Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Keprihatinan Sekolah Kolong Jembatan



Keprihatinan Sekolah Kolong Jembatan


Bocah usia 10 tahun itu duduk manis di bangku tua yang lusuh dan kumal. Tangannya memainkan pensil dan sesekali menorehkannya di atas buku tulis yang sudah keriting. Bisingnya deru kendaraan --yang lalu-lalang di atap sekolah-- tak membuatnya kehilangan konsentrasi. Bocah kelas dua sekolah dasar (SD) itu terus berusaha memecahkan soal matematika yang diberikan gurunya.
''Saya senang sekolah di sini,'' ujar Imam Safi'i, bocah tersebut, dengan malu-malu. Hari itu, ia bersekolah mengenakan sendal jepit butut berwarna oranye.
Meski bersekolah di kolong jalan tol Pluit, Imam dan sekitar 420 murid TK, SD, SMP, dan SMA Kartini itu tetap riang dan bersemangat belajar. Mereka berasal dari masyarakat miskin yang tinggal di gubuk-gubuk sekitar bilangan Ancol, Jakarta Utara.
Kemiskinan yang menjerat kehidupan orang tua mereka membuat Imam dan kawan-kawannya harus rela belajar di kolong jalan. ''Mau bagaimana lagi, yang penting saya bisa bersekolah,'' tutur Sean Prayoga, siswa kelas V SD. Ya, buat mereka bisa bersekolah saja sudah merupakan berkah yang tiada terhingga.
Di sekolah darurat yang didirikan Yayasan Kartini itu, mereka bisa bersekolah tanpa dipungut biaya alias gratis. ''Semua biaya, kita yang menanggung,'' ungkap Sri Rosiati dan Sri Irianingsih --pengelola sekolah darurat itu-- yang akrab disapa Ibu Kembar. Mulai dari buku, seragam, alat tulis, hingga makanan, semua diberikan secara cuma-cuma.
Sekitar pukul 07.30 WIB, jam pelajaran sudah dimulai. Siswa taman kanak-kanak menempati ruang terbuka. Mereka belajar dan bermain menggunakan kursi dan meja mungil terbuat dari plastik. Sedangkan siswa SD belajar di ruang-ruang kelas seadanya yang disekat dengan kayu tipis dan sudah tampak kumal.
Di setiap ruang kelas, terdapat 12 meja belajar terbuat dari kayu yang telah usang dan kumal. Setiap bangku, diisi tiga siswa. Lantai ruangan pun sudah hancur. Malah tiga ruangan dipenuhi batu dan potongan bata-bata bekas. Sementara, tempat belajar siswa SMP dan SMA berhimpitan tanpa sekat. Yang membedakan, hanya papan tulis putih atau white board yang dipasang secara terpisah. Mereka diajar oleh 14 tenaga guru.
Sepintas lalu, kebanyakan orang pasti meremehkan kualitas sekolah khusus orang-orang miskin itu. Orang yang berpikir seperti itu pasti akan kaget dan terpukau pada sekolah kolong jembatan itu. ''Kami mengajarkan mereka, apa yang diajarkan di sekolah internasional,'' papar Rosi, panggilan akrab Sri Rosiati.
Karena itu, siswa SD kelas satu dan dua di sekolah tersebut ternyata sudah biasa memecahkan soal-soal matematika yang diajukan Ibu Kembar dengan cara bercerita. ''Ibu membeli lima ikat sayur bayam, kemudian bapak membeli lagi 17 ikat sayur bayam. Berapa ikat bayam yang dibeli ibu dan bapak?'' tanya Rosi.
Tak lama kemudian, anak-anak yang polos itu segera menyerahkan buku tulis mereka untuk dinilai. Setelah semua beres dinilai, Rosi pun segera menjelaskannya di white board. ''Anak-anak, kalau yang dibeli bayam, maka kalian harus menuliskannya lima ikat bayam. Karena bayam tak sama dengan rumput. Apakah kalian mau, kalau membeli bayam kemudian diberi rumput?''
Setiap pukul 09.00 WIB, atau saat jam istirahat pertama tiba, murid-murid sekolah darurat Kartini diajari masak-memasak. Di setiap ruang kelas, terdapat tungku yang terbuat dari bata merah. Mereka memasak menggunakan kayu. Selasa (1/5) lalu, saat Republika mengikuti kegiatan mereka, para siswa tampak asyik menggoreng pisang dan merebus singkong. Setelah itu, mereka pun ramai-ramai menikmati hidangan yang telah mereka masak.
Tak heran bila kebanyakan siswi SD sudah bisa memasak dan membuat kue-kue seperti yang dijual di toko-toko. Fauziah Amalia Damayanti, misalnya, siswa kelas IV SD itu sudah pintar membuat kue-kue kering. ''Saya paling suka membuat kue nastar,'' ungkap dia. Fauziah mengaku sudah diajari memasak sejak kelas satu.
Bolu kukus dan kue kering buatan mereka tak kalah dengan kue serupa yang dijual di pasar. ''Kita ajarkan mereka keterampilan agar mereka kelak memiliki keahlian. Untuk bisa terbebas dari kemiskinan, mereka harus memiliki keahlian,'' tutur Rosi. Selain diajari memasak, siswa di sekolah darurat Kartini juga dibekali keterampilan mencuci, menjahit, merias pengantin, hingga bengkel. ''Sehingga, begitu mereka duduk di bangku SMP dan SMA, mereka sudah bekerja dan menghasilkan uang,'' papar Rian. Tak heran bila siswa SMA sudah ada yang bekerja di supermarket besar sebagai kasir. Selain itu, ada pula yang bekerja di toko kue.
Sudah sekitar 11 tahun sekolah darurat Kartini berdiri. Ribuan anak miskin telah menikmati pendidikan gratis yang disediakan Yayasan Kartini. Satu hari menjelang peringatan Hari Pendidikan 2 Mei 2007, Ibu Kembar sempat melontarkan keprihatinannya, ''Selama ini, pemerintah tak pernah membantu kita. Kami khawatir, bila suatu saat kami sudah tak ada, lalu mereka akan belajar di mana?'' Sekolah darurat yang mereka bangun, kini hanya tinggal di kolong jalan tol Pluit. Tiga sekolah darurat lainnya sudah digusur pemerintah daerah pada 2004.
Setelah tiga sekolah darurat digusur, anak-anak miskin itu kebanyakan tak lagi bersekolah. ''Konstitusi 'kan memberi amanat bahwa pendidikan orang miskin dibiayai negara. Masak untuk ikut ujian paket B dan C saja, anak-anak harus bayar Rp 150 ribu per orang. Padahal, ada 100 siswa yang akan ikut ujian. Berapa uang yang harus kami keluarkan untuk membayar ujian mereka?''
Seharusnya, kata Ibu Kembar, pemerintah membebaskan mereka dari pungutan biaya ujian. Karena, kebutuhan belajar mereka sehari-hari sudah ditanggung yayasan. Mereka pun mempertanyakan aliran dana APBN yang bernilai puluhan triliun untuk pendidikan.
(heri ruslan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar