Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Kemiskinan Hantui Mesir di Kota Orang Mati Kairo


Kemiskinan Hantui Mesir di Kota Orang Mati Kairo
PDF
Cetak
Email


DI sebuah pekuburan luas di pinggiran Kairo, tempat ribuan warga Mesir menghuni makam-makan para bangsa masa lampau di sebuah Kota Orang Mati, janji suatu revolusi kini dihantui momok kemiskinan.
Jaringan mausoleum berusia berabad-abad itu terletak cukup jauh dari Lapangan Tahrir dan para aktivis Internet yang berhasil melengserkan Husni Mubarak dari kekuasaan lewat revolusi rakyat dan menyatukan negara tersebut di belakang visi sebuah Mesir yang bangkit kembali dari kematian, bangga dan bebas.
"Saya tak pergi ke Tahrir," ujar Nasser al-Said, 27, yang berpenghasilan dua dolar sehari dengan menjual teh dari meja kayu reot di tepi jalan.
"Saya harus menghidupi ibu, istri dan putri saya. Mau makan apa mereka jika saya ikut pergi dan berdemonstrasi."
Mereka menempati sebuah makam di Kota Orang Mati, suatu nektropolis yang sudah ada sejak penaklukan oleh Islam pada abad ketujuh, ketika kubah-kubah berpola pelik dari masjid-masjid abad pertengahan muncul di tempat-tempat yang terdapat banyak mausoleum.
Sebagian orang telah tinggal tempat itu selama beberapa generasi -- lebih suka dekat dengan mendiang nenek moyang yang dihormati dengan monumen sesuai tradisi yang suda sejak masa Piramida--tapi kebanyakan ada di sini karena mereka tidak mampu membiayai hidup di lokasi lain.
Empat puluh persen dari rakyat Mesir hidup dengan biaya 2 dolar sehari, menurut Bank Dunia, dan angka pengangguran kini tinggi di antara orang muda, sehingga memaksa banyak orang menunda perkawinan dan menunda punya anak sampai mereka berusia 30-an tahun.
Kawin
Tariq Salah, 33, berpendapatan 125 dolar sebulan dari upah menggali kubur dan menjaga sebuah mausoleum berusia 200 tahun tempat dia tidur sendirian setiap malam di antara kuburan-kuburan para bangsawan era Ottoman.
"Jika anda ingin kawin maka anda harus punya sebuah apartemen, harus punya segala sesuatu. Saya tak dapat menabung uang karena pendapatan saya cuma cukup untuk makan," tutur pria tadi.
Gelombang aksi protes pemuda yang menjatuhkan Mubarak dan kini bergejolak di semua wilayah tadi pada umumnya dipicu oleh keprihatinan-keprihatinan demikian, dengan teriakan-teriakan "rakyat menghendaki jatuhnya rejim itu!" yang diselangi-selingi dengan ucapan "saya ingin menikah!"
Rakyat Mesir mengharapkan sebuah pemerintah baru dan lebih demokratis yang dapat membantu mereka bisa sejahtera dengan membasmi korupsi, dengan orang menyebutkan laporan -- belum dikonfirmasikan dan kemungkinan terlalu dibesar-besarkan -- bahwa Mubarak membawa kabur 70 milyar dolar.
Para teknokrat pemerintahnya yang dipecat, banyak dari mereka kini dicekal untuk melakukan perjalanan dan jadi sasaran penyelidikan penyelewengan, melakukan banyak hal untuk membuka Mesir bagi investasi asing dan memandu pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun.
Namun saat kafe-kafe trendi dan toko-toko baru bermunculan di semua kawasan lebih apik di Kairo, kebanyakan rakyat merasa ditinggalkan di belakang.
Indikator
"Mereka boleh jadi punya beberapa indikator bagus dalam kinerja tentang tingkat pertumbuhan GDP dan neraca pembayaran," ungkap Magdy Sobhi, ekonom dari Al-Ahram Centre for Political and Strategic Studies.
"Namun pada waktu sama ada ketidakpuasan ini... Mereka selalu bilang bahwa tetesan ke bawah akan datang, tapi nanti-nanti. Namun kata "nanti" itu tak kunjung datang."
Atau, seperti ucapan penghuni makam Said Ali, 37: "Ada 99 orang miskin untuk setiap orang kaya di sini...Tidak ada kelas menengah."
Setiap pemerintah baru yang muncul di Kairo akan menghadapi banyak dari tekanan masalah lama -- meningkatnya populasi lebih 80 juta jiwa, berlarut-larutnya krisis ekonomi global dan, kini, dampak negatif pemberontakan tersebut sendiri.
Pada puncak pemberontakan itu perekonomian berdarah-darah dengan kerugian lebih 300 juta dolar sehari, menurut unit bank Prancis di Mesir Credit Agricole, yang mengurangi ramalan pertumbuhannya untuk 2011 dari 5,3 menjadi 3,7 persen.
Pasar saham berulangkali menunda pembukaannya kembali karena "kekhawatiran instabilitas," dan gelombang aksi mogok pada 14 Pebruari mengancam menutup negara tadi sebelum para penguasa militer-nya mendesak massa agar tenang.
Sektor pariwisata Mesir yang vital menyumbangkan devisa 13 milyar dolar dalam 2010, dengan rekor 15 juta wisatawan mengunjungi Negeri Fir’aun itu. Namun belakangan ini nyaris tidak ada pelancong di obyek-obyek wisata di sana akibat pergolakan tersebut. (afp/bh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar