“Rumah Puisi” Taufiq Ismail
Matahari Di
Negeri Kabut
Oleh: Hasan Al Banna
(Bagian
Pertama)
Kepada Singgalang bertanya aku
Wahai gunung masa kanakku
Di lututmu kampung ibuku
Kenapa indahmu dari dahulu
Tak habis-habis jadi rinduku?
Kepada Merapi berkata aku
Wahai gunung masa bayiku
Di telapakmu kampung ayahku
Kenapa gagahmu dari dahulu
Tak habis-habis dalam ingatanku
......
(Puisi Taufiq Ismail “Dua
Gunung Kepadaku Bicara”)
* * *
Dua
dari tiga Sastrawan Tamu asal Medan (Sumut) yang diundang Taufiq Ismail untuk
berkhidmat di “Rumah Puisi” 13—18 Januari 2011, yaitu penulis dan A. Rahim
Qahhar (sedangkan Damiri Mahmud berhalangan hadir) berkesempatan mengenal lebih
jauh dan bahkan terlibat dalam program-program “Rumah Puisi”.
Sebelumnya,
sejak diresmikan 19 Desembar 2008, Sastrawan Tamu yang
telah tampil di Rumah Puisi antara lain, Wisran Hadi (Padang), Gus tf (Payakumbuh), Maman S. Mahayana (Jakarta),
Haris Effendi Tahar (Padang), D. Zawawi Imron (Madura), Ahmad
Tohari (Purwokerto), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Joni Ariadianata
(Yogyakarta), Jamal D Rahman (Jakarta), Agus
R Sarjono (Jakarta), Aspar Paturusi (Makassar), Iman Soleh (Bandung) dan
secara terprogram Desember tahun 2010 lalu
menghadirkan sekaligus tiga sastrawati, yakni Rayani Sriwidodo (Jakarta),
Abidah el-Khalieqy (Yogyakarta)
dan Nenden Lilis A (Bandung).
Melafazkan
nama Taufiq Ismail tak bisa dilepaskan dari menderetkan banyak hal yang telah
disumbangkannya (baik karya maupun gagasan/pemikiran) untuk bangsa Indonesia.
Sastrawan peraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta
(2003) dan Universitas Indonesia (2009) pun belum juga kelelahan ‘mendermakan’ gagasannya.
Ya, meskipun sudah berusia 75 tahun, Taufiq masih bersemangat belia!
Tersebut
di atas tanah berbukit seluas 3000 meter persegi, Taufiq Ismail dan istrinya
Ati Ismail menegakkan sebuah bangunan kubus berdinding kaca yang kemudian dikasih
nama “Rumah Puisi”. Bertolak dari kekaguman pada kampung halamannya, “Rumah
Puisi” didirikan Taufiq di antara Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, Nagari
Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Jl. Raya Padang
Panjang-Bukittinggi Km 6. Oleh api semangat latar belakang pendiriannya, “Rumah
Puisi” begitu hangat meski harus dikelilingi kabut Merapi dan Singgalang.
Secara
umum, “Rumah Puisi” yang memamerkan 7.000 koleksi buku didaulat sebagai
perpustakaan. Namun sesungguhnya, “Rumah Puisi” tidak semata gedung
perpustakaan pribadi Taufiq. Lebih dari itu, bangunan ini didirikan untuk mendongkrak mutu budaya baca dan
budaya menulis anak bangsa. Demikian pula nama “Rumah Puisi” tidak bermakna
bahwa kegiatannya seolah-olah bersinggungan dengan puisi saja. “Rumah Puisi”
merangkum seluruh aktivitas yang bersangkutan dengan literatur dan literasi,
karya sastra, pembacaan dan latihan penulisannya, dengan beragam keindahan
puitik sebagai intinya.
Oleh karena itu, “Rumah Puisi” didirikan sebagai pusat
pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia, kegiatan membaca dan berlatih
menulis siswa Sanggar Sastra, mengundang Sastrawan Tamu untuk berinteraksi
dengan guru dan siswa. Sederet program tersebut lahir dari kecemasan Taufiq,
juga sastrawan-sastrawan lainnya, atas kondisi pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia.
Taufiq cemas terhadap pengajaran kaidah-kaidah bahasa yang
persis dengan menjajarkan rumus kimia inorganik dan organik lengkap dengan
penjelasan mata rantai hubungan unsur-unsur zatnya, yang wajib dihafalkan. Cara
berbahasa dikendalikan dengan formula mirip ilmu alam dan matematika. Rumus
diberikan, formula disodorkan, lalu siswa disuruh membuat 3 contoh kalimat
terutama di SD, SMP dan di SMA.
Padahal menurut Taufiq, siswa harus dilatih menulis sebagai
catatan dan analisis fakta, mengarang sebagai ekspresi diri, mencipta sebagai
kreasi estetika. Siswa harus lahap membaca dan memiliki kemampuan menulis
meskipun kelak bekerja atau berkarier di bidang yang beragam. Di negara-negara
maju seperti Inggris, Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, aktivitas membaca
karya-karya sastra dan mengarang di sekolah lebih dominan ketimbang belajar tata
bahasa. Di SMA 11 negara, tata bahasa tidak diajarkan lagi, kecuali di SD atau
di SMP.
Apa pentingnya membaca karya sastra dan mengarang?
“Tentu penting, dan sangat penting,” kata Taufiq.
Taufiq menjelaskan bahwa, “Kecintaan membaca buku dalam bidang apapun, secara
awal ditumbuhkan melalui kecintaan membaca karya sastra. Demikianlah pembibitan
awal kebiasaan membaca dilakukan di seluruh dunia yang beradab. Latihan menulis
yang terus-menerus dapat mengantarkan siswa menulis karya sastra, kalau dia berminat,
tetapi kalau tidak, dia akan memiliki kemampuan menulis secara umum. Dia akan
menjadi insan yang cinta sampai adiksi buku, merasa perpustakaan sebagai
rumahnya yang kedua, dan mampu menulis dalam bidang profesinya masing-masing.
Bila kelak dia menjadi arsitek, pelaku bisnis, guru, spesialis bedah, Kepala
Direktorat, pakar agronomi, Komandan Resimen, wartawan, pilot antar benua, ibu
rumah tangga, dan seterusnya, maka dia adalah profesional yang rujukan utamanya
buku bacaan dan mampu menulis dalam spesialisnya masing-masing.
Kalau kelak di antara mereka, satu di antara
seratus, ada yang menjadi penyair, cerpenis, dramawan dan esais terkemuka,
tentu itu sangat disyukuri.”
Ada hal menarik yang dipaparkan Taufiq terkait
proses pembelajaran bahasa di sebuah sekolah Internasional. Di SD Internasional
Jalan Pattimura, Jakarta, sejak kelas 1 s.d. kelas 6 setiap hari siswa
dibacakan novel anak pagi-pagi di awal pelajaran dan sore hari di akhir
pelajaran, masing-masing 15 menit, untuk dinikmati siswa. Para siswa tidak
dibebankan untuk mencatat, atau untuk siap-siap diujikan, tidak! Dalam waktu
satu tahun, sekitar 50 novel tamat dibacakan. Sampai tamat sekolah, siswa akan
mendengar 300 nocel yang dibacakan gurunya. Kemudian setiap hari ada pelajaran
mengarang, satu judul dikerjakan dua siswa bersama-sama, selesai 2 minggu.
Panjang karangan sekitar 5 halaman digambari dengan krayon berwarna. Tatabahasa
dicek guru dalam karangan. Di SD internasional tersebut, mengarang pun
merupakan media pembelajaran tatabahasa. Hal demikian tidak diajarkan seperti
di SD Indonesia.
Fakta ini makin meyakinkan Taufiq untuk terus
mendobrak kebiasaan yang berlangsung di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, sejak
1996 Taufiq dkk, terus melakukan Gerakan
Membaca Sastra ke Sekolah, juga senantiasa menyeru kepala Kemdiknas,
khususnya Pusat Kurikulum, untuk mempertimbangkan sumbangsih terkait pendidikan
bahasa dan sastra Indonesia di lembaga pendidikan. Intinya, anak-anak bangsa harus
digiring gemar membaca dan rajin menulis dengan cara, yang bagi Taufiq,
sederhana seperti di bawah ini.
a.
Membaca
buku, membaca buku, membaca buku.
b.
Menulis
karangan, menulis karangan, menulis karangan.
c.
Tata
bahasa yang mereka pelajari di SD-SMP, diperiksa melalui karangan mereka.
d.
Guru
bahasa dan sastra di SMA tidak lagi, jangan lagi mengajakan tatabahasa dengan
cara lama.
e.
Tata
bahasa yang diajarkan di SMA sekarang cocok diajarkan kepada siswa atau
mahasiswa asing saja, yang ketika lahir dan besar tak mendengar bahasa
Indonesia.
f.
Guru
kita persiapkan untuk menguasai seluruh buku sastra, sehingga mampu
mendiskusikannya di kelas dengan leluasa.
g.
Guru
kita persiapkan membimbing siswa agar mampu menulis karangan dengan baik.
h.
Perpustakaan
SMA kita lengkapi dengan buku-buku sastra yang disebut dalam kurikulum sehingga
orangtua siswa tak perlu membelinya.
bersambung...
Penulis
adalah sastrawan, staf Balai Bahasa Medan,
dan
dosen luar biasa di FBS Universitas Negeri Medan (Unimed).
Ket. Foto: “Rumah Puisi” Taufiq Ismail di Negeri Aie Angek,
di antara Gunung Merapi dan Gunung Singgalang. (Foto: Hasan Al Banna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar