihadapi oleh tokoh-tokoh Lesbumi, seperti Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani, ketika bergaul dengan komunitas seni nahdliyyin adalah bagaimana memadukan tradisi seni budaya yang ‘modern’ sekaligus ‘religius’, suatu pemaduan yang dalam pandangan Asrul Sani dinyatakan sebagai ‘keharusan baru’ bagi kehidupan seni budaya Indonesia.
Satu prestasi awal penting Lesbumi membawa nuansa ‘religius’ ke dalam dunia perfilman Indonesia adalah diproduksinya film bertema haji: "Panggilan Tanah Sutji" (1964). Pada saat film ini diputar di bioskop-bioskop, banyak warga NU dari kalangan pesantren yang mengapresiasi secara positif kecenderungan yang sama sekali baru ini. Menonton film di bioskop menjadi sesuatu yang biasa bahkan di kalangan santri dan kiai meski mereka menonton dengan mengenakan sarung dan peci. Bagi pengamat budaya waktu itu, peristiwa ini merupakan fenomena yang sangat luar biasa. Sebab, warga NU yang diidentikkan dengan kaum tradisionalis mampu mengapresiasi produk seni budaya dari kalangan modernis.
Melalui perkenalan pertamanya dengan film "Panggilan Tanah Sutji" inilah, warga NU kemudian terbiasa mengapresiasi film-film lain garapan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memang berkualitas, baik dari segi penceritaan maupun garapan sinematografisnya meski tidak selalu bertema "islami".
Realitas ini meniscayakan Lesbumi memfungsikan diri sebagai taman budaya dan – meminjam istilah Denys Lombard – "laboratorium istimewa".
Sebab, Lesbumi dapat menjadi tempat pendampingan dua sistem kesenian yang berbeda, menjadi tempat kontestasi seni budaya modern dan tradisional sekaligus. Fenomena ini menampakkan ketiadaan konfrontasi dalam arti yang sebenarnya antara tradisionalitas dan modernitas dan belum tentu akan diupayakan sintesis, sesuatu yang memang sangat sulit untuk dilakukan.
Meski secara institusioanal Lembaga belum diaktifkan, namum secara faktual, di beberapa daerah, ativitas berkesenian masyarakat Islam masih terus berjalan. Karena maraknya aktivitas kesenian yang dilakukan oleh aktivis Islam di beberapa daerah, dan munculnya kebutuhan untuk melestarikan dan menjadikan kesenian sebagai media sosialisasi nilai ke-Islam-an.
Maka pada hari sabtu dan minggu (5-6 Maret 2011), Lesbumi Sumatera Utara dalam rangka menyemarakkan Harlah Nahdlatul Ulama ke-85, Pengurus Wilayah Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (LESBUMI). Melaksanakan Workshop Teater, Sinetron dan Film untuk remaja, pelajar, dan Mahasiswa se-Sumatera Utara.
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 5-6 Maret  2011, pukul 10.00-16.00 WIB. Acara ini nantinya akan diasuh oleh beberapa orang instruktur, seperti : Bapak Ir. H. Usman Lubis (Sesepuh/Tokoh NU), M. Raudah Jambak (Teaterawan/Sastrawan), H. Amsyal Budi Agung (Sineas/Produser), Adhek Hermansyah Nasution (Teaterawan dari Lesbumi Jatim dan SSP Gresik). Kegiatan ini   dibuka oleh wakil ketua tanfidziyah Pengurus NU Sumut Bapak Drs. H. Abdullah Nasution, mewakili Ketua  Tanfidziyah PW-NU Sumut Bapak H. Ashari Tambunan.
Kegiatan Work Shop ini merupakan kegiatan awal Lesbumi Sumatera Utara dengan harapan akan membina para siswa memahami Seni Teter, Sinetron dan Film yang berlandaskan Islam, seperti yang disampaikan oleh Ketua Lesbumi Sumut Bapak H. Dahri Uhum Nasution.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar