Sastra Islam menurut Said Hawwa adalah seni atau sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam[1]. Sedangkan menurut Ala al Mozayyen sastra Islam muncul sebagai media dakwah, yang di dalamnya terdapat tujuh karakteristik konsistensi, pesan, universal, tegas dan jelas, sesuai dengan realita, optimis, dan menyempurnakan akhlak manusia[2].
Oleh sastrawan Indonesia, Goenawan Mohammad disebutkan, sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran Islam; memuji dan mengangkat tokoh-tokoh Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; mengkritik pemahaman Islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat asli Islam awal, atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Goenawan Mohammad: 2010).
Menurut
Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan banyak sebutan.
Diantaranya:
(1) sastra sufistik, yaitu sastra yang
mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak baik
agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah.
(2) Sastra suluk, yaitu karya sastra
yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf di
mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu musyâhadah, penyaksian terhadap
keesaan Allah.
(3) Sastra transendental, yaitu sastra
yang membahas Tuhan
Yang Transenden. Dan
(4) sastra profetik, yaitu sastra yang
dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip
kenabian/wahyu.[8]
AA Navis merupakan salah seorang
sastrawan yang menolak sastra Islam, dan menyebutnya sebagai hal yang utopis untuk saat ini. Diikuti oleh
pendapat Edy A. Effendi[11]
membuat kesimpulan agar sastra Islam ditolak karena tidak ada estetika yang
diusungnya. Demikian pula halnya dengan pendapat Chavchay Syaifullah[12],
juga Aguk Irawan MN dalam
tulisannya: Merumuskan Kembali Konsep Sastra Islami[13].Kebalikan dari itu, Abdul Hadi WM[14] menyebut bahwa pandangan dan anggapan yang meragukan nisbah Islam dengan sastra dan kesangsian bahwa sastra Islam dengan tema, corak pengucapan, wawasan estetik serta pandangan dunia tersendiri, pada umumnya timbul untuk menafikan sumbangan Islam terhadap kebudayaan dan peradaban umat manusia. Sebagian anggapan berkembang karena semata kurangnya perhatian dari umat Islam dewasa ini terhadap sastra dan tiadanya apresiasi. Ditambahkannya, sastra Islam itu ada, bahkan eksis. Sastra Hindu saja ada, maka tidak masuk akal kalau sastra Islam dinafikan.
Beberapa
prinsip yang ada dalam Liga ini adalah:
1. Sastra Islam sebagai ekspresi
manusia, kehidupan dan semesta dalam perspektif Islam
2. Sastra Islam sebagai
pertanggungjawaban kepada Allah
3. Sastra Islam sebagai alat untuk
membangun warga dan masyarakat yang baik
4. Sastra Islam sebagai literatur
seluruh kaum muslimin dan sebagai refleksi dari keunikan ras dan bahasa
5. Sastra Islam menghadirkan konsep
Islam yang kaaffah (integral) tentang manusia, kehidupan, dan semesta
6. Sastra Islam me-rejects seluruh
penyimpangan dalam teori sastra, doktrin, kesalahan sastra Arab, dan kritik
sastra
7. Menggunakan Bahasa Arab standard
atau yang disebut dengan "bahasa Fushah", bukan bahasa 'Am atau
"pasar"
8. Sastrawan muslim memiliki
komitmen pada penegakan Islam dalam dirinya.
2. ^ Dr Ala al
Mozayyen pada Seminar Sastra Islam Internasional, 15 Maret 2011, Institut
Negeri Jakarta,
2.
Sastra dalam bahasa Inggris
dikenal sebagai literature. Menurut Oxford English Dictionary, sastra berasal
dari kata ‘littera’ yang artinya tulisan yang bersifat pribadi. Sedangkan dalam
bahasa Arab, sastra disebut adab yang berasal dari sebuah kata yang berarti
‘mengajak seseorang untuk makan’ dan menyiratkan kesopanan, budaya, dan
pengayaan.
3.
Sastra menempati posisi yang
terbilang penting dalam sejarah peradaban Islam. Sejarah sastra Islam dan
sastra Islami tak lepas dari perkembangan sastra Arab. Sebab, bahasa Arab
merupakan bahasa suci Islam dan Alquran. Bahasa Arab dalam bentuk klasiknya
atau bentuk Qurani mampu memenuhi kebutuhan religius, sastra, artistik dan
bentuk formal lainnya. Sastra Arab atau Al- Adab Al-Arabi tampil dalam beragam
bentuk prosa, fiksi, drama, dan puisi.
4.
Lalu bagaimanakah dunia sastra
berkembang dalam peradaban masyarakat Islam? Sejatinya sastra Arab mulai
berkembang sejak abad ke-6 M, yakni ketika masyarakat Arab masih berada dalam
peradaban jahiliyah. Namun, karya sastra tertulis yang tumbuh era itu jumlahnya
masih tak terlalu banyak. Paling tidak, ada dua karya sastra penting yang
terkemuka yang ditulis sastrawan Arab di era pra-Islam. Keduanya adalah Mu’allaqat
dan Mufaddaliyat.
5.
Orang pertama yang mengenalkan
dunia Barat dengan sastra Arab jahili adalah William Jones (1746 M -1794 M),
dengan bukunya Poaseos Asiaticae Commen tarii Libri Sex atau penjelasan
Mu’allaqaat As-Sab’a yang diterbitkan tahun 1774 M. Sastra Arab jahili memiliki
ciri-ciri yang umumnya yang menggambarkan suatu kebanggaan terhadap diri
sendiri (suku), keturunan, dan cara hidup.Sastra Arab memasuki babak baru sejak
agama Islam diturunkan di Jazirah Arab yang ajarannya disampaikan melalui Alquran.
Kitab suci umat Islam itu telah memberi pengaruh yang amat besar dan signifikan
terhadap bahasa Arab. Bahkan, Alquran tak hanya memberi pengaruh terhadap
sastra Arab, namun juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan.
6.
Bahasa yang digunakan dalam Alquran
disebut bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat
dikagumi dan dihormati. Alquran merupakan firman Allah SWT yang sangat luar
biasa. Terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat, Alquran berisi tentang perintah,
larangan, kisah, dan cerita perumpamaan itu begitu memberi pengaruh yang besar
bagi perkembangan sastra Arab.
7.
Sebagian orang menyebut Alquran
sebagai karya sastra terbesar. Namun, sebagian kalangan tak mendudukan Alquran
sebagai karya sastra, karena merupakan firman Allah SWT yang tak bisa disamakan
dengan karya manusia. Teks penting lainnya dalam agama Islam adalah hadits atau
sunnah.
8.
Penelitian serta penelusuran
terhadap masa-masa kehidupan Nabi Muhammad SAW telah memicu para sarjana Muslim
untuk mempelajari bahasa Arab. Atas dasar pertimbangan itu pula, para
intelektual Muslim mengumpulkan kembali puisi-puisi pra-Islam. Hal itu
dilakukan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kehidupan Rasulullah sampai
akhirnya menerima wahyu dan menjadi Rasul.
9.
Jejak dan perjalanan hidup Muhammad
SAW yang begitu memukau juga telah mendorong para penulis Muslim untuk
mengabadikannya dalam sebuah biografi yang dikenal sebagai Al-Sirah
Al-Nabawiyyah. Sarjana Muslim yang pertama kali menulis sejarah hidup Nabi
Muhammad adalah Wahab bin Munabbih. Namun, Al-Sirah Al-Nabawiyyah yang paling
populer ditulis oleh Muhammad bin Ishaq.
10. Studi bahasa Arab pertama kali sebenarnya telah dilakukan sejak era
Kekhalifahan Ali RA. Hal itu dilakukan setelah khalifah melakukan kesalahan
saat membaca Alquran. Dia lalu meminta Abu Al-Aswad Al- Du’ali untuk menyusun
tata bahasa (gramar) bahasa Arab. Khalil bin Ahmad lalu menulis Kitab al- Ayn –
kamus pertama bahasa Arab. Sibawaih merupakan sarjana Muslim yang menulis tata
bahasa Arab yang sangat populer yang berjudul al-Kitab.
11. Sejarah mencatat, sastra sangat berkembang pesat di era keemasan Islam.
Di masa kekhalifahan Islam berjaya, sastra mendapat perhatian yang amat besar
dari para penguasa Muslim. Tak heran, bila di zaman itu muncul sastrawan Islam
yang terkemuka dan berpengaruh. Di era kekuasaan Dinasti Umayyah (661 M – 750
M), gaya hidup orang Arab yang berpindah-pindah mulai berubah menjadi budaya
hidup menetap dan bergaya kota.
12. Pada era itu, masyarakat Muslim sudah gemar membacakan puisi dengan
diiringi musik. Pada zaman itu, puisi masih sederhana. Puisi Arab yang kompleks
dan panjang disederhanakan menjadi lebih pendek dan dapat disesuaikan dengan
musik. Sehingga puisi dan musik pada masa itu seperti dua sisi mata uang yang
tak dapat dipisahkan.
13. Sastra makin berkilau dan tumbuh menjadi primadona di era kekuasaan
Daulah Abbasiyah – yang berkuasa di Baghdad pada abad ke-8 M. Masa keemasan
kebudayaan Islam serta perniagaan terjadi pada saat Khalifah Harun Ar-Rasyid
dan puteranya Al-Ma’mun berkuasa. Pada era itu, prosa Arab mulai menempati
tempat yang terhormat dan berdampingan dengan puisi. Puisi sekuler dan puisi
keagamaan juga tumbuh beriringan.
14. Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah tak hanya menyumbangkan
kontribusi penting bagi perkembangan sastra di zamannya saja. Namun juga turut
mempengaruhi perkembangan sastra di Eropa era Renaisans. Salah seorang ahli
sastrawan yang melahirkan prosaprosa jenius pada masa itu bernama Abu ‘Uthman
‘Umar bin Bahr al-Jahiz (776 M – 869 M) cucu seorang budak berkulit hitam.
15. Berkat prosa-prosanya yang gemilang, sastrawan yang mendapatkan
pendidikan yang memadai di Basra. Irak itu pun menjadi intelektual terkemuka di
zamannya. Karya terkemuka Al-Jahiz adalah Kitab al-Hayawan, atau ‘Buku tentang
Binatang’ sebuah antologi anekdot-anekdot binatang – yang menyajikan kisah
fiksi dan non-fiksi. Selain itu, karya lainnya yang sangat populer adalah Kitab
al-Bukhala, ‘Book of Misers’, sebuah studi yang jenaka namun mencerahkan
tentang psikologi manusia.
16. Pada pertengahan abad ke-10 M, sebuah genre sastra di dunia Arab
kembali muncul. Genre sastra baru itu bernama maqamat Sebuah anekdot yang
menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya
dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al- Zaman al- Hamadhani (wafat
tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, kini yang masih
tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat.
17. Beragam Bentuk Kesusasteraan Khas Arab
18. Puisi
Sebagian besar kesusasteraan Arab sebelum abad ke-20 M didominasi oleh puisi. Bahkan bentuk prosa pun pada periode itu kerap diwarnai dengan puisi atau prosa bersajak. Tema puisi Arab berkisar antara sanjungan dan puji-pujian terhadap seseorang sampai ‘menyerang’ orang lain. Selain itu, tema yang kerap kali ditampilkan dalam puisi Arab tentang keagamaan dan mistik hingga puisi yang mengupas tentang seks dan anggur.
Sebagian besar kesusasteraan Arab sebelum abad ke-20 M didominasi oleh puisi. Bahkan bentuk prosa pun pada periode itu kerap diwarnai dengan puisi atau prosa bersajak. Tema puisi Arab berkisar antara sanjungan dan puji-pujian terhadap seseorang sampai ‘menyerang’ orang lain. Selain itu, tema yang kerap kali ditampilkan dalam puisi Arab tentang keagamaan dan mistik hingga puisi yang mengupas tentang seks dan anggur.
19. Sasta non-fiksi
Di akhir abad ke-9 M, Ibnu Al-Nadim – seorang penjual buku terkemuka di Baghdad – mengoleksi hasil studi sastra Arab. Koleksi karya sastra Arab yang berkembang saat itu dituliskannya dalam sebuah katalog yang berjudul Kitab Al-Fihrist. Salah satu bentuk sastra non-fiksi yang berkembang di era kekhalifahan Abbasiyah berbentuk kompilasi.
Di akhir abad ke-9 M, Ibnu Al-Nadim – seorang penjual buku terkemuka di Baghdad – mengoleksi hasil studi sastra Arab. Koleksi karya sastra Arab yang berkembang saat itu dituliskannya dalam sebuah katalog yang berjudul Kitab Al-Fihrist. Salah satu bentuk sastra non-fiksi yang berkembang di era kekhalifahan Abbasiyah berbentuk kompilasi.
20. Kompilasi itu memuat rangkuman fakta, gagasan, kisah-kisah seperti
pelajaran, syair dengan topik tertentu. Selain itu bisa pula merangkum tentang
rumah, taman, wanita, orangorang tuna netra, binatang hingga orang kikir. Tiga
kompilasi yang termasyhur ditulis oleh Al-Jahiz. Koleksi yang ditulis Al-Jahiz
itu terbilang sangat penting bagi siapa saja, mulai dari orang rendahan hingga
pengusaha atau orang terhormat.
21. Biografi dan geografi
Selain menulis biografi Nabi Muhammad SAW, karya sastra Arab lainnya yang berhubungan dengan biografi ditulis oleh Al-Balahudri lewat Kitab Ansab Al-Ashraf atau Buku Geneologi Orang- Orang Terhormat. Selain itu, karya kesusateraan Arab lainnya dalam bentuk biografi ditulis oleh Ibnu Khallikan dalam bentuk kamus biografi. Lalu disempurnakan lagi oleh Al-Safadi lewat Kitab Al-I’tibar yang mengisahkan Usamah bin Munqidh dan pengalamannya saat bertempur dalam Perang Salib.
Selain menulis biografi Nabi Muhammad SAW, karya sastra Arab lainnya yang berhubungan dengan biografi ditulis oleh Al-Balahudri lewat Kitab Ansab Al-Ashraf atau Buku Geneologi Orang- Orang Terhormat. Selain itu, karya kesusateraan Arab lainnya dalam bentuk biografi ditulis oleh Ibnu Khallikan dalam bentuk kamus biografi. Lalu disempurnakan lagi oleh Al-Safadi lewat Kitab Al-I’tibar yang mengisahkan Usamah bin Munqidh dan pengalamannya saat bertempur dalam Perang Salib.
22. Karya sastra lainnya yang berkembang di dunia Arab adalah buku tentang
perjalanan. Ibnu Khurdadhbih merupakan orang pertama yang menulis buku
perjalanannya sebagai seorang pegawai pos di era kekhalifahan. Buku perjalanan
lainnya juga ditulis oleh tokoh-tokoh terkemuka lainnya seperti Ibnu Hawqal,
Ibnu Fadlan, Al-Istakhri, Al-Muqaddasi, Al-Idrisi dan yang paling terkenal
adalah buku perjalanan Ibnu Batutta yang berjudul Ar-Rihla.
23. Buku harian
Catatan harian Arab pertama kali ditulis sebelum abad ke-10 M. Penulis diari yang paling terkemuka adalah Ibnu Banna di abad ke-11 M. Buku harian yang ditulisnya itu disusun sangat mirip dengan catatan harian modern.
Catatan harian Arab pertama kali ditulis sebelum abad ke-10 M. Penulis diari yang paling terkemuka adalah Ibnu Banna di abad ke-11 M. Buku harian yang ditulisnya itu disusun sangat mirip dengan catatan harian modern.
24. Sastra fiksi
Di dunia Arab, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara al-fusha (bahasa berkualitas) dengan al-ammiyah (bahasa orang biasa). Tak banyak penulis yang menuliskan ceritanya dalam al- ammiyah atau bahasa biasa. Hal itu bertujuan agar karya sastra bisa lebih mendidik ketimbang menghibur.
Di dunia Arab, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara al-fusha (bahasa berkualitas) dengan al-ammiyah (bahasa orang biasa). Tak banyak penulis yang menuliskan ceritanya dalam al- ammiyah atau bahasa biasa. Hal itu bertujuan agar karya sastra bisa lebih mendidik ketimbang menghibur.
25. Kesusasteraan epik
Karya sastra fiksi yang paling populer di dunia Arab adalah kisah Seribu Satu Malam. Inilah salah satu karya fiksi yang paling besar pengaruhnya tehadap budaya Arab maupun non- Arab. Meski begitu, kisah yang sangat populer itu biasa ditempatkan dalam genre sastra epik Arab.
Maqamat
Maqamat merupakan salah satu genre sastra Arab yang muncul pada pertengahan abad ke-10 M. Maqama merupakan sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al-Zaman al- Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, kini yang masih tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat. Sastrawan lainnya yang mengelaborasi genre maqamat adalah Al-Hariri (wafat tahun 1122 M). Dengan menggunakan format yang sama, Al-Hariri menciptakan gaya maqamatnya sendiri.
Syair romantis
Salah satu syair romantis yang paling terkenal dari dunia kesusasteraan Arab adalah Layla dan Majnun. Puisi romantis ini membawa kenangan di era Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-7 M. Kisah yang diceritakan dalam syair itu, konon telah menginspirasi lahirnya kisah percintaan yang tragis yakni Romeo dan Juliet.
Karya sastra fiksi yang paling populer di dunia Arab adalah kisah Seribu Satu Malam. Inilah salah satu karya fiksi yang paling besar pengaruhnya tehadap budaya Arab maupun non- Arab. Meski begitu, kisah yang sangat populer itu biasa ditempatkan dalam genre sastra epik Arab.
Maqamat
Maqamat merupakan salah satu genre sastra Arab yang muncul pada pertengahan abad ke-10 M. Maqama merupakan sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’ al-Zaman al- Hamadhani (wafat tahun 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya, kini yang masih tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat. Sastrawan lainnya yang mengelaborasi genre maqamat adalah Al-Hariri (wafat tahun 1122 M). Dengan menggunakan format yang sama, Al-Hariri menciptakan gaya maqamatnya sendiri.
Syair romantis
Salah satu syair romantis yang paling terkenal dari dunia kesusasteraan Arab adalah Layla dan Majnun. Puisi romantis ini membawa kenangan di era Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-7 M. Kisah yang diceritakan dalam syair itu, konon telah menginspirasi lahirnya kisah percintaan yang tragis yakni Romeo dan Juliet.
26. Karya sastra bertemakan
religi ternyata selalu dimintai pembaca. Paling tidak bisa dilihat dari hasil
survei "Rumah Sastra" sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak
khusus dalam bidang pengamatan karya sastra bernafaskan Islam, yang diadakan
baru-baru ini.
27. Bekerja sama dengan
Departemen Agama "Rumah Sastra" dihadirkan pembicara Yudi Latif
(pemikir kebudayaan), Stanislaus (St) Sunardi (ahli sastra dan filsafat Islam),
dan Abdul Hadi Wiji Muthari (WM) yang dipandu oleh Radhar Panca Dahana
(penyair/esais).
28. Penyair sastra Islam
Abduil Hadi membahas Relevansi Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya sufi
Persia terkenal Farriduddin al-`Attar, nama lengkapnya Fariduddin Abu Hamid
Muhammad bin Ibrahim (1132-1222 M). Guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan
Agama Universitas Paramadina itu mengemukakan hingga sekarang karya sufi dari
Nisyapur masih jadi perbincangan di kalangan sarjana dan masyarakat sufi
internasional, di Timur maupun Barat, disebabkan relevansinya.
29. Ada beberapa perspektif
atau aspek penting yang dapat dikemukakan untuk melihat relevansi karya
sufistik atau profetik seperti Mantiq al-Tayr. Pertama, berkenaan dengan
wawasan estetika yang melandasi penulisannya, yang sebenarnya mencerminkan
kecenderungan umum karya sejenis sufistik, mistikal, transendental, spiritual,
profetik, bahkan apokaliptik, dan lain sebagainya. Kedua, aspek kesejarahan
yaitu sejarah sosial budaya dan keagamaan yang melatari penulisan karya `Attar.
Ketiga, sebagai karya yang berangkat dari perenungan ketuhanan dan masalah
keagamaan.
30. Secara estetik Mantiq
al-Tayr memerlihatkan bahwa kaum spiritualis atau mistikus (dalam hal ini sufi)
me-mandang bahwa sastra sebagai penyajian secara simbolik gagasan dan
pengalaman kerohanian yang dicapai penulisnya sebagai penempuh jalan
kerohanian. Simbol-simbol tersebut diambil dari kitab suci, teks keagamaan,
sejarah agama, pristiwa-peristiwa sejarah, budaya, cerita rakyat yang mereka
kenal, dan lain sebagainya. Apa yang dipaparkan di situ tetap ada kaitannya
dengan realitas di luarnya. Persoalan-persoalan yang dikemukakan melalui
kisah-kisah dalam Mantiq al-Tayr, adalah persoalan keseharian namun berhasil
ditransformasikan menjadi persoalan spiritual dan keagamaan.
31. St. Sunardi memaparkan
Sebuah Catatan tentang Surga Anak-Anak karya Najnb Mahf{z. yang mengambil tema
pendidikan agama dalam masyarakat modern. Berdasarkan pengamatan Program
Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta itu dapat
disimpulkan bahwa sastra mempunyai kekuatan spiritualitas justru karena sastra
menyuarakan imanensi manusia (batas-batas kemanusiaan) dan bukannya melantunkan
suara dari langit. Karena, menurut Sunardi, spiritualitas berkaitan dengan
suara manusia yang terus-menerus mencari dan mencari yang lain.
32. Malah, nuansa spiritual
tidak musti terkait langsung dengan agama. Dalam konteks ini sastra malah
mempunyai caranya sendiri untuk mendefinisikan dan meredifinisikan apa itu
"spiritualitas". Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan
(PeKiK Indonesia) Yudi Latif, mengemukakan men-tradisi sastra-spiritualitas
juga memantul di kepulauan Nusantara, antara lain dengan menggunakan bahasa
Melayu. Bahasa Melayu telah mengalami banyak perkembangan sebelum ia digunakan
sebagai alat bagi sastra metafisika dan filosofis Islam.
33. Sementara itu mengenai
tema, teori tentang penciptaan dalam sastra Islam sama tuanya dengan ajaran
Islam sendiri. Selain itu, sastra Islam juga menggunakan simbol-simbol untuk
mengungkapkan kerinduan akan cinta-Nya dan merepresentasikan asal-muasal sumber
penciptaan. Amir Hamzah, misalnya, digambarkan oleh Prof A Teeuw sebagai
"satu-satunya penyair Melayu 'modern' yang kembali pada puisi Melayu
religius 'tradisional' yang berwarna-mistik, yang pada gilirannya bisa
ditelusuri kembali secara langsung atau tidak langsung kepada para mistikus
besar Islam.
34. Memasuki perkembangan
budaya kontemporer, tampaknya tema sastra bercorak religius tidak pernah mati.
Apakah ia sebagai jawaban atas kekeringan kehidupan batin manusia modern
ataukah sebagai pelarian dari kekerasan kehidupan yang masih diliputi konflik
antarnegara, sosial, agama, etnis, individu, batin, dan degradasi lingkungan
hidup yang membuat dunia sastra mau tak mau harus ambil bagian dalam dunia yang
semakin sakit ini. Maka, mau tak mau, dalam dunia seperti ini, setiap karya
sastra yang berkualitas selalu berjiwa religius.
35. Mengutip ucapan pemikir
Islam terkemuka Mohammad Iqbal, bahwa di atas fase penghayatan religius dalam
arti pemahaman masih ada penghayatan yang lebih tinggi, yakni yang sering
disebut mistik. Mistik di sini bukanlah sebentuk takhayul, melainkan
pendewasaan yang lebih menuju ke dalam. Atau bagi Romo Mangun (bukunya Sastra
dan Religiositas, 1988) disebut sebagai "religiositas yang dewasa."
Yakni sebuah karya sastra yang mampu menyuguhkan kandungan kadar
religiositasnya. Bukan religiositas dalam arti formal keagamaan, tetapi dalam
daya kemampuannya membuat orang bertanya tentang diri: apa maknanya, apa makna
hidupnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar