LONJAN*
Adhiet’s Ritonga
“ Aduh … !”.
Tubuh kekar Aldi terjatuh, sepatu
Sport bertaraf merk Internasional yang dipakainya tersandung batu. Seekor
anjing Gereja menggonggong, Aldi spontan berlari ketakutan. Aldi dan anjung berlomba
lari diiringi kokok ayam. Tanpa fikir panjang Aldi langsung memanjat pagar besi
yang tinggi, anjing tak berhasil memanjat bahkan melompati pagar kost besi Aldi
yang tinggi itu. Namun anjing tetap saja menggonggong, ingin menerkam. Aldi
mengacungkan jari telunjuknya ke arah anjing jantan hitam itu dengan wajah
senis mengejek. Aldi masuk ke dalam kost, menuju kamar tidur dan menjatuhkan
tubuhnya di kasur empuk, tanpa memperdulikan anjing yang masih menggonggong.
………………
Universitas
Negeri Adhiet’s Ritonga ( UNINE Ad – Ri ). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Pak Zamil memberikan Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
“ Nah, etika moral Bangsa itu, ada
pada penduduknya. Jika masyarakat berbuat baik, maka baiklah Bangsa kita.
Kebaikan itu sudah barang tentu memiliki etika atau moral. Apa lagi moral
kesusilaan !”.
“ Contohnya, Pak ?”, tanya Wardah.
Mahasiswi berkerudung dan pintar
ini, memang diakui sebagai salah satu Mahasiswi aktif dalam pembelajaran dan
Organisasi.
“ Mahasiswa yang menjajakan dirinya
untuk sek komersil. Pelacur, Gigolo, Banci dan sebagainya. Itu beberapa contoh
kasus asusila yang bisa merusak moral Bangsa, biarpun mereka melakukan itu
dengan sadar atau suka sama suka !”.
“ Pak … !”, sanggah Aldi.
“ Menurut saya, moral etika Bangsa
bukanlah tercermin dari apa yang dilakukan oleh penduduknya !”, Aldi
menjelaskan.
“ Maksudnya ?”, tanya Pak Zami.
“ Maksud saya … !”, Aldi terdiam
sejenak.
Suasana kelas hening.
Dengan tergagu dan patah – patah,
Aldi melanjutkan.
“ Mereka yang bekerja dimalam hari
…, ehem maksud saya lagi. Yang melakukan sek komersil itu, merupakan kebutuhan
untuk hidup. Dan …, dan itu tidak ada hubungannya dengan etika atau moral suatu
Bangsa !”.
“ Pak, saya tidak setuju dengan apa
yang dikatakan Aldi !”, bantah Wardah.
“ Kita lihat Bangsa kita selama ini,
sangat jauh tertinggal dari Negara lain. Katanya Bangsa kita dalam tahap
kemajuan dan berkembang, tapi apa yang dikembangkan Bangsa kita ? Mengembangkan
diri untuk menjual tubuhnya !”, sambung Wardah antusias.
“ Pak … !”, Aldi mengangkat tangan.
“ Silakan !”, sahut Pak Zamil
“ Menjajakan diri, bukan untuk
bersenang – senang ingin menikmati apa yang namanya permainan dalam kehangatan.
Tapi, itu suatu pekerjaan demi mempertahankan hidup !”, Aldi semangat menggebu
– gebu.
“ Tapikan masih ada pekerjaan yang
halal, lagi baik !”, Wardah memotong, tanda tidak setuju.
“ Sudahlah, Wardah !”, pinta Saskya
yang duduk di bangku belakang Wardah.
“ Kita jangan membicarakan halal
atau tidak halal. Pekerjaan apa pun kalau dilakukan dengan baik – baik, maka
jadinya akan baik. Anjing juga halal dimakan jika dalam keadaan terpaksa !”,
lanjut Aldi, lantang.
“ Aldi … !”, tegur Monic yang selalu
duduk bersebelahan dengan Aldi.
“ Kita harus lihat konteknya
terlebih dahulu. Anjing halal dimakan apa bila kita tersesat atau hanyut
disuatu tempat, dan tempat itu pun jika tidak ada tanaman yang tumbuh yang
tidak layak dikomsumsi atau hewan tidak ada sama sekali kecuali anjing. Boleh
dimakan, karena itu satu – satunya !”, Wardah terus membantah.
“ Wardah, jangan diperpanjang lagi
!”, nasihat Saskya.
“ Jadi, apa bedanya dengan orang
yang melacurkan diri atas keadaan yang terpaksa ?”, Aldi tak mau kalah.
“ Pak, sebaiknya kita akhiri
perdebatan ini. Bapak saja yang mengambil kesimpulan !”, saran Saskya.
“ Baiklah, kesimpulan materi kuliah
kita pada hari ini adalah . . . . , ! Selamat siang !”.
Kantin FISIP, tempat nongkrong anak
– anak FISIP. Monic memulai pembicaraan.
“ Aldi, kenapa sih tadi, gak
biasanya loh ?”.
“ Aku hanya mengatakan apa yang
menurutku benar !”.
“ Iya, aku ngerti. Tapi tadi … !”.
“ Udah deh Monic, untuk apa dibahas
lagi ?”, Aldi memotong pembicaraan.
“ Aldi, sadar gak. Apa yang kau
katakan tadi, gak seperti biasanya. Kau itu seakan – akan tersinggung dengan penjelasan
Pak Zamil, dan kau ngotot membela mereka yang berkecimpung di dunia … !”.
“ Di dunia sek komersil !”, sambunga
Aldi yang membentak.
Monic menarik nafas, meski Ia tidak
kecewa.
“ Sok tau !”, Aldi membentak lagi.
Monic kembali menarik nafas, kali
ini panjang. Kemudian menunduk, tak berani menatap mata garang Aldi.
Merasa iba, Aldi ingin beranjak dari
tempat duduknya dan membujuk Monic, kekasihnya.
Tiba – tiba Iyan beserta Geng datang
menghampiri Aldi dan Monic, mereka urung beranjak dari tempat duduk.
“ Coy, tunggu bentar coy. Banyak
kale tugas ne, kau sebagai Mahasiswa nyang selalu dapat IP empat koma Rektor,
pasti tau ne ngerjain tugas dari Pak Zamil !”, ujar Iyan yang digelar sebagai
Mahasiswa paling hancur.
“ Sory, hari aku lagi gak mau diganggu.
Besok aja, ok !”, tegasnya.
Aldi menarik tangan Monic, lalu
keluar meninggalkan Kantin, Iyan dan Gengnya.
Iyan memang aktif di Organisasi,
tapi Organisasi yang disukainya ialah Organisasi yang selalu menentang kebaikan
dan mendukung keburukan. Ada
saja Demontrasi yang dilakukan Iyan bersama Organisasinya, tentunya Demontrasi
yang bermula dan berujung tidak jelas. Banyak yang tidak mereka setujui atas
kebijakan Kampus, mereka akan sepaham atau mengikut, bila diberi imbalan.
Tentunya, imbalan uanglah dimaksud. Iyan juga dikenal sebagai Mahasiswa yang
malas belajar dan mandi, tapi tidak dengan hal berpajaran. Sedangkan Aldi,
kecerdasannya tidak usah diragukan lagi. Namun sayang, Aldi tidak tertarik
mengikuti aktifitas Kampus, selain belajar.
…………………
Matahari telah tenggelam, bulan
sudah timbul, cahaya bintang menyirami. Aldi menunggu Taksi argo yang lewat di
depan Gang kost. Di seberang jalan ada kost wanita, di situlah Monic tinggal.
Beberapa saat kemudian Aldi menaiki Taksi yang diberhentikannya dengan nomor
Polisi BK 21 VH. Monic melihat dari seberang jalan sambil bersembunyi. Monic
merasa penasaran, untuk itu Monic mengikutinya. Monic memberhentikan Taksi yang
secara kebetulan ditumpangi Aldi kemaren malam.
Di tengah perjalanan, Aldi merasa ada yang mengikutinya.
“ Pak, bisa agak cepat ?”, ujat Aldi
pada supir Taksi.
Pak supir pun mempercepat laju
Taksinya.
Aldi sampai di sebuah Villa,
sementara Monic jauh tertinggal. Sesegera mungkin Aldi turun dari Taksi yang
ditumpanginya, kemudian bersembunyi.
Dari kejauhan Monic melihat Taksi
berwarna biru hendak berjalan meninggalkan Villa yang diyakini Monic bahwa itu
Taksi yang ditumpangi kekasihnya. Monic pun sampai dan langsung turun dari
Taksi, agar tidak kehilangan jejak Aldi.
“ O, ternyata Monic yang mengikuti
aku !”, hati Aldi berkata.
Monic tidak mengetahui Aldi
bersembunyi, Monic terus saja berjalan mencari Aldi, Monic kini melewati tempat
persembunyian Aldi, secara pelan berjalan dari belakang Monic. Tiba – tiba.
“ Duuuwaaaarrrr … !”.
“ Aldi apaan sih, aku kaget tau …
!”.
“ Untuk apa aku diikuti ?”.
“ Penasaran aja, lagian aku curiga.
Ngapain pake baju rapi – rapi segala, bergaya abis, wangi lagi. Kayak
penampilan kita mau malam mingguan, inikan bukan malam minggu. Kita gak ada
janjian jalankan ?”.
Aldi berdiam diri.
Monic meneruskan ucapannya.
“ Naek Taksi mahal lagi, gak
biasanya. Jangan – jangan … !”.
“ Kok tau Mon, aku naek Taksi ?”,
Aldi memotong bicara Monic.
“ Sebenarnya aku mau ke Kost kau,
begitu mau nyebrang jalan, aku liat kau sedang berdiri di depang Gang. Begitu
kau naek Taksi, langsung deh aku ikuti !”.
“ Yok ... !”, ajak Aldi, menarik
tangan Monic.
“ Ke mana … ?”.
“ Udah ayok, nanti juga tau !”.
Tertatih – tatih Aldi dan Monic
berjalan, sambil berpegangan tangan, sedikit canda tawa dilepaskan. Aldi dan
Monic tiba dalam sebuah Villa Megah, Monic tertegun.
“ Ini rumah siapa, Aldi ?”.
“ Rumah aku. Oh, maksudku, bakalan
jadi milik aku !”.
“ Gak mungkin, aku tau siapa dirimu.
Gak mungkin, Aldi. Ini Villa namanya !”.
“ Mau minum, panas atau dingin ?”.
“ Aldi, jawab dulu. Ini punya siapa
?”.
“ Ini punya tante Juwita !”.
“ Tante Juwita, siapa Dia ?”.
“ Monic, aku bisa tetap kuliah
karena tante Juwita yang bantu aku selama ini !”.
“ Aku gak ngerti !”.
“ Aku jadi laki – laki simpanannya
!”.
Malam itu terasa hangat, angin timur
yang berhembus mesra, menjadi garang.
“ Gak mungkin …, aku gak percaya,
Aldi ?”, Monic berteriak.
“ Monic, hentikan !”.
“ Itu selingkuh namanya, kau
mengkhianati aku !”, Monic menggenggam rambut pendeknya, suaranya tiba – tiba
parau.
“ Monic, aku gak bermaksud … !”.
“ Jangan sentuh aku !”.
“ Oke, tapi dengar dulu
penjelasanku. tenanglah !”.
Monic berusaha menenangkan nafasnya
yang naik turun secara cepat.
“ Ya, aku sudah tenang. Teruskan omonganmu
!”, Monic berusaha menahan emosi.
“ Aku melakukannya demi masa depan,
biar aku bisa tetap kuliah, hingga akhirnya selesai dan diwisuda. Sebenarnya
hal ini mau aku ungkapkan padamu, Monic. Tapi, aku menunggu waktu yang tepat.
Walau malam ini udah terungkap, biarlah engak apa – apa, aku harap kamu bisa
ngerti !”.
“ Apa Beasiswa Prestasi Akademikmu
gak cukup ?”, Monic terlihat sedikit lebih tenang.
“ Itu hanya cukup untuk biaya
kuliah, Monic. Sedangkan untuk bayar kost, makan minum aku. Beli ini beli itu,
dari mana uangnya ?”.
“ Kiriman dari kampung, apa
orangtuamu gak pernah ngasi ?”.
“ Ya ampun Monic, aku dikasi izin
kuliah aja udah syukur. Jangankan ngirim uang, ngasi jajan aja gak pernah. Kau kan tau keluarga aku,
orang yang gak mampu !”.
“ Sekarang tante Juwita di mana ?”.
“ Dia diluar Kota,
tapi sekarang sedang dalam perjalan mau ke sini, Dia ke sini sebulan
sekali. Tante Juwita ke sini mengurus
usaha suaminya juga dan nginap beberapa hari. Di Villa inilah Dia nginap, aku
menemaninya !”.
“ Lalu yang diluar Kota ?”, tanya Monic, dengan suara lembut
yang dipaksakan.
“ Usahanya suaminya juga, tapi
mereka menetap diluar Kota.
Karna di sana
Pusat Usahanya !”.
“ Dan di sini ?”.
“ Hanya cabangnya !”.
………………………………………………………………………………………………
* ; Dialeg Melayu Pesisir Pantai. Lonjan,
akronim dari Lonte Jantan. Ialah sebutan untuk Kaum Gigolo. Lonte sama halnya
dengan Pelacur.
Al-Hilal
Siagian
Mendung
tak jua datang, cuaca hari ini sangat terik. Penduduk bumi dibuat gerah.
Jalanan seperti mengeluarkan minyak yang mendidih. Macat total ! Aku terjebak
diantara klakson yang beradu nyaring dan saling mendahului.
“
Lewat tol aja Fan, biar lebih cepat !”, imbau Andi yang sedari tadi tak tenang,
ingin cepat ke kampus.
“
Kau ini bagaimana Ndi, mana sanggup kereta bututku ini masuk ke jalan Tol !”,
jawabku ketus ditengah panas yang membuat kepala mendidih.Terlebih, aku tidak
memakai helm.
Zeet
.. Zet .. Wush .. Begitu ada celah sedikit saja diantara kendaraan yang
memadatkan jalan itu, aku langsung memotong. Dengan kecepatan 50 km/jam kupacu
kereta bututku. Lantas.
Prakkk
…
Aakhkk
…
Tak
sengaja, kereta bututku menubruk seorang pengemis jalanan. Tubuh kecilnya
terpelanting hingga membentur trotoar yang keras dan panas. Dia terbujur,
ambruk. Segera Andi turun dan melihat kondisinya.
“
Parah, Fan … !”, teriak Andi setengah takut diamuk masa.
Dalam
Waktu singkat, beberapa warga sudah mengerumuni kami. Klakson supir angkutan
umum dan mobil-mobil pribadi berdering nyaring, membuat suasana semakin panas.
“
Ayo cepat kita bawa ke rumah sakit !”, teriak Andi.
Aku
mengangguk, kalut. Kupacu keretaku dengan perasaan tak menentu.
“
Suster … Suster … Tolong, ada pasien sekarat !”, teriakku kepada para wanita
berseragam putih yang berdiri di mulut pintu Unit Gawat Darurat, Rumah Sakit.
“
Maaf Pak, mohon mengisi form untuk administrasinya lebih dulu !”.
“
Hah ! Gila ! Kau tak lihat anak ini sudah mau mampus, cepat tolong Dia !”,
Darahku naik ke kepala.
Rasanya
aku ingin meledak dan meluapkan seluruh amarahku di Rumah Sakit itu.
“
Pak, ini sudah prosedur Rumah Sakit. Bagaimanapun, bapak harus mengisi
administrasinya lebih dulu !”, lagi-lagi nada formal yang tak enak keluar dari
mulut suster itu.
Kutatap
sejenak wajah anak yang berlumuran darah tak berdaya. Orang-orang sekitar
menatap kami dengan sorot mata tajam. Namun tak ada satu orang pun yang mau
angkat bicara.
“
Beginikah sifat manusia saat ini ? Tidak punya belas kasihan ! Ketika seorang
sudah sekarat, masih saja mempersoalkan administrasi !”, amukku dalam hati.
Aku kalap. Kuturunkan anak kecil
yang sedari tadi kugendong, ke bangku panjang yang tegak di mulut pintu ruang
itu. Secepat mungkin, kuserobot sebuah gunting yang ada di atas meja Suster itu
dan kuacungkan ke lehernya. Orang-orang berteriak histeris memanggil Satpam.
Entah apa yang ada di kepalaku saat itu, yang kutahu hanyalah bagaimana caranya
agar anak kecil yang malang
itu bisa diselamatkan.
“
Cepat bawa Dia, atau kubunuh suster ini !”, semua orang melihatku, Sang Suster
telah lumpuh dalam cengkeraman.
“
Baik-baik ! Jangan sakiti Susternya, kami bawa anak ini !”, setengah takut,
Satpam Rumah Sakit membawa anak kecil itu tergesa ke dalam ruangan. Aku masih
memegangi wanita paruh baya yang ketakutan dengan ujung gunting yang melekat di
tenggorokannya, Dia menangis.
Dari kejauhan kulihat anak itu
dibawa ke dalam ruangan. Entah bagaimana nasibnya. Apakah Dia masih hidup, atau
… ah, kalau Dia meninggal akan kutuntut Rumah Sakit ini karena tidak cepat
menanganinya. Kulepaskan Suster itu, sesak nafasnya tersengal.
“
Bagaimana kalau anak kalian mendapat hal yang sama, apa kalian juga memikirkan
administrasinya ? Apakah kalian masih memikirkan uang walau darah sudah
bercucuran dari keningnya ?”, aku membentak.
Tak
satupun yang menjawab. Aku mengutuk dalam hati. Beginikah pelayanan Negaraku ?
Hanya orang-orang yang beruang saja yang cepat dilayani. Tanpa sadar, air
mataku mengalir perlahan.
Seketika baru kuperhatikan, baju
putihku berubah warna menjadi merah. Aku baru ingat, siang ini aku dan Andi
akan mengikuti ujian akhir semester.
“
Ah … Sudahlah. Apalah pentingnya ujian itu dibandingkan dengan nyawa orang yang
telah kutabrak. Oh Tuhan … apa yang aku lakukan, kenapa aku bisa seceroboh ini
… !”, aku mengutuk sedalam-dalamnya.
Dari
kejauhan kulihat Andi datang tergogoh-gopoh menuju ke arahku.
“
Gimana anak itu, Fan ?”.
“
Kemana saja kau ? Bukannya menolongku, kau malah menghilang !”, kasar jawabku
pada Andi.
“
Aku takut darah, Fan … !”, jawab Andi lemas.
Aku
baru ingat kalau Andi tidak bisa melihat darah. Konon, sewaktu Andi masih kecil
keluarganya habis-habisan di bantai di Aceh, hanya tersisa Dia dan adiknya,
Mala. Itu pun karena mereka sembunyi di dalam almari pakaian, sehingga tidak
terlihat oleh gerombolan pembantai. Dari kejadian itu, setiap kali Andi melihat
darah, Dia teringat akan masa lalunya.
Seorang dokter keluar dari ruangan
tempat anak itu dirawat.
“
Bagaimana keadaannya, Dok ? Dia baik-baik saja, kan ?”, wajah dokter itu kelihatan suram.
Seperti
hatiku yang gelisah.
“
Maafkan kami, Pak. Karena Dia kehabisan banyak darah, kami tidak bisa
menyelamatkannya. Dia sudah meninggal, Pak !”.
Taarr
… Aku bagai disambar petir. Ucapan dokter itu membuatku lemas, hampir ambruk.
Tanpa permisi, air mataku meleleh.
“
Aku pembunuh, Tuhan …!”, jeritku dalam hati.
“
Kenapa Engkau lakukan ini padaku !”, Lagi-lagi aku menyalahkan Tuhan.
“
Ini semua gara-gara kalian ! Kalian telah membunuhnya !”, Kuarahkan telunjukku
kepada orang-orang berseragam putih itu.
“
Mana tanggung jawab kalian ?”, teriakku sejadi-jadinya.
Aku
jatuh dan tak sadarkan diri.
***
Senja menutup hari, mentaripun
tenggelam menarik malam. Aku terpaku di tepian kemelut, sesali perbuatanku.
Masih teringat jelas di benakku ketika kugendong anak itu. Sebilah kayu yang
dipakukan pada tutup minuman botol, menyerupa tamborin sederhana, masih
dipegangnya erat. Dia tidak salah berkeliaran di Jalan Raya. Dia hanya berusaha
mengais kehidupan. Usianya masih hijau, namun mengapa nasib baik seolah bukan
miliknya. Dia pantas hidup layak. Tapi, siapa yang peduli ?
Hampir saja aku gila. Sejak
peristiwa itu, hari-hari kuhabiskan dengan merenung. Berjubel pertanyaan
berloncatan dari pikiranku. Rasa bersalah menghantuiku. Aku benar-benar
menyesali perbuatanku juga pelayanan Rumah Sakit itu. Untunglah ada Andi yang
selalu menguatkan aku untuk selalu bersabar.
“
Setiap manusia pasti akan merasakan mati, Fan. Ajal anak itu memang sudah
ditakdirkan Tuhan, kau tak perlu menyesalinya sampai seperti ini !”, Andi
menghiburku dalam kegalauan.
“
Tapi mengapa harus aku yang menjadi penyebab kematiannya ?”, isakku lirih.
“
Sabar ya, Fan … !”, kalimat terakhir yang selalu diucapkan Andi padaku.
Pikiranku pun berkecamuk, alangkah malang nasib pengamen
kecil itu. Dia tak punya kerabat ataupun orang tua. Seorang lelaki yang mengaku
kerabatnya tak menuntut banyak. Dia hanya butuh beberapa gepok rupiah untuk
membiarkan kasusku selesai sendiri. Tidak ada yang mencarinya. Dan peristiwa
itu, sedemikian cepat terlupa. Ah, harusnya aku senang dengan keapatisan ini.
Tapi nuraniku berontak. Aku seperti seorang penjahat yang membunuh dikerumunan
orang buta. Semua orang membutakan dirinya. Tidak, bukan cuma buta. Mereka juga
tuli.
Anak-anak
jalanan yang seharusnya menjadi tanggungan Negara, tertulis jelas dalam
Undang-Undang, tapi masih banyak di sini pengemis-pengemis yang tak jelas arah
hidupnya. Luntang-lantung tak karuan. Aku membayangkan, apakah para pejabat itu
sanggup satu hari saja diberi pakaian pengemis dan gitar butut untuk mencari
sesuap nasi mengisi perut gembulnya. Andai saja mereka bisa merasakan apa yang
dirasakan anak-anak itu.
***
“
Ayo anak-anak, ada berapa Rukun Islam ?”.
“
Lima Pak !”, jawab anak-anak jalanan yang kupungut satu persatu dari bawah
Jembatan Layang di kotaku.
Sebelumnya,
mereka kuberi pakaian yang layak, dan kuajarkan apa yang kutahu tentang Agama.
“
Mengucap dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, berpuasa di bulan Ramadhan,
membayar zakat, naik haji ke Baitullah !”, riang semangat mereka menyanyikan
pelajaran yang kuberikan.
Setidaknya
hanya ini yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku pada anak yang tak
kuketahui namanya itu. Kuharap Tuhan menjaga dan menenangkan ruh sucinya di
alam yang lain. Tertidur pulas menunggu kiamat datang, hingga segala
pertanggungjawaban pun menudingku.
“
Tuhan, terima maafku … !”.
FOLLOWER
Aisyah Aztry
Kamu
tidak pernah tahu aku, tapi aku tahu Kamu. Sama halnya dengan, Kamu selalu
hadir di timeline (TL)ku tapi aku
tidak pernah hadir di TLmu. Kamu terdaftar sebagai followingku, tapi Kamu tidak terdaftar sebagai followerku. Awalnya, aku juga tidak pernah ngeh siapa Kamu, aku juga tidak habis pikir kok tiba-tiba bisa jadi
ngefans dan hampir jatuh cinta sama
Kamu. Agar Kamu mengerti, kukisahkan di sini.
Sabtu,
5mei2012, seperti biasa, setelah subuh, aku tidak pernah mau tidur lagi, sejak
dengar ceramah ust. @yusuf_mansur lewat radio waktu ramadhan 1431H, kira-kira
agustus 2010, inti
ceramahnya, saat subuh turun dua malaikat, yang satu mendoakan agar kita diberi
keberkahan dan yang satu lagi mendoakan sebaliknya, Subhanallah, pokoknya, setelah subuh aku harus sibukkan diri deh,
ya merendam baju, lipat baju, atau menyibukkan diri untuk baca TL, hehe. Seperti
di sabtu pagi ini, 5mei2012, aku baca twitter pemilik kedai digital
se-Indonesia raya yang muncul di TLku, bahwa beliau ada di Semarang untuk
mengisi seminar, sifatnya terbuka untuk umum dan gratis, catat ya –gratis-,
wuahhhh, kapan lagi bisa dapat ilmu secara langsung dari pria Yogyakarta,
penggagas sedekah rombongan ini, gratis pula. Tanpa pikir panjang aku buat
status di twitter, “Tweeps, ada yang tahu tidak mas @Saptuari hari ini di Semarang
di mana ya? pukul berapa?, makasih”. Aku tidak berani kalau harus mention langsung ke beliau, jadinya
tanya aja deh ke teman-teman di twitter, dan Subhanallah ternyata dimention
oleh mas @Saptuari, “Saya di polines Semarang, pukul 9an” huahhh, langsung deh
kubalas, “Subhnallah banget dimention oleh mas @saptuari, ok, mas,
meluncur” :D J.
Jam di telepon
genggamku menunjukkan Pkl. 06.00, hehe, aku tidak punya jam dinding yang ada
jam tangan, tapi jam tangannya di meja, lebih gampang kalau lihat jam di
telepon genggam, #gkpenting #plak. Polines Semarang? Jiahhh, satu tahun di
semarang, tapi aku belum tahu polines Semarang, ok-ok, tanya teman-teman kos, kalau
ada yang tidak sibuk tak ajak sekalian, hehe. Dan ternyataaahh, semua sudah
punya agenda masing-masing. Tapi, Alhamdulillah,
temanku yang punya akun twitter @oktarinapipit, bersedia menjelaskan polines Semarang,
sekali lagi, Alhamdulillah. Langsung
serbu kamar mandi, pakaian, shalat duha, begini, begitu, selesai, langsung ke
luar kos. Bismillah, semangat, pasti
dimudahkan oleh Allah karena ingin menuntut ilmu dari hamba pilihan-Nya.
Naik
angkutan tujuan Jatingaleh, nyambung lagi naik angkutan tujuan Banyumanik,
turun di dekat patung Pangeran Diponegoro. Awalnya, jalan santai dulu,
seakan-akan tahu alamat yang dituju, lihat jam di jam tangan pkl 08.57,
sekarang lihat jam di jam tangan karena sudah dipakai, tidak perlu lihat jam di
telepon genggam karena telepon genggam di dalam tas, malah ribet kalau harus
lihat jam di telepon genggam, #sekalilagigkpenting #plakplak, huahhh, gini ni,
gara-gara angkutan suka ngetem, padahal acara mulai pukul 09.00. Sejak kecil, ibuku
mendidik aku agar jadi orang yang tepat waktu, aduhhh, takut telat. Kalau tadi
seakan-akan tahu alamat, sekarang tetap seakan-akan tahu alamat tapi panik
karena takut terlambat dan langsung ke pangkalan ojek.
Dengan gagah
berani, “Pak, polines, pinten nggeh, pak?”
“Gangsal ewu,
mbak”.
Dalam hati, aku
bersyukur, Alhamdulillah.
“Maturnuwun
nggeh, pak, boten sah susuk, pak.”
“Suwun nggeh, mbak.”
“Sami-sami,
pak.”
Tibalah
diriku di polines Semarang, tapi nama acaranya apa ya? Karena, ternyata banyak
seminar. Huahhh, dengan pedenya aku mengikuti petunjuk arah, “Seminar Pasar
Modal”. Hmmm, mungkin aja kan, mas Saptuari jadi pengisi di acara ini, beliau
kan pengusaha, selain kedai digital, beliau juga pemilik @JOGISTkaosgila, itu
loh, kaos gila dari Jogja, kaos yang lucu, lugu, wagu, seru dan ‘saru’. Atau
mungkin mas Saptuari jadi narasumber di pasar modal ini sebagai penggagas
sedekah rombongan dan mengajak para pengusaha pasar modal untuk menjadi
#sedekahholics, semua mungkin saja. Ternyataaaa, kemungkinan yang kuciptakan
salah besar, lumayanlah naik ke lantai tiga, hitung-hitung olah raga.
Pukul 09.15, tidak perlu dipertanyakan
aku melihat jam tangan, jam di telepon genggam, atau jam dinding. Sudah
pesimis, sedih, nyalahin diri sendiri yang sok-sok-an mau nonton seminar tanpa
direncanakan sebelumnya. Tapi, bukankah niatku ingin mencari ilmu dan sudah
pasti selalu disediakan jalan oleh Allah. Ya, tiba-tiba saja, seperti ditarik
oleh malaikat untuk jalan ke tempat itu, bukan ke tempat ramai yang lainnya, (seperti
yang kujelaskan sebelumnya, ternyata banyak seminar), aku jalan, dari kejauhan
tempat itu lumayan terlihat ramai, mahasiswa dengan almamater, ok, deh,
datangin aja, tadi aja naik ke lantai tiga terus tanya-tanya.
“Narasumbernya
ada mas Saptuari, tidak? Pihak panitia kebingungan dan kusimpulkan tidak ada.
Dan ini, aku juga tanya, “ini seminar yang salah satu pembicaranya mas Saptuari
ya?” itu loh yang pemilik kedai digital se-Indonesia raya. Panitia kebingungan,
tapi ada yang dengan pedenya langsung jawab “ya, mbak, mas Saptuari jadi
pembicara di seminar ini”, ada kelegaan di dalam hatiku, walaupun ini sudah
pukul 09.27, kali ini lihat jam dinding, #yaampunmasihajayagkpenting
#plakplakplak, tulis identitas di buku tamu, dapat kotak kudapan, dan masuk ke
ruangan.
Duduk, setelah
duduk, memperhatikan sekeliling, sudah pukul 09.30, acara juga belum dimulai,
aku lupa nulis nama seminarnya, tapi intinya itu, WMM (wirausaha muda mandiri),
dalam hal ini, bank Mandiri ingin menjaring mahasiswa polines Semarang untuk
menjadi seorang pengusaha, yups, masuk akal banget nih kalau mas Saptuari jadi
pembicara di seminar ini, mas Saptuari kan pemenang WMM 2007. Dannnnn,
akhirnya, pemirsahhhhh, setelah dibuka oleh panitia, dekan, perwakilan dari
bank Mandiri, masuklah dia, mas Saptuari, #hiphiphura #sorak-sorakbergembira
#menangisharu. Setelah membius semua peserta seminar, dengan rumus-rumus
suksesnya, antara lain, putusin urat malu (maksudnya, kalau mau jadi pengusaha
atau berdagang, jangan gengsi, tidak perlu malu), the power of kepepet
(biasanya nih, manusia kalau sudah kepepet, berani untuk berbuat sesuatu dan
muncul ide-ide cemerlang), habiskan jatah gagalmu (mantap), mulailah menulis
impianmu (aku mulai menulis), libatkan Tuhanmu dan kuatkan doamu bukan jimatmu,
hehe, (setujuhhh), tekun, fokus, dan mulailah bergerak dari sekarang (huihhhhh,
dalemmm). Di akhir acara, mas Saptuari mengenalkan sedekah rombongan, peserta
diajak untuk bersedekah dengan diringi lagu Opick. Aku nyanyikan sedikit ya,
jangan protes loh!
“alangkah indah orang yang
sedekah
dekat dengan Allah
dekat dengan surga
takkan berkurang harta yang
sedekah
akan bertambah
akan bertambah”
Teman-teman
pasti sudah tahu sedekah rombongan. Aku suka banget moto sedekah rombongan
“menyampaikan titipan dari langit, tanpa perlu rumit, sulit, dan
berbelit-belit”, maknyesss banget ni moto. Sedekah rombongan menolong tanpa
pandang agama, suku, dan yang lainnya. Alhamdulillah,
walaupun aku belum bisa jadi kurir @SRbergerak (ini akun twitter sedekah
rombongan, gitu lohhh), InsyaAllah
jadi #sedekahholics dulu deh, Aminnn.
Dan,
di sinilah aku bertemu denganmu, “mu” siapa? Itu loh yang di awal aku
ceritakan, Kamu selalu hadir di TLku tapi aku tidak pernah hadir di TLmu. Kamu
terdaftar sebagai followingku, tapi Kamu
tidak terdaftar sebagai followerku.
Kamu adalah kurir @SRbergerak Semarang. Sejak itu, mulai deh cari info tentang
Kamu, tidak susah, karena Kamu aktif di sosial media, dapatlah akun twitter
ditambah nama lengkap Kamu, bahkan belum lama ini, sudah tahu alamat rumah
Kamu, hadehhhh, nasib pengagum rahasia. Kamu memang penggiat sedekah, selain
kurir sedekah rombongan untuk wilayah Semarang dan sekitarnya, Kamu juga punya
wadah sedekah yang lain, Semarang berbagi, #SMGberbagi, Ya Allah, kamu keren
banget ya, karena kata ibuku, berbagi itu keren, sedekah itu gaul, Alhamdulillah, ibu dan bapak sudah
mengajarkanku sedekah sejak kecil. Kamu dengan teman-temannya sedang
mengumpulkan dana untuk adik-adik di panti Al Rifdah Semarang. Mulai deh, cari
informasi tentang Semarang berbagi dan panti Al Rifdah Semarang. Dapat. Saatnya
tanya nomor rekening yang bisa dituju, dannnnnn untuk tahu hal ini, aku mention Kamu, “nomor rekening utk
adik-adik al rifdah, dong”, Kamu balas mentionku
dengan menyapaku, mbak. Mbak? #merasatua #danmemangtuaternayata. Sayang, sudah
coba transfer ke dua nomor rekening yang Kamu berikan tidak bisa. Ya sudahlah,
tapi semangat berbagiku untuk adik-adik di panti Al Rifdah tidak berkurang,
karena aku memang ingin cari muka di hadapan-Nya, sekaligus berdoa juga bisa
cari muka di depan kamu J, karena kata pak @ipphoright di buku ‘Hanya 2 Menit’
(2012:99, #ckck, lengkap dengan tahun dan halaman) cara pikir orang sukses itu
cara pikir “dan” bukan “atau”, jadinya, aku ingin cari muka di hadapan-Nya dan
di hadapanmu, hehehe.
Setelah
tahu alamat panti Al Rifdah, Semarang, aku tanya ke semua orang yang kukenal di
Semarang, “tahu Tlogomulyo, tidak? Perum BPD 3 Semarang tahu tidak?” Dan
rata-rata jawabannya “tidak tahu”, karena teman-temanku juga bukan orang asli
Semarang, ada yang dari Kudus, Pekalongan, Brebes, Demak, Tegal, Batang,
Jepara, dan lain-lain ^_^. Oke-oke, semangat untuk berbagi tidak akan pernah
pudar, keingintahuanku mengenai panti Al Rifdah malah makin bertambah, apalagi
kalau baca di blog mengenai adik-adik di panti, mereka cacat ganda, mereka
disia-siakan oleh keluarga mereka, adik-adik tunggu ya, InsyaAllah aku pasti
bisa ke sana. Karena kesibukan membantu dosbing (dosen pembimbing II) sekaligus
sekprodi, dalam hal akreditasi program doktor, aku memfokuskan diri dulu di
sini. Allah akan selalu memudahkan hamba-Nya itu pasti loh, di sela-sela
akreditasi, aku cari petunjuk arah ke panti di mbah google bagian peta, lumayan
membingungkan, hehe. Tetap semangat. Kalau waktu itu bisa ke polines Semarang
ini juga pasti bisa ke Tlogomulyo Semarang. Jika info polines Semarang didapat
dari kak @oktarinapipit, info Tlogomulyo
Semarang juga didapat dari orang yang sama, oh, makasih kak, catat ya, kak
@oktarinapipit ini teman satu kos, teman sekelas rombel a, dan tutor HSKS
Semarang, HSKS tahu? HSKS itu Home Schooling Kak Seto. Cukup ya. oke, deh,
setelah visitasi asesor dari tanggal 18 s.d 19 Juni selesai, Jumat tanggal ….
Aku meyakinkan diri untuk ke Tlogomulyo, walaupun katanya jauh, tapi pasti
dimudahkan Allah. Dari kos naik angkutan tujuan simpang lima, di simpang lima
naik trans Semarang.
Pertama agak
bingung waktu ditanya mbak penjual tiket, “mau ke mana, mbak?”
Aku jawab aja
“Tlogomulyo, mbak”.
Eh, si mbak
bingung, “Tlogomulyo?”
Aduh
mbak jangan buat aku tambah bingung dong, semangat-semangat, jangan pesimis,
memang iya sih aku tahu panti ini dari Kamu, memang iya sih aku ke panti ini
berawal dari kekagumanku ke Kamu, tapi tujuan akhirku Dia, kok. Terus aku
jelasin lagi, “Perum BPD 3 Tlogomulyo, Semarang, mbak, bisa kan naik trans
Semarang?”
Si mbak penjual
tiket tanya ke temannya, “Pak, tahu perum BPD 3 Tlogomulyo?
“Oh, itu Genuk.”
Terus si mbak
penjual tiket nyarankan aku tanya ke si bapak.
“Nanti mbak
turun di bangjo Genuk, (teman-temanku yang di Medan tahu bangjo, tidak y?
teman-temanku yang di Medan, bangjo itu lampu merah, bang=abang, dalam bahasa
Jawa, abang itu maknanya merah, jo=ijo=hijau, jadinya merah hijau, begitu lah
pokoke ^^), dekat masjid, nanti biar saya yang jelaskan ke mas kondekturnya.”
“Makasih pak.” Dalam hati, aku bersyukur dan makin yakin dengan kasih-Nya.
“Jo, nanti mbak
ni di bangjo Genuk ya.”
“Oh, ya pak.”
Jawab mas kondektur yang disapa bapak itu dengan Jo.
Aku simpulkan
aja deh nama mas itu Bejo, teman-teman tahu makna bejo? Maknanya beruntung.
Keren kan nama ini, aku jadi ingat nama anak Opie Andaresta, itu loh penyanyi
“andaiiiii aaaaaku jadi orang kaya”, ingat, tidak? Ya udah deh, tidak ingat
juga tidak apa-apa, nama anak Opie kan Bejo, aduhhhh, fokus-fokus.
Dari simpang
lima ke bangjo Genuk itu memang jauh ya, info dari kak @oktarinapipit dan bapak
yang di loket pembelian tiket tadi hanya mampu mengantarkanku ke bangjo Genuk. Alhamdulillah, dari bangjo Genuk menuju
panti belum tahu ini, dengan mengandalkan kasih-Nya, aku jalan santai aja lagi,
tidak mau terlihat seperti orang yang tidak tahu alamat. Ditanyai supir ojek,
tukang becak, hanya aku jawab dengan, “boten, pak, maturnuwun.”
Setelah
agak jauh dari bangjo, ada tukang becak. Tidak tahu ya, ini pasti malaikat
Allah yang menyarankan aku untuk tanya ke tukang becak tentang alamat panti.
“Pak, tahu panti
Al Rifdah, Perum BPD 3?”
Jawaban si bapak
membuat jantungku makin berdegup cepat, makin deg-degan membayangkan adik-adik
di Al Rifdah. Oh, Rabb, sebentar lagi, hamba akan tiba di panti.
Saudarahhh-saudarahhh,
perjalanan menuju panti tidaklah mulus dan melewati beberapa gang. Subhanallah, makin keringat dingin dan
deg-degan, #senangitu, ketika ada petunjuk arah panti Al Rifdah di depan papan
nama Perum BPD 3, lewati gang ada petunjuk arah ke panti Al Rifdah lagi, dan Alhamdulillah.
“Niki, mbak,
panti Al Rifdah.”
Sumpah-sumpah,
dalam hati, aku memanggil ibuku, ibuuuu, mungkin lebay ya, tapi perjalanan dari
kos bisa sampai di panti Al Rifdah itu memang karunia-Nya. “Maturnuwun nggeh,
pak.”
“Sami-sami,
mbak.”
Panti
masih dalam tahap pembangunan. Ada beberapa tukang yang menyambut kehadiranku
#eaaa, merasa disambut #uhuk-uhuk. Bertemu dengan bu Mulyani dan mbak Vivi,
pengasuh di panti. Bu Rachma, pemilik panti, sedang ke Jakarta. Berkenalanlah
aku dengan dek temu, dek septi, dek johan, dek ratman, dan yang lainnya.
Kondisi adik-adik di panti, membuatku bersyukur dengan segala yang kupunya.
Kalau teman-teman ingin tahu panti Al Rifdah, Semarang, bisa dicari di mbah google,
dengan mengetik panti Al Rifdah, Semarang, InsyaAllah informasi yang dicari
langsung didapat. Awal ramadhan 1433H ini, aku dan teman-teman kosku, mbak
@ririnahanna, @lusyunizarr, @dhevaStyONE, @yuliaayu90, (walaupun, kak
@oktarinapipit tidak ikut, tetap nitip ^^) berkunjung ke panti Al Rifdah.
Mulanya, aku dan mbak @ririnahanna saja yang ingin berkunjung ke panti. Setelah
diceritakan ke teman-teman yang lain, Subhanallah,
semua ikut, bahagia deh punya teman-teman yang memiliki jiwa ingin berbagi. Alhamdulillah, aku dan teman-teman kos
bisa berbagi dengan adik-adik di Al Rifdah pada bulan Ramadhan yang penuh
ampunan ini, #indahnyaberbagi.
Hai,
Kamu, terima kasih ya sudah peduli dan membuat wadah Semarang berbagi, Kamu
memang keren, aku makin kagum dan akan selalu menjadi pengagum rahasiamu. Hai,
Kamu, semoga Kamu selalu dalam limpahan berkah-Nya.
Syawal 1433H
ini, aku tidak balik ke Medan, tidak bisa sungkem dan memohon maaf kepada ibu,
bapak, mas, mbak, dan dengan angggota keluarga yang lain. Syawal 1433H ini, aku
tidak bisa bersilaturahmi dengan tetangga, teman, sahabat, dan yang lainnya.
Sedih, itu pasti. Selesai sholat id di lapangan masjid dekat kos, aku
bersilaturahmi ke panti Al Rifdah, senangggg banget rasanya, bisa bercanda
dengan dek temu, dek ratman, dek yusuf, dan adik-adik yang lainnya, walaupun
dek soli tidak ada (karena, aku kangen banget dengan dek soli). Syawal 1433H
ini memang berbeda dengan syawal-syawal sebelumnya. Syawal 1433H ini, membuatku
makin bersyukur dengan segala episode kehidupan yang Allah berikan. Membuatku
makin menikmati segala ketetapan-Nya yang selalu indah dan penuh hikmah.
Ibu,
kasih dan cinta yang selalu engkau berikan, kubagi pada adik-adik di Al Rifdah.
Bapak, perhatianmu yang selalu kudapat, kubagi pada adik-adik di Al Rifdah.
Semua ini menambah keyakinanku bahwa Dia penuh kasih dan MahaKasih. Dapat
melanjutkan kuliah lagi di Semarang adalah salah bukti kasih-Nya. Dapat
mengenal mas @Saptuari, pak @ipphoright, tim @SRbergerak di twitter adalah
bukti kasih-Nya yang lain. Bisa menjadi follower
Kamu, juga bukti kasih-Nya. Tapi, hari ini, aku sudah ngeunfollow Kamu. Aku ingin fokus ke tugas akhirku. Berharap tesis ini
cepat selesai dan menanti bukti kasih-Nya yang sedang menanti di depanku.
Walaupun, aku sudah ngeunfollow Kamu,
aku tetap menjadi pengagum rahasiamu #eaaaa #uhukuhuk.
Aisiyah Aztry
Rabu, 22 Agustus 2012,
4 Syawal 1433H
Di kamar kosku
tercinta, kamar nomor 10
Terima kasih untuk mas
@Saptuari, pak @ipphoright,
dan tim @SRbergerak
yang selalu menginspirasi
dan teruntuk Kamu di
@.... (rahasia, #hehehehehe)
SEGENGGAM CINTA ARLANDO BUAT NABILA
DI KUDUS
Askar Marlindo
Jam tiga
malam, Arlando
menginjakkaan kaki di desanya. Suara binatang-binatang malam menyambut kedatangannya
bersama suara dari Masjid dan Musholla desa yang sudah memutar rekaman lantunan
ayat Quran Syekh Sudais untuk membangunkan warga kampung yang masih tertidur
pulas.
Arlando
meletakkan tas besar dan kardusnya sembari menghirup nafas panjang. Matanya
terpejam, merasakan udara pagi yang menyegarkan pikiran. Dia menggerak-gerakkan
badannya. Melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah berjam-jam berada dalam
bus.
“ Meski
baru dua bulan, aku sudah merindukan desa ini. Sudah lama tak menghirup udara
sesegar ini !”.
Arlando
menenteng tas, berjalan ke rumahnya.
Tok..tok...tok...
“ Assalamu
alaikum, Mak. Arlando
pulang !”, tak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. “ Arlando pulang, Mak !”.
Terdengar
suara sandal terseok mendekati pintu rumah.
Klek. Pintu
terbuka. Arlando
meraih tangan Emak dan diciumnya.
Emak tersenyum
sambil memegangi bahu Arlando
yang lebih tinggi darinya. “ Kok tambah kurus, Nak ?”.
“ Inggih,
Mak. Bapak kemana ?”.
Baru saja Arlando bertanya, bapak sudah
muncul. Disambutnya tangan bapaknya lalu dicium tangannya. Mengembang senyum di
bibir bapak.
“ Berangkat
jam berapa dari Yogya ?”, tanya bapaknya.
“ Jam delapan,
Pak !”.
“ Bagaimana
kuliahmu ?”.
“ Alhamdulillah
semester depan wisuda, Pak !”.
Arlando
menaruh barang-barangnya ke dalam kamar. Bapak dan emaknya kembali tidur ke
dalam kamar.
“ Istirahat dulu,
Nak !”, perintah bapak.
Arlando
mengabaikannya. Dia kembali ke ruang tamu, meng-charge ponsel. Beberapa saat kemudian
dia menelpon Nabila,
sahabat karibnya.
“ Assalamu
alaikum. Hallo, Nabila
Aku sudah di rumah !”, Cerocos Arlando
tak peduli Nabila
sudah bangun atau belum.
“ Uhm.... !”,
dari seberang suara Nabila
masih serak.
Dia mengambil
kaca mata di meja belajar. Matanya nampak indah meski masih merah. Terpampang
nama Arlando
di layar ponsel. Seketika rasa kantuknya hilang.
“ Sudah
sampai rumah ?”, Nabila semangat.
“ Sudah !”.
Hati Nabila bergetar tak karuan.
Sebentar lagi Dia bisa bertemu sahabatnya. Mereka berbicara ke sana ke mari
layaknya sahabat yang telah lama tak berjumpa.
“ Besok kita
ke Glagah yuk. Ke rumah Hani ?”, Ajak Nabila.
“ Baru saja
pulang Bila. Kau sudah ajak aku ke Glagah !”.
“ Aku kangen
Hani !”.
“ Kangen Hani
atau aku ?”, goda Arlando.
“ Hehehe !”, Nabila hanya tertawa.
Mereka
ngobrol lewat telpon hingga birunya langit subuh menjadi cerah.
***
Arlando dan Nabila
berjanji bertemu di salah satu ATM di pasar Babat Kudus. Hari ini mereka akan
pergi ke rumah Hani. Bapak dan emak memaklumi kepergian Arlando meski meski baru
beberapa jam berada di rumah. Arlando sudah
dewasa.
“ Remaja yang
semakin dewasa tak akan betah berlama-lama di rumah !”, begitu kata bapak
beberapa waktu lalu.
Arlando
datang lebih dahulu. Dia menunggu di dalam ATM sambil menikmati dinginnya AC
ATM. Aktifitas pasar Babat sudah ramai. Nabila
datang naik becak dengan mata berbinar-binar menatap Arlando yang telah menyambutnya
dengan senyuman.
“ Kok lama
?”, tanya Arlando.
“ Nanti saja
kuceritakan di dalam bus !”.
Meski tanpa
janji kedua pemuda itu nampak serasi dengan pakainnya yang dikenakan. Arlando dengan baju biru tua dan
Nabila
memakai baju dan jilbab biru muda. Selisih tinggi badan juga tak terlalu
mencolok. Sayang mereka hanya sahabat. Tak ada yang berani mengungkapkan
perasaan sebenarnya.
Mereka
memasuki bus. Duduk berdua berdampingan mesra bak sepasang kekasih.
“ Gimana tadi
kok terlambat ?”, Arlando
membuka pembicaraan.
“ Tadi aku
diantar Ayah ke sini. Katanya Dia mau nungguin aku sampai dapat bus. Aku kan
nggak mau kalau nanti ketahuan keluar sama kamu !”.
“ Lalu ?”,
tanya Arlando.
“ Aku
pura-pura minta diantarkan ke rumah Efia !”, Nabila mengambil dua Cocolatos dari
tasnya. Untuk dinikmati berdua.
“ Terus Ayah
kemana ?”.
“ Pulang lagi
ke Payaman !”.
Bus melaju
kencang menuju ke arah Kudus.
Di dalam bus mereka bercanda. Sambil makan Cocolatos. Arlando mengambil ponsel.
“ Coba dengar
lagu ini !”, Arlando
menyodorkan heandset ke telinga Nabila.
Bilakah dia
tahu apa yang telah terjadi
Semenjak
hari itu hati ini miliknya
Mungkinkah
dia jatuh hati
Seperti apa
yang kurasa
Mungkinkah
dia jatuh cinta
Seperti apa
yang kudamba
Bilakah dia
mengerti apa yang telah terjadi
Hasratku
tak tertahan tuk dapatkan dirinya
Mungkinkah
dia jatuh hati
Seperti apa
yang kurasa
Mungkinkah
dia jatuh cinta
Seperti apa
yang kudamba
Tuhan
yakinkan dia tuk jatuh cinta
Hanya
untukku
Andai dia
tahu
Hati Nabila berbunga-bunga mendengar
lagu itu. Arlando
lah satu-satunya lelaki dapat duduk berdekatan dengannya. Wanita hanya diam dan
menunggu. Tak mau Dia memulai meski terkadang perasaan wanita lebih besar dari
pada kesedihan seorang pria saat ditolak cintanya.
Arlando
ingin mengungkapkan perasaannya pada Nabila
dengan lagu itu. Tapi Nabila
tak mau ke Ge-eran dulu, dianggapnya lagu itu hanya lagu untuk teman
perjalanan.
Setengah jam
mereka sampai di pertigaan.
Di sana mereka dijemput oleh Hani dan saudaranya dengan dua motor. Jalur
pertigaan Dekat Glagah tak ada kendaraan umum. Sama dengan jalur
Payaman-Plaosan. Harus naik kendaraan pribadi atau ojek yang ongkosnya mahal.
Di rumah
Hani, Arlando
dan Nabila
lebih sering ngobrol berdua dari pada bicara dengan Hani. Untungnya Hani
menyadari keadaan teman-temannya.
“ Kudus panas juga ya ?”, Nabila berbasa-basi.
Merasa tak
etis membiarkan sendiri tuan rumah tak diajak bicara, malah ditinggal melepas
rindu berdua.
“ Ya
beginilah. Kalau siang pasti panas. Sama dengan Bogor juga. Sebentar aku ke belakang
dulu !”.
“ Hehehe !”, Nabila tertawa dibuat-buat.
Hani datang
membawa tahu campur makanan khas Lamongan. Sebelum masuk ruang tamu, Dia
mengintip kedua temannya. Nabila
nampak cekikikan dan sesekali mencubit lengan Arlando. Arlando membalas cubitannya dengan
gemas.
“ Tambah sip
saja !”, Hani datang. Spontan Arlando
menarik jarinya yang masih menempel di lengan Nabila.
Hani datang
membawa tiga piring tahu campur.
“ Aku sudah
kenyang. Nanti kalau makan lagi nggak habis !”, kata Nabila.
“ Kita makan
sepiring berdua saja !”, ajak Arlando.
“ Oke !”.
Mereka bertiga
menikmati tahu campur. Cuaca cerah Glagah semakin siang semakin terasa panas.
Keringat mulai keluar dari kening Arlando.
Dengan penuh kasih sayang Nabila
mengambil tisu dari tas kecilnya.
“ Pedwasnya
mwantap. Di Bogor
susah cwari makwanan pwedas !”, Arlando masih
mengunyah tahu campur.
Nabila
tersenyum melihat Arlando
Bibirnya bertambah merah karena pedasnya tahu campur.
“ Wajar !”,
kata Hani.
Selesai makan,
adzan Dhuhur berkumandang. Arlando
dan Nabila
izin sholat dulu. Kedua sahabat itu sholat Dhuhur berjamaah. Nabila membayangkan bagaimana
seandainya Arlando
benar-benar menjadi pasangan hidupnya. Tapi tak mungkin. Dia tak mau berharap
terlalu tinggi. Dia bukan siapa-siapa. Arlando adalah
cowok cerdas dan bermasa depan jelas. Sedang Dia hanya gadis kampung yang tak
mampu kuliah.
Arlando
juga terbersit dalam hatinya mengandai jika Nabila menjadi pasangan hidupnya.
Kecantikan Nabila
membuatnya minder. Tentu banyak pemuda Payaman yang sudah mapan dan tampan siap
mempersuntingnya. Hanya bisa memendam perasaan yang tak terungkapkan. Dia juga
tak mau persahabatannya rusak gara-gara cinta. Seperti pengalaman sebelumnya
bersama Nindi, Ani, Siska dan Icha.
Seusai sholat
Arlando dan Nabila
berpamitan pulang.
Dalam bus, Nabila ngantuk dan tertidur di
pundak Arlando.
Arlando memandangi
wajah ayu Nabila.
Semakin lama memandang semakin hatinya merasakan besarnya perasaannya ada pada Nabila. Tak ingin momentum itu
berlalu begitu saja. Inilah kali pertama Dia merasa sangat nyaman berada di
samping seorang gadis meski beberapa kali Dia pernah jatuh cinta.
Mata Arlando memandangi tangan Nabila yang putih berada dalam
pangkuannnya. Dia mencoba memeganginya. Sesaat dia melepaskannya. Lalu dia
menatap Nabila
yang asyik tertidur di pundaknya. Kembali hatinya dilanda perasaan yang indah.
Tak ingin rasanya Dia berpisah dari Nabila.
Saat itu pula Dia memegangi jari-jari Nabila
yang lembut. Semakin lama menatap mata Nabila semakin
erat pegangan Arlando
Nabila tak
terbangun hingga sampai di pasar Kudus.
Mereka turun lalu ke Musholla. Sholat Ashar dan istirahat di sana. Kembali
perasaan berkecamuk saat mereka asyik berjamaah berdua. Betapa indahnya dapat
berjamaah dengan kekasih. Namun lagi-lagi rasa mindernya membuatnya tak mau berharap
untuk mendapatkan Nabila.
Arlando
tak mau persahabatannya hancur gara-gara cinta. Selesai sholat, Nabila tertidur lagi. Arlando duduk di teras Musholla
membaca buku Dunia Shofie. Sebuah novel yang menceritakan kehidupan para
filsuf.
Jam Lima sore
Arlando
masuk ke dalam Musholla membangunkan Nabila.
“ Nabila .... bangun. Sudah sore.
Ayo pulang !”.
Nabila
diam tak berekspresi. Wajahnya pucat.
“ Bangun, Nabila !”, Arlando menggoyang-goyangkan
lengan Nabila.
Tak ada ekspresi.
Arlando
mulai panik. Dipeganginya pergelangan tangan Nabila Masih berdenyut.
“ Bangun Nabila Ayo pulang !”, tak juga Nabila bangun.
Arlando
menatap dalam wajah Nabila yang
pucat.
“ Perutku
sakit sekali !”, suara Nabila
terdengar berat.
“Ayo pulang !”.
“ Aku tak
kuat bangun !”.
Dengan
terpaksa dan susah payah Arlando
mencoba mendudukkan Nabila.
Matanya malah terpejam lagi.
Kembali Arlando dilanda kepanikan. Dia
keluar. Mencari toko membeli air dan obat sakit perut. Setengah berlari Dia
mencari-cari toko. Semua sudah tutup karena sore. Wajahnya nampak sekali seperti
orang kebingungan. Akhirnya Dia menemukan toko. Dia membeli air dan obat sakit
perut. Tak tahu apa sebenarnya sakit yang melanda Nabila.
Arlando
berlari lagi ke Musholla. Nabila masih
terbaring.
“ Nabila. Bangun. Minum dulu !”, Arlando memaksa Nabila bangun. Tapi tak bisa.
Dia menelpon
kakak Nabila.
“ Hallo,
Mbak. Nabila
pingsan !”.
“ Sorry, Arlando. Aku lagi ada acara di
Lamongan !”, telpon langsung ditutup.
Arlando
tak punya cara lain kecuali memaksa Nabila
bangun. Tak terasa sudut matanya dingin. Arlando
duduk di samping Nabila menunggu sampai sadar sambil berdoa.
Nabila
tersadar.
“ Minum dulu,
Nabila !”.
Nabila
menggeleng.
“ Sudah sore.
Ayo pulang. Ini minum dulu !”.
hanya sedikit
air yang masuk di mulutnya. Dia mencoba bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya terhuyung
jatuh ke depan. Untung Arlando
ada di depannya.
Arlando
menidurkan Nabila.
Dia keluar lagi mencari bantuan untuk mengantar Nabila sampai pangkalan
angkot.
Kembali Dia haru berlari-lari menuju pangkalan angkot. Di sana masih ada empat
angkot yang masing mangkal. Dia menghampiri sopir dan menjelaskan keadaan Nabila.
***
Jam tujuh
malam Nabila
tersadar. Arlando berada di ruang bersama ayah dan saudara-saudara Nabila
“ Saya tak tahu
kenapa Nabila
pingsan. Saya kira tadi hanya tidur di Musholla !”.
“ Tadi belum
makan ?”, tanya ayah Nabila.
“ Sudah, Pak.
Tadi siang makan tahu campur di Kudus
!”.
“ Pedas ?”,
tanya ayah lagi.
“ Iya, Pak !”.
“Itu dia nak Arlando. Sakit maagnya kambuh kalau
makan pedas. Ya sudah, nak Arlando
saya berterima kasih karena telah menolong Nabila. Malam ini nak Arlando tidur di sini saja !”.
“ Aku
dipanggil nak Arlando ?”,
gumam Arlando
dalam hati.
Dia senang
luar biasa dipanggil ‘nak’ oleh ayah Nabila.
Dia senyum-senyum sendiri.
Arlando
pamitan pulang. Tapi ditahan oleh keluarga Nabila karena tak ada kendaraan malam
untuk sampai ke desa Dukuan. Akhirnya Arlando
terpaksa menginap disana.
Senin pagi yang
cerah. Udara pagi di Kudus
lebih segar dari Bogor.
Lokasinya di tengah sawah menjadikan udara masih steril jauh dari asap
kendaraan. Arlando
keluar halaman memandang pepohonan berembun yang rindang. Nabila datang menemaninya.
Arlando
tahu langkah Nabila
di belakangnya. Dia mengatur nafasnya untuk memperlancar bicara. Hatinya sudah
tak bisa dibohongi lagi. Tak ingin Dia berlama-lama terjun dalam kemunafikan
cinta.
“ Tak pernah
ada pagi seindah ini dalam hidupku !”, pandangan Arlando mendongak ke atas
mengamati mangga yang ranum. Tak berani Dia menatap mata Nabila
“ Kenapa Arlando ?”, tanya Nabila.
“ Pohon yang
indah, udara yang sejuk, rumah yang permai !”.
“ Hanya itu
?”, sela Nabila.
Arlando
mendekati pohon mangga, membasahi tangannya dengan dedaunan yang berembun.
“ Tidak !”.
“ Lalu ?”.
“ Seorang
sahabat yang lama kurindukan kini berada di dekatku bukan, hanya dalam
khayalanku !”.
“ Siapa Dia
?”, Nabila
memancing agar Arlando
menyatakan cinta.
“ Dia adalah
seorang gadis yang sangat kusayangi dan kucintai. Sayang aku tak mau berpadu
kasih dengannya !”.
Deg. Hati Nabila terasa ada yang memukul
keras. Dia mendekati bunga-bunga untuk menghibur hatinya. Dia diam, memegangi
bunga-bunga yang masih basah. Dia benar-benar kecewa. Matanya melirik ke arah Arlando yang masih asyik
bercengkerama dengan daun-daun basah. Nabila
memejamkan mata dan mengatur nafas. Dia mencoba mengatur suara hanya untuk
bertanya, “ Kenapa ?”.
“ Karena ini
adalah saat yang tepat untuk melamarnya. Aku akan menikahinya !”, Arlando menoleh ke arah Nabila.
Deg. Kembali
ada yang memukul hatinya. Nabila
tak berani menatap Arlando,
Dia menundukkan kepala memandangi ujung jari-jari kakinya. Dia mencoba bicara
tapi berat. Tak ada satu pun kata-kata yang terucap dari mulutnya.
Arlando
meletakkan tangannya ke dagu dan menolehkan wajah Nabila yang memerah merona. Arlando tersenyum, Nabila ikut tersenyum.
***
Arlando
beranjak masuk ke rumah menemui ayah dan ibu Nabila yang masih sibuk menyiapkan
sarapan. Arlando
meminta dengan hormat kepada orang tua untuk sejenak ke ruang tamu karena ada
sesuatu yang penting untuk disampaikannya.
Tanpa
basa-basi Arlando
lalu mengutarakan segala keinginannya untuk menikahi Nabila. Suasana menjadi tegang.
Saat ayah bilang
“ Tak bisa
kuterima lamaranmu sebelum kau selesaikan kuliahmu !”.
Nabila
hanya diam membisu. Sudut matanya basah namun tak terlihat karena tertutupi air
mata.
“ Semester
depan saya sudah wisuda, Pak. Saya akan segera menyelesaikan kuliah !”.
“ Tapi ada
satu syarat ?”.
“ Apa itu,
Pak ?”, tubuh Arlando
bergetar menunggu syarat yang ditentukan ayah.
Dia mencoba
tetap tenang meski hatinya bergelora.
“ Jangan
sekali-kali menemui Nabila
lagi sebelum kalian resmi menjadi suami-istri !”.
Arlando
seperti kehilangan daya. Matanya memandangi Nabila. Sejenak Dia merasa ragu jika
selama enam bulan tak bertemu. Nabila
melirik Arlando memberi
tanda dengan matanya yang cantik agar Arlando segera bicara.
“ Inggih,
Pak. Saya terima syarat itu !”.
Semua yang
ada di rumah mengucap hamdalah hampir bersamaan.
Setelah
lamarannya diterima dengan syarat, Arlando
dan Nabila
pun menjalani persyaratannya. Mereka hanya berhubungan lewat telpon dan sms.
Begitu indah cinta mereka berdua meski tak bertemu. Semua berlalu tanpa harus
berjalan berdua, bergandeng tangan apalagi berciuman. Arlando dan Nabila menjaga cinta
tanpa noda nafsu agar tak melanggar adat dan agama. Dan terasa sangat indah
saat waktunya tiba.
MANUSIA TELEVISI
Biolen Fernando
Sinaga
Minta ampun !
Mimpiku
tadi malam benar-benar luar biasa. Tadinya aku belum berniat tidur, hanya
menunggu lampu kembali hidup, setelah listrik mati entah karena apa, namun
tanpa sadar aku tertidur di depan layar komputerku. Naskah cerpen yang hampir
selesai akhirnya hilang, karena belum sempat ku save. Meski kecewa, aku tak
mengutuk-ngutuk, karena pada dasarnya aku memang seorang penyabar ( narsis amat
ya aku ? ).
Dalam mimpiku, seseorang muncul di
layar komputer. Tampak setengah badan, seperti pembaca berita di Televisi. Pria
paruh baya yang kebapakan, berambut kelimis, dan senyumnya berwibawa. Aku amat
mengaguminya.
“ Mati lampu, Nak ?”, tanyanya
ramah.
“ Ya, Pak. Bapak siapa ya ?”.
“ Saya ?”, Beliau tersenyum.
“
Menurut kamu siapa ?”, lanjutnya.
Aku
bingung. Berusaha mencari jawab.
“
Sepertinya, Bapak ini Manusia Televisi. Bapak hadir di sini seperti dalam
televisi, namun bisa diajak berkomunikasi secara langsung !”.
Beliau
tersenyum lagi.
“
Itu pujian atau ejekan, Nak ?”, tanyanya.
“
Bapak suka dipuji atau diejek ?”, entah kenapa aku begitu berani bertanya
begitu.
“
Biasanya orang lebih suka dipuji, tetapi bagi saya, dipuji dan diejek sama
saja, merupakan bentuk perhatian. Jika itu proporsional, just go on ...!”.
Kalau
begitu, kenapa aku harus ditanya, sedang mengejek atau memuji ya, pikirku.
Namun kusadari, pasti beliau lebih hebat daripadaku, buktinya bisa muncul di
layar komputer. Beliau pasti pintar, dan aku mengagumi orang pintar.
“
Kamu seorang Penulis, ya ?”, tanya Beliau lagi.
“
Bo ..., boleh dibilang begitu, Pak !”, jawabku malu.
“
Lucu ya Pak, mengaku sebagai Penulis. Penuliskan jarang bisa kaya. Buku Sastra
jarang dilirik orang !”, kataku merendah karena memang merasa rendah.
“
Kok pesimistis begitu ? Tak boleh. Kita harus optimistis. Perlu rasa percaya
diri. Keunggulan adalah hal utama dalam hidup !”.
“
Keunggulan ? Seperti varietas unggul tahan wereng, Pak ?”, entah kenapa lagi
aku begini lancang.
Beliau
tertawa, namun tak terbahak-bahak. Agaknya beliau bisa mengendalikan diri.
“
Kamu humoris juga, dan itu sifat yang baik. Humor memang perlu dalam hidup !”.
“
Kenapa tak keluar saja dari layar, Pak ?”, mohonku.
“ Lho, berkomunikasi lewat layar ini
sudah cukup nyaman, kan
? Kalau sudah nyaman, apalagi ? Kalian Penulis ini suka bermain-main.
Menajam-najamkan Pena, meskipun sudah tajam !”.
“
Maaf Pak, saya tak bermaksud menyinggung Bapak !”.
“
Siapa yang tersinggung ? Jangan menuduh sembarangan, Nak. Harus ada
bukti. Tak sepicik itu saya mudah tersinggung !”.
Aku
terdiam. Bicara dengan orang pintar memang susah. Terkadang serba salah.
“
Baiklah Pak. Mohon maaf seandainya saya perlu mohon maaf. Mohon bantuan jika
saya butuh bantuan. Saya tahu Bapak cerdas, jangan-jangan pernah menimba ilmu
di luar Negeri. Oh maaf, mungkin Bapak tah suka kata 'jangan-jangan' dari saya
... !”.
“
Ah, kalimatmu kontra-produktif. Kata jangan-jangan itu berarti menduga. Dugaan
itu biangnya kegagalan. Sampai bertemu lain kali !”.
Zappp
!!! Manusia Televisi menghilang.
Aku
terbangun. Ternyata lampu sudah hidup lagi.
Kulirik
jam dinding, sudah pukul 3 dinihari.
***
Minta
ampun !!!
Mimpiku
benar-benar jadi beban pikiranku. Sosok Manusia Televisi membuatku ingin
bertemu lagi dalam mimpi. Aku ingin lampu mati lagi, lalu aku tertidur, lalu Beliau
datang. Aku akan berhati-hati bicara dengannya, berusaha tak membuatnya bosan
lalu menghilang.
Syukurlah,
ternyata niatku terkabul, listrik mati saat aku tengah mengetik.
Saat
aku sedang hampir menyelesaikan sebuah cerpen di layar komputerku dan belum
men'save', listrik mati.
Meski
kecewa, aku tak mengutuk-ngutuk ( sudah tahu kalau aku seorang penyabar, kan ? ).
Saat
menunggu lampu hidup lagi, aku berharap ketiduran. Aku memang agak kurang
gizi, jadi biasanya mudah mengantuk.
Namun
kali ini berbeda. Mataku tak kunjung mengantuk.
Aku
berusaha berkonsentrasi agar mulai mengantuk, tak juga bisa.
Kenapa
jadi begini ?
Nyamuk
sudah mulai datang, berdenging di telingaku. Daun telingaku panas, mungkin
digigitnya.
“
Manusia Televisi, datanglah !”, bisikku.
Komputerku
masih bergeming di tempat gelap.
Di
luar rumah, terdengar teriakan.
“
Maling ... maling ...!!!”, lalu suara derap kaki mengejar dan dikejar.
Aku
cuek saja. Aku lebih ingin bertemu Manusia Televisi.
“
Muncullah ! Sapalah aku ! Please !”, bujukku.
Aku
terus bersabar sambil berharap, semoga matinya listrik kali ini lebih lama.
Benar
saja, pukul lima
listrik baru menyala lagi. Namun usahaku nihil. Hasilnya nol.
Aku
tak mengumpat. Aku bersyukur diciptakan sebagai manusia penyabar.
***
Listrik
masih sering mati.
Dan
kerapkali saat aku sedang hampir menyelesaikan sebuah cerpen yang belum ku save.
Selain sabar, ternyata aku juga agak bodoh, tak belajar dari masa lalu. Jika
aku mensave cerpenku saat mengetik, setidaknya aku bisa menyelesaikannya lain
waktu, kan ?
Aku
jadi kekurangan tidur. Makan juga tak selera. Hanya gara-gara menunggu Manusia
Televisi yang pintar itu.
Kemarin-kemarin
aku rajin lari pagi atau sore, supaya ketika lampu padam, aku tertidur dan
bermimpi. Namun itu tak ampuh. Aku malah terkena sakit kuning karena energiku
terkuras.
Sampai
pada suatu malam ...
“
Sebelumnya ibu minta maaf, Nanda !”, ucap ibu.
“
Ada apa, Bu ?”,
tanyaku heran.
“
Komputermu akan kita jual. Ibu tak suka kamu jadi Pengarang. Itu kerjaan tukang
khayal. Kamu tahu, rubrik sastra paling-paling hanya muncul sekali seminggu kan ? Mana cukup untuk
menampung karya Pengarang ? Buku sastra juga tak begitu lartis, kan ?”.
“
Bu .., jangan begitu !”.
“
Ibu ingin kau serius belajar. Kelak bisa kuliah. Ambil S1, lalu S2, lalu S3.
Agar ibu bangga ... !”.
“
Bu ... !”, aku panik.
“
Tak perlu memboroskan listrik untuk mengarang. Meskipun listrik mati, jangan
kau kira jadi lebih murah, justru jadi lebih mahal. Meterannya terkaget-kaget
!”.
“
Tapi bu, di komputerku pernah muncul Manusia Televisi. Dia penting bagiku.
Penting !”.
Apa
itu ? Alien ? Yang kendaraannya menimbulkan Crop Circle itu ? UFO ?”.
“
Dia manusia biasa seperti kita, bu. Tapi cerdas. Bisa muncul di layar komputer.
Saat listrik sedang mati !”.
“
Nanda, jangan berkhayal berlebihan. Aneh kau ini. Ibu saja yang sesekali nonton
film mistik, nggak jadi berhalusinasi seperti kamu !”.
“
Dia hadir dalam mimpiku, bu. Saat aku tertidur menunggu lampu hidup lagi !”.
“
Wah, hebat betul. Komputer mati, kamu ketiduran, lalu Dia muncul dari layar dalam
mimpimu. Ya Tuhan, apakah ibu bakal sanggup membawamu ke psikiater ? Pasti
mahal biayanya !”, ibu tampak gundah.
“
Nanda masih butuh komputer ini, bu. Jangan dijual !”.
“
Okelah, kamu butuh komputer yang tak butuh listrik. Di gudang masih ada layar
komputer bekas. Akan ibu pajang di sini, dan ini ibu jual. Ibu tak banyak waktu
berdebat denganmu. Ibu harus ke pasar, belanja untuk lauk. Juga membeli
temulawak untuk sakit kuningmu. Istirahatlah, Nanda. Agar sakit kuningmu sembuh.
Kamu tak boleh kecapekan !”.
Ibu
pergi. Aku termangu memandangi komputer. Aku sedih akan berpisah dengannya.
Padahal Dia sebuah komputer ajaib.
Perlahan
mataku terasa berat. Aku mengantuk dan tertidur.
Dan,
ya Tuhan, Manusia Televisi muncul di layar komputer. Aku sungguh gembira.
“
Terima kasih, akhirnya sudi datang lagi, Pak. Saya sudah lama menunggu ... !”.
Beliau
tersenyum ramah.
“
Sayangnya, sebentar lagi ibu akan menjual komputer ini. Tak bisa lagi bertemu
bapak !”.
“
Jangan resah. Bukankah banyak warung internet di luar sana ?”.
“
Tapi bapak datang pas mati lampu dan saya ketiduran kan ? Tak mungkinlah saya ketiduran di
warung internet. Lagipula komputer di sana
hanya sebentar mati. Listrik akan langsung diganti dengan tenaga genset !”.
“
Usahakan saja kamu ketiduran beberapa detik setelah listrik mati, sebelum
genset dihidupkan. Dan semoga penjaga warung internet tak membangunkanmu !”.
“
Tapi Pak, biayanya akan sangat besar jika saya ketiduran. Penjaga warnet belum
tentu mau membangunkan ... !”.
“
Biaya ? Bertemu saya memang butuh biaya. Besar kecil itu relatiflah. Yang
penting, kamu jumpa saya kan
?”.
“
Ya pak, saya ingin jumpa sesering mungkin. Saya mengagumi kepintaran bapak !”.
“
Hmm .., kamu bisa berusaha agar komputermu ini tak dijual. Berusahalah membantu
ibumu mencari uang agar tak harus menjual komputer ini. Atau pertahankanlah
komputer ini sedaya mampumu, kalau perlu .... !”.
Aku
menunggu kelanjutan kalimat Manusia Televisi.
Lama
aku menunggu, namun ekspresinya tak berubah. Bibirnya memonyong karena berhenti
saat menyebut kata perlu ...
Gambar
Manusia Televisi tak bergerak. Dia masih terus monyong.
Aku
terus menunggu. Menunggu. Menunggu.
*******
WARISAN CINTA IBU
Butet Benny Manurung
“
Dok, ini rekam medik Nafisa, dan Dia pasien terakhir kita malam ini !”,
ujar Kemuning dengan lembut, seraya
meletakkan bundelan kertas itu di
mejaku.
Seketika,
sebuah kegembiraan menyeruak, menghalau penat yang sedari tadi sudah
menyapa. Bukan hanya karena Nafisa,
pasien kecilku yang menyenangkan, tapi karena berarti tak lama lagi aku bisa berdua dengan Kemuning. Berdua
dengannya selalu memberikan desir-desir
aneh di dadaku. Suatu rasa yang sudah
sejak awal mengenal Kemuning, menderaku.
Kemuning,
perawat yang menjadi asistenku di tempat praktek, sejak enam bulan lalu. Dia
gadis yang sangat cantik. Kulitnya yang
putih mulus, membalut tubuhnya yang tinggi semampai. Rambut hitamnya digulung
rapi, dan kemudian dihiasi nurse cap
putih di kepalanya. Ah, cantik sekali.
Bagiku, Dia adalah perwujudan dewi kecantikan yang turun dari kayangan.
Kecantikannya juga disempurnakan dengan tutur bahasanya yang lembut. Dia
tak pernah mengeluhkan tingah laku pasienku yang memang kadang menyebalkan.
Sejak
Dia menjadi perawat di praktekku, pasien kami juga bertambah. Anak-anak sangat
menyukainya. Meski beberapa anak tak fasih menyebutnya suster kemuning, Dia
tetap tersenyum dipanggil Suster Kuning atau Suster cantik, termasuk oleh
Nafisa kecil.
“
Saya antar kamu pulang, Ning !”, tawarku
seperginya Nafisa dan ibunya dari ruang praktek.
“
Ah, tidak usah, Dok ! Malam ini saya dijemput seorang teman !”, jawabnya
tertunduk.
Entah
kenapa Kemuning selalu tertunduk jika bicara berdua denganku. Padahal, aku
ingin sekali Dia mengangkat wajahnya, agar kecantikannya membiaskan sinar di
hatiku. Bahkan aku ingin sekali menikmati keindahan bola matanya yang bening.
Aku
mengangguk maklum. Seraya berharap, kalau yang menjemputnya itu bukanlah
seorang kekasih baginya. Tetapi
harapanku tak terkabul, ketika sebuah sepeda motor mendecit dan berhenti tepat
disebelah mobilku. Lelaki gagah yang mengembangkan senyumnya pada Kemuning.
Dari balik horden ruang praktek yang kusibakkan, aku melihatnya. Lelaki itu
merangkul bahu Kemuning dan menuntunnya menuju sepeda motornnya. Angin badai
berkecamuk dihatiku. Sulit untuk kuhalaukan. Sekedar menenangkan debur ombak di
jantungkupun aku tak kuasa. Aku terduduk di kursi praktekku, mengamati
kepergian mereka dalam nelangsa milikku sendiri.
Entah
sudah berapa kali, kucoba mengusir rasa itu. Hasilnya tetap sama. Aku jatuh
cinta pada Kemuning. Perasaan cinta yang entah kapan bisa kuucapkan. Perasaan
sayang yang membuatku takut kehilangannya. Perasaan yang mengingatkanku pada
keteduhan dan kepedihan di mata Ibu.
“
Kamu kenapa Ri ?”, tanya Adinda sahabatku, ketika kami berjalan di koridor
rumah sakit.
Adinda
seprofesi denganku, dan telah lama menjadi sahabatku. Hanya saja sekarang Dia mendalami
spesialis kulit, sedangkan aku lebih mencintai diriku sebagai dokter anak.
Anak-anak itu yang adalah cerminan kejujuran dan ketulusan telah menyita
hatiku. Itulah sebabnya, aku tak ingin jika penyakit menyapu senyum tulus dari
wajah mereka.
“
Aku .. aku .. baik-baik saja !”.
“
Dokter Ari, aku sudah jadi sahabatmu
sejak lama. Sorot matamu itu sudah
menjawabku. Kamu sedang jatuh cinta kan
?”, tanya Adinda menatapku.
Aku
hanya mengangguk. Sebab percuma mendustai wanita itu. Dia terlalu mengenalku, sehingga
mendeteksi perasaanku bukanlah hal yang sulit baginya. Persahabatan selama
bertahun-tahun membuatnya mengenalku
sebaik aku mengenal diriku sendiri.
“
Tapi Dia tak bisa kuraih, Din !”, jawabku.
“
Mulai kapan kamu jadi manusia pesimis ? Ari yang kukenal selama ini selalu
optimis kan ?
Aku yakin, kalau kamu benar-benar tulus mencintainya, maka Dia akan melabuhkan
hatinya di dermaga hatimu !” Seperti biasa, Adinda memotifasiku.
Mungkin
motifasinya sangat manjur buatku, dilain-lain kesempatan. Tapi tidak untuk kali
ini.
“
Kali ini, biarkan aku menjadi manusia pesimis itu, Dinda !”.
“
Akh .. sepanjang yang bisa kuingat baru kali ini kau jatuh cinta, Ri ! Ini
saatnya kau membuktikan bahwa kau juga punya cinta, punya rasa dan tidak dingin
seperti yang dikatakan orang-orang !”.
“
Tetap saja aku tak bisa, Din ! Cintaku ini bukan cinta biasa !”.
Adinda
terpekik takjub dan memukul bahuku.
“
Wow !! Sedalam itukah ? Hebat kamu, Ri ! Sekali jatuh cinta langsung mengalami
cinta luar biasa. Ayo sobat, jangan biarkan cintamu berlalu !”.
“
Kita lihat saja nanti, Din ! Tapi tetap saja Dia mustahil untuk kurengkuh !”.
Kulihat
jelas, Adinda mengernyitkan keningnya. Aku yakin Dia benar-benar bingung dengan
sikapku kali ini. Meski dengan susah payah Adinda bertanya tentang identitas
orang yang membelenggu hatiku, tetap saja aku tak bisa. Aku tak akan pernah
bisa mengatakan kepada siapapun tetang Kemuning. Dia hanya akan ada dihatiku,
menemani mimpiku, membelenggu jiwaku dan membuatku bagai pecundang.
Disaat
seperti ini, aku begitu merindukan keteduhan wajah Ibu. Aku ingin sekali
berlari ke bening telaga mata wanita itu, dan menyesap setiap mata air cinta di
sana. Tetapi di
mana aku mencari keteduhan itu lagi. Hampir dua puluh tahun, aku tak lagi
menemukannya. Usiaku masih enam tahun, ketika terakhir kali Ibu membelai
rambutku, mencium keningku dan membasahi wajahku dengan air matanya.
“
Maafkan Ibu, Nak ! Ibu tak bisa menjadi Ibu yang baik bagimu !”.
Kalimat
itu tetap terngiang di telingaku selama berpuluh tahun. Aku tidak akan
pernah bisa menghapusnya dari ingatanku.
Ibu yang selalu ada untukku. Ibu yang selalu menenangkan tangisku. Ibu
yang tak kenal lelah mengurus aku dan
ayah, dan ibu yang penuh dengan kelembutan. Aku tidak pernah bisa mengerti
kenapa ibu berkata Dia bukan ibu yang baik, dan aku juga tak pernah bisa
memahami kenapa Dia pergi dari hidup kami. Ibu pergi dengan sejuta tanya yang
menggalaukanku.
Meski
ayah berhasil menjalani peran ganda sebagai ayah dan ibu bagiku, pun
ketika tante Seruni menggantikan posisi
ibu di rumah kami, tetapi tidak akan pernah menggantikan keteduhan dan cinta
ibu di hatiku. Pernah aku bertanya
kepada nenekku yang adalah ibu dari ayahku, tentang kepergian ibu. Wanita itu
menjawabku dengan kalimat yang tak juga kupahami.
“
Ibumu itu sakit, Ri ! Dia harus pergi untuk menyembuhkan dirinya !”.
“
Kenapa selama itu, Nek ! Dan kenapa tak seorangpun yang menemaninya berobat ?”,
tanyaku dengan kebingungan yang semakin mendera.
“
Karena tak seorangpun yang bisa ikut menyembuhkan ibumu kecuali dirinya
sendiri. Dan tak seorangpun yang tahu kapan Dia sembuh, kecuali Tuhan dan
dirinya sendiri !”.
Tidak
puas dengan jawaban nenek, akupun mencoba bertanya kepada ayahku.
“
Ayah, kapan Ibu akan pulang ? Kata nenek, ibu sakit dan pergi menyembuhkan
dirinya ?”, tanyaku sambil menatap bola matanya. Berharap menemukan jawaban dan
kejujuran di mata elang ayah itu.
“
Nenekmu benar, Sayang ! ibu sedang sakit. Tapi kita tidak bisa menyembuhkannya.
Kalau memang kamu sayang sama ibu, tolong jangan tanya tentang ibu lagi ya !
Kelak kamu akan mengerti, nak ! Tapi tidak sekarang !”.
Sejak
itu, aku tak lagi bertanya. Sebab setiap tanya tak membuahkan jawaban bagiku.
Tetapi membuahkan kebingungan yang membuatku semakin disiksa kegalauan akan
perginya ibu. Biarlah aku menyimpan sejuta tanya itu untuk diriku sendiri.
Sejuta tanya yang kubawa setiap hari di sukmaku. Dengan sejuta tanya itu aku
bertumbuh, menjalani hidup, menyusu pada ilmu dan akhirnya menjadi seorang
dokter. Dan aku tak pernah menemukan jawabannya.
Rasa
cinta yang menyesap jiwaku, akan hadirnya Kemuning, perlahan mulai menguak
sejuta tanya tentang ibu. Perlahan-lahan cahaya kecil di ujung lorong
kebingunganku selama ini berpendar. Aku seakan melihat wajah ibu di lorong itu,
menatapku dengan tatapan pilu. Seakan
ibu ingin menghalauku dari lorong itu, tak menginginkanku menggapai apalagi
mengikutinya. Aku mengulurkan tanganku, tapi ibu menggeleng dengan lembut dan
membiarkan air mata menghiasi wajahnya.
Semakin
aku mencintai Kemuning semakin aku mengerti jawaban akan kepergian ibu. Entah dengan cara bagaimana, ternyata ibu
telah mewariskan penyakit itu padaku. Bukan inginnya, bukan inginku dan bukan
ingin siapapun. Sekarang akupun telah
menjadi pesakitan. Sakit yang tidak bisa kusembuhkan dengan ilmu kedokteranku
atau dengan ilmu rekan sejawatku yang manapun.
Benar
kata nenek dan ayah, hanya diri kami yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Aku
dan ibu mencintai insan yang berjenis kelamin sama dengan kami. Ibu telah
mewariskannya padaku. Warisan cinta yang melemahkan sanubariku. Dulu ibu pergi
membawa cintanya pada wanita lain, dan kini aku putri tunggalnya nelangsa disini dengan cintaku pada Kemuning. Tapi andai ibu tak bisa menyembuhkan dirinya,
apakah aku bisa menyembuhkan diriku ?
Aku, dokter Arianti Putri telah mewarisi penyakit cinta Ibu.
EPISODE TERAKHIR
Dani Sukma AS
1.
“
Aminah, menikahlah denganku … !”.
“
Aku belum siap untuk kau nikahi …!”.
“
Apakah engkau tidak mencintaiku ?”.
“
Aku mencintaimu … sungguh ! Tetapi, aku memang belum siap untuk kau nikahi,
bahkan aku tidak yakin apakah akan memiliki kesiapan untuk kau nikahi !”.
“
Mengapa engkau tidak siap untuk kunikahi ? Bukankah kita saling mencintai ?”.
“
Aku memang mencintaimu, tetapi engkau tahu bahwa kita tidak mungkin bersatu !”.
“
Apakah ini karena orang tuamu ?”.
“
Entahlah … !”.
“
Sudah kukatakan padamu, persetan dengan orang tuamu ! Aku akan menikahimu meski
mereka menentangnya ! Kita akan menikah di luar negeri ! Aku sanggup membawamu
ke sana dan
membiayai pernikahan kita !”.
“
Aku tahu, sebagai lelakiku engkau memang sanggup melakukan itu, tetapi sebagai
perempuanmu, aku merasa ada sebuah pertentangan batin yang mengusikku !”.
“
Pertentangan apa ? Sudahlah, buang jauh-jauh rasa gamang yang menghuni batinmu
dan dengarlah suara hatimu, bukankah suara hatimu mengatakan bahwa kau adalah
perempuanku ?”.
“
Ya ! suara hatiku memang mengatakan begitu, tetapi takdirku sebagai perempuanmu
benar-benar membuatku seakan telah mempermainkan kehidupanku !”.
“
Ah, persetan dengan takdir ! Mari kita bermain-main dengan takdir !”.
2.
Sumpah
ini bukan takdir main-main. Aku yakin, Tuhan tidak pernah bermain-main dengan
takdir. Aku yakin, Tuhan juga tidak pernah salah menempatkan takdir. Walau
banyak yang berpikir kalau takdirku adalah sebuah permainan, namun sesungguhnya
aku tidak sedang mempermainkan atau bermain-main dengan takdir.
Bagaimana
mungkin aku bermain-main dengan takdir sedangkan yang kupermainkan adalah
takdirku sendiri. Hei, kau jangan bercanda apalagi menertawakan takdir yang kini
seolah mempermainkan kehidupanku, sebab itu sama saja dengan menertawakan
Tuhan. Perihal banyak yang menyayangkan takdirku, sejujurnya itu hanyalah
sebuah luapan ketidakterimaan terhadap garis hidup yang digurat Tuhan padaku.
Aku
ialah setubuh manusia yang digariskan Tuhan untuk hidup pada gambaran takdir
yang tidak main-main. Sebab, aku berbeda dengan kebanyakan takdir yang
digariskan pada manusia lain. Hei, jangan coba menebak-nebak pembeda apa yang
digariskan Tuhan padaku dengan yang lain. Sebab, itu sama saja kau mencoba
berkelakar dengan praduga burukmu pada Tuhan. Lebih baik, kau ikuti saja
episode-episode kehidupanku. Agar kau juga mengerti bahwa sumpahku ialah sebuah
kebenaran. Ya, sumpahku yang berucap, ini bukan takdir main-main !.
3.
Aku mengenalnya pada suatu malam. Di
sebuah pusat perbelanjaan. Saat pertamakali menatapnya jantungku berdesir. Ada seliuk kagum yang
menggemulai dalam tarian jiwaku. Jemari jiwaku seolah menarikan semacam tarian
cinta yang diiringi dentuman jantungku yang tak menentu. Nafasku tersekat.
Sebab ia mendekatiku. Aku sungguh merasa lemas. Meski tarian cinta dalam hatiku
kian mengganas, namun aku tak mau Ia sampai tahu bahwa sebentuk tubuh lelakinya
telah sebenar membekas dalam dadaku.
Ia kini tepat di hadapanku. Bibirku
tercekat. Aku tak mampu berucap apa-apa. Kata-kata seolah hilang dari ingatan.
Sedang irama detak jantungku terus mengalun tak menentu. Aih, aku mencium aroma
tubuhnya yang begitu sensual. Aku sungguh terpikat. Apalagi saat Ia mengulurkan
jemarinya untuk memperkenalkan diri. Saat itu, waktu seakan terhenti. Baru kali
ini aku merasakan hal seperti ini.
Dengan perlahan kuulurkan jemariku.
Saat tangan kami bertaut. Aku tak menduga akan ada kisah di antara kami yang
terus berlanjut.
4.
“ Aku menyukaimu … !”, ujarnya
padaku setelah beberapa bulan dari pertemuan itu.
“ Aku juga menyukaimu, kau teman
terbaik yang pernah kutemui !”, aku mengucapkan itu dengan tegas.
“ Bolehkah aku berterus terang
padamu ?”.
“ Mengapa tidak boleh ?”.
“ Aku ingin berterus terang bahwa
dirimu memiliki tempat istimewa di dalam hatiku !”.
“ Tempat istimewa ? Apa maksudmu ?”.
“ Aku takut, dirimu akan membenciku
jika aku ungkapkan hal ini padamu …!”.
“ Mengapa harus takut, sebagai
seorang lelaki seharusnya kau jangan pengecut !”.
“ Jujur saja, aku telah jatuh cinta
padamu … Sejak pertamakali melihatmu, aku terpikat padamu. Karena itu aku
mendekatimu, dan aku tidak dapat menahan rasa ini lebih lama …!”.
Aku terkejut. Sangat-sangat
terkejut. Benarkah Ia benar-benar mencintaiku. Apakah aku tidak
sedang bermimpi. Jujur saja, saat pertamakali melihatnya aku juga merasakan
kekaguman yang luar biasa. Bahkan ada seliuk tarian cinta yang menggemulai
dalam jiwa. Namun, sungguh aku berpikir bahwa perasaanku akan bertepuk sebelah
tangan. Kini, Ia sendiri yang menyatakan bahwa dirinya
mencintaiku.
“ Maukah engkau menerima cintaku,
jadikan perempuanmu !”.
Aku diam. Entahlah, tiba-tiba roda
takdir seakan mengantarku pada sebuah perbedaan …
5.
Aku
ialah setubuh manusia yang digariskan Tuhan untuk hidup pada gambaran takdir
yang tidak main-main. Sebab, aku berbeda dengan kebanyakan takdir yang
digariskan pada manusia lain. Hei, jangan coba menebak-nebak pembeda apa yang
digariskan Tuhan padaku dengan yang lain. Sebab, itu sama saja kau mencoba
berkelakar dengan praduga burukmu pada Tuhan. Lebih baik, kau ikuti saja
episode-episode kehidupanku. Agar kau juga mengerti bahwa sumpahku ialah sebuah
kebenaran. Ya, sumpahku yang berucap, ini bukan takdir main-main !.
Bagaimana
mungkin aku bermain-main dengan takdir sedangkan yang kupermainkan adalah
takdirku sendiri. Hei, kau jangan bercanda apalagi menertawakan takdir yang
kini seolah mempermainkan kehidupanku, sebab itu sama saja dengan menertawakan
Tuhan. Perihal banyak yang menyayangkan takdirku, sejujurnya itu hanyalah
sebuah luapan ketidakterimaan terhadap garis hidup yang digurat Tuhan padaku.
Sumpah
ini bukan takdir main-main. Aku yakin, Tuhan tidak pernah bermain-main dengan
takdir. Aku yakin, Tuhan juga tidak pernah salah menempatkan takdir. Walau
banyak yang berpikir kalau takdirku adalah sebuah permainan, namun sesungguhnya
aku tidak sedang mempermainkan atau bermain-main dengan takdir.
6.
“
Panggil aku Aminah !”, kali ini aku bermanja pada lelakiku.
Ia tersenyum. Ada rona kebahagiaan memancar dari wajahnya.
“ Berarti engkau bersedia menjadi
perempuanku ?”.
Aku tertunduk. Aku tak kuasa
menutupi lagi perasaanku. Meski gamang, aku mencoba berdiskusi dengan pikiranku
sendiri. Bagaimanapun aku memang mengangguminya. Bahkan sungguh-sungguh
mengagguminya. Dan, aku menyadari dengan sangat-sangat sadar, bahwa rasa
kagumku ialah sebentuk cinta yang menghuni suatu ruang di dalam relung
sanubariku. Pada akhirnya aku hanya mengikuti suara hatiku, aku teringat sebuah
pepatah bahwa ketika kita dibimbangkan pada sebuah kebimbangan. Maka ikutilah
suara hati, sebab suara hati ialah ilham yang diberikan Tuhan. Maka, aku
mencoba mengikuti suara hatiku meski aku tidak sepaham dengan pepatah itu.
“ Ya, aku bersedia menjadi
perempuanmu … kuharap engkau juga bersedia menjadi lelakiku yang begitu
menyayangku dengan sepenuh rasa sayangmu !”.
“ Aku berjanji, aku akan
menyayangimu dengan sepenuh rasa sayangku, sebab dirimu telah berkorban begitu
besar untuk menerimaku … !”.
“ Aku tidak mengorbankan apa-apa …
!”.
“ Aku tahu, dirimu awalnya gamang
dengan ketulusanku, tetapi sungguh ketika dirimu telah menakdirkan dirimu
sebagai perempuanku maka itu adalah sebuah pengorbanan cinta yang begitu besar,
karena itu percayalah padaku bahwa aku akan menyanyangi dengan keseluruhan
hidupku !”.
Air mataku menetes. Tak kuduga, aku
begitu sentimentil. Hatiku seakan luluh dengan bening ucapnya yang menyejukkan.
Tutur katanya serupa seteters air yang kutemu digurun pasir. Jujur saja, aku
masih gamang apakah ini sebenar takdir yang digariskan Tuhan padaku ?.
7.
Bagaimana
mungkin aku bermain-main dengan takdir sedangkan yang kupermainkan adalah
takdirku sendiri. Hei, kau jangan bercanda apalagi menertawakan takdir yang
kini seolah mempermainkan kehidupanku, sebab itu sama saja dengan menertawakan
Tuhan. Perihal banyak yang menyayangkan takdirku, sejujurnya itu hanyalah
sebuah luapan ketidakterimaan terhadap garis hidup yang digurat Tuhan padaku.
Sumpah
ini bukan takdir main-main. Aku yakin, Tuhan tidak pernah bermain-main dengan
takdir. Aku yakin, Tuhan juga tidak pernah salah menempatkan takdir. Walau
banyak yang berpikir kalau takdirku adalah sebuah permainan, namun sesungguhnya
aku tidak sedang mempermainkan atau bermain-main dengan takdir.
Aku
ialah setubuh manusia yang digariskan Tuhan untuk hidup pada gambaran takdir
yang tidak main-main. Sebab, aku berbeda dengan kebanyakan takdir yang
digariskan pada manusia lain. Hei, jangan coba menebak-nebak pembeda apa yang
digariskan Tuhan padaku dengan yang lain. Sebab, itu sama saja kau mencoba
berkelakar dengan praduga burukmu pada Tuhan. Lebih baik, kau ikuti saja
episode-episode kehidupanku. Agar kau juga mengerti bahwa sumpahku ialah sebuah
kebenaran. Ya, sumpahku yang berucap; ini bukan takdir main-main!
8.
Duapuluh
tahun lalu. Pagi buta. Embun jatuh. Cuaca gigil. Angin kesiur. Daun gugur.
Lindap resah dalam rumah. Entah berapa puluh kali lelaki itu dilarut desah.
Entah berapa puluh kali perempuan didekatnya mengerang sepatah-patah. Entah
berapa kecamuk batin yang ikut larut dalam gelisah. Di luar, semua berlomba
tengadah. Doa berlompatan ke langit. Akhirnya samar-samar terdengar tangis
pecah.
“
Bayinya keluar … !”, ujar perempuan tua
yang menukangi kelahiran.
“
Laki-laki apa perempuan ?”, sejurus kemudian seorang lelaki menghambur tanya.
“
Laki-laki, tampan sekali !”, Sahut perempuan tua itu.
“
Anak kita laki-laki ! Aku bahagia, terima kasih sayang … !”, lelaki itu
mengecup kening perempuan muda yang terbaring lemah di ranjang.
Perempuan
itu tersenyum. Air matanya jatuh. Sebab
Ia memang tak mampu lagi berkata
apa-apa, tetapi apalah artinya sebuah kata bagi perempuan itu. Baginya air mata
ialah kebahagiaan yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata.
Tak
berapa lama, segenap kerabat menghambur ke dalam. Semua memperlihatkan rekah
bibir dengan sepenuh gairah. Ada
gejolak semangat yang hadir. Ada
gegap gempita sukacita yang mengalir.
“
Aku namakan engkau Amin, sebab Tuhan telah mengabulkan doaku, agar aku
dikaruniai anak lelaki !”.
Inilah permulaan episode takdir
lahirku yang pernah dikisahkan oleh ayah.
KEBANGKITAN
KEMBALI
Dewi
Agus Fernita Ginting
Hanya
ada suatu kebahagian yang belum sempat keluar dari ruang yang tak ada sebesar
kepalan tanganmu. Kau tahu itu apa ? Kau seharusnya tak perlu tahu dan tak usah
juga kau pikirkan itu apa. Karena percuma saja. Ya, percuma.
Satu hari hanya 24 jam, tak pernah
lebih dan tak pernah kurang. Waktu berjalan sesuka hatinya. Mengintari
manusia-manusia yang nista yang mencoba menutupi dirinya dengan pakaian-pakaian
kemewahan yang selau mereka megahkan. Sebenarnya waktu telah muak tapi ia harus
menjalankan tugasnya, menghitung mundur waktu hidup manusia.
Mungkin
satu kejujuran bisa membuat waktu lebih tabah. Baiklah, akan kucoba. Aku benci
melihat tingkahmu itu. Semua harus ada aku. Aku benci diriku, aku benci sekali
karena tak mampu melawanmu. Aku muak, sangat muak. Sungguh ! Aku tak pernah
bisa berpikir jernih lagi, seakan-akan aku hanya tinggal sendiri dan tak tau
apa-apa. Tepatnya tak mau tahu apa-apa. Aku menjadi orang asing bagi diriku
sendiri. Pikiranku untuk berpikir tidak bisa lagi. Belum lagi Dia yang selalu
datang dalam duniaku, semuanya membuatku terluka dan menderita. Benarkah itu ?
Ayolah coba jujur pada dirimu sendiri. Aku bahagia bisa merasakan ini. Bahagaia
yang bercampur kebingungan. Kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang
mencintai orang lain. Benarkah Dia mencintai orang lain itu ? Aku tak tahu.
Tapi hampir setiap saat aku memikirkannya, membayangkan masa depan bersamanya,
aku sugguh-sunguh ingin memilikinya. Aku ingin Dia jujur padaku. Apakah Dia
tidak mencintaiku ? Jadi buat apa selama ini kami selalu berbagi toh Dia tak
pernah menyadari hasrat hati ini. Biarlah, mungkin Dia ingin mencari sandara
sementara. Dan kebetulan aku sedang mau. Biarlah begitu. Biarlah !
“
Ahhhh ………. !!! ”.
Sebenarnya
aku tak yakin apakah aku bahagia dengan penderitaan ini, tapi yang jelas aku
sangat bosan, aku tak mampu berbuat apa-apa lagi. Aku sungguh letih aku butuh
teman, sahabat, tapi mereka tak pernah ada. Aku hanya selalu bicara pada diriku
sendiri. Pikiranku pun tak mau berkompromi.
Aku
sangat ingin marah, tapi aku selalu tak bisa. Ingin kulumat hancur semua yang
ada dihadapanku. Ingin kumusnahkan semuanya. Ingin kubunuh. Ingin kukuliti
kulitnya, ingin kubongkar isi perutnya, ingin kubagi-bagikan jantung dan
hatinya, ingin kuremukkan semua tulang-tulangnya dan akan kuhisap habis semua
darah yang mengalir dalam tubuhnya.
Sebelum itu semua, akan kucakar wajahnya dengan kuku-kuku indahku yang
mungkin sebentar lagi akan berjatuhan karena melepuh. Tapi aku tidak peduli.
Akan kucekik lehernya dengan erat hingga berderak-derak sampai patah. Manusia
terlalu munafik terhadap dirinya sendiri. Aku benci semuanya. Semuanya.
Lalu
ingin kutangisi semuanya tanpa ada yang melihat. Meski aku takut pada
kesendirian, tapi biarkan kali ini aku bersama kesunyian yang akan berujung
kesepian yang akan mencekikku bersama gelap malam yang penuh halilintar yang
bergemuruh. Biarkan aku mati dalam kesekaratan ini. Mungkin dengan demikian aku
bisa lupa dengan segala derita ataupun bahagia yang hanya hinggap sebentar
dalam waktu yang menyapa.
“ Kalau kau mati Dia akan bahagia
!”.
“ Bahagia katamu ?”.
“ Iya !”.
“ Tidak, Dia tak boleh bahagia. Aku
tak bahagia, jadi Dia juga tak boleh bahagia !”.
“ Apa kau pernah berkenalan dengan
bahagia ?”.
“ Setidaknya ia pernah mengunjungiku
!”.
“ Jadi kau masih ingin hidup ?”.
“ Aku telah lama mati !”.
Aku memang telah lama mati dalam
diriku. Aku tak mengenal siapa yang tinggal dalam ragaku. Setiap radiasi tak
mampu kupahami lagi. Aku benar-benar telah mati. Rasa tak mampu kukenali lagi
wajahnya. Aku ingin berhenti. Aku ingin tertawa. Aku ingin melompat, jauh,
tinggi hingga menggapai bintang dan bulan yang selalu menemaniku menepis kelam
malam. Cahayanya meski terkadang tertutup kabut setidaknya mereka selalu ada
untukku.
Aku ragu kalau aku masih waras,
karena semua saraf dalam otakku seakan telah mulai putus satu, dua, tiga, dan
seterusnya. Hatiku telah lama membusuk. Aku tak tahu ada obat yang mampu
memulihkannya secara ajaib. Mustahil pulih. Ya, mungkin. Tapi entahlah.
“ Masih ada Tuhan !”.
“ Tuhan ? Dia terlalu indah di
telinggaku. Aku binggung kenapa Dia mau menciptakanku, apa Dia tidak tahu kalau
aku ini … !”.
“ Banyak cakap …. Kau memang pembual
besar, kau idiot, malas, jelek !”.
Dia
diam sejenak untuk melanjutkan perkataan yang bagai sembilu itu.
“
Lalu lihatlah tubuhmu yang belumuran nanah itu. Sangat-sangat menjijikkan !”.
“ Lalu kenapa ? Apa urusanmu ! Ini
hidup kepunyaanku !”.
“ Dia tak peduli dengamu, Dia jijik
terhadapmu. Kau bau, sangat bau !”.
“ Biarkan aku bau, biarkan aku
membusuk, biarkan belatung berjatuhan dari hidungku yang kian hari kian amis.
Biarkan. Setidaknya sekarang aku tak perlu malu lagi !”.
“ Kapan kau tahu malu ? Sepanjang
hidupmu kau tak pernah dilahirkan dengan rasa itu. Kau keanehan !”.
“ Sekalipun aku aneh, biarlah begitu
karena aku sudah telanjang, biarkan semua orang melihatnya !”.
Kucoba
menarik nafas panjang untuk memberi udara keronga paru-paru.
“
Kau tidak tahu betapa menjijikkannya semua manusia-manusia yang berkeliaran.
Mereka mencoba menutupi segala bau busuk mereka, mereka mengenakan yang
harum-harum, mereka lebih menjijikkan daripadaku. Setidaknya aku jujur !”.
“ Hhahahhha … !”.
“ Kenapa kau tertawa ?”.
“ Hidupmu terlalu menyedihkan kawan
!”.
“Aku memang berteman dengan
penderitaan.”
“ Kau sendiri mengaku !”
“ Kenapa aku harus berbohong, tak
ada alasan !”
“ Kau sangat menyedihkan !”.
“ Sampai hari ini biarlah begitu ….
!”.
“ Dan sampai seterusnya juga akan
begitu !”.
“ Biarkan saja !”.
“ Hahhahahah …. !”.
Tawa
renyahnya telah mengahnyutkanku dalam suatu rasa yang belum pernah aku rasakan
sebelumnya. Semangat. Apakah ini disebut semangat ? Entahlah, tapi aku ingin
menyebutnya begitu. Semangat tiba-tiba muncul di ujung saraf yang telah
terputus, Dia menunjukkan sebuah cahaya yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Warnanya putih, tapi sangat bersinar, Dia mulai mengeringkan lula-luka di
wajahku. Luka-luka itu mulai mengering, sangat kering, belatung, ulat, cacing
dan segala kawannya ikut gosong hingga warnanya coklat kehitaman. Lalu luka itu
mulai berjatuhan bersama kulit-kulit yang kian coklat dan kering itu.
Aku sembuh. apa aku tidak bermimpi.
“
Aihhhhh … !”.
Aku
tak pernah mengharapakannya. Ups, rasa apa yang sedang menjalar dari hatiku
ini. Rasanya sangat hangat, aromanya sangat harum. Belum pernah aku merasakan
hidup seperti ini.
“ Dia masih peduli !”.
“ Kau siapa ? Mengapa kau datang,
aku sudah sekarat, aku mau mati, aku ingin menjadi tanah, aku ingi … !”.
“ Waktumu belum tiba. Ia ingin kau
jadi saksi !”.
“ Saksi ? Pantaskah aku jadi saksi
atas keajaiban ini ? Aku tak butuh ini, kembalikan aku !”.
Aku ingin sekali marah. ingin
kuinjak-injak. Kian aku ingin meronta kian aku lemah dan semakin rebah. Aku tak
bisa berkata apapun, aku benar-benar mati kata. Aku tak punya kata yang bisa
kuucapkan lagi. Semua berhenti. Mati. Aku hanya bisa menangis.
Aku
lihat sekelilingku. Aku ketakutan, menggigil, ngilu, gemetar semua tubuhku. Aku
merasakan sentuhan tangan yang lembut di kepalaku, Dia menggangkat kepalaku.
Aku tak bisa melihat wajahhnya. Dia terlalu menyilaukan.
“ Kau telah sembuh. Pulanglah !”.
“ Aku sangat sedih, aku tak mampu
berdiri, aku ingin pergi tapi tetap saja aku jatuh, aku ingin, tapi aku tak
bisa !”.
“ Kau mau hidup ?”.
Belum pernah kurasakan hatiku
beriak-riak gembira mendengar kata ‘hidup’. Selama ini ia hanya berteman dengan
kata mati.
“ Aku telah lama mati, bagaimana aku
akan hidup ?”.
“ Kau mau hidup ?”.
“ Aku tak akan sanggup !”.
“ Apa kau ingin hidup ?”.
“ Ya, Tuan !”.
“ Ikutlah denganku !”.
“ Tapi … ?”.
“ Pikirkanlah apa yang dapat kau
pikrkan, Aku ada di sini menjadi sahabatmu. Pulanglah. Kenakanlah pakaian ini.
Hari ini kau bukan orang yang kalah lagi, hari ini aku telah datang menolongmu,
jangan kau sia-siakan lagi. Aku mengasihimu !”.
Dia mengenakan jubah yang indah.
Belum pernah kurasakan dekapan setulus dan seindah ini. Ini pelukan sangat
membuatku nyaman dan tentram. Ada
kedamaian yang mulia mengalir dari dasar hatiku. Saraf-sarafku mulai
beroperasi, sinapsis-sinapsis mulai merespon sekian tindak menghubungkan hati
dan pikiranku.
ADA
CINTA SETELAH di PUSARA
Dinna
F Noris
Siang ini, pohon jati satu-satunya di kampus bercat putih itu
menggugurkan daunnya. Memang sudah menjadi kelaziman di saat musim kemarau.
Tapi bulan ini bukan musim kemarau. Cuaca benar-benar tak terjadwal.
Biasanya kalau musim kemarau, temperatur udara sangat tinggi.
Jadi ia meranggas, beradaptasi untuk menghindari terjadinya banyak penguapan.
Pohon jati itu berdiri manis di depan kantin Femi, kantin Fakultas Ekonomi.
Letaknya masih berada di areal halaman belakang kampus. Daun-daunnya
berserakan. Airin dan Ara senang menikmati tiap gugur daunnya. Indah. Seperti
sedang berada di Negeri sakura. Bagi para tukang foto amatiran dikampusku,
mereka paling sigap memanfaatkan moment keren ini. Menyerak-nyerak daun-daun
kering, menerbangkannya, mengutipi ranting-ranting kecil, kemudian
mematah-matahnya menjadi beberapa bagian. Agar kelihatan eksotik plus menarik,
dijadikanlah mahasiswi –mahasiswi cantik sebagai model dadakan. Tak perlu
audisi, sebab model dadakan ini rela dan pasrah saja dijadikan kelinci
percobaan. Alasan mereka, numpang beken selagi gratis, siapa sangka nanti jadi
artis. Apapun itu, siapapun tak berhak menghakimi. Sebab mereka telah memilih
dan menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri.
“
Sudah September… !”, gumam Ara pelan.
Namun Airin bisa mendengar lirih suaranya.
Meski
bulan September, bukan berarti hujan sepanjang hari. Hujan tetap turun, namun
panas tetap mendominasi. Sebab sekarang cuaca sulit di prediksi. Tidak seperti
tahun-tahun lalu. Jika penanggalan sudah memasuki bulan Agustus, itu berarti
harus bersiap-siap berhadapan dengan hujan. Sediakan mantel, jacket, payung,
sweater atau paling tidak handuk kecil. Menurut pemberitaan BMG, cuaca tak
bersahabat. Tapi bukankah ini karena ulah manusia yang kerap tak acuh pada
alam. Kemudian alam marah, membiarkan cuaca berbuat sesuka hatinya. Alam tak
hendak lagi mengatur sikap pasukannya. Ingin hujan di bulan Mei atau kemarau
panjang di bulan September, ikuti sajalah permainannya. Habis perkara.
“
Kenapa ? Batas terakhir tugas dikumpul ya ? Pantas saja kamu kelihatan sibuk
dari tadi !”, Airin menyeruput Cappucino dinginnya seraya menghampiri Ara yang
serius menekuri buku-bukunya di kantin kampus.
“
He ehh ... Banyak tugas dari Dosen yang berbeda nih !”, kata Ara.
“
Tapi proposal penelitian ke TVRI itu kan
lebih utama !”, sahut Airin.
“
Sudah berapa kali revisi ?”, sambungnya.
Ara
hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan Airin.
Ara
dan Airin adalah Mahasiswa Jurusan Komunikasi di salah satu Universitas berplat
merah di kota Medan. Ketiganya sangat akrab. Bahkan bisa
dikatakan, masa orientasi alias ospeklah yang mendekatkan dua cewek ini.
“
Tapi kan
masih lama !”, tambah Airin lagi.
“
Itu tugas minggu depan kan
Ra ?”.
“
Iya, tapi harus praktek ke TVRI-nya. Ngurus surat untuk penelitian, trus administrasi,
dan juga minta tandatangan kepala stasiun TVRI !”, Ara menjelaskan detail
rencana penelitiannya.
“
You know lah Rin kalo ngurus administrasi di Indonesia !”.
“
Well, gini aja deh. Kamu refresh sejenak dari tugas-tugas kampus. Kita
jalan-jalan, muter-muter kota Medan, makan, trus temani aku sebentar ke
Polonia ya. Aku mau check in tiket papa sama mama yang akan berangkat ke Jakarta !”, dengan nada merayu, Airin memaksa Ara
ikut serta.
“
Oya Ra, masih ingat dengan Elang kan
?”.
Memang,
Airin selalu punya jurus untuk menggoda Ara. Dan godaan tersebut sering Ia
lakukan dengan sukses. Memancing Ara dengan Elang, sepupu Airin yang sedang
dinas di Jakarta
sebagai militer.
“
Yang aku kenalin 3 bulan lalu. Masih ingat gak ?”.
“
Hmm… kenapa ?”, jawab Ara acuh tak acuh.
“
kami masih komunikasi kok. Aku gak akan mengecewakan sepupumu itu. Tapi juga
gak harus buru-buru bilang cinta !”.
“
Tunggu apalagi Ra. Aku gak kan
nyomblangin kamu dengan orang yang gak jelas. He’s nice guy, you know ... !”, Airin menyikut Ara, membuat gadis manis
itu terpaksa menghentikan bacaannya.
“
Ya, aku tau. Tapi berhentilah menggodaku !”.
“ Dan berhentilah berpura-pura !”, Bella
memotong pembicaraan sebelum Ara sempat menghabiskan ucapannya.
“
Matamu bicara bahwa kamu juga suka dia Ra. Cuma butuh waktu. Tapi menurutku,
kamu yang harus menciptakan waktu. Kalau tidak, lewat !”, jelas Airin panjang
lebar sambil menggesekkan telunjuknya di leher.
“
Okey, temani aku dulu ke Airport. Mama dan papa harus berangkat besok !”.
“
Sekarang ?”, tanya Ara.
“
Tahun depan …!”, jawab Airin kesal.
“
Ya sekarang !”.
Airin
tahu betul bahwa sangat sulit membuat Ara jatuh cinta. Apalagi sosok yang
dijodohkannya pada Ara adalah seorang militer. Di mana Ara tak pernah menaruh
simpati pada lelaki yang berprofesi sebagai alat Negara. Ayah Ara adalah seorang
militer. Dan ibunya yang berdarah Arab itu, seorang Dokter Gigi sebelum menikah
dengan ayah Ara. Setelah menikah, ibu Ara memilih mundur dari karir demi
membesarkan anak satu-satunya. Dan itu adalah Ara. Ara mewarisi kecantikan dari
ibunya. Berhidung mancung, kulit kuning langsat, rambut hitam bergelombang, dan
wajahnya memiliki rahang tegas seperti ayahnya yang berdarah batak.
Ara
begitu mengagumi ayahnya, juga profesinya. Bagi Ara, ayahnya terlihat gagah
dengan seragam hijau loreng, sepatu boot, serta menggenggam senapan AK 47
buatan Rusia. Ia sering memuji ayahnya. Hingga pada suatu hari Ara dan ibunya
harus merelakan kepergian lelaki kesayangan mereka untuk selamanya. Ayah Ara
gugur disebabkan ranjau darat saat bertugas di Timor Timur. Itulah awal mengapa
Ara tak lagi menyukai lelaki berseragam hijau loreng. Profesi itu, seragam itu,
membuka kisah lama, mengoyak luka yang masih menganga.
***
Bandara
Polonia tetap saja ramai meski bukan hari libur. Diperlukan renovasi agar tak
sesak. Changi Singapura, adalah salah satu contoh Bandara terbaik. Memberikan
rasa nyaman pada pengunjungnya. Seharusnya Pemerintah bisa belajar dari Negara
yang Bandaranya sering diganjar penghargaan bergengsi ini.
Di
kejauhan, mata Ara mengawasi sosok lelaki dengan perawakan tinggi besar, rambut
dipotong pendek rapi, berkemeja merah marun dipadu celana jeans hitam, duduk
santai di café susan, persis di depan parkiran mobil.
“
Elang …!”, Airin berteriak kencang
pada lelaki yang sejak tadi diam-diam diperhatikan Ara.
Rupanya
benar dugaannya, lelaki itu Elang, sepupu Airin, juga lelaki yang dicomblangin
Airin. Tepatnya, lelaki dimana Ara sudah mulai menaruh rasa suka.
“ Ada
Ara juga !”, sahut Elang menoleh ke Ara.
“
Huuuhhh … aku yang manggil, yang ditanya malah Ara !”, Airin pura-pura cemberut. Padahal sebenarnya hanya ingin menggoda
Ara.
“
Hai kak !”, sapa Ara dengan kalimat singkat.
“
Ngapain disini ?”.
“
Karena jodoh !”, sambar Airin sambil
senyum-senyum sendiri.
“
Oya, aku tinggal kalian dulu ya. Soalnya mau ngurus tiket bos besar. Have nice
time, Ara !”, Airin beranjak
meninggalkan café, Ia sengaja memberikan waktu buat Ara dan Elang berduaan.
“
Besok mau berangkat !”, sekian lama
hening hadir di antara mereka, akhirnya Elang memilih bicara to the point pada Ara.
“
Ehheemmm ….!”, Elang berdehem keras
untuk mencairkan kebekuan di antara mereka.
Rupanya
dehem itu terlalu keras dan aneh hingga menghasilkan suara tak lazim.
“ Saya suka arlojinya. Lihat, selalu saya
pakai !”, Elang memamerkan arloji hadiah dari Ara, di hari ulang tahun Elang,
8 bulan lalu.
“
Ohh, terimakasih !”, jawab Ara sambil
tersenyum tipis.
Meski
perkenalan mereka sudah berumur satu tahun, tetap saja Ara masih malu-malu
bicara pada Elang. Tapi hari ini, benci yang dulu pernah tumbuh di hati Ara,
berganti menjadi rasa gembira yang sulit dijelaskan. Rupanya kedua makhluk yang
sama-sama pemalu ini menyimpan rasa suka diam-diam. Elang tak pernah menyatakan
perasaannya, sedang Ara masih mempertahankan ego di kepalanya, ‘anti seragam
hijau loreng’. Namun, lirikan curi-curi di tengah keramaian itu kian hari kian
tak tertahankan.
“
Bisa menunggu saya enam bulan lagi ?”, tiba-tiba
Elang bicara lebih serius.
“
Eh, apa ? Maksudnya ?”, pernyataan
Elang barusan sempat membuat Ara terkejut.
Ia
merasakan keringat mengaliri keningnya. Cepat-cepat Ara memperbaiki
keterkejutannya dengan menimang-nimang ponselnya.
“
Ya, tunggu saya enam bulan lagi !”, Elang melihat Ara dengan matanya yang
teduh.
“
Dan saya akan segera ke rumah kamu, bertemu ibu kamu, memintanya agar
mengizinkan saya menjadikan kamu istri. Mendampingi saya hingga akhir hayat !”, suara Elang jelas dan tegas sewaktu
menyampaikan maksudnya pada Ara.
“
Syukurlah !”, jawab Ara sekenanya.
“
Maksudnya ?”, kedua alis Elang
bertaut membentuk lengkungan seperti bulan sabit.
“
Saya tahu, kamu punya masalalu yang cukup sedih tentang perwira Negara. Saya
juga tahu kalau kami tidak menyukai lelaki berseragam hijau loreng. Saya tidak
ingin memaksa, tapi izinkan saya mengganti rasa sedih dan tidak suka itu
menjadi bahagia !”.
Ara
diam seribu bahasa. Di satu sisi Ia berusaha menutupi rasa sedih karena
kenangan tentang ayah menyelinap seketika. Di sisi lain Ia juga berjuang untuk
memahami perasaan Elang.
“
Kamu belum punya pacar kan,
Ra ?”, Elang mendelik, dan itu membuat wajah mereka lebih dekat dan berhadapan.
“
Belum ... !”, jawab Ara.
“
Aku gak mau pacaran. Karena banyak hal tidak baik di dalamnya. Aku mau langsung
menikah saja. Seperti ayah dan mama.
“ Boleh saya minta jawabannya sekarang
sebelum saya berangkat besok ?”.
“
Apa harus berangkat besok ?”.
“
Ya, perintah atasan. Saya ke Medan
karena ingin ketemu keluarga, tentunya juga ingin bertemu kamu !”.
“
Naik pesawat apa ?”.
“
Mandala, pukul 08.30 pagi !”, Elang
melihat arloji di tangan kirinya memastikan jadwal keberangkatannya besok.
“
Jadi, apa jawabannya ?”, tanya Elang
lagi.
“ kak …!”, ujar Ara pada lelaki di
hadapannya.
Usia
mereka terpaut 12 tahun. Sebab itu Ara memanggilnya kakak.
“
Sebenarnya sulit bagiku memutuskan apa yang ignin aku katakan. Meski aku sudah
mempunyai gambaran jawaban, tapi aku tidak begitu yakin tentang sebuah
perasaan. Bukan karena aku tidak yakin dengan keseriusan kakak, dan ketegasan
sikap kakak selama ini padaku. Akan tetapi, aku tak bisa melupakan kenangan
bersama ayah. Di mana saat aku begitu mencintainya dan masih berharap sosok
beliau ada bersamaku, tapi saat itu pula aku tak lagi pernah melihatnya. Aku
tahu, semua kehendak Tuhan. Dia telah mengatur waktuku bersama ayah !”.
Ara
menekuri sepatu high hill-nya. Rasanya
Ia ingin berlari menjauhi Elang.
Namun entah mengapa ada suara yang memaksanya bicara. Ada bisikan yang memaksanya untuk tetap
tinggal, jauh lebih lama bersama Elang.
“
Aku begitu takut kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang paling berarti dalam
hidupku. Artinya, ketika nantinya aku mulai menerima kakak, rasa takut akan
kehilangan masih terus bersemayam !”, Ara
memberanikan diri menatap Elang.
“
Karena profesi saya seperti almarhum ayah ?”.
Ara
hanya bisa mengangguk lemah. Terbersit keinginan untuk mencegah Elang pergi. Tapi Ia
sadar tak mungkin melakukannya. Sebab bagi militer, perintah adalah perintah.
“
Besok jawabannya. Karena aku perlu memikirkannya masak-masak. Kakak bisa
menunggu satu hari kan
?”.
“
Semoga jawabannya bisa mengantar kepergianku dengan tenang !”, jawab Elang
sambil mengacak lembut rambut Ara.
Dua
insan yang sebenarnya saling menyukai dan mempunyai perasaan yang sama. Namun
begitulah cinta. Ia bukan matematika, seperti perhitungan sederhana satu tambah
satu sama dengan dua. Cinta, sukar dijelaskan meski banyak kejadian telah
menjadi pertanda. Ada
rasa yang mengendap-endap masuk ke dalam relung hati. Namun selalu malu-malu
menunjukkan jati diri.
5 September 2005
“ Breaking News kami awali pagi ini dari Medan, Sumatera Utara !”, suara Kania Sutisnawinata, penyiar Metro TV
terdengar dari ruang tamu rumah Ara.
“ Ya, silahkan laporan anda, Erwin !”.
“ Baik, Kania dan pemirsa, Pesawat Mandala Airlines Penerbangan RI 091
mengalami kecelakaan parah di kawasan Padang Bulan, Medan, Sumatera
Utara. Pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines ini terjatuh saat pesawat
sedang lepas landas dari Bandara Polonia Medan.
Pesawat tersebut menerbangi Jurusan Medan-Jakarta dan mengangkut 117 orang, 112
penumpang dan 5 awa). Penumpang yang selamat berjumlah 16 orang dan 44 orang di
darat turut menjadi korban. Kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.40 wib saat
pesawat sedang lepas landas. Pesawat tersebut lepas landas dalam posisi yang
tidak sempurna, lalu menabrak tiang listrik sebelum jatuh ke jalan dan menimpa
rumah warga yang terletak hanya sekitar 100 meter dari Bandara. Menurut
keterangan yang kami terima, setelah jatuh, pesawat meledak beberapa kali dan
terbakar sehingga hancur hampir sepenuhnya, menyisakan ekor pesawat bertuliskan
PK-RIM. Sebanyak lima
rumah warga yang tertimpa badan pesawat juga terbakar …. Kembali ke studio,
Kania !”, tutup pemuda paruh baya mengakhiri laporannya.
Badan Ara lemas sesaat mendengar berita dari layar Televisi.
Nokia Communicator yang dipegangnya terjatuh keras ke lantai. Padahal baru saja
Ia mengirimkan pesan pada Elang.
“ Terimakasih telah mencintaiku sebaik itu. Terimakasih untuk terus
menungguku. Terimakasih telah menghargaiku dengan begitu mengagumkan. Cepat
kembali ya. Arramisya !”.
Delivered, tertulis pada layar handphonenya. Pesan
terkirim.
Air mata Ara tumpah. Ia menangis tanpa suara. Kehilangan
untuk kedua kali, lebih menyakitkan baginya. Samar-samar terdengar suara
laporan seorang Reporter di Televisi.
“ Menurut kesaksian
seorang penumpang yang selamat, pesawat baru saja lepas landas dan tiba-tiba oleng
ke kiri lalu mulailah api menjalar. Namun ada pula yang menyatakan bahwa
pesawat tersebut sulit lepas landas karena kelebihan beban buah durian bawaan
Gubernur, Tengku Rizal Nurdin seberat dua
ton. Kobaran api selain menghanguskan pesawat juga menghanguskan puluhan
rumah dan kendaran bermotor yang ada di sekitarnya. Api yang terus menyala
menyulitkan usaha penyelamatan jenazah dari bangkai pesawat dan kondisi di
sekitar lokasi pun padat oleh penduduk yang penasaran. Pesawat Boeing 737-200
yang jatuh merupakan buatan tahun 1981, pertama kali terbang untuk maskapai
Nasional Jerman, Lufthansa, dan telah dinyatakan layak terbang hingga tahun
2016. Namun, keadaan berbicara lain. Pesawat tersebut jatuh dan memakan banyak
korban. Dari 117 orang dalam pesawat, 112 di antaranya adalah penumpang, 109
dewasa dan tiga bayi, dan lima
orang awak. 16 penumpang dinyatakan selamat dan semuanya duduk di bagian
belakang !.”
Posisi berdiri Ara tak lagi sempurna. Badannya limbung.
“ Di antara korban
kecelakaan yang meninggal dunia termasuk Gubernur Sumatra Utara, Tengku Rizal
Nurdin yang rencananya akan bertemu Presiden serta mantan Gubernur Sumatra
Utara, Raja Inal Siregar. Terdapat pula dua penumpang berkewarganegaraan RRC,
seorang berkewarganegaraan Jepang dan seorang warga Malaysia. Selain penumpang pesawat,
juga terdapat 44 korban jiwa di darat yang merupakan penduduk setempat !”, lanjut
suara Reporter lapangan dari Stasiun Swasta yang sudah punya nama itu.
“ Elang …!”, hanya satu nama yang sempat terucap kala itu.
Kemudian ada segerombolan bayangan hitam dan kuning menghimpit mata Ara.
Kepalanya seperti dihantam batu keras, tubuhnya kaku, hingga membuatnya jatuh
tak sadarkan diri.
***
Hari
sudah sangat sore. Namun cuaca masih hangat. Sebab matahari memancarkan
semburat kuning keemasan di balik bukit barisan, membuat silau sesiapa yang
diterpa sinarnya. Seharusnya senja ini indah buat Ara. Seperti senja-senja
sebelumnya, di mana Ara selalu membiarkan sinar sang surya mengukir siluet
dirinya, kemudian Ia menari di bawah teriknya, seraya mencipta gambar dari
balik lensa kamera. Dan kini, senja itu berganti menjadi sepi yang menemaninya
dalam diam bersama isak tangis perlahan.
Taman
Makam Pahlawan di jalan SM. Raja Medan, sudah sepi dari peziarah sejak 20 menit
tadi. Namun tak tampak tanda-tanda Ara hendak beranjak. Airmatanya masih deras
mengalir meski suaranya tak terdengar.
“
Ara, sebaiknya aku nunggu di mobil ya ?”, pinta Airin pelan.
Airin
tahu kali ini Ara butuh sendiri, tak ingin diganggu. Tanpa menunggu jawaban,
Airin, bergegas menuju mobil yang diparkir di gerbang makam. Sengaja
meninggalkan Ara yang masih bersimpuh di sisi kiri batu nisan bertuliskan
Bripka Elang Satya Pratama.
Peristiwa pesawat naas kemarin ikut merenggut nyawa Elang,
seorang Perwira Polisi asal Medan.
Rencananya, selepas mengunjungi keluarganya di Medan,
Elang akan berangkat ke Jakarta
mengikuti pelatihan lanjutan dari resimennya, TNI Angkatan Darat. Namun keadaan
bicara lain. Elang jadi korban pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines.
Sepotong tangan kiri dengan arloji Swatch Army pemberian Ara, masih melekat
padanya. Potongan tangan itu, adalah milik Elang.
Sebenarnya cinta tak datang terlambat.
Hanya saja, cinta disadari setelah Ia pergi. Terkenang setelah Ia hilang dari jarak pandang. Menjadi berarti setelah
Ia tak ada lagi.
RAHASIA
Eko Bambang
Pagi
itu masih tampak seperti biasa, Eghi memasuki ruang kerja. Merapikan
kertas-kertas yang berserakkan, suasana kantor masih sunyi dan memang Eghi
selalu datang lebih awal, sambil sedikit santai Ia nyalakan lagu MP3 dari
komputer kerja. “ Life ”, tembang manis milik “ YUI ” mengalun indah
menggetarkan jiwa. Sejenak Eghi melihat dari balik jendela kaca ruang kerja,
rekan-rekannya yang lain mulai berdatangan. Ya sebentar lagi jam kerja sudah
dimulai.
Kegiatan Eghi berjalan seperti
biasa. Jika tidak mengajar, Ia membuat desain spanduk, banner ataupun
perlengkapan lain untuk tempat kerja. “ Sempoa SIP ”, gudangnya anak-anak
cerdas dan kreatif, sebuah tempat kursus yang terletak di tengah kota Binjai. Hari-harinya
dihabiskan di sana, dari pagi hingga pukul 14.00 wib bekerja, setelah itu Eghi berangkat
ke Medan melanjutkan studi S1 di Universitas Sumatera Utara. Demi masa depan, walaupun terkadang merasa sangat
lelah, Ia harus tetap berjuang.
Egi
masih sibuk dengan kerjaan desain di depan komputer, kebetulan hari ini tidak
ada jadwal mengajar. Tiba-tiba pintu ruang kerja terbuka, seorang gadis manis
berambut ikal bersama senyumnya yang menawan menyapa dengan salam hangat.
“ Selamat pagi, Eghi ?” ucapnya.
“
Selamat pagi juga, Miss !” balas Eghi sembari melontarkan senyum.
Gadis
itu bernama Lussy, senior di tempat kerja Eghi sekaligus seorang Leader yang dipercaya atasan mengurus
jalannya aktifitas di tempat kursus itu. Eghi masih konsentrasi dengan
pekerjaan, kemudian Miss Lusy mulai membuka pembicaraan.
“ Sedang buat apa sich, Eghi ?.”
“
Biasa Miss, desain spanduk !”.
“ Oh ya, Miss punya sesuatu untukmu
!”.
Eghi berhenti sejenak dan menolehkan
pandangan pada Miss Lusy.
“
Sesuatu buat saya ? Apa itu, Miss ?”.
“
Ada dech…, diterima ya ? Semoga kamu suka !”.
Sebuah kado kecil disodorkan ke arah Eghi,
terbungkus rapi dengan kertas kado berwana biru.
“
Terima kasih banyak, Miss !”.
Kemudian Ia simpan kado itu ke dalam tas. Eghi
merasa begitu penasaran dengan isi kado itu, apa gerangan yang dikasih Miss
Lusy ? Tanya Eghi dalam hati.
“
Kalau begitu, Miss mau keluar dulu ya ? Soalnya ada urusan, ok !”.
“
Ya, Miss. Sekali lagi terima kasih banyak !”.
“
Ya, sama-sama !”.
Daun pintu ruang kerja tertutup
rapat lagi, gadis berambut ikal itu pergi meninggalkan Eghi yang sedang
tenggelam dengan pekerjaannya yang belum selesai.
***
Deru kendaraan terdengar agak ricuh,
inilah perjalanannya mengarungi jalanan dari Binjai ke Medan. Seperti biasa perjalanan dilalui
dengan angkutan umum jurusan Medan-Binjai, penumpangnya tidak terlalu banyak,
sekitar 4 orang termasuk. Eghi duduk
di sudut paling belakang dekat
loudspeaker yang mendendangkan alunan musik Batak, walaupun Ia tidak paham
bahasa Batak, tapi musik itu cukup melekat di telinga. Siang itu sangat panas,
tenggorokkan Eghi terasa kering, cepat-cepat Ia buka tas, mencari sebotol
minuman untuk membunuh dahaga. Sepintas matanya tertuju pada kado dari Lussy
tadi, agar tidak terlalu penasaran segera Ia buka bungkus kado itu, Eghi dapati
ternyata isinya sebuah buku kecil kecoklatan, tertulis jelas di covernya “ The Secret ”. Eghi heran, kenapa Miss
Lusy memberi kado padanya sebuah buku, mungkin saja karena ia tahu kalau salah
satu hobby Eghi adalah membaca. Untuk menghilangkan rasa bosan, Eghi membaca buku
itu sembari mengarungi perjalanan menuju kampus.
***
12 Februari 2010
12. 15 wib
Seorang gadis manis berkulit sawo matang
duduk di depan Eghi, mereka sedang bersantap siang bersama, Eghi menyukai gadis
itu tapi diurungkan niatnya mengungkapkan rasa cinta padanya, karena Eghi tahu
kalau orang tuanya telah menjodohkan Ia dengan seseorang yang cukup mapan.
Hari minggu itu Ia meminta menemaninya jalan-jalan,
Eghi tak tahu mengapa ? Dan Eghi turuti saja permintaannya. Setelah selesai
makan, Eghi mulai mengambil buku The
secret melanjutkan membaca halaman-halaman yang belum terbaca, maklumlah
kebiasaan Eghi yang selalu membawa buku ke mana saja sudah mendarah daging. Tiba-tiba
gadis itu bertanya pada.
“ Buku apa itu, Mas ?”.
“ Ini, buku The Secret hadiah dari teman, adik mau baca ? Bagus lho bukunya !”.
“ Beneran boleh, Mas ? Adik pinjam ya ?”.
“ Iya, silahkan !”.
Kemudian dipinjamkan buku itu, walaupun
sebenarnya Eghi sendiri belum selesai membacanya, tapi setidaknya Eghi sudah
sedikit paham tentang isi buku itu. Dua minggu kemudian Eghi mendengar berita
bahwa gadis manis yang kemarin makan dengannya akan menikah, Eghi sedikit
shock. Tapi apa daya, cinta tak harus memiliki.
Singkat cerita, buku “ The Secret ” yang pernah dipinjamkan itu
tidak pernah kembali hingga sekarang, tapi Eghi ikhlaskan buku itu untuknya.
***
Eghi merasa kehilangan buku kado dari
Lussy, terlebih lagi saat Lussy menanyakan. Gimana,
kamu suka bukunya ?. Udah sampai mana
bacanya ?. Hati Eghi jadi tidak enak. Tiba-tiba terlintas dalam benaknya,
kenapa tidak menggunakan hal yang telah diajarkan The Secret, mungkin saja bisa berhasil. Ya, dalam buku The Secret karya Rhonda Byrne diajarkan tentang “ The Law of Attraction ”, dengan
kata lain sebagai hukum tarik-menarik, hukum ini berlaku untuk segala hal, baik
itu hal positif, ataupun hal negatif. Hukum itu akan bereaksi pada frekuensi
getaran yang lebih tinggi. Bisa jadi Frekuensi positif ataupun negatif. Cara
menggunakan The Secret ada 3 langkah
:
Langkah
1 : Meminta.
Berilah
tugas kepada semesta. Biarkan semesta mengetahui apa yang Anda inginkan.
Semesta selalu merespon pikiran-pikiran Anda.
Langkah
2 : Percaya.
Percaya
bahwa apa yang Anda minta sudah menjadi milik Anda. Miliki apa yang
disebut sebagai iman yang teguh. Percaya pada apa yang tidak kasat mata.
Langkah
3 : Menerima.
Langkah
terakhir di dalam proses ini yaitu mulailah merasa senang tentangnya. Rasanya
seperti apa yang akan Anda rasakan ketika keinginan itu ada. Rasakan sekarang
juga.
Awalnya ada sedikit rasa kurang yakin pada
perasaan Eghi, tapi tak salah jika mencobanya. Cara yang Ia lakukan seperti
ini, saat itu Eghi bayangkan kalau Ia memiliki buku The Secret yang baru, Ia rasakan setiap detail buku itu, sebenarnya
hal itu sedikit tidak mungkin untuk mendapatkan buku yang baru karena Eghi tahu
buku itu cukup mahal dan uang sakunya juga telah menipis, uang saku yang bisa
digunakan hanya Rp.20.000,00.
Saat itu sebenarnya Eghi sedang mengetes The Secret, apa ini akan berhasil ?
Selanjutnya Eghi membayangkan berangkat ke kampus seperti biasa dan sebelum
sampai kampus, Eghi singgah ke pajak USU, lalu Ia datangi salah satu penjual
buku dan majalah yang ada di tempat itu, Eghi membayangkan kalau buku The Secret yang diinginkan ada di rak
tempat dagangan buku itu, selesai. Begitu saja cara Eghi menerapkan apa yang
telah diajarkan buku The Secret. Lalu
Eghi pergi ke kampus, semua berjalan seperti apa yang Ia pikirkan dan ajaibnya,
buku The Secret yang Ia inginkan tadi
benar-benar ada di rak buku penjual buku itu. Masih baru, berplastik dan hanya satu-satunya. Eghi mulai percaya dengan
hal yang baru Ia pelajari.
“ Bang, buku ini berapa harganya ?”, tanya
Eghi pada si penjual buku.
“ Rp. 30.000,00, dek !”.
Lalu Eghi coba menawar buku tersebut
dengan harga Rp. 20.000,00. Kini buku itu jadi miliknya. Setelah Ia merobek
plastik pembungkusnya, ternyata itu buku bajakan, tetapi buatnya yang
terpenting isinya sama. Alhamdullilah.
***
Sejenak
Eghi berfikir, kalau Ia coba The Secret
dengan hal-hal yang negatif, bisa atau tidak. Terkadang Eghi jahil juga.
Awalnya Ia pergi ke sebuah pajak di Medan untuk mencari komik-komik bekas
sebagai referensi untuk menulis komik. Ia melintasi lorong pajak itu, banyak
sekali berbagai pedagang menjual berbagai jenis barang. Sekilas matanya tertuju
pada satu tempat jualan yang baru buka.
” Seperti di Mall saja tempat itu !”,
ungkapnya.
Tempat itu berjualan sepatu, dengan
berbagai merk dan mode. Tiba-tiba dalam pikirannya muncul khayalan tingkat
tinggi, kalau tempat jualan sepatu ini terbakar, bagaimana ya orang-orang ini
menyelamatkan sepatu dagangan mereka ?
Eghi juga tidak terlalu yakin apa saat itu
hatinya mengiyakan. Keesokan harinya Eghi mendapatkan kabar dari temannya bahwa
pajak itu benar-benar habis terbakar semua,
dan sumber api berasal dari jenset tempat jualan sepatu itu yang
mengalami konsleting sehingga menyambar tabung gas yang berada di warung-warung
sebelahnya. Eghi terdiam, apa Ia sudah membuat kesalahan ?, tanyanya dalam
hati, Allahualam.
***
Serangkaian
kejadian yang pernah Ia alami saat menggunakan The Secret sungguh membuatnya deg-degan. Banyak hal menarik yang
telah Ia alami dan belum Ia ceritakan semuanya pada orang lain. Mungkin karena
keterbatasan ruang dan waktu.
Dan ternyata jika kita melihat dan
mendalami Al-Qur’an, semua hal yang diajarkan di dalam The Secret telah ada di sana sejak dulu. Dunia ini memang penuh
dengan rahasia besar yang belum terungkap.
Berawal dari sebuah buku yang begitu Eghi
kagumi.
BUNGA TIDUR di USIA SENJA
H. Arifin
Aku
sudah tua, meski belum renta. Tuhan masih sayang padaku, masih diberi
kenikmatan berupa kesehatan. Aku masih diperkenankan – nya menghirup udara,
menikmati segala anugrah – nya.
Suatu ketika ada seorang dewasa
lajang singgah kerumah, aku tak mengenalnya. Dia mengucapkan salam dan kusambut
salammnya, kusuruh saja Dia duduk. Dalam pertemuan itu, Dia mengatakan sudah
lama mengenalku, aku merasa wajar. Pada kesempatan itu, Dia menyuruhku menulis.
Aha, aku menyanggupinya, karena menulis juga kegiatan rutinku. Hanya saja, Dia
menyuruhku untuk menulis fiksi. Wah, aku belum pernah menulis fiksi. Aku selalu
menulis persoalan Budaya masa lampau, Sejarah dan Adat Istiadat. Semua kutulis
dalam dalam bentuk Makalah, terlebih bila ada yang mengundangku sebagai
Pemateri Seminar. Terkadang aku menulis Artikel, Esai dan Opini. Jika tidak
mengangkat tentang Budaya, Sejarah atau Adat Istiadat, kuangkat masalah
Politik, Bencana dan lain sebagainya yang terjadi di Dunia. Selanjutnya kukirim
ke Media Massa.
Terfikirkan
olehku setelah Dia pulang, bahwa aku belum pernah menulis fiksi. Kuabaikan saja
soal fiksi dan nonfiksi, yang penting aku menulis. Diterima atau ditolak
hasilnya, ah biarlah. Toh di Media Massa soal terima dan penolakan sudah sering
terjadi, konon lagi ini, untuk pembuatan suatu Buku. Meski demikian, permintaan
mengenai fiksi, selalu terngiang dikepala tuaku. Sampai terbawa tidur.
###
Satu
rombongan anggota Dewan DPRD dari daerah antah barantah.
“ Ehem, nama daerah kurahasiakan !”.
Melakukan Study Banding ke Sumatera
Barat, persisnya di Kota Bukit Tinggi. Menginap di Hotel mewah pula. Salah satu
pembangunan menjadi kajian Study Bandingdan yang akan ditinjau juga tentang
perlalulintasan. Sebab, didaerah asal anggota Dewan yang terhormat itu
perlalulintasan sangat semrawat alias amburadul. Rambu – rambu lalu lintas
tidak dipatuhi, disertai pula petugas berkewenangan tak ambil peduli.
“
Di Kampungku, istilahnya maen libas !”.
Kalau
pun ada satu dua orang yang sadar dan patuh terhadap peraturan, alamatlah kenak libas. Bila berhenti di Lampu
Merah, tahankanlah kenak tabrak.
Orang yang tidak tahu akan peraturan lalu lintas, menuduh apa yang dilakukan
itu salah. Menurut pemikiran orang awam, untuk apa berhenti, padahal orang –
orang sangat ramai berlalu lalang. Bila ditunjukkan Lampu Merah, dikatakan itu
hanya hiasan sebagai penghibur orang berjalan saja.
Salah
seorang anggota Dewan, sebutlah namanya Pak Badol. Beliau ini sedang asyik
beristirahat di kamar Hotel, tiba – tiba berkeinginan mencoba kuliner setempat
sambil menikmati Kota Bukit Tinggi yang cantik dan indah, dimalam hari. Pak
Badol mengajak temannya yang sesama anggota Dewan dari sesama daerah asal,
kupanggil namanya Pak Lokot. Mereka berjalan – jalan menggunakan kereta kuda,
di Bukit Tinggi dikatakan Sado.
Pada
sebuah persimpangan Lampu Merah, kereta kuda berhenti. Walaupun sesungguhnya
tak ada lagi kenderaan lalu lalang, karena memang malam sudah mulai larut. Sang
anggota Dewan, yang kusebut namanya Pak Badol. Dengan sikap memerintah,
memberikan teguran.
“
Kenapa harus berhenti, sedangkan lalu linta sudah sunyi. Tak ada lagi kenderaan
yang lewat, jalan saja terus !”, desak Pak Badol pada Sais Sado.
“
Maaf Bapak, di siko kudo pun tau Lampu Merah !”, Sais Sado menjawab dengan
tenang menggunakan Dialeg Minang.
“
Iya … !”.
Langsung
Pak Badol dan Pak Lokot tertunduk diam, karena urat malunya sudah tersinggung
dengan jawaban dari Sais Sado yang sebenarnya menyindir.
Sepulangnya
anggota Dewan ke daerah mereka, yaitu daerah antah berantah. Seperti tak
sadarkan diri, Pak Badol menceritakan peristiwa yang memalukan itu kepada
sesama anggota Dewan lain yang tidak ikut rombongan Study Banding ke Bukit
Tinggi.
“
Di Bukit Tinggi, kudo pun tau aturan lalu lintas. Di tempat kita ini, apa pun
kita tak tahu. Berarti anggota Dewan yang terhormat yang di sini, lebih bodoh
dari pada penarik kudo itu !”.
“
Libas …, tahankan … !”, sambung Pak Lokot.
###
Anggota
Dewan yang mendengar, ada yang tertawa geli. Ada pula yang marah dan tersinggung dan ada
yang tidak memikirkannya.
###
Aku
terbangun dari tidur, kulihat jam dinding, sudah pukul 03.10 wib. Kuniatkan
sholat Qiamulail, sembari memohon pada – nya agar diberi kekuatan menjalahi
hidup, baik terjaga maupun tertidur. Usai sholat, sempat terfikir. Ada apa dengan mimpiku ?
Subuh
masih ada bebarap jam lagi, kurebahkan tubuh di kasur. Kembali aku tertidur.
###
Seorang supir yang sudah banyak
pengalaman di pasar, bercerita pengalamannya memakai jasa seorang kernek yang
lugu, bahkan lebih parah dari itu, mungkin sudah termasuk begok.
“ Dikampungku, Kota Pesisir pantai
ini, kernek kami sebut kenek.
Menghilangkan huruf ‘r’. Bukan berarti kami tak pandai menyebutnya, bahkan
sebutannya kami ucapkan begitu terasa. Sebutan ‘r’ kami ucapkan ‘kh’. Maka,
bukan kami tak pandai mengucapkannya, tapi karena memang begitulah Dialek kami
!”.
Kembali pada kisah di atas. Seperti
biasa sang supir mobil pendek alias mopen,
trayek dalam Kota,
memakai seorang kenek, sebagai
pembantu mengatur penumpang sekaligus mengatur lalu lintas untuk keselamatan
dan kelancaran perjalanan.
Suatu hari, mopen mereka mendapat job, dicarter sebuah keluarga untuk mengantar
rombongan Pengantin Pria. Melalui jalan berliku dan agak sempit, akhirnya
sampai di tempat tujuan, ialah rumah pesta Pengantin Wanita. Sudah barang tentu
banyak kendaraan tamu dan sanak famili yang parkir di sana, hingga menyebabkan untuk balik berputa
arah, agak sulit. Jalan sempit itu dibatasi pula dengan adanya tembok
perkarangan pada bagian kiri dan kanan. Sang Kenek mulai bertugas, tepat dibelakang mopen.
“
Maju …, mundur …. How, stop !”, ucap kenek
memberitahukan supir.
Supir mengikuti apa yang dikatakan kenek, sebab pada saat itu supir harus
konsentrasi mengendari mopen.
Kenek
kembali memberi aba – aba.
“ Mundur …, terus, terus. Te … rus,
teeeeerrruus. Te … te … te …, tembok !”, ucapan kenek bersamaan dengan belakang mopen
menabrak tembok.
Bunyi tabrakan terdengar keras.
“ Kenek taik !”, Sang supir yang memang dikenal bertemperamen tinggi,
langsung membentak.
“ Bukan Pak, bukan kenak taik, tapi kenak tembok !”, spontan kenek
menjawab.
Sang
supir tak mampu lagi marah, hatinya geli. Dia pun diam saja.
###
“
Allahu Akbar … !”, tersentak aku terbangun.
Tak
biasanya aku bermimpi sampai dua kali begini. Kulihat jam dinding, sudah pukul
05.30. langsung saja aku beranjak dari kasur, kuambil wuduk, kutegakkan sholat
Subuh. Usai sholat, kutadahkan tangan memohon doa. Ada apa denganku ya Allah.
“
Trangggg …. !”.
Kudengar
benda jatuh di dapur, menyudahiku memanjatkan doa. Keterkejutanku akan bendah
yang jatuh, membuatku teringat akan tulisan fiksi yang diminta seorang dewasa
lajang kemarin. Kulipat sajadah, kunyalakan Komputer di ruang kerja. Dua
mimpiku malam ini, kukisahkan. Semoga saja tulisan ini berbentuk fiksi.
Waktu
Dhuha sudah tiba, tatkala kisah ini usai kuketik. Wudukku masih ada, belum
batal. Kembali kutegakkan sholat, setelah itu, kukirim sms pada seorang dewasa
lajang kemerin.
“
Sudah siap, sudah bisa diambil !”.
SAYAP – SAYAP RUMI
Jones Gultom
Sekali
lagi, aku teringat kata-kata Rumi ; Jika manusia terlahir dengan sepasang
sayap, kenapa kita mesti merayap ? Hari ini, aku menulis curhat lagi, Yoh.
Tentang banyak hal. Kau tahu, di dunia ini selalu banyak kisah untuk
dituliskan. Ada
saja yang patut dibagikan.
Begitulah,
peradaban rupanya dibangun dari rangkaian cerita yang tak pernah
habis-habisnya. Toh ia tak mesti berpangkal-ujung. Coba, pernahkah kau merasa
asing dengan dirimu sendiri ? Pernahkah kau tiba-tiba mendapati diri tak lain
hanyalah tumpukan batu yang dibuang tukang bangunan ? Bukankah perjalanan cuma
berputar-putar di mata kaki sendiri ?
Benar
kata JJ. Rousseu, Yoh, kita adalah makhluk malang yang ketika terus-menerus berjuang
menuntut kebebasan. Sayang, ketika kita meraihnya, disaat yang sama pula, kita
mendapati diri sudah terbelenggu. Adakah artinya bagimu Kemerdekaan, bila pada
saat yang sama, kau mesti membungkam kebebasanmu yang lain ? Ini sama saja
ketika kita sedang bertelepon di sebuah phone booth. Meski kita bisa berbicara
dengan orang dari belahan Negara lain, toh fisik kita tetap terkurung di
ruangan 1 X 2 meter itu. Itulah sebabnya, Yoh, aku sering gagap mengenali pintu
rumahku. Lupa bau keringat sendiri. Seperti kucing kelaparan yang tidur di
emperan rumah makan.
Demikian,
aku menyapamu malam ini. Diantara kepulan asap rokok, batuk yang meninggi,
berisik suara MP3, kucoba lagi mereka-reka wajahmu. Yoh, aku teringat waktu
masih kerja di sebuah café. Ketika itu, saban malam aku harus berhadapan dengan
orang-orang yang haus hiburan. Tukang becak, supir, preman, lajang-lajang kampung,
pengangguran juga sesekali Polisi. Tahulah kau, namanya juga café kelas
pinggiran, cuma bermodal minuman botol, keyboard dan beberapa waitress yang tak
cantik, mereka bermaksud melepas stres. Begitu kata mereka.
Kebetulan
tugasku mengawasi tamu-tamu. Hampir tiap malam ada yang buat onar. Tak mampu
bayarlah, yang nyolek waitress sesuka hati tapi pelit ngasih tips, sampai yang
reseh kalau sudah mabuk. Pernah kupukuli seorang tamu sampai bocor-bocor. Waktu
itu, waitress kami dibentak-bentaknya. Spontan darah militerku naik. Aku yang
lagi mabuk-mabuk ayam, langsung memukulkan sebuah botol minuman.
“
Chress …. !”, darah mengucur dari kepalanya.
Sialnya
Dia seperti merasa tak apa-apa. Malah makin cerewet. Aku jadi tambah semangat
mengayunkan botol minuman itu berkali-kali. Entahlah, aku lupa, Yoh, kurasa
berpuluh kali. Saat Dia menggelepar, baru aku sadar, nyaris saja aku membunuh
orang.
Kau
tahu, Yoh, malam itu aku merasa berbeda. Lebih gagah dan terhormat. Itu
sebabnya, kubiarkan darah itu mengering sendiri di tangan. Begitu juga si
waitress. Mungkin Dia merasa diperhatikan. Merasa dibela. Merasa diayomi. Kau
tahu, Yoh, malam itu kami tidur begitu lelap. Hari-hari pun jadi terasa
berbeda. Setiap menjelang malam, sebelum Dia jadi milik orang, kami sempatkan
berkasih-kasihan.
Sayang,
Yoh, romantisme itu tak bertahan lama. Kesabaranku habis juga karena mesti
melihatnya dicumbui tamu-tamu secara bergiliran. Hingga satu malam, aku tak
bisa lagi menahan diri. Kuhajar tamu-tamu yang tengah asyik mencumbuinya. Di
depan si waitress, di depan kekasihku. Darahnya bercipratan di sana-sini. Puas
memukulinya, aku langsung kabur. Lari malam, kata orang-orang. Maklumlah, selidik
punya selidik, rupanya yang kumainkan itu seorang Polisi.
Tak
sampai seminggu, kudapati kabar, waitress itu mati mengenaskan, Yoh.
“
Dari selangkangannya keluar ular !”, begitu desas-desus yang kudengar.
Begitu
pun, tetap kucari tahu di mana Dia dimakamkan. Aku merasa pernah berhutang
padanya. Hutang-hutang kesepian yang tak terbalaskan.
Mungkin,
begitu juga yang sedang dialami tetanggaku ini. Hingga tiap malam Dia memutar
lagu yang sama. Bisa jadi, Dia sengaja memupuk rasa dendam, sampai menemukan
waktu yang tepat untuk meledakkannya. Atau Dia sedang menghibur diri ? Entahlah,
Yoh. Sering juga kudengar mereka saling memaki lewat handphone. Lama-lama baru
kupahami. Sepertinya tetanggaku ini menuntut pacarnya, supaya ia dinikahi.
“
Enak aja kau bilang mau merantau, dah kau rusaki aku …!”, marahnya suatu waktu.
Ah
Yoh, kenapa mesti ada rasa cemburu ? Kenapa pula harus menuntut budi ? Lain
malam, kudengar tetanggaku itu disumpahi mamaknya.
“
Mampuslah kau. Tahankanlah ! Cari sendirilah biayanya. Kalau enggak, mati
ajalah kau !”.
Aku
tidak terkejut, Yoh. Sudah terbiasa mendengar kata-kata seperti itu keluar dari
tetangga kami. Itu belum seberapa. Pernah satu kali mereka sekeluarga nyaris
bacok-bacokkan. Pasalnya si suami tersinggung, karena dituduh mencuri uang
istrinya. Adu mulut pun tak terhindarkan.
Tahulah
kau, Yoh, namanya juga Mamak-mamak, pantang dipancing. Terus kalau sedang
merepet, semuanya diserempet.
“
Pantaslah kelen nggak ada yang beres. Keluarga maling !”.
Mendengar
itu, si suami naik tensi. Langsung dikejarnya istrinya itu dengan parang.
“
Coba bilang sekali lagi … !”, kata si suami dengan parang yang siap terayun.
Eh
si istri bukannya lari, malah dikasihnya kepalanya itu.
“
Nah bacoklah … bacoklah ! Biar puas kau ! Memang malingnya kelen sekeluarga !”.
“
Bacokkan aja, bang !”, timpal adik suaminya memanas-manasi.
Keluarga
tetanggaku memang rumit. Hari ini bertengkar hebat, besoknya dah main judi
mereka bersama-sama. Suatu waktu,
giliran si bungsu yang bertingkah. Memang Dia rada-rada terbelakang mental.
Badannya besar. Tangan dan jari-jarinya panjang. Mulut dan bibirnya lebar,
dengan gigi yang besar dan jarang-jarang. Kalau jalan, Dia setengah membungkuk.
Suatu ketika, tanpa alasan yang jelas, dibakarnya tubuhnya sendiri. Syukurlah
orang-orang yang melihat langsung memadamkan api itu. Separuh tubuhnya gosong.
Meski begitu, Dia tak langsung dibawa ke Rumah Sakit. Pengobatannya cuma pakai
minyak makan campur kuning telur. Apa
tidak mengerang-ngerang Dia kesakitan. Sepanjang malam, Dia meringis ! Tentu,
ada batasnya kesabaran orang mendengar erangan. Lama-lama kan dongkol juga.
“
Tahankan. Kenapa enggak mati aja kau sekalian !”, umpat Mamaknya bila Dia mulai
mengeluh.
Aku
juga sering dongkol melihat si bungsu itu.
Pernah satu kali, Dia meringis-ringis di teras rumahku. Padahal waktu
itu sudah menjelang subuh. Aku tak
berani keluar, karena erangannya memang agak menyeramkan. Hingga tak
berapa lama bapaknya muncul.
“
Ngapai kau ke situ kurang ajar ?”.
“
Plak … plak … !!”, dari balik kamarku terdengar suara pukulan berkali-kali.
“
Aduh sakit … sakit !”, rintihannya menyayup.
Kau
tahu, Yoh, sekarang ini manusia makin tak ada harganya. Kalau dulu, mendengar
kata mati pun, kita sudah merinding. Terus terlintas di benak kita, kerumunan
orang dengan baju hitam-hitam mengusung keranda hijau. Terus tercium oleh kita
bau melati dan kamboja. Terus kita bayangkan wajah-wajah sembab yang memilukan.
Kini
bayangan itu tak seseram dulu. Apalagi yang mau ditakuti, jika kuntilanak
sekalipun sudah akrab dikeluarga kita.
Tengoklah, lima menit sekali televisi menayangkan
serial-serial kematian. Mulai dari yang serius, sampai sekedar guyonan. Tak
jarang pula, sembari makan bersama anak-anak, kita berdecak kagum menyaksikan
berita mutilasi. Ada
sensasi menggairahkan, manakala kita menyaksikan berbagai pergolakan.
Aku
juga merasakan getaran itu, Yoh. Pernah kejadian seorang maling ayam tertangkap
basah di kampungku. Dia berusaha melarikan diri, tapi terjebak. Terperangkap di
jembatan penyeberangan Tol. Merasa terkepung, Dia pun nekad melompat. Alhasil,
kaki dan tangannya patah. Bukannya ditolong untuk dibawa ke Rumah Sakit,
orang-orang malah menyeretnya keluar dari badan jalan dan digiring ke rumah
pemilik ayam. Sepanjang jalan sudah terdengar teriakan-teriakan.
“
Bakar … bakar … !”.
Mendengar
itu, aku jadi bergelora. Kusadari aku juga ikut berteriak meski sekedar di
bibir saja. Pukulan demi pukulan mengiringi perjalanan, persis adegan Via
Dolorosa yang melegenda itu.
Hingga
akhirnya, ketika sampai di rumah, Dia langsung dimassakan. Beruntung ada
seseorang yang melerai.
“
Kita panggil saja Polisi !”, katanya.
“
Enak kali Dia. Nanti dilepasnya itu, terus nyolong lagi Dia !”.
“
Betul !”, yang lain menimpali.
“
Bakar … bakar .. !”, teriak yang di belakang bergemuruh.
Orang
yang melerai tadi terdiam. Tiba-tiba si pemilik rumah bergegas ke belakang. Tak
berapa lama kembali dengan sebilah parang. Dengan spontan, orang-orang berebut
memegang tangan dan tubuh si pencuri yang sedari tadi bergeletaran.
“
Cresh ..…. !”, Potongan tangan itu menggelepar.
Menggelepar,
Yoh ! Persis ekor cicak. Darah muncrat di mana-mana.
Yoh,
belakangan ini, aku sering mengutuki diri. Aku sering merasa sedang berada pada
tempat dan waktu yang salah. Bagaimana menurutmu ? Bicaralah, Yoh ! Sudah
terlalu lama kau membisu. Atau, kau juga menganggapku terlalu sentimentil ?
Kalau begitu, aku juga akan membunuhmu !.
Malam
itu, menjelang subuh, bulan masih merah-merahnya. Tapi sudah terdengar
ribut-ribut tetangga.
“
Enggak nyangka-nyangka ya !”. celoteh orang-orang.
“
Padahal orangnya pendiam lho !”, timpal yang lain.
Di
tangannya yang terkepal dan mulai dingin, tampak secarik kertas lusuh. Di situ ada tertulis ; Jika manusia
terlahir dengan sepasang sayap, kenapa kita mesti ….. Tulisan itu jelas belum
selesai ketika orang-orang yang berdatangan mulai saling bertangis-tangisan.
IRAMA SUNYI SUNGAI DELI
M. Raudah Jambak
Aroma bau itu menebar, searah dengan
hembusan angin ketika matahari tepat di atas kepala. Menebar bersama derasnya
alur aliran sungai yang melintasi bawah jembatan, terus sampai menghilang di
ujung kelokan.
Gjebuuur …….
Aaakh ………..
Suara benda berat yang jatuh menembus
permukaan sungai yang masih menyisakan aroma bau yang menusuk hidung.
Lalu-lalang kendaraan bermotor yang melintasi atas jembatan siang itu nyaris
tak sempat menyisakan kesaksian atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dan
kisah itu tidak akan pernah terekam dalam ingatan jika saja seorang pemulung
tua tidak berteriak minta pertolongan.
Seperti biasanya Opung, si pemulung tua
itu, hendak buang air besar persis di bawah jembatan. Dia melirik ke kiri dan
ke kanan. Memastikan tidak ada orang yang mengintipnya. Paling tidak beberapa
orang anak kecil yang suka usil melemparinya dengan batu kerikil di saat Dia
menuntaskan hasratnya, tidak sembunyi-sembunyi menanti kesempatan itu.
Pelan-pelan Opung berjongkok, ketika
suasana dianggapnya sudah aman. Matanya masih mencari-cari, mengawasi
sekitarnya. Di saat itulah matanya tertuju kepada seorang perempuan muda yang
berdiri hendak terjun ke sungai. Opung hanya merasa heran ketika perempuan itu
berteriak dan menangis tidak jelas. Dia menangkap gelagat yang aneh. Segera
saja niat yang hendak disalurkan tadi dihentikannya. Dia segera berdiri, hendak
menghardik perempuan itu. Tapi, terlambat, perempuan itu sudah terlebih dahulu
melompat. Dan tubuh itu tidak juga muncul ke permukaan. Kontan saja pemulung
tua itu panik. Dia berteriak sekuat-kuatnya.
“ Tolong …! Ada yang jatuh ke sungai …!”.
Berkali-kali pemulung tua itu berteriak.
Suaranya dihantam deru knalpot yang memburu, bunyi aliran sungai, dan aroma
yang dihembus angin. Akhirnya, seorang pemulung muda turun ke sungai. Pemulung
muda itu pulalah yang menjawab kesaksian itu dengan berlari cepat menuju
sungai, setelah mendengar suara parau Opung yang dibawa angin ke gendang
telinganya. Diikuti beberapa orang temannya yang menyusul kemudian. Juga beberapa
pengamen jalanan yang tidak sengaja melintas di atas jembatan. Begitu juga
dengan penjual rokok dan beberapa orang pejalan kaki.
Kontan saja dalam waktu singkat areal
jembatan dan aliran sungai menjadi ramai dengan pengendara sepeda motor yang
berhenti hanya sekedar menyaksikan peristiwa yang gratisan itu. Termasuk para
pegawai sebuah Plaza yang berdiri tak jauh dari sungai, melihat kerumunan orang
banyak. Jalanan macat total. Polisi kemudian sibuk lalu lalang pula
menyelesaikan persoalan.
Di bawah jembatan, sepanjang aliran sungai
beberapa orang telah masuk menyisir sepanjang aliran, seputar jatuhnya sosok
tubuh perempuan muda yang menembus permukaan sungai. Aroma yang menyengat
sepanjang tumpukan sampah dan warna permukaan sungai yang coklat
kehitam-hitaman serta agak berlumpur itu, apalagi disaat musim hujan turun,
tidak lagi menjadi halangan.
Harapan ternyata tetaplah selalu ada.
Beberapa orang masih memiliki nurani. Mereka tidak memperdulikan lagi aroma
yang “ mewangi ”, terus melakukan pencarian. Di antara mereka masih sempat
melihat tangan yang timbul tenggelam itu, seperti menggapai-gapai.
“ Ini Dia ! Telah kudapatkan !”.
Seorang pemulung muda menarik pelan-pelan
sosok tubuh perempuan yang sudah terlihat tidak berdaya itu ke bantaran sungai,
mungkin lebih tepatnya parit besar yang penuh dengan tumpukan sampah dan warna
permukaan yang sudah tidak jernih lagi, mencari tempat yang agak teduh, di
bawah jembatan.
Demi melihat itu, orang-orang yang
berkumpul penuh sesak itu segera meninggalkan tempat itu, termasuk Polisi yang
menganggap situasi sudah terkendali. Ada yang mengelus dada. Ada yang menggelengkan kepala. Ada yang
senyum-senyum sendiri. Dan ada pula yang setengah gila, tertawa-tawa sendiri.
Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran orang-orang itu. Pastinya
tinggal beberapa orang yang masih perduli, mengitari.
Tiur, perempuan muda yang mencoba
bunuh diri itu. Dia masih belum bicara setelah mengeluarkan air sungai yang
sempat tertelan itu.
“ Bagaimana Dia ?”, si pemulung
tua itu datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Beberapa orang pengamen
jalanan menyingkir memberi ruang.
“ Tunggu saja, Opung. Sebentar lagi
Dia pasti sadar !”, seorang penjual rokok, yang biasa mangkal di seputaran Deli
Plaza, yang ikut terjun menolong, memberi penjelasan, tetapi si pemulung muda
itu segera menukasnya.
” Dia sudah sadar, Pung ! Hanya saja
badannya masih lemas. Tadi Dia berusaha untuk bertahan hidup. Dia ternyata
masih punya keinginan untuk hidup, masih punya harapan, seperti harapan
orang-orang yang hidup di sepanjang aliran sungai yang menghitam ini. Setahuku
sudah yang ke sekian kalinya si Tiur melakukan ini. Terutama sebelum Opung
bergabung dengan kami. Entah apa penyebabnya, setiap aroma yang menusuk hidung
itu terasa begitu menyengat, detik berikutnya Dia muntah-muntah dan tidak
berapa lama setelahnya, Tiur menerjunkan dirinya ke sungai. Saat itu matahari
tepat di atas kepala. Dan kejadian ini lebih parah dari sebelumnya !”.
“ Mungkin Dia hamil ? Atau keracunan
barangkali ?”.
“ Coba saja Opung periksa. Kemungkinan itu
pasti ada. Tapi mengapa harus bunuh diri di saat matahari meninggi tepat di
atas kepala, dan aroma sungai yang mulai menyesakkan dada ?”.
Lungun, si pengamen jalanan, yang lebih
memilih diam, merasa terheran-heran.
“ Mungkin pengaruh ngidam ?”.
Darman, si pemulung muda itu, terdiam. Dia berpikir, apakah pengaruh
mengidam sampai seburuk itu ? Ada semacam perasaan cemas dalam kepalanya.
Sekarang Dia lebih cenderung sebagai pendengar saja. Matanya tak lepas-lepas
memberi sinyal kepada Lungun butuh kejelasan.
“ Apa memang sudah lama Dia tinggal
di sini ? Sebelum Opung ?”, selidik Opung selanjutnya.
“ Lebih lama memang dari Opung !”,
jawab Lungun.
“ Tiur sekarang tinggal tepat di
bawah jembatan ini, pergi meninggalkan rumah Inangnya di pinggir sungai sebelah
sana !”.
“ Begitu, ya !”, Opung berpikir sejenak.
“ Yang di rumah kardus itu ? Sendiri
saja ??”, lanjut Opung.
“ Dulu Saodah pernah tinggal
dengannya. Sekarang Saodah menempati rumah Inang Tiur yang sudah lama kosong.
Inang Tiur menghilang. Tiur tak mau lagi menempatinya, walau dibujuk Saodah
berkali-kali. Padahal keberadaan Saodah di rumah Inang Tiur itupun atas desakan
Tiur sendiri. Dan biasanya saat ini Saodah sedang ngamen di simpang Petisah !”.
“ Tolong panggilkan. Opung mau
menanyainya, Ucok !”, seorang tukang semir cilik yang ditunjuk Opung
mengangguk, segera berlari.
“ Apa Dia hamil, Opung ?”.
Perempuan tua itu hanya menggeleng
lemah. Tidak berapa lama kemudian Tiur duduk perlahan. Dia muntah-muntah. Matanya melotot. Segera Dia
berdiri dan berlari ke arah sungai. Hampir saja Dia menceburkan diri kembali
kalau Darman tidak segera mencegahnya. Tiur meronta-ronta. Darman memperkuat
cengkramannya. Dia menahan sekuat tenaga, agar perempuan dalam cengkramannya
tidak terlepas. Tapi Tiur jadi semakin menggila. Dia semakin meronta, memandang
jijik dan muak ke arah Darman. Mulutnya menyumpah. Tangan sebelah kanannya,
yang tidak dicengkram, meraih-raih sesuatu di atas tanah. Mengambil batu,
dilemparkannya ke arah Darman. Cengkramannya terlepas. Tiur terguling-guling. Tubuhnya
yang hampir dipenuhi panu dan kurap itu, berdarah, tergores kerikil tajam yang
tersebar di tanah. Tubuhnya baru terhenti bergulir di atas tumpukan sampah yang
sudah membusuk. Belum sempat yang lain sadar dalam keterpukauan, Tiur segera
terjun ke sungai. Untung saja, kali ini, Lungun menarik kakinya.
Tiur terjerembab. Dia kembali mengamuk. Dia
menyerang dan menyumpahi Lungun habis-habisan, menggumulinya. Lungun tidak siap.
Dia melakukan perlawanan sebisanya. Saling pukul, saling jambak dan saling cakar
terjadi. Tiur memaki-maki. Kata-kata kotor mengalir deras dari mulutnya bersama
sampah yang mengalir diderasnya aliran sungai yang mengalir. Jerit penderitaan
begitu pekatnya. Arus kehidupan yang tidak mudah diduga ke mana bermuara.
Begitu tipisnya perbedaan antara harapan dan kesengsaraan di ruang kenyataan.
Dia hadir dan mengalir begitu saja. Bunyi air yang mengalir, deru knalpot, dan
kecipak dayung perahu sampah berpadu dengan riak napas kehidupan yang semakin
pekat.
“ Plak !”.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi
Tiur. Lungun berteriak sekeras-kerasnya. Modal suara yang terbina ketika
menjadi kernet angkot sebelumnya ternyata tidak mampu menggetarkan Tiur.
Tamparan, tendangan dan pukulan silih berganti mendarat di muka, perut dan dada
Tiur disertai bentakan dan teriakan….
Tiur terguling, Tiur histeris ! Dan
pukulan Lungun kian tak terbendung.
“ Tidak tahu diuntung ! Tidak tahu
ditolong ! Apa masih belum kapok ? Ha !?”.
Tiur tengkurap. Dia menangis
sejadi-jadinya. Hatinya pedih bersama darah yang menetes dari tubuhnya yang
tergores. Bercampur bersama sisa pekat air sungai yang tertinggal dan aroma
sampah yang memabukkan. Lungun menghentikan hardikan dan pukulannya.
“ Apa maksud kau ! Cakap kau, cakap !”.
Tiur tidak juga bicara. Dia menatap garang
kepada Lungun. Baginya Lungun tidak lebih baik dari sampah-sampah yang membusuk
sepanjang bantaran sungai. Lungun
terpanggang birahi. Tamparan demi tamparan kembali mendarat di muka Tiur.
“ Kemasukan hantu sungai ini kurasa kau !”.
Lungun terus melayangkan pukulannya ke
arah Tiur. Tiur sudah tidak
merasakan apa-apa lagi. Kesakitan baginya sudah menjadi hal yang sangat biasa.
Penderitaan adalah menu hidupnya sehari-hari. Dan untuk itulah Tiur masih hidup
sampai sekarang, ternyata.
Dari jauh Saodah berlari mendekat,
diiringi Ucok di belakangnya. Demi melihat itu Opung segera mencegahnya.
“ Tiur kemasukan. Kau tenang saja !”, bisik
Opung.
Saodah terdiam. Pikirannya mengawang
kepada Wan Nurdin, ayahnya, yang menurut cerita ibu sangat memegang teguh adat,
tetapi ternyata tidak kenyataanya. Ibu Saodah menceritakan tentang mandi
berdimbar[2]. Mandi dengan mengenakan pakaian Pengantin, dan
juga saling siram, dilanjutkan menyirami orang tua, famili dan tamu-tamu yang
ada sepanjang bantaran sungai. Dimaksudkan Pengantin harus siap dan tabah
menghadapi segala cobaan yang bakal datang, baik dari Yang Maha Kuasa, maupun
dari pihak orangtua, atau lingkungan masyarakat sekitarnya.
Prosesi diawali dengan peminangan oleh
keluarga pihak pria kepada keluarga pihak wanita. Jika dicapai persetujuan
kedua belah pihak, maka diadakan pertunangan yang dilaporkan kepada pihak
wanita. Seandainya pihak wanita membatalkan pertunangan, mereka harus membayar
dua kali uang Hantaran.
Biasanya, pesta dimulai dengan berbalas
pantun sebelum mempelai pria diperbolehkan masuk “ menjemput ” sang istri.
Sehelai kain dibentangkan di depan pintu masuk dan dimulailah berbalas pantun. Dan jika tamu-pihak pria kalah dalam
berbalas pantun, sang Pengantin tidak dibenarkan masuk.
Jika menang dalam berbalas pantun, maka
diperkenankan masuk. Setelah masuk upacara nasi hadap-hadapan pun dilaksanakan.
Berbagai aneka makanan dan panganan dihidangkan. Yang terutama adalah
pencabutan bilahan bambu minimal sembilan bilah, melambangkan angka
kesempurnaan yang ditancapkan di dalam nasi hadap-hadapan tersebut. Daging ayam
ditusuk ditiga ujung bambu. Sementara jumlah bambu yang tidak ada daging
ayamnya lebih banyak. Ada perlombaan antara kedua mempelai. Mempelai yang
mendapatkan dua bilah bambu yang ada daging ayamnya, menjadi pemenang. Anehnya,
jika sang istri yang menang, maka kata orang-orang tua, alamatlah si istri yang
“ menguasai ” suami.
Saodah tersontak. Mengenang bagaimana
ayahnya memukuli ibunya yang ingin bunuh diri, menceburkan tubuhnya ke sungai.
Ayahnya berhasil menyelamatkan ibu, karena sungai yang jernih waktu itu,
memperlihatkan sosok ibu yang tenggelam. Tapi pukulan dan tamparan justru yang
diberikan. Alasannya ibu kemasukan hantu sungai.
Padahal menurut cerita ibu disuatu ketika,
ayah merasa dipermalukan, sebab kalah dalam acara berbalas pantun waktu itu.
Tapi ada pula yang mengatakan, ayah selalu mengulang-ulang kalau ibu gagal halua[3], katanya ibu sudah terenggut keperawanannya di
bantaran sungai ketika itu.
Yah, memang bedanya sungai waktu itu
begitu jernihnya. Pandangan
kita dapat menembus permukaan sampai ke dasarnya. Bebas polusi. Bebas sampah.
Pemukiman tidak sepadat sekarang. Restauran, Hotel dan Plaza hampir jarang.
Lain halnya dengan sekarang, sepanjang sungai dipenuhi dengan limbah dan
sampah. Ditambah lagi sekarang telah menjadi tempat untuk menghabisi nyawa diri
sendiri dan orang lain.
Persis seperti sekarang ini. Lungun
memukul Tiur habis-habisan. Namun, Saodah sudah tidak sabar lagi untuk
menghentikan perlakuan Lungun terhadap Tiur, dan ingin memaki orang-orang yang
bisanya hanya berdiri mematung. Kesabarannya telah habis saat ini. Segera Dia melepaskan cengkraman Opung,
untuk menghentikan tindakan Lungun. Sepanjang aliran sungai matahari menyengatkan
sinarnya pada riak yang berloncatan di atas limbah sampah dan bebatuan.
“ Sok tahu kau !”.
“ Kemasukan hantu sungai !”.
“ Tutup moncongmu !”, Saodah meraih
Tiur, membantunya berdiri.
“ Hei, hantunya belum keluar !”, Lungun
meraih kembali Tiur.
Terjadi aksi tarik menarik. Masing-masing
dengan kekerasan hatinya. Sungai mengalir membawa limbah sampah bersama warna
yang buram, seburam suasana yang hadir saat ini. Debu yang berterbangan dari atas jembatan. Tatapan
mata saling beradu garang. Dan Opung memahami situasi ini.
“ Sudah ! Biar Opung dan Saodah saja yang
mengurus Tiur !”, Opung
meraih Tiur.
“ Yang
lain pergi sana ! Bubar !”.
Lungun
terdiam. Darman tercenung. Ada
rasa was-was dalam pikiran mereka. Pengamen, pemulung, dan tukang semir yang
lain tidak ambil pusing lagi. Mereka kembali menebar, menyebar, mengutip
rimah-rimah harapan kehidupan yang mungkin masih tersisa di sepanjang sungai
maupun simpang-simpang jalan. Menyetop angkot untuk berhenti dari persimpangan
yang satu ke persimpangan berikutnya. Semua kembali dengan kesibukan
masing-masing. Lambat tapi pasti seperti kitaran matahari yang lamat-lamat tenggelam
dan kembali terbit dipagi hari. Opung, Saodah dan Tiur telah terlelap membagi
sepi.
*******
Di
rumah kardusnya Tiur dan Saodah terduduk menikmati sisa teh semalam. Sisa darah
yang mengering telah mulai terkelupas. Opung masih berselimut rindu dendam.
Betapa
Saodah tidak akan pernah melupakan Tiur. Saodah tidak akan pernah melupakan tragedi itu. Ketika itu hujan lebat
turun, air sungai sudah lama membuncah. Saodah mendapatkan dirinya sudah berada
di atas bubungan atap rumahnya. Dia sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi
selain dirinya. Ingin rasanya Dia memanggil ibu dan ayahnya, tapi
tenggorokannya terasa tersumbat. Tidak ada pikiran lain yang melintas, selain
menyelamatkan diri. Di atas bubungan, Saodah meraih ranting-ranting kayu. Belum
sempat tanganya meraih ranting pohon itu, sebuah terjangan air menerjangnya.
Saodah terbawa pusaran air. Dia masih
berusaha untuk meraih apa saja. Berusaha melawan arus sungai yang meluap.
Tubuhnya timbul tenggelam bersama tumpukan sampah yang juga terbawa arus.
Dalam hitungan detik pusaran arus itu
semakin menggila. Saodah
merasakan dirinya dihempaskan ke sana ke mari. Rasa pasrah sudah menggelayuti
pikirannya. Pada satu titik pasrahnya yang paling afkir, Saodah merasakan
kekuatan yang luar biasa mengangkatnya dari pusaran arus sungai yang mematikan.
Sayup-sayup Saodah mendengar teriakan yang menyayat.
Detik berikutnya Saodah merasakan tubuhnya
diangkat, dibawa terus menuju silau cahaya. Sesekali Dia mendengar deru knalpot
yang tidak asing lagi di telinganya.
“ Peristiwa itu tidak akan pernah
kulupakan !”, ujar Saodah dengan air mata yang mengalir mencari alirannya ke
bantaran sungai.
” Jika kau tidak segera menyelamatkan aku
dan membawa ke atas jembatan, mungkin aku entah berada di mana sekarang. Kaulah
dewa penolongku !”.
“ Kau pembohong !”.
Saodah terdiam. Suasana kembali sepi.
Rumah kardus itu terasa semakin sempit saja. Opung masih mendengkur menyulam
rindu.
“ Kau tahu peristiwa itu. Dan kau tahu aku
tidak bermaksud menolongmu !”.
“ Ternyata kaulah pembohong
sebenar-benarnya. Kau terlalu egois. Mari lupakan masa lalu …!”.
Tiur tercengang. Bagaimana Saodah begitu
mudahnya melupakan masa lalunya. Bagaiamana pula Dia harus melupakan masa
lalunya. Kekejaman ayah Saodah. Dan kekejaman orang yang telah menghancurkan
masa depannya. Bagaiamana Dia lahir dari rahim sungai, seperti cerita Inang,
ibu angkatnya, waktu itu.
Ketika itu Inang sedang mencuci pakaian.
Biasanya yang mencuci pakaian waktu itu cukup ramai di sungai. Entah mengapa
hari itu hanya Inang. Dan Inanglah yang menemukan sebuah kotak yang terhanyut
di permukaan sungai yang mengalir tenang. Segera Inang meraih kotak kardus
besar yang biasa dipergunakan untuk mie instan itu. Alangkah terkejutnya Inang.
Takut campur senang. Betapa Dia takjub melihat sesosok tubuh bayi mungil.
Sesosok tubuh bayi perempuan yang cantik.
“ Kalaulah kau laki-laki aku akan adakan mangan
indahan esekesek manupaupa. Atau juga paebathon buha baju tu ompung na
bao, serta tidak lupa tardidi.[7] Tapi tak apalah yang penting aku senang !”.
O, betapa waktu itu kisahmu seperti Musa
yang dininabobokkan di permukaan sungai Nil. Hanya saja mungkin kau tidak tahu
bahwa Musa diselamatkan dari Fir’aun yang dzalim. Sedangkan kau hanyalah anak
diluar nikah yang dicampakkan demi nama baik keluarga. Menyelamatkan nama baik.
Puih !
Kisahmu sangatlah menyedihkan. Setelah kau
menanjak besar, Inangmu yang sebatangkara bermakam pula di sungai. Di bunuh.
Dan mayatnya dicampakkan ke sungai terbenam di bawah tumpukan sampah yang
membusuk.
Ketika Inang dan kau mencuci di sungai
yang berwarna keruh. Seperti waktu ditemukannya kau dulu. Di sekelilingmu
detik-detik waktu mengurai sepi. Hanya satu dua orang yang terlihat membuang
sampah dari atas jembatan. Atau anak-anak yang berlari terburu-buru hendak
membuang kotoran, sementara saudaranya berendam beberapa meter saja, selebihnya
sunyi. Ketika matahari tepat di atas kepala tinggallah kalian berdua, setelah
seorang perempuan tua mengambil air dari sungai untuk dimasak.
Mula-mula kau tidak begitu curiga, ketika
dua orang pemuda, yang biasa mengajakmu bercanda bagai orang dewasa, mendatangi
Inangmu. Mereka berbicara berbisik sambil melirik penuh birahi padamu.
Tiba-tiba kau melihat Inang berdiri,
sambil memaki, membentak kedua pemuda itu. Memukuli mereka dengan kain cucian
bertubi-tubi.
“ Apa bisa kalian, ha !?. Kalian hanya
pengamen jalan dan juga pemulung. Usia kalian pun masih belum cukup. Mau kalian kasih makan apa anakku, ha ?!”.
Kau begitu ketakutan ketika pukulan
bertubi-tubi Inangmu dibalas dengan tusukan sebilah pisau, tepat di jantung
Inangmu. Seketika Inangmu roboh. Darahnya mengalir sampai ke sungai menambah
pekatnya permukaan sungai. Tidak sampai di situ saja, tubuh renta yang sudah
tidak berdaya itu dicampakkan begitu saja ke sungai tepat terbenam di bawah tumpukan
sampah yang membusuk. Di saat itu pulalah kedua pemuda itu pergi begitu saja,
setelah menuntaskan hasrat kelelakian mereka padamu.
Sakit yang luar biasa dari robeknya
keperawananmu tidaklah begitu kau rasakan. Tapi luka di hatimu cukup dalam,
melihat Inang yang terbenam tanpa nyawa tanpa kau bisa berbuat apa-apa. Hatimu
remuk redam. Usiamu masih begitu belia ketika itu, tujuh belasan, dan
begitulah, kesakitan yang dirasakan dengan mengalirnya air dari sungai
matapolosmu itu, mencabik-cabik jiwamu, meninggalkan luka yang menahun, bahkan
sampai saat ini ! Seandainya saja rasa perduli dan bertanggungjawab terpelihara
baik, maka mungkin suatu permasalahan tidak terjadi dengan begitu buruk,
seandainya juga disertai dengan rasa kasih sayang atas nama kemanusian.
Seandainya saja kedua orangtuamu
bertanggungjawab. Seandainya saja Inang tidak terbunuh. Seandainya saja
pembunuh itu diberi ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Atau seandainya
saja limbah sampah tidak menumpuk busuk. Dan seandainya Saodah tidak segera
hadir, dan tidak pernah hadir. Ternyata hanya sekedar berandai-andai saja,
mimpi menyulam daur kehidupan yang penuh jebakan rahasia. Membentang pada
sungai yang dipenuhi limbah sampah yang menumpuk busuk dari Pabrik, Restauran,
Hotel, Plaza dan pemukiman penduduk. Ternyata masih ada setetes harapan. Sungai
yang kotor itu tidaklah lebih kotor dari sungai hati manusia yang paling hina.
Dipenuhi limbah iri hati. Dicengkram sampah nafsu serakah. Dan minus jernihnya
kasih sayang. Aroma polusi
hati menghantui di sana-sini. Tapi, tidak di hati Inang. Bukan di hati Saodah.
Tidak pula di hati Opung. Apalagi di hati Tiur.
************
Aroma bau itu semakin pekat menebar, ke
berbagai arah hembusan angin. Tidak lagi ketika matahari hanya berada tepat di
atas kepala. Tapi juga dari terbit hingga terbenammya. Menebar bersama derasnya
alur aliran sungai yang melintasi bawah jembatan. Membawa tumpukan sampah yang
membusuk. Menghanyutkan bangkai kotoran kemana-mana. Bersama pekatnya berbagai
limbah, semakin menghitam, menebarkan jubah kematian ke berbagai pelosok
kehidupan. Dari balik jubah itu, jari jemari menghunuskan kuku-kuku hitam dan
tajamnya, memanjang, mencengkram, menghadirkan hawa kematian …..
Dan
cengkraman itu tidak mampu menghunjamkan kuku-kuku tajamnya ke tubuh Saodah dan
Tiur yang saling berpelukan. Juga Opung yang tak henti-hentinya menyenandungkan
nyanyian kehidupan. Bersama aliran sungai yang masih menawarkan setetes
harapan.
[1] Ampunkan aku ibu
[2] Mandi pada acara Pengantin adat Melayu,
kadang dilakukan di tepian sungai
[3] Sebuah upacara pembuktian keperwanan pada
adat Melayu
[4] Ucapan makian khas Medan
[5] Panggilan untuk perempuan (bahasa Batak)
GARIS PUTIH PUTUS – PUTUS
Maulana Satrya Sinaga
Jalan pulang yang sangat jauh. Saya
memutuskan untuk tidak pulang. Tidak juga memikirikan rasa-rasa cemas orang
yang menanti saya di rumah. Kadang, jika saya
malas. Keterlambatan adalah hal yang paling mungkin saya lakukan untuk
mengalihkan bahwa saya tidak ingin pulang. Saya tidak tahu mengapa orang-orang
di rumah lebih suka menghabiskan waktu di depan televisi, di dapur, atau berkutat
dengan mobil tuanya. Ialah adik saya, ibu dan ayah. Saya juga tidak menyangka
kenapa mereka diberi mulut yang suka menghentak. Saya baru merasakan perasaan ketika jauh dari
mereka. Ketika jalan yang saya lihat di belakang begitu jauh lagi berkelok.
Belum lagi terowongan yang menurut saya adalah perjalanan yang sambung-menyambung.
Warna-warna putih pemotong. Saya senang
berjalan di tengahnya. Saya senang kiri dan kanan dapat terpisah hanya dengan
garis ini. Lalu, bisakah di rumah pembatas kami tidak dinding ? Melainkan hanya
garis putih putus-putus ini.
Sudah malam. Pohon pinus kuning terang.
Kunang-kunang berpacaran. Saya tidak tahu apa yang saya tuju dan bagaimana
tempat itu. Apa di sana ada rumah yang
pembatas ruangannya bukan dinding. Melainkan hanya garis putih putus-putus. Apa di sana juga akan ada tiga
orang yang berkata.
“ Kau sudah makan, kau harus istirahat,
jangan pulang terlambat !”.
Akh, maaf. Saya selalu saja membayangkan
kejadian ke depan. Padahal itu belum tentu sebuah kepastian.
Gelap. Saya suka gelap. Maka dari itu,
sering saya pecahkan lampu kamar. Tiap kali mereka mengganti. Kebiasaan yang
dilakukan berulang-ulang membuat bosan. Hingga mereka menyerah dan membiarkan
kamar saya dengan warna yang saya sukai. Hal yang paling saya benci adalah
ruang makan. Mereka tidak mengetahui satu butir nasi itu adalah darah yang
amis. Mereka sesuka hati menyisakannya.
Saya pernah melihat disebutir nasi ada gambar seorang lelaki yang
bersedih. Ia gagal panen dan anaknya tidak dapat Sekolah, istrinya
meninggalkannya lalu Ia memilih mati. Dari itu, ketika semua tertidur. Saya
memilih berdua dengan sepiring nasi di sudut dapur lalu melahapnya tanpa
basa-basi. Saya tidak ingin ada yang bunuh diri lagi.
Belum cukup jauh untuk berhenti. Meski
urat di kaki saya telah keluar dan panas di telunjuk-telunjuk. Saya tidak
berniat membuka sepatu karena jalanan ini sangat dingin. Seperti ada mata-mata
paku yang kapan saja siap menikam saya. Atau hanya perasaan saya saja ?
Perasaan ? Apa saya mempunyai perasaan.
Apa itu perasaan ? Jadi, saya tidak berani-berani memastikan. Belum, belum
cukup jauh. Mereka masih dapat memanggil Polisi untuk mencari saya dan bila
belum cukup jauh mereka pasti akan sangat mudah menemukan. Terlebih saya
berjalan lurus. Bagaimana kalau berbelok ? Akh, tidak. Saya belum mau mati
dengan jurang di kanan-kiri.
Dari tadi hanya ada klakson dan makian
dari para pengendara. Tapi, telinga dan tubuh saya tidak panas. Jadi kenapa
orang sering menyimpulkan hal semacam itu dapat membuat panas dan memacu amarah
? Berarti saya tidak marah. Saya sangat suka berjalan di tengah. Di antara
garis putih putus-putus ini. Mengapa mereka begitu mudah berkata kasar ? Apa
semua manusia sama. Sama seperti perkataan bapak kepada ibu dan perkataan adik
kepada saya. Mengapa mereka tidak dikutuk jadi pohon. Biar tenang, dan diam.
Hanya ada suara jangkrik atau kepak sayap kunang-kunang. Inilah yang membuat
saya tidak merasakan sepi padahal sebelumnya saya sangat suka sepi. Seperti
mati.
Semakin gelap. Angin makin kencang. Apa
pertanda hujan ? Kata mereka saya tidak boleh terkena hujan. Apa saya berteduh ?
Di lorong yang baru saya lewati. Tapi, itu telah lima kilometer ke belakang.
Apa di depan masih ada lorong lain ? Apa, saya masih mendengarkan perintah
mereka ? Apa saya harus menuruti ? Kalau begitu, untuk apa saya berjalan sejauh
ini ? Saya melanjutkan perjalanan. Toh, hujan hanya campuran awan, angin dan
petir.
Kesempatan adalah waktu yang tepat. Ketika
supir pribadi telat menjemput, saya pergi menuju arah bertolak belakang dengan
rumah. Arah ke mana saja keangka dua
belas. Hingga sampai di tempat ini, jalanan panjang di atas bukit. Entah,
berapa bukit yang harus saya tualangi lagi. Setidaknya saya belum berkeringat.
Biasanya itu tolak ukur kelelahan.
Semoga di depan sana tidak ada Sekolah
yang seperti neraka
Neraka ? Ya, saya tau neraka. Neraka itu
panas dan di dalamnya banyak orang-orang yang tersiksa. Panas, karena saya
sering disiram secangkir susu panas. Maaf, maksud saya enam cangkir karena enam
orang pula yang melakukannya. Atau, saus yang disiram di atas kepala. Saya
tersiksa. Guru-guru di sana seperti manusia serigala dimalam purnama. Mereka
akan mengaung-gaung dikala saya tidak mengerti pelajaran dan tidak bertanya.
Menurut saya, untuk apa pertanyaan bila yang saya tidak mengerti apa yang saya
pertanyakan. Tidak ada tempat saya mengadu selain Jenny. Jenny yang paling bisa
membaca surat hati saya. Dia sering menyuapkan roti di mulut saya dan mengelap
air yang keluar dari hidung saya. Jenny akan sangat panik bila air yang keluar
dari hidung saya memerahkan sapu tangannya. Geraknya terlihat bingung memanggil
Guru lalu diteruskan ke orang tua saya. Setelah itu, saya akan berbaring di
tempat tidur selama beberapa hari dan hal yang
paling membuat saya sedih bukanlah sebuah kebosanan tapi saat jauh dari
Jenny. Andai saja saya sempat mengajaknya pasti saya tidak sendiri melakukan
perjalanan ini. Tapi, tidak. Saya tidak mau berandai-andai yang menyakitikan
Jenny. Pasti, Ia akan dimarahi orang tuanya atau bahkan dipukul karena melarikan
diri dari rumah. Satu jam Ia telat pulang. Satu pukulan yang diterima. Apalagi,
berjam-jam ? Akh, tidak. Saya tidak mau membayangkan dan menghitung sakitnya
Jenny.
Jalanan mulai lenggang dan tenang. Orang
memulai bermimpi di rumah masing-masing. Jika begini, sudah tentu. Makin
sedikit saingan untuk melakukan sesuatu, terkadang bisa berbuat tanpa ada yang
mengawasi dan sesuka hati. Contohnya adik saya. Bila malam, saat saya ke dapur
saat berjumpa dengannya, Ia selalu tak terkendali.
“ Hey, kau. Apa yang kau lakukan ? Kau
mengganggu acara seruku dengan jalanmu yang berisik !”.
Padahal bila siang. Ia tidak pernah
mengeluh saat saya lewat di belakangnya ketika Ia menonton TV.
“ Ti ... tidak. Ti ... dak ada !”.
“ Akh ... sudah hentikan gagu ! Kau malah
merusak telingaku !”.
Dia, bangkit. Lemak-lemak dari perutnya
bergoyang dan “ Plak ” satu tamparan di pipi kanan saya membuat warna yang
tidak saya sukai.
Dari jauh. Dari kelokan gunung-gunung.
Dari bawah, saya melihat
cahaya yang melaju cepat dan kencang. Itu sebuah mobil yang mirip dengan mobil ayah. Cahaya itu makin dekat sangat dekat
hingga saya dapat membaca ; grand cruiser.
“ Hey, Minggir !”.
Saya diam. Tidak cukup waktu untuk
menghindar dan menyeret kaki kananku ke pinggir jalan. Dan cahaya itu sangat
terang.
Saya membuka mata, mobil itu kini persis
tepat di hadapan saya. Tiga orang keluar. Saya kenal wajah mereka. Saya tidak
mau pulang. Saya berlari.
Entah ini, bisa dikatakan berlari atau tidak karena lari saya sungguh-sungguh
sangat lambat dari yang saya bandingkan dengan orang-orang. Keyakinan kuat
untuk pergi sejauh mungkin. Tapi, tadi saya sedikit bimbang karena mata teduh
ibu benar-benar menarik langkah saya. Mereka terus mengejar. Mereka mencoba
menarik bahu saya. “ Brug ” saya terjatuh. Mereka mendapatkan saya. Memegang
kuat tangan saya. Saya benci tempat pulang.
Mereka memegang saya namun bagaimana bisa
saya terus berlari. Berlari di antara garis putih putus-putus. Terus-terus
tinggi. Saya melihat di sana ada rumah-rumah yang transparan. Rumah dengan
pemisahnya bukanlah dinding. Melainkan hanya garis putih putus-putus. Ada
seorang yang menyambut saya dengan tersenyum. Seorang yang wajahnya datang
bersamaan cahaya terang dari mobil tadi. Ia mengulur tangan. Saya menyambutnya.
Saya melihat ke bawah, tubuh saya sedang
di tangisi oleh ibu, bapak dan adik. Tunggu ? Tangis ? Bukankah tangisan
mengartikan bahwa sedih kehilangan orang yang disayang ? Apa mereka sayang pada
saya ? Apa saya dapat kembali lagi ?
CITA-CITA DALAM KEPINGAN MOZAIKKU
N.
S. Satria
Ketika malam
memadu rindu dengan rembulan yang dikawal erat oleh bintang-gemintang yang perkasa
membuat takjub rusuh pucuk-pucuk ranting kering tanpa dedaunan yang menemaninya
kala sepi dan senang dan sesekali disentil oleh angin yang lewat seakan
mengedipkan matanya, tak bisa berkata apa-apa sang ranting takjub melihat
indahnya rembulan di sana. Seakan semuanya senyap. Dalam ruang kamarku yang
kecil terlempar mataku keluar jendela memandangi bulan yang malam ini sungguh
indah dengan mencuri-curi pandangan dari balik tirai ranting kering.
Badan yang letih lagi lelah
kurebahkan di atas tempat tidur sambil membuang pandangan mata keufuk daun
pintu yang tertutup erat. Setelah puas memandang bulan dengan penuh warna
senyuman yang menggoda peminatnya dibawah langit gelap yang terpatri awan.
Pandangan yang kubuang kedaun pintu hanyalah pandangan kosong yang tak tahu
lagi harus kemana tertuju. Dalam pandangan itu yang terpikir dibatinku hanyalah
satu jadi apa aku setelah lulus Sekolah ?
Dalam khayal-khayalku memikirkan
ingin menjadi apa setelah lulus Sekolah karena sekarang aku duduk di kelas XII
Jurusan IPA 1. Bukan main. Dalam khayal-khayal itu banyak terlintas dibenakku
sembari kedua bola mata sudah tak sanggup lagi menahan kantuk yang teramat
sangat, tapi karena memikirkan hari esok yang akan dinanti, mata ini seakan
tahu mauku. Cita-cita yang terlintas dibenak ini kulempar keluar memantul
dinding yang menghadap pas didepanku
yang berbaring di atas tempat tidur.
“ Aku ingin menjadi pi ...lot ?
Pilot. tidak-tidak, jangan pilot. Jangan !”.
“ Atau aku mau jadi Guru saja
seperti Ayahku. Hemm. Mungkin khakh ... confuse, confuse ... !”.
“ Le ..bih baik, jadi pe ... penu..
lis saja. Ya itu tadi penulis ?”, mataku pun terpejam sudah terbawa melodi
mimpi berharap menjadi bunga tidur. Lelap.
***
Pagi kembali muncul kepermukaan
untuk menutup malam sementara waktu dengan bermerkarnya sejuta bunga-bunga di
taman hatiku untuk cita-cita yang terangkai belum sempurna, seperti
potongan-potongan mozaikku yang harus dikumpul menjadi satu dan menyusunnya.
Bertepatan di pagi yang cerah ini adalah hari senin dan bertepatan juga Upacara
Bendera dilaksanakan, seperti biasanya di lapangan Sekolahku. Semua siswa
berbaris rapi di dengan seragam yang sama. Bagi laki-laki berpakaian muslim
kemeja dengan baju putih dan celana biru abu-abu dan mengenakan kopiah, bagi
siswa perempuan mengenakan pakaian muslimah yang pakaiannya menutupi lutut
hampir kemata kaki. Dalam upacara yang dipimpin oleh Bapak Kepala Sekolah
memberikan wejangan-wejangan kepada seluruh siswanya yang hadir untuk terus
belajar dan belajar, termasuk juga kami yang sudah duduk di kelas duabelas dan
sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir. Aku yang berdiri dibaris nomor tiga
mendengarkan dengan hikmat apa yang dikatakan bapak Kepala Sekolah walaupun di
sana-sini suara siswa keluar tak menentu seperti jeritan lebah mencari ratunya
yang hilang.
“ Anak-anakku semuanya .... !”, ucap
Bapak Kepala Sekolah dengan penuh wibawa.
“ Sebentar lagi kalian akan
mengahadapi ujjian semester ganjil. Tak sampai beberapa minggu lagi kalian akan
menghadapi ujian semester. Bagi kelas tiga ....
“ Dengarkan ... dengarkan saya.
Dalam ujian semester ganjil inilah kalian akan menentukan masuk jalur undangan
ke Universitas Negeri mana yang kalian mau. Dan juga beberpa bulan lagi ujian
Nasional akan kalian hadapi juga. Maka rajin-rajinlah belajar, jangan dulu
kalian kelas duabelas ini betingkah. Baik itu pacaran, memakek lem dan
lain-lain yang membuat kalian gagal nantinya ... !”.
Setelah upacara selesai semua siswa
bubar termasuk juga aku untuk memasuki ruang kelas. Suasana kelas seperti biasanya,
bila Guru belum masuk pasti ribut dan ada saja pekerjaan yang dikerjakan olehku
dan teman-teman yang lain. Ada yang menghapal, ada yang menyapu, ada yang
berjumpa langsung berpelukan, dan bahkan ada yang mengerjakan PR.
Wajahku pagi ini sangatlah kusut
karena kekuarangan tidur untuk memikirkan inign jadi apa aku nantinya. Dengan
mata masih setengah sadar dan setengahnya lagi ingin tidur, walau seperti itu
aku tetap tersadar untuk mendengarkan Guru dalam menjelaskan pelajran Kimia.
Mata yang letih tak terperikan ini terkadang kucoba untuk memejamkannya tapi
hanya sekejab untuk dapat menangkap apa yang diajarkan oleh Guru Kimia.
“
Oke ... anak-anak udah ngerti. Kalau belum ngerti coba tanyak sama ibu. Tanyak
nak atau juga boleh berdiskusi pada teman kalian yang pandai. Ayo nak ada yang
ingin bertanya ?”, ucap ibu Guru setelah selesai menjelaskan materinya pada
kami.
Tapi
kami hanya diam seolah sudah menerti, padahal belum mengerti dengan banyak yang
dipikirkan dalam imajinasi.
Membuatku yang duduk disudut
termenung memandangi tulisan-tulisan di atas bukuku. Aku memandangi
tulisan-tulisan imut itu bukanlah karena ingin mengupasnya supaya aku menjadi
pandai pelajaran Kimia, tapi karena aku masih memikirkan cita-cita yang masih
berupa mozaik-mozaik kecil belum tersusun. Dalam ketermenungan itu membuatku
ingat pertama kali mengapa aku ingin memilih jadi penulis, kenapa tidak jadi
yang lain. Kejadian itu terjadi saat aku duduk dikelas sebelas dan Guru Penjas.
Guru yang mengajarkan pelajaran
Penjas itu pernah memberikan sepatah dua patah kata yang masih terngiang-ngian
ditelingaku.
“ Jika kalian sudah terkena cipratan
air lebih bagus kalian basah sekalian, yang artinya, jika kalian menggeluti suatu hobi secara
serius, maka seriuslah hobi itu !”.
Ucapnya
sambil berjalan perlahan di depan kelas dengan intonasi nada rendah dan tinggi.
Membaut kami hanya bisa mengucap oow.
Ucapan itulah yang menjadikan modal
awal untuk gambaran cita-citaku yang akan kusangkutkan di atlar ilmu.
Ucapan yang hidup, penuh makna karena
sejak SMP aku senang dengan puisi dan di Sekolahku sekarang, saat kelas sepuluh
seorang Guru Bahasa Indonesia.
Guru ini adalah seorang penulis
berbakat, banyak karyanya berupa Puisi dan Cerpen terbit dikoran tersohor dan
bahkan sudah terbit bukunya untuk Kumpulan Puisinya yang indah-indah. Sungguh
hebat di mataku. Pak Guru itu suka melihat murid-muridnya mempunyai hobi yang
sama seperti Dia, selalu diberinya dorongan bagi murid-murid untuk dapat
membangkitkan imajinasi tertinggi dalam merangkai kata-kata Puisi. Bahkan pada
saat itu, ketika aku masih bingung dalam menyusun kata untuk dituliskan ke
dalam Puisi diberinya saran terbaik agar aku bisa menuliskannya.
“ Sakti. Kalau menulis Puisi
usahakan bermain dengan kata-kata indah. Kalau akhirannya ‘i’ maka larik
selanjutnya adalah ‘i’ juga, akan indah dia jadinya kalau dibaca !”.
Bahkan juga kami diberikannya sebuah
saran untuk mengetik Puisi dengan rapi dan menulis biodata lengkap termasuk
juga Nama Pena. Setelah itu naskah kami akan dikirim dalam suart kabar
mingguan. Bukan main bagusnya.
Sejak itu aku menggeluti Puisi,
dengan banyak kekuranganku dalam menyusunnya menajdi menarik. Dan setelah itu
buku-buku banyak yang sudah kubaca dalam ingatanku. Mulai dari novel sampai
cerpen. Dan sedikit gambaranku tentang penulis adalah hidup penuh kata-kata
yang terbentang di alam dan disusun rapi ke dalam lembaran-lembaran kertas
untuk dijilid rapi dengan cover mempesona dan menawan hati, serta dapat tersaji
bagi pembaca yang menyenanginya.
Dan waktu kelas duabelas, tonggak
hidupku sedikit terarah untuk mulai hidupnya jiwaku menjadi Penulis, dengan Pak
Guru berencana membuat sebuah buku kumpulan Puisi dengan mengajakku dan temanku
– temanku unutk melengkapi Puisi dalam buku. Kami bertiga ditugaskan membuat
tiga buah Puisi dan kami buat Puisi-puisi itu sesuai harapan yang diinginkan.
Dan ketika kuberikan Puisi sesuai dengan permintaan, terjadi keheranan dalam
melihat kata-kata yang ada dalam Puisi itu dan mengatakan bahwa Puisi itu
sungguh bagus bahkan timbul rasa ketidak percayaan
Aku masih larut dalam renungan ingin
menjadi apa setelah lulus nanti dalam rernungan itu, terjadi sektiar sepuluh
hari yang lalu. Kami satu kelas sesumbar dengan cita-cita kami masing-masing
dengan tidak mempedulikan pekerjaan orang tua yang rata-rata berpenghasilan
minimum. Tapi kami tidak hiraukan itu semuanya kami anggap kami ini bisa
menggantungkan potongan mozaik kami di atlar ilmu kami masing-masing. Ada yang
ingin menjadi Guru, lantang ia berkata.
“ Woi ... aku mau menjadi Dosen. Ha
.... ha ... ha !”, ucap Unah sambil tertawa-tawa.
“ Akh. Kau mau jadi Dosen, aku tak
kau tannya jadi apa .. Aku jadi Perawat. Hebat, hebat, hebat !”, celoteh Azhari
tak mau kalah.
“ Kecil ... oh Azhari jadi Perawat.
Aku lha jadi Dokter Gigi !”, sambung Mudafir ikut heboh.
“ Baru itu ... aku mau ke
Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, jauhkan. Abahhhh !”, tambal Nico sobat
karibku dengan menggebu-gebu.
“ Aku, aku mau jadi Polisi, bhaaaa
... !”.
“ kau Sakti, mau jadi apa ?”,
sambung ketua kelas kami Budi.
Ragu aku ingin
menjawab apa. Mulutku hanya terbuka tapi tak satupun keluar kata-kata seakan
terkunci rapat. Tapi karena aku ditanya tidak enak juga jika tak dijawab.
“ Aku ... ditanya mau jadi apa ... ?”.
“ Jadi pe ... penulis ... ya !”,
jawabku hambar tak menimbulkan kelucuan dan membuat mereka bingung saling
berpandangan.
Kejadian-kejadian itu membuatku
terus teringat dan menyadarkan jasadku dalam lamunan karena tanpa disadar bel
pelajaran Kimia berakhir dan membuatku tersenyum sendiri seperti orang gila,
membuat teman sejawatku Nico terheran melihatku.
“ Sak ... napa kau. Sadar kau
lagikan ?”.
“ Oii .. !”, jawbku singkat sambil
menyunggingkan senyuman padanya.
Dan
saat itu juga kukumpulkan potongan mozaik cita-citaku dan terikrar di dalam
hati kecilku.
“
Aku ingin menjadi seorang Penulis !”.
TITIK AKHIR KEKAGUMAN
Rabbany Sinamo
Aku
masih ingat dengan jelas pagi itu, cerita indahku dalam hidup dan salah satu
bagiannya yang tercipta. Ya, indah memang yang kurasa setidaknya itu menurut nalarku.
Awalnya dari kediamanku yang tak jauh dari pelataran kebun hijau, aku berjalan
pagi bersama teman kecilku yang tak lain adalah adinda buah cinta dari ayah
bunda. Kugandeng tangannya sambil bercerita tentang nama-nama yang terlihat dan
kuberi makna. Pengharapanku begitu memuncak untuk dinda yang mungil, tentang
hidup yang baik dan harus Dia dapatkan kelak saat dewasa.
Pagi, memberikan sejuk dan indah yang sangat
berarti bagiku dan teman kecilku itu. Bagaimana tidak, tetes embun menyapa
langkah bersama dan Dia menyegarkan nadi, kicauan burung memberikan dinamika
suara yang bercampur aduk dengan riakan air sungai jernih yang tepat berada di
belakang rumah keluargaku. Juga berbaur suara sapaan orang yang memberi suasana
ramah yang tercipta dengan nyata.
Seorang
kakek yang sudah menunjukkan lebatnya uban di kepala, Dia adalah kakek kami. Dia bertaya dengan
jelas kepada kami.
“
Cucuku mau kemana ?”.
Sejenak
adik kecilku menjawab.
“
Aku dan kakak sedang menikmati indah pagi ini kek, jalan-jalan. Kakak mengajariku tentang nama dan maknanya,
aku senang kek !”.
Aku tersipu
kagum dengan lontaran jawaban dari mulut mungil teman kecilku.
Kesederhanaankatanya menjawab mengandung syarat dengan makna pelangi yang
memancarkan warna elok. Aku tidak ingin berkata itu dalam keberhasilanku
mengajari makna, tapi yang ingin kukatakan cukup terimakasih pada Tuhan. Engkau
dengan keagunganmu memberi anugrah tak terbatas pada teman kecilku.
Terimakasihku juga untuk ayah dan bunda yang tanpa lelah memberi makna tak
terbatas kepadaku dan teman kecilku. Setelah sedikit saling berlontar kata,
kamipun melanjutkan kembali langkah dengan perlahan dan seksama. Kekagumanku
semakin memuncak lagi, kala Dia berkata kepada ku.
“
Kakak, kelak aku besar nanti aku ingin
menjadi seorang dokter !”.
Lalu
aku bertanya.
“
Kenapa harus jadi dokter ?”.
Dia
menjawab dengan kepolosan dan kata sederhana.
“
Kalau Dinda jadi dokter, Dinda akan menyejukkan sakit, Dinda ingin hadirkan
kedamaian atas keterbatasan, Dinda ingin tanpa pamrih memberi kebaikan, Dinda
ingin selalu hadir untuk cinta !”.
Hatiku
sontak berucap.
“
Maha Suci Tuhan yang menghadirkan sosok kecil ini di tangah keluargaku !”,
sembari aku mengusap-usap kepala dengan rambutnya yang panjang.
Kutatap
matanya dan kulontarkan senyum untuknya, aku berkata dengan kecintaan
kepadanya.
“
Wah …, hebat ! kakak, ayah dan ibu pasti bangga dengan keelokan dan perangai
sejukmu, Dindaku pasti bisa untuk itu !”.
Dia
tersenyum manis dan berkata.
“
Terima kasih kakakku yang baik hati, perpisahan sedetikpun dengan kakak akan
begitu menyakitkan bagi adikmu yang imut ini, hehehe ….. !”, sambil tertawa
renyah.
Setelah
menikmati pagi yang sejuk kami kembali ke rumah. Sesampainya di sana, aku rangkai cerita
tentang kami kepada ayah bunda tentang pagi. Terlihat dari raut wajah ayah
bunda terpancar rona bahagia dan bangga tampak akan keakraban kakak beradik.
Hingga malam menjelang kami sibuk dengan keseharian di rumah. Kami asyik
merangkai cerita tentang kehidupan yang pantas, tentang evaluasi historis yang
telah berlalu dan banyak hal lain. Keluarga ini memang indah dan keindahannya
karena kami pribadi yang suka keindahan itu semua. Ya …, setidaknya itu
menurutku melalui nalar sederhana.
Malampun
semakin menunjukkan pekat.
“
Adik bobo duluan ya !”, itu katanya tepat pukul 22.13 di malam senin itu.
“
Iya Dindaku !”, kujawab penuh dengan pengharapan.
Pengharapan
semoga esok pagi semakin indah disisinya, adikku.
Pukul
23.00 aku hampiri Dia dengan tidurnya yang lelap hingga kupejamkan mata dengan
awalan doa pada sang pencipta tepat disampingnya. Aku tau adikku juga berdoa, karna aku telah
membimbing demikian rupa.
“
Kakak ... kakak … kakak !”, kata-kata itu berulang-ulang Dia ucapkan.
Ohh
.., ternyata Dia mencoba membangunkanku dari lelap. Yap … aku terbangun
sekejap, tepat pada pukul 04.00.
“
Iya kenapa terjaga dari tidurmu dik ?”.
“
Aku bermimpi kak, kakak bersanding dengan ibu Guruku yang baik hati !.”
Hahahahaha, ternyata Dia bermimpi aku bersanding dengan Gurunya yang masih
gadis dan rupawan wajahnya, sampai bidadari perangainya. Teman kecilku ini
memang sering merangkai cerita tentang Gurunya itu kepadaku. mulai dari caranya
berdiri, duduk, hingga hal terkecil sekali. Mereka memang cukup akrab. Kuakui
aku memang kagum pada ceritanya termasuk pada bidadari yang didalam kisah, tapi
engganku selalu pada puncak hingga tak pernah kuutarakan terhadap siapa. Aku
tersenyum tersipu membayangkan sosok Guru yang baik hati serta rupawan.
“
Ehem …. Ehem …., kenapa senyum-senyum ?”, seru adikku tiba-tiba.
Aduuh
…, malunya aku kedapatan tersenyum tersipu.
“
Ihihihihi …, kepikiran ya sama bu Guruku ?”, celetohnya lagi.
Dan
subuh itupun kami sibuk kembali merangkai cerita dan mimpi, topiknya terfokus
pada sang ibu Guru. Adikku mengakui kalau Dia sering menceritakan tentang
sosokku. Eh …, ternyata sang bidadari juga merasakan hal yang sama, itu
pengakuan adikku dan aku percaya sepenuhnya. Ohh,, ternyata selama ini adikku
dan segenap upaya bersatu untuk mempersandingkanku dengan Gurunya. Gayung
bersambut sudah, adikku dengan cara sederhanya membuat sang guru sama rasa.
Semakin aku kagum saja dengan teman kecilku ini, seolah Dia tau tentangku
semua. Hingga pada akhirnya aku dan sang gadis bidadari jiwaku duduk bersama
atas cara sederhananya juga. Tapi, aduhh …, aku tak sanggup berkata-kata, bibirku
beku meski aku sang perangkai makna yang tak pernah kehabisan kosa kata,
apalagi beretorika cinta. Itu kan
kegemaran dalam kemahiranku. Oooww, aku tersadar bahwa ini yang namanya cinta,
saat peran hati menjadi lebih dominan maka terpatahkanlah logika. Jadinya buta
dalam berkata, nan seolah tenggelam resonansi
tuk bersimponi hingga buta dalam
berbuat, buta sepenuhnya bersebab cinta. Aku memang tidak percaya dengan kata.
“
Cinta itu buta !”, hanya saja cinta memang sering kali mematahkan logika, dan itu
yang kualami sesungguhnya. Singkat cerita selanjutnya aku dan hari-hari bersama
berdua.
Hari
banyak terisi oleh sang bidadari tercinta dan teman kecilku, hingga pada
akhirnya aku dan bidadariku bersanding di pelaminan. Ya, tepat pada tanggal
lahir sang bu Guru itulah hari pernikahan dua insan hati, tahun lalu.
Kisah
pernikahan itu kisah indah berangkai kisah terperihku. Betapa tidak, tepat
dihari pernikahanku dengan sang ibu Guru, Dindaku yang imut meniggalkan dunia
fana ini, ternyata kata pisah yang Dia pernah lontarkan, Dia pula yang
menyematkannya, berakhir sudah kebersamaanku dengannya. Hari itu memang yang
sangat tersulit bagiku, saat aku bahagia dengan sandinganku, luka tak
terterjemahkan menyapaku akibat dari sebab perginya teman kecilku dan tetes air
mata tak terbendung lagi. Eloknya kata menghiasi rupa-rupa waktu kebersamaan.
Ini penggalan kisah hidupku. aku sadar bahwa cinta, bahagia, perih, air mata
atau apapun itu disediakan Tuhan untuk kulewati bukan untuk kuhindari.
Akhir
kisahku dengan teman kecilku semakin membuat hatiku kagum. Sebab iringan kata
dalam hidup menuai sahaja di jiwa. Seiring berjalan waktu, kusebut ini satu
titik akhir kekagumank, di mana Dia tinggalkan untukku kebahagiaan bersanding
dengan bidadari, seolah Dia tahu hidupnya akan singkat dan Dia tinggalkan
kenangan untukku. mungkin juga sebagai pengganti teman menjalani hidupku dengan
cerita dan posisi berbeda. Selamat jalan Dinda, untaian terimakasihku untukmu
tak berbatas atas apa yang pernah kita lewati, bidadari yang disampingku akan
senantiasa menjadikanmu sebagai bunga berantai mahkota laksana penyebab cinta
kami bersatu tentu itu dengan ijin Tuhan.
Aku
pun tak ingin membendung air mata karena kepergianmu, sebab ini adalah pilihan
terindah bagimu. tapi aku juga tak ingin menyesali kepergianmu, sebab kasih
sayangku takkan meninggalkan memori yang
pernah terkanvas di genggaman hati kita berdua. Selain terlahir dari genggaman
rahim nan sepengaliran ikatan darah yang sama.
INSIDEN
BLOGGOER* dari WONG EDAN**
Ria
Ristiana Dewi
“
Para Blogger
mulai tersengat nafsu untuk lebih banyak bercerita !”. katanya padaku mulai
akan menceritakan tentang ayahnya yang sempat pula berperan atas insiden ini.
Saat
itu ayah dari kakekku menjabat sebagai ajudan Gubernur. Kata kakek, ayahnya
terkenal dengan julukan edan.
Menurutnya, julukan itu diterima dengan baik hati oleh ayah kakek. Entah apa
karena sang Gubernur yang sering memanggilnya Wong Edan. Julukan ini lantas diteruskan di seluruh kantor dan
menyebar entah ke mana-mana. Kata kakek, ayahnya sangat senang, sebab julukan
ini dianggapnya julukan kasih sayang sang Gubernur. Pasalnya, Wong
Edan suka melakukan hal edan
terkait masalah-masalah yang sering meletupkan popularitas sang Gubernur.
Awalnya, Edan suka sekali dengan
kegiatan terbaru yang pada tahun itu sedang hangat-hangatnya yaitu membuat
blog. Di dalam blog tersedia berbagai macam desain dan berbagai cara menarik
untuk sekadar menampilkan tulisan-tulisan kelahiran Edan. Awalnya hanya
coba-coba, lama-lama ketagihan. Tulisan pertama Edan hari itu adalah mengenai
sang Gubernur. Hari ini Gubernur turun ke
jalan, menyambangi anak jalanan. Gubernur menyalami mereka satu persatu dan
berjanji akan menyekolahkan mereka, agar tidak lagi berada di jalanan dengan
masa depan yang terbuang.
Komentar pertama yang kemudian
menjadi perbincangan tak kalah membuat heboh. Wong Edan, benar-benar Edan, tadi aku turun ke jalan, lah wong pak
Gubernur sekadar salam terus mangkat. Setelah komentar itu, langsung
ditanggapi dengan beberapa kebenaran, Ya
… Ya … itu memang benar. Buktinya tadi saya dikasi uang dengan pak Gubernur.
Masih dalam topik yang sama dengan orang yang berbeda, kapan diberi, wah saya kok tak dapa t? Sementara Edan belum
membalas komentar-komentar ini, masih berlanjut komentar-komentar lainnya, Ini Gubernur mana ? Kok baik sekali
Gubernurnya, apa sudah lupa kursi mewah, atau baru tersadar tentang nasib anak
jalanan, atau hanya ajang senyum sama dapat suara. He … he … he ….
Setelah beberapa komentar di atas,
Edan hanya menambahkan sedikit selintikan, pasti
pak Gubernur merasa senang dengan kritikan ini, dan ini menjadi aura positif
untuk perbaikan kinerja Gubernur di masa yang akan datang.
Tak ada komentar lagi, ternyata
semua terasa aneh bila membaca balasan komentar Edan yang tak mencerminkan Wong Edan. Padahal dengan jelas Edan
menamakan blognya :
WONG EDAN
DEMI SANG GUBERNUR
Kali ini, di hari lain yang
berjalan, Edan membuat kembali tulisan yang tak kalah heboh dari kemarin.
Sementara baru saja Dia melepas lelah, setelah seharian menemani Gubernur
keliling Provinsi. Pak Gubernur diharuskan memasang senyum setiap perjalanan.
Tentu saja ini membuat rahang di sepanjang pipi pak Gubernur merekah sepanjang
jalan. Tak ayal kalau akhirnya saraf-saraf di rahangnya menyerang kepala dan
memaksanya menyuruh Edan untuk memijit kepala pak Gubernur.
“ Dan … Dan … agak-agak pijitkan leher, Dan !”, perintah pak Gubernur masih
mencoba memeram mata seraya menikmati pijitan Edan yang benar-benar ahli.
“ Di mana lagi yang sakit Pak
Gubernur ? Apa kaki Pak Gubernur juga sakit ?”.
“ Ya, ya, bolehlah coba Kau pijitkan
!”.
“ Apa sudah lebih baik, Pak Gubernur
?”.
“ Inilah sebabnya aku memilihmu
sebagai asisten pribadiku, salah satunya karena Kau pandai memijit. Ha … ha …
ha … !”, bahak pak Gubernur menggema di ruangan.
Beberapa
pengawal di luar bergidik ikut tersenyum walau hanya sekuntum.
10
Oktober 2000, pak Gubernur kita yang baik hati harus mengorbankan rahangnya
yang pegal-pegal demi tersenyum untuk rakyat. Pak Gubernur katakan bahwa senyum
ini akan membuat rakyat merasa nyaman padanya dan pak Gubernur akan selalu
optimis dan tersenyum.
Kalimat itu lagi-lagi mengundang
banyak komentar dan kali ini lebih heboh dan lebih menarik minat orang-orang
untuk sekadar bergosip di dalam blog Wong
Edan. Bahkan Wong Edan
menambahkan sebuah foto Gubernur yang sedang tersenyum di hadapan para warga
miskin sekitar desa-desa pendalaman sepanjang Provinsi.
Kasian
pak Gubenur kita tercinta, pasti beliau kelelahan. Kali ini komentar
pertama tak terlalu memberatkan biarpun tak berpengaruh banyak pada
komentar-komentar selanjutnya di dalan blog tersebut. Beberapa orang
menambahkan emotion hingga membuat
semua aspirasi terasa lebih nyata dan jujur. Seorang pemimpin tak boleh mengeluh, pemimpin yang manja seperti ini
akan menjadi contoh yang buruk bagi rakyat. Tentu saja lebih banyak orang
yang setuju atas hal ini. Barangkali mereka yang kecewa akan gaji yang kian
mentok tak serupa dengan tingkah senyum sang Gubernur, tentu tak membawa pengaruh
apa-apa.
Senyum-senyum
saja gampang, tapi tolong nasib pekerja honoran diperhatikan, Pak ! Saya harus menghidupi istri dan anak. Saya
berharap Bapak perduli.
Suasana makin panas, Edan yang
mengetahui itu membiarkan saja semua berjalan, komentar itu akan menjadi
bumbu-bumbu yang nantinya mengelu-elu riwayat sang Gubernur. Bahkan komentar
terakhir berulang kali dibuat beberapa orang dan menjadi Hot News setiap kalinya di kalangan para blogger.
Pak
Gubernur tolong proyek rumah untuk warga miskin dipercepat sebab semakin banyak
warga miskin yang tak percaya. Mereka menganggap pemerintah hanya janji omong
kosong. Pemerintah hanya akan memperoleh keuntungan dari dana proyek, namun
nasib rakyat diselesaikan setengah hati.
Senyum
Gubernur tak sesuai dengan nasib rakyat, bagaimana bisa Gubernur bisa tersenyum
sementara rakyat menderita.
Yang lainnya masih terus menyambung
pembicaraan. Kali ini Edan yang tengah menyaksikan semakin bertambahnya
komentar-komentar tersebut, Meneguk air putih yang tersedia di atas meja
kantor. Dia tersenyum sendirian sebelum akhirnya pak Gubernur datang dari dalam
kantor pribadinya dan melihat Edan yang masih menikmati perbincangan para blogger.
Pak Gubernur tak seperti biasanya, Dia justru tampak mencermati
keasyikan Edan dan perlahan mendekat dari arah samping Edan, namun Edan masih
belum menyadari.
“ Wong Edan !”.
“ Ah … ya, pak Gubernur ?”, Edan
kemudian menyadari dan tampak di wajahnya terkejut bukan main. Dibiarkannya
saja laptop masih terbuka dan perlahan pak Gubernur mendekat, menatap lebih
jelas blog buatan Edan.
“ Ini apa, Dan ?”.
“ Ini … ini… !”, tergagap Edan
menjawab pertanyaan pak Gubernur seperti ada duri ikan tertinggal di
kerongkongannya.
“ Minum dulu Dan, minum !”.
Perintah pak Gubernur yang satu itu
justru membuat Edan membulatkan mulutnya, menatap pak Gubernur dengan rajutan
tanya di wajah. Lengkap sudah tulang ikan tertelan lebih dalam, Dia masih
meneguk kejut yang menjadi-jadi dalam kurun itu.
“ Edan ! Apa Kau buat itu, aku
melihat banyak tulisan tentang Gubernur. Aku itu Dan ?”.
“ I …, i … ya Pak ! Siapa lagi !”.
“ Berarti terkenal kali aku ya, Dan
!”.
Senyum
berbunga-bunga beriring dengan perkataan pak Gubernur. Edan masih tampakkan
mulut bulat di sampingya, dan tak lama Dia mulai bersemangat. Langsung
diarahkannya pak Gubernur untuk melihat-lihat blog tersebut. Sepanjang
pengamatan itu pak Gubernur terkadang menggeleng-geleng, tak percaya dengan
beberapa pendapat yang mungkin Dia berpendapat.
“
Tak dibayar kok mau obral
kepercayaan, lah yang begini ini yang tulus membela saya !”.
“ Bagaimana bisa ini Dan ? Kok Kamu tak bilang saya ?”.
“ Ah … pak Gubernuuurrr … !”, Edan
lagi-lagi menampakkan wajah malu-malu kucing, disambarnya tak sengaja tangan
pak Gubernur dan meletakkannya di kening.
“ Saya akan setia pada Bapak,
percayalah Pak !”.
“ Wong Edan ! Aku tanya dari mana
Kau dapatkan ide membuat blog ini ?”.
Edan langsung tersadar, dilepasnya
tangan pak Gubernur seperti membuang ranting patah, dan Dia mulai berlagak
serius memperhatikan laptop. Berputarlah Dia mendekat ke arah layar dan
dibiarkannya pak Gubernur memperhatikan pekerjaannya.
“ Lihat Pak ! Di sini saya buat blog
khusus dari saya kepada Bapak !”, katanya kali ini sambil melayang pandang
dengan mimik sungguh tajam. Dia mengkotak-katik blog dan menampakkan seluruh
isi. Sementara Pak Gubernur tampaknya menikmati adegan demi adegan tulisan
beserta para komentar yang tak lain dari para penggemar blogger. Mereka inilah yang mengisi banyak kolom lebar di jejaring
internet. Di jaman global yang baru dalam wajah pagi hari, seperti wajah awal
sinar menampakkan perkasanya, seperti sebuah tunas yang mekar di antara musim
semi yang terlampau menemani, kini jaman telah menguak pada tetas permukaannya.
Petasan jaman bersiar di langit milenium. Insiden bukan lagi soal lapangan,
tapi insiden dapat terjadi dalam dunia ‘maya’ sekalipun. Edan masih terus
tersenyum sementara pak Gubernur sudah manggut-manggut.Wajahnya merona seperti
anak kecil yang baru saja diberi permen. Tampaknya hari ini Edan berhasil tidak
hanya di dunia ‘maya’. Awalnya Dia diharuskan menguasai masalah seluk-beluk
teknologi ini, walaupun konon dahulu di Sekolah Menengah sekalipun Edan bahkan
tak mencicipinya. Syukurlah bangku kuliah hukum mengharuskannya menguasai ini
walau sekilas lampau, barang bukti dunia jejaring internet bukan lagi barang
baru. Harga internet memang masih terlampau mahal dan mampu membayar hanyalah
kalangan elite dengan segudang prestise. Ahoi, bukankah buah ini menjadi seluk
bagaimana penegak hukum mencari sasarannya, Di Amerika, konon dari salah satu
buku yang sering dibaca Edan akhir-akhir ini. Kenyataan Amerika butuh banyak
orang menguasai internet untuk melancarkan tindak tanduk menguasai situasi
lapangan musuh bukanlah sebuah barang baru. Edan terperangah membaca artikel
itu, Edan mangguk-mangguk seakan ingin mengerti walaupun Dia masih belum
sepenuhnya.
“ Apa yang kau pikirkan membuat blog
Edan ini ?”, tanya pak Gubernur merasa lebih banyak tertarik. Sambil
senyum-senyum Edan memaparkan bahwa: pak Gubernur butuh ruang dan Dia ingin
menciptakan ruang dekat antara Gubernur dengan masyarakat.
“ Lalu kenapa tak kau beritahukan
padaku ?”.
“ Saya hanya ingin membuat kejutan,
Pak ! Saya ingin membuktikan keberhasilan ini. Saya pernah membaca artikel
bagaimana popularitas seorang Gubernur di Amerika Serikat meningkat sejak
membangun emosi dekat dari jejaring sosial. Terjadi kejujuran di sana Pak !”,
kata Edan dengan menggebu-gebu, membarakan semangat yang luar biasa.
Wajahnya
datar namun tetap tajam dan perlahan beberapa senyum namun tetap sopan
dilayangkannya pada Pak Gubernur.
“ Dan … Dan … benar-benar Edan ! Oke
!”, kata pak Gubernur seraya memberi jempol lalu kembali mengatakan.
“
Lanjutkan !”.
Edan mulai menanam bunga dalam bilik
hatinya, mengalirkan sungai dalam jantungnya, menerbitkan matahari di
pikirannya. Dia pun bergerak, Dia pun melanjutkan.
Pak
Gubernur yang baik hati benar-benar baik hati, lanjutnya singkat dalam blog
tersebut. Namun dilanjutkan dengan komentar yang justru panjang lebar.
Wong
Edan, sampai segitunya membela pak Gubernur.
Baik
hati sekali kalau kita melihat masih banyak hak-hak orang miskin dirampas.
Beberapa orang masuk ke kantor Gubernur, namun diusir. Apa dikiranya mereka itu
mau mengemis. Apa itu gubernur yang baik hati ?
Saya
mau melapor, kawan-kawan, mengapa ada banyak sekali pejabat yang main suap
untuk melindunginya dari jerat hukum. Sebaiknya pemerintah segera membentuk
komisi pemberantas korupsi. Bagaimana menurut kawan-kawan ?
Wah
… kalau memang seperti itu, maka akan banyak sekali pejabat
yang tertangkap. Tapi, saya kira ide saudara sangat bagus.
Edan benar-benar bingung dengan
percakapan itu. Dia hanya mampu mematung membaca semua komentar gila yang
menurutnya kali ini benar-benar gila. Wah … kalau sampai terbentuk komisi
pemberantas korupsi, Dia pun tak luput dari semua itu. Pikirannya mulai tak
karuan, awan hitam menjulang, segalanya menjadi runyam. Tapi, Edan tetap
tenang.
Hingga esok ayam berkumandang, fajar
meneriakkan jalan, Edan langsung beranjak. Hari ini Dia harus menemani pak
Gubernur untuk pertemuan rapat besar dengan para staf kantor. Edan tampaknya
bingung, ini tak seperti biasanya. Dia buru-buru berpakaian akibat kesiangan,
alhasil seraya mendampingi pak Gubernur, spontan para pengawal membisikkan
sesuatu di samping Edan.
“
Pak, bajunya terbalik !”.
Ahoi … Edan langsung berlari kencang
ke belakang. Pak Gubernur yang saat itu memerlukan Edan melongok ke kanan dan
ke kiri. Dalam hatinya, di mana Edan yang biasanya bertengger di samping kiri
atau samping kanannya.
“ Dan .. Dan.. O, Dan … !”.
“ Maap pak Gubernur !”, dengan lagak
sedikit terpeleset Edan langsung tancap ke samping pak Gubernur.
Walaupun
napasnya masih kencang, namun usahanya untuk bersikap tenang juga tak kalah
membentang.
“ Mana dokumennya ?”.
“ Dok … doku .. men ?”.
“ Ya, untuk rapat hari ini !”.
“ Ah … !”.
Tiba-tiba salah seorang pengawal
mulai mengerti, Dia mendekati Edan dan memberikan sebuah dokumen penting dalam
satu buah map.
“ Ini pak Edan, tadi tertinggal di
kamar mandi !”.
Edan langsung meredakan napasnya
lebih dalam. Air putih seakan baru diteguknya, walaupun jarak gelas masih satu
meter di atas meja. Dia memejam sebentar, masih belum percaya kecerobohan hari
ini.
“ Saudara-saudara, sebelum bubar,
saya seraya Gubernur akan mengumumkan satu hal !”, pak Gubernur langsung
berkumandang.
Tanpa
aba-aba, Edan spontan berjulang dada. Sejak kapan pak Gubernur mengatakan
padanya akan mengumumkan sesuatu hal penting di luar kepentingan rapat padanya
yang tak lain ajudan Gubernur.
“ Ya kan,
Dan ?”, bisik pak Gubernur kepada Edan di sampingnya.
“ Iy … iya, Pak !”.
“ Ya. Saya mau mengatakan pada
saudara-saudara bahwa sekarang ini penting bagi para staf membuat satu buah
blog yang membicarakan masalah Gubernur !”.
Suasana ruang rapat langsung ribut,
beberapa staf merasa ada hujan di siang bolong. Mereka tak hentinya
menceritakannya dengan nada rendah ke kanan dan ke kiri. Beberapa agaknya
tersenyum, dan lainnya membulatkan mulut, sebagian pula tertunduk sambil
menggeleng-geleng.
“ Ada yang salah ?”, tanya pak Gubernur menatap
satu persatu wajah staf.
“ Tidak pak Gubernur !”, jawab
mereka serentak di sambut senyum pak Gubernur yang kemudian mengembang.
Sementara
Edan masih tampak tegang sekaligus melayang. Apa yang akan terjadi apabila
akhirnya semua orang tahu kalau di luar sana
banyak yang mau menjatuhkan pak Gubernur ?
***
Edan sudah tampak menyegarkan
wajahnya di depan laptop, sementara pak
Gubernur akan beristirahat menunggu hari esok. Jika sesuai rencana, besok pak
Gubernur akan menghadap Presiden untuk rapat seluruh Gubernur di Istana
Presiden. Kali ini Edan kembali membuat status penting terkait esok hari.
Setelah
pak Gubernur hari ini menentramkan para staf di kantor Gubernur, besok pak
Gubernur akan melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan perkembangan Provinsi
di hadapan pak Presiden.
Komentar hari ini seperti biasa,
beberapa kritikan pedas yang semakin lama semakin pedas dan Edan semakin lama
semakin bingung harus berkata apa.
Saya
sudah bosan dengan tingkah pak Gubernur, saya akan mengadu di website pak
Presiden kalau pak Gubernur Provinsi ini semakin lama semakin malas mengurus
rakyat. Banyak nasib desa yang tak jelas pendanaannya. Perangkat yang belum
disetujui oleh pemerintah Provinsi terkesan lamban. Apa sengaja hanya untuk
mengisi waktu jabatan. Dan setelah kekuasaan lengser, pak Gubernur akan angkat
tangan dan tak mengaku keburukan di masa pemerintahannya.
Edan yang tak ingin pikirannya
terbebani, menutup blog itu dan mulai gerah dengan komentar-komentar panas. Dia
memilih tidur agar besok tidak lagi ceroboh mendampingi pak Gubernur.
***
Edan puas. Malamnya pulas, akhirnya
Dia siap menemani pak Gubernur menghadap pak Presiden hari ini. Senyumnya dan
senyum pak Gubernur merekah dengan memelas. Sepanjang itu, Edan sudah
menyiapkan minuman yang sering dipesan pak Gubernur. Dia terpaksa ke belakang
dan memesan minuman tersebut.
“ Untuk Gubernur Provinsi B, tolong
buatkan satu cappucino !”, katanya
berbisik ke pelayan dapur dan mereka hanya menggeleng-geleng. Permintaan ini
sudah biasa diterima, banyak sekali Gubernur yang tak mau terlibat masalah
sepele ini.
“ Eh, tunggu. Ini saya bawa sendiri capuccino untuk Gubernur saya !”, kata
Edan yang mengelurkan bungkusan kopi itu dengan cepat karena Dia tahu pak
Gubernur sudah gelisah dan Dia tak dapat lagi dengan jelas menatap sang
pelayan, langsung diletakannya cepat-cepat di atas meja. Tapi, Dia meletakkan
sebungkus yang jarang dikenali dan ini membuat pelayang bingung.
“ Tut … tunggu !”, tapi terlambat.
Pelayan itu bingung, namun Dia terpaksa melanjutkan pekerjaannya.
Di ruang rapat, tampak pak Presiden
mulai memasuki ruangan. Seluruh Gubernur berdiri. Dan setelah pak Presiden
duduk, seluruh Gubernur duduk kembali. Tanpa banyak komentar, rapat hari itu dimulai,
sementara jajaran pers telah menunggu di balik pintu. Biasanya mereka akan
masuk dalam waktu yang tepat dan dizinkan pihak Istana. Rapat hampir selesai,
dan pak Presiden memerintahkan salah seorang membukakan pintu dan bersiap untuk
diliput oleh media massa.
“ Pak Gubernur … pak Gubernur …
bangun, Pak !”.
Presiden mulai menyadari, Dia
melihat ke arah Gubernur yang tertidur itu. Namun, pak Presiden dengan wajah
yang penuh kecewa kemudian memerintahkan pengawal agar menegurnya. Sementara
Edan masih saja bingung. Dia melongok ke dalam kantung celana. Dua bungkus
tadi, ada cappuccino dan satu lagi
obat agar tertidur nyenyak, obatnya tadi malam yang sulit tidur akibat insiden
blog. Dia pasti salah memberikan bungkusan itu.
Alahai
….
Seluruh kamera tak menyianyiakan
kesempatan itu. Mereka langsung mengambil moment
berharga. Klak klik klak klik klak klik.
***
Berita
panas versi cetak dan versi online. Gubernur B tertangkap kamera sedang tidur
di ruangan Istana. Bahkan begitu pulas dan saat dibangunkan beliau terlihat
terkejut bukan main.
Berita ini menjadi hot news. Blog Wong Edan pun penuh dengan komentar edan. Semua benar-benar menjadi insiden besar di kalangan blogger bertahun-tahun kemudian.
“ Pak … Pak … jangan nangis Pak
Gubernur …!”.
“ Hua .. hua … hua … dasar Wong Edan
!”.
***
Insiden
itu terjadi sekitar 100 ratus tahun yang lalu. Kakekku yang menceritakannya.
Hari itu milyaran manusia di muka bumi masih terlalu akrab dengan pekerjaan
manual, walaupun sebagian telah mendigital.
Tepatnya pada tahun 2000. Revolusi
terserak, puing-puing orde baru berguguran, mimpi untuk suatu masa
tentang teknologi perlahan menjadi nyata. Kini, tahun 2100 insiden itu menjadi
perbincangan bersejarah di kalangan manusia yang sudah kental dengan media online. Namun, perihal pejabat tidur
tentu tidak lagi ditemukan sebab semua menjadi serba hati-hati dengan banyaknya
jeratan teknologi.
Sekantung Catatan:
·
Blogger: Pengguna blog
- Wong Edan: Orang Gila
Kisah
ini hanyalah penggambaran kisah blog di kalangan elit pada zaman awal masuknya
teknologi internet lalu diceritakan secara ringan oleh penulis.
OPUNG
Rian Harahap
Sedari
kemarin hujan masih menetes di kaki gunung. Riuh-riuh pinus membelah kesunyian
hutan tanpa memikirkan waktu. Adakalanya pula mereka bergurau dengan deras dan
menganak sungai pulalah hingga ke langit. Barangkali ini sudah kodratnya
sehingga tak perlu lagi dipertanyakan. Semua masih seperti biasa dibalut dengan
kelaziman hujan. Aku teringat akan masa lalu. Dengan suara-suara dari radio tua
di rumah. Persis seperti ini. Sangat persis, mulai dari hujan yang datang
dengan bahana lalu semarak sayup suara-suara bahasa batak yang diproduksi radio
tua. Belum lagi dengan kehangatan yang hadir di pondok itu. Ditemani secangkir
teh untuk diserup pas lewat obrolan seorang tua kepada muda.
Tarutung
masih saja seperti yang lalu. Dingin, ramah dan hijau. Inilah surga yang
terpendam, belum lagi jika terus lagi dan berjumpa dengan Laguboti. Entahlah,
surga apalagi yang bisa disebutkan untuknya. Bau kacang Sihobuk menebas selera makan yang menimpa
seharian setelah bekerja. Sebagai anak laki-laki yang memang asli berdarah
keturunan batak, sudah semestinya aku bekerja keras. Tanpa pernah berpikir
kapan aku harus Sekolah dan memakai seragam. Sebab aku pun tak pernah melihat
orang-orang berseragam di kampungku. Aku hanya pernah dapat ceria kalau saja
Sekolah itu memakai seragam. Lagipula bagi kami seragam pun sudah ada melekat
tepat pukul delapan pagi. Seusai sarapan indahan
bocah-bocah kecil itu berlarian ke dapur. Tepat di ujung dapur terselip cangkul
yang sengaja disembunyikan. Belum lagi matanya mencari tempat di mana parang
yang akan disarungkan ke pinggang. Mereka selalu ricuh dengan langkah yang sama
pula beralun dengan hentakan-hentakan kaki di lantai tanah.
Beberapa
kali mereka kehilangan perkakasnya. Tempat di mana kemaren Ia menyembunyikan
dengan sangat sembunyi. Agar tak ada tetangga yang meminjam. Sebab belakangan
banyak sekali parang atau cangkul yang hilang dari rumah tetangga. Modusnya
sangatlah sopan dengan meminjam perkakas tersebut karena kepunyaannya sedang
rusak atau terlalu sembunyi hingga tak nampak di rumah. Tentu saja sebagai
orang sekampung dan memiliki latar belakang yang sangat dekat; peminjaman itu
sah-sah saja. Dengan catatan yang harus digaris bawahi bahwa perkakas itu
dikembalikan. Tak penting tepat waktunya yang penting dikembalikan pada yang
punya. Entahlah, mungkin karena kebaikan yang disia-siakan dulu tak berguna
kini aku sedikit lebih pelit. Opung
yang mengajari, Ia tak pernah ingin pelit sedari dulu. Dan ketika persoalan itu
membumi maka dengan seketika Opung
sigap dengan balasannya.
Opung seorang tua yang baik. Tiada lagi
mungkin engkau mendapati seorang tua yang rela menjadi muda untuk menunggui
besar cucunya. Ia tak malu jika kerentaan itu masih mampu membawa cucunya
mendaftar di Sekolah. Perlu waktu dua jam untuk pergi ke seberang. Dompetnya
pun mungkin sudah tak terisi lagi saat itu. Tapi itulah Opung, Ia
selalu membawaku ke Sekolah dengan harapan aku akan menjadi dokter. Cita-cita
klise yang diidamkan oleh seorang bocah. Aku tak pernah menginginkan profesi
itu, namun saja Opung yang lebih
berminat. Aku tak ingin mengecewakan Opung.
Perjalanan keuangannya yang menanggungku semakin membabi buta setelah Ayah dan
Inang pergi ke surga. Mereka dipanggil dengan keesaan oleh Tuhan dalam sebuah
kebakaran. Tak ada yang bersisa dari peristiwa naas itu. Hanya pasir-pasir
serta arang dan bau hangus tubuh manusia. Semenjak itu aku kehilangan jiwa-jiwa
yang bertahta di Istana. Harapan hidup semakin memburuk. Hidup bukanlah seperti
angan-angan yang diciptakan dengan kegembiraan. Tawa orang tua dengan dekapan
hangat lalu mencium anaknya dengan keseriusan kasih sayang.
Senjakala
berwarna jingga. Hutan menggerutu dengan tanah. Sebab hara tak lagi ingin
bercinta dengan violet. Aku memang ragu dengan hidupku masa itu. Bertahan pada
saat seperti itu hanya menambah urat-urat di kepala dan mati perlahan di
pembaringan. Aku sangat tidak bernyawa. Bisa dibayangkan kecintaan yang biasa
diuntai dalam aroma kesturi menyingsing fajar di selasar rumah. Lalu inang
seperti biasa memanggil dan memandikan bocah satu-satunya yang dimiliki. Bocah
berumur delapan tahun, memiliki mata yang cokelat, kulit yang melangsat dan
rambut ikal seperti kaum mongol di ujung sana.
Sepertinya kebahagiaan itu menjadi imaji kala nadi ingin berhenti. Tatkala itu
pula aku mengendus sebuah cahaya yang datang dari langit ketujuh. Ia memberi
pencerahan dari selip-selip pelangi kegelapan yang lalu. Biasnya tak memedihkan
mata tapi memakukan selera kornea.
Opung, lelaki tua. Urat mata sudah mulai
tak lagi berbaris dengan sempurna. Menumbuh pula uban-uban yang berseliweran
dengan hebatnya. Kehebatannya bukan dari nama yang sangar dalam bahasa Batak.
Jika ditilik dalam-dalam, melihat rupawan yang tua. Maaf, Ia
bukan lagi tua namun sudah renta. Aku menitikkan air mata. Jantungku berdegap
melihatnya kala mengantarku ke kampung sebelah untuk Sekolah. Tubuhnya yang
semakin layu masih mampu memegangiku, kurang kuat apalagi Ia sebagai orang tua.
Kehadirannya menjadi sebuah dahaga dalam sahara. Ketika ayah dan inang sudah
membekam di pusara, Opung datang pula
dari surga. Aku dipelihara. Setiap pagi dimandikan dengan tangannya yang mulai
bersisik, suaranya yang parau, mata yang merabun. Ia kadang lupa.
“ Angkat tangan
kanannya biar disabun, coba-coba Tondi !”.
“ Ia Opung !”.
“ Bukan yang kiri,
kanan, kanan !”.
Aku
sangat jelas menaikkan tangan kanan, bukan kiri. Apa Guru yang mengajariku di
kampung sebelah salah dalam mengajarkan muridnya. Guru seperti apa Dia hingga
salah mengajarkan muridnya untuk membedakan mana kanan dan kiri. Opung tak mungkin salah dalam hal ini. Opung bukanlah manusia yang dimakan
kepikunan. Sebagai seorang Veteran perang, Ia selalu bangga dengan buku-buku
yang tertata di lemari usangnya. Hampir tiga ratusan judul buku yang Ia punya.
Judulnya pun bermacam-macam diawali dari buku kesehatan sampai kepada masalah
dapur. Itulah alasan yang membuat aku yakin sekali kalau Opung tak akan pikun.
****
Selang
waktu mendengus di pelipis telinga. Matahari punya rencana menukar waktu dengan
masa depan. Inilah saatnya aku membuat Opung
bangga. Kedewasaan mulai menapaki tubuh ini. Gugup aku bertemu Opung. Ingin kulahap semua senyumannya
dan merangkum dalam-dalam untuk disimpan di hati. Opung sudah semakin tua. Kiranya doaku dikabulkan Tuhan. Ia panjang
umur tanpa pernah sakit parah sedikitpun, paling hanya masuk angin karena
terlambat makan. Cangkul sudah berkarat. Parang tergantung namun tumpul,
warnanya pun tak jelas. Aku menjelma menjadi seorang pintar di kampung ini.
Sekolahku sudah lebih baik dari orang sekampung. Bukan aku mengejek, namun cuma
akulah satu-satunya anak yang memiliki pendidikan agak tinggi. Cuma aku yang
bisa menamatkan Sekolah Menengah Atas di kampung ini. Pemuda lain masih bisa
hanya menamatkan Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama dan itu pun
kembali seperti semula, kampung ini didirikan. Kampung yang berbunyi ketika
cangkul dan parang sudah membentak bumi. Sawah yang ditanami padi. Kebun-kebun
yang penuh dengan cabe, tomat dan jeruk. Barangkali ini pula yang digariskan
indah padaku. Kehilangan orang tua di saat kecil membuatku lebih memikirkan apa
yang harus kuperbuat di masa depan. Lelaki tua itu adalah malaikat penolongku.
Bukan pula aku mengagungkannya lebih dan lebih seperti di salah satu buku
dongeng yang Ia bacakan sebelum aku tidur dulu. Nafasnya terengah-engah. Ia tak
pernah lagi bertanya aku sudah kelas berapa. Kelulusan ini pun tak
diketahuinya. Ia hanya bisa tersenyum lalu membisikkan impiannya agar aku menjadi
dokter dan menikahi boru tulang. Dahulu
tak ada impian ini. Kata ‘dokter’ yang pernah kudengar namun tak pernah ada
kata boru tulang. Mimpi aku dalam
beberapa menit. Aku mencubit satu persatu tangan ini. Ia tak bergeming biasa,
sakit terasa cubitan ini. Bisikan itu ada dan nyata. Opung ingin aku menebus kebahagiaan di hari tuanya dengan
mempersunting boru tulang. Rumahnya
tak jauh dari gubuk kami. Tapi bagaimana dengan Maria yang sudah kujanjikan
untuk dinikahi ketika aku sudah mendapatkan pekerjaan di kota. Aku mengamuk. Darahku tersirap, jangan
mentang-mentang Opung membiayaiku
Sekolah dan hidup, jadi bisa berbuat apa saja dan semaunya. Aku juga punya hati
yang harus kubagi untuk orang lain. Opung
memaksaku. Kini dengan sedikit bentakan.
“ Boru tulang i tu ho, pahatop leh !”.
Aku
marah. Emosiku meluap. Namun aku tak mengucap apa-apa. Kususun baju-baju dalam
tas. Aku pun pergi meninggalkan gubuk tua itu. Kujemput Maria lalu hijrah ke kota. Menyusun rencana bulan madu yang akan
dipadu oleh cinta. Kami menikah.
Semenjak
itu tawa masih terdengar riuh di kepala. Gelagat ingin kembali pulang secepat
cahaya menyerang dadaku. Aku menatap Opung dalam nikmatnya pusara.
Entahlah, antara
cita-cita, cinta dan durhaka.
TAMU
Rina Mahfuzah Nasution
Ada seekor kupu-kupu
masuk ke dalam ruang tamu rumah kami, kemudian hinggap di atas gordyn jendela.
Kupu-kupu itu berwarna coklat, tubuhnya mungil. Tiba-tiba dia bergerak, terbang
mengelilingi ruang tamu, hinggap di atas lampu. Mungkin dia tidak merasa nyaman
di situ, lalu dia beraksi lagi memperlihatkan kelihaiannya terbang. Kini dia
berputar-putar tepat di atas kepala kami.
“
Ita, mungkin akan datang seorang laki-laki ke rumah ini, untuk melamarmu.
Soalnya sedari tadi dia overacting terus di depan kita !”, kata Kak
Dina, matanya masih lekat ke arah kupu-kupu itu.
Kini
hinggap di atas lemari.
“ Kakak kayak peramal aja. Kupu-kupu kok diibaratkan
laki-laki yang akan melamarku ? Biarkan aja kupu-kupu itu, Kak. Lagian aku juga
belum punya pacar !”.
“ Siapa tahu firasat kakak benar, Ta. Mungkin masalahmu
hanya kurang membuka diri. Ingat, umurmu tidak lagi muda, Ta. Kau tidak ingin
begini terus kan
?”.
Aku tidak menjawab, tapi menatap sekilas pada kupu-kupu
itu. Tiga puluh enam, usiaku sekarang. Memang bukan usia yang muda lagi. Kalau
aku sudah menikah, mungkin saat ini aku sudah punya anak-anak yang lucu dan
pintar. Mungkin ada yang sudah Sekolah, tapi ada juga yang masih kecil.
“ Ya ... mudah-mudahan firasat kakak tidak meleset, aku
juga nggak ingin begini terus, Kak !”, jawabku.
Kak Dina
menganggukkan kepalanya.
***
“ Siapa perempuan itu ? Rasanya aku pernah melihat wajah
Dia sebelumnya, tapi kapan dan di mana ya ?”, pikirku.
Perempuan
paruh baya itu duduk di salah satu kursi di ruang tamu dan Kak Dina sepertinya
sangat senang menyambut kehadirannya.
“ Ta, kau
ingat kupu-kupu yang datang tadi malam ? Ternyata kita kedatangan tamu jauh ya
sore ini !”, ujar Kak Dina riang.
“ Hallo, Ita. Apa kabar ? Baru pulang kerja ? Anakmu sudah
berapa ?”, tanya sang tamu memberondongku.
Aku tidak menjawab, tapi langsung mendekatinya dan
menjabat tangannya. Masih juga aku belum mengingat siapa Dia sebenarnya.
Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya tentang anak ? Kenyataannya
menikahpun aku belum !
“ Memangnya
kau tidak mengenal Dia ?”, tanya Kak Dina.
Kusambut
dengan gelengan kepala. Aku memang tidak ingat siapa Dia.
“ Kau sudah
sering melihat foto-foto kami, saat kakak berkunjung ke rumahnya di Jakarta !”,
lanjut Kak Dina.
Foto-foto
Kak Dina di Jakarta ? Tapi aku belum pernah melihat perempuan paruh baya ini di
dalam foto.
“ Dia,
Mariani. Istri almarhum Letkol Mustafa. Teman akrab kakak waktu di SMA 5 Medan
!”, kata Kak Dina menerangkan.
Seketika
aku terpana. Tidak percaya kalau perempuan di depanku ternyata Kak Mariani yang
pernah satu SMA dengan Kak Dina.
“ O, ya ?
Benarkah Dia, Kak Mariani ?”, kagetku dalam hati.
Sebab Kak
Mariani yang pernah kulihat dalam foto sangat jauh berbeda dengan perempuan
ini.
Yang
kulihat saat ini adalah perempuan bertubuh ringkih. Beberapa bintik hitam
menghiasi wajahnya. Rambutnya tidak tersisir dengan rapi, sebagian besar tampak
acak-acakan. Dia memakai baju atasan warna ungu yang agak pudar dan rok warna
kuning kecoklatan. Sungguh, warna yang tidak nyambung.
Berbeda
sekali dengan wajah yang pernah kulihat di foto. Dalam foto di Taman Mini
Indonesia Indah itu wajahnya cantik. Pipinya putih berisi, dengan sapuan make
up tipis. Pakaiannya rapi dengan warna yang cerah. Kala itu, ada sebuah
selendang tipis yang menutupi rambutnya.
“ Oh, iya. Aku ingat. Kakak yang memberikan
sebuah guci cantik dan beberapa asbak unik untuk Kak Dina kan ? Guci dan asbak itu benar-benar dijaga
oleh Kak Dina. Tapi setelah Kak Dina punya cucu, asbaknya pecah tiga dan
tinggal dua buah !”, kataku.
Perempuan
itu tertawa. Nampaklah deretan giginya yang sepertinya sudah jarang disikat.
“ Din, dulu
kita kan
punya teman yang pernah hanyut waktu mandi di sungai. Siapa ya namanya ? Oh,
Norma. Untung Dia masih bisa diselamatkan si Butet. Di mana ya Dia sekarang
tingga l?”.
Dia dan Kak
Dina tertawa mengenang peristiwa itu.
Sepertinya
dalam beberapa menit bersamanya, aku membuat kesimpulan kalau berbicara
dengannya tidak nyambung. Kita bicara tentang “A”, tapi Dia bicara tentang
“U”. Kulihat Dia juga sering menerawang.
Entah melamun atau sedang berfikir.
Pada saat
makan malam, kami mengajaknya makan. Dia makan sampai nambah dua kali. Dia
bilang, masakan Kak Dina enak sekali. Di rumah, Dia dan ke dua anaknya tak
pernah makan seenak ini. Mereka lebih sering makan mie instan dan telur. Mereka
sudah lama tidak makan ikan kakap sambal dan gulai daun ubi tumbuk seperti yang
dimasak Kak Dina hari ini. Aku ikut prihatin mendengarnya.
“ Setelah
kepergian almarhum suamiku, nyaris aku tidak bisa melakukan apa-apa, Din. Aku
mengalami depresi selama beberapa tahun. Pelan tapi pasti semua aset terjual
dan kami pindah ke Medan.
Aku hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suamiku sekarang. Selain itu aku
tak bisa apa-apa. Aku seperti layaknya anak-anak yang tidak bisa diajak
berfikir tentang sesuatu !”.
“ Kau tidak
boleh berputus asa, Mar. Hadapilah semua ini dengan tegar. Kau harus bersyukur,
kau masih diberi dua anak laki-laki yang menyayangimu. Seharusnya merekalah
alasanmu untuk terus bertahan !”, jawab Kak Dina.
Perempuan
itu tak menyahut. Lagi-lagi Dia menerawang dalam diam.
Kehidupan
memang penuh dengan rahasia. Siapa sangka Kak Mariani yang seorang istri Letkol
berubah menjadi perempuan yang tak punya semangat hidup. Dulu hidupnya senang.
Makan enak, tidur nyenyak, mau pergi ke mana-mana pakai mobil. Mau shopping
barang-barang yang disukai tinggal pilih. Di rumah Dia tinggal perintah pada
pembantunya. Tapi sejak ditinggal suaminya, hidupnya bagaikan tak berjejak di
bumi.
“
Barangkali Dia tidak menyisakan sebuah ruang di hatinya untuk satu keyakinan,
bahwa hidup tidak selamanya menyenangkan. Adakalanya cobaan datang tanpa pernah
memberikan sebuah tanda !”, bisik hatiku sambil melirik padanya.
“ Kapan ya
aku bisa kembali ke Jakarta
lagi ? Menjalani kehidupan yang menyenangkan seperti dulu lagi ? Ke Jakarta aku
kan kembali
...”.
Tiba-tiba
terdengar senandungnya. Aku terpana melihat ke arahnya.
Bagaimana
mungkin dia bisa kembali ke Jakarta
? Sedangkan hidupnya sekarang hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum
suaminya. Apalagi ke dua anak laki-lakinya tidak jelas pekerjaannya.
“ Ke Jakarta aku kan kembali … !”.
***
Seminggu
kemudian, Dia datang lagi ke rumah. Kini, membawa sebuah bungkusan. Tapi bukan
buah tangan untuk Kak Dina. Entah apa.
“ Apa aku mengganggumu ?”.
“ Tidak !”.
“ Tapi baru seminggu yang lalu aku ke rumahmu !”.
“ Tidak ada masalah bagiku. Lagipula, aku kan yang menyuruhmu
sering-sering ke rumahku ? Masuklah kau
!”.
Dia duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di
sebelahnya. Hari sudah menjelang senja. Itu berarti Dia akan pulang malam lagi
seperti seminggu lalu, tapi Dia tidak merasa khawatir sedikitpun. Dia merapikan
rambutnya yang agak susah diatur.
“ Kau lagi ngapain, Din ? Biar kubantu. Menyapu atau
mencuci piring kotor !”, katanya menawarkan diri.
Hanya
sebatas omongan, tapi tidak benar-benar ada tindakan.
“ Nggak usah. Kau kan
tamuku !”, jawab Kak Dina.
Ketika aku
meletakkan secangkir teh dan sepiring
biskuit di meja, perempuan itu memandangku dengan pandangan yang ramah. Lalu
Dia berkata.
“ Makasih
ya, Ta. Kakak sudah merepotkan !”.
Alamak,
ucapannya barusan mengeluarkan aroma yang kurang sedap dari mulutnya.
Cepat-cepat aku beranjak, sambil mengatakan kalau aku dan Kak Dina sama sekali
tidak repot dengan kedatangannya.
“ Ini kain
songket, telekung, rok dan accessories. Aku tak pernah memakainya lagi, tapi
masih bagus. Aku ingin menjualnya, terserah kau mau bayar berapa, Din !”,
katanya dengan wajah memelas.
Dia juga
menatapku penuh harap.
Seperti Kak
Dina, aku juga menolak dengan halus. Aku hampir-hampir tidak pernah memakai
kain songket dan rok. Aku lebih sering memakai celana panjang dan kemeja.
Sementara telekung dan accessories milikku sudah banyak, aku belum
membutuhkannya lagi.
“
Tolonglah, Din. Persediaan beras dan mie instan di rumahku sudah habis. Dari
pagi aku ke luar dari rumah, numpang makan di rumah kerabatku, tapi tidak ada
yang mau meminjamkan uangnya padaku. Padahal kalau aku sudah ambil pensiun
nanti, akan kubayar hutangku !”, katanya.
Mungkin karena
tak sampai hati, Kak Dina memberikan sejumlah uangnya pada sahabatnya itu. Kak
Mariani menerimanya dengan wajah gembira, sambil mengucapkan terima kasih. Tapi
sebelum pulang, Dia meminta sesuatu lagi dari Kak Dina.
“ Din,
kalau boleh aku minta beberapa mangkuk berasmu dan laukmu hari ini untuk makan
malam anakku. Kau tidak keberatan kan
?”.
Kak Dina
terdiam sebentar, lalu menggeleng. Di rumah ini kami memang hanya tinggal
berdua. Ke tiga anak Kak Dina yang sudah menikah tinggal di rumah yang berbeda
dengan kami. Tentu tidak menjadi masalah bagi Kak Dina memberikan beras maupun
sisa lauknya kepada Kak Mariani. Dia bukan hanya sekedar tamu, tapi sahabat
lama yang sudah lama tak bertemu.
“ Ita,
tolong hubungi nomor handphone ini. Kakak mau minta dijemput sama Iwan, anak
sulung kakak !”, katanya sambil mengangsurkan secarik kertas padaku.
Aku
menerimanya dan setelah hubungan tersambung, kuangsurkan handphoneku padanya.
Iwan datang
untuk menjemput ibunya, saat jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
Sebenarnya aku ingin segera tidur, karena besok akan mengikuti meeting pagi di kantorku. Tapi
Kak Mariani menahanku, dengan alasan ingin mengenalkan aku pada putranya itu.
Aku tak bisa mengelak. Perkenalan itupun berlangsung seadanya. Wajar, tapi tidak
dengan Kak Mariani.
“ Ita,
kalian kan
sama-sama belum menikah. Siapa tahu kalian bisa cocok. Kakak udah pengen sekali
punya cucu seperti kakakmu !”.
Hampir
copot jantungku mendengar ucapannya, tak menyangka Dia punya ide seperti itu
terhadapku !
“ Ada-ada
saja kakak. Usiaku kan
sudah tiga puluh enam !”, jawabku cepat.
“ Zaman sekarang banyak orang menikah tidak
mempermasalahkan soal umur, Ta. Asal sama-sama suka ya sudah !”, balasnya
dengan mantap.
“ Jadi si
Ita tutur apa sama kau nanti, Mar ? Ibu atau namboru ?”, gelak Kak Dina.
Aku
langsung pamit ke belakang, tak ingin lagi memperpanjang pembicaraan itu.
Aku
benar-benar heran dengan jalan pikiran Kak Mariani. Sepertinya perilakunya
aneh. Apakah penurunan tingkat ekonomi dalam hidupnya telah merubah semuanya ?
***
Tiga hari
kemudian Kak Mariani muncul lagi. Penampilannya makin tak karuan. Wajahnya
nampak semakin gelap, pakaiannya minus kerapian. Dia datang di saat langit
memantulkan warna senja yang indah. Tapi kabar yang disampaikan, sebaliknya !
“ Pihak PLN mengeksekusi meteran listrik kami.
Rumah kami gelap gulita. Aku tidak punya uang sepeserpun untuk membayarnya.
Sudah enam bulan pensiun suamiku
dipotong untuk membayar hutang di Bank. Waktu itu kami mengagunkan surat pensiunnya, untuk
modal usaha anakku. Tapi karena anakku tidak mempunyai pengalaman, usaha itu
hancur !”.
Apa ?
Listrik di rumah Kak Mariani dieksekusi pihak PLN ? Dan surat pensiun suaminya diagunkan ke Bank ?
“ Maaf,
Mar. Kali ini aku tidak bisa membantumu. Pada dasarnya kita sama-sama hidup
dari pensiunan suami. Suamimu Letkol dan suamiku seorang Guru Sekolah Dasar.
Kita sama-sama telah kehilangan orang yang sangat kita kasihi. Tapi aku dapat
menyikapinya dengan tegar dan penuh percaya diri. Tidak seperti kau. Hanya
terpaku pada masa lalu yang pernah kau rasakan. Hidup terus berjalan, meski
tanpa seorang suami. Anak-anakku tumbuh dengan kedewasaan berfikir, sedangkan
anak-anakmu biasa dimanja, sehingga sampai sekarang tidak bisa lepas darimu.
Padahal mereka anak laki-laki, tidak sepantasnya kau yang memberi makan mereka.
Maafkan aku tak bisa membantumu !”, buru-buru Kak Dina beranjak ke kamar.
Aku yakin,
Kak Dina terpaksa melakukannya pada sahabatnya ini !
Perempuan
itu menangis berurai air mata. Aku tak tega melihat keadaannya. Kuangsurkan
sejumlah uang untuknya. Dia menggenggam tanganku. Air matanya jatuh menimpa
jariku. Lalu dengan tersendat dDa bilang.
“ Ita,
suatu saat kakak akan hidup senang lagi. Kakak akan membalas kebaikanmu dan
Dina. Dulu, almarhum suami kakak pernah mengungkapkan kalau Dia menyimpan harta
karun di suatu tempat rahasia. Dia belum sempat mengangkatnya dari dasar laut,
karena keburu dipanggil Tuhan. Doakan ya suatu hari kakak akan menemukannya,
Ita !”.
Apa lagi
ini ? Pikirku. Tapi tak sampai kutanyakan padanya, karena Dia keburu pergi.
Berhari-hari setelahnya, berminggu-minggu kemudian, bahkan sampai angka tahun
berganti, kutunggu kehadirannya untuk bertanya, tapi Dia tak pernah kembali
lagi. Tak pernah !
***
KISAH di BALIK JENDELA
Sri Wahyuni
Enam bulan yang lalu, aku mencoba
menolak rumah ini. Rumah yang katanya ayah punya nilai sejarah tersendiri. Ya,
hanya itu yang ayah katakan ketika pertama kali kami melihatnya. Sebelum
benar-benar membelinya, ayah, kakakku, dan aku memantau terlebih dahulu perihal
cocok tidaknya rumah ini. Bagiku tidak ada yang menarik dari rumah ini, selain
kesan seram dan suram yang ditimbulkan dua rumah yang mengapitnya di sisi kanan
dan kiri. Rumah bergaya Victorian dengan atap teras depan mirip seperti rumah
siput ini, memiliki tiga lantai, lantainya didesain dengan sentuhan kayu
berwarna kecoklatan dan di dindingnya terdapat ukiran batik, mungkin pemiliknya
terdahulu pengusaha batik. Secara keseluruhan masih terlihat kuat dan bagus.
Dan ayah amat sangat tertarik, tiga hari pemantauan ayah menjadi pemilik sah
rumah yang sudah tiga tahun tidak berpenghuni ini.
“ Kenapa sih pilih rumah ini,
Yah ? Kayak nggak ada rumah yang lebih bagus aja ?”.
“ Dari tiga hari yang lalu
pertanyaanmu itu aja, Ra, kayak nggak ada pertanyaan lain aja ?”, balas
Ayah dengan senyum penuh kesenangan di bibirnya.
“ Ya bukan begitu, Yah. Di sini tu
sunyi, sepi, jauh dari keramaian, nggak ada teman, apalagi teman sebaya …!”.
“
Bukan nggak ada, tapi belum ada !”, Ayah memotong kalimat tak tuntas
dariku.
“
Terus, masalah sunyi sepinya gimana ?”.
“
Mungkin, satu atau dua bulan lagi, rumah sebelah sudah berpenghuni !”.
“
Satu atau dua bulan lagi ? Kelamaan, Ayah !”.
“
Terus, mau gimana ? Nggak mungkin dibatalin kan ?”.
Aku
hanya mengangkat bahu menyatakan ketidaktahuan.
Yang sedikit bisa membuatku untuk
mencoba tinggal di rumah ini adalah jendela. Ya, secara keseluruhan jendelanya
berjumlah 36 buah. Bagiku jendela selalu menjadi tempat favorit. Dan berharap
di rumah ini juga begitu.
“ Suka dengan kamarnya, Ra ?”.
Pertanyaan ayah tidak langsung kujawab,
begitu melihat jendela, kakiku langsung melangkah ke sana. Jarak antara lantai kamar dengan kusen
jendela kira-kira 60-70 cm. Kubuka perlahan jendela berdebu itu.
Hufh … Menyengat sekali aromanya, khas
seperti rumah tak berpenghuni. Kuedarkan pandangan ke sekeliling kanan, kiri,
masih belum ada yang menarik buatku. Yang ada pandanganku terpaku pada jendela
bagian samping rumah yang masih belum berpenghuni juga, terlihat sebuah ruangan
kosong di seberang sana.
“ Gimana, Ra ?”, ayah mengulang
pertanyaannya.
“ Dindingnya masih bagus ya, Yah. Mmm… Nara, sendirian, Yah, di
kamar ini ?”.
Ayah mengangguk mengiyakan.
“ Kak Disti, kamarnya di mana, Yah ?”.
“ Karena kamarnya ada tiga, Kak Disti,
pilih kamar yang di lantai dua !”.
“ Kenapa nggak di lantai tiga
aja, Yah, bareng Nara
? Kamar yang satunya, yang di samping kamar Nara, Ayah yang pake ?”.
Lagi-lagi ayah hanya mengngguk.
HHH
Malam menanjak tinggalkan benderang yang
siang tadi meraja hari. Tidak terasa enam bulan sudah aku menempati kamar ini.
Tanpa sempat singgah sedetik pun di balik jendela. Tugas Sekolah yang menumpuk,
memaksaku meninggalkan sejenak kebiasaanku. Kebiasaan yang sebenarnya sungguh
kurindukan. Bersantai di balik jendela dengan sebuah buku di tangan, ditemani
segelas jus alpukat dan tak ketinggalan keripik singkong buatan Kak Disti.
Tujuh bulan berjalan tugas Sekolah dan
ujian selesai, saatnya menikmati kenyamanan di balik jendela. Tumpukan buku
fiksi plus keripik buatan tangan Kak Disti telah siap menemani.
Pandanganku langsung tertuju ke ruangan kosong di seberang jendela. Aku tidak
tahu kenapa tapi, ada yang tak biasa di sana.
Apa karena aku baru kali ini melihatnya atau memang begitu keadaannya dari
kemarin-kemarin. Entahlah. Sayup-sayup kudengar kebisingan dari ruangan kosong
itu.
“ Aku lelah, Mas, dengan hubungan kita.
Kita tinggal serumah, punya anak, tapi …!”.
“ Tapi apa ? Bukankah itu sudah cukup ?”.
“ Kita tidak punya buku nikah, Mas ?”.
“ Buat apa ?”.
“ Buat apa katamu ?”.
“ Buku nikah itu penting, Mas. Sebentar
lagi Lila Sekolah, Dia butuh akte lahir, dan syarat pembuatan akte harus ada
buku nikah kedua orang tuanya !”.
“ Gimana kita mau punya buku
nikah ? Kita kan
hanya kawin tidak nikah !”.
“ Hanya kamu bilang, Mas ?”.
“ Lalu mau kamu apa ? Kita menikah ?”.
Si wanita mengangguk mengiyakan.
“ Kalau kita menikah, kita harus menemui
orang tuamu, dan kamu sendiri tahu bagaimana respon orang tuamu terhadap aku kan ? Mereka selalu
anggap aku ini pengangguran, gak pernah mau berusaha !”.
Sejenak kebisingan itu berhenti. Rasa
penasaranku muncul. Kuletakkan buku Cokelat dan Sepotong Dosa karya
Pudji Isdriani K, yang menemaniku sedari tadi. Kuturunkan kakiku, kupandangi
ruang kosong itu. Tidak ada apa-apa, yang ada masih sepetak ruang hampa tanpa
penghuni. Dari mana asal suara tadi ? Tanyaku dalam bingung. Kulanjutkan
kegiatanku. Suara-suara itu malah muncul lagi.
“ Mas, sekarang kamu sudah bukan
pengangguran lagi, usahamu bahkan sukses. Klienmu banyak. Apa itu belum
cukup untuk menambah keberanian dan percaya dirimu di depan orang tuaku ?”.
Aku jadi tidak ingin berhenti, aku ingin
mendengarkan perbincangan itu terus.
“ Sebenarnya bukan itu masalahnya,
Sayang !”.
“ Lalu apa, Mas ?”.
“ Sebelum kamu meninggalkan rumah,
Papamu memberikan ini padaku !”.
“ Apa itu, Mas ?”.
Aku ingin menoleh, melihat apa yang Ia
berikan kepada si wanita. Tapi mendadak suara-suara itu hilang lagi saat aku
menatap ruangan itu. Agak aneh kurasakan di sini. Tapi aku ingin terus. Terus
mendengar apa yang akan terjadi. Dan suara itu muncul lagi saat aku menatap
buku di hadapanku.
“ Ini surat,
tapi kurasa ini bukan surat,
ini lebih ke peringatan yang diberikan Papamu dan baru kubuka seminggu yang
lalu !”.
“ Apa isinya, Mas ?”.
“ Baca sendiri !”.
Kurasakan si pria
memberikan sesuatu kepada si wanita. Dan aku tidak ingin menoleh, karena ketika
itu kulakukan semuanya akan hilang. Kutujukan mataku tetap pada buku yang
kubaca tanpa konsentrasi. Dan benar suara itu muncul.
“ JANGAN PERNAH BAWA
ANAKKU KEMBALI KE RUMAH KAMI. KARENA SEJAK BERSAMAMU, IA SUDAH TIDAK DIANGGAP
SEBAGAI ANGGOTA KELUARGA KUNTJARANINGRAT LAGI !!!”.
“ Sayang … Hey, Sayang,
kamu kenapa ? Maaf aku memberitahukanmu soal ini, tapi cepat atau lambat
kamu harus tahu. Sayang !!! Bangun, Sayang ... Aku mohon. Kita akan cari cara
supaya kita bisa menikah. Aku janji !”.
Kurasakan ada yang
jatuh di seberang sana,
mungkin si wanita tidak kuat membaca peringatan orang tuanya, dan jatuh
pingsan.
“ Nara !!!”.
Panggilan Kak Disti
menahan niatku untuk menoleh, dan suara-suara itu menghilang. Sebelum turun
kupandangi ruangan itu. Masih seperti semula. Hampa.
“ Ya, Kak !”.
“ Ngapain sih di
atas mulu ?”.
“ Biasa, Kak !”.
“ Nongkrongi
jendela lagi ?”.
Kubalas dengan senyuman pertanyaan Kak Disti.
“ Apa enaknya sih,
nongkrong di jendela ? Udah kayak burung aja !”.
“ Biarin kayak
burung, tapi kan
burung cantik !”.
“ Iya burung cantik,
tapi lebih cantik lagi kalau kamu bantuin Kak Disti deh !”.
HHH
Sejak kejadian berisik di seberang
jendela, aku jadi selalu menyempatkan diri duduk di balik jendela. Tapi
beberapa hari kucoba, suara-suara berisik itu tidak muncul. Sampai akhirnya …
“ Pak, apa kesalahanku sudah tak
termaafkan lagi. Sebegitu marahkah Bapak kepadaku ?”.
Tak terdengar respon dari yang diajak
bicara, tapi volume suara kali ini agak lebih jelas dibanding peristiwa buku
nikah kemarin.
“ Dulu aku memang bandel, Pak. Bahkan
tingkat kebandelanku bisa dibilang tidak wajar, kebandelanku sudah melampaui
batas usiaku saat itu. Bahkan aku terkesan jahat di mata bapak dan
abang-abangku !”.
Kembali suara itu terdengar. Aku menoleh
ke arah jendela seberang, suara itu menghilang. Kali ini aku menikmati jendela
tidak dengan membaca buku, takut kehilangan konsentrasi, aku hanya menikmati
secangkir Good Day Moccacino. Kupandangi cangkirku, kutiup perlahan,
lalu kuhirup. Syahdu rasanya. Benar-benar kenyamanan yang luar biasa.
“ Aku hanya ingin memperkenalkan istri
dan anakku, pak. Itu saja !”.
Suara itu muncul lagi.
Seperti ada langkah kaki yang mendekat
ke arah mereka. Mendekat ke arah si bapak dan dengan setengah berbisik
berkata,.
“ Anaknya lucu, pak !”.
Ternyata seorang wanita, sepertinya ibu
dari pria itu.
“ Bu !”, sapanya.
“ Sudah lama kalian datang ?”.
“ Tidak juga, Bu. Ini istri dan anakku,
Bu. Ratih dan Widuri !”, Si wanita dan si anak kecil melangkah mendekati si
ibu. Si ibu menyambutnya dengan hangat.
Keinginan menoleh yang susah untuk
ditahan lagi-lagi membuatku kehilangan suara-suara itu. Tapi ada apa sebenarnya
dengan ruangan kosong rumah di seberang sana
? Mengapa suara-suara itu bisa muncul seperti nyata.
Lamunanku terusik oleh kehadiran Kak
Disti. Tanpa basa basi Kak Disti celingukan di pinggir jendela.
“ Cari apa, Kak ?”.
“Nggak ada, apa menariknya sih
duduk di sini, Ra? kok kamu bisa amat sangat betah? Nggak takut apa
dengan ruangan kosong di seberang situ?”
“ Kenapa mesti takut ? Ini tempat
yang paling nyaman dari rumah ini, Kak. Lagian ruangannya kan nggak makan orang !” .
“ Ya bahaya kalau ruangan makan orang. Ikh,
kamu tuh. O iya, Ra, rumah sebelah besok sudah ada yang nempati. Akhirnya
kita punya tetangga juga !”.
“ Kenapa, Kak ? Nggak
pernah punya tetangga ya sebelumnya ?”, tawaku dan Kak Disti pecah.
“ Tapi rumah yang sebelah mana, Kak,
yang ini ?”, kataku menunjuk rumah yang ruangannya sering kupandangi.
“ Bukan, yang sebelah sana !”.
HHH
Semakin hari semakin penasaran aku
dibuat suara-suara berisik itu. Kisah tak tuntas kemarin, membuat aku terus
menunggu kelanjutannya. Tetapi, semakin kutunggu, semakin tak hadir suara-suara
itu.
“ Nara
!”, panggilan ayah sedikit mengagetkanku.
“ Ayah !”, jawabku agak kuat.
“ Ngapain siang-siang bolong,
duduk di jendela ? Ngelamun ya ?”.
“ Ikh … siapa yang ngelamun
sih, Yah !”.
“ O … nggak ngelamun tho ? Gimana
? Betah kan
di sini ?”.
kuiyakan dengan anggukan pertanyaan
ayah.
“ Nggak salah kan pilihan, Ayah ?”.
Lagi-lagi aku mengangguk mengiyakan.
“ Bener sih, ayah nggak salah
pilih. Tapi, coba lihat ruangan di seberang itu !”.
Tanpa menjawab ayah langsung menoleh ke
seberang.
“ Ada
yang aneh deh, Yah, di situ !”.
“ Aneh ?”.
“ Iya, Yah !”.
“ Ayah! Om Andre udah datang !”,
teriakan Kak Disti mengurungkan niatku untuk menjelaskan keanehan rumah di
seberang pada ayah.
“
Nanti aja ya, Nara.
Ayah mau pergi sama Om Andre dulu !”.
“ Iya, Yah !”.
Kembali kunikmati jendelaku. Berharap
suara-suara kemarin muncul kembali menuntaskan cerita yang masih menggantung
bagiku. Tapi, lagi-lagi, di saat aku menginginkan suara-suara itu muncul, tak
sedetik pun ia terdengar. Rasa penasaranku semakin bertambah. Dua minggu sudah
suara-suara itu kutunggu, tapi selama itu juga tak hadir.
Tugas Sekolah kembali menumpuk, aku
kembali tidak dapat menikmati jendelaku. Tapi di sela-sela pengerjaan tugas,
iseng-iseng aku duduk di jendela, menanti kedatangan senja. Dan suara-suara itu
muncul, entah kenapa ada rasa senang dalam hati mengetahui suara itu
muncul lagi.
Dalam samar kudengar,.
“ Kau bisa bawa aku jauh dari orang
tuaku, Jo !”.
“ Aku ?”.
“ Iya, kau harapanku satu-satunya, Jo !”
.
“ Tapi kenapa harus aku ?
Tunanganmu mana ?”.
“ Jangan bahas itu, Jo !”.
“ Ok, tapi kenapa kau ingin jauh
dari orang tuamu ? Ada
masalah apa sebenarnya ?”.
“ Jo, kau cukup bawa aku ke tempat yang
jauh, setelah itu kau boleh tinggalkan aku !”.
“ Tapi, Nad …!”.
Kalimat tak tuntas itu mengakhiri
perbincangan yang kudengar. Dan suara itu menghilang tanpa aku menoleh ke
ruangan itu.
Tiga bulan berlalu, aku tak menikmati
jendelaku, malah terkesan mengacuhkan. Tak menanti kehadiran suara-suara yang
membuatku bingung dari mana asalnya. Yang kulakukan hanya konsentrasi dengan Sekolahku.
Hingga di suatu sore yang cerah,
suara-suara itu muncul. Tapi kali ini terdengar amat sangat jelas. Bahkan tanpa
aku harus duduk di jendela.
“ Kalau sudah nikah nanti, kita tinggal
di sini ya, Mas ?”.
“ Di sini kan bagus, dekat dengan ayah dan adik kamu !”.
“ Iya sih, Mas. Aku juga udah
sehati sama daerah sini !”.
Perbincangan itu terhenti. Sepertinya
kedua orang itu sedang mengitari ruangan kosong itu. Lama sudah aku tidak
berharap mendengar suara-suara itu, kini ia muncul dan rasa penasaranku mendadak
hadir, aku malah ingin tahu apa yang mereka lakukan. Tapi jika aku menoleh yang
terlihat hanya sebuah ruang kosong tak berpenghuni.
Suara di seberang sana terdengar semakin jelas.
“ Catnya kita ganti ya, Mas !”.
“ Pastinya donk !”.
Kenapa sepertinya aku mengenal suara dua
orang yang sedang berbincang itu. Ah, benarkah ? Seperti suaranya Kak Disti.
Tapi apa iya Kak Disti ? Aku benar-benar ingin menoleh, memastikan kebenaran
suara yang kudengar. Aku tak peduli jika suara itu harus hilang, aku hanya
ingin memastikan. Dengan berat aku menoleh ke ruangan itu.
Ruangan itu tidak kosong lagi, ada Kak
Disti dan Mas Pram di sana.
Suara-suara kemarin tidak akan pernah kudengar lagi, suara yang sampai saat ini
aku tidak tahu dari mana asalnya tidak akan pernah ada lagi. Dan kisah di balik
jendela berakhir di sini.
HHH
SEMBURAT SENYUM KEMBARA
PERADABAN
Sri Rizki
Handayani
Mentari mengerlingkan tatapannya menyambut tubuh pagi yang rupawan.
Memberi semangat baru pada hati dan jiwa yang terjaga dari kelam malam.
Kulihat seorang pria renta di halaman Istana. Berlari kecil mengelilingi
bundaran yang ada tepat di tengah pelataran Istana. Memakai kaos putih
beserta training hitam dan sepatu sport.
Wajah itu dipenuhi garis-garis
perjalanan hidup. Warna rambut yang dulu hitam, kini telah memudar di terpa
debu pusaran waktu. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelum
kumeninggalkannya. Itu bukti kalau Dia telah melewati berbagai macam cerita
hikayat pelipur lara dalam menapaki perjalanan hidup. Meskipun sudah ujur,
tubuhnya masih terlihat kekar dan semangatnya tak pernah pupus dimakan usia.
Dialah pak Amin yang dikenal banyak orang karena keramahan dan rasa cintanya
yang besar terhadap lingkungan. Dia atokku. Atok yang paling kusayang karena
hanya Dia satu-satunya atok yang berjodoh dengan pertumbuhanku.
***
Kutahan sejenak rasa rindu yang melesak di kedalaman jiwa. Menanti atok selesai meregangkan otot-otot
tubuhnya. Tak ingin kubuyarkan konsentrasi atok yang sedang menikmati
rutinitasnya. Kuharap ingatan atok masih tetap kuat padaku yang telah lama
hilang dari pandangannya. Kuputuskan duduk di tepi bibir jalan yang menghadap
bundaran. Sesekali mata itu memandang nanar seolah meraba-raba keberadaanku. Sembari
terus berlari. Sampai putaran ketiga tubuh keriput itu menghentikan langkahnya.
“ Masya Allah Abdullah !”, segera kuhampiri atok dan
mengucapkan salam sembari mencium tangannya yang penuh dengan kerutan itu.
“ Bila kau tiba ?”, tanya
atok heran.
“ Belum lama lah, tok !”.
“ Dasar kau ini, taklah berubah ya sikap jahilmu itu. Bukannya kau panggil
atok, sejak tadinya kau tiba di situ. Abdul ... Abdul ..., tetaplah kau cucu
atok yang paling usil !”, cetus atok lalu mendekap tubuhku sambil mengusap
kepalaku.
“ Bukan lah begitu tok, tak enak pula Abdul mengganggu konsentrasi atok. Kalau
boleh Abdul cakap tok, sejak tadinya Abdul ingin segera memeluk atok. Tapi
apalah daya. Abdul ingin beri kejutan pada atok. Apalagi atok sedang serius.
Tak sangguplah awak mengganggunya !”, rayuku yang merangkum tawa.
“ Kenapa tak memberi kabar dulu kalau kau mau pulang hari ini ?”.
“ Bukan kejutanlah namanya tok kalau Abdul kabari lebih dulu !”, jawabku
menggoda atok.
“ Tapi atok lihat tak ada perubahan logat bicaramu Abdul. Bangga atok sama
karaktermu yang tak berubah walaupun sudah bertahun-tahun di Negeri orang.
Inilah Abdullah cucu atok yang selalu atok banggakan dulu !”, ungkap atok
dengan senyum sumringah.
“ Taklah pula kampung orang membuat Abdul lupa kampung halaman dan logat bicara
kita tok. Atok yang selalu mengajarkan sama Abdul dulu kan, di mana kaki
berpijak di situ langit dijunjung. Itulah yang Abdul terapkan tok. Waktu ada di
sana Abdul ikutlah adat sana. Ya beradaptasi gitulah tok. Pulang ke sini ya
kembali lagilah ke asal !”, jelasku. Atok hanya merekahkan senyum sambil
memukul pundak dan merangkul tubuhku.
“ Ya sudahlah, kita pulang
sekarang. Semua sudah
merindukan kehadiranmu. Pasti mereka senang sekali melihat kau kembali dan
semuanya pasti memekarkan senyum dan tawa yang menawan !”, terang atok.
***
Sekian lama kutinggalkan kota
ini. Akhirnya kini kukembali kepangkuannya. Berharap aroma kasturi merebah di
jantung hatiku. Lama kupendam rindu yang menyeruak di dada penantian. Mendekap
sanak keluarga yang selalu menari-nari di pikiran. Sebelumnya setiap detak
jantungku berdegup selalu kupandang langit melepas dahaga rindu dan hari ini
aku sudah berada di rumah cinta bersama emak, atok dan adik-adikku. Di rumah
petak di sudut kota ini. Tersembunyi di balik tirai pembangunan.
Seperti biasa, jika waktu magrib hampir tiba, atok selalu membawaku ke Mesjid
dengan sepeda janda. Tapi kali ini kami naik sepeda motor sepeninggalan ayah.
Sudah hampir sepuluh tahun ayah pergi bersama senja. Sejak itu pulalah aku
meninggalkan kampung ini dengan harapan dapat memberikan hasil yang terbaik.
Dulu atok sering berceritera tentang bangunan-bangunan yang begitu tersohor di
kota ini. Seperti Istana Maimoen, Mesjid Raya, Tjhong Avie dan lainnya. Semua mempunyai makna sejarah tersendiri dan begitu
bermakna bagi masyarakat setempat. Aku selalu terkesima mendengar cerita yang
meluncur dari tepi bibir atok. Ditambah lagi kisah tentang Guru Patimpus yang
berjuang keras membangun kota Medan ini demi kelangsungan hidup anak cucu
kotanya. Sungai Babura dan Sungai Deli menjadi saksi kobar semangat
perjuangannya. Setiap kali atok mengisahkan ini padaku, selalu tersemat
kata-kata di dada bahwa aku harus bisa seperti Guru Patimpus yang mampu
membangun kotaku lebih maju lagi tanpa menyingkirkan sejarah peradaban.
Kami sudah tiba di parkiran
Mesjid Raya. Tapi kali ini pikiranku digelayuti sebuah pertanyaan. Kumandang
adzan membuncah pikiranku. Segera kusimpan pertanyaan itu di saku kepalaku agar
tak hilang selesai sholat nanti. Mudah-mudahan segera kudapat jawaban
dari atok.
Kewajiban selesai ditunaikan.
Perlahan kami menuruni anak tangga. Begitu melangkah dari anak tangga terakhir,
langsung kusambar atok dengan pertanyaan.
“ Tok ...! Kenapa air mancur
di pelataran Mesjid ini tak lagi bernapas ?”, tanyaku heran karena biasanya aku
selalu melihat air itu menjulang didekap serpihan cahaya.
“ Itulah senja peradaban Abdul. Perlahan semua akan terbenam di pusara waktu
!”, jawab atok begitu tenang.
“ Maksud atok ?”, tanyaku
lagi dengan kebingungan yang menggelayuti pikiran.
“ Tak perlulah atok jelaskan, nanti kau tahu sendiri !”, jelas atok sembari
menatapku.
Aku pun diam mengulum bingung. Tapi aku tak ingin mendesak atok untuk
menjawabnya karena aku yakin atok pasti punya alasan untuk itu. Mungkin saja
atok berharap aku mencari sendiri jawaban itu.
Malam telah membulirkan hening. Saatnya kumemadu tenaga untuk esok hari
menyambut senyum mentari menjelajah sudut-sudut kota sebelum memulai aktivitas
di kota ini.
***
Jemari mentari mulai menggelitik tubuhku. Setelah berpeluh keringat
mengelilingi bundaran di pelataran Istana. Sesekali kugerakkan tubuh ke kanan
dan ke kiri melonggarkan sendi-sendi yang terasa kaku. Sejenak kuluruskan kaki
di atas rerumputan agar tak kram jika ditekuk.
Tepat dianak tangga bundaran kulepas rasa lelah yang menggerogoti tenggorokan.
Kuteguk air mineral yang kubawa sambil memandang orang di sekeliling dan
menikmati keindahan Istana.
Istana Maimoen nama yang bagus. Aku menyukainya karena dibangun atas dasar
cinta. Seperti yang pernah kudengar, begitu besarnya cinta sang Raja pada Ratu
sehingga Istana ini dipersembahkan untuk Ratu yang begitu dikasihi. Bahkan nama
yang tersematpun diambil dari nama sang Ratu, yaitu Maimunah. Tapi sayang tak
ada lagi kuda putih yang berdiri gagah di bundaran ini, bahkan tak kulihat
pohon kedamaian terpacak di halaman Istana. Ketika kutanya kepada atok
jawabannya juga sama, itulah senja peradaban. Aku masih bingung apa makna dari
senja peradaban itu.
***
Kususuri sudut-sudut kota. Terhampar jelas wajah kota yang meyimpan berupa
kisah. Kualihkan pandangan pada gedung-gedung pencakar langit, ternyata sudah
merajai kotaku yang dulu permai.
Tak lagi kulihat bermacam pohon terpacak di tepi jalan. Tak lagi paru-paru kota mengulum
rasa. Semua berubah. Laju polusi udara semakin berkelebatan tanpa penghalang.
Tiiin ...,
tiiin ..., tiiin ....
Daun
telingaku merintih diiris oleh teriakan klakson mobil dan sepeda motor yang
bersahutan. Ya Tuhan, tak ada
lagi hati di sini. Semua beradu cepat.
Tanpa sadar roda sepeda motorku sudah menggelinding di kawasan Tjong Avie,
masih terlihat megah dan kokoh meskipun bangunan itu tak dapat menyembunyikan
usianya yang renta. Tak jauh dari situ. Aku pun segera menggiring sepeda motor ke arah lapangan merdeka. Bermaksud menikmati suasana sejuk dan
asri. Tapi tak kutemukan rerindang pohon. Cerita rerimbun pohon dan
burung-burung merpati yang senang bercengkrama hanya tinggal serpihan kenangan.
Hanya segelintir burung yang berkenan singgah. Kurasa karena tak ada lagi rerimbun pohon menyemai sejuk
yang mendamaikan beribu jiwa.
Aku segera beranjak dari lamunan meninggalkan lapangan.
Melanjutkan perjalanan menuju
Sungai Deli. Tak jauh beda rasa kecewa yang kurasa bahkan lebih kecewa lagi.
Inikah Sungai Deli yang jelita. Kini pudar oleh senja peradaban. Tak ada lagi
pusaka hati di kota ini. Sungai Deli tinggal pusaka yang hilang tuah, sebab
limbah peradaban telah menyetubuhi kesuciannya.
Di mana sejarah peradaban yang pernah kulihat ? Mana peradaban yang sering
diperdengarkan pada anak cucu ? Mungkinkah hanya sisa silsilah yang menanti
rebah di pusaran waktu atau sebongkah kenangan cinta nenek moyang yang berdiri
kokoh dan megah di hamparan rindu ?
Pemikiran manusia semakin maju. Perkembangan semakin pesat. Lingkungan pun
terabaikan oleh kesombongan mengejar sukses. Tak lagi ada yang
melestarikan sejarah peradaban, peninggalan yang penuh makna rasa.
Semua sibuk dengan kenikmatan sesaat. Ya, inilah senja peradaban. Hanya
senyum getir yang dapat kuberikan mengulum duka pelipur lara.
***
Angin risau meninggalkan desah. Memberi sesal putik hati
yang resah dalam gundah pengharapan. Lambaian kelopak damai enggan mencumbu.
Telah layu bersama pusaran waktu. Tak lagi bersemi dalam jantung
ketentraman. Hanya berharap semburat senyum bertingkah rentak Melayu
tetap merebah di hamparan kota.
***
“ Kenapa Abdul ? Dari tadi atok lihat menerawang
saja pikiranmu !”, tegur atok membuyarkan lamunanku.
“ Ahh, tak apa-apa tok. Abdul
sedang memikirkan kota ini. Bisa-bisa lambat laun sejarah kota ini hilang
ditelan perkembangan zaman dan pemikiran manusia yang semakin maju. Waktu
mendengar jawaban atok kemarin, Abdul masih bingung. Tapi hari ini Abdul paham
makna senja peradaban itu tok !”, ungkapku dengan senyum simpul.
“ Baguslah kalau kau sudah paham. Manfaatkanlah ilmu yang kau dapat selama ini
untuk mengembangkan kota dan melestarikan sejarah peradaban, Abdul. Itulah kenapa atok selalu mengisahkan kota ini pada kalian.
Atok ingin hati kalian terbina untuk mencintai sejarah. Jangan biarkan era
globalisasi menelan sejarah peradaban !”, terang atok penuh harap.
Mentari pun mulai
meninggalkanku bersama peluh sesal jiwa. Kembali ke peraduan menanti semburat
teduh peradaban yang tertutup tirai zaman yang berdiri gagah. Entah apalagi
yang berubah esok hari. Tak ada yang tahu. Bahkan tak pernah terlintas sedikit
pun.
Entahlah ! Hanya
Tuhan yang punya kuasa.
ADA yang DATANG dan PERGI
DIAM-DIAM
Sakinah Annisa
Mariz
Langit
masih pekat, hanya ada sepotong sabit kecil, menyala redup. Desir angin
menghembuskan hawa dingin, menggigit. Menggoyangkan butir-butir embun yang
menitik dari kuncup daun-daun muda. Seorang lelaki yang tertidur di bawah
rimbun bunga-bunga di Taman Kota itu, seketika terjaga. Spontan Dia mengutuk
dan menyeka pelipisnya. Beberapa menit kemudian, lelaki itu kembali meringkuk,
bergelut dalam lelapnya sendiri.
Kasman
nama lelaki itu. Perantau dari Tanah Jawa yang mencoba mengadu nasib di bumi
Sumatera. Berbekal sedikit uang hasil penjualan sepeda motornya, juga doa tulus
dari sang istri dan tiga anak perempuannya, Kasman berangkat. Tidak sendiri,
bersama Kasman, ikut pula Hendrik, Toto, dan Gugun. Mereka berempat sudah
bersepakat dengan Bang Rustam untuk bekerja sebagai kuli di Proyek perbaikan
jalan, yang katanya menelan waktu dua bulan. Masalah gaji, juga terdengar
lumayan menggiurkan. Tapi ya itu tadi, gajinya baru diterima setelah Proyek
selesai dalam waktu dua bulan.
Minggu
pertama mereka bekerja, semuanya terasa lancar-lancar saja. Mandor tak pelit
membagi rokok dan jatah makan yang diterima, juga pantas-pantas saja. Kasman
dan ketiga temannya, masih dibolehkan menghubungi istri dengan meminjam seluler
Bang Rustam, hubungan mereka sangat baik, sampai memasuki minggu ketiga dan
keempat. Di minggu keenam, Kasman dan teman-temannya mulai mempertanyakan gaji
mereka yang tak kunjung berkabar. Jatah rokok dan makan mulai macet. Bang
Rustam lebih sering memberi perintah ketimbang upah. Setiap hari, ada saja
pekerjaan yang membuatnya naik darah. Mulai dari tali katrol yang putus, semen
yang tumpah, hingga kerikil pun dipermasalahkan. Jam kerja yang seharusnya
dimulai sejak pukul 07.00 pagi hingga pukul 20.00 malam, ditambah lagi hingga
ke pukul 00.00 dini hari. Jadwal shift yang seharusnya digantikan oleh teman
yang lain, dipaksa untuk dilanjutkan sendiri. Akibatnya, banyak pekerja yang
jatuh sakit. tak terkecuali Kasman.
Dua
bulan tepat, saat Proyek selesai. Semua pekerja berharap dan berdebar menunggu
amplop hasil kerja kerasnya selama ini. Namun malang tak tertolak, mujur tak teraih, Bang
Rustam pun menghilang, seiring dengan hilangnya lubang-lubang di jalanan.
Kasman dan ketiga temannya sudah mencarinya kemana-mana, tapi mereka tak
menemukan jejak apapun. Mereka ditipu mentah-mentah, hingga akhirnya mereka
terpaksa menggelandang di jalanan, kelaparan, dan terasing.
***
“
Buk, minta uangnya seribu saja, Buk ! Saya lapar, sudah dua malam saya belum
makan … !”.
“
Apa ? Minta uang ? Kau pikir aku ini siapamu ? Aku pun belum makan. Kerja sana ! Jadi laki-laki kok
manja !”, seorang ibu yang memeluk karung belanjaannya, melirik lelaki itu
dengan sinis.
“
Iya nih, apalagi kamu kan
masih muda. Masih kuat tenaga, ya jangan minta-minta ! Cari kerja, sana ! Usaha !”, sahut
wanita berseragam hijau tua, di sisi kanannya. wanita itu menatapnya jijik
sambil mengetuk-ngetukkan hak sepatunya ke aspal.
“ Saya mau bekerja apa saja, Buk. Tapi Bu, ndak
ada yang mau memberikan pekerjaan pada saya. Kata mereka, ini karena saya
miskin. Orang miskin, mana boleh dipercaya. Lagian saya bukan orang sini, Buk.
Mereka bilang, saya harus tunjukkin KTP, baru saya boleh kerja. Waduh Buk, boro-boro
punya KTP, ngurusin perut yang sejengkal aja saya ndak kuat, Buk.
Tolonglah, Buk !”, disodorkannya tangannya yang pucat dan kotor.
Tapi
tampaknya si wanita berseragam semakin tak acuh.
“
Ya sudah, Buk. Maaf kalau saya mengganggu !”, lelaki itu pun menjauh dari wanita
berseragam. Tak ingin kehabisan akal, dihampirinya lagi si ibu yang memeluk
karung belanjaan.
“ Kalau ibu mau, saya bisa bawakan
belanjaan ibu. Rumah ibu dimana?” tawarnya.
“Nggak usah, aku bisa bawa sendiri
!”, balasnya ketus.
“ Seribu saja, Buk ?, tawarnya lagi.
Ibu
itu lagi-lagi menggeleng.
Si
lelaki tampak kelelahan. Wajahnya pias dan keringan dingin mulai menyembul di
kulitnya lengannya yang berminyak. Pelan-pelan, disandarkannya tubuhnya yang
lemas ke pinggir halte yang sesak. Berharap ada sekeping recehan mengulur,
padanya. Tapi matanya mengisyaratkan, untuk melihat recehan di tempat yang
lain. Sebuah dompet mengkilap, mengintip dari rekahan resleting tas seorang
mahasiswi yang tegak membelakanginya. Tas yang ditenteng, menjulur pelan-pelan
ke arah si lelaki yang tergolek lapar. Jantungnya berdenyut kencang.
“
Ya Tuhan, maafkan hamba !”, gumamnya sebelum merogoh dompet itu dan
kabur tanpa menyisakan bekas.
***
“
Orang bilang tanah kita, tanah surga. Tongkat batu dan kayu jadi tanaman.
Permisi pak, buk … !”, Hendrik terus memetik gitar kecilnya sementara Toto
bernyanyi seraya menyodorkan kantong plastik kecil ke lorong-lorong angkot yang
sarat penumpang.
Setelah
letih mengamen, akhirnya Hendrik dan Toto pun duduk di depan warung mie balap.
“
Dapat berapa, To ?”, tanya Hendrik sambil mengipasi lehernya yang basah oleh
keringat.
“
Lumayan, lima
belas ribu. Tiga ribunya bisa buat sewa gitar, nah sisanya kita bagi dua, Mas …
!”.
“
Bagi dua ? Eh,eh,eh, enak aja sampeyan mau minta dibagi dua. Lha,
wong aku yang capek maen gitar, kamu ini tinggal nyanyi-nyanyi wae, kok
mau sama rata. Ndak bisa ! Aku sepuluh ribu. Dua ribunya buat kamu !”,
Hendrik melotot tajam ke arah Toto.
“ Tapi Mas, kita kan sama-sama capeknya. Sama-sama butuh
makan, butuh ongkos pulang. Kalau Mas kasih Toto dua ribu, dapat makan apa, Mas
?”, Toto memelas.
“
Ya terserah aku !”.
“
Mas, jangan gitu. Sama saudara sendiri, ndak usah main itung-itungan,
Mas. Kita ini hidup di rantau. Harus saling menguatkan, saling tolong menolong.
Jangan seperti Bang Rustam yang udah ditolong, eh ternyata malah memanfaatkan
kita. menipu kita !”.
“
Apa sampeyan bilang ? Oh, jadi maksudmu aku ini mirip Rustam si biadab
itu, hah ? Si Penipu itu ! Ah, sial ! Berani sampeyan samakan aku dengan
si busuk itu ? Hah ? Mau mati, sampeyan ?”, Hendrik mengacung-acungkan
gitar plastik kecilnya.
Toto
memandangnya ketakutan, tapi Hendrik sudah kalap. Gitar segera menancap di
kepala plontos Toto. Darah segar mucrat dan Toto sontak menggelepar, meraung.
Refleks Toto membalas tepat di ulu hati Hendrik dengan ujung kakinya. Hendrik
balas menghajar Toto, Toto melawan Hendrik. Mereka saling memukul hingga
kehabisan banyak tenaga dan menyisakan genangan darah. Di depan warung, tak ada
yang bergeming, semua sibuk dengan dirinya sendiri. Larut dalam hingar-bingar
permainan yang lain, di pertaruhan yang lebih mendebarkan.
***
“
Orang gila … Orang gila … !”, sorak-sorai bocah-bocah kampung terdengar jelas
di beranda depan rumah.
Santi
yang tengah hamil tua, sedang menungging, memetik kangkung di halaman samping,
berjengit telinganya.
“
Siapa orang gila yang diteriaki anak-anak itu ?”, batinnya.
Di
depan, suara anak-anak semakin riuh terdengar. Ada pula suara lemparan batu berkelotak dan
jerit mengaduh. Dengan jantung berdebar, Santi meletakkan petikan kangkungnya
ke tanah. Diikatnya kangkung-kangkung itu dengan tali yang dicabut dari kulit
pohon pisang yang kering. Buru-buru Dia melangkah ke pekarangan, suara gaduh
anak-anak dan penduduk kampung masih membahana.
Di
depan rumah, terlihat kumpulan ibu-ibu PKK dan Kepala kampung tegak berdiri.
“
Oalah, ada tamu rupanya. Mari Pak, Buk, masuk dulu. Ada apa ya ?”, tutur Santi berbasa-basi,
padahal hatinya sendiri merasa bimbang dan kecut dengan keramaian ini.
Seratus
tanda tanya menempel di kepalanya.
“
Gusti, semoga ini bukan tentang suamiku !”, batinnya berdoa.
Belum
lagi Santi menyilakan Kepala Kampung masuk ke dalam rumah, tiba-tiba suara tawa
yang sangat dikenalnya menggelegar dari kerumunan massa.
“
Pak! Pak ! Kau kah itu ?”, Santi menjerit histeris.
Gugun
dengan tangan terpasung, ditarik keluar dari kerumunan. Tatapan mata kosong dan
cengengesannya yang lain dari biasa, sangat terang bercerita pada Santi.
Santi
ambruk.
MALAM
RUWATAN
Sartika
Sari
Sekitar satu
setengah meter dari pinggir aspal, seorang laki-laki duduk berselonjor kaki
sambil mengibas-ibas angin dengan topi kumal di tangan kanannya. Diam. Meskipun
jalanan ramai lalu lalang kendaraan, bising percakapan penjual jajanan,
perdebatan sopir angkot dan lagu dangdut yang diputar keras-keras rupanya tidak
bisa mengusik kekhusukannya menikmati lamunan.
Wak Giran, begitu biasanya Dia
disapa. Seorang penggali tanah untuk
jalur kabel telepon. Dulu,
sebenarnya Dia termasuk salah seorang yang terpandang di kampung. Tapi sejak
ternak ayam dan bebeknya tertimpa musibah, Wak Giran terpaksa harus memutar
otak dan mencari pekerjaan lain untuk membiayai kebutuhan rumah tangga dan
biaya Sekolah putri semata wayangnya. Untunglah, tidak ada yang terlampau Dia
sesalkan dari semua yang sudah terjadi. Sampai sekarang, Dia mampu menuntaskan
pekerjaan dengan kelapangan dada.
Terik. Matahari kian runduk saja
rasanya. Sepuluh kuli masih menyenderkan punggung di teras-teras kedai yang
sunyi. Bekal makanan yang dibawa sudah lewat kerongkongan, air putih dalam
botol-botol yang saban pagi terisi penuh juga sudah lolos ke lambung. Sekarang
tinggal meluangkan waktu sebentar untuk mengatur kembali aliran darah dan nafas
yang beberapa jam sebelumnya seperti dikejar-kejar.
“ Wak, ngelamun wae1 ?”, Ujo, rekan kerja Wak Giran menatap lelaki tua
di depannya itu dengan nanar.
“ Tidak apa-apa, Jo !”, ujarnya
pelan sembari mengilap cucuran keringat di dahinya.
“ Susi kambuh lagi ? Atau ada masalah karena pacarnya ?”, Ujo
makin penasaran.
“ Tidak, Ujo !”, kali ini Wak Giran
melemparkan senyum kecil melihat lajang yang sedari tadi memperhatikannya.
“ Atau butuh uang ? Wak, pakai saja
uangku. Kebetulan minggu ini tidak ada
pengeluaran yang banyak !”, Ujo memberi penawaran.
“ Ah, Ujo. Anak lajang itu butuh
banyak uang. Nanti kau tidak bisa ke rumah pacarmu. Lagian gaji kita kan sedikit. Janganlah,
lebih baik kau gunakan untuk keperluanmu saja !”, Wak Giran menolak perlahan.
“ Hahaha, siapa yang mau jadi pacar
tukang gali tanah kayak aku gini Wak ?”, Ujo terbahak.
Mereka berguyon. Wak Giran yang
tadinya lebih banyak menghabiskan waktu dalam lamunan, sekarang kelihatan
sumringah. Walaupun sedikit, tak apalah daripada terus-terusan muram,
setidaknya bahagia yang pernah Dia takutkan bisa didapat lewat kesederhanaan
memaknai kehidupan. Seperti sekarang.
***
“ Mau makan sekarang, Pak ?”.
“ Tidak Sus, sebentar lagi saja.
Bapak mau lihat emakmu dulu !”.
“ Iya Pak. Kalau bapak mau makan,
biar Susi siapin makanan !”.
“ Iya Nak !”, Dia langsung menuju
kamar. Tak sabar menjenguk wanita kesayangannya yang sejak pagi Dia tinggalkan.
“ Bapak, sudah pulang !”.
Wak Giran langsung merangkulkan
tangan kanannya ke kepala wanita yang masih telentang di tempat tidur. Belum
ada jawaban yang dilontarkan. Dia masih menikmati kerinduan yang saban hari
ranum selama hampir dua puluh lima
tahun.
“ Sudah makan Pak ?”.
“ Hm, belum. Sebentar lagi Mak. Aku
masih mau dekat denganmu !”, kali ini Wak Giran menancapkan tatap lembut yang
tajam.
“Hus, bapak. Tidak hilang-hilang kebiasaannya.
Pintar sekali merayu !”.
Mereka berdua meneruskan
keromantisan. Petang sudah hampir malam. Dan keduanya berhasil melewatkan
pertemuan senja dengan potongan-potongan cerita yang syahdu.
***
“ Aku tidak sanggup menggelar ruwatan2 Susi, Ki !”.
Ba’da
maghrib, Wak Giran bertandang ke rumah salah seorang temannya yang terletak di
ujung jalan. Dia memang butuh teman berbagi cerita untuk meretaskan amuk
batinnya.
“ Kenapa, Ran ? Bukannya aku
menakut-nakuti, tapi kau juga sudah tahu bagaimana adat kita, dan apa akibatnya
kalau tidak dilaksanakan !”.
“ Iya, Ki. Aku tahu. Tapi uang
seserahan dan uang simpananku tidak cukup untuk membiayai kebutuhan ruwatan !”, wajahnya layu.
Dia
sadar, menggelar ruwatan sebelum
menikahkan putri tunggalnya adalah suatu tradisi yang sebaiknya dipenuhi.
Masyarakat sekitar juga berpaham sama.
“ Kalau itu masalahnya, kau bisa
pakai uangku dulu. Nanti saja Susi dan Numan yang membayar setelah mereka
menikah !”.
“ Ki, tapi itu kan besar ?”.
“ Sudahlah, lebih baik segera tentukan
tanggal pernikahannya !”.
“ Terimakasih, Ki. Aku pamit pulang
dulu !”.
Kepalanya ditunduk. Cuma daun-daun
kering di badan jalan yang Dia pandangi. Makin rumit saja. Dia seorang yang tak
tegaan. Mendapat pinjaman uang dari Aki bukan lantas melenyapkan beban pikir,
justru menambah-nambah berat saja. Kasihan Susi kalau harus membayar semuanya.
Bagaimana kalau Dia tidak bisa membayar ? Ah, yang semacam itulah gantungan di
kepalanya sekarang.
Selang tiga puluh menit. Dia sampai
di rumah sederhana berdinding tepas, cakruk di bagian depan, dan beberapa jenis
bunga hasil keuletan sang istri sebelum digerogoti penyakit diabetes sampai
akhirnya hanya terbaring lemah. Mesti ada percakapan serius dengan Susi dan
calon menantunya itu. Langkahnya tergesa, kebetulan Susi masih duduk berdua
diteras rumah dengan Numan. Langsung saja, mereka bercakap dan mengambil
keputusan.
***
“ Tuwuhan3, batu arang, kemenyan (ratu wangi), kain
mori putih, debog4,
bunga mawar untuk menaburi panggung, dan Gawangan keli5 sudah disediakan, Wak !”, Ujo tampak
tergesa-gesa melaporkan perlengkapan ruwatan pada
Wak Giran yang sedang berada di dalam kamar. “ Ki Wahono bagaimana ? Sudah kau hubungi lagi, Jo
?”.
“
Sudah, Wak. Sebentar lagi datang !”.
“
Jo, Susi ?”.
“
Belum saya lihat, Wak. Sebentar ya !”.
“
Iya, Jo. Mana tahu Dia butuh bantuan. Tolong ya, Jo !”.
“
Iya, Wak. Jangan sungkan !”.
Laki-laki
tua itu memandangi badan Ujo sampai keluar kamar. Suasana di luar sana benar-benar sibuk.
Riuh percakapan para tetangga benar-benar menggema. Belum lagi suara anak kecil
yang bermain di sekitaran. Tapi sayang, Dia tak bisa turut.
“
Wak, Ki Wahono sudah sampai. Unting-unting6 juga sudah siap !”.
“
Iya, Jo !”, jawab Wak Giran sambil beranjak dari kursi di samping tempat tidur.
Tapi tatapnya tidak bisa lepas dari istrinya yang sedang berbaring lemah.
Acara
dimulai. Ruwatan dibuka dengan doa. Setelahnya, barulah wayang dengan lakon
Murwakala yang dipercaya untuk mengusir roh jahat yang berada di dalam tubuh
dimainkan, dilanjut dengan pembacaan berbagai pakem oleh dalang sebagai proses
ruwatan.
Wak
Giran tampak cukup tegang. Dia memandangi Susi yang duduk di atas debog pisang berlapis kain mori di
antara berbagai perlengkapan ruwatan lain
dengan lekat-lekat. Tak terasa, anak semata wayangnya sekarang sudah dewasa.
Dan ruwatan malam ini sebagai bentuk
pelepasan terhadap putri tercintanya. Tapi lagi lagi ada lamunan. Entahlah, Wak
Giran benar-benar lemah.
***
Pesta
meriah itu sudah lewat. Malam-malam yang menegangkan juga sudah berhasil
dilalui meskipun dengan perasaaan yang entah bagaimana. Sekarang, yang
tertinggal hanyalah kenangan dan ingatan. Yang kalau sudah kembali datang
ujung-ujungnya membawa Wak Giran jatuh dalam kubangan air mata dan kerinduan.
Wak
Giran terduduk lemah. Badannya sudah penuh lumpur. Nafasnya masih ngos-ngosan.
Pandangannya juga, sepertinya masih kabur. Dia mesti banyak istirahat. Karena
pikirannya yang kacau, sejak tadi pagi ada saja kecelakaan kecil yang Dia
lakukan sampai yang terakhir, sore ini Wak Giran terpeleset ke dalam lubang
dengan kedalaman 1,5 meter ketika berjalan hendak meneruskan galiannya.
Memang,
ingatan itu tidak mudah dilupakan.
Terlebih, Dia sangat mencintai istrinya. Wak Giran benar-benar dalam
kekalutan. Berhasil meruwat putrinya, ternyata tidak semata mampu menciptakan
kebahagiaan yang selama ini Dia tunggu. Kian dalam saja pikirnya tentang
keikhlasan atas takdir Tuhan. Dan sekarang, Dia meriwayatkan semua itu lewat
bulir-bulir air mata. Tidak ada kata malu menangis lagi. Air mata itu sudah
terlalu sering Dia pendam. Inilah saatnya semua gundukan di hatinya mesti
dipenggal.
“
Aku sangat bahagia bisa menunaikan kewajibanku meruwat putri tunggal meskipun
dengan uang yang masih menghutang. Kukira hari itu akan jadi hari yang membawa
kebahagiaan untukku dan Nia. Tapi ternyata, aku mesti membagi hati dan
merelakan ketika di penutup hari ruwatan
Nia dipanggil kembali ke pangkuanNya. Entahlah, aku sangat kesepian karena
kehilangan orang yang paling kucintai !”,
suara Wak Giran terdengar parau, wajahnya basah air mata, dan tatapan
matanya sayup sekali. Tidak bisa menyunggingkan senyum sekalipun Ujo mencoba
menghibur.

1Wae : Saja
2Ruwatan
: Tradisi adat yang
sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat jawa sebagai ritual pembebasan dan penyucian manusia atas
dosanya/kesalahan.
3Tuwuhan : Terdiri
dari pisang raja setundun, yang suda matang dan baik, pohon tebu dengan
daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa dan daun
alang-alang
4Debog : Batang pisang
5Gawangan kelir : Bagian atas (kayu bambu yang merentang di atas
layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur,
kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng
(4 ikat pada sebelah menyebelah)
6Unting-unting : Anak tunggal perempuan.
DRAFT CERITA PESANAN TOK AWANG
yang BELUM SEPENUHNYA RAMPUNG
T Agus Khaidir
Tiba-tiba
aku berdiri tersandar pada satu bagian dinding. Iya, memang tiba-tiba saja.
Sekonyong-konyong saja. Bagaimana aku bisa sampai di sini, aku sama sekali tak
tahu. Letaknya di antara dua rak tinggi yang disesaki kaset, compact disc,
dan piringan hitam. Pada rak di sebelah kiri kubaca deretan huruf kapital tebal
berwarna merah yang membentuk kata JAZZ. Label di rak sebelah kanan bertuliskan
ROCK.
Sebelum beranjak jauh, ada baiknya
kuceritakan bagaimana enam lembar kertas berisi rangkaian cerita ini bisa
sampai ke tangan Anda. Beberapa pekan lalu, padaku datang kawan kita, Tok Awang.
Anda ingat Juru Cerita itu, kan
? Tanpa basa-basi disampaikannya pengakuan yang membuatku iba, Dia mendadak
kehilangan kemampuan merangkai kata jadi cerita.
Barangkali karena paham betul aku juga suka
berkhayal lebih, Tok Awang memintaku menuliskan cerita untuknya. Cerita yang
sudah jadi, supaya aku tinggal menuturkan, pesannya. Tanpa pikir panjang
kusanggupi permintaan itu dan di sinilah letak masalahnya. Di luar dugaanku
yang paling konyol, cerita itu gagal kuselesaikan. Ruang-ruang angan yang
biasanya gampang kumasuki sesuka hati, bagai terkunci pintu-pintunya. Mendadak
aku sulit menciptakan takdir, mendadak gugup memutus alur nasib.
Meski sempat dilanda heran, kehilangan ini
tidak sampai kutangisi. Namun kupikir situasinya lain bagi kawan kita. Tok
Awang menggantungkan dari cerita. Bagi Dia, daya khayal hanya sedikit kalah berarti dari nyawa. Karena
itulah, Bung, kukirim cerita yang belum sepenuhnya rampung ini pada Anda.
Harapanku Anda dapat membantu menyelesaikannya.
Baiklah. Kupikir tak perlu aku mengoceh
terlalu panjang. Anda baca sajalah kelanjutan cerita yang kutulis. Oh, iya, lantaran
cerita ini masih berupa draft, sudah tentu Anda dapat menambah, mengurangi,
atau bahkan mengubahnya.
Tapi tidak ada musik. Tidak ada
pembeli, tidak ada pengawas, bahkan agak jauh di depan, meja kasir pun kosong. Kususuri
lorong itu. Di kiri kanan bertebaran rekaman-rekaman langka. Kulihat piringan
hitam Thelonious Monk Sextet, Round Midnight. Kalau tak keliru ingat, album
ini dirilis sekitar awal 1948. Kudapati pula Ella Fitzgerald, Ella&Louis:
Starpotrait, volume pertama Soul Gestures in Southern Blue, dan The
Majesty of The Blues dari Wynton Marsalis, Route 66 dari The
Manhattan Transfer. Juga We Want Miles milik Miles Davis yang membawaku
pada satu-satunya jazz yang kuat membekas dalam ingatan, My Man’s Gone Now.
Eh,
pada rak berlabel ROCK kutemukan Rubber Soul The Beatles. Lalu, agak
tersembunyi di antara rak-rak tanpa alphabet, teronggok pula dalam bentuk
kaset. Berita Cuaca Gombloh Lemon
Trees Ano 69, serta Nyanyian Fajar dan Nyanyian Malam, rekaman lagu-lagu rakyat Leo Kristi.
Bung, seperti kusebut tadi, Anda berhak melakukan
perubahan dalam bentuk apa pun terhadap redaksional draft ini. Jika paparan
perihal musik ini Anda anggap terlalu bertele-tele, sepenuh hati kurelakan Anda
memapasnya. Lagipula aku menempatkannya di awal tulisan bukan atas pertimbangan
ingin menghadirkan semacam rasa penasaran, atau suasana ganjil, terlebih-lebih untuk
memamerkan pengetahuanku yang sesungguhnya amat terbatas perihal Jazz dan Rock,
melainkan semata gaya-gayaan. Hehehe, jujur saja, Bung, waktu menuliskannya ingatanku
memang masih lekat pada Franz Kafka dan Gabriel Garcia Marquez. Konyol, ya ?
Baiklah, aku tak akan menyela lagi. Dan mudah-mudahan pengakuan ini tak lantas membuat
Anda berhenti membaca. Kuharap begitu. Sebab bayangkan, Bung, jika Anda
berhenti, nasib seperti apa yang akan menimpa kawan kita, Tok Awang.
Mula-mula dugaanku tempat ini adalah
tempat yang mengesankan keelitan. Dugaan yang segera goyah begitu kusadari
betapa dindingnya amatlah kampungan. Bukan saja cat yang kusam dan mengelupas, di
sana-sini juga terdapat coretan yang sama sekali tak dimaksudkan sebagai seni. Ada peperangan entah di
mana, yang berbagi tempat dengan gambar adegan persenggamaan dalam berbagai
posisi. Pesawat-pesawat terbang ( dari jet tempur sampai UFO ). Mobil balap.
Pisau komando. Pisang. Monyet. Bebek. Perempuan telanjang. Juga puluhan simbol
agung para pecinta kelas teri, hati tertembus panah. Simbol-simbol ini sebagian
besar digandeng tulisan nama-nama orang atau ungkapan perasaan. “ Cinta
tak pernah mati ”, “ Cinta
ditolak dukun bertindak ”, sampai yang paling sontoloyo semacam “ Kutunggu jandamu ”.
Langkahku terhenti. Lebih tepatnya,
mendadak berhenti. Mataku terperogok sosok perempuan. Dia berdiri di sisi satu
rak berlabel BLUES. Benar-benar perempuankah Dia ? Belum tentu. Sejak Warner
Bros dan 20th Century Fox menjajah dunia, antara lelaki dan perempuan kian sulit
dibedakan. Robin William menjelma perempuan, Hillary Swank menyaru laki-laki.
Hmm …, Dia masih muda. Barangkali
sekitar 25 tahunan.
Cantik
? Ini pun belum jelas. Wajahnya tertutup gerai rambut. Dia mengenakan kaus
putih ketat tanpa lengan dan rok jeans berukuran tinggi sejengkal di atas lutut
berwarna biru pudar. Kakinya jenjang, dibungkus high heels bertali. Kusadari pula akhirnya betapa ruangan ini jadi
lebih harum dari sebelumnya. Harum yang kupastikan bukan datang dari botol
parfum murahan. Aku pernah mencium harum seperti ini. Belum lama, tapi aku lupa
dimana.
Perempuan itu melangkah ke lorong lain.
Jari telunjuknya disiagakan dan matanya tak lepas dari rak. Bibirnya yang bersaput lipstik
ungu komat-kamit membaca judul demi judul. Agaknya Dia gagal menemukan yang
dicari. Air mukanya menyiratkan rasa kesal mendalam. Aih, dari jarakku sekarang, tanpa halangan helai rambut, jelas
kulihat wajahnya yang ternyata memang sungguh-sungguh memesona.
Tak menemukan yang dicari, Dia
melangkah pergi. Begitu bergegas langkahnya. Aku mempercepat ayunan kaki. Entah
mengapa, tiba-tiba aku merasa perlu mengikutinya. Perempuan itu telah memantik
rasa penasaranku.
Ruangan ini ternyata terletak di gedung
berukuran lebih besar. Barangkali semacam Mall. Di kanan-kiri depan ada toko. Tapi
aku kemudian jadi ragu pula untuk memastikan apakah tempat ini memang
benar-benar Mall. Jika Mall, dalam keadaan paling sunyi sekalipun, lazimnya pastilah
masih ada beberapa orang berseliweran atau sekadar window shopping.
Perempuan itu melangkah menuju eskalator. Dia bergerak naik. Aku
masuk ke eskalator lain yang letaknya saling berhadap-hadapan. Antara kami kini
terbentang jarak bersudut pandang kemiringan 90 derajat. Pemandangan
menggetarkan yang berlalu cepat ! Dia keluar dari lift, melangkah lebih
bergegas dari sebelumnya.
Aku
keluar lift di lantai yang sama. Lantai delapan. Lantai teratas. Serentak
kurasakan kudukku meremang. Baru kusadari betapa mencekamnya kesunyian ini. Sederet
Caffe dan Restoran, juga karaoke louge, Diskotek, Cineplex, arena ketangkasan video game.
Semua bisu. Puluhan mesin video game bermain sendiri. Gambar-gambarnya
berkelebat tanpa suara. Di balik kaca etalase Cineplex yang berlapis
debu tebal seakan tak pernah dibersihkan selama bertahun-tahun terpampang
selembar poster yang juga tak kalah kusam. Back To The Future. Di film
ini, Michael J Fox tampil selevel kecemerlangan Max Hamill dalam Star Wars. Sayangnya Hollywood hanya
memberi penghargaan tinggi pada teknik di balik pembuatan film seperti ini.
Bukan akting. Padahal, aku berani bertaruh, tak ada aktor yang lebih mampu
menghidupkan Marty McFly dan Luke
Skywalker selain mereka berdua. Tidak Tom Hanks. Tidak Robert de Niro, Al
Pacino, tidak juga Sean Penn, apalagi aktor-aktor berwajah manis yang membikin
remaja zaman sekarang sampai harus menjerit-jerit sekadar untuk mendapatkan
tanda tangannya.
Aku
suka pada segala gambaran perihal masa depan. Lucu, menggemaskan, meski di saat
yang sama menerbitkan kekhawatiran. Apakah masa depan memang seperti gambaran kedua
film itu, mobil terbang, pedang laser, robot, dan para Jedi ? Semoga tidak.
Barangkali akan lebih menyejukkan apabila di masa depan kendaraan masih melaju di
atas tanah dan manusia tetap menjadi penguasa semesta titipan ini.
Dadaku
berdebar. Kusapu pandangan. Jangan-jangan tempat ini memang berada di masa
depan. Benarkah ?
Ekor
mataku disergap kelebat bayangan. Perempuan itu ! Konsentrasiku segera beralih
lagi padanya. Masa depan atau tidak urusan nanti saja. Dia lebih penting.
Dia
berbelok cepat di satu lorong. Pada papan petunjuk di depan lorong tertulis PARKING
AREA. Kupercepat ayunan langkah. Tetap terlambat. Sesampai aku di ujung lorong
Dia sudah tak terlihat. Kemana Dia ? Aku yakin tak jauh. Harum elit tadi terasa
jelas membelai hidungku. Tapi masih belum kulihat Dia. Ruang luas ini sama
sekali kosong. Tak seperti umumnya area parkir di lantai atas gedung bertingkat,
tidak ada pepohonan di sini. Tidak juga tanam-tanaman atau lampu hias. Tak ada
kursi beton untuk sekadar tempat melepas penat kaki. Bahkan tidak ada mobil.
Jika tak ada sinar bulan tempat ini pastilah
sepenuhnya gulita.
Ketemaraman selalu membuatku merasa tak
nyaman. Apalagi ditambah suara jatuh titik air dari mesin AC. Terus-terang, aku
jadi agak takut. Hampir saja aku berbalik meninggalkan tempat ini kalau saja
telingaku tak menangkap suara orang bercakap-cakap. Dua orang. Perempuan dan lelaki,
datang dari arah jam 11. Perempuan dominan. Lelaki menyela sesekali.
Hati-hati aku mendekat. Samar kulihat dua bayang tubuh berhadap-hadapan. Dari
bentuknya, memang tubuh perempuan dan laki-laki. Suara perempuan meninggi.
“ Untuk apa Anda menanyakan kabarku ?
Sebenarnya, pertanyaan Anda bukan seperti itu, kan ? Akui sajalah. Sebenarnya Anda hanya bermaksud
menanyakan kabar kelaminku ? Apakah aku tidak hamil ? Tidak. Anda tak perlu
khawatirkan soal itu !”.
“ Saya butuh kamu. Saya cinta kamu !”.
“ Wah, jadi Anda bicara cinta pula sekarang. Tak usah main-mainlah.
Tahu apa Anda soal cinta ? Pernah baca Gibran ? Anda bahkan tak bisa menangkap
nikmat buaian lagu-lagu Sinatra ? Kita pernah nonton Gone With The Wind dan
yang Anda lakukan sepanjang tiga jam itu hanya menciumiku dengan buas. Jadi berhentilah
bicara cinta. Anda pernah memimpikan aku ? Anda pernah melihat bayang wajahku
di cermin tiap kali Anda menyisir rambut atau merapikan dasi ? Berapa banyak
waktu yang Anda habiskan untuk memikirkan aku dalam sehari ? Aku yakin tak pernah
lebih dari lima
menit. Waktu kelamin Anda gelisah. Lalu Anda menghubungiku dan setelah itu kita
bergelut seperti dua ekor belut. Apakah Anda yakin pada kata-kata Anda tadi ?”.
“ Sangat yakin. Saya menghormati
kamu !”.
Perempuan itu tertawa. Panjang dan
lantang dan binal.
“
Anda lucu sekali. Sumpah, aku sama sekali tak menyangka, Anda ternyata berbakat
jadi pelawak !”, ucapnya setelah tawa usai.
“ Tidak, sayang. Aku benar-benar
tidak sanggup hidup tanpa kamu !”.
“ Hahahahaha. Sudahlah ! Aku lelah mendengar kalimat-kalimat cinta Anda.
Bukankah selama ini kita bisa bercinta tanpa perlu repot-repot memikirkan cinta
?”.
Sunyi
sejenak. Hanya suara jatuh air AC dan desau angin yang mampir membelai
telinga. Keheningan dan ketemaraman.
Kudukku meremang lagi. Lalu perempuan itu bicara lagi.
“
Aku pikir Anda perlu tahu. Sebenarnya hubungan kita ini kupertahankan semata karena
aku merasa belum cukup bisa menambah kebencian !”.
“ Kebencian ? Terhadap siapa ?”.
“ Anda tidak perlu tahu. Tapi
sekarang, kata-kata dan sikap Anda tadi sudah membantuku untuk mewujudkan
tujuanku itu. Aku sekarang sudah lebih membencinya. Jadi dengan demikian, maka
hubungan kita pun harus berakhir !”.
Tidak ada lagi suara. Kucoba
mengintip ( sejak tadi aku bersembunyi dan menguping dari balik sebuah tiang ).
Bayangan perempuan tidak ada lagi. Hanya tinggal bayangan lelaki. Tapi segera
kusadari bayangan itu bukan bayangan lelaki yang sama. Tubuhnya lebih gempal
dan lebih pendek ketimbang laki-laki tadi. Oi,
ternyata bukan hanya aku menguping percakapan tadi. Ternyata ada orang lain dan
kini Dia berdiri dengan tangan ditopangkan pada tembok. Kemana perginya pasangan
yang mempertengkarkan cinta tadi ?
Lelaki asing itu tiba-tiba berpaling ke
arahku. Wajahnya tidak begitu jelas, tenggelam ditelan temaram cahaya. Namun
sinar matanya terasa menusuk tajam. Aku merasa terpojok. Aku sudah bersiap-siap
mengambil langkah seribu, siapa tahu laki-laki itu marah dan mengejarku. Ternyata
hal ini tak dilakukannya. Dia justru kembali memalingkan wajah dan selanjutnya
melakukan sesuatu yang sungguh mati tak pernah kuduga.
Laki-laki itu kini memanjat tembok.
Astaga ! Firasatku buruk. Aku berlari mendekatinya.
“ Hei, Bung ! Jangan bodoh !”, kataku berteriak.
Peringatanku terlambat. Setelah
sesaat berpaling lagi ke arahku, bahkan kali ini sempat tersenyum, laki-laki
itu meloncat. Detik berikut terdengar suara berdebum.
Kulongokkan kepala. Gelap penuh.
Dari lantai 8 ini, puluhan meter jauhnya, mataku tak bisa menemukan setitik pun
cahaya.
Tiba-tiba
kurasakan nyeri di belakang kepalaku. Detik berikutnya tubuhku seperti
melayang, lalu melesat turun sangat cepat. Aku menggapai-gapai. Percuma. Hanya
udara kosong menjilat ujung jari. Kututup mata dan kulihat kembali perempuan
itu. Kuhirup lagi harum yang kuprasangkakan datang dari tubuhnya. Aku makin
yakin pernah mengenalnya. Juga laki-laki yang bunuh diri tadi. Mereka sama
sekali tak asing. Tapi siapa ? Di mana pernah kutemui mereka ?
Aku
melayang turun. Terus turun. Sekelilingku makin gelap. Tapi makin harum.
Begitulah, Bung. Tulisanku berakhir di sini.
Enam halaman dan kupikir sesungguhnya cukup panjang untuk ukuran draft cerita.
Masalahnya, seperti kuutarakan di awal tadi, cerita ini belum rampung.
Barangkali baru separuh jalan saja. Jika Tok Awang masih Tok Awang si Juru
Cerita yang sama-sama kita kenal, sama sekali tak ada persoalan. Tentu Anda
ingat, bahkan sekadar beberapa baris kalimat yang tidak dimaksudkan sebagai
cerita bisa diolahnya jadi kisah menakjubkan yang membikin takjub para
pendengarnya. Sekarang Dia bukan Tok Awang yang sama. Aku khawatir, jika kuserahkan
draf ini padanya, akan percuma karena toh Dia tidak dapat meramunya jadi cerita
utuh. Karena itulah, sekali lagi, demi kawan kita yang terkasih, mudah-mudahan Anda
berkenan membantu. Salam !
PENGEMIS
Titian
Gea
Lelaki
itu terus belari di sepanjang jalan berkerikil, tubuh kering kerontangnya
menjadi mangsa teriknya sinar matahari. Entah apa yang ada dalam pikirannya di
siang bolong, saat jam terhenti tepat pukul dua belas siang. Aku hanya tahu
lelaki itu sedari pagi mengusap-usap sebuah buku lusuh berwarna biru pudar yang
tergeletak di hadapannya. Sambil duduk bersila di atas tikar bekas dari orang, Dia
menengadah tangannya ke atas mengharapkan beberapa koin atau lembaran rupiah
terjatuh tepat di telapak tangan keringnya. Sesekali meringis sambil memelas,
sesekali menangis dan berteriak, sesekali mengelus-elus buku biru lusuh itu
seakan tidak ingin debu kembali menempel di atasnya.
Tetapi
aku tertarik pada baju yang dikenakannya, kemeja abu-abu dengan dasi lusuh
berwarna merah dan celana hitam. Penampilannya kacau dan jauh dari sebutan
bersih, tetapi mampu mengingatkanku pada sosok pejabat yang setiap harinya
berpenampilan hampir sama dengannya, mengenakan kemeja dan berdasi.
Entah
siapa yang menyumbangkan baju itu padanya. Apakah ada orang iseng yang
memberikan pakaian lengkap itu, sekedar menyindir seseorang atau sebuah
kelompok.
Beberapa
uang receh yang diterimanya terjatuh di tanah dan berputar menjauh darinya.
Dia
kemana ? Hanya beberapa menit aku meninggalkan pikiranku tentang Dia, lelaki
itu malah berlari sambil menggenggam erat bukunya. Dia berlari tanpa tahu apa
yang dikejarnya.
Koin
semakin menjauh darinya, berlari dan seperti ingin menghilang dari pandangan
pengemis berdasi itu. Yah, mungkin itu yang dikejarnya hinga Dia terus berlari
tanpa henti.
Matahari
yang menyengat menjadi saksi atas tingkah mereka berdua yang tak kunjung
berhenti dan mengalah. Koin semakin lama semakin jauh dari langkah kaki tuannya, bisa saja Dia memenangkan aksi
kejar-kejaran itu.
Hap
! Langkah kaki itu ternyata terlalu cepat melompat, koin seribu terperangkap di
kedua telapak tangannya.
“
Hahahaha ..., dasar pengemis serakah, koin seribu pun tak sanggup kau biarkan
hilang dari tanganmu !”, gerutuku dalam hati.
Dia
tersenyum puas menatap koin seribu itu kini berada di genggamannya. Tanpa alas
kaki Dia kembali menyusuri jalanan berkerikil dan panas, Dia kembali ke
sarangnya.
* * *
Aku
sudah berulang kali menjelaskan kepadanya kalau tempat itu adalah milik
kelompok pengemis terkaya di lingkungan ini, tapi Dia tidak pernah percaya.
Memang selama dua minggu ini kelompok pengemis itu tidak bekerja di kampungku
dengan alasan berlibur ke luar kota.
Dan pagi ini adalah pagi penyambutan mereka. Tepat pukul 06.00 pagi terdengar
suara-suara ribut di depan warungku, yang membuat aku harus bangun dari tidur
nyenyakku dan segera menemui asal keributan.
Terlihat
tiga orang lelaki yang tak asing di mataku menelanjangi pria yang dua minggu
ini aktif mengemis di kampung. Hanya sepotong celana dalam yang kini merayap di
tubuhnya. Pemandangan yang tak mengenakkan dan tak sepantasnya terjadi di
wilayah ini. Tiga orang pria itu tertawa puas menyaksikan korbannya
dipermalukan di depan umum.
Aku
melihat sepulang dari luar Kota,
tiga pengemis alias trio pengemis semakin segar bugar saja, baju mereka malah
lebih bagus dari baju yang setiap hari kukenakan. Bahkan aku dengar dari
tetangga mereka kini memiliki kelompok besar pengemis yang cabangnya ada di
beberapa kampung dan dua minggu yang lalu mereka sengaja keluar Kota untuk mencari
manusia-manusia yang ingin menghimpun uang rakyat tipe murahan alias mengemis.
Setengah terkejut dan iri melihat kesuksesan mereka. Semakin hari tingkat sosial
pengemis semakin tinggi saja dari kami yang bekerja membanting tulang untuk
mendapatkan sesuap nasi. Aku saja yang berpuluh tahun membuka warung tak pernah
sanggup liburan apalagi berlibur keluar Kota.
Boro-boro berlibur, sehari saja tidak jualan jatah sarapan pagi akan hangus.
Saat
ini pengemis sama saja dengan pemakan uang rakyat kelas bawah, sedangkan kata
tetanggaku yang paling keren adalah korupsi dan para kaum atas atau kaum
elitlah yang mengeluti pekerjaan itu. Koruptor, itulah sebutan para kaum elit
yang melakukan korupsi. Dari istilahnya saja sudah sangat keren, belum lagi
mendadak masuk Tivi. Hampir semua warga kampungku sering mendengar berita para
pejabat yang korupsi dan mereka akan tersenyum melihat dan mendengarnya. Aku
juga kurang tahu apa yang sedang mereka pikirkan saat itu.
* * *
Ah,
pagi ini ku luangkan waktu untuk bergosip ria. Membicarakan kelompok pengemis
yang membuat heboh sekampung. Belum lagi si pengemis yang asal serobot tempat
bisnis orang. Padahal sejak kemarin aku sudah beritahu padanya kalau di kampung
ini sudah ada kelompok penguasa urusan ngemis-mengemis tapi tetap saja Dia
keras kepala tak mau mendengarkan, memang di kampung kami adalah kampung
teramai di daerah pinggir Kota, banyak juga para pelancong yang mampir di kampung
kami apalagi di depan warung makan milikku, itulah sebabnya depan warungku
menjadi tempat yang paling tepat untuk mengemis. Akupun tak pernah keberatan
selagi mereka tidak merugikan, maka apa salahnya kubiarkan mereka menjalankan
rutinitasnya. Tapi, sekarang masalahnya adalah halaman sempit warungku malah
menjadi rebutan dua belah pihak.
Oleh
karena itu, aku menyempatkan diri untuk mengadakan rapat atau mungkin bisa
disebut bergosip bersama ibu-ibu tetangga untuk membicarakan masalah tadi pagi.
“ Bu, kita usir saja mereka dari kampung kita.
Mereka hanya mengganggu ketentraman kita saja. Mereka kira ngemis itu bisnis
apa sampe pake istilah buka cabang segala lagi !”,
saran ibu Yati, tetanggaku sebelah yang cerewetnya sudah di atas normal.
“ Iya bu, toh sekarang mereka sudah hidup enak.
Malah lebih enak dari kita !”, sambung bu Murni, wanita yang
selalu haus akan uang.
“ Sudahlah bu, kita tidak usah mikirin hal itu.
Yang harus kita pikirkan, bagaimana membersihkan nama baik kampung kita ini.
Jangan sampai kampung sebelah mendengar berita kalau kampung kita sarang
pengemis !”, ternyata ibu Suri yang selalu menjaga nama baik
keluarganya juga ikut bicara.
Aku
pun merasa heran dengan wanita yang satu itu, seberapa mahalkah harga diri dan
nama baik hingga memaksa anaknya menikah dengan lelaki tua kaya hanya untuk
menjaga kelestarian kekayaan mereka.
Aku
hanya terdiam mendengar celoteh para wanita itu. Niatku untuk bicara pun
semakin luntur, mendengar mereka saja telingaku hampir terkatup sendiri.
Biarkan sajalah mereka berkoak-koak di depan wajahku, paling mereka akan
berhenti dan bubar dari warungku jika telah capek berceloteh dan bibir serta
ludah mereka mengering. Harusnya yang dibicarakan adalah bagaimana cara
mendamaikan kedua belah pihak itu, mencari jalan tengah dan memutuskan siapa
yang akan mengemis untuk hari-hari seterusnya di kampung ini bukannya
membicarakan yang lain-lain.
Aku
sangat paham watak pengemis pendatang baru itu, Dia adalah pengemis yang sangat
handal dan keras. Tidak mungkin segampang itu Dia mengalah hanya karena
ditelanjangi. Rejeki yang didapatkannya selama mengemis aku lihat sangat
lumayan. Dia sanggup makan tiga kali sehari atau sekedar membeli barang-barang
sederhana yang Dia inginkan. Aku memang tidak tahu asal usulnya, dan memang lelaki
itu sendiri tidak pernah membuka pembicaraan tentang keluarganya. Tapi aku
yakin Dia memiliki keluarga hanya saja Dia tidak pernah mengakuinya.
* * *
Senja
semakin dalam, hingga gelap menutupi sebagian bumi. Sesekali bunyi jangkrik
terdengar dibalik hujan yang mengguyur malam. Masih saja memikirkan masalah
tadi pagi. Aku ingin mengenal pengemis baru itu. Mengapa Dia sangat bersikeras
untuk mengemis di kampung ini tepatnya di depan warungku. Padahal Dia masih
kuat walau umur sedikit rapuh, dan apakah peristiwa ditelanjangi bukanlah
masalah besar baginya atau mungkin urat kemaluannya sudah putus hingga Dia
tetap bertahan tanpa bergerak sedikitpun dari tempatnya. Terpaksa para warga
kampung dan kelompok trio itu yang meninggalkannya sendiri di sana. Aku hanya terpaku dan merasa risih
dengan pemandangan itu. Terpaksa kuberikan padanya sarung milik suamiku.
Seharusnya saat itu Dia pergi tapi nyatanya Dia masih saja berdiam diri di
tempatnya dan pergi setelah malam mulai merayap.
Tiba-tiba
saja aku mengkhawatirkan pengemis itu. Dimakah Dia menginap malam ini ?
Biasanya Dia tidur di Post Kamling, tidak jauh dari warungku dan tempat Dia
mengemis. Beberapa hari yang lalu setelah aku menjelaskan panjang lebar tentang
kedatangan kelompok trio pengemis yang biasa nongkrong di depan warungku,
lelaki itu tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menuju Post Kamling. Tanpa
sengaja, pikiran yang terlalu termakan penasaran pun mendorongku untuk
menyaksikan ekspresi lelaki itu terhadap pernyataanku padanya. Perlahan aku
mengintip Dia di celah-celah dinding kayu warungku. Terlihat ekspresi wajah
yang begitu menegangkan dan sangat misterius. Dia terus menatap ke arah warung.
Apa yang salah dengan warungku, ataukah ada yang Dia ingin dari sini ? Aku tak
tahu dan aku berusaha menenggelamkan pikiran itu dari otakku hingga pada malam
ini pikiran itu tiba-tiba mengambang seperti ikan yang mendadak mati di tengah
kolam. Otakku berhenti pada detik itu, mencoba berpikir lebih keras dan
memecahkan kemisteriusan lelaki pengemis pendatang baru itu. Dia memang
pendatang baru di kampung tetapi sikapnya yang ramah membuat Dia diterima di
sini, tetapi masalah ngemis-mengemis memang tak sanggup kami atasi sebab trio
pengemis itu pun telah membungkam mulut-mulut kami hingga tak ingin bersuara.
Biarlah mereka sendiri yang mengambil persetujuan akhir, kami hanya bisa
menyaksikan dan jika tidak lagi mampu diatasi maka terpaksa pihak yang lain
harus kami paksa untuk mengalah bagaimanapun caranya, karena malasah kelompok
pengemis itu adalah masalah kami, dan jika mereka mengamuk maka kamilah yang
tertimpa bencana kekacauan. Terkadang aku bertanya sendiri dalam hati,
sebenarnya ini kampung kami atau bukan, jika iya, mengapa kami harus menurut
pada kehendak para pengemis itu. Apa karena mereka ganas bak binatang buas ?
Tapi ini bukan di hutan rimba bung ! Ini adalah kampung, tempat hunian manusia
bukan binatang dan seharusnya warga dan pemerintahan kampung kamilah yang
berkuasa, tapi kenyataan tak bisa kami tolak, Lurah pun selalu angkat tangan
dalam masalah ngemis-mengemis apalagi ini masalah perebutan wilayah yang entah
siapa yang ribut, entah siapa pemiliknya. Aku pemilik tanah pun tak tahu
berbuat apa. Sudah dikasih hati malah minta jantung, sudah dikasih tempat
ngemis, eh malah mengaku wilayah kekuasaannya. Ha, mentang-mentang pengemis
sukses.
Pengemis
sukses ? Apa ada pengemis sukses ? Pengemis ya tetap pengemis tidak ada
suksesnya, tapi yang kutahu dengan mata, hidung dan kepalaku sendiri, mereka
sepertinya sukses dalam mengemis hingga mampu membuka cabang. Warung makanku
saja yang berpuluh tahun dibuka sampai sekarang tak pernah buka cabang,
memperluas ruangannya saja tidak sanggup.
Cukup ! Aku kembali pada mata lelaki itu. Aku
merasakan ketajaman tatapan itu dari sudut sana, seakan ingin menusuk jauh kedalam
sasarannya. Tapi apa yang dipikirkannya ?
* * *
Suara
ribut dan teriakkan memekakkan telingaku pagi ini. Sebenarnya aku sangat benci
bangun terlalu pagi apalagi jika terpaksa bangun akibat suara-suara yang tak
jelas. Kembali lagi seperti pagi kemarin, pukul 06.00 pagi aku terbangun dan
perlahan membuka pintu rumah. Bagaikan kejutan yang sangat luar biasa, mampu
memompa jantungku seratus kali lebih cepat bahkan menggetarkan tubuhku dan
mungkin beberapa detik aku berhenti bernafas demi menikmati sesuatu yang ada
dihadapanku. Seonggok mayat berlumur darah segar terkulai tepat di depan pintu
rumahku, dengan posisi telungkup dan setengah telanjang. Mataku tak berkedip,
hingga seseorang mencoba membalikan badan lelaki itu dan ternyata mereka.
Aku
segera berlari dari tempatku, berlari ke halaman rumah dengan harapan tak ada
lagi mayat berdarah yang kutemukan, tetapi aku melihat dua orang lagi terkapar
dengan posisi telungkup dan benar-benar telanjang. Sekujur tubuhku bergetar,
aku sangat benci pada darah ! Aku segera berlari dan terus berlari mencari
lelaki itu atau aku bersembunyi saja. Aku takut kembali ke kampung.
GURU UNTUKMU
Utan Sahiro
Di
situ hunianku, di rumah panggung karatan wasiat satu satunya almarhum ayah
ibuku. Mereka telah damai di surga, meninggalkanku bersama derita yang kini
dititipkan padaku. Aku ditepi Sungai Musi yang kuning kumuh, tempat orang lalu
lalang dari daerah terisolasi transmigrasi. Gundah mengharap dan menanti
sesuatu yang tak pasti. Belajar tabah sepertinya sulit untuk anak sebelia aku.
Ke mana dan pada siapa mengadu. Menjadi palu raksasa yang menghantam dan
memecah ketegaran hati. Mendekatkanku pada keputusasaan.
Santunan
yang aku terima dari warga kampung kian menipis. Panci dan periuk jarang
terjerang di atas tungku, kayu dan api. Aku kecil yang malang lekat dibalut pekat derita. Sejak
menjadi yatim disusul piatu sebulan lalu, aku pun putus Sekolah. Padahal ingin
kugapai mimpi dan cita-cita yang sempat terpatri.
“
Berharaplah nak, sekalipun Tuhan tak pernah mewujudkan harapanmu. Tuhan
Mahapengasih, memberi yang kau butuhkan dari sebuah harapan !”, begitu pesan
ayah padaku.
Kusirami
dengan indahnya warna-warni serta kemilau sebuah harapan di benakku. Menyalakan
rasa hidup yang hampir mati. Membesarkan hati yang menciut didera cobaan hidup
tak berujung. Harapan itu menjadi doa dalam hidupku. Untuk ayah, aku
menggenggam harapan yang mungkin segera nyata. Dengan akal sehat telah kupilih
pilah harapan demi harapan. Ada
tanya, apakah harapan atau hanya khayalankah yang kini kurangkai ? Aku hanya
tahu itu menjadikan hidupku sedikit berarti. Kelak aku mengerti dua hal yang
hampir sama, tapi jelas berbeda. Harapan dan Khayalan.
Harapan
yang indah itu bermetamorfosa, saat aku merasa punya mata tapi tak melihat,
punya kaki tapi tak dapat melangkah, punya tangan serasa sepenggal. Ada benarnya Tuhan tak
pernah memberi apa yang diharapkan. Tapi aku yatim yang merangkap piatu tak ada
yang bisa aku perbuat. Hanya berharap Tuhan menjatuhkan pertolongannya. Paling
tidak dengan nama – Nya tiba-tiba aku tercekal, seluruh tubuhku sakit, aku
meronta, menjerit tak karuan. Merasakan kelam dan dingin, di tempat yang sepi
bertemu ayah ibuku. Di sisi lain, berharap ada seseorang yang menjemputku menjadi
penawar kesendirian.
Tapi
aku manusia biasa yang berakal apa adanya. Dengan sendirinya membuat suatu
keraguan pada satu harapan. Gelisah memuncak, bingung membumbung, ragu membeku.
Kekhawatiran lekat menyertai harapanku. Bagaimana hidupku bila semua itu tak
pernah ada. Tanpa sadar telah mengantisipasi diriku untuk berpikir jernih.
Mengajak semangat untuk mendapatkan kebenaran yang harus ditemukan. Berpikir
sepantasnya mencari solusi yang lebih nyata. Sayangnya, aku belum cukup dewasa.
Tak cukup akal untuk menyelesaikan masalahku. Hingga kekhawatiran menjadi raja
dihatiku. Meneror dan menyangkal setiap kali aku berharap dalam doa.
Setahuku,
aku hanya hidup sendiri. Tapi siang itu yang terasa sepi, diisi kekhawatiran
yang tak menentu. Sebuah perahu bermesin tiba-tiba berlabuh di tepian hunian.
Kulihat seseorang menatapku dari atas perahu. Naluri menduga karena tak
mengenalnya. Mungkinkah Dia malaikat penyelamat pembawa takdir kebaikan, yang
diutus Tuhan seperti pintaku ? Dalam ketidakpastian aku berharap sesuatu yang
baik untuk diriku.
Senyumnya
memaksa melihatku yang kian lusuh berdiri terheran dalam harapan. Singkat Ia
merapat, melompat cepat lambat mendekat, ayunan langkahnya sehat penuh
martabat. Aku yang tak mengerti, hanya tersenyum ketika tangan kanannya merusak
tatanan rambutku, yang sebenarnya sudah lebih dari hanya sekedar rusak.
“
Kita akan pergi !”, ucapannya lirih sambil tersenyum sedih melihatku.
Aku
diam saja.
“
Aku terlambat datang untuk membayar budi ayahmu !”.
Aku
masih tetap diam tak paham. Senyumnya hilang matanya berkaca-kaca. Bingung
tentang siapa, dari mana, dan kenapa, akhirnya mengajariku untuk berani
bertanya. Dia tersenyum lagi sambil mengangguk paham. Selembar foto usang dari
dalam dompet diperlihatkan padaku. Aku salah menduga, ternyata Dia pamanku.
Hubungan sepupu dengan ayahku.
Dia
bercerita memecahkan ketidakpahamanku padanya.
”
Sejak kecil kami dititipkan di rumah kakek nenek. Sementara orang tua kami
mencari nafkah di tempat yang jauh. Di sungai ini awal penderitaan kami. Saat
akan menjenguk kakek yang sedang sakit. Takdir menenggelamkan keluarga itu dan
menjadikan kami yatim piatu. Nenek kesulitan menyekolahkan kami setelah kakek
tiada. Hanya seseorang yang bisa Bersekolah. Jiwa besar ayahmu membuatku
berhutang budi !”, matanya basah, menerawang kenangan pahit masalalu.
“
Dua bulan yang lalu aku terima surat
ini. Aku tak menyangka jika tak akan pernah melihat ayah kau lagi. Tapi aku
lebih tak menyangka jika ibu kau pun tak kuat melawan sakitnya !”, menetes air
matanya membuatku kasihan mengingat diriku.
Ternyata
setelah ayahku tiada, ibu sudah merasakan akan meninggalkanku. Lantas ibu
mengirim surat
lewat kenalannya dikampung seberang.
Cerita
itu terdengar seperti dalam Novel, Cerpen, Film atau Sinetron saja. Mulai dari
dua anak yang dititipkan. Dua keluarga yang tenggelam. Sampai dua anak yang
harus saling mengalah untuk Sekolah. Tapi itulah kenyataannya. Tuhan telah
merangkai semua cerita itu. Untuk kudengar, kuhayati dan menjadi bagian dari
hidupku. Begitulah Tuhan mengatur kehidupan ini. Jauh ke depan, masa lampau
berlalu dalam kenangan. Namun tetap dalam satu rangkaian cerita untuk
seseorang, yakni aku.
Peristiwa
yang terjadi bertahun-tahun lalu tanpa terputus, kini menjadi bagian dari
derita hidupku. Yang aku jalani dan harus tetap aku jalani. Kelak, jika Tuhan
pun merangkainya, maka akan menjadi bagian dari derita dan bahagia anak cucuku.
Itulah Tuhan kawan, tak ada satu kejadian di dunia yang terjadi secara
kebetulan. Semua telah digariskan dengan sebuah alasan. Hanya Dia yang bisa
begitu dan hanyalah Dia, Tuhan.
Selamatlah
aku setelah sempat mengalami sesak dalam ketakutan. Menikmati gemerincing
bisikan kematian. Membisu didera haru tak dapat tempat untuk mengadu. Aku
bertanya pada diri sendiri, begitukah Tuhan ? Menyiksa dahulu baru memberi
pertolongan ? Tak sempat bersusah payah menjawab pertanyaan itu, aku pun
bersyukur. Aku tak ingin menyia-nyiakan pertolongan yang datang padaku. Tuhan
Mahatahu, jika Tuhan mendengar maka akan datang jawaban itu kedalam pikiranku. Untuk
kesekian kali aku mengharap lagi.
Menjauh
kami berlalu di atas perahu, di dalam hati ada harapan baru. Menerangi redup
pandang pikirku tentang hidup. Ada
sedih, aku karena akan ada rindu. Memang pedih aku dis itu, tapi rindu adalah
buah untuk semua yang berlalu.
“
Tak perlu bersedih, setiap manusia merasakan kejadian yang sama, hanya berbeda
peristiwa dan nama. Sebab itulah pedoman hidup mengacu pada kitab yang sama.
Jangan mengira kau manusia paling menderita. Tersenyumlah agar kau menjadi
sabar !”, ceramah pendek melantun dari mulut malaikat penyelamatku itu, seperti
dukun Ia selalu tahu isi pikiranku. Aku percaya kata-katanya, karena Dia telah
dulu merasakan pedih.
Aku
merasa malu jika aku harus bersedih.
Bersamanya
aku tinggal, di rumah yang semak dengan kemewahan serta kecukupan. Enggan
bagiku untuk menerima semua itu dengan menutup mata. Tanpa diminta dan
perintah, aku melakukan sesuatu untuk kepentingan di rumah itu. Aku mengerjakan
pekerjaan yang dilakukan pembantu. Di rumah pamanku, di rumah orang yang
termakan budi ayahku. Tak apa bagiku karena hidup telah menempah diriku untuk
tidak berpangku tangan.
Dengan
sungguh-sungguh aku Bersekolah meski sebenarnya otak miskinku kurang mampu.
Tapi lihatlah, dengan harapan masa depan yang lekat oleh kekhwatiran, telah
membuat diriku sungguh-sungguh. Sudah ketentuan Tuhan dan kodrat alam yang tak
menyia-nyiakan sebuah usaha dan doa dalam kesungguhan. Akhirnya aku pun tahu,
harapan adalah doa yang tanpa kekhawatiran hanyalah sebuah khayalan dan bukan
pula impian.
Kini
aku telah menjadi apa yang aku inginkan. Terukir dalam dipikiranku, untuk
menilai positif pada apapun yang terjadi. Berprasangka baik pada Tuhan semesta
alam menjadikan aku manusia yang bersyukur. Hingga takdir – Nya pun memudahkan
jalan hidupku. Aku mampu menyelesaikan Sekolah dengan baik. Menjadi salah satu
yang baik diantara yang terbaik. Meraih gelar sarjana seperti harapanku. Satu
dari sekian harapan yang kusemai di benakku. Saat aku masih kecil, saat kedua
orang tuaku masih bersamaku, menuntun hidupku di sana.
Mengingat
masalalu itu dan merasakan hidupku hari ini, aku temukan jawaban atas tanyaku
sebelumnya. Ternyata kesusuhan bisa datang tidak sehari saja setelah sehari
kemarin datangnya kebahagian. Kesusahan bisa datang bertubi-tubi menghantam
sejadi-jadinya, melemahkan serta menggoyahkan jiwa dan perasaan. Begitu pun
dengan kebahagian yang kelak akan datang beruntun terus menerus, melambungkan
jiwa dan perasaan hingga lupa pada diri sendiri. Untuk mengukur kawan. Ya,
untuk mengukur ingat dan syukurmu pada – Nya.
Terima
kasih Tuhan, Engkau ajarkan aku pada kebenaran. Aku tersenyum, dengan bibir
kering memandang orang di sebelahku.
#
Yen,
terdiam sejenak mendengar cerita masalaluku, matanya lekat menatapku. Kubalas
pandangannya, Ia berpaling seakan merasa bersalah pada keputusasaannya. Malam
ini begitu panjang bagi kami. Masa depan yang tak kunjung berubah. Menjadi
kebosanan menyebabkan Dia bermurung. Sudah beberapa hari aku tak melihat
semangat dalam senyumya. Kemurungan yang terlalu dibawa-bawa. Membuat malam ini
aku harus menyisihkan waktuku untuk menceramahinya. Hanya cerita masalalu untuk
Yen, membawahi kesedihan yang Ia tanggungkan. Sebenarnya, aku tak cukup peduli
dengan yang Ia rasakan. Tapi aku hanya ingin berbagi untuk orang-orang seperti
Yen. Sebab tubuh itu tanpa sebuah semangat pasti akan roboh.
Yen,
temanku dari Nganjuk, malam bekerja sebagai Sekuriti di Apartemenku. Saat
terang Dia pergi ke Hospital. Menjadi Guide atau sekedar memberi informasi
tempat penginapan. Mencari penghasilan tambahan dari orang-orang Indonesia
yang datang berobat. Sudah tiga tahun lebih Ia menjadi pendatang di sini, di
Pulau Penang. Kurus kering seluruh tubuhnya,
seperti semangat hidupnya kini. Sedang aku baru setahun di sini. Untuk belajar
dan menyelesaikan program beasiswaku.
Perkenalanku
dimulai saat pertama kali aku datang ke sini. Begitu ramah senyumnya, menyentuh
akrab setiap kali kami bertemu. Aku yang kala itu baru saja tiba, sering
bertanya padanya tentang kedaan lingkunganku yang baru. Membuka obrolan yang
panjang antara aku dan Yen.
Yen
menjadi pendatang di sini menyandang status sebagai TKI. Tak tahu dari mana
asal kata itu. Beberapa kata yang mengandung unsur tragis dan siksa. Tapi
setahuku itu sebauh nama yang disematkan oleh pemerintah. Tak aku hiraukan,
karena itu akan tetap seperti itu. Selagi pemerintah belum cukup akal untuk
menyematkan nama. Tidak hanya baik dalam sebutan tapi juga baik dalam jaminan
hidup. Namun itu sudah cukup baik. Hanya lebih baik lagi jika itu tak pernah
ada. Seperti harapan Yen, seandainya di Tanah Air bekerja bisa menjadikan hidup
lebih baik. Tak pernah ada keinginannya untuk meninggalkan Tanah Air tercinta
tempat pusara bertahta.
Dari
sebuah kampung nun diantara kampung di pulau Jawa. Melangkahkan kaki dalam sebuah
harapan. Mendapatkan pekerjaan dan menghidupi keluarga lebih baik lagi. Dengan
hanya bermodalkan kemauan dan keberanian. Tanpa ilmu, tanpa teori, tanpa
secerik kertas pujian. Hanya bermodalkan diri dan pribadi berharap mendapatkan
penghasilan lebih banyak. Lebih baik bila dibandingkan di Negeri sendiri, yang
minim gaji kerja setengah mati.
Cerita
yang aku dengar, Ia adalah anak lelaki sulung dari keluarga yang miskin.
Menjadi tumpuan harapan ibu, istri dan adik-adiknya. Sedang ayahnya pergi
merantau ke langit ke tujuh yang tak akan kembali. Sebenarnya keluarga Yen tak
rela melepaskan Ia dan keinginannya. Tapi tak ada yang bisa diandalkan untuk
menghidupi keluarganya. Pernah berbagai macam pekerjaan telah Ia lakoni di
Tanah Air. Menjadi pengamen, tukang parkir, tukang cat, cleaning services,
tukang kebun, tukang tambal ban, dan masih banyak lagi. Menjadi yang bukan
dirinya untuk menghidupi keluarganya. Namun sayang, bekerja setengah mati tak
cukup bisa menghidupi.
Akhirnya Ia
melangkahkan kaki di sini, bersama seorang teman. Awalnya hanya menjadi seorang
tukang kebun di rumah seorang Datuk. Begitu katanya mereka menyebut orang
terpandang di Malaysia.
Namun karena gaji, selalu ada tawaran untuk beralih profesi. Mendapat gaji yang
lebih baik dengan bekerja lebih sedikit. Setelah beberapa lama dan cukup banyak
kenalan sesama TKI, yang memang banyak di Malaysia. Yen mendapat tawaran dari
seorang teman. Hingga akhirnya, sudah lebih dari dua tahun Yen bekerja di
Apartemen ini. Menjadi penjaga malam atau Sekuriti sebutan kehormatan untuknya.
Aku
tahu Yen orang yang tegar, hanya saja Dia telah lupa bagaimana menegarkan
dirinya. Menjadi TKI dan tulang punggung keluarga tanpa ilmu sebagai bekal.
Menerima dan mengalami banyak kesulitan menjalani hidup. Berbagai cobaan telah
Dia rasakan, membuat Ia lupa untuk tegar. Aku merasakan apa yang Dia pikirkan.
Akhir dari ceramah dalam obrolan itu, kukatakan pada Yen.
“
Tanpa harapan roda nasibmu tak akan pernah berputar. Masa laluku kiranya bisa
menjadi Guru Untukmu !”.
Dia
mengangguk dan aku tersenyum. Malam berlalu, aku pun menderu dalam tidurku,
sebelum terlelap aku berharap. Semoga esok ada semangat dalam senyum Yen.
Semangat yang tak akan luntur didera goda dan waktu.
KONTRIBUTOR
Adhiet’s Ritonga
Merupakan
Nama Pena dari Muhammad Khaidir Ritonga, S. Pd. Guru di MAN Tanjungbalai Mata
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,
serta Seni dan Budaya Nusantara. Asisten Dosen ( alm ) Drs. Nasrun Adil., M.
Hum, untuk S 1 PGSD. Lahir pada tanggal 20 April 1984, anak ke tiga dari enam
bersaudara. Ialah anak dari Bapak Awaluddin Ritonga dan Ibu Aminah Lubis.
Rutinitas yang dilakukan selain Mengajar adalah Menulis dan mengelola Wadah
Kepenulisan dengan Nama Sanggar Pelangi, meski sekarang belum resmi berdiri.
Telah menghasilkan beberapa Naskah Puisi, Cerpen, Novelet dan Naskah Drama
serta Artikel Sastra dan Ilmiah. Karya Puisi, Cerpen dan Artikel sering kali
dimuat dalam Harian Analisa dan Harian Waspada. Untuk Novelet masih berbentuk
Naskah dan sedang dalam penyempurnaan untuk dijadikan Buku. Sudah pula
melahirkan Buku Antologi Puisi dan Cerpen bersama, diantaranya ; Antologi Puisi
“ Justin Bibier My Idol ”, Yandigsa DKK. Leutika Prio Yogyakarta,
Juni 2011. Antologi Puisi “ KUMPUI ( Kumpulan Puisi ) bersama Dara Penuh Warna
”, Adhiet’s Ritonga end Friend. Leutika Prio Yogyakarta,
Februari 2012. Antologi Puisi “ Ayat – Ayat Ramadhan ”, Yandigsa dan Kawan –
kawan. A. G Publishing Yogyakarta, Juli 2012.
Antologi Puisi “ Bumi Indonesia Kami Tercinta ”, Adhiet’s Ritonga dan Kawan –
kawan. Hasfa Arias Yogyakarta, Agustus 2012.
Antologi Cerpen “ Putus ”, Penulis Kelompok Hafsoh. Hafsoh Publishing Medan, Juni 2012. Saat ini
menetap Lajang di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.
Al – Hilal
Siagian
Lahir
dari pasangan Bapak H. Ahmad Siagian dan Ibu Hj. Rusnah Saragih di Sarang
Helang, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan, 15 Maret 1990. Berdomisili di
JL. Pancing VII Mabar Hilir. Tulisannya banyak dimuat di buletin Jumat Ulul
al-Bab IAIN-SU antara lain : Menyingkap Tabir Aliran-aliran Sesat, Kecaman Bagi
Para Koruptor, Managemen Islam dalam Mengatur Kehidupan Manusia, dan lain-lain.
Redaktur Buletin : Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid., MA ( Pembantu Rektor
IAIN-SU ). Sekarang bergiat di Komunitas Sastra Indonesia ( KSI ). Alumni Penidikan
Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Sumatera Utara ( PKU. MUI-SUMUT ) angkatan ke II tahun 2012. Email :
ibnuahmadalhilal@gmail.com Facebook
: Kotuk Larung. Telp : 0852 7850 7967.
Askar Marlindo
Lahir,
besar, tinggal dan menetap di Medan,
30 Juli 1982. Anak kedua dari empat bersaudara, Pasangan Bapak Karnain Jambak
dan Ibu Aisyah Malumin Ginting. Berprofesi sebagai Guru di SMP Al – Bukhori,
Mata Pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin, juga Aktif Menulis Fiksi dan
Nonfiksi. Alumni Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian. Memang,
kesemuanya tidaklah berkesinambungan. Namun, begitulah Ia menjalani hidupnya.
Berdoa kepada Allah SWT dan selalu berusa demi menggapai cita – cita sampai ke
Negeri China,
begitulah yang Ia percayai dalam agamanya, Islam. Ada segenggam Prestasi yang pernah diukir,
meliputi :
Duta Bahasa Sumatera Utara, 2008.
Penulis Kreatif HUT PLN ke 62 Tahun, 2010. Penulis Kreatif HUT Tata Ruang,
2010. Juara III Penulis Terbaik, Dewan Riset Daerah Sumatera Utara, 2011. Juara
I Menulis Puisi, predikat Penulis Terbaik Tingkat Nasional, 2011. Juara I,
predikat Penulis Ilmiah Terbaik, dalam rangka HUT GMPI PPP Sumatera Utara,
2011. Juara II Vocal Solo, oleh PT. Kompak Indopala. Bergabung dalam Komunitas
Kepenulisan, diantaranya Forum Tinta Sahabat, Forum Sastra Bumi, Group Taman
Sastra, Taman Bacaan, Perkumpulan Calon Penulis, Rumah Pena, Kroncong Erick
Punya dan RSS Training Center. Karya Fiksinya sudah beredar di pasaran dalam
bentuk Antologi Puisi “ JUSTIN BIBIER MY IDOL ”, bersama Yandigsa dkk, Leutika
Prio, Juni, 2011.
Askar menyukai silaturahmi untuk
mengeratkan persaudaraan, untuk itu sudi kira berkunjung ke alamat rumah di
Jalan Kapten Muslim, Gang Bersama, Nomor 112, Kelurahan Helvetia Tmur,
Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Andai tidak memiliki waktu, kirim saja
pesan Via Email, alamatnya amarlindo@yahoo.com.
Bisa juga melalui FB dengan nama alamat Askar Marlindo. Jika yang mempunyai
Hobby sms, silakan tekan Nomor Ponsel 085262794686.
Biolen Fernando Sinaga
Lahir
di Pardomuan Dairi, Sumatera Utara. 3 Desember 1973. Alamat : Jln Rebab No
19, Pasar II, Padang
Bulan Medan 20156. Menulis Cerpen, Cerbung dan Puisi di beberapa media seperti
Majalah Kawanku, Anita, Aneka, Tabloid Nova, Jakarta. Harian Analisa, Harian SIB, Medan. Juga mengerjakan
ilustrasi Puisi dan Cerpen. Pernah memenangkan Lomba Rancang Stiker dan Lomba Bernyanyi,
serta memerankan dan menyutradarai Drama Religi. Telah pula menerbitkan Buku,
diantanya : Antologi Cerpen Pilihan Analisa 2005. Antologi Puisi Amal Tiga Biru
Segi, Hasfa Publisher, 2010. E-book/Buku Antologi 111 Resolusi Diri, Hasfa
Publisher, 2011. E-lovestory/Buku #13 nulisbuku.com, 2011. Antologi Esai Amal 'Indonesia Memahami Kahlil Gibran', Badan
Pelestarian Pustaka Indonesia,
2011. Antologi Esai Mengapa Kita Mencintai Capung ? Dragonfly Society, 2011. Antologi
Esai 'Mengenang Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim', 2011. Antologi Esai Amal
'Aku dan Buku', 2011. Antologi Cerpen 'Kisah Pelangi 3'. Editor Wahidin Sinaga,
nulisbuku.com, 2011. Antologi Cerpen Anak 'Dearlove', Hasfa Publisher, 2011. Antologi
Esai 'Danau Toba Untuk Dunia", 2011. ( Rencana ) Antologi Puisi Rumah
Puisi #1 Grup Rumah Puisi/Ady Azzumar. ( Rencana ) Antologi Puisi Rumah Puisi
#2 Grup Rumah Puisi/Ady Azzumar. Cerpennya 'Taman Bacaan Mini' terpilih
menjadi 15 besar dalam cerpenkecilmemperbaikiindonesia dengan Tema
"Menanam Gemar Membaca"/Okti Li 2010-2011. Menjadi Penulis STATOM
Teraktif FB Leutika Publisher pada Januari 2011 dan Februari 2011, dan 5 Besar
Penulis STATOM Terbaik Ultah FB Leutika Publisher. Sedang aktif mengikuti
beberapa lomba menulis online. Nama FB : Biolen Fernando Sinaga. Alamat
Email : biolenfsinaga@yahoo.co.id
Nomor Ponsel 0812 649 2760.
Dani Sukma
AS
Lahir
di Desa Ujung Batu III, 1 Januari 1986. Anak pertama dari pasangan Bapak
Sutrisno dan Ibu Sujiati ini merupakan Pendiri Komunitas Penulis Anak Kampus (
KOMPAK ). Karyanya telah dimuat dibeberapa surat kabar, seperti Majalah
Pendidikan dan Sastra ( Pendistra ), Majalah Kreatif Unimed, Harian Waspada,
Harian Medan Bisnis , Harian Analisa dan lain-lain.
Selain tersebar di surat kabar, karyanya juga termaktub dalam
beberapa Antologi Sastra, antara lain Antologi Cerita Pendek Indonesaia “
Artefak ”. Antologi Cerita pendek “ Cermin ”. Antologi Puisi “ Suara Peri dan
Mimpi ”. Antologi Puisi 53 Penyair Medan “ Cahaya ”, Antologi Flash Fiction “
Kampoeng Horas dan Antologi [mirip] Cerpen Para Penanti. Kerap diundang sebagai
pembicara dan Juri Sastra, serta aktif menjadi salah seorang Aktivis Sastra
yang membina para penulis muda. Kini menjadi Dewan Penasehat Komunitas Tanpa
Nama ( KONTAN ) dan Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesia ( KOMPENSASI
). “ Aku berkata, maka aku ada ” menjadi
filosofi hidup yang begitu teguh dipegangnya. Bagi yang ingin berkarib dapat
menjenguk Fb/Email: wongjowo.dani@gmail.com.
Dewi Agus Fernita Ginting
Seorang
putri sulung bagi pasangan Bapak Bangsa Ginting dan Ibu Malem Kita Ketaren,
lahir pada 25 Agustus 1991 di Kabanjahe. Memiliki tiga orang adik, dua orang
perempuan dan satu adik laki-laki, dan dibesarkan dalam keluarga Kristen.
Sekarang sedang menempuh pendidikan di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan dan bergiat dalam Komunitas
Tanpa Nama ( KONTAN ). Di samping itu bekerja juga sebagai salah satu
pembimbing ( tentor ) bahasa Indonesia di Medica. Memiliki motto : “ Hidup
adalah pelayanan ”. Adapun tulisan baik Puisi, Cerpen dan Artikel, telah di
muat di media masa seperti Analisa, Waspada dan Gerbang Renungan Anak Muda.
Pernah menjadi pemenang hiburan dalam Lomba Baca Puisi Rumah Kata, tingkat
Sumatra Utara, sebagai pembaca Favorit dalam Lomba Baca Puisi, katagori
Mahasiswa Medan Arts Festival 2010. Pernah memerankan utama dalam Teater yang
berjudul “ Rintrik ” bersama team Sketsa Bumi yang tampil di Taman Budaya,
Sumatra Utara. Dan beberapa karya telah dibukukan seperti di Antologi Puisi “
Kanvas Sastra ”, Antologi cerpen “ Ma Hyang ”, “ Kampung Horas ”. Terakhir
Antologi Puisi “ Bumi Indonesia Kami Tercinta ” Adhiet’s Ritonga dan Kawan –
kawan. Hasfa Arias, Yogyakarya, Agustus 2012. Saat ini tinggal di Jln. Sering.
No. 118. Medan, Sumatra Utara. Jika ingin
mengenal lebih banyak, silakan di e-mail yang dapat di hubungi ialah dewiagusfernitaginshu@yahoo.com
atau di no hp 0858-3032-6272.
Eko Bambang
Pria
ini lahir pada tanggal 25 Agustus 1987. Tinggal di Binjai Sumatera Utara.
Alumni Universitas Sumatera Utara, Fakultas Teknik Mesin. Selain hobby menulis
Cerpen, Novel dan Puisi, Dia juga suka sekali Menulis Komik, Melukis, dan
Menciptakan Lagu. Selain itu Dia juga suka mempelajari hal-hal baru, seperti
yang saat ini Dia mempelajari Sulap. Mengagumi dahsyatnya dunia khayalan yang
tak terbatas. Pernah beberapa kali diminta untuk Merancang Sampul Buku Sastra
dan Ilustrator Bacaan. Pendiri Dream Power Publishing. Jika ingin diskusi seputar dunia Menulis, Komik
dan Sulap dapat dihubungi di Email ekobambang59@yahoo.com dan Facebook btxdragon@yahoo.co.id. CP : 081973405083
Jones Gultom
Lahir 26
Oktober 1982 di Perbaungan, Sumatera Utara. Karya sastranya tersebar di
sejumlah media cetak lokal maupun nasional, antara lain Harian Waspada, Analisa, Mimbar Umum, SIB, Global, Sumut Pos, Medan
Bisnis, Kiprah ( alm ) Harian Sumatera ( alm ) Aplaus, Menjemaat, Suara Hati,
Salus, Majalah Cover, Bianglala ( Jakarta ) Travel Club ( Jakarta ) Suara
Pembaruan ( Jakarta ) Majalah TAPIAN ( Jakarta ) Trans Jakarta, Majalah Seni
dan Budaya GONG ( Yogyakarta ) serta di beberapa website sastra. Karyanya terbit dalam beberapa Antologi
antara lain Ragam Jejak Sunyi Tsunami,
2005. Jelajah, 2006. Denting, 2007. Medan
Puisi, 2007. Medan
Sastra, 2007. Menuai Hikma dalam Nestapa, 2009. Aktivitas kesenian yang
pernah diikuti : Parade Teater
Sumut 2002 dan 2003, Peksiminas
VI di Yogyakarta 2002. Festival
Teater Alternatif GKJ Awards di Jakarta 2003. Ekologi Art di Tuktuk, Samosir 2003. Peksiminas VII di Bandarlampung 2004. Kongres Cerpen Indonesia
ke IV di Pekanbaru, Riau 2005. Pameran Puisi Penyair Sumatera Utara Harian
Analisa 2006, International
Poetry Gathering bersama Penyair se ASEAN di Medan 2007. Temu Sastrawan Se-Sumatera di Taman Budaya Sumtera Utara,
Desember 2007. Kongres
Sastrawan Sumut 2009. Saat ini
bekerja sebagai Redaktur Budaya di Harian Medan
Bisnis. Alamat Taman Budaya
Sumatera Utara Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan.
No HP 0815 3328 8476
M. Raudah Jambak
Lahir di Medan, 5
Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang
berkaitan dengan Seni, Sastra dan Budaya. Lokal, Nasional, maupun Asia
Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta ( Teater,
1995 ). LMCP_LMKS di Bogor ( sampai 2008 ). MMAS Guru - guru seluruh Indonesia
di Bogor, 2000. Work Shop Cerpen MASTERA, di Bogor 2003. Festival Teater Alternatif
GKJ Awards, di Jakarta 2003 dan Workshop Teater Alternatif, di TIM Jakarta
2003. Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh,
Monolog 2004. Menyutradarai Monolog "Indonesia Undercover" dalam
seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka Monolog Nasional di
Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Ikut membidani Cublis di Lampung 2009.
Membacakan Puisi di Gedung Idrus Tintin Riau 2010. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar/majalah Indonesia
– Malaysia.
Saat ini bertugas sebagai Guru Sastra dan Dosen Filsafat Universitas Panca Budi
Medan. Asyik membidani Komunitas Home Poetry. Selain itu beberapa buku yang memuat
karyanya juga sudahterbit misalanya : MUARATIGA ( Antologi
cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia ). KECAMUK ( Antologi Pusi bersama Syahril OK
). TENGOK ( Antologi Puisi Penyair Medan
). Antologi Puisi MEDITASI ( Sastra Religius, 1999 ). Antologi Puisi Seratus
Untai Biji Tasbih ( Sastra Religius, 2000). Antologi Esay PARADE TEATER SEKOLAH
( Aster, 2003 ). Antolgi Esay 25 Tahun Omong-Omong Sastra ( 2004 ). Antologi
Puisi 50 Botol Infus ( Teater LKK UNIMED : 2002. Antologi Puisi Amuk Gelombang
( Star Indonesia
Production : 2005. Antologi Puisi Ragam Jejak Sunyi Tsunami ( Balai Bahasa Medan : 2005). Antologi
Puisi Jogja 5,9 Skala Richter ( Ben tang : 2006). Antologi Puisi Medan Puisi ( 2007 ).
Antologi Puisi TSI 1 Tanah Pilih ( Disbudpar Jambi : 2008 ). Antologi Pusi
Penyair Muda Malaysia – Indonesia ( PENA Malaysia : 2009). Antologi Puisi,
Cerpen, dan Naskah Drama Medan Sastra ( TSS-TSSU : 2007 ). Antologi Puisi Medan
International Poetry Gathering ( 2008 ). Antologi Puisi dan Cerpen Merantau ke
Atap Langit ( Teater LKK UNIMED : 2008). Antologi Cerpen 30 Terbaik Lomba
Cerpen Tingkat Nasional Festival Kreativitas Pemuda 2007 : LOKTONG ( CWI : 2007 ). Antologi Cerpen
Tembang Bukit Kapur ( ESCAEVA Jakarta
: 2007). Antologi Puisi FLP Indonesia
( 2008 ). Penyair Urban Antologi Puisi Laboratarium Sastra ( 2008 ). Antologi
Cerpen RANESI – RADIO NEDERLAND SIARAN INDONESIA ( GRASINDO
: 2009 ). Antologi Cerpen Denting ( DKM : 2006). Antologi Cerpen Jalan Menikung
ke Bukit Timah ( Disbudpar Pangkalpinang : 2009). Antologi Cerpen Dari Pemburu
Sampai Ke Teraupetik Majelis Sastrawan Asia
Tenggara ( Pusat Bahasa : 2003 ). Novel Putri Runduk ( Pusat Bahasa Jakarta, 2008 ). Antologi
Cerpen LMCP Guru ( 2007-2008-2010 ). Antologi Cerpen TSI 2 Jalan Menikung ke
Bukit Timah ( Disbudpar Pangkal Pinang-BABEL,2009 ). Antologi Cerpen TSI 3
UJUNG LAUT PULAU MARWAH ( Disbudpar Tanjung Pinang
: 2010 ). Antologi Puisi Narasi Tembuni - KSI Award, The Rocker ( mengenang
Murtidjono ). Unggulan I Tarung Penyair se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang. Alamat Rumah : Jln. Murai Batu Kompleks Rajawali
Indah E. 10. Sei Sikambing B, Sunggal. Medan.
Sumatera Utara. Kode Post. 20122. Alamat Pekerjaan di Taman Budaya Sumatera
Utara, Jln. Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan.
Sumatera Utara. HP. 085830805157. E-Mail : mraudahjambak@yahoo.com
Maulana Satrya Sinaga
Lahir di Medan 4 Januari 1989. Berlamat di
Jln. Danau Siombak. No. 38. Medan Marelan. Karya-karyanya pernah dimuat di
Harian Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Jurnal Bogor, Analisa, Medan Bisnis, Sumut Pos, Harian
Global, Jurnal Medan, Buletin Budaya dan Sastra Riau dan Skala
Indonesia serta Majalah Horison. Juga termaktub dalam Antologi Bersama antara lain
; Antologi Cerita Pendek Indonesaia “ Artefak ” , Labsas 2009. Antologi Puisi Disbudpar ( Tarian Angin, Labsas.
2011 ). Pertemuan Penyair Nusantara V ( Akulah Musi, 2011 ) dan Temu Sastrawan
Indonesia IV ( Tuah Tara No Ate, 2011 ). Buku puisinya “ Perempuan
Tanjung “ ( Javakarsa Media, 2012 ). Terakhir pernah di kirim ke Ternate dalam
Diskusi Sastra. Saat ini bergiat di
Komunitas Sastra Indonesia ( KSI ) Medan. No Handphone : 085372719342
Rian Harahap
Lahir
di Pekanbaru, 5 Juli 1989. Saat ini tercatat sebagai Sarjana Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia
dari Lulusan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Memilih Pendidikan Guru
sebagai jalan hidup dan Teater sebagai ruang hidup. Terpilih sebagai aktor
perwakilan Sumut dalam ajang Pekan Seni Mahasiswa Nasional PEKSIMINAS, di
Pontianak, Kalimantan Barat, 2010. Pernah terlibat menyutradarai beberapa
pementasan, yaitu ; "Tsunami ( 2010 )" dan "Bujang Lapuk ( 2010 ).
Pernah menjadi Asisten Sutradara dan Pimpinan Produksi Teater Sisi UMSU dalam
naskah "Paranoia ( 2011 )" di FESTAMASIO V, Palembang. Serta mendapat Penyaji Terbaik III
se-Indonesia. Menjadi Sutradara SIGN THING dalam TEMUTEMAN IX di Pekanbaru ( 2011
). Tulisan-tulisan berupa Sajak, Cerpen dan Artikel kerap menghiasi media lokal
seperti Analisa, Medan Bisnis dan Waspada, Suara Pembaruan, Sinar Harapan dan
Riau Pos. Beberapa Cerpen masuk dalam Antologi FF, “ Gurau-gurau Bawah Tanah ” , Labsas, Medan,
2011. Antologi FF “ Kampoeng Horas ”, Leutika Prio, Jogjakarta, 2011. Dapat dihubungi di
selularnya ; 085278426757 atau situs sosial Facebook ; Rian Harahap dan
Twitter; rianharahap89.
Rina Mahfuza Nasution
Tempat tanggal lahir di Medan 9 September 1975.
Lulusan Diploma Akuntansi dan bekerja sebagai Pegawai Swasta. Saat ini tinggal
di Jln. Brigjend Katamso No. 260. Sei Mati, Medan. Mulai menulis dari tahun 1989, tetapi
pertama kali dimuat pada tahun 1991 di majalah Dunia Wanita – Medan. Tahun 1992 mengikuti sayembara
mengarang Cerpen Majalah Anita Cemerlang, tetapi hanya mendapat kesempatan
dimuat sebagai cerpen biasa. Pada tahun 1993, salah satu puisinya
diperbincangkan dalam Puisi-puisi Koran Sabtu Pagi yang diterbitkan oleh Studio
Seni Indonesia (SSI) – Medan.
Pernah aktif dalam Forum Komunikasi Penulis ( FOKUS ) sebagai Wakil Sekretaris.
Selanjutnya cerpen Beliau sering menghiasi beberapa harian di Medan, seperti Analisa, Global, Andalas,
Waspada dan Medan Bisnis. Cerpennya juga sudah menembus media nasional seperti
Majalah Story dan Harian Republika – Jakarta
dan Harian Radar Surabaya. Salah satu Cerpennya diterbitkan oleh Dewan Kesenian Sumatera Utara ( DKSU )
tahun 2007. Desember 2009 cerpennya berjudul “ AIR ” masuk dalam Antologi
Cerpen Medan yang diterbitkan oleh Komunitas Seni Medan. Tahun 2010 cerpen
berjudul “ ZAHRA ” termuat dalam antologi bersama yang bertajuk “ Ini Medan, Bung !” Sejak beberapa
tahun ini menjadi anggota KSI ( Komunitas Sastra Indonesia
- Medan ).
No. Telp : 061 – 4149792. No. HP : 0813 616 99 771.
Sakinah Annisa Mariz
Adalah Nama
Lengkapnya, lahir di Medan,
2 Mei 1991. Putri sulung dari pasangan Bapak Novrizal dan Ibu Siti Halimah ini,
berdomisili bersama orangtuanya di Medan.
Gadis yang lebih akrab disapa Kina ini menyukai sastra sejak Sekolah Dasar.
Mulai menulis di Media Massa setelah duduk di bangku Madrasah Aliyah. Karyanya
berupa Cerpen, Puisi, Opini, dan Essay, dimuat di Harian Analisa, Harian
Waspada, Harian Global, Medan Bisnis dan situs berita online Kompas.com. Juga Menulis
di majalah Youngs Magazine dan Surat Kabar Bahasa Lidah Ibu, Yogyakarta.
Beberapa
karyanya termaktub dalam Antalogi Cerita Pendek ( Artefak, Lab Sastra Medan,
2009 ). Kumpulan Puisi ( Suara Peri dan Mimpi, HMJ BSI SUMUT, 2010 ) dan
Antalogi Cerpen ( Cermin, HMJ BSI SUMUT, 2010 ). Merupakan Mahasiswi Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan. Bergiat di Laboratorium
Sastra Medan, HMJI BSI SUMUT, Komunitas Sastra Indonesia ( KSI ) Cabang Medan
dan Teater Anak Negeri. Diusianya yang masih tergolong muda, sudah mampu
menjadi Pemateri Seminar. Jika ingin menghubungi Kina, bisa sms ke
Nomor
Kontak : 081263977252, atau mengirim pesan ke
Email Kina : sakinahmariz@yahoo.co.id.
Sri Rizki Handayani
Lahir di desa Bengkel, Deli Serdang, SUMUT
pada tanggal 10 Juli 1986. Anak ke 6 dari pasangan Bapak Akhyar Syam ( alm )
dan Ibu Farida Hanum. Saat ini menetap di desa Sidodadi, Aceh Singkil bersama
buah hati Muhammad Fikri Hasan Pujangga dan suami tercinta. Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP UMSU. Selain menulis
puisi dan cerpen, aktif menekuni dunia teater. Karya puisinya termaktub dalam antologi
puisi “ Suara Peri dan Mimpi ” ( Labsas : 2009 ) serta harian Analisa dan Medan
Bisnis. Karya cerpennya termaktub dalam “ Cermin ” ( Labsas : 2009 ) dan “
Artefak ” ( Labsas : 2008 ). Pernah memerankan ibu dalam Drama Islami “ Ada Apa
dengan Iyan ”, 2004 dan “ Sadarlah ”, 2005 bersama RM PRNR. Dramatisasi Puisi “
Musang Berbulu Domba ”, 2002. Mengisahkan ulama yang salah bersikap, memerankan
ibu dalam Pementasan Pelestarian Seni dan Budaya “ Cinta Tanah Air ( Seni
Budaya Bangsaku ) ” bersama KHP yang diselenggarakan KESBANG POL. Dan
LINMAS di Sergai dan Langkat, 3 dan 10 Juli 2010. Aktif di berbagai kegiatan Organisasi,
seperti pernah menjadi Sekum RM PRNR ( 2004-2005 ). Wakil Bendum HMJ BSI
se-Sumut ( 2006-2007 ), Sekum HMJ BSI FKIP UMSU ( 2007-2008 ). Pengurus HMJ BSI
se-Sumut ( 2008-2009 ). Sekum BEM-FKIP UMSU ( 2008-2009 ). Sekbid PW DPD
IMAKIPSI ( 2008-2009 ). Ketua Umum KOMPAK ( 2009-2010 ). Pembina KOMPAK (
2010-sekarang ). Saat ini mengelola Taman Pendidikan Anak Al-Hasanah dalam
bidang Al-Quran dan Iqra serta beberapa mata pelajaran Sekolah Dasar dan SMP.
Mengaplikasikan pendidikan yang diperoleh sebagai Dosen Materi Pembelajaran
Bahasa Indonesia SD, Keterampilan Dasar Menulis dan Menulis 2dua di Universitas
Terbuka, Aceh Singkil.
Sri Wahyuni
Terlahir
di Medan, pada tanggal 2 Oktober 1986, sebagai sulung dari empat bersaudara.
Menamatkan Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Medan, berlanjut ke
Sekolah Menengah Pertama Negeri 27 Medan, memilih Perguruan Prayatna sebagai
tempat menamatkan SMA, dan berakhir di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
sebagai seorang Sarjana Pendidikan. Minatnya pada dunia tulis menulis dimulai
ketika duduk di semester dua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Berawal dari sebuah keisengan, malah semakin rajin menulis kala itu.
Teman-teman sekelas menjadi pembaca pertama tulisannya. Tidak disangka respon
yang diberikan teman-teman baik, dan sangat mendukung. Tahun 2006 Ia coba
mengikuti Lomba Menulis Cerita Pendek diselenggarakan oleh BEM FKIP UMSU, tidak
tanggung-tanggung saingan waktu itu Kakak Senioran yang sudah tidak diragukan
lagi kemampuan menulisnya. Tapi siapa sangka cerpen pertama berjudul “ Pak Adam
Guruku ” mendapatkan Juara 1. ( Adhiet’s Ritonga meraih Juara III ). Setelah
perlombaan itu Ia jadi senang mengikuti Lomba Cipta Cerpen, tapi mungkin
nominatornya lebih darinya kemampuan menulis mereka, maka jarang mendapat
Juara. Namun hal itu tidak menghentikan langkahnya untuk tetap menulis. Tahun
2009 Ia kembali ikut perlombaan yang diadakan BEM PAI UMSU, di perlombaan itu
Ia berhasil membawa pulang Juara II. ( Bertemu dengan Meutia Hafid, ekaligus
dapat buku yang ditulisnya beserta tanda tangannya ). Dari mengikuti berbagai
Lomba, teman dekatnya ( Adhiet’s Ritonga, red ), mendorong untuk bergabung di
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Wilayah SUMUT. Mengikuti berbagai tes, dari tes
metulis, hingga wawancara. Ia terpilih sebagai salah satu peserta yang bisa
mengikuti kegiatan magang selama kurang lebih 3 bulans, sedangkan teman
dekatnya itu tidak berhasil lolos. Semasa kuliah aktif di Himpunan Mahasiswa
Jurusan ( HMJ ), awalnya Ia dipaksa menjadi sekretaris HMJ, bukan karena
Adhiet’s Ritonga yang menjadi Ketua HMJ pada waktu itu, melainkan ada rasa
minder yang menyerang. Tapi dari situlah Ia tahu kemampuannya dalam menggunakan
ketrampilan Berbahasa.
T Agus Khaidir
Lahir
di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1975. Menulis beberapa puluh cerpen
yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di berbagai media cetak terbitan
Sumatera Utara dan Nasional. Beberapa termuat dalam sejumlah Antologi bersama. Tinggal
di Medan dan
hingga saat ini tetap setia menekuni ranah kewartawanan. Pernah bekerja untuk
Harian Global ( surat
kabar yang sempat berubah nama menjadi Jurnal Medan sebelum berhenti terbit ), sebagai
redaktur Fotografi hingga Mei 2010. Sampai hari ini masih bekerja di Harian
Tribun Medan dengan jabatan terakhir redaktur desk olahraga. Di surat kabar yang sama juga
menulis esai-esai sepakbola, musik film dan kemanusiaan. Masih terus memotret
untuk liputan panggung dan art serta
berpameran. Dua pameran terakhir digelar bersama Pewarta Foto Indonesia ( PFI )
Medan, yakni Kaleidoskop Sumut 2010 serta PSMS Medan dari masa ke masa (2012).
Sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa dan ilustrasi. Juga
masih bermusik, dan tentu saja masih tetap bermain sepakbola, mengisi posisi
gelandang tengah, mengandaikan diri sebagai Paul ‘Gazza’ Gascoigne, sekadar
mengenang cita-cita masa lalu yang harus kandas sebelum sempat menjadi orok.
Dapat dihubungi di Email: ags_rossifumi@yahoo.com
atau di Nomor kontak : 081370265574
Titian Gea
Lahir
di kota Gunungsitoli, Nias pada tanggal 14 November 1991. Anak perempuan dari
Bapak Fati Sochi Gea dan Ibu Idami Gea, merupakan anak ke empat dari enam
bersaudara. Menganut agama Kristen Protestan. Seorang mahasiswa yang masih
menimba ilmu di Universitas Negeri Medan,
jurusan Sastra Indonesia. Saat ini bermukim di di jln. Gaharu Gg. Sekolah No. 19 Medan.
Tulisan-tulisannya pernah di muat di beberapa surat kabar, yaitu harian Medan
Bisnis, Waspada, dan Analisa yang berupa Cerpen, Artikel dan Resensi. Telah
Menerbitkan Antologi Puisi “ Bumi Indonesia Kami Tercinta ” Adhiet’s Ritonga
dan Kawan – kawan. Hasfa Arias, Yogyakarta, Agustus 2012. Kini sedang bergiat
di Komunitas Tanpa Nama ( KONTAN ) dan Laboratorium Sastra ( LABSAS, Medan).
Utan Sahiro
Lahir
tangga l5 bulan 5 di Simadihon, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. anak ke 5
dari 6 bersaudara. Tahun 1997 menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN
116251 desa Aek Batu Labuhanbatu Selatan. Melanjutkan pendidikan ke SLTPN 3
Kota Pinang Labuhanbatu Selatan. Dua tahun kemudian pindah ke MTS Al-Amin Aek
Batu Labuhanbatu Selatan dan selesai pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan
pendidikan ke SMU Plus INS Kayu Tanam Padang Pariaman Sumatera Barat. Dua tahun
kemudian pindah ke SMU Muhammadiyah Padang Panjang Sumatera Barat hingga selesai
tahun 2003. Meraih gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agribisnis tahun 2008,
dari Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar