M. Raudah Jambak---------
PROSES BELAJAR PROSES MENCIPTA DAN PROSES BERKARYA
Apabila saya ingin mengubah keadaan, saya harus
mengubah diri saya lebih dahulu, dan untuk mengubah diri saya secara kreatif,
saya lebih dahulu harus mengubah persepsi saya (Stephen R. Covey)
Proses kreatif seorang pengarang dengan pengarang lain berbeda. Setiap sastrawan memiliki proses tersendiri. Latar belakang kehidupan, pendidikan, dan lingkungan turut "membentuk" pengarang itu. Seorang Pram atau Hemingway, atau Gunter Grass, pemenang Nobel Sastra 1999, yang hidup di zaman peperangan memiliki pengalaman kreatif yang berbeda dengan yang hidup di zaman damai.
Menulis karya fiksi tidak bisa diajarkan, tapi bisa dipelajari. Karena
itulah tiap sastrawan memiliki cara sendiri-sendiri dalam proses kreatifnya.
Dan, tulis Pramoedya Ananta Toer, "... proses kreatif tetap pengalaman
pribadi yang sangat pribadi sifatnya. Setiap pengarang akan mempunyai
pengalamannya sendiri, sudah terumuskan atau belum."
Sebanyak 12 sastrawan Indonesia terkemuka mengisahkan proses kreatif mereka dalam buku ini - kisah-kisah yang sangat menarik dan inspiratif. Bagaimana Pramoedya menciptakan novel PerburuanKeluarga Gerilya? Bagaimana Umar Kayam melahirkan cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" dan "Bawuk"? Bagaimana Sapardi Djoko Damono menggubah sajak-sajaknya yang manis dan seolah bercerita? Bagaimana Hamsad Rangkuti merangkai cerpen-cerpennya hingga murid kelas lima sekalipun dapat memahaminya? Itulah sebagian kisah yang menarik kita ikuti.
Sebanyak 12 sastrawan Indonesia terkemuka mengisahkan proses kreatif mereka dalam buku ini - kisah-kisah yang sangat menarik dan inspiratif. Bagaimana Pramoedya menciptakan novel PerburuanKeluarga Gerilya? Bagaimana Umar Kayam melahirkan cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" dan "Bawuk"? Bagaimana Sapardi Djoko Damono menggubah sajak-sajaknya yang manis dan seolah bercerita? Bagaimana Hamsad Rangkuti merangkai cerpen-cerpennya hingga murid kelas lima sekalipun dapat memahaminya? Itulah sebagian kisah yang menarik kita ikuti.
Manusia memiliki potensi jiwa,
yaitu manusia tidak begitu saja melupakan pengalaman. Bahkan, pengalaman dalam
hidupnya mengendap dalam dirinya. Endapan pengalaman itu ditempatkan di lubuk
batin yang dalam. Manusia memiliki potensi yaitu mampu memproses pengalaman itu
dalam proses imajinasi. Jadilah, jadilah, jadilah karya sastra. Karya sastra
terlahir dari proses kreatif pengarang. Puisi lahir dari proses kreatif
pengarang.
Apakah tidak ada yang patut dijadikan
bahkan diskusi? Tampaknya, proses imajinasi yang berlangsung di ladang imajiner
pengarang menjadi biang keladi terciptanya karya sastra. Pengaranglah yang
bertanggung jawab terhadap sebuah karya sastra. Pengaranglah yang menjadi
pelahir sebuah karya. Pengaranglah yang menjadi titik awal pengkajian setiap
ada karya sastra.
Proses
kreatif ini bisa dipaksakan. Proses kreatif ini terjadi dengan ”suasana
harmonis dalam diri pengarang”. Pemaksaan akan menghasilkan karya sastra, unsur
kejiwaan seorang pengarang memegang peranan dalam proses pelahiran karya
sastra.
Pengarang selalu pandai
membawakan diri di ladang imajiner. Karya sastra diproses dalam diri pengarang.
Setelah terlahir puisi pengarang telah selesai melakukan kewajibannya. Dunia
karya sastra dipenuhi oleh orang-orang yang mengedepankan proses kreatif. Proses
kreatif menulis puisi yang dialami oleh penyair pada akhirnya menghasilkan
puisi. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra. Puisi sebagai karya sastra
telah lahir dari orang-orang pengabdi proses imajinasi. Kata-kata dalam puisi
akan memiliki kekuatan. Kekuatan kata dalam puisi timbul karena kata itu
sendiri sudah membawa potensi. Potensi inilah yang harus dimengerti oleh
penulis puisi.
Menulis puisi apakah mudah?
Bila ada yang mengatakan mudah, maka perlu dikaji lebih teliti. Orang tersebut
punya pamrih yaitu tidak membuat takut kepada calon penulis. Orang yang
mengatakan tidak mudah juga perlu diselidiki. Orang ini pasti belum pernah
menulis puisi. Orang ini belum pernah mengalami kebahagiaan yang dinikmati
setelah tercipta sebuah puisi.
Apakah benar menulis itu mudah? Jika dijawab pertanyaan itu, maka bisa
ya dan bisa tidak. Sebaiknya, untuk urusan ini yang perlu dilakukan adalah
mencoba. Menulis, menulis, menulislah, akhirnya diri sendiri yang bisa
memberikan jawaban yang pas untuk pertanyaan seperti itu. Menulis puisi juga
bisa dikatakan mudah dan bisa dikatakan sulit.
Manakala seseorang sudah
mencoba menulis. Orang akan merasakan bahwa menulis puisi yang seperti itu.
Puisi bukan karya yang lahir tanpa rencana. Puisi bukan karya yang lahir tanpa
pergulatan batin. Lama dan sering memakan waktu yang cukup lama untuk bergumul
dengan sebuah keinginan melahirkan sebuah bentuk puisi.
Sebagai bahan renungan,
beranikanlah diri menulis puisi. Menulis itu mudah. Menulis itu menyenangkan,
Apakah diri akan menjadi seorang peziarah di dunia ini? Syarat pertama adalah
bahwa diri menjadikan diri sendiri rendah seperti debu dan abu. Apakah diri
akan menjadi seorang kreator di dunia ini? Syarat pertama adalah bahwa diri
menjadikan diri sendiri berbuah manis seperti pohon pisang yang berani di bawah
terik matahari.
Kita bisa
menulis dengan metode apa saja, misalnya, ada metode menulis “opening up”-nya
psikolog Pennebaker, freewriting-nya Bobbi De Porter, dan mind mapping-nya Tony
Buzan, dan banyak lagi
Menurut Sthephen King “Ketika seorang
penulis hanya menunggu, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya sendiri,”. “Kita
tidak harus menunggu datangnya inspirasi itu, kita sendirilah yang
menciptakannya,” katanya. Maka untuk menjadi penulis, dibutuhkan kesungguhan,
keseriusan dan kerja keras. Tidak ada alasan untuk tidak ada ide, karena
kemandekan kita itu adalah ide, ketidak tahuan kita itulah juga ide, maka
tulislah kemandekan itu. mengapa mandek, tulislah karena nantinya akan menjadi
solusi kemandekan ide tersebut.
Bila dalam
proses kreatifnya Afrizal Malna menyatakan bila ia seorang yang negatif, maka
kita akan mencoba untuk positif. Tentu kita berpositif terhadap tulisan yang
saat ini sedang berada di hadapan para pembaca sekalian. Positif dalam arti
kita tak ingin berumit-rumit dan beraneh-aneh dalam tulisan ini. Artinya kita
mencoba untuk berbincang gamblang dan membuka perihal mengenai proses yang kita
alami. Meski kita tahu, jika gamblang dalam kacamata kita belum tentu bagi para
pembaca.Maka membincang mengenai proses kreatif adalah hal yang bersifat personal. Setiap orang memiliki dunia, latar belakang dan ”kecelakaan” masing-masing. Bahkan secara ekstrim Sutardji Calzoum Bachri hanya membubuhkan titik-titik pada proses kreatifnya. Bisa jadi proses kreatif adalah sebuah hal yang tak terkatakan. Lalu bagaimana dengan beberapa tulisan pada buku antologi tunggal beberapa penyair yang pernah kita baca? Bisa jadi beberapa penyair sedang mengurai alur mundur proses kepenyairannya.
Sebutlah beberapa nama yang pernah kita nikmati perihal “proses kreatif”nya : Afrizal yang tergerak untuk membahasakan energi benda-benda yang bersliweran di sekitarnya, Mardiluhung yang menemu titik temu antara eksotisme masa kanak-kanak dalam komik dengan puisi-puisi Tardji serta kehidupan khas pesisir, atau mungkin Warih Wisatsana yang digoda oleh perasaan tersisih karena tak memunyai lingkungan dominasi yang jelas. Juga beberapa penyair semacam Faisal Kamandobat, Pranita Dewi, Mochtar Pabotingi maupun Indra Tjahyadi.
Yang jelas, ada satu motif yang mengikat mereka dalam mendedahkan proses kreatifnya : obsesi pada masa lalu. Seperti seorang penulis yang saat ini “menjabat” sebagai paus sastra facebook, Heru Susanto yang menulis puisi sebagai upaya untuk menebus kesalahan di masa lalu, yakni alpa menulis perihal kehidupannya pada buku harian.
Psikoanalisis
menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya) karya sastra ke dalam dua
cara.
1. Sublimasi
Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.
Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi.
Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia. Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.
2. Asosiasi
Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya. Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu.
Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya dengan melakukan “ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.
Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah ide yang berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi
1. Sublimasi
Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.
Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi.
Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia. Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.
2. Asosiasi
Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya. Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu.
Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya dengan melakukan “ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.
Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah ide yang berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi
“Mutu karya puisi tidak tergantung pada gaya (style) atau aliran (movement), melainkan pada kesejatian (authenticity) dan keaslian (originality)-nya.”
(Catatan Saini K.M. dalam rubrik Pertemuan Kecil)
Diakui atau tidak, sebagian besar pengarang agaknya sempat melalui tahap ini. Tidak terkecuali penyair besar seperti Chairil Anwar, misalnya. Dalam sebuah penelitiannya, Abdul Hadi WM (Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan Tradisi Puisi Indonesia, Horison No.6/1983, hal.273-282) memandang, selain terpengaruh oleh Shauerhoft dan Marsman, Chairil pun banyak belajar pada tradisi penulisan puisi Amir Hamzah. Bahkan, tidak sedikit puisi-puisi Amir Hamzah yang digali oleh Chairil sebagai inspirasi untuk puisi-puisinya. Puisi-puisi karya Chairil seperti Doa, Syorga, Penghidupan, Taman, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Suara Malam, secara berurutan bisa dibandingkan dengan puisi-puisi Padamu Jua, Doa Poyangku, Barangkali, Taman Dunia, Berdiri Aku, dan Ibuku Dahulu yang ditulis Amir Hamzah. Sebagai contoh, dalam analisis perbandingan antara puisi Doa dengan puisi Padamu Jua, Abdul Hadi menulis demikian:
“Kalau bagi Chairil
Tuhan ‘tinggal kerdip lilin di kelam sunyi’, bagi Amir Hamzah Tuhan adalah
‘Kaulah kandil kemerlap/pelita jendela di malam gelap’. Bukankah pilihan imaji
simboliknya sama? Apakah Chairil tak terpengaruhi Amir Hamzah dalam hal ini?”
Demikianlah,
kepenyairan Chairil Anwar pun ternyata mengalami keterpengaruhan juga. Akan
tetapi, kita bisa melihat jika Chairil tidak semata-mata terpengaruh. Ia tetap
bisa menghadirkan otentisitas dalam karya-karyanya. Hal ini tampaknya penting
untuk kita catat: meskipun buah karya kita merupakan hasil inspirasi dari karya
orang lain, kita harus tetap bisa menjaga jarak dengan karya yang menginspirasi
kita itu. Pertimbangan ini sangat penting agar karya yang kelak lahir dari
tangan kita akan tetap bisa menampakkan keaslian dan kesejatiannya.Dari sekian banyak penyair yang karya-karyanya terpengaruhi oleh penyair lain, sejumlah dari mereka memang ada yang berhasil dalam menjejaki proses kreatifnya itu. Keaslian dan kesejatiannya masih tam-pak bisa terbaca dalam karya-karyanya. Selain Chairil Anwar, boleh disebut pula, misalnya saja, Sanusi Pane yang terpengaruh oleh Noto Suroto (penyair Jawa yang menulis dalam bahasa Belanda), B.Y. Tand yang banyak mendapat pengaruh dari Sapardi Djoko Damono, Ibrahim Sattah yang esensi puisinya hampir menyerupai puisi-puisi mantranya Sutardji Colzoum Bachri, ataupun Gunoto Saparie yang mengikuti jejak sajak-sajaknya Goenawan Mohamad.
Di luar keterpengaruhan (epigonitas) itu, hanya ada satu hal yang benar-benar harus bisa kita hindari dalam kaitannya dengan perjalanan proses kreatif kita: menjadi seorang plagiator, penjiplak karya orang! (terutama untuk karya-karya kreatif, semacam puisi, cerpen, atau novel). Tindakan ini tentu sungguh sangat memalukan. Selain diri kita tidak akan mendapatkan apa-apa, buah kar-ya kita pun boleh dipastikan tidak akan pernah dihargai sama sekali.
Kasus penjiplakan ini sebenarnya banyak juga ditemui dalam sejarah kesusastraan kita. Chairil Anwar pun sempat disebut-sebut sebagai plagiator karena puisi Antara Kerawang-Bekasi yang sebenarnya puisi terjemahan (adaptasi) itu diakui sebagai karya aslinya.
Dalam kasus-kasus penjiplakan tersebut, paling tidak ada dua jenis kasus yang bisa kita identifikasi. Pertama, penjiplakan secara terang-terangan. Pada jenis ini, si pengarang menjiplak secara utuh karya pe-ngarang lain untuk kemudian diakui jika karya itu adalah hasil kreasinya. Sedangkan jenis penjiplakan yang kedua adalah penjiplakan sebagian. Di sini si pengarang hanya melakukan “pencontekan” pada bagian-bagian yang dirasanya bagus dari karya orang lain untuk kemudian ditempatkan pada karyanya.
Pada jenis penjiplakan yang kedua ini, ada satu contoh yang kiranya menarik untuk dikemukakan. Kasusnya menimpa cerpen Iwan Simatupang yang berjudul Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu (ditulis pada tahun 1961) yang dijiplak bagian pembukanya oleh Gimien Artekjusi untuk cerpen yang judulnya pun hampir sama, Tunggu Aku di Bawah Pohon Itu (dimuat di majalah Anita Cemerlang, No.284, 1988, h.76).
Pada bagian pembuka cerpen Iwan itu, tertulis demikian:
“Tunggu aku di pojok jalan itu,” katanya. “Aku membeli rokok dulu ke warung sana.”
Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota itu. Dilihatnya istrinya masih menunggu di pojok jalan itu.
Sedangkan pada cerpennya Gimien, paparan pembukanya itu adalah demikian:
“Tunggu aku di bawah pohon itu,” katanya. “Kucarikan kau bunga-bunga di bukit.”
Ia pergi. Sejak itu Lia tak pernah melihatnya kembali. Tapi setiap sore dengan setianya ia menunggu di bawah pohon itu.
Dari contoh tersebut, bisa terlihat jika ada upaya dari Gimien untuk “mencontek” paparan pembukanya cerpen Iwan. Kendatipun pada beberapa bagian Gimien mencoba untuk mengubahnya, namun tetap saja esensi dari paparannya itu adalah paparan Iwan. Paling tidak, struktur naratif yang terjalin dalam cerpen Gimien serupa benar dengan struktur naratif dalam cerpen Iwan. Hal ini sungguh sangat disayangkan. Sebagai konsekuensinya, biarpun Gimien sendiri sebenarnya mempunyai gagasan lain yang ingin disampaikan dalam papar-an-paparan selanjutnya, hal ini sudah lebih dulu tercoreng dengan tindakan menconteknya itu. Keaslian dan kesejatian yang boleh jadi sebenarnya bisa muncul dalam cerpen Gimien, dengan sendirinya menjadi tidak murni lagi.
Memang, sebelum bisa menarik kesimpulan seperti itu, pada kasus pencontekan ini kita sebenarnya bisa menelusuri dugaan-dugaan yang mungkin saja terkait di dalamnya. Dugaan pertama, Gimien memang dengan sengaja dan sadar bahwa dirinya mencontek bagian pembuka cerpen Iwan itu. Jika demikian halnya, Gimien sudah bisa diklasifikasikan sebagai plagiator. Sedangkan dugaan kedua, boleh jadi sebenarnya Gimien tidak pernah membaca, bahkan tidak pernah tahu cerpen Iwan Simatupang itu. Segala kesamaan yang tersimpan di kedua cerpen tersebut, hanyalah kebetulan belaka. Nah, jika begitu kejadiannya, lantas bagaimana?
Boleh jadi jawabannya akan sangat rumit, meskipun akan bisa diselesaikan dengan sederhana. Yang jelas, Gimien bukan plagiator dalam konteks kebetulan semacam itu, hanya saja Gimien tetap berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dalam hal ini, publik pembaca boleh jadi tidak akan pernah mau tahu dan seterusnya bisa menolelir konteks kebetulan semacam itu. Kenyataan yang ada di hadapan mereka hanyalah, paparan pembuka cerpen Gimien serupa dengan cerpen Iwan, yang notabene telah terlebih dulu diterbitkan.
Dengan demikian, dalam proses kreatif pun sebenarnya menuntut ketelitian dan kehati-hatian. Ketika kita ingin menjejaki proses kreatif, selain adanya motivasi dan rasa cinta terhadap sastra, alangkah akan baiknya pula jika kita sedikitnya memiliki wawasan dan pengetahuan tentang tradisi sastra (baik lokal, nasional, bahkan mungkin dunia), dan begitu pula dengan perkembangannya (Hal ini sebenarnya berlaku pula untuk para redaktur sastra di media massa agar mereka tidak kecolongan.). Dengan memiliki wawasan dan pengetahuan itu, setidaknya kita akan mempunyai bekal yang bisa diandalkan. Selain akan bisa lebih membantu kita dalam pencarian bentuk dan jati diri dalam proses kreatif kita selanjutnya, dengan ada-nya pengetahuan itu pun segala sesuatu yang harus dan ingin kita hindari akan bisa terdeteksi secara dini.
Akan tetapi, semua itu pada akhirnya akan berpulang pada diri kita sendiri. Apakah ruang kreatif kita hanya akan diisi sebatas menjadi epigon, mencontek karya orang (plagiator), atau belajar untuk “percaya diri”, akan sangat tergantung pada pilihan yang kita lingkari. Pilihan ini menjadi penting, karena akan bisa menentukan langkah kita selanjutnya. Dengan pilihan itu pula, kita sekaligus akan bisa menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan dan konsekuensi yang pada akhirnya harus kita terima.
Nah, dari beberapa pandangan di atas kita juga tak perlu kaku dalam
memahami proses kreatif kepengarangan. Secara pribadi, saya bukan berasal dari
keluarga penulis, tetapi keluarga pedagang. Awal saya menulis justru didasarkan
oleh saya suka dengan kesendirian.
Kesendirian saya pun disebabkan karena rasa sensitif yang mengalir dari
lingkungan dan kehidupan keluarga. Berasal dari keluarga pedagang (kaki lima),
kondisi ekonomi keluarga yang lebih seirng di bawah rata-rata. Serta lingkungan
tempat tinggal “pencemeeh”.
Dari enambelas bersaudara, sepuluh yang hidup, memungkinkan saya memiliki
tingkat sensitivitasnya terlalu tinggi. Kesibukan saya selain sibuk mengurusi
hewan peliharaan (ayam), menanam tanaman (apasaja) di halaman rumah, menonton
di rumah tetangga, mendengarkan lagu-lagu dari radio tap dua band, berlama-lama
duduk di puncak pohon memperhatikan burung gereja yang bercanda, berlama-lama
duduk di loteng rumah, saya lebih sering menyulam imajinasi tentang apa saja.
Lalu teman curhat saya adalah buku diary sederhana yang saya dapatkan dari
tempat-tempat sampah (dimulai dari SD menulis).
Karena rasa kesendirian itu membuat saya termasuk sulit bergaul dan
cenderung mudah curiga, sehingga menjadikan saya yang pendiam. Teman dialog
saya yang paling intens justru Bapak saya yang senang bercerita dan membahas
apa saja. Sampai pada tingkat Mahasiswa baru saya belajar membuka diri walaupun
karakter lama sering terbawa dalam kehidupan pribadi.
Akhirnya, saya terjebak juga di dunia jungkir balik (teater mahaiswa-lkk
ikip). Terpilihnya saya sebagai ketua Teater ketika itu memberikan pembelajaran
sendiri. Di mulai dari diri sendiri. Saya inging mengajak teman-teman teater
saya (ketika itu) menulis, tapi bagaimana saya mengajak kalau saya tidak bisa
menulis?
Pun, termasuk ketika saya mengajak siswa-siwa maupun mahasiswa saya
menulis. Saya harus menunjukkan pada mereka (secara halus maupun
terang-terngan) tulisan-tulisan saya. Termasuk seluruh aktivitas saya walaupun
tidak ada kaitannya dengan menulis. Saya mengajak bagaimana kita bisa
bermanfaat bagi orang lain, sebelum kita mampu menunjukkan potensi yang kita
miliki.
Latarbelakang yang demikian membuat saya harus memaksa diri belajar.
Belajar menyimak, belajar membaca, yang akhirnya menulis, bahkan menjadi
pembicara. Start is difficult but the end is easy. Sebelum saya menulis
tentang ‘sesuatu’, maka saya membaca tentang ‘sesuatu’ itu dari beberapa
referensi. Hal ini proses kreatif pertama yang saya lakukan. Setelah beberapa
kali membaca ‘sesuatu’ itu berulang-ulang, maka saya mencoba menulis awal,
apakah tema, alur, amanat atau latar belakang yang sama. Lalu, saya endapkan.
Baca, baca, baca lagi. Pada titiknya saya tulis lagi (lanjutan) sebagai revisi,
termasuk persoalan ejaan. Titik yang lain, endapkan. Tulis lagi (akhir),
kemudian baca dan simpan atau publikasikan.
Kebiasaan itu tentu saja tidak kita biarkan berjalan di tempat, kalau
awalnya dengan model peniruan membaca tulisan, maka saya mencoba meningkatkan
diri dengan melepaskan ketergantungan dari karya yang sudah lahir. Saya
bertekad untuk ‘melahirkan’! Maka saya membaca lingkungan, peristiwa, dan
hal-hal yang aktual. Prosesnya sama baca, baca, baca, tulis, baca, revisi,
baca, simpan atau publikasikan. Walau terkadang ada karya yang langsung lahir
maupun menunggu waktu yang lama untuk dilahirkan.
Persoalan berikutnya muncul, gaya atau style penulis lain ikut
terbawa-bawa. Selanjutnya proses berikutnya adalah bagaimana menjadi diri
sendiri. Tentunya dengan gaya dan penulisan kita sendiri. Memang ada proses
pemaksaan, tetapi yang perlu diingat adalah selama pemaksaan itu bermakna
positif, apa salahnya. Persoalan waktu, mood, dan sebagainya termasuk
mempengaruhi wilayah proses kreatif kita dan hal itu merupakan bagian yang
lumrah. Proses yang sempurna tentunya akan melahirkan kesempurnaan, dan kita harus
tetap sadar kesempurnaan itu adalah milik Tuhan.
Dan di bagian akhirn adalah bagaimana kita mampu bertahan untuk tetap
berkarya. Bagian ini yang paling sulit, MEMPERTAHANKAN kebiasaan menulis, tidak
hanya sekadar kebisaan menulis. Sebab, jika kita berhenti, mau tidak mau kita
harus memulai dari awal lagi. Walaupun tidak sesulit pertam kali kita memulai
belajar menulis. Di sini kita hanya mengulang kebiasaan menulis yang pernah
kita jalani. Bukankah akan menyenangkan sekali jika orang-orang (pembaca)
menikmati (membaca) hasil pikiran kita lewat tulisan? Lantas mengapa kita tidak
menulis? Selanjutnya dengan produktivitas menulis kita yang terus menerus akan
mendamparkan kita menjadi PMBICARA, dan hal ini tentu akan jauh lebih
menyenangkan, sebab berbagi referensi-berbagi ilmu adalah bagian yang paling
nikmat. Maka, menulislah! Salam.
*Penulis
adalah Direktur Komunitas Home Poetry

Tidak ada komentar:
Posting Komentar