Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

Sistem Kepercayaan Orang Batak



BAB II
LANDASAN TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL,
DAN HIPOTESIS PENELIIAN

A.    Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis menurut sejumlah teori yang berkaitan dengan hal-hal yang dikaji dalam suatu penelitian. Teori tersebut digunakan sebagai landasan pemikiran dan acuan bagi pembahasan masalah yang diteliti. Mengingat pentingnya hal itu, maka teori yang digunakan haruslah berhubungan dan yang mendukung masalah yang akan diteliti, yang sasarannya adalah untuk kejelasan uraian suatu penelitian.
1.      Antropologi Sastra
Antropologi sastra terdiri atas dua kata, yaitu antropologi dan sastra. Secara etimologis antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang manusia, sedangkan sastra (sas + tra) berarti alat untuk mengajar. Kelompok kata yang dimaksudkan belum menunjukkan arti dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, secara luas yang dimaksud dengan antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan dalam hubungan ini karya sastra yang dianalisis dalam kaitannya dengan masalah-masalah antropologi. Dengan kalimta lain, antropologi sastra adalah analisis interdisiplin terhadap karya sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur antroplogi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya antropologi itu sendiri sebagai pelengkap. (Dalam Jurnal Antropologi Sastra: Nyoman Kutha Ratna)

Sebagai seorang ahli antropologi yang mengkhususkan diri dalam subdisiplin antropologi, dan foklor, perhatian saya dengan sendirinya saya fokuskan pada aspek pertama budaya suku-suku bahasa indonesia, yakni aspek yang berupa tata kelakuan yang secara konkret berupa cita-cita, norma-norma, pandangan-pandangan, hukum-hukum, aturan-aturan, kepercayaan-kepercayaan,sikap-sikap, dan sebagainya yang mendorong, mengarahkan, dan mengendalikan kelakuan pendukungnya. ( Koenjaraningrat, dalam jurnal Analisis Kebudayaan 1983:61)
2.      Folklor
Folklor adalah bagian dari kebudayaan. Folklor – apapun bentuk dan wujudnya -- diciptakan atau dikreasikan oleh manusia (man made). Folklor dari generasi ke genarasi diwariskan melalui lisan atau setengah lisan (sebagian lisan).
Menurut pakar folklor Indonesia Prof. Danandjaja (1996), folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional, dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Masih menurut Danandjaja, ciri-ciri pengenal utama folklor adalah sebagai berikut:
1.      Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.      Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
3.      Folklore ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.          
4.      Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi. 
5.      Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. 
6.      Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. 
7.      Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
8.      Foklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.   
9.      Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
3.      Sistem Kepercayaan Orang Batak
                Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah ‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.
Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah ‘Debata’, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut ‘Ompu Na Bolon’ (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa ‘Ompu Nabolon’ ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi ‘Mula Jadi Nabolon’ atau ‘Tuan Mula Jadi Nabolon’. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (=jamak) sehingga menjadi ‘Debata Mula Jadi Nabolon’.
           
Jadi jelaslah, istilah debata pada awalnya hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan dewa. Dapat juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang dianggap sebagai dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi yang disembah. Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi, Debata Natarida (Tulang atau paman dan orang tua), dll. Tetapi setelah masuknya Kekristenan (yang pada awalnya hanya sebatas strategi pelayanan) kata debata semakin populer karena nama debata dijadikan sebagai nama pribadi Maha Pencipta.
4.      Kisah Tongkat Tunggal Panaluan
Berikut kisah cerita tongkat tunggal panaluan yang kami dapat oleh para penduduk sekitar Pulau Samosir di desa Sidogor-dogor :
Dahulu kala ada sebuah cerita yang berasal dari Pangururan, pulau Samosir tepatnya di desa Sidogor-dogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang dukun yang bergelar ‘Datu Arak ni Pane’. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan. Telah sekian lama mereka menikah tetapi belum juga di karuniai keturunan. Suatu ketika perempuan itu hamil setelah begitu lamanya mereka menunggu, kehamilan tsb membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap keadaan itu hal yang gaib(aneh).
Di lain waktu tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki yang bernama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya yang bernama Si Boru Tapi Nauasan. Kata orang-orang dulu jika melahirkan anak kembar tapi berbeda jenis kelamin, dilarang untuk diasuh bersama karena  tidak menguntungkan.
Dilain waktu, Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk disana, dan membawa anak-anaknya kesana. Gubuk itu dijaga dgn seekor anjing dan setiap hari Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anaknya tsb. Setelah anak-anaknya bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon(hau tadatada), pohon yang batangnya penuh dgn duri, dan mempunyai buah yg masak & manis. Melihat buah pohon itu, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga, dia tertelan dan menjadi satu dgn pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat. Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore kok belum pulang juga adiknya, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk menyelidikinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Tiba-tiba dia mendengar adiknya dari pohon yg berdekatan dgn dia, dan adiknya menceritakan apa yang terjadi, sehingga dia tertelan oleh pohon tersebut.
Si Aji Donda memanjat pohon itu, tetapi dia juga ikut ditelan dan menjadi satu dgn pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pada pohon tersebut,  lalu anjing itupun mengalami hal yang sama, tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yang terlihat. Seperti biasa si Guru hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon tersebut dan dimana dia hanya melihat kepala dua orang anak-anaknya dan anjing penjaga.
Guru Hatimbulan memberitahuakan kejadian tersebut kepada seluruh warga. Ada beberapa orang datuk yang mengaku mampu membebaskan anaknya. Tapi nyatanya Datu-datu tersebut juga ikut tertelan. Hingga suatu saat, bertemulah Guru Hatimbulan pada seorang sakti yang mengatakan agar pohon tersebut dipotong dan dibentuk serupa dengan korban yang ditelannya. Maka, Guru Hatimbulanpun meminta warga untuk mengukir pohon itu menjadi bentuk manusia dan binatang. Setelah selesai mengukir, semua orang kembali ke kampung Guru Hatimbulan dan membunyikan gong, juga mengorbankan lembu untuk menghormati mereka yang diukir di dalam tongkat tersebut. Para orang sakti juga menari (manortor) untuk berbicara dengan para roh.
Para roh lantas berkata, "Kalian pemahat, bagaimana bisa memahat kami, memiliki mata tetapi tidak bisa melihat, memiliki mulut tetapi tidak bisa berbicara, memiliki telinga tetapi tidak bisa mendengar, memiliki tangan tapi tidak bisa memegang, terkutuklah kamu!" Guru Hatimbulan menjawab, "Jangan kutuk kami! Kalian yang terjatuh dan mengutuk diri kalian sendiri." Dengan demikian ia merelakan kepergian anak-anaknya. Maka, roh sang anak menjawab, "Baiklah, biar begini adanya Ayah, dan gunakanlah aku untuk menahan hujan, memanggil hujan pada waktu musim kering, senjata di waktu perang, mengobati penyakit, menangkap pencuri dan lain-lainnya untuk kepentingan bersama Ayah." Maka, pulanglah semua warga ke rumah masing-masing.
5.      Kegunaan Tongkat Tunggal Panaluan Pada Masyarakat Batak
Dalam perkembangannya, kisah tongkat magis masih sering dipertunjukkan di sela-sela Tarian Tor-Tor seperti dalam acara pembukaan Festival Danau Toba. Dalam festival tersebut penari bersama sang dukun menari di depan keluarga raja dengan diiringi oleh sarune, gondang (gendang), dan taganing yang terdengar monoton mengantar sang dukun memasuki kondisi trance.
Kemudian, di tengah-tengah tarian, sang dukun akan berkomunikasi dengan tongkat menanyakan keadaan seputar kerajaan serta kesejahteraannya. Setelah prosesi usai, dukun pun menyajikan sesajen berupa nasi, ayam rebus utuh, ubi, daun sirih, bunga dan aneka sajian lainnya. Sang dukun juga meminum tuak dari buluh bambu. Setelah makan, sang dukun pun menyuapi kedua murid-muridnya.
B.     Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian kerangka teoritis yang menjabarkan hal-hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka kerangka konseptual menyajikan konsep-konsep yang sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Berdasarkan uraian teoritis sebagaimana diberikan pada kajian diatas, kepercayaan masyarakat batak, dan kebenaran sebah kisah  Tongkat Tunggal Panaluan.
Berdasarkan uraian teoritis sebagaimana diberikan pada kajian diatas, cerita tongkat tunggal panaluan mempunyai kesinambungan antara kepercayaan masyarakat batak sebelum masuknya agama. Itu terlihat pada zaman dahulu, orang batak memiliki kepaercayaan terhadap arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang dianggap sebagai tempat keramat  dan dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Maka dari itu, pada saat terciptanya Tongkat Tunggal Panaluan, masyarakat Batak menyembah dan mempercayai tongkat tersebut karena kesaktiannya yang dipercayai dapat menyembuhkan orang sakit, dapat menurunkan hujan, dll. Selain itu kebenarannya juga dilihat dari fakta-fakta peninggalan Tongkat Tunggal Panaluan yang masih ada sampai saat ini. Tetapi iu saja belum bisa dijadikan bukti yang kuat bahwa cerita tersebut benar-benar terjadi. Maka kami melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kebenaran cerita tersebut.
C.    HIPOTESIS PENELITIAN
Penelitian ini berusaha mengetahui kebenaran cerita tentang Tongkat Tunggal Panaluan yang terdapat di Pulau Samosir. Berkenaan dengan hipotesis, Arikunro (2002:64) mengatakan, “Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian.
Berdasarkan kerangka teoritis dan kerangka konseptual yang telah dipaparkan sebelumnya, hipotesis penelitian yang dapat diajukan adalah : terdapat kebenaran yang kurang relevan terhadap cerita Tongkat Tunggal Panaluan.

DAFTAR PUSTAKA
Anggreani Silalahi, Suryana. Cerita Rakyat Mengenai Kesaktian Tongkat Tunggal Panaluan          Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Tomok Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.      (Dalam Jurnal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar