BAB II
LANDASAN TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL,
DAN HIPOTESIS PENELIIAN
A. Kerangka Teoritis
Kerangka
teoritis menurut sejumlah teori yang berkaitan dengan hal-hal yang dikaji dalam
suatu penelitian. Teori tersebut digunakan sebagai landasan pemikiran dan acuan
bagi pembahasan masalah yang diteliti. Mengingat pentingnya hal itu, maka teori
yang digunakan haruslah berhubungan dan yang mendukung masalah yang akan
diteliti, yang sasarannya adalah untuk kejelasan uraian suatu penelitian.
1.
Antropologi
Sastra
Antropologi sastra terdiri atas dua kata, yaitu
antropologi dan sastra. Secara etimologis antropologi (anthropos + logos)
berarti ilmu tentang manusia, sedangkan sastra (sas + tra)
berarti alat untuk mengajar. Kelompok kata yang dimaksudkan belum menunjukkan arti
dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, secara luas yang dimaksud dengan
antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan dalam hubungan ini karya sastra yang
dianalisis dalam kaitannya dengan masalah-masalah antropologi. Dengan kalimta
lain, antropologi sastra adalah analisis interdisiplin terhadap karya sastra di
dalamnya terkandung unsur-unsur antroplogi. Dalam hubungan ini jelas karya
sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya antropologi itu sendiri sebagai
pelengkap. (Dalam Jurnal Antropologi Sastra: Nyoman Kutha Ratna)
Sebagai
seorang ahli antropologi yang mengkhususkan diri dalam subdisiplin antropologi,
dan foklor, perhatian saya dengan sendirinya saya fokuskan pada aspek pertama
budaya suku-suku bahasa indonesia, yakni aspek yang berupa tata kelakuan yang
secara konkret berupa cita-cita, norma-norma, pandangan-pandangan, hukum-hukum,
aturan-aturan, kepercayaan-kepercayaan,sikap-sikap, dan sebagainya yang
mendorong, mengarahkan, dan mengendalikan kelakuan pendukungnya. (
Koenjaraningrat, dalam jurnal Analisis Kebudayaan 1983:61)
2.
Folklor
Folklor
adalah bagian dari kebudayaan. Folklor – apapun bentuk dan wujudnya --
diciptakan atau dikreasikan oleh manusia (man made). Folklor dari
generasi ke genarasi diwariskan melalui lisan atau setengah lisan (sebagian
lisan).
Menurut pakar
folklor Indonesia Prof. Danandjaja (1996), folklor
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional, dalam
versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Masih menurut Danandjaja, ciri-ciri pengenal utama folklor adalah sebagai berikut:
Masih menurut Danandjaja, ciri-ciri pengenal utama folklor adalah sebagai berikut:
1. Penyebaran
dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui
tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan
gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi
berikutnya.
2. Folklor
bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap dalam bentuk
standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama
(paling sedikit dua generasi).
3. Folklore
ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal
ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya
bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau
proses interpolasi (interpolation), folklor dengan mudah dapat
mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian
luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4. Folklor
bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
5. Folklor
biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.
6. Folklor
mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
7. Folklor
bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian
lisan.
8. Foklor
menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini
sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui
lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
9. Folklor
pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar,
terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak
folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
3.
Sistem
Kepercayaan Orang Batak
Sebelum masuknya pengaruh agama
Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum
mengenal nama dan istilah ‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno)
adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda
mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon,
batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan).
Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa
penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan
kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang
tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam
kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan
aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan
istilah ‘Debata’, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut ‘Ompu
Na Bolon’ (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan
salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan
sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga
menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah
luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja
orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk
menekankan bahwa ‘Ompu Nabolon’ ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang
pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi ‘Mula Jadi
Nabolon’ atau ‘Tuan Mula Jadi Nabolon’. Karena kata Tuan, Mula, Jadi
berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing
yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan
pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa
terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu
kata ‘Debata’ yang berarti dewa (=jamak) sehingga menjadi ‘Debata Mula Jadi
Nabolon’.
Jadi jelaslah, istilah debata pada awalnya hanya dipakai
untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan dewa. Dapat
juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang dianggap sebagai
dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi yang disembah.
Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi, Debata Natarida
(Tulang atau paman dan orang tua), dll. Tetapi setelah masuknya Kekristenan
(yang pada awalnya hanya sebatas strategi pelayanan) kata debata semakin
populer karena nama debata dijadikan sebagai nama pribadi Maha Pencipta.
4.
Kisah
Tongkat Tunggal Panaluan
Berikut kisah
cerita tongkat tunggal panaluan yang kami dapat oleh para penduduk sekitar
Pulau Samosir di desa Sidogor-dogor :
Dahulu kala ada
sebuah cerita yang berasal dari Pangururan, pulau Samosir tepatnya di desa
Sidogor-dogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau
adalah seorang dukun yang bergelar ‘Datu Arak ni Pane’. Istrinya bernama Nan
Sindak Panaluan. Telah sekian lama mereka menikah tetapi belum juga di karuniai
keturunan. Suatu ketika perempuan itu hamil setelah begitu lamanya mereka
menunggu, kehamilan tsb membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap
keadaan itu hal yang gaib(aneh).
Di lain waktu
tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak
kembar, seorang anak laki-laki yang bernama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya
yang bernama Si Boru Tapi Nauasan. Kata orang-orang dulu jika melahirkan anak
kembar tapi berbeda jenis kelamin, dilarang untuk diasuh bersama karena tidak menguntungkan.
Dilain waktu,
Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk disana, dan
membawa anak-anaknya kesana. Gubuk itu dijaga dgn seekor anjing dan setiap hari
Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anaknya tsb. Setelah anak-anaknya
bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya
sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon(hau tadatada), pohon yang batangnya
penuh dgn duri, dan mempunyai buah yg masak & manis. Melihat buah pohon
itu, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga, dia
tertelan dan menjadi satu dgn pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat. Di
tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang,
kenapa sampai sore kok belum pulang juga adiknya, lalu dia pergi ke dalam hutan
untuk menyelidikinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Tiba-tiba
dia mendengar adiknya dari pohon yg berdekatan dgn dia, dan adiknya
menceritakan apa yang terjadi, sehingga dia tertelan oleh pohon tersebut.
Si Aji Donda memanjat
pohon itu, tetapi dia juga ikut ditelan dan menjadi satu dgn pohon itu.
Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja
di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan
meloncat-loncat pada pohon tersebut, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama,
tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yang terlihat. Seperti biasa si
Guru hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi
dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke
dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon tersebut dan dimana dia
hanya melihat kepala dua orang anak-anaknya dan anjing penjaga.
Guru Hatimbulan
memberitahuakan kejadian tersebut kepada seluruh warga. Ada beberapa orang
datuk yang mengaku mampu membebaskan anaknya. Tapi nyatanya Datu-datu tersebut
juga ikut tertelan. Hingga suatu saat, bertemulah Guru Hatimbulan pada seorang
sakti yang mengatakan agar pohon tersebut dipotong dan dibentuk serupa dengan
korban yang ditelannya. Maka, Guru Hatimbulanpun meminta warga untuk mengukir
pohon itu menjadi bentuk manusia dan binatang. Setelah selesai mengukir, semua
orang kembali ke kampung Guru Hatimbulan dan membunyikan gong, juga
mengorbankan lembu untuk menghormati mereka yang diukir di dalam tongkat
tersebut. Para orang sakti juga menari (manortor) untuk berbicara dengan para
roh.
Para roh lantas
berkata, "Kalian pemahat, bagaimana bisa memahat kami, memiliki mata
tetapi tidak bisa melihat, memiliki mulut tetapi tidak bisa berbicara, memiliki
telinga tetapi tidak bisa mendengar, memiliki tangan tapi tidak bisa memegang,
terkutuklah kamu!" Guru Hatimbulan menjawab, "Jangan kutuk kami!
Kalian yang terjatuh dan mengutuk diri kalian sendiri." Dengan demikian ia
merelakan kepergian anak-anaknya. Maka, roh sang anak menjawab, "Baiklah,
biar begini adanya Ayah, dan gunakanlah aku untuk menahan hujan, memanggil
hujan pada waktu musim kering, senjata di waktu perang, mengobati penyakit,
menangkap pencuri dan lain-lainnya untuk kepentingan bersama Ayah." Maka,
pulanglah semua warga ke rumah masing-masing.
5.
Kegunaan
Tongkat Tunggal Panaluan Pada Masyarakat Batak
Dalam
perkembangannya, kisah tongkat magis masih sering dipertunjukkan di sela-sela
Tarian Tor-Tor seperti dalam acara pembukaan Festival Danau Toba. Dalam
festival tersebut penari bersama sang dukun menari di depan keluarga raja
dengan diiringi oleh sarune, gondang (gendang), dan taganing yang terdengar
monoton mengantar sang dukun memasuki kondisi trance.
Kemudian, di
tengah-tengah tarian, sang dukun akan berkomunikasi dengan tongkat menanyakan
keadaan seputar kerajaan serta kesejahteraannya. Setelah prosesi usai, dukun
pun menyajikan sesajen berupa nasi, ayam rebus utuh, ubi, daun sirih, bunga dan
aneka sajian lainnya. Sang dukun juga meminum tuak dari buluh bambu. Setelah
makan, sang dukun pun menyuapi kedua murid-muridnya.
B.
Kerangka
Konseptual
Berdasarkan uraian
kerangka teoritis yang menjabarkan hal-hal yang menjadi pokok permasalahan
dalam penelitian ini, maka kerangka konseptual menyajikan konsep-konsep yang
sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Berdasarkan uraian teoritis
sebagaimana diberikan pada kajian diatas, kepercayaan masyarakat batak, dan
kebenaran sebah kisah Tongkat Tunggal
Panaluan.
Berdasarkan
uraian teoritis sebagaimana diberikan pada kajian diatas, cerita tongkat
tunggal panaluan mempunyai kesinambungan antara kepercayaan masyarakat batak
sebelum masuknya agama. Itu terlihat pada zaman dahulu, orang batak memiliki
kepaercayaan terhadap arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati.
Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu,
dll yang dianggap sebagai tempat keramat dan dijadikan tempat yang sakral (tempat
sembahan). Maka dari itu, pada saat terciptanya Tongkat Tunggal Panaluan,
masyarakat Batak menyembah dan mempercayai tongkat tersebut karena kesaktiannya
yang dipercayai dapat menyembuhkan orang sakit, dapat menurunkan hujan, dll.
Selain itu kebenarannya juga dilihat dari fakta-fakta peninggalan Tongkat
Tunggal Panaluan yang masih ada sampai saat ini. Tetapi iu saja belum bisa
dijadikan bukti yang kuat bahwa cerita tersebut benar-benar terjadi. Maka kami
melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kebenaran cerita tersebut.
C.
HIPOTESIS
PENELITIAN
Penelitian ini
berusaha mengetahui kebenaran cerita tentang Tongkat Tunggal Panaluan yang
terdapat di Pulau Samosir. Berkenaan dengan hipotesis, Arikunro (2002:64)
mengatakan, “Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang diperoleh dari
pelaksanaan penelitian.
Berdasarkan kerangka
teoritis dan kerangka konseptual yang telah dipaparkan sebelumnya, hipotesis
penelitian yang dapat diajukan adalah : terdapat kebenaran yang kurang relevan
terhadap cerita Tongkat Tunggal Panaluan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggreani
Silalahi, Suryana. Cerita
Rakyat Mengenai Kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tomok Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir. (Dalam Jurnal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar