Sekata
Lokal
KATA lokal sontak menyulut “ribut” di
Kantin Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan No 33
Medan, Sabtu (23/4/2011) sore. Ini terjadi mewarnai bedah buku peluncuran
Sampan Zulaiha, antologi cerpan Hasan Al Banna, oleh pembedah Yulhasni dan
Tikwan Raya Siregar.
Pastilah tak ada
yang salah dari kata lokal. Selain keberadaannya resmi karena ada dalam kamus
bahasa keluaran pemerintah, Kamus Besar Bahasa Indonesia, pun di antara arti
kata itu tak ada yang memunculkan kesan tabu. Arti lokal; ruang yang luas,
terjadi di suatu tempat, tidak merata, setempat, dan di suatu tempat.
Lantas, apa pasal hingga kata lokal mampu menyulut “ribut” di acara itu? Penyempitan pemaknaan, ketika kata itu dimanfaatkan untuk mengistilahkan cerpen berlatar lokal. Ditambah menyeruaknya hasrat menyatusamakan rasa bangga terhadap cerpen karya cerpenis Sumut yang mengangkat warna lokal daerahnya, plus agar sastrawan lainnya juga mencipta cerpen semacam itu.
Sungguhlah lucu, di kalangan sastrawan yang nyaris saban hari berkutat dengan bahasa dan aktivitas berbahasa terjadi penyempitan pemaknaan kata lokal sewaktu memanfaatkannya untuk mengistilahkan cerpen berlatar lokal. Dalam hal ini, pemaknaan kata lokal “dipaksakan” berkenaan dengan hal-hal bersifat etnik maupun kultur sesuatu daerah. Maka, dianggaplah cerpen yang bermuatan hal-hal demikian sebagai cerpen berlatar lokal. Bahkan, sekalipun hanya diselingi kata-kata atau bahasa etnik tertentu di sebagian dialog-dialog tokoh ceritanya.
Dimuatnya cerpen-cerpen karya cerpenis Sumut – apalagi yang dianggap masih muda dalam hal usia – di media massa cetak terbitan Jakarta, wajarlah disambut bangga. Hanya saja, kalaupun ada di antaranya mengusung hal-hal bersifat etnik maupun kultur daerahnya, rasanya tak perlu digelorakan hasrat sastrawan lainnya juga mencipta cerpen sejenis itu agar bisa dimuat di media cetak terbitan Jakarta yang “diagungkan” sebagai media massa nasional.
Boleh jadi cerpen-cerpen semacam itu “membujuk” calon pembaca untuk membacanya. Namun bisa dipastikan, pembaca bisa menikmati dan memetik pemahaman bukanlah bersebab hal-hal bersifat etnik maupun kultur sesuatu daerah yang ada di dalam cerpen itu. Tapi lebih dikarenakan kekuatan unsur penentu – antara lain alur dan gaya pengisahan – yang menjadikan sebuah cerpen nikmat dibaca dan menorehkan kesan bagi pembacanya.
Menggelorakan hasrat sastrawan Sumut mencipta cerpen mengusung hal-hal bersifat etnik maupun kultur daerahnya, bahkan tak dirasa penting andai pengistilahannya sebagai cerpen berlatar lokal semata bersebab penyempitan pemaknaan terhadap kata lokal.
Sebagai daerah yang dihuni masyarakat multi etnik, sudah pasti demikian jugalah keberadaan cerpenis yang bermukim di Sumut. Bisa pula dipastikan, banyak di antaranya akan menjadi “gagap” untuk menetaskan cerpen-cerpen yang mengusung hal-hal bersifat etnik maupun kultur daerah Sumut. Jika hal itu terjadi, justru bisa berdampak menyusutnya kuantitas cerpen karya para cerpenis Sumut. Padahal, bukanlah jaminan cerpen sejenis itu dimuat media cetak Jakarta yang “diagungkan” sebagai media massa nasional.
Sudah jelas arti kata lokal; ruang yang luas, terjadi di suatu tempat, tidak merata, setempat, dan di suatu tempat. Jadi, cerpen-cerpen yang mengusung hal-hal atau cerita berkenaan dengan itu, termasuklah cerpen berlatar lokal. Cerpenis, jangan “mati” karena terbebani istilah. (ys rat)
Lantas, apa pasal hingga kata lokal mampu menyulut “ribut” di acara itu? Penyempitan pemaknaan, ketika kata itu dimanfaatkan untuk mengistilahkan cerpen berlatar lokal. Ditambah menyeruaknya hasrat menyatusamakan rasa bangga terhadap cerpen karya cerpenis Sumut yang mengangkat warna lokal daerahnya, plus agar sastrawan lainnya juga mencipta cerpen semacam itu.
Sungguhlah lucu, di kalangan sastrawan yang nyaris saban hari berkutat dengan bahasa dan aktivitas berbahasa terjadi penyempitan pemaknaan kata lokal sewaktu memanfaatkannya untuk mengistilahkan cerpen berlatar lokal. Dalam hal ini, pemaknaan kata lokal “dipaksakan” berkenaan dengan hal-hal bersifat etnik maupun kultur sesuatu daerah. Maka, dianggaplah cerpen yang bermuatan hal-hal demikian sebagai cerpen berlatar lokal. Bahkan, sekalipun hanya diselingi kata-kata atau bahasa etnik tertentu di sebagian dialog-dialog tokoh ceritanya.
Dimuatnya cerpen-cerpen karya cerpenis Sumut – apalagi yang dianggap masih muda dalam hal usia – di media massa cetak terbitan Jakarta, wajarlah disambut bangga. Hanya saja, kalaupun ada di antaranya mengusung hal-hal bersifat etnik maupun kultur daerahnya, rasanya tak perlu digelorakan hasrat sastrawan lainnya juga mencipta cerpen sejenis itu agar bisa dimuat di media cetak terbitan Jakarta yang “diagungkan” sebagai media massa nasional.
Boleh jadi cerpen-cerpen semacam itu “membujuk” calon pembaca untuk membacanya. Namun bisa dipastikan, pembaca bisa menikmati dan memetik pemahaman bukanlah bersebab hal-hal bersifat etnik maupun kultur sesuatu daerah yang ada di dalam cerpen itu. Tapi lebih dikarenakan kekuatan unsur penentu – antara lain alur dan gaya pengisahan – yang menjadikan sebuah cerpen nikmat dibaca dan menorehkan kesan bagi pembacanya.
Menggelorakan hasrat sastrawan Sumut mencipta cerpen mengusung hal-hal bersifat etnik maupun kultur daerahnya, bahkan tak dirasa penting andai pengistilahannya sebagai cerpen berlatar lokal semata bersebab penyempitan pemaknaan terhadap kata lokal.
Sebagai daerah yang dihuni masyarakat multi etnik, sudah pasti demikian jugalah keberadaan cerpenis yang bermukim di Sumut. Bisa pula dipastikan, banyak di antaranya akan menjadi “gagap” untuk menetaskan cerpen-cerpen yang mengusung hal-hal bersifat etnik maupun kultur daerah Sumut. Jika hal itu terjadi, justru bisa berdampak menyusutnya kuantitas cerpen karya para cerpenis Sumut. Padahal, bukanlah jaminan cerpen sejenis itu dimuat media cetak Jakarta yang “diagungkan” sebagai media massa nasional.
Sudah jelas arti kata lokal; ruang yang luas, terjadi di suatu tempat, tidak merata, setempat, dan di suatu tempat. Jadi, cerpen-cerpen yang mengusung hal-hal atau cerita berkenaan dengan itu, termasuklah cerpen berlatar lokal. Cerpenis, jangan “mati” karena terbebani istilah. (ys rat)
Plagiat
POPULARITAS kata jiplak selama ini memang
kalah dibanding plagiat. Kata jiplak lebih menggambarkan perbuatan yang adanya
kerap di kalangan anak sekolah. Penyebabnya, mungkin karena kata jiplak di
antaranya berarti; meniru gambar atau tulisan dengan cara menempelkan kertas
kosong pada gambar atau tulisan yang akan ditiru.
Padahal, kata jiplak juga punya arti
mencontoh atau meniru tulisan, atau pekerjaan orang lain; mencuri karangan
orang lain dan mengakuinya sebagai karangan sendiri; dan mengutip karangan
orang lain tanpa seizin penulisnya. Ini ada kesamaan dengan arti kata plagiat
yang sudah umum dipakai dalam lingkup berkesenian, yakni mengambil karangan –
pendapat dan sebagainya – orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangannya
sendiri.
Selintas, wajar-wajar saja penggunaan kata plagiat dalam dunia kesenian. Tapi, dikaitkan antara kata jiplak yang telah biasa ditujukan pada perbuatan di kalangan anak sekolah, dengan hakikat seni sekaligus eksistensi diri para senimannya, sebenarnya perbuatan seniman mengambil karangan – pendapat dan sebagainya – orang lain kemudian menjadikan seolah-olah karangannya sendiri, lebih tak beretika dibanding kelakuan anak sekolah yang menjiplak.
Anak sekolah menjiplak, bagaimanapun tetap merupakan perbuatan yang salah. Hanya saja, keberadaan mereka yang masih tahap proses menuju masa depan, memungkinkan diberi “pemakluman” terhadap kebisaan menjiplak di kalangan mereka, sembari tetap disuguhi bimbingan dan arahan untuk segera menghentikan perilaku buruk itu. Lain halnya dalam lingkup berkesenian. Sebab, para seniman – atau yang mengaku – sejatinya merupakan kelompok yang tak perlu lagi “dihadiahi” pepatah petitih agar tak mencemari dunianya dengan kreativitas palsu.
Kata seni, diartikan sebagai kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi atau luar biasa. Sedangkan kata seniman, diartikan orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan serta menggelar karya seni. Oleh karena kesanggupan akal sebagai landasan melahirkan karya seni bernilai tinggi yang mampu menimbulkan rasa indah, pertimbangan baik dan buruk seharusnya tak diabaikan dalam proses penciptaan karya seni.
Dengan demikian, selain lebih tak beretika dibanding perilaku menjiplak di kalangan anak sekolah, perbuatan memplagiat oleh seniman – atau yang mengaku – jelas tak dilandasi kekuatan akal untuk mempertimbangkan baik dan buruk.
Selintas, wajar-wajar saja penggunaan kata plagiat dalam dunia kesenian. Tapi, dikaitkan antara kata jiplak yang telah biasa ditujukan pada perbuatan di kalangan anak sekolah, dengan hakikat seni sekaligus eksistensi diri para senimannya, sebenarnya perbuatan seniman mengambil karangan – pendapat dan sebagainya – orang lain kemudian menjadikan seolah-olah karangannya sendiri, lebih tak beretika dibanding kelakuan anak sekolah yang menjiplak.
Anak sekolah menjiplak, bagaimanapun tetap merupakan perbuatan yang salah. Hanya saja, keberadaan mereka yang masih tahap proses menuju masa depan, memungkinkan diberi “pemakluman” terhadap kebisaan menjiplak di kalangan mereka, sembari tetap disuguhi bimbingan dan arahan untuk segera menghentikan perilaku buruk itu. Lain halnya dalam lingkup berkesenian. Sebab, para seniman – atau yang mengaku – sejatinya merupakan kelompok yang tak perlu lagi “dihadiahi” pepatah petitih agar tak mencemari dunianya dengan kreativitas palsu.
Kata seni, diartikan sebagai kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi atau luar biasa. Sedangkan kata seniman, diartikan orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan serta menggelar karya seni. Oleh karena kesanggupan akal sebagai landasan melahirkan karya seni bernilai tinggi yang mampu menimbulkan rasa indah, pertimbangan baik dan buruk seharusnya tak diabaikan dalam proses penciptaan karya seni.
Dengan demikian, selain lebih tak beretika dibanding perilaku menjiplak di kalangan anak sekolah, perbuatan memplagiat oleh seniman – atau yang mengaku – jelas tak dilandasi kekuatan akal untuk mempertimbangkan baik dan buruk.
Peristiwa plagiat dalam lingkup berkesenian
bisa terjadi melalui berbagai cara. Di antaranya, si pelaku memplagiatnya
langsung dan utuh karya yang dimuat di media massa atau mengubah sebagian karya yang
diplagiatnya itu. Bahkan, sangat mungkin bermula dari niat baik pemilik karya
meminjamkan karyanya kepada peminjam yang jujur. Karena sang peminjam jujur,
pastilah bukan dia yang memplagiat. Bisa saja sang plagiator pihak lain yang
beroleh kesempatan memiliki karya dari peminjam yang jujur itu. Ironisnya,
sewaktu karya itu kemudian diplagiat dan dipublikasikan, oleh mereka yang
memang “buta” latarbelakang kelahiran karya plagiat itu digadang-gadanglah
sebagai karya seni terbaik yang pernah ada.
Lantas, senimankah sang plagiator itu? Jawab saja sendiri.
Lantas, senimankah sang plagiator itu? Jawab saja sendiri.
Arif
ARIF, kata yang “terlanjur” mengusung arti
bijaksana, cerdik, pandai dan berilmu. Selain itu, juga paham dan mengerti.
Kata ini, oleh di antara orang tua tak jarang dijadikan sebagai nama anaknya.
Selain secara utuh, ada yang menambahnya dengan kata lain di awal atau akhir,
atau sebatas memberinya imbuhan.
Sangat mungkin, ada niat baik orang tua
saat memutuskan memilih kata “arif” untuk nama anaknya, baik secara utuh maupun
menambahnya dengan kata lain atau sekadar memberinya imbuhan. Di antara mereka
yang didapati kata “arif” pada namanya, Arifinto, anggota Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR.
Pasca diberitakan berbagai media massa, sosok Arifinto, sontak melangit. Itu dipicu polahnya “menikmati” tayangan video porno dalam tablet PC-nya ketika sidang paripurna pengesahan Badan Urusan Rumah Tangga DPR dan pidato penutupan masa sidang III tahun 2010-2011, yang kepergok sekaligus dijepret fotografer Media Indonesia, M Irfan, Jumat (8/4/2011).
Terlepas dari pengakuan Arifinto, konten mesum itu berasal dari kiriman e-mail yang segera dihapusnya setelah mengetahui isinya tidak senonoh dan keyakinan M Irfan bahwa politisi PKS itu menonton video porno dari folder, bukan e-mail, sangat dimaklumi ketika komentar yang cepat beredar bernada hujatan terhadapnya sebagai anggota DPR, lembaga DPR, bahkan partainya.
Salah satunya Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, berpendapat kelakuan Arifinto bisa dijerat dengan UU Pornografi. “Itu sudah jelas menyangkut UU Pornografi. Kalau itu diterapkan yang bersangkutan bisa kena. Bukan hanya pribadinya, partainya juga,” jelasnya kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/2011).
Sebelumnya, di hari kejadian, juga kepada wartawan dan di tempat sama, Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, perbuatan Arifinto itu telah merusak citra DPR. “Itu pasti merusak citra DPR,” ujarnya dan menegaskan, dia akan minta Badan Kehormatan DPR memeriksa Arifinto untuk mengetahui situasi sebenarnya.
Arifinto sendiri, tak berselang lama pasca kejadian, menyatakan mundur dari anggota DPR, melalui jumpa pers yang dia gelar di Press Room Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/2011). Selain itu, melalui rapat Dewan Syari’ah Pusat PKS, Minggu (10/4/2011) pukul 20.00-23.00 WIB, Arifinto pun diberhentikan dari keanggotaan Majelis Syura PKS 2010-2015.
Terutama keputusan Arifinto mundur dari anggota DPR, ternyata mampu memutar balik komentar-komentar bernada hujatan terhadapnya. Mundurnya Arifinto, kata Indria Samego, patut dijadikan contoh bagi anggota DPR yang juga bermasalah. “Dalam konteks partai, sebenarnya dia lebih bagus mundur karena akan mengurangi dosa. Yang lain juga harus begitu,” kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, seusai diskusi dengan tema “Calon Presiden Independen” di Akbar Tandjung Institute, Kompleks Liga Mas Indah Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (12/4/2011).
Sehari sebelumnya, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengapresiasi keputusan Arifinto mundur dari DPR sebagai sikap gentleman. Apalagi, kata dia, kalaupun diperiksa belum tentu berliau bersalah. “Terutama kalau benar beliau menerima e-mail, meskipun ada data dari fotografer tersebut ternyata jepretannya tidak hanya satu,” ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Dikaitkan dengan kata “arif” yang memiliki arti bijaksana, cerdik, pandai dan berilmu, juga paham dan mengerti, bisalah dianalogikan bahwa Arifinto telah melakukan dua tindakan sekaligus. Satu bertolak belakang dan satunya sesuai dengan arti kata “arif” yang ada pada namanya.
Sebagai anggota DPR “menikmati” tayangan video porno, apalagi ketika mengikuti sidang paripurna, selain tak etis juga tak arif. Sebaliknya, mundur dari anggota DPR karena menyadari polahnya yang tak arif itu, justru Arifinto mampu memberikan contoh sikap arif kepada banyak orang, terutama para anggota DPR yang juga bermasalah. (ys rat)
Pasca diberitakan berbagai media massa, sosok Arifinto, sontak melangit. Itu dipicu polahnya “menikmati” tayangan video porno dalam tablet PC-nya ketika sidang paripurna pengesahan Badan Urusan Rumah Tangga DPR dan pidato penutupan masa sidang III tahun 2010-2011, yang kepergok sekaligus dijepret fotografer Media Indonesia, M Irfan, Jumat (8/4/2011).
Terlepas dari pengakuan Arifinto, konten mesum itu berasal dari kiriman e-mail yang segera dihapusnya setelah mengetahui isinya tidak senonoh dan keyakinan M Irfan bahwa politisi PKS itu menonton video porno dari folder, bukan e-mail, sangat dimaklumi ketika komentar yang cepat beredar bernada hujatan terhadapnya sebagai anggota DPR, lembaga DPR, bahkan partainya.
Salah satunya Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, berpendapat kelakuan Arifinto bisa dijerat dengan UU Pornografi. “Itu sudah jelas menyangkut UU Pornografi. Kalau itu diterapkan yang bersangkutan bisa kena. Bukan hanya pribadinya, partainya juga,” jelasnya kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/2011).
Sebelumnya, di hari kejadian, juga kepada wartawan dan di tempat sama, Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, perbuatan Arifinto itu telah merusak citra DPR. “Itu pasti merusak citra DPR,” ujarnya dan menegaskan, dia akan minta Badan Kehormatan DPR memeriksa Arifinto untuk mengetahui situasi sebenarnya.
Arifinto sendiri, tak berselang lama pasca kejadian, menyatakan mundur dari anggota DPR, melalui jumpa pers yang dia gelar di Press Room Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/2011). Selain itu, melalui rapat Dewan Syari’ah Pusat PKS, Minggu (10/4/2011) pukul 20.00-23.00 WIB, Arifinto pun diberhentikan dari keanggotaan Majelis Syura PKS 2010-2015.
Terutama keputusan Arifinto mundur dari anggota DPR, ternyata mampu memutar balik komentar-komentar bernada hujatan terhadapnya. Mundurnya Arifinto, kata Indria Samego, patut dijadikan contoh bagi anggota DPR yang juga bermasalah. “Dalam konteks partai, sebenarnya dia lebih bagus mundur karena akan mengurangi dosa. Yang lain juga harus begitu,” kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, seusai diskusi dengan tema “Calon Presiden Independen” di Akbar Tandjung Institute, Kompleks Liga Mas Indah Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (12/4/2011).
Sehari sebelumnya, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengapresiasi keputusan Arifinto mundur dari DPR sebagai sikap gentleman. Apalagi, kata dia, kalaupun diperiksa belum tentu berliau bersalah. “Terutama kalau benar beliau menerima e-mail, meskipun ada data dari fotografer tersebut ternyata jepretannya tidak hanya satu,” ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Dikaitkan dengan kata “arif” yang memiliki arti bijaksana, cerdik, pandai dan berilmu, juga paham dan mengerti, bisalah dianalogikan bahwa Arifinto telah melakukan dua tindakan sekaligus. Satu bertolak belakang dan satunya sesuai dengan arti kata “arif” yang ada pada namanya.
Sebagai anggota DPR “menikmati” tayangan video porno, apalagi ketika mengikuti sidang paripurna, selain tak etis juga tak arif. Sebaliknya, mundur dari anggota DPR karena menyadari polahnya yang tak arif itu, justru Arifinto mampu memberikan contoh sikap arif kepada banyak orang, terutama para anggota DPR yang juga bermasalah. (ys rat)
Nakal
SUDAH jadi kebiasaan umum memaklumi kata
nakal merupakan “jatah” mereka yang masih berada dalam kategori anak-anak. Anak
nakal, misalnya, tak asing digunakan – dan tak masalah – sebagai julukan
terhadap anak yang perilakunya dianggap menyimpang dibanding teman-teman sebayanya.
Salah satu landasan pikirnya, kenakalan
merupakan hal biasa di kalangan anak-anak, sebagai bagian dari proses
perjalanan hidup yang memang lazim dilalui. Hanya saja, seiring itu harus tetap
ada upaya memberi arahan supaya ketika dewasa, kalaupun membekas, kenakalan di
masa kanak-kanak justru menyuguhkan untaian kisah nan indah dikenang.
Maka, ketika kata nakal disatukaitkan dengan mereka yang teramat nyata bukan anak-anak lagi dan sepak terjangnya, mengemukalah gambaran tabiat jauh lebih buruk dibandingkan perilaku menyimpang di kalangan anak-anak. Menjadi bertambah buruk, andai kata nakal tak sebatas dihubungkan dengan sepak terjang manusia dewasa, tapi sekalian “disebadankan” dengan profesi kesehariannya.
Yang demikianlah sekarang sedang jadi salah satu fokus perhatian DPR. Dikabarkan, Dewan Pers digandeng Budan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk mengatasi wartawan nakal di DPR dan sedang digodok formula yang tepat untuk mengatasi banyaknya wartawan di DPR yang sebagian tak jelas medianya.
“Kita diajak Sekretariat BURT untuk membahas soal ini,” kata anggota Dewan Pers, Bambang Harimurti, di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Raya, Jakarta Pusat, sebagaimana dilansir detik.com, Senin (13/6/2011). Dia juga mengungkapkan, saat ini ada lebih 1.000 wartawan tercatat meliput di DPR, namun yang benar-benar meliput tak sampai 100 orang.
Perlunya pengaturan wartawan di lingkungan DPR, menurut Bambang, untuk menghilangkan praktik-praktik kotor seperti adanya calo anggaran dan sebagainya. Jadi, tegas dia, bukan untuk mengekang apalagi mempersempit ruang gerak wartawan mencari berita. Justru demi nama baik dan kredibilitas para wartawan.
Taklah bisa dipungkiri, keberadaan wartawan nakal bukan misteri. Malah “titik serbu” mereka pun tak cuma lingkungan DPR. Hampir ke setiap kantor pemerintahan, kadang BUMN/BUMD plus swasta mereka kerap bertandang. Gelagat dan sepak terjang mereka mudah dikenali, sebab umumnya bergaya “lebih wartawan” dibanding yang sebenarnya wartawan.
Bukan tak mungkin ada yang tak sependapat terhadap upaya mengatasi keberadaan wartawan nakal seperti halnya di lingkungan DPR. Memaklumi perlunya hal itu dilakukan untuk menghilangkan praktik-praktik kotor antara lain adanya calo anggaran dan sebagainya, tentulah aneh sikap mereka yang tak sependapat. Pantas diduga, jangan-jangan merekalah wartawan nakal itu, atau mungkin yang selama ini berkonco dengannya.
Tapi, kembali ke soal wartawan nakal di lingkungan DPR, selain rencana mengatasinya pantas jugalah tinjauan diarahkan terhadap kemungkinan yang menjadikannya ada. Gambaran tentang hal ini sebenarnya mudah dipahami dari pernyataan Bambang Harimurti menegai perlunya pengaturan wartawan di DPR. Bak kata pepatah, “tak ada asap jika tak ada api,” sebenarnya begitu jugalah sesungguhnya keberadaan wartawan nakal di lingkungan DPR.
Artinya, mereka ada karena ada yang mengadakan dan membutuhkannya. Mereka yang mengadakan dan membutuhkan wartawan nakal, pastilah juga nakal. Lantas, siapakah dia? Yang pasti, karena wartawan nakal yang hendak ditertibkan adanya di lingkungan DPR, mereka yang mengadakan dan butuh terhadapnya berada di tempat sama. Karena sama-sama nakal, semestinyalah ditertibkan juga. Malah, harusnya dijadikan target pertama. (ys rat)
Maka, ketika kata nakal disatukaitkan dengan mereka yang teramat nyata bukan anak-anak lagi dan sepak terjangnya, mengemukalah gambaran tabiat jauh lebih buruk dibandingkan perilaku menyimpang di kalangan anak-anak. Menjadi bertambah buruk, andai kata nakal tak sebatas dihubungkan dengan sepak terjang manusia dewasa, tapi sekalian “disebadankan” dengan profesi kesehariannya.
Yang demikianlah sekarang sedang jadi salah satu fokus perhatian DPR. Dikabarkan, Dewan Pers digandeng Budan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk mengatasi wartawan nakal di DPR dan sedang digodok formula yang tepat untuk mengatasi banyaknya wartawan di DPR yang sebagian tak jelas medianya.
“Kita diajak Sekretariat BURT untuk membahas soal ini,” kata anggota Dewan Pers, Bambang Harimurti, di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Raya, Jakarta Pusat, sebagaimana dilansir detik.com, Senin (13/6/2011). Dia juga mengungkapkan, saat ini ada lebih 1.000 wartawan tercatat meliput di DPR, namun yang benar-benar meliput tak sampai 100 orang.
Perlunya pengaturan wartawan di lingkungan DPR, menurut Bambang, untuk menghilangkan praktik-praktik kotor seperti adanya calo anggaran dan sebagainya. Jadi, tegas dia, bukan untuk mengekang apalagi mempersempit ruang gerak wartawan mencari berita. Justru demi nama baik dan kredibilitas para wartawan.
Taklah bisa dipungkiri, keberadaan wartawan nakal bukan misteri. Malah “titik serbu” mereka pun tak cuma lingkungan DPR. Hampir ke setiap kantor pemerintahan, kadang BUMN/BUMD plus swasta mereka kerap bertandang. Gelagat dan sepak terjang mereka mudah dikenali, sebab umumnya bergaya “lebih wartawan” dibanding yang sebenarnya wartawan.
Bukan tak mungkin ada yang tak sependapat terhadap upaya mengatasi keberadaan wartawan nakal seperti halnya di lingkungan DPR. Memaklumi perlunya hal itu dilakukan untuk menghilangkan praktik-praktik kotor antara lain adanya calo anggaran dan sebagainya, tentulah aneh sikap mereka yang tak sependapat. Pantas diduga, jangan-jangan merekalah wartawan nakal itu, atau mungkin yang selama ini berkonco dengannya.
Tapi, kembali ke soal wartawan nakal di lingkungan DPR, selain rencana mengatasinya pantas jugalah tinjauan diarahkan terhadap kemungkinan yang menjadikannya ada. Gambaran tentang hal ini sebenarnya mudah dipahami dari pernyataan Bambang Harimurti menegai perlunya pengaturan wartawan di DPR. Bak kata pepatah, “tak ada asap jika tak ada api,” sebenarnya begitu jugalah sesungguhnya keberadaan wartawan nakal di lingkungan DPR.
Artinya, mereka ada karena ada yang mengadakan dan membutuhkannya. Mereka yang mengadakan dan membutuhkan wartawan nakal, pastilah juga nakal. Lantas, siapakah dia? Yang pasti, karena wartawan nakal yang hendak ditertibkan adanya di lingkungan DPR, mereka yang mengadakan dan butuh terhadapnya berada di tempat sama. Karena sama-sama nakal, semestinyalah ditertibkan juga. Malah, harusnya dijadikan target pertama. (ys rat)
Polisi
JUDUL Sekata ini;
Polisi, dikaitkan dengan kata preman, pastilah segera menggiring pada
pemakluman keterkaitan – bukan kerja sama – antara polisi dengan preman. Di
Kota Medan, penglihatan kita pernah kerap “berbentur” tulisan “Pemburu Preman”
pada bagian dinding mobil kepolisian, dilengkapi nomor telepon yang bisa
dihubungi untuk melaporkan pengaduan terkait aksi preman.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Penerbit Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia-Balai Pustaka,
Jakarta, 2005, kata preman merupakan sebutan yang ditujukan terhadap orang
jahat; penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya.
Kata preman, hingga pada keberadaannya sebagai sebutan untuk orang yang jahat sebenarnya melewati proses dari kebalikannya. Bermuasal dari bahasa Belanda, vrijman, dimaknakan terhadap orang yang bebas, tidak terikat dan orang yang merdeka. Terkhusus lagi, orang-orang seperti Robin Hood, yang membela orang-orang miskin.
Ada juga pendapat mengatakan, vrijman pada awal abad 17 dimaksudkan orang yang bukan pejabat VOC namun melakukan negosiasi atas nama sang pejabat. Pendapat lainnya, ditujukan terhadap orang-orang yang pada zaman penjajahan tak rela dijajah. Mereka sekelompok orang yang menamakan diri vrijman; orang yang ingin merdeka tanpa terikat apapun dan tak mengganggu ketertiban umum atau orang lain. Dalam kaitan ini, vrij berasal dari bahasa Belanda yang diadaptasi dari bahasa Jerman, frijaz; bebas.
Bahkan, ada pendapat bahwa sebutan preman punya “kampung halaman” Sumut. Seperti pendapat sebelumnya, juga dikatakan pada zaman penjajahan dulu ada sekelompok orang yang tak sudi dijajah, menamakan diri vrijman. Konon, orang Sumut – dalam hal ini Melayu – yang sulit menyebutkan kata itu menempuh cara pintas dengan melafalkannya sebagai preman.
Sebagian dari mereka, setelah perang usai, karena tak punya keahlian lain kecuali berperang akhirnya tak memperoleh pekerjaan dan sehari-hari cuma ngumpul-ngumpul, lantas lama-kelamaan mulai memungut jasa keamanan di daerahnya. Dari situlah dan hingga sekarang kata preman bermakna negatif.
Sedangkan istilah preman berkonotasi kriminal muncul akhir tahun 1970-an, melalui serial Ali Topan, Detektlp Partikelir. Seiring waktu, popularitas kata preman kian melejit tak luput berkat andil media massa untuk menyebut pelaku kejahatan seperti perampok, penjambret, pencopet, dan bahkan yang sekadar brandalan.
Nah, mengaitkan judul Sekata ini; Polisi, dengan kata preman, bukanlah bermaksud membandingkan di antara masing-masingnya. Sebab sudah jelas, polisi dan preman memang merupakan sosok yang berbeda sekaligus taklah sebanding. Melainkan, untuk menyatakan bahwa polisi sebagai sosok paling baik.
Bukan karena salah satu tugasnya meringkus preman. Polisi layak disebut sosok paling baik, justru karena hingga saat ini, baik melalui pribadi maupun institusi tak pernah ada kabar polisi marah keberadaannya “dikait-kaitkan” dengan preman. Hal demikian, kerap ditemukan dalam pemberitaan di media massa. Simaklah kutipan berikut:
“Seorang siswa SMAN 2 Pamekasan berinisial H (18) mengikuti Ujian Nasional (UN) di sekolahnya Jalan Jokotole. H terpaksa UN dikawal polisi berpakaian preman karena terjaring razia saat membawa belati yang disimpan di jok motor. H pun diamankan di Polres Pamekasan.” (detik.com, Senin, 18/4/2011)
“Penangkapan terhadap Putri Aryanti Haryowibowo dalam kasus narkoba berlangsung singkat. Penggerebekan terhadap cicit mantan Presiden Soeharto tersebut dilalukan serombongan polisi berpakaian preman.” (detik.com, Minggu, 20/3/2011)
Sudah sangat jelas, preman berkonotasi negatif, tapi belum pernah polisi protes atau marah ditulis begitu di media massa. Makanya, pantaslah polisi diposisikan sebagai sosok paling baik.
(YS RAT)
Kata preman, hingga pada keberadaannya sebagai sebutan untuk orang yang jahat sebenarnya melewati proses dari kebalikannya. Bermuasal dari bahasa Belanda, vrijman, dimaknakan terhadap orang yang bebas, tidak terikat dan orang yang merdeka. Terkhusus lagi, orang-orang seperti Robin Hood, yang membela orang-orang miskin.
Ada juga pendapat mengatakan, vrijman pada awal abad 17 dimaksudkan orang yang bukan pejabat VOC namun melakukan negosiasi atas nama sang pejabat. Pendapat lainnya, ditujukan terhadap orang-orang yang pada zaman penjajahan tak rela dijajah. Mereka sekelompok orang yang menamakan diri vrijman; orang yang ingin merdeka tanpa terikat apapun dan tak mengganggu ketertiban umum atau orang lain. Dalam kaitan ini, vrij berasal dari bahasa Belanda yang diadaptasi dari bahasa Jerman, frijaz; bebas.
Bahkan, ada pendapat bahwa sebutan preman punya “kampung halaman” Sumut. Seperti pendapat sebelumnya, juga dikatakan pada zaman penjajahan dulu ada sekelompok orang yang tak sudi dijajah, menamakan diri vrijman. Konon, orang Sumut – dalam hal ini Melayu – yang sulit menyebutkan kata itu menempuh cara pintas dengan melafalkannya sebagai preman.
Sebagian dari mereka, setelah perang usai, karena tak punya keahlian lain kecuali berperang akhirnya tak memperoleh pekerjaan dan sehari-hari cuma ngumpul-ngumpul, lantas lama-kelamaan mulai memungut jasa keamanan di daerahnya. Dari situlah dan hingga sekarang kata preman bermakna negatif.
Sedangkan istilah preman berkonotasi kriminal muncul akhir tahun 1970-an, melalui serial Ali Topan, Detektlp Partikelir. Seiring waktu, popularitas kata preman kian melejit tak luput berkat andil media massa untuk menyebut pelaku kejahatan seperti perampok, penjambret, pencopet, dan bahkan yang sekadar brandalan.
Nah, mengaitkan judul Sekata ini; Polisi, dengan kata preman, bukanlah bermaksud membandingkan di antara masing-masingnya. Sebab sudah jelas, polisi dan preman memang merupakan sosok yang berbeda sekaligus taklah sebanding. Melainkan, untuk menyatakan bahwa polisi sebagai sosok paling baik.
Bukan karena salah satu tugasnya meringkus preman. Polisi layak disebut sosok paling baik, justru karena hingga saat ini, baik melalui pribadi maupun institusi tak pernah ada kabar polisi marah keberadaannya “dikait-kaitkan” dengan preman. Hal demikian, kerap ditemukan dalam pemberitaan di media massa. Simaklah kutipan berikut:
“Seorang siswa SMAN 2 Pamekasan berinisial H (18) mengikuti Ujian Nasional (UN) di sekolahnya Jalan Jokotole. H terpaksa UN dikawal polisi berpakaian preman karena terjaring razia saat membawa belati yang disimpan di jok motor. H pun diamankan di Polres Pamekasan.” (detik.com, Senin, 18/4/2011)
“Penangkapan terhadap Putri Aryanti Haryowibowo dalam kasus narkoba berlangsung singkat. Penggerebekan terhadap cicit mantan Presiden Soeharto tersebut dilalukan serombongan polisi berpakaian preman.” (detik.com, Minggu, 20/3/2011)
Sudah sangat jelas, preman berkonotasi negatif, tapi belum pernah polisi protes atau marah ditulis begitu di media massa. Makanya, pantaslah polisi diposisikan sebagai sosok paling baik.
(YS RAT)
Mengatasnamakan
Dimaksudkan untuk
menyatakan kepada publik; demikianlah wujud kesenian Islam, kegiatan seni
diembel-embeli kata Islam semisal “Gelar Seni Islami” kerap diselenggarakan
mengisi momen bulan suci maupun hari besar Islam. Secara khusus pula, oleh
penyelenggaranya tak jarang didengungkan sekaligus sebagai kegiatan bertujuan
untuk syiar Islam.
Bahwa karya seni memiliki kekuatan yang
mampu mempengaruhi emosi dan perasaan, mereka yang sehari-hari berkutat dalam
aktivitas berkesenian tentulah sangat memakluminya. Juga terhadap pembentukan
kebiasaan, gaya
maupun pandangan hidup dalam masyarakat.
Karenanyalah, ketika sampai pada pernyataan pergelaran seni bertujuan untuk syiar Islam, sesungguhnya ada hal yang tak sesederhana menyebutkan “Gelar Seni Islami” sekadar sebagai nama.
Melalui bukunya Islam Bicara Seni, Penerbit Intermedia, Solo, April 1998, halaman 15, Dr Yusuf Qardhawi menegaskan; “Sesungguhnya Islam menghidupkan rasa keindahan dan mendukung kreasi seni, namun dengan syarat-syarat tertentu; syarat yang menjadikan karya seni memberi manfaat, bukannya mendatangkan mudharat; membangun, bukan malah merusak.”
Pemaknaan terhadap hal itu sesungguhnya sangat berkait dengan prinsip pergelaran seni dalam rangka syiar Islam bukanlah sebatas pemanfaatan kata “islami” sebagai embel-embel. Lebih dari itu, memaklumi seni sebagai salah satu bagian dari kebudayaan, maka keberadaan seni islami sejatinya tak bisa dilepaskan dari hakikat kebudayaan menurut ajaran Islam.
Sejalan dengan itu, Dr H Musa Asy’arie melalui Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al Quran; Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, halaman 119 mengemukakan; “Kebudayaan dalam Al Quran lebih dipandang sebagai proses dari cara hidup manusia mewujudkan totalitas dirinya dalam kehidupan, yang disebut dengan amal. Sebagai suatu proses amal, maka kebudayaan merupakan proses kesatuan pikiran dan qalbu dalam aktivitas hidup manusia mewujudkan dirinya.”
Dengan demikian, pemahaman terhadap karya seni islami tak cukup pada wujudnya. Melainkan tertuju secara menyeluruh kepada materi, proses dan pelaku di dalamnya. Jika keberadaan ketiga hal ini bukanlah potensi-potensi yang sejalan dengan prinsip-prinsip menuju kepada syiar Islam, mustahillah daripadanya lahir karya seni untuk dijadikan media kegiatan syiar Islam.
Tentunya sangat mudah dimaklumi, syiar sekaligus keinginan melakukan syiar Islam hanya mungkin dilaksanakan dan tumbuh dalam diri umat Islam. Hal yang demikian pastilah juga berlaku terhadap karya-karya seni islami yang merupakan bagian dari kegiatan syiar Islam. Sebagai bagian kegiatan syiar Islam, di dalam karya-karya seni islami bermuatan misi bagi upaya-upaya mengenalkan maupun menyebarkan prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan bagi senimannya, aktivitas berkesenian yang dijalaninya merupakan bagian dari pengabdian atau ibadahnya kepada Allah.
Oleh karena pemahaman terhadap karya seni islami tertuju menyeluruh terhadap materi, proses dan pelaku di dalamnya, maka sekecil apa pun peran yang ditanggungjawabi seorang seniman haruslah dilandasi kesadaran dan keinginan menyampaikan syiar Islam melalui karya yang dihasilkan. Prinsip dasarnya, ketulusan memahami prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam, serta ketulusan menyebarluaskannya.
Pendapat bahwa seni tak memiliki agama, pernah didengungkan sebagai reaksi terhadap pemikiran seputar seni islami. Namun, reaksi yang demikian sangat tak selaras dengan prinsip-prinsip maupun ajaran-ajaran Islam. Sebab bagi senimannya, Islam merupakan potensi utama dan mendasar yang dianut sekaligus sumber utama pula terhadap inspirasinya dalam melahirkan karya, untuk ikut berperan menggelorakan syiar Islam.
Jadi, sejatinyalah kegiatan seni diembel-embeli kata Islam semisal “Gelar Seni Islami” yang kerap diselenggarakan mengisi momen bulan suci maupun hari besar Islam dan oleh penyelenggaranya didengungkan sekaligus sebagai kegiatan bertujuan untuk syiar Islam, tak sekadar mengatasnamakan Islam. (ys rat)
Karenanyalah, ketika sampai pada pernyataan pergelaran seni bertujuan untuk syiar Islam, sesungguhnya ada hal yang tak sesederhana menyebutkan “Gelar Seni Islami” sekadar sebagai nama.
Melalui bukunya Islam Bicara Seni, Penerbit Intermedia, Solo, April 1998, halaman 15, Dr Yusuf Qardhawi menegaskan; “Sesungguhnya Islam menghidupkan rasa keindahan dan mendukung kreasi seni, namun dengan syarat-syarat tertentu; syarat yang menjadikan karya seni memberi manfaat, bukannya mendatangkan mudharat; membangun, bukan malah merusak.”
Pemaknaan terhadap hal itu sesungguhnya sangat berkait dengan prinsip pergelaran seni dalam rangka syiar Islam bukanlah sebatas pemanfaatan kata “islami” sebagai embel-embel. Lebih dari itu, memaklumi seni sebagai salah satu bagian dari kebudayaan, maka keberadaan seni islami sejatinya tak bisa dilepaskan dari hakikat kebudayaan menurut ajaran Islam.
Sejalan dengan itu, Dr H Musa Asy’arie melalui Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al Quran; Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, halaman 119 mengemukakan; “Kebudayaan dalam Al Quran lebih dipandang sebagai proses dari cara hidup manusia mewujudkan totalitas dirinya dalam kehidupan, yang disebut dengan amal. Sebagai suatu proses amal, maka kebudayaan merupakan proses kesatuan pikiran dan qalbu dalam aktivitas hidup manusia mewujudkan dirinya.”
Dengan demikian, pemahaman terhadap karya seni islami tak cukup pada wujudnya. Melainkan tertuju secara menyeluruh kepada materi, proses dan pelaku di dalamnya. Jika keberadaan ketiga hal ini bukanlah potensi-potensi yang sejalan dengan prinsip-prinsip menuju kepada syiar Islam, mustahillah daripadanya lahir karya seni untuk dijadikan media kegiatan syiar Islam.
Tentunya sangat mudah dimaklumi, syiar sekaligus keinginan melakukan syiar Islam hanya mungkin dilaksanakan dan tumbuh dalam diri umat Islam. Hal yang demikian pastilah juga berlaku terhadap karya-karya seni islami yang merupakan bagian dari kegiatan syiar Islam. Sebagai bagian kegiatan syiar Islam, di dalam karya-karya seni islami bermuatan misi bagi upaya-upaya mengenalkan maupun menyebarkan prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan bagi senimannya, aktivitas berkesenian yang dijalaninya merupakan bagian dari pengabdian atau ibadahnya kepada Allah.
Oleh karena pemahaman terhadap karya seni islami tertuju menyeluruh terhadap materi, proses dan pelaku di dalamnya, maka sekecil apa pun peran yang ditanggungjawabi seorang seniman haruslah dilandasi kesadaran dan keinginan menyampaikan syiar Islam melalui karya yang dihasilkan. Prinsip dasarnya, ketulusan memahami prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam, serta ketulusan menyebarluaskannya.
Pendapat bahwa seni tak memiliki agama, pernah didengungkan sebagai reaksi terhadap pemikiran seputar seni islami. Namun, reaksi yang demikian sangat tak selaras dengan prinsip-prinsip maupun ajaran-ajaran Islam. Sebab bagi senimannya, Islam merupakan potensi utama dan mendasar yang dianut sekaligus sumber utama pula terhadap inspirasinya dalam melahirkan karya, untuk ikut berperan menggelorakan syiar Islam.
Jadi, sejatinyalah kegiatan seni diembel-embeli kata Islam semisal “Gelar Seni Islami” yang kerap diselenggarakan mengisi momen bulan suci maupun hari besar Islam dan oleh penyelenggaranya didengungkan sekaligus sebagai kegiatan bertujuan untuk syiar Islam, tak sekadar mengatasnamakan Islam. (ys rat)
Norman
“YAH, Bu, awak
berenti aja sekolah. Enakan jadi polisi, biar kayak Pak Norman itu, tiap ari
masuk tivi.”
Bayangkan, apa jadinya andai kalimat
semacam itu meluncur dari murid kelas satu sekolah dasar (SD) misalnya, karena
kerap menyaksikan anggota Brimob Polda Gorontalo, Briptu Norman Kamaru, yang
sempat amat ngetop di televisi berkat video lip sync kocaknya membawakan lagu
India berjudul Chaiyya, Chaiyya yang pernah dinyanyikan Shahrukh Khan di film
Dil Se tahun 1998, diunggah ke Youtube beberapa waktu lalu.
Salah satunya, bertambah tugas orang tua memberi bimbingan dan arahan kepada si anak bahwa untuk jadi polisi bukan karena pintar joget dan nyanyi. Namun, percayalah, belum pernah ada – juga mudah-mudahan tak bakalan ada – kalimat seperti itu dilontarkan murid SD kelas berapa pun. Satu yang pasti, gencarnya pemberitaan “keartisan” Norman Kamaru itu pernah sempat merasuki nalar masyarakat Indonesia dari berbagai status sosial, pendidikan, dan usia.
Setelah sempat terancam sanksi berat, sebagaimana dikemukakan Kepala Satuan Brimob Polda Gorontalo, AKBP Anang A. Sumpena, Norman hanya dikenakan teguran lisan sebagai sanksi paling ringan. Apabila memedomani peraturan kepolisian yang sebenarnya, terhadap Norman bisa diberi sanksi di antaranya tidak dibolehkan menerima kesempatan karier pendidikan selama setahun, penundaan kenaikan pangkat selam setahun, mutasi bersifat demosi, atau ditempatkan di sel khusus selama 21 hari.
Memang, kalaupun terhadap Norman diberikan sanksi, sebenarnya hal itu wajar-wajar saja karena saat “bergaya” dia memakai seragam polisi lengkap dan sedang bertugas jaga di pos polisi. Tapi, alih-alih mendapat sanksi berat, dia justru menuai banyak berkah pasca aksinya yang ditayangkan di Youtube itu. Bahkan, menurut pengakuan Norman, dia memperoleh bonus uang dari kesatuannya berkat kreativitasnya itu.
Kapolri Jenderal Timur Pradopo juga memuji penampilan Norman, yang notabene anak buahnya. Dia bahkan berjanji akan mengarahkan kreativitas Norman agar bisa dikembangkan. “Dia punya kreativitas bagus, kita arahkan nanti,” katanya usai menghadiri pelantikan anggota Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, di Istana Negara, Jalan Veteran, Jakarta, Rabu (6/4/2011).
Popularitas Norman Kamaru makin melejit, menjadikan dia laiknya artis, tak luput berkat dukungan sejumlah stasiun televisi menghadirkannya tampil mengisi acara. Sementara itu, dari luar institusi kepolisian mengalir pendapat aksi Norman Kamaru merupakan cerminan polisi humanis bahkan gaul yang harusnya jadi contoh bagi polisi-polisi lainnya karena diyakini bisa semakin mendekatkan polisi dengan masyarakat.
Ketua DPR, Marzuki Alie, bahkan yakin Norman Kamaru juga bersikap humanis ketika melayani masyarakat. “Norman memperlihatkan situasi yang lain, yang lebih humanis. Dia pasti melayani masyarakatnya dengan humanis juga,” katanya kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2011).
Pendapat senada dikemukakan Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR, bahwa semakin gaul seorang polisi semakin dekat dengan rakyat. Eva yang menyesalkan andai Norman Kamaru dimarahi, bahkan menyontohkan polisi Bangkok. “Di Bangkok saja polisi boleh joget-joget sambil mengatur lalu lintas. Itu tidak ada risikonya bagi pelayanan publik, malah bikin segar dan manusiawi,” ujar politisi PDIP itu, Selasa (5/4/2011).
Eva jelas membandingkan antara Indonesia dengan Bangkok sehubungan “gaya” polisi negara itu, melalui penggunaan kata saja pada pernyataannya, “Di Bangkok saja...”
Kalaulah maksudnya menghebatkan Bangkok ketimbang Indonesia, apa lantas yang dilakukan polisi negara itu berarti lebih bagus dan layak ditiru polisi Indonesia? Agaknya tak perlulah menjelajah hingga wilayah nan jauh. Cukupkan di negara sendiri dan marilah kita mengandai-andai seluruh polisi laiknya Norman Kamaru.
Apa jadinya? Banyak pelaku kejahatan bisa ditangkap – tapi khusus yang mengidap penyakit latah – hanya dengan cara menggelar arena joget setelah posisinya dikepung. Soalnya, penjahat yang demikian, lantaran kelatahannya akan ikut-ikutan joget. Kalau sudah begitu, tinggal gampang menangkapnya. Asal jangan, malah polisi dan penjahatnya keasyikan joget. ( ys rat)
Salah satunya, bertambah tugas orang tua memberi bimbingan dan arahan kepada si anak bahwa untuk jadi polisi bukan karena pintar joget dan nyanyi. Namun, percayalah, belum pernah ada – juga mudah-mudahan tak bakalan ada – kalimat seperti itu dilontarkan murid SD kelas berapa pun. Satu yang pasti, gencarnya pemberitaan “keartisan” Norman Kamaru itu pernah sempat merasuki nalar masyarakat Indonesia dari berbagai status sosial, pendidikan, dan usia.
Setelah sempat terancam sanksi berat, sebagaimana dikemukakan Kepala Satuan Brimob Polda Gorontalo, AKBP Anang A. Sumpena, Norman hanya dikenakan teguran lisan sebagai sanksi paling ringan. Apabila memedomani peraturan kepolisian yang sebenarnya, terhadap Norman bisa diberi sanksi di antaranya tidak dibolehkan menerima kesempatan karier pendidikan selama setahun, penundaan kenaikan pangkat selam setahun, mutasi bersifat demosi, atau ditempatkan di sel khusus selama 21 hari.
Memang, kalaupun terhadap Norman diberikan sanksi, sebenarnya hal itu wajar-wajar saja karena saat “bergaya” dia memakai seragam polisi lengkap dan sedang bertugas jaga di pos polisi. Tapi, alih-alih mendapat sanksi berat, dia justru menuai banyak berkah pasca aksinya yang ditayangkan di Youtube itu. Bahkan, menurut pengakuan Norman, dia memperoleh bonus uang dari kesatuannya berkat kreativitasnya itu.
Kapolri Jenderal Timur Pradopo juga memuji penampilan Norman, yang notabene anak buahnya. Dia bahkan berjanji akan mengarahkan kreativitas Norman agar bisa dikembangkan. “Dia punya kreativitas bagus, kita arahkan nanti,” katanya usai menghadiri pelantikan anggota Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, di Istana Negara, Jalan Veteran, Jakarta, Rabu (6/4/2011).
Popularitas Norman Kamaru makin melejit, menjadikan dia laiknya artis, tak luput berkat dukungan sejumlah stasiun televisi menghadirkannya tampil mengisi acara. Sementara itu, dari luar institusi kepolisian mengalir pendapat aksi Norman Kamaru merupakan cerminan polisi humanis bahkan gaul yang harusnya jadi contoh bagi polisi-polisi lainnya karena diyakini bisa semakin mendekatkan polisi dengan masyarakat.
Ketua DPR, Marzuki Alie, bahkan yakin Norman Kamaru juga bersikap humanis ketika melayani masyarakat. “Norman memperlihatkan situasi yang lain, yang lebih humanis. Dia pasti melayani masyarakatnya dengan humanis juga,” katanya kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/4/2011).
Pendapat senada dikemukakan Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR, bahwa semakin gaul seorang polisi semakin dekat dengan rakyat. Eva yang menyesalkan andai Norman Kamaru dimarahi, bahkan menyontohkan polisi Bangkok. “Di Bangkok saja polisi boleh joget-joget sambil mengatur lalu lintas. Itu tidak ada risikonya bagi pelayanan publik, malah bikin segar dan manusiawi,” ujar politisi PDIP itu, Selasa (5/4/2011).
Eva jelas membandingkan antara Indonesia dengan Bangkok sehubungan “gaya” polisi negara itu, melalui penggunaan kata saja pada pernyataannya, “Di Bangkok saja...”
Kalaulah maksudnya menghebatkan Bangkok ketimbang Indonesia, apa lantas yang dilakukan polisi negara itu berarti lebih bagus dan layak ditiru polisi Indonesia? Agaknya tak perlulah menjelajah hingga wilayah nan jauh. Cukupkan di negara sendiri dan marilah kita mengandai-andai seluruh polisi laiknya Norman Kamaru.
Apa jadinya? Banyak pelaku kejahatan bisa ditangkap – tapi khusus yang mengidap penyakit latah – hanya dengan cara menggelar arena joget setelah posisinya dikepung. Soalnya, penjahat yang demikian, lantaran kelatahannya akan ikut-ikutan joget. Kalau sudah begitu, tinggal gampang menangkapnya. Asal jangan, malah polisi dan penjahatnya keasyikan joget. ( ys rat)
Masyarakat
SEJATINYA, tak ada perbedaan perlakuan
terhadap masyarakat suatu negara. Ini jika dipahami dari arti kata masyarakat;
sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan
yang mereka anggap sama.
Dengan demikian, pada hakikat masyarakat Indonesia
merupakan seluruh warga negara yang kebersatuannya karena diikat oleh, atau
mengikatkan diri pada kebudayaan bersama keberagamannya, tanpa perbedaan
perlakuan dari di antaranya apalagi pemerintah.
Undang-undang dasar (UUD) negara kita pun, UUD 1945, melalui pasal 27 ayat 1 memberi hak dan kewajiban; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Sudah sejalankah antara penerapan hak dan kewajiban di kalangan warga negara Indonesia? Soal kewajiban setiap warga negara, taklah asing bagi kita banyak produk peraturan hukum dan perundang-undangan diciptakan khusus untuk mengurusnya.
Soal hak bagi setiap warga negara? Terutama perlakuan, pemerintah baik secara institusi melalui program maupun pernyataan pejabatnya, justru kerap terkesan “mensahkan” perbedaan di kalangan warganya. Penggunaan istilah bantuan beras untuk rakyat miskin yang “dipopulerkan” sebagai raskin salah satunya.
Tak cuma nama, beras yang dijatah pun, selain harganya memang murah, kualitasnya terkesan kian memposisikan penerimanya pantas disebut sebagai rakyat miskin. Jadilah, andai sekadar itu dan seterusnya demikian, jangankan naik status tak lagi dianggap miskin, untuk menikmati beras kualitas “orang kaya” pun mereka tak bakalan kesampaian. Lagian, memberi sesuatu namun diembeli kata miskin kepada orang yang – sudahlah dianggap pemerintah – miskin, sama saja pemerintah tak memberi kesempatan untuknya menikmati sesuatu yang selama ini tak mampu diperolehnya.
Selain itu – meskipun samar – tak sedikit nama program pemerintah yang menjadi bukti perbedaan perlakuan terhadap warganya. Lantas, tak adakah kesamaan perlakuan terhadap warganya, baik dari pemerintah maupun para pejabatnya? Sudah pasti ada dan bahkan sering.
Menyikapi tayangan televisi yang dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif terhadap pendidikan dan perkembangan jiwa anak misalnya, kepada seluruh masyarakat diminta supaya bersikap bijak dengan memilah tayangan mana yang layak dan yang tak layak untuk ditonton putra-putrinya, sekaligus mendampingi dan memberi arahan terhadap putra-putrinya. Bahkan paling mutakhir, pasca orang yang kata kabar menyebabkan Pemerintah Amerika (AS) kedandapan mencarinya, Osama Bin Laden, dinyatakan tewas diserang pasukan AS di Pakistan, Minggu (1/5/2011), selang sehari kemudian Kapolri Jenderal Timur Pradopo pun meminta masyarakat Indonesia meningkatkan kewaspadaan.
Meskipun sekadar dua contoh permintaan dari pemerintah kepada seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana digambarkan di atas, cukuplah jadi bukti bahwa selain perbedaan perlakuan, ada juga kesamaan perlakuan pemerintah terhadap warganya dengan cara meminta. Soal
kekhawatiran dampak negatif tayangan televisi terhadap pendidikan dan perkembangan jiwa anak, maupun kemungkinan mengemukanya gangguan keamanan pasca kabar Osama Bin Laden ditewaskan pasukan AS, terhadap kedua-duanya wajarlah pemerintah meminta masyarakat Indonesia berperan aktif mengantisipasinya.
Hanya saja pertanyaannya; sudahkah antisipasi paling awal yang menjadi tanggung jawab pemerintah dipenuhi? Kalaulah belum, meminta masyarakat melakukannya, samalah menyuruh membersihkan kotoran yang tak mungkin siapa pun mewujudkannya.
Atau, memang sudah demikianlah nasibnya masyarakat. Dibeda-bedakan dan diminta-minta.
(ys rat)
Undang-undang dasar (UUD) negara kita pun, UUD 1945, melalui pasal 27 ayat 1 memberi hak dan kewajiban; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Sudah sejalankah antara penerapan hak dan kewajiban di kalangan warga negara Indonesia? Soal kewajiban setiap warga negara, taklah asing bagi kita banyak produk peraturan hukum dan perundang-undangan diciptakan khusus untuk mengurusnya.
Soal hak bagi setiap warga negara? Terutama perlakuan, pemerintah baik secara institusi melalui program maupun pernyataan pejabatnya, justru kerap terkesan “mensahkan” perbedaan di kalangan warganya. Penggunaan istilah bantuan beras untuk rakyat miskin yang “dipopulerkan” sebagai raskin salah satunya.
Tak cuma nama, beras yang dijatah pun, selain harganya memang murah, kualitasnya terkesan kian memposisikan penerimanya pantas disebut sebagai rakyat miskin. Jadilah, andai sekadar itu dan seterusnya demikian, jangankan naik status tak lagi dianggap miskin, untuk menikmati beras kualitas “orang kaya” pun mereka tak bakalan kesampaian. Lagian, memberi sesuatu namun diembeli kata miskin kepada orang yang – sudahlah dianggap pemerintah – miskin, sama saja pemerintah tak memberi kesempatan untuknya menikmati sesuatu yang selama ini tak mampu diperolehnya.
Selain itu – meskipun samar – tak sedikit nama program pemerintah yang menjadi bukti perbedaan perlakuan terhadap warganya. Lantas, tak adakah kesamaan perlakuan terhadap warganya, baik dari pemerintah maupun para pejabatnya? Sudah pasti ada dan bahkan sering.
Menyikapi tayangan televisi yang dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif terhadap pendidikan dan perkembangan jiwa anak misalnya, kepada seluruh masyarakat diminta supaya bersikap bijak dengan memilah tayangan mana yang layak dan yang tak layak untuk ditonton putra-putrinya, sekaligus mendampingi dan memberi arahan terhadap putra-putrinya. Bahkan paling mutakhir, pasca orang yang kata kabar menyebabkan Pemerintah Amerika (AS) kedandapan mencarinya, Osama Bin Laden, dinyatakan tewas diserang pasukan AS di Pakistan, Minggu (1/5/2011), selang sehari kemudian Kapolri Jenderal Timur Pradopo pun meminta masyarakat Indonesia meningkatkan kewaspadaan.
Meskipun sekadar dua contoh permintaan dari pemerintah kepada seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana digambarkan di atas, cukuplah jadi bukti bahwa selain perbedaan perlakuan, ada juga kesamaan perlakuan pemerintah terhadap warganya dengan cara meminta. Soal
kekhawatiran dampak negatif tayangan televisi terhadap pendidikan dan perkembangan jiwa anak, maupun kemungkinan mengemukanya gangguan keamanan pasca kabar Osama Bin Laden ditewaskan pasukan AS, terhadap kedua-duanya wajarlah pemerintah meminta masyarakat Indonesia berperan aktif mengantisipasinya.
Hanya saja pertanyaannya; sudahkah antisipasi paling awal yang menjadi tanggung jawab pemerintah dipenuhi? Kalaulah belum, meminta masyarakat melakukannya, samalah menyuruh membersihkan kotoran yang tak mungkin siapa pun mewujudkannya.
Atau, memang sudah demikianlah nasibnya masyarakat. Dibeda-bedakan dan diminta-minta.
(ys rat)
Ludruk
LUDRUK dan mahasiswa. Benar, jika Anda
menyimpulkannya dua hal yang berbeda. Tapi, tak pula salah yang berpendapat ada
kesamaan di antara keduanya. Dalam hal ini, Rendra (alm) dalam bukunya
“Mempertimbangkan Tradisi” menyamakan gerakan mahasiswa dengan ludruk.
Ludruk, merupakan salah satu kesenian Jawa,
yang di dalamnya terdapat unsur kekasaran melalui lontaran kritik. Penyampaian
kritik dalam kesenian ludruk lewat humor kasar yang diistilahkan urakan itulah,
disamakan Rendra dengan gerakan mahasiswa pada tahun 1966.
Pada masa itu, gerakan mahasiswa juga mengandung unsur urakan. Sama halnya dengan unsur urakan di dalam ludruk, unsur urakan yang mengemuka dari gerakan mahasiswa ketika itu juga bagian dari upaya mengekspresikan rasa frustrasi rakyat terhadap kinerja pimpinan pemerintahan yang dinilai tak berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah gerakan mahasiswa pada masa itu bukan tanpa arti. Dia merupakan gerakan yang fungsinya benar-benar disadari bertujuan menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai hasrat masyarakat. Tak malah sebaliknya, justru menciptakan suasana gaduh. Humor kasar yang diistilahkan urakan itu mengemuka sebagai kritik tak menghujat. Karenanya, cara yang ditempuh ludruk dan gerakan mahasiswa di masa itu bisa diterima sewajarnya.
Seiring pertambahan jumlah pergutuan tinggi di Indonesia, kian melangit jualah jumlah mahasiswanya. Selain tak henti mengalir, kondisi ini tak luput memicu membengkaknya barisan gerakan mahasiswa. Nyaris, saban hari tak lekang gerakan mahasiswa menghiasi penglihatan kita. Tak cuma berasal dari lembaga mahasiswa resmi kampus, sejumlah di antaranya juga bentukan di luar kampus dan tak jarang mengatasnamakan mahasiswa daerah tertentu.
Gerakan mahasiswa bukanlah hal tabu. Malah positif, sebagai bagian dari proses menyatulekatkan keberpihakannya terhadap masyarakat, yang beguna untuk modalnya kelak menorehbaktikan kekayaan intelektualnya di tengah-tengah masyarakat itu pula.
Hanya saja pertanyaannya, masih tetap samakah dengan ludruk, gerakan mahasiswa sekarang yang jumlahnya berjibun? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, lihat sekaligus cermatilah berbagai gerakan mahasiswa yang kini nyaris tak berhenti mengalir. Tapi, terlepas apa pun jawaban yang peroleh, para elite di negeri ini harusnya menyadari dan memahami gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang perlu dan harus dimusuhi. Sebab, melalui gerakan mahasiswa ada lontaran kritik sewajarnya dan layak diterima untuk memperbaiki keadaan yang menurut hati nurani masyarakat perlu diperbaiki.
Intinya, perlu kerelaan sikap menerima kritikan-kritikan yang dilontarkan lewat gerakan mahasiswa. Terutama sikap seperti ini perlu dipunyai mereka yang menduduki jabatan pimpinan pemerintahan. Haruslah dipahami benar, kalaupun ada kekasaran dalam gerakan mahasiswa, cuma kekasaran laiknya ludruk. Dia bergulir menurut jalan cerita yang memang terjadi.
Demikian pun mahasiswa, jika ingin mempergunakan perannya sebagai kaum urakan, haruslah memposisikan diri sebagai kaum urakan sejati yang paham tempo permainan. Seorang urakan sejati haruslah mempunyai disiplin pribadi yang tinggi. Apalagi mahasiswa, merupakan kaum urakan yang telah mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga, taklah pantas andai aksi yang dilakukannya sekadar gagah-gagahan.
Sekarang tentukan sendiri. Gerakan mahasiswa, sebagai kaum urakan bak ludruk yang melontarkan kritik melalui humor kasar tanpa menghujat, atau robot yang digerakkan dan sekadar dilumuri hiasan semu. (ys rat)
Pada masa itu, gerakan mahasiswa juga mengandung unsur urakan. Sama halnya dengan unsur urakan di dalam ludruk, unsur urakan yang mengemuka dari gerakan mahasiswa ketika itu juga bagian dari upaya mengekspresikan rasa frustrasi rakyat terhadap kinerja pimpinan pemerintahan yang dinilai tak berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, jelaslah gerakan mahasiswa pada masa itu bukan tanpa arti. Dia merupakan gerakan yang fungsinya benar-benar disadari bertujuan menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai hasrat masyarakat. Tak malah sebaliknya, justru menciptakan suasana gaduh. Humor kasar yang diistilahkan urakan itu mengemuka sebagai kritik tak menghujat. Karenanya, cara yang ditempuh ludruk dan gerakan mahasiswa di masa itu bisa diterima sewajarnya.
Seiring pertambahan jumlah pergutuan tinggi di Indonesia, kian melangit jualah jumlah mahasiswanya. Selain tak henti mengalir, kondisi ini tak luput memicu membengkaknya barisan gerakan mahasiswa. Nyaris, saban hari tak lekang gerakan mahasiswa menghiasi penglihatan kita. Tak cuma berasal dari lembaga mahasiswa resmi kampus, sejumlah di antaranya juga bentukan di luar kampus dan tak jarang mengatasnamakan mahasiswa daerah tertentu.
Gerakan mahasiswa bukanlah hal tabu. Malah positif, sebagai bagian dari proses menyatulekatkan keberpihakannya terhadap masyarakat, yang beguna untuk modalnya kelak menorehbaktikan kekayaan intelektualnya di tengah-tengah masyarakat itu pula.
Hanya saja pertanyaannya, masih tetap samakah dengan ludruk, gerakan mahasiswa sekarang yang jumlahnya berjibun? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, lihat sekaligus cermatilah berbagai gerakan mahasiswa yang kini nyaris tak berhenti mengalir. Tapi, terlepas apa pun jawaban yang peroleh, para elite di negeri ini harusnya menyadari dan memahami gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang perlu dan harus dimusuhi. Sebab, melalui gerakan mahasiswa ada lontaran kritik sewajarnya dan layak diterima untuk memperbaiki keadaan yang menurut hati nurani masyarakat perlu diperbaiki.
Intinya, perlu kerelaan sikap menerima kritikan-kritikan yang dilontarkan lewat gerakan mahasiswa. Terutama sikap seperti ini perlu dipunyai mereka yang menduduki jabatan pimpinan pemerintahan. Haruslah dipahami benar, kalaupun ada kekasaran dalam gerakan mahasiswa, cuma kekasaran laiknya ludruk. Dia bergulir menurut jalan cerita yang memang terjadi.
Demikian pun mahasiswa, jika ingin mempergunakan perannya sebagai kaum urakan, haruslah memposisikan diri sebagai kaum urakan sejati yang paham tempo permainan. Seorang urakan sejati haruslah mempunyai disiplin pribadi yang tinggi. Apalagi mahasiswa, merupakan kaum urakan yang telah mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga, taklah pantas andai aksi yang dilakukannya sekadar gagah-gagahan.
Sekarang tentukan sendiri. Gerakan mahasiswa, sebagai kaum urakan bak ludruk yang melontarkan kritik melalui humor kasar tanpa menghujat, atau robot yang digerakkan dan sekadar dilumuri hiasan semu. (ys rat)
Presiden
SEWAKTU Presiden Republik Indonesia (RI)
masih Soeharto – yang memakan waktu 30 tahun lebih – siapalah dari di antara
ratusan juta rakyat negeri ini yang layak dinobatkan sebagai figur paling
berani?
Mereka yang pernah melontar kritik terhadap
kebijakan pemerintahannya melalui cara dan media apa pun, belum memenuhi syarat
untuk itu. Apalagi mereka yang “mengandalkan” aksi massa untuk menentangnya. Bahkan, tak juga
mereka yang harus mengalami nasib “dipenjarakan” atau “dihilangkan” karena
dianggap membahayakan.
Memang, mereka yang masuk kategori itu – yang tentunya sudah dewasa dalam hal usia – bolehlah dijuluki sebagai orang-orang pemberani di zaman Soeharto menduduki kursi kepresidenan. Tapi, untuk sampai ke tahap paling berani, mereka “ditaklukkan” oleh di antara warga negara Indonesia lainnya yang bahkan tergolong masih taraf usia taman kanak-kanak (TK).
Apa pasal? Sebab, hanya di kalangan mereka yang tergolong masih usia TK-lah, semasih Soeharto presiden ada yang berani secara terang-terangan bercita-cita untuk menggantikannya.
Bukanlah hal asing, telah sejak berwaktu-waktu lalu, jika kepada mereka yang masih taraf usia TK ditanyakan apa cita-citanya kelak setelah besar, tak jarang di antaranya menjawab; jadi presiden! Sedangkan di kalangan mereka yang sudah terbilang dewasa – semasa Soeharto berjaya – dikenal anekdot; sekadar bermimpi jadi presiden pun merupakan hal sangat menakutkan. Jadi, yang layak dinobatkan sebagai figur paling berani pada zaman itu hanya ada di antara mereka yang masih usia TK.
Kini, keadaan telah jauh berubah. Sejak lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, pasca BJ Habibie, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi presiden negeri ini nyaris bukan lagi hal luar biasa. Sebab, jabatan itu kini telah dijadikan “buruan” oleh banyak orang. Seiring dengannya, di masyarakat makin waktu kian membiak sikap, tak hirau siapa pun calon presidennya. Karenanya pula, calon Presiden RI di masa ini tak lagi layak dinobatkan sebagai figur paling berani.
Selain itu, juga tak perlu heran menghadapi kenyataan di antara kandidat presiden yang dimunculkan maupun memunculkan diri bermuasal dari aneka macam latar belakang. Mulai yang memang sangat dikenal luas masyarakat karena ketohonannya, atau malah karena penokohnya, yang tiba-tiba ngetop sebagai tokoh bidang tertentu, hingga yang untuk jadi kepala lingkungan pun perlu dipertanyakan kesanggupannya.
Sangat nyata, seiring perjalanan jabatan presiden di negeri ini yang telah menjadi “buruan” banyak orang, muncul arena mengumbar janji di kalangan kandidat presiden. Yang demikian, semakin membuncah mewarnai suasana menjelang pemilu presiden. Maka jadi biasalah kita mendengar janji; “Kalau saya terpilih jadi presiden….,” meluncur dari mulut para kandidat presiden di berbagai kesempatan, termasuk melalui mata acara yang disiarkan stasiun televisi.
Sesungguhnya telah banyak pengalaman yang pantas dijadikan pelajaran untuk bersikap, percaya atau tidak terhadap janji-janji para kandidat presiden itu. Hanya saja, tak jarang hal ini terabaikan bersebab menyilaukannya daya pikat yang membalut janji-janji itu maupun pesona penyampainya. Lantas, bagaimanakah sebaiknya menyikapi janji-janji yang diumbarsumbarkan para kandidat presiden?
Jangan samakan janji para kandidat presiden dengan janji orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan pendidikan anaknya – walaupun hanya membersit di dalam hati – yang tanpa secuil pamrih pun pasti tetap diupayakan memperolehnya. Sebab, janji para kandidat presiden – sekecil apa pun – tetap diembeli target untuk menarik simpati calon pemilih. Soal pemenuhannya; nomor sekian! ( ys rat)
Memang, mereka yang masuk kategori itu – yang tentunya sudah dewasa dalam hal usia – bolehlah dijuluki sebagai orang-orang pemberani di zaman Soeharto menduduki kursi kepresidenan. Tapi, untuk sampai ke tahap paling berani, mereka “ditaklukkan” oleh di antara warga negara Indonesia lainnya yang bahkan tergolong masih taraf usia taman kanak-kanak (TK).
Apa pasal? Sebab, hanya di kalangan mereka yang tergolong masih usia TK-lah, semasih Soeharto presiden ada yang berani secara terang-terangan bercita-cita untuk menggantikannya.
Bukanlah hal asing, telah sejak berwaktu-waktu lalu, jika kepada mereka yang masih taraf usia TK ditanyakan apa cita-citanya kelak setelah besar, tak jarang di antaranya menjawab; jadi presiden! Sedangkan di kalangan mereka yang sudah terbilang dewasa – semasa Soeharto berjaya – dikenal anekdot; sekadar bermimpi jadi presiden pun merupakan hal sangat menakutkan. Jadi, yang layak dinobatkan sebagai figur paling berani pada zaman itu hanya ada di antara mereka yang masih usia TK.
Kini, keadaan telah jauh berubah. Sejak lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, pasca BJ Habibie, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi presiden negeri ini nyaris bukan lagi hal luar biasa. Sebab, jabatan itu kini telah dijadikan “buruan” oleh banyak orang. Seiring dengannya, di masyarakat makin waktu kian membiak sikap, tak hirau siapa pun calon presidennya. Karenanya pula, calon Presiden RI di masa ini tak lagi layak dinobatkan sebagai figur paling berani.
Selain itu, juga tak perlu heran menghadapi kenyataan di antara kandidat presiden yang dimunculkan maupun memunculkan diri bermuasal dari aneka macam latar belakang. Mulai yang memang sangat dikenal luas masyarakat karena ketohonannya, atau malah karena penokohnya, yang tiba-tiba ngetop sebagai tokoh bidang tertentu, hingga yang untuk jadi kepala lingkungan pun perlu dipertanyakan kesanggupannya.
Sangat nyata, seiring perjalanan jabatan presiden di negeri ini yang telah menjadi “buruan” banyak orang, muncul arena mengumbar janji di kalangan kandidat presiden. Yang demikian, semakin membuncah mewarnai suasana menjelang pemilu presiden. Maka jadi biasalah kita mendengar janji; “Kalau saya terpilih jadi presiden….,” meluncur dari mulut para kandidat presiden di berbagai kesempatan, termasuk melalui mata acara yang disiarkan stasiun televisi.
Sesungguhnya telah banyak pengalaman yang pantas dijadikan pelajaran untuk bersikap, percaya atau tidak terhadap janji-janji para kandidat presiden itu. Hanya saja, tak jarang hal ini terabaikan bersebab menyilaukannya daya pikat yang membalut janji-janji itu maupun pesona penyampainya. Lantas, bagaimanakah sebaiknya menyikapi janji-janji yang diumbarsumbarkan para kandidat presiden?
Jangan samakan janji para kandidat presiden dengan janji orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan pendidikan anaknya – walaupun hanya membersit di dalam hati – yang tanpa secuil pamrih pun pasti tetap diupayakan memperolehnya. Sebab, janji para kandidat presiden – sekecil apa pun – tetap diembeli target untuk menarik simpati calon pemilih. Soal pemenuhannya; nomor sekian! ( ys rat)
Bisa
KATA “bisa” merupakan salah satu dari
perbendaharaan kata yang dalam kehidupan sehari-hari penggunaannya tak asing di
antara kita. Melalui lisan maupun tulisan, pastilah Anda pernah menggunakannya.
Selain itu, tentunya Anda pernah mendengar orang mengucapkan kata “bisa” di
antara rangkaian kelimatnya saat dia berbicara.
Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia-Balai Pustaka, Jakarta,
2005, kata “bisa” selain mengandung arti mampu (kuasa melakukan sesuatu) atau
dapat, juga diartikan sebagai zat racun yang dapat menyebabkan luka, busuk,
atau mati bagi sesuatu yang hidup (biasanya terdapat pada binatang).
Terhadap pemakaian kata “bisa” – apalagi oleh orang lain – sejatinya kita dituntut mengandalkan kejelian untuk menyikapinya, sehingga tak langsung saja melakukan pemahaman sesuai arti dan makna dasarnya. Terkait hal ini, cobalah simak dan amati dengan cermat berbagai pemberitaan melalui media massa cetak maupun elektronik, terutama yang mengekspose pernyataan dari di antara pejabat tinggi negara kita.
Harry Azhar Azis di Jakarta, Sabtu (10/1/2009), semasih sebagai Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR masa itu mengatakan, pemerintah seharusnya bisa menurunkan tarif dasar listrik (TDL) bersubsidi hingga 30 peresen. Tapi menurutnya, penurunan tarif itu harus mengutamakan pelanggan golongan menengah ke bawah.
“Pelanggan 250-900 VA bisa diturunkan TDL-nya sekitar 15-25 persen,” kata Harry. Menurut dia, penurunan tarif bisa dilakukan saat itu karena harga minyak dunia sudah turun drastis. Dia juga mengatakan, tenaga pembangkit listrik PLN memakai bahan bakar minyak, sehingga anjloknya harga minyak memberikan penghematan subsidi sekitar enam hingga delapan persen.
Lantas tahun berikutnya, tepatnya Kamis (26/8/2010), seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakartan, Dirut PLN Dahlan Iskan menegaskan, rencana kenaikan TDL sebesar 15 persen bisa dihindari jika harga bahan bakar minyak turun dan kurs rupiah menguat.
Begitulah antara lain kalimat menggunakan kata “bisa” di dalamnya yang pernah dilontarkan oleh di antara pejabat tinggi negara kita soal tarif listrik. Di tengah penerapan sistem yang memang potensial menimbulkan harap-harap cemas masyarakat sehubungan naik atau tidaknya tarif listrik, karena dikemukakan oleh di antara pejabat tinggi negara kita, wajarlah jika kalimat itu dengan mudahnya menimbulkan rasa lega.
Bahkan, tak sedikit di antara kita yang segera saja meyakini tarif listrik akan turun sebagaimana disebutkan sang pejabat tinggi itu. Sebaliknya pula, jika kenyataannya kemudian tak terbukti tarif listrik turun, kekecewaan pun membuncah dan dianggaplah sang pejabat telah membohongi rakyat.
Itu tak lain bersebab kata “bisa” dalam kalimat pejabat tinggi itu soal tarif listrik bisa turun, langsung dipahami berdasarkan arti dan makna dasarnya. Padahal, kata “bisa” taklah mewakili sebuah kepastian dan penggunaannya di dalam kalimat sangat mungkin malah bertujuan menyatakan sesuatu yang belum pasti.
Sebagaimana dikemukakan di awal, kata “bisa” antara lain mengandung arti mampu (kuasa melakukan sesuatu) atau dapat, juga diartikan sebagai zat racun yang dapat menyebabkan luka, busuk, atau mati bagi sesuatu yang hidup (biasanya terdapat pada binatang).
Oleh karenanya, terhadap penggunaan kata “bisa” dalam kalimat, apalagi jika kalimat itu bersumber dari di antara pejabat tinggi negara kita, sangatlah bijak kita mengedepankan kecermatan dalam memahami arti dan maknanya. Jangan sampai tanpa sadar kita menelan kata “bisa” yang berarti; racun! (ys rat)
Terhadap pemakaian kata “bisa” – apalagi oleh orang lain – sejatinya kita dituntut mengandalkan kejelian untuk menyikapinya, sehingga tak langsung saja melakukan pemahaman sesuai arti dan makna dasarnya. Terkait hal ini, cobalah simak dan amati dengan cermat berbagai pemberitaan melalui media massa cetak maupun elektronik, terutama yang mengekspose pernyataan dari di antara pejabat tinggi negara kita.
Harry Azhar Azis di Jakarta, Sabtu (10/1/2009), semasih sebagai Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR masa itu mengatakan, pemerintah seharusnya bisa menurunkan tarif dasar listrik (TDL) bersubsidi hingga 30 peresen. Tapi menurutnya, penurunan tarif itu harus mengutamakan pelanggan golongan menengah ke bawah.
“Pelanggan 250-900 VA bisa diturunkan TDL-nya sekitar 15-25 persen,” kata Harry. Menurut dia, penurunan tarif bisa dilakukan saat itu karena harga minyak dunia sudah turun drastis. Dia juga mengatakan, tenaga pembangkit listrik PLN memakai bahan bakar minyak, sehingga anjloknya harga minyak memberikan penghematan subsidi sekitar enam hingga delapan persen.
Lantas tahun berikutnya, tepatnya Kamis (26/8/2010), seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakartan, Dirut PLN Dahlan Iskan menegaskan, rencana kenaikan TDL sebesar 15 persen bisa dihindari jika harga bahan bakar minyak turun dan kurs rupiah menguat.
Begitulah antara lain kalimat menggunakan kata “bisa” di dalamnya yang pernah dilontarkan oleh di antara pejabat tinggi negara kita soal tarif listrik. Di tengah penerapan sistem yang memang potensial menimbulkan harap-harap cemas masyarakat sehubungan naik atau tidaknya tarif listrik, karena dikemukakan oleh di antara pejabat tinggi negara kita, wajarlah jika kalimat itu dengan mudahnya menimbulkan rasa lega.
Bahkan, tak sedikit di antara kita yang segera saja meyakini tarif listrik akan turun sebagaimana disebutkan sang pejabat tinggi itu. Sebaliknya pula, jika kenyataannya kemudian tak terbukti tarif listrik turun, kekecewaan pun membuncah dan dianggaplah sang pejabat telah membohongi rakyat.
Itu tak lain bersebab kata “bisa” dalam kalimat pejabat tinggi itu soal tarif listrik bisa turun, langsung dipahami berdasarkan arti dan makna dasarnya. Padahal, kata “bisa” taklah mewakili sebuah kepastian dan penggunaannya di dalam kalimat sangat mungkin malah bertujuan menyatakan sesuatu yang belum pasti.
Sebagaimana dikemukakan di awal, kata “bisa” antara lain mengandung arti mampu (kuasa melakukan sesuatu) atau dapat, juga diartikan sebagai zat racun yang dapat menyebabkan luka, busuk, atau mati bagi sesuatu yang hidup (biasanya terdapat pada binatang).
Oleh karenanya, terhadap penggunaan kata “bisa” dalam kalimat, apalagi jika kalimat itu bersumber dari di antara pejabat tinggi negara kita, sangatlah bijak kita mengedepankan kecermatan dalam memahami arti dan maknanya. Jangan sampai tanpa sadar kita menelan kata “bisa” yang berarti; racun! (ys rat)
Air
AIR. Semua manusia, bahkan sejak dalam
kandungan, membutuhkannya. Di tubuh manusia, sejatinya berisi 45 hingga 55
liter air atau mencapai 40 hingga 50% dari seluruh bagian tubuh. Namun, dengan
keberadaan air yang mengisi sebagian besar bagian tubuh manusia, manusia juga
kehilangan air dalam jumlah banyak setiap hari, yakni sekitar 3,5 liter dalam
kondisi hanya duduk-duduk. Tentu jumlahnya akan lebih banyak jika manusia
beraktivitas.
Konon, tanpa makan manusia bisa bertahan
hidup hingga 30 hari. Malah, jika tak minum air dalam waktu tiga hari saja
manusia bisa meninggal dunia. Tapi kenyataannya, menurut pakar makanan di
Amerika Serikat, Jim Jones, tak sedikit orang yang ingin sehat namun dalam
keseharian selalu alpa untuk meminum air putih.
Dia juga mengingatkan, meminum kopi, teh atau cola bisa menggantikan air putih merupakan anggapan yang keliru. Air putih, jelas dia, menyediakan manfaat kesehatan yang tidak didapat dari minuman-minuman semacam itu. Bahkan, manfaat kesehatan yang diperoleh dari air putih tak bisa ditandingi sari buah-buahan yang penuh vitamin. Alasannya, walaupun dari segi nutrisi penting, namun sari buah-buahan tak membersihkan tubuh.
Sedangkan kardiolog dari Amerika Serikat, Dr James M Rippe, memberi saran hendaknya meminum air sedikitnya satu liter lebih banyak dari yang dibutuhkan rasa haus. Sebab, manusia akan turun kinerjanya sebanyak 22% jika kehilangan 4% saja cairan dari tubuhnya. Karenanya bisalah dimaklumi mengapa para pakar kesehatan mengingatkan, jangan hanya minum saat rasa haus mendera.
Selain diminum, menurut salah satu lembaga riset trombosis di London, orang yang selalu mandi menggunakan air dingin akan membaik peredaran darahnya. Juga disebutkan, mandi air dingin akan meningkatkan produksi sel darah putih di tubuh dan meningkatkan kemampuan menghadapi serangan virus. Direktur lembaga riset itu, Prof Fakkar, mengatakan, mandi air dingin membantu penyembuhan berbagai penyakit. Hanya saja dia mengingatkan, kadar dingin air yang digunakan harus bisa ditahan tubuh manusia.
Lebih dari itu, pemanfaatan air pun berlaku dalam kegiatan agama, antara lain untuk air wudhu, atau air baptis. Juga sebagai sarana pengusir roh jahat oleh di antara penganut aliaran kepercayaan.
Soal kebutuhan sehari-hari manusia terhadap air, umumnya warga Sumut tentu tak asing atas adanya perusahaan air minum milik Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pemprop Sumut). Perusahaan yang didirikan 23 September 1905 dengan nama awal NV Water Leiding Maatschappij Ajer Beresih dan berkantor pusat di Amsterdam, Belanda itu, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Sumut No 11 Tahun 1979, resmi diubah namanya jadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi dan berkantor pusat di Jalan Sisingamangaraja No 1 Medan.
Penggunaan “air minum” di bagian namanya, sejatinya sebagai cerminan kondisi air yang diproduksi dan dialirkan PDAM Tirtanadi ke tempat-tempat pelanggannya. Artinya, penggunaan nama “air minum” sekaligus merupakan jaminan tingkat kebersihan air yang dijual perusahaan itu kepada pelanggan. Sebab, taklah mungkin dinamakan “air minum” kalau kondisinya tak bersih. Lagian, mana pula ada orang yang sehat rohani dan dunia dalam kondisi normal mau meminum air yang nyata-nyata kotor.
Lantas, dipastikan bersihkah air yang dijual PDAM Tirtanadi? Kenyataan berikut mungkin bisa jadi jawaban tak langsung. Di daerah yang tak terlalu jauh dari Kantor PDAM Tirtanadi Cabang Jalan Tuasan Medan, tepatnya Jalan Madiosantoso, air ke rumah pelanggan tak jarang berjam-jam sekadar menetes-tes dan baru mulai lancar menjelang tengah hari. Berikutnya, masuk pagi sudah tak menetes lagi. Bahkan itu telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu dan terutama dialami pelanggan yang tak memakai mesin pompa air sebagai alat bantu. Ketika ada pelanggan mempertanyakan masalah itu melalui telepon, kalimat “nanti akan kami cek” sebagai jawaban klise yang diberikan pihak PDAM Tirtanadi.
Karenanya, di antara pelanggan yang bernasib demikian ada yang harus rela mengorbankan diri hingga menjelang pagi menampung air ke bak dan ember-ember yang khusus disediakan untuk itu. Tapi gawatnya, esoknya air yang telah ditampung itu tak seluruhnya bisa digunakan, karena di dasar bak maupun ember-ember penampungan terkadang didapati endapan gumpalan debu atau tanah. Layakkah air yang demikian dinamakan air bersih? ( ys rat )
Dia juga mengingatkan, meminum kopi, teh atau cola bisa menggantikan air putih merupakan anggapan yang keliru. Air putih, jelas dia, menyediakan manfaat kesehatan yang tidak didapat dari minuman-minuman semacam itu. Bahkan, manfaat kesehatan yang diperoleh dari air putih tak bisa ditandingi sari buah-buahan yang penuh vitamin. Alasannya, walaupun dari segi nutrisi penting, namun sari buah-buahan tak membersihkan tubuh.
Sedangkan kardiolog dari Amerika Serikat, Dr James M Rippe, memberi saran hendaknya meminum air sedikitnya satu liter lebih banyak dari yang dibutuhkan rasa haus. Sebab, manusia akan turun kinerjanya sebanyak 22% jika kehilangan 4% saja cairan dari tubuhnya. Karenanya bisalah dimaklumi mengapa para pakar kesehatan mengingatkan, jangan hanya minum saat rasa haus mendera.
Selain diminum, menurut salah satu lembaga riset trombosis di London, orang yang selalu mandi menggunakan air dingin akan membaik peredaran darahnya. Juga disebutkan, mandi air dingin akan meningkatkan produksi sel darah putih di tubuh dan meningkatkan kemampuan menghadapi serangan virus. Direktur lembaga riset itu, Prof Fakkar, mengatakan, mandi air dingin membantu penyembuhan berbagai penyakit. Hanya saja dia mengingatkan, kadar dingin air yang digunakan harus bisa ditahan tubuh manusia.
Lebih dari itu, pemanfaatan air pun berlaku dalam kegiatan agama, antara lain untuk air wudhu, atau air baptis. Juga sebagai sarana pengusir roh jahat oleh di antara penganut aliaran kepercayaan.
Soal kebutuhan sehari-hari manusia terhadap air, umumnya warga Sumut tentu tak asing atas adanya perusahaan air minum milik Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (Pemprop Sumut). Perusahaan yang didirikan 23 September 1905 dengan nama awal NV Water Leiding Maatschappij Ajer Beresih dan berkantor pusat di Amsterdam, Belanda itu, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Sumut No 11 Tahun 1979, resmi diubah namanya jadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi dan berkantor pusat di Jalan Sisingamangaraja No 1 Medan.
Penggunaan “air minum” di bagian namanya, sejatinya sebagai cerminan kondisi air yang diproduksi dan dialirkan PDAM Tirtanadi ke tempat-tempat pelanggannya. Artinya, penggunaan nama “air minum” sekaligus merupakan jaminan tingkat kebersihan air yang dijual perusahaan itu kepada pelanggan. Sebab, taklah mungkin dinamakan “air minum” kalau kondisinya tak bersih. Lagian, mana pula ada orang yang sehat rohani dan dunia dalam kondisi normal mau meminum air yang nyata-nyata kotor.
Lantas, dipastikan bersihkah air yang dijual PDAM Tirtanadi? Kenyataan berikut mungkin bisa jadi jawaban tak langsung. Di daerah yang tak terlalu jauh dari Kantor PDAM Tirtanadi Cabang Jalan Tuasan Medan, tepatnya Jalan Madiosantoso, air ke rumah pelanggan tak jarang berjam-jam sekadar menetes-tes dan baru mulai lancar menjelang tengah hari. Berikutnya, masuk pagi sudah tak menetes lagi. Bahkan itu telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu dan terutama dialami pelanggan yang tak memakai mesin pompa air sebagai alat bantu. Ketika ada pelanggan mempertanyakan masalah itu melalui telepon, kalimat “nanti akan kami cek” sebagai jawaban klise yang diberikan pihak PDAM Tirtanadi.
Karenanya, di antara pelanggan yang bernasib demikian ada yang harus rela mengorbankan diri hingga menjelang pagi menampung air ke bak dan ember-ember yang khusus disediakan untuk itu. Tapi gawatnya, esoknya air yang telah ditampung itu tak seluruhnya bisa digunakan, karena di dasar bak maupun ember-ember penampungan terkadang didapati endapan gumpalan debu atau tanah. Layakkah air yang demikian dinamakan air bersih? ( ys rat )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar