Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Matahari Di Negeri Kabut




“Rumah Puisi” Taufiq Ismail
Matahari Di Negeri Kabut
Oleh: Hasan Al Banna
(Bagian Pertama)

Kepada Singgalang bertanya aku
Wahai gunung masa kanakku
Di lututmu kampung ibuku
Kenapa indahmu dari dahulu
Tak habis-habis jadi rinduku?

Kepada Merapi berkata aku
Wahai gunung masa bayiku
Di telapakmu kampung ayahku
Kenapa gagahmu dari dahulu
Tak habis-habis dalam ingatanku

......
                 (Puisi Taufiq Ismail “Dua Gunung Kepadaku Bicara”)

* * *
Dua dari tiga Sastrawan Tamu asal Medan (Sumut) yang diundang Taufiq Ismail untuk berkhidmat di “Rumah Puisi” 13—18 Januari 2011, yaitu penulis dan A. Rahim Qahhar (sedangkan Damiri Mahmud berhalangan hadir) berkesempatan mengenal lebih jauh dan bahkan terlibat dalam program-program “Rumah Puisi”.
Sebelumnya, sejak diresmikan 19 Desembar 2008, Sastrawan Tamu yang telah tampil di Rumah Puisi antara lain, Wisran Hadi (Padang), Gus tf (Payakumbuh), Maman S. Mahayana (Jakarta), Haris Effendi Tahar (Padang), D. Zawawi Imron (Madura), Ahmad Tohari (Purwokerto), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Joni Ariadianata (Yogyakarta), Jamal D Rahman (Jakarta), Agus  R Sarjono (Jakarta), Aspar Paturusi (Makassar), Iman Soleh (Bandung) dan secara terprogram Desember tahun 2010 lalu  menghadirkan sekaligus tiga sastrawati, yakni Rayani Sriwidodo (Jakarta), Abidah el-Khalieqy (Yogyakarta) dan Nenden Lilis A (Bandung).
Melafazkan nama Taufiq Ismail tak bisa dilepaskan dari menderetkan banyak hal yang telah disumbangkannya (baik karya maupun gagasan/pemikiran) untuk bangsa Indonesia. Sastrawan peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003) dan Universitas Indonesia (2009) pun belum juga kelelahan ‘mendermakan’ gagasannya. Ya, meskipun sudah berusia 75 tahun, Taufiq masih bersemangat belia!
Tersebut di atas tanah berbukit seluas 3000 meter persegi, Taufiq Ismail dan istrinya Ati Ismail menegakkan sebuah bangunan kubus berdinding kaca yang kemudian dikasih nama “Rumah Puisi”. Bertolak dari kekaguman pada kampung halamannya, “Rumah Puisi” didirikan Taufiq di antara Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Jl. Raya Padang Panjang-Bukittinggi Km 6. Oleh api semangat latar belakang pendiriannya, “Rumah Puisi” begitu hangat meski harus dikelilingi kabut Merapi dan Singgalang.
Secara umum, “Rumah Puisi” yang memamerkan 7.000 koleksi buku didaulat sebagai perpustakaan. Namun sesungguhnya, “Rumah Puisi” tidak semata gedung perpustakaan pribadi Taufiq. Lebih dari itu, bangunan ini didirikan untuk mendongkrak mutu budaya baca dan budaya menulis anak bangsa. Demikian pula nama “Rumah Puisi” tidak bermakna bahwa kegiatannya seolah-olah bersinggungan dengan puisi saja. “Rumah Puisi” merangkum seluruh aktivitas yang bersangkutan dengan literatur dan literasi, karya sastra, pembacaan dan latihan penulisannya, dengan beragam keindahan puitik sebagai intinya.
Oleh karena itu, “Rumah Puisi” didirikan sebagai pusat pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia, kegiatan membaca dan berlatih menulis siswa Sanggar Sastra, mengundang Sastrawan Tamu untuk berinteraksi dengan guru dan siswa. Sederet program tersebut lahir dari kecemasan Taufiq, juga sastrawan-sastrawan lainnya, atas kondisi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Taufiq cemas terhadap pengajaran kaidah-kaidah bahasa yang persis dengan menjajarkan rumus kimia inorganik dan organik lengkap dengan penjelasan mata rantai hubungan unsur-unsur zatnya, yang wajib dihafalkan. Cara berbahasa dikendalikan dengan formula mirip ilmu alam dan matematika. Rumus diberikan, formula disodorkan, lalu siswa disuruh membuat 3 contoh kalimat terutama di SD, SMP dan di SMA.
Padahal menurut Taufiq, siswa harus dilatih menulis sebagai catatan dan analisis fakta, mengarang sebagai ekspresi diri, mencipta sebagai kreasi estetika. Siswa harus lahap membaca dan memiliki kemampuan menulis meskipun kelak bekerja atau berkarier di bidang yang beragam. Di negara-negara maju seperti Inggris, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, aktivitas membaca karya-karya sastra dan mengarang di sekolah lebih dominan ketimbang belajar tata bahasa. Di SMA 11 negara, tata bahasa tidak diajarkan lagi, kecuali di SD atau di SMP.
Apa pentingnya membaca karya sastra dan mengarang?
“Tentu penting, dan sangat penting,” kata Taufiq. Taufiq menjelaskan bahwa, “Kecintaan membaca buku dalam bidang apapun, secara awal ditumbuhkan melalui kecintaan membaca karya sastra. Demikianlah pembibitan awal kebiasaan membaca dilakukan di seluruh dunia yang beradab. Latihan menulis yang terus-menerus dapat mengantarkan siswa menulis karya sastra, kalau dia berminat, tetapi kalau tidak, dia akan memiliki kemampuan menulis secara umum. Dia akan menjadi insan yang cinta sampai adiksi buku, merasa perpustakaan sebagai rumahnya yang kedua, dan mampu menulis dalam bidang profesinya masing-masing. Bila kelak dia menjadi arsitek, pelaku bisnis, guru, spesialis bedah, Kepala Direktorat, pakar agronomi, Komandan Resimen, wartawan, pilot antar benua, ibu rumah tangga, dan seterusnya, maka dia adalah profesional yang rujukan utamanya buku bacaan dan mampu menulis dalam spesialisnya masing-masing.
Kalau kelak di antara mereka, satu di antara seratus, ada yang menjadi penyair, cerpenis, dramawan dan esais terkemuka, tentu itu sangat disyukuri.”
Ada hal menarik yang dipaparkan Taufiq terkait proses pembelajaran bahasa di sebuah sekolah Internasional. Di SD Internasional Jalan Pattimura, Jakarta, sejak kelas 1 s.d. kelas 6 setiap hari siswa dibacakan novel anak pagi-pagi di awal pelajaran dan sore hari di akhir pelajaran, masing-masing 15 menit, untuk dinikmati siswa. Para siswa tidak dibebankan untuk mencatat, atau untuk siap-siap diujikan, tidak! Dalam waktu satu tahun, sekitar 50 novel tamat dibacakan. Sampai tamat sekolah, siswa akan mendengar 300 nocel yang dibacakan gurunya. Kemudian setiap hari ada pelajaran mengarang, satu judul dikerjakan dua siswa bersama-sama, selesai 2 minggu. Panjang karangan sekitar 5 halaman digambari dengan krayon berwarna. Tatabahasa dicek guru dalam karangan. Di SD internasional tersebut, mengarang pun merupakan media pembelajaran tatabahasa. Hal demikian tidak diajarkan seperti di SD Indonesia.
Fakta ini makin meyakinkan Taufiq untuk terus mendobrak kebiasaan yang berlangsung di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, sejak 1996 Taufiq dkk, terus melakukan Gerakan Membaca Sastra ke Sekolah, juga senantiasa menyeru kepala Kemdiknas, khususnya Pusat Kurikulum, untuk mempertimbangkan sumbangsih terkait pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di lembaga pendidikan. Intinya, anak-anak bangsa harus digiring gemar membaca dan rajin menulis dengan cara, yang bagi Taufiq, sederhana seperti di bawah ini.
a.       Membaca buku, membaca buku, membaca buku.
b.      Menulis karangan, menulis karangan, menulis karangan.
c.       Tata bahasa yang mereka pelajari di SD-SMP, diperiksa melalui karangan mereka.
d.      Guru bahasa dan sastra di SMA tidak lagi, jangan lagi mengajakan tatabahasa dengan cara lama.
e.       Tata bahasa yang diajarkan di SMA sekarang cocok diajarkan kepada siswa atau mahasiswa asing saja, yang ketika lahir dan besar tak mendengar bahasa Indonesia.
f.       Guru kita persiapkan untuk menguasai seluruh buku sastra, sehingga mampu mendiskusikannya di kelas dengan leluasa.
g.      Guru kita persiapkan membimbing siswa agar mampu menulis karangan dengan baik.
h.      Perpustakaan SMA kita lengkapi dengan buku-buku sastra yang disebut dalam kurikulum sehingga orangtua siswa tak perlu membelinya.
bersambung...

Penulis adalah sastrawan, staf Balai Bahasa Medan,
dan dosen luar biasa di FBS Universitas Negeri Medan (Unimed).

Ket. Foto: “Rumah Puisi” Taufiq Ismail di Negeri Aie Angek, di antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. (Foto: Hasan Al Banna)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar