Workshop Teater, Sinetron,
dan Film Lesbumi :
MEMAHAMI SENI BUDAYA YANG
BERLANDASKAN ISLAM
Oleh : M. Raudah Jambak, S. Pd
Sifat
kebudayaan yang pragmatis atau lebih dikenal dengan kebudayaan populer, kini
menjadi tantangan bagi Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) untuk
menghasilkan kebudayaan dan kesenian yang manusiawi dan berkualitas.
Sejak
awal berdirinya, Lesbumi tidak hanya hidup untuk berkesenian seperti prinsip
yang dimiliki oleh Manikebu dengan prinsip art for art atau berkesenian
untuk kesenian sementara Lesbumi prinsipnya art for humanity atau seni
untuk kemanusiaan. “Apakah ini masih bisa kita pegangi terus atau kita ikut
manikebu yang indah-indah, yang bagus-bagus, tanpa ada misi-misi kebudayaan dan
moral tertentu
Lembaga
seniman budayawan muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga seni-budaya yang
di usung oleh NU pada tahun 1950-1960-an. Di lembaga itu para seniman dan
budayawan muslim NU berkumpul. Lembaga ini sempat stagnan hingga pasca
pemerintahan Soeharto.
Lesbumi,
Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, adalah sebuah lembaga
kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama) saat organisasi
ini menjadi partai politik tahun 1960-an.Kehadiran Lesbumi dianggap sebagai
penanda kemodernan di tubuh NU. Modern jika dilihat dari pandangan NU melalui
Lesbumi yang sama sekali baru terhadap seni budaya, dan modern jika dilihat
dari personifikasi ketiga tokoh pendirinya: Djamaluddin Malik, Usmar Ismail,
dan Asrul Sani. Inilah respons NU terhadap modernitas, terutama menyangkut
relasi agama dan politik dalam konteks “kemusliman” melalui pendefinisian ulang
seni-budaya “Islam”.
Agama
dewasa ini, demikian menurut Al-Zastrow, terjebak dalam ritualisme, simbolisme
dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari
sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang.
Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga
terkesan kering, keras, dan kaku.
Atas
keprihatinan inilah, maka Lesbumi membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari
para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah
kebudayaan Indonesia
dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau
memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat.
Program utamanya adalah, melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat,
bahkan yang langka dan hampir hilang. Pembentukan Lesbumi secara bertahap akan
dilakukan di seluruh Jawa dan Sumatra.
Adalah
tiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memprakarsai
berdirinya Lesbumi di lingkungan NU. Ketokohan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail
dan Asrul Sani di bidang sinematografi tidak diragukan lagi. Berbagai terobosan
telah dilakukan oleh ketiga tokoh ini di bidang sinematografi, mulai dari
mendirikan industri film, mengikuti festival-festival film di luar negeri,
menyelenggarakan festival film di dalam negeri dan meletakkan dasar kerjasama
kebudayaan yang dapat mempertinggi mutu seni film Indonesia. Sementara itu,
basis massa NU
memiliki latar belakang seni budaya yang sering disebut ‘tradisional’.
Persentuhan NU
dengan Lesbumi, dengan demikian, telah mendorong warga NU untuk berkecimpung di
dunia seni ‘kontemporer’ seperti seni lukis, seni drama, sastra dan film.
Di
samping upaya ‘pemodernan’ di bidang seni budaya yang coba dilakukan oleh
seniman budayawan Lesbumi, persoalan utama yang nampaknya dihadapi oleh
tokoh-tokoh Lesbumi, seperti Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani,
ketika bergaul dengan komunitas seni nahdliyyin adalah bagaimana memadukan
tradisi seni budaya yang ‘modern’ sekaligus ‘religius’, suatu pemaduan yang
dalam pandangan Asrul Sani dinyatakan sebagai ‘keharusan baru’ bagi kehidupan
seni budaya Indonesia.
Satu
prestasi awal penting Lesbumi membawa nuansa ‘religius’ ke dalam dunia
perfilman Indonesia
adalah diproduksinya film bertema haji: "Panggilan Tanah Sutji"
(1964). Pada saat film ini diputar di bioskop-bioskop, banyak warga NU dari
kalangan pesantren yang mengapresiasi secara positif kecenderungan yang sama
sekali baru ini. Menonton film di bioskop menjadi sesuatu yang biasa bahkan di
kalangan santri dan kiai meski mereka menonton dengan mengenakan sarung dan
peci. Bagi pengamat budaya waktu itu, peristiwa ini merupakan fenomena yang
sangat luar biasa. Sebab, warga NU yang diidentikkan dengan kaum tradisionalis
mampu mengapresiasi produk seni budaya dari kalangan modernis.
Melalui
perkenalan pertamanya dengan film "Panggilan Tanah Sutji" inilah,
warga NU kemudian terbiasa mengapresiasi film-film lain garapan Djamaluddin
Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memang berkualitas, baik dari segi
penceritaan maupun garapan sinematografisnya meski tidak selalu bertema
"islami".
Realitas ini meniscayakan Lesbumi memfungsikan diri sebagai taman budaya dan – meminjam istilah Denys Lombard – "laboratorium istimewa".
Realitas ini meniscayakan Lesbumi memfungsikan diri sebagai taman budaya dan – meminjam istilah Denys Lombard – "laboratorium istimewa".
Sebab,
Lesbumi dapat menjadi tempat pendampingan dua sistem kesenian yang berbeda,
menjadi tempat kontestasi seni budaya modern dan tradisional sekaligus.
Fenomena ini menampakkan ketiadaan konfrontasi dalam arti yang sebenarnya
antara tradisionalitas dan modernitas dan belum tentu akan diupayakan sintesis,
sesuatu yang memang sangat sulit untuk dilakukan.
Meski
secara institusioanal Lembaga belum diaktifkan, namum secara faktual, di
beberapa daerah, ativitas berkesenian masyarakat Islam masih terus berjalan. Karena
maraknya aktivitas kesenian yang dilakukan oleh aktivis Islam di beberapa
daerah, dan munculnya kebutuhan untuk melestarikan dan menjadikan kesenian
sebagai media sosialisasi nilai ke-Islam-an.
Maka
pada hari sabtu dan minggu (5-6 Maret 2011), Lesbumi Sumatera Utara dalam
rangka menyemarakkan Harlah Nahdlatul Ulama ke-85, Pengurus Wilayah Lembaga
Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (LESBUMI). Melaksanakan Workshop Teater,
Sinetron dan Film untuk remaja, pelajar, dan Mahasiswa se-Sumatera Utara.
Kegiatan
ini dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu tanggal 5-6 Maret 2011, pukul 10.00-16.00 WIB. Acara ini
nantinya akan diasuh oleh beberapa orang instruktur, seperti : Bapak Ir. H.
Usman Lubis (Sesepuh/Tokoh NU), M. Raudah Jambak (Teaterawan/Sastrawan), H.
Amsyal Budi Agung (Sineas/Produser), Adhek Hermansyah Nasution (Teaterawan dari
Lesbumi Jatim dan SSP Gresik). Kegiatan ini
dibuka oleh wakil ketua tanfidziyah Pengurus NU Sumut Bapak Drs. H.
Abdullah Nasution, mewakili Ketua
Tanfidziyah PW-NU Sumut Bapak H. Ashari Tambunan.
Kegiatan
Work Shop ini merupakan kegiatan awal Lesbumi Sumatera Utara dengan harapan
akan membina para siswa memahami Seni Teter, Sinetron dan Film yang
berlandaskan Islam, seperti yang disampaikan oleh Ketua Lesbumi Sumut Bapak H.
Dahri Uhum Nasution.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar