M. Raudah Jambak*
MEMBACA PERJALANAN SASTRA SASTRAWAN
SUMATERA UTARA
Beberapa waktu belakangan ini santer Hasan Al Banna diperbincangkan. Hal
itu muncul ketika omong-omong sastra beberapa waktu yang lalu Hasan Al Banna
didaulat sebagai pembicara. Mungkin, apakah karena Hasan Al Banna mencoba
keluar dari dirinya untuk mengkritisi Hasan Al Banna, sehingga karya, peristiwa
dan proses kreatif Hasan Al Banna mulai diulas. Dan sebagai bahan kritisi
ilmiah ini menarik. Tetapi kekhawatiran itu muncul jika kritik itu muncul tidak
berdasarkan objektivitas, tetapi subjektivitas. Lalu Sampan Zulaiha itu? Wah.
Sebenarnya, sebagaimana yang kita ketahui, Sumatera Utara masih tetap mendapat tempat di jagat
sastra Indonesia. Hal itu terbukti ketika nama Amir Hamzah, Chairil Anwar,
Sori Siregar, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Hamsad
Rangkuti, dsb, masih tetap menjadi bahan perbincangan sampai sekarang.
Perbincangan yang selalu ditelurkan seolah tidak pernah habis-habisnya
menyebabkan muncul kecumburuan sosial sastrawan tertentu (dalam hal ini
sastrawan yang kurang mendapat tempat) di kalangan sastra nasional.
Berangkat dari persoalan tersebut rasanya sah-sah saja pemikiran seperti
itu selalu muncul ke permukaan. Dekade Amir Hamzah mungkin sudah usai, tetapi
demammnya sampai sekarang belum lerai. Masa Chairil Anwar sudah habis, tetapi
auranya masih be lum terkikis.
Uniknya terlepas dari persoalan itu semua muncul sebuah pertanyaan,
bagaimana dengan sekarang? Apakah ada sastrawan Sumatera Utara yang mendapat
lirikan, bahkan tempat di singgasana sastra nasional? Atau bagaimana dengan
penghargaan untuk sastrawan? Siapa yang pantas? Yang sudah meninggal? Atau yang
masih hidup? Yang muda yang berkarya? Atau yang tua yang masih sibuk dengan
nostalgia kata-kata?
Seorang A. Rahim Qahhar sering berujar, bahwa beliau dan Damiri Mahmud
adalah layar terakhir yang berusaha bertahan dalam gejolak gelombang
keterpurukan sastra di Medan, khususnya. Untuk melaju menuju medan juang sastra
nasional. Dan sekarang mungkin berada di pundak Hasan Al Banna.
Pernyataan ini ada kemungkinan benar. Artinya, ketika kita melihat
produktifitas sastrawan yang berlangsung mandeg di kancah sastra nasional,
beliau muncul sebagai penjaga marwah sastrawan medan. Demikian juga halnya
Damiri Mahmud. Produktifitas yang tidak mengenal mati seolah menjadi pemicu
bagi sastrawan di medan untuk sama-sama berjuang maju.
Hanya saja yang perlu kita tilik dari persoalan
ini adalah siapa lagi angkatan beliau-beliau yang tetap terus eksis? Kita
mungkin sedikit berfikir berkerut kening. Rintik tetes di dahi menyudahi daftar
terakhir yang sulit kita jumpai.
Lalu, bagaimana angkatan setelah beliau? Ingatan kita tentu sampai pada nama-nama, seperti Idris Pasaribu, Tagor Anaxetianoor,
Choking Susilo Sakeh, Harta Pinem, Romulus ZI. Siahaan, Afrion Mahyuddin,
Yulhasni, YS. Rat, Saiful Hadi Jl, Suyadi San, Thompson HS, Ezra Dalimunthe,
Washa S. Nasution, Teja Purnama, Aisyah Bashar, Hasan
Al-Banna, T. Sandi Situmorang, Embar T. Nugroho, Irwan Effendi, Rina Mahfuzah,
Haya Aliya Zaki, Butet Betti Manurung, Januari Sihotang, dst, (mungkin masih banyak lagi yang
terlewati). Dari deretan beberapa nama ini tentu kita akan melihat sesuatu yang
menakjubkan.
Menakjubkan, maksudnya produktifitas yang mereka miliki (sempat) masih kita
rasakan. Kita tidak pernah lupa dengan Bokor Hutasuhut, Ali Sukardi, AA.
Bungga, BY. Tand, Lazuardi Anwar, NA. Hadian, R. Effendi KS, Sulaiman
Sambas, Maulana Samsuri Darwis Rifai Harahap, Herman KS., dsb.
Menakjubkan dalam artian bagaimana sosok Hasan Al-Banna memastikan dirinya
berada di singgasana sastra nasional dengan tulisan-tulisannya yang terus
muncul di KOMPAS, TEMPO, SUARA PEMBARUAN, REPUBLIKA, HORIZON, SUARA MERDEKA, GONG,
dsb. Menakjubkan bagaimana, Aisyah Bashar, Suyadi San, T. Sandi situmorang, Rina
Mahfuzah, dsb, juga menapakkan kaki di kacah media sastra nasional itu.
Menkjubkan juga beberapa diantara sastrawan medan ada yang tertidur pulas
dengan tugasnya rutinnya, sehingga lelah mereka untuk tetap menderu bagai
peluru menembus kancah sastra nasional.
A. Rahim Qahhar memang harus
terus berangkulan dengan
Damiri Mahmud. Idris Pasaribu masih melesatkan peluru. Hasan Al-Banna, Ilham Wahyudi, T. Sandi Situmorang, Embar T. Nugroho juga Wahyu Widji Astuti, Ria
Ristiana Dewi, Zuliana Ibrahim, Sartika Sari, Maulana Satria Sinaga, dll, masih belum lelah menanam bom-bom waktu. Walau
sesekali Ys. Rat masih menggeliat di waktu-waktu tertentu. Afrion masih
bergerilya dengan dirinya. Atau Thomson HS dengan opera bataknya. Termasuk dengan Mihar Harahap, Teja Purnama, Saiful
Hidayat, Hidayat Banjar,
Romulus ZI Siahaan yang diharapkan menjadi singa tidak hanya beberapa waktu yang silam? Kita yakin mereka masih mengumpulkan nuklir di lemari-lemari besi.
Tulisan-tulisan yang pernah muncul ke permukaan diharapkan terus menggugah perjuangan sastra di medan. Yulhasni
pernah ‘berbagi’ pendapat dengan Afrion. Darwis Rifai Harahap, Budi P. Hatees, Hidayat Banjar dan T.
Agus Khaidir terus mengasah belati kritik?
Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk menggurui. Kita hanya diajak untuk menggugah persoalan-persoalan yang sedang berlangsung di rumah sastra
medan. Memang dulu pernah ada FKS, OOS yang tetap bertahan, KSI
yang terus memahat dunia jungkir balik sastra, atau Komunitas HP yang (katanya) sering kehabisan pulsa, dsb.
Barangkali perlu ada beberapa hal yang perlu kita sikapi. Kekuatiran redupnya cahaya di rumah sastra medan, mungkin
terlalu banyak tangan yang merasa mampu untuk mengalirkan cahaya yang lebih
terang. Tetapi, persoalan yang terjadi selalu berhenti di dermaga kata-kata,
debat kusir, atau perasaan curiga. Mengira-kira tanpa
ada pertim bangan yang valid.
Pujian yang lahir dan
mengalir selalu ditujukan bagai orang-orang tertentu, kelompok-kelompok
tertentu, atas dasar like and dislike. Padahal mereka adalah kekayaan
yang masih kita miliki. Kekayaan yang harus kita jaga. Kekayaan yang harus kita
bina. Tanpa
harus pilih kasih. Objektifitas masih diselimuti subjektifitas yang berlebihan.
Memang Hasan Al-Banna
adalah mutiara kita saat ini, tetapi kita masih memiliki Ilham Wahyudi, Embar T. Nugroho, T. Sandi Situmorang, Rina Mahfuzah, Butet Betti manurung, Sartika Sari, Wahyudi WA, Ria RD, Maulana
SS, dsb. Orang-orang seperti inilah yang harus kita
jaga. Orang-orang seperti ini yang harus kita dukung. Orang-orang seperti
ini yang harus kita perjuangkan.
Hanya saja kenyataan di
belakang layar, kita masih selalu mengatasnamakan diri pribadi. Kita lebih
mementingkan kelompok kita. Kita masih sibuk bernostalgia dengan masa lalu yang
secara jujur kita katakan medan
perjuangan yang harus kita kuasai sudah berbeda. Mengapa kita tidak
bergandengan. Melangkah bersama untuk mengucapkan selamat tinggal debat kusir!
Selamat tinggal kemunafikan!
Mari, bersama kita bisa.
Demi kemajuan sastra di rumah sastra kita. Pernyataan kalau tidak karena saya musti
patut dibuang jauh-jauh. Diganti dengan kalau bukan kita yang memegang layar
sastra saat ini siapa lagi.
Kita patut berterimakasih
kepada Hasan Al-Banna yang sampai saat ini mewakili sastrawan Medan, Sumatera Utara umumnya, menjaga rumah
dan marwah sastra di dunia sastra nasional. Kita tidak perlu alergi untuk
mengangkat topi salute kepada A. Rahim Qahhar dan Damiri Mahmud yang
terus menerus digodam kenyataan ‘kebencian’ bertubi-tubi. Dan kita juga tidak
perlu ngeh kepada Idris Pasaribu yang tak pernah lelah menggodok dan
mengasah batu-batu menjadi seonggok mutiara yang berkilau. Kita juga tidak
perlu geli kepada Suyadi San yang juga tak pernah luntur memahat rebung menjadi
bambu yang runcing ujungnya. Atau Afrion yang masih asyik dengan
obsesi-obsesinya. Jujur bukankah itu kenyataannya?
Sebuah perjalanan pada
akhirnya akan sampai juga pada tujuannya. Terkadang tujuan itu seperti analogi yang agak
sulit kita terjemahkan. Karya merupakan tujuan akhir dari sebuah
perjalanan bersastra. Akhirnya, bukankah lebih baik meramu hidangan di dapur karya nyata daripada
berenang-renang di angin lisan kata-kata?
*Penulis, Direktur Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar