Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

PROSA fiksi




LONJAN*

Adhiet’s Ritonga

            Sebuah mobil Argo bernomor Polisi BK 19 SK, berhenti di depan Gang. Aldi, pemudah paruh baya, berbadan atletis dengan tinggi badan 180 cm dan berat 78 kg, turun dari Taksi yang ditumpanginya. Aldi berjalan digelapnya malam yang hampir menjelang pagi. Ayam mulai berkokok membangunkan insan yang telah lelap tertidur. Sebatang rokok dihisap Aldi kemudian menghembuskan asapnya ke udara. Senyum simpul dari bibir Aldi yang tipis melukiskan keceriaan, matanya yang bulat bundar terpancar masa depan yang penuh kebahagiaan.
            “ Aduh … !”.
            Tubuh kekar Aldi terjatuh, sepatu Sport bertaraf merk Internasional yang dipakainya tersandung batu. Seekor anjing Gereja menggonggong, Aldi spontan berlari ketakutan. Aldi dan anjung berlomba lari diiringi kokok ayam. Tanpa fikir panjang Aldi langsung memanjat pagar besi yang tinggi, anjing tak berhasil memanjat bahkan melompati pagar kost besi Aldi yang tinggi itu. Namun anjing tetap saja menggonggong, ingin menerkam. Aldi mengacungkan jari telunjuknya ke arah anjing jantan hitam itu dengan wajah senis mengejek. Aldi masuk ke dalam kost, menuju kamar tidur dan menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk, tanpa memperdulikan anjing yang masih menggonggong.

………………

            Universitas Negeri Adhiet’s Ritonga ( UNINE Ad – Ri ). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pak Zamil memberikan Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
            “ Nah, etika moral Bangsa itu, ada pada penduduknya. Jika masyarakat berbuat baik, maka baiklah Bangsa kita. Kebaikan itu sudah barang tentu memiliki etika atau moral. Apa lagi moral kesusilaan !”.
            “ Contohnya, Pak ?”, tanya Wardah.
            Mahasiswi berkerudung dan pintar ini, memang diakui sebagai salah satu Mahasiswi aktif dalam pembelajaran dan Organisasi.
            “ Mahasiswa yang menjajakan dirinya untuk sek komersil. Pelacur, Gigolo, Banci dan sebagainya. Itu beberapa contoh kasus asusila yang bisa merusak moral Bangsa, biarpun mereka melakukan itu dengan sadar atau suka sama suka !”.
            “ Pak … !”, sanggah Aldi.
            “ Menurut saya, moral etika Bangsa bukanlah tercermin dari apa yang dilakukan oleh penduduknya !”, Aldi menjelaskan.
            “ Maksudnya ?”, tanya Pak Zami.
            “ Maksud saya … !”, Aldi terdiam sejenak.
            Suasana kelas hening.
            Dengan tergagu dan patah – patah, Aldi melanjutkan.
            “ Mereka yang bekerja dimalam hari …, ehem maksud saya lagi. Yang melakukan sek komersil itu, merupakan kebutuhan untuk hidup. Dan …, dan itu tidak ada hubungannya dengan etika atau moral suatu Bangsa !”.
            “ Pak, saya tidak setuju dengan apa yang dikatakan Aldi !”, bantah Wardah.
            “ Kita lihat Bangsa kita selama ini, sangat jauh tertinggal dari Negara lain. Katanya Bangsa kita dalam tahap kemajuan dan berkembang, tapi apa yang dikembangkan Bangsa kita ? Mengembangkan diri untuk menjual tubuhnya !”, sambung Wardah antusias.
            “ Pak … !”, Aldi mengangkat tangan.
            “ Silakan !”, sahut Pak Zamil
            “ Menjajakan diri, bukan untuk bersenang – senang ingin menikmati apa yang namanya permainan dalam kehangatan. Tapi, itu suatu pekerjaan demi mempertahankan hidup !”, Aldi semangat menggebu – gebu.
            “ Tapikan masih ada pekerjaan yang halal, lagi baik !”, Wardah memotong, tanda tidak setuju.
            “ Sudahlah, Wardah !”, pinta Saskya yang duduk di bangku belakang Wardah.
            “ Kita jangan membicarakan halal atau tidak halal. Pekerjaan apa pun kalau dilakukan dengan baik – baik, maka jadinya akan baik. Anjing juga halal dimakan jika dalam keadaan terpaksa !”, lanjut Aldi, lantang.
            “ Aldi … !”, tegur Monic yang selalu duduk bersebelahan dengan Aldi.
            “ Kita harus lihat konteknya terlebih dahulu. Anjing halal dimakan apa bila kita tersesat atau hanyut disuatu tempat, dan tempat itu pun jika tidak ada tanaman yang tumbuh yang tidak layak dikomsumsi atau hewan tidak ada sama sekali kecuali anjing. Boleh dimakan, karena itu satu – satunya !”, Wardah terus membantah.
            “ Wardah, jangan diperpanjang lagi !”, nasihat Saskya.
            “ Jadi, apa bedanya dengan orang yang melacurkan diri atas keadaan yang terpaksa ?”, Aldi tak mau kalah.
            “ Pak, sebaiknya kita akhiri perdebatan ini. Bapak saja yang mengambil kesimpulan !”, saran Saskya.
            “ Baiklah, kesimpulan materi kuliah kita pada hari ini adalah . . . . , ! Selamat siang !”.
            Kantin FISIP, tempat nongkrong anak – anak FISIP. Monic memulai pembicaraan.
            “ Aldi, kenapa sih tadi, gak biasanya loh ?”.
            “ Aku hanya mengatakan apa yang menurutku benar !”.
            “ Iya, aku ngerti. Tapi tadi … !”.
            “ Udah deh Monic, untuk apa dibahas lagi ?”, Aldi memotong pembicaraan.
            “ Aldi, sadar gak. Apa yang kau katakan tadi, gak seperti biasanya. Kau itu seakan – akan tersinggung dengan penjelasan Pak Zamil, dan kau ngotot membela mereka yang berkecimpung di dunia … !”.
            “ Di dunia sek komersil !”, sambunga Aldi yang membentak.
            Monic menarik nafas, meski Ia tidak kecewa.
            “ Sok tau !”, Aldi membentak lagi.
            Monic kembali menarik nafas, kali ini panjang. Kemudian menunduk, tak berani menatap mata garang Aldi.
            Merasa iba, Aldi ingin beranjak dari tempat duduknya dan membujuk Monic, kekasihnya.
            Tiba – tiba Iyan beserta Geng datang menghampiri Aldi dan Monic, mereka urung beranjak dari tempat duduk.
            “ Coy, tunggu bentar coy. Banyak kale tugas ne, kau sebagai Mahasiswa nyang selalu dapat IP empat koma Rektor, pasti tau ne ngerjain tugas dari Pak Zamil !”, ujar Iyan yang digelar sebagai Mahasiswa paling hancur.
            “ Sory, hari aku lagi gak mau diganggu. Besok aja, ok !”, tegasnya.
            Aldi menarik tangan Monic, lalu keluar meninggalkan Kantin, Iyan dan Gengnya.
            Iyan memang aktif di Organisasi, tapi Organisasi yang disukainya ialah Organisasi yang selalu menentang kebaikan dan mendukung keburukan. Ada saja Demontrasi yang dilakukan Iyan bersama Organisasinya, tentunya Demontrasi yang bermula dan berujung tidak jelas. Banyak yang tidak mereka setujui atas kebijakan Kampus, mereka akan sepaham atau mengikut, bila diberi imbalan. Tentunya, imbalan uanglah dimaksud. Iyan juga dikenal sebagai Mahasiswa yang malas belajar dan mandi, tapi tidak dengan hal berpajaran. Sedangkan Aldi, kecerdasannya tidak usah diragukan lagi. Namun sayang, Aldi tidak tertarik mengikuti aktifitas Kampus, selain belajar.

…………………

            Matahari telah tenggelam, bulan sudah timbul, cahaya bintang menyirami. Aldi menunggu Taksi argo yang lewat di depan Gang kost. Di seberang jalan ada kost wanita, di situlah Monic tinggal. Beberapa saat kemudian Aldi menaiki Taksi yang diberhentikannya dengan nomor Polisi BK 21 VH. Monic melihat dari seberang jalan sambil bersembunyi. Monic merasa penasaran, untuk itu Monic mengikutinya. Monic memberhentikan Taksi yang secara kebetulan ditumpangi Aldi kemaren malam.  Di tengah perjalanan, Aldi merasa ada yang mengikutinya.
            “ Pak, bisa agak cepat ?”, ujat Aldi pada supir Taksi.
            Pak supir pun mempercepat laju Taksinya.
            Aldi sampai di sebuah Villa, sementara Monic jauh tertinggal. Sesegera mungkin Aldi turun dari Taksi yang ditumpanginya, kemudian bersembunyi.
            Dari kejauhan Monic melihat Taksi berwarna biru hendak berjalan meninggalkan Villa yang diyakini Monic bahwa itu Taksi yang ditumpangi kekasihnya. Monic pun sampai dan langsung turun dari Taksi, agar tidak kehilangan jejak Aldi.
            “ O, ternyata Monic yang mengikuti aku !”, hati Aldi berkata.
            Monic tidak mengetahui Aldi bersembunyi, Monic terus saja berjalan mencari Aldi, Monic kini melewati tempat persembunyian Aldi, secara pelan berjalan dari belakang Monic. Tiba – tiba.
            “ Duuuwaaaarrrr … !”.
            “ Aldi apaan sih, aku kaget tau … !”.
            “ Untuk apa aku diikuti ?”.
            “ Penasaran aja, lagian aku curiga. Ngapain pake baju rapi – rapi segala, bergaya abis, wangi lagi. Kayak penampilan kita mau malam mingguan, inikan bukan malam minggu. Kita gak ada janjian jalankan ?”.
            Aldi berdiam diri.
            Monic meneruskan ucapannya.
            “ Naek Taksi mahal lagi, gak biasanya. Jangan – jangan … !”.
            “ Kok tau Mon, aku naek Taksi ?”, Aldi memotong bicara Monic.
            “ Sebenarnya aku mau ke Kost kau, begitu mau nyebrang jalan, aku liat kau sedang berdiri di depang Gang. Begitu kau naek Taksi, langsung deh aku ikuti !”.
            “ Yok ... !”, ajak Aldi, menarik tangan Monic.
            “ Ke mana … ?”.
            “ Udah ayok, nanti juga tau !”.
            Tertatih – tatih Aldi dan Monic berjalan, sambil berpegangan tangan, sedikit canda tawa dilepaskan. Aldi dan Monic tiba dalam sebuah Villa Megah, Monic tertegun.
            “ Ini rumah siapa, Aldi ?”.
            “ Rumah aku. Oh, maksudku, bakalan jadi milik aku !”.
            “ Gak mungkin, aku tau siapa dirimu. Gak mungkin, Aldi. Ini Villa namanya !”.
            “ Mau minum, panas atau dingin ?”.
            “ Aldi, jawab dulu. Ini punya siapa ?”.
            “ Ini punya tante Juwita !”.
            “ Tante Juwita, siapa Dia ?”.
            “ Monic, aku bisa tetap kuliah karena tante Juwita yang bantu aku selama ini !”.
            “ Aku gak ngerti !”.
            “ Aku jadi laki – laki simpanannya !”.
            Malam itu terasa hangat, angin timur yang berhembus mesra, menjadi garang.
            “ Gak mungkin …, aku gak percaya, Aldi ?”, Monic berteriak.
            “ Monic, hentikan !”.
            “ Itu selingkuh namanya, kau mengkhianati aku !”, Monic menggenggam rambut pendeknya, suaranya tiba – tiba parau.
            “ Monic, aku gak bermaksud … !”.
            “ Jangan sentuh aku !”.
            “ Oke, tapi dengar dulu penjelasanku. tenanglah !”.
            Monic berusaha menenangkan nafasnya yang naik turun secara cepat.
            “ Ya, aku sudah tenang. Teruskan omonganmu !”, Monic berusaha menahan emosi.
            “ Aku melakukannya demi masa depan, biar aku bisa tetap kuliah, hingga akhirnya selesai dan diwisuda. Sebenarnya hal ini mau aku ungkapkan padamu, Monic. Tapi, aku menunggu waktu yang tepat. Walau malam ini udah terungkap, biarlah engak apa – apa, aku harap kamu bisa ngerti !”.
            “ Apa Beasiswa Prestasi Akademikmu gak cukup ?”, Monic terlihat sedikit lebih tenang.
            “ Itu hanya cukup untuk biaya kuliah, Monic. Sedangkan untuk bayar kost, makan minum aku. Beli ini beli itu, dari mana uangnya ?”.
            “ Kiriman dari kampung, apa orangtuamu gak pernah ngasi ?”.
            “ Ya ampun Monic, aku dikasi izin kuliah aja udah syukur. Jangankan ngirim uang, ngasi jajan aja gak pernah. Kau kan tau keluarga aku, orang yang gak mampu !”.
            “ Sekarang tante Juwita di mana ?”.
            “ Dia diluar  Kota, tapi sekarang sedang dalam perjalan mau ke sini, Dia ke sini sebulan sekali.  Tante Juwita ke sini mengurus usaha suaminya juga dan nginap beberapa hari. Di Villa inilah Dia nginap, aku menemaninya !”.
            “ Lalu yang diluar Kota ?”, tanya Monic, dengan suara lembut yang dipaksakan.
            “ Usahanya suaminya juga, tapi mereka menetap diluar Kota. Karna di sana Pusat Usahanya !”.
            “ Dan di sini ?”.
            “ Hanya cabangnya !”.
………………………………………………………………………………………………

*  ; Dialeg Melayu Pesisir Pantai. Lonjan, akronim dari Lonte Jantan. Ialah sebutan untuk Kaum Gigolo. Lonte sama halnya dengan Pelacur.















DI NEGERI INI, KUPENGGAL BERIBU MAAF PADA TUHAN

Al-Hilal Siagian






Mendung tak jua datang, cuaca hari ini sangat terik. Penduduk bumi dibuat gerah. Jalanan seperti mengeluarkan minyak yang mendidih. Macat total ! Aku terjebak diantara klakson yang beradu nyaring dan saling mendahului.
“ Lewat tol aja Fan, biar lebih cepat !”, imbau Andi yang sedari tadi tak tenang, ingin cepat ke kampus.
“ Kau ini bagaimana Ndi, mana sanggup kereta bututku ini masuk ke jalan Tol !”, jawabku ketus ditengah panas yang membuat kepala mendidih.Terlebih, aku tidak memakai helm.
Zeet .. Zet .. Wush .. Begitu ada celah sedikit saja diantara kendaraan yang memadatkan jalan itu, aku langsung memotong. Dengan kecepatan 50 km/jam kupacu kereta bututku. Lantas.
Prakkk …
Aakhkk …
Tak sengaja, kereta bututku menubruk seorang pengemis jalanan. Tubuh kecilnya terpelanting hingga membentur trotoar yang keras dan panas. Dia terbujur, ambruk. Segera Andi turun dan melihat kondisinya.
“ Parah, Fan … !”, teriak Andi setengah takut diamuk masa.
Dalam Waktu singkat, beberapa warga sudah mengerumuni kami. Klakson supir angkutan umum dan mobil-mobil pribadi berdering nyaring, membuat suasana semakin panas.
“ Ayo cepat kita bawa ke rumah sakit !”, teriak Andi.
Aku mengangguk, kalut. Kupacu keretaku dengan perasaan tak menentu.
“ Suster … Suster … Tolong, ada pasien sekarat !”, teriakku kepada para wanita berseragam putih yang berdiri di mulut pintu Unit Gawat Darurat, Rumah Sakit.
“ Maaf Pak, mohon mengisi form untuk administrasinya lebih dulu !”.
“ Hah ! Gila ! Kau tak lihat anak ini sudah mau mampus, cepat tolong Dia !”, Darahku naik ke kepala.
Rasanya aku ingin meledak dan meluapkan seluruh amarahku di Rumah Sakit itu.
“ Pak, ini sudah prosedur Rumah Sakit. Bagaimanapun, bapak harus mengisi administrasinya lebih dulu !”, lagi-lagi nada formal yang tak enak keluar dari mulut suster itu.
Kutatap sejenak wajah anak yang berlumuran darah tak berdaya. Orang-orang sekitar menatap kami dengan sorot mata tajam. Namun tak ada satu orang pun yang mau angkat bicara.
“ Beginikah sifat manusia saat ini ? Tidak punya belas kasihan ! Ketika seorang sudah sekarat, masih saja mempersoalkan administrasi !”, amukku dalam hati.
            Aku kalap. Kuturunkan anak kecil yang sedari tadi kugendong, ke bangku panjang yang tegak di mulut pintu ruang itu. Secepat mungkin, kuserobot sebuah gunting yang ada di atas meja Suster itu dan kuacungkan ke lehernya. Orang-orang berteriak histeris memanggil Satpam. Entah apa yang ada di kepalaku saat itu, yang kutahu hanyalah bagaimana caranya agar anak kecil yang malang itu bisa diselamatkan.
“ Cepat bawa Dia, atau kubunuh suster ini !”, semua orang melihatku, Sang Suster telah lumpuh dalam cengkeraman.
“ Baik-baik ! Jangan sakiti Susternya, kami bawa anak ini !”, setengah takut, Satpam Rumah Sakit membawa anak kecil itu tergesa ke dalam ruangan. Aku masih memegangi wanita paruh baya yang ketakutan dengan ujung gunting yang melekat di tenggorokannya, Dia menangis.
            Dari kejauhan kulihat anak itu dibawa ke dalam ruangan. Entah bagaimana nasibnya. Apakah Dia masih hidup, atau … ah, kalau Dia meninggal akan kutuntut Rumah Sakit ini karena tidak cepat menanganinya. Kulepaskan Suster itu, sesak nafasnya tersengal.
“ Bagaimana kalau anak kalian mendapat hal yang sama, apa kalian juga memikirkan administrasinya ? Apakah kalian masih memikirkan uang walau darah sudah bercucuran dari keningnya ?”, aku membentak.
Tak satupun yang menjawab. Aku mengutuk dalam hati. Beginikah pelayanan Negaraku ? Hanya orang-orang yang beruang saja yang cepat dilayani. Tanpa sadar, air mataku mengalir perlahan.
            Seketika baru kuperhatikan, baju putihku berubah warna menjadi merah. Aku baru ingat, siang ini aku dan Andi akan mengikuti ujian akhir semester.
“ Ah … Sudahlah. Apalah pentingnya ujian itu dibandingkan dengan nyawa orang yang telah kutabrak. Oh Tuhan … apa yang aku lakukan, kenapa aku bisa seceroboh ini … !”, aku mengutuk sedalam-dalamnya.
Dari kejauhan kulihat Andi datang tergogoh-gopoh menuju ke arahku.
“ Gimana anak itu, Fan ?”.
“ Kemana saja kau ? Bukannya menolongku, kau malah menghilang !”, kasar jawabku pada Andi.
“ Aku takut darah, Fan … !”, jawab Andi lemas.
Aku baru ingat kalau Andi tidak bisa melihat darah. Konon, sewaktu Andi masih kecil keluarganya habis-habisan di bantai di Aceh, hanya tersisa Dia dan adiknya, Mala. Itu pun karena mereka sembunyi di dalam almari pakaian, sehingga tidak terlihat oleh gerombolan pembantai. Dari kejadian itu, setiap kali Andi melihat darah, Dia teringat akan masa lalunya.
            Seorang dokter keluar dari ruangan tempat anak itu dirawat.
“ Bagaimana keadaannya, Dok ? Dia baik-baik saja, kan ?”, wajah dokter itu kelihatan suram.
Seperti hatiku yang gelisah.
“ Maafkan kami, Pak. Karena Dia kehabisan banyak darah, kami tidak bisa menyelamatkannya. Dia sudah meninggal, Pak !”.
Taarr … Aku bagai disambar petir. Ucapan dokter itu membuatku lemas, hampir ambruk. Tanpa permisi, air mataku meleleh.
“ Aku pembunuh, Tuhan …!”, jeritku dalam hati.
“ Kenapa Engkau lakukan ini padaku !”, Lagi-lagi aku menyalahkan Tuhan.
“ Ini semua gara-gara kalian ! Kalian telah membunuhnya !”, Kuarahkan telunjukku kepada orang-orang berseragam putih itu.
“ Mana tanggung jawab kalian ?”, teriakku sejadi-jadinya.
Aku jatuh dan tak sadarkan diri.
***
            Senja menutup hari, mentaripun tenggelam menarik malam. Aku terpaku di tepian kemelut, sesali perbuatanku. Masih teringat jelas di benakku ketika kugendong anak itu. Sebilah kayu yang dipakukan pada tutup minuman botol, menyerupa tamborin sederhana, masih dipegangnya erat. Dia tidak salah berkeliaran di Jalan Raya. Dia hanya berusaha mengais kehidupan. Usianya masih hijau, namun mengapa nasib baik seolah bukan miliknya. Dia pantas hidup layak. Tapi, siapa yang peduli ?
            Hampir saja aku gila. Sejak peristiwa itu, hari-hari kuhabiskan dengan merenung. Berjubel pertanyaan berloncatan dari pikiranku. Rasa bersalah menghantuiku. Aku benar-benar menyesali perbuatanku juga pelayanan Rumah Sakit itu. Untunglah ada Andi yang selalu menguatkan aku untuk selalu bersabar.
“ Setiap manusia pasti akan merasakan mati, Fan. Ajal anak itu memang sudah ditakdirkan Tuhan, kau tak perlu menyesalinya sampai seperti ini !”, Andi menghiburku dalam kegalauan.
“ Tapi mengapa harus aku yang menjadi penyebab kematiannya ?”, isakku lirih.
“ Sabar ya, Fan … !”, kalimat terakhir yang selalu diucapkan Andi padaku.
            Pikiranku pun berkecamuk, alangkah malang nasib pengamen kecil itu. Dia tak punya kerabat ataupun orang tua. Seorang lelaki yang mengaku kerabatnya tak menuntut banyak. Dia hanya butuh beberapa gepok rupiah untuk membiarkan kasusku selesai sendiri. Tidak ada yang mencarinya. Dan peristiwa itu, sedemikian cepat terlupa. Ah, harusnya aku senang dengan keapatisan ini. Tapi nuraniku berontak. Aku seperti seorang penjahat yang membunuh dikerumunan orang buta. Semua orang membutakan dirinya. Tidak, bukan cuma buta. Mereka juga tuli.
Anak-anak jalanan yang seharusnya menjadi tanggungan Negara, tertulis jelas dalam Undang-Undang, tapi masih banyak di sini pengemis-pengemis yang tak jelas arah hidupnya. Luntang-lantung tak karuan. Aku membayangkan, apakah para pejabat itu sanggup satu hari saja diberi pakaian pengemis dan gitar butut untuk mencari sesuap nasi mengisi perut gembulnya. Andai saja mereka bisa merasakan apa yang dirasakan anak-anak itu.
***
            “ Ayo anak-anak, ada berapa Rukun Islam ?”.
“ Lima Pak !”, jawab anak-anak jalanan yang kupungut satu persatu dari bawah Jembatan Layang di kotaku.
Sebelumnya, mereka kuberi pakaian yang layak, dan kuajarkan apa yang kutahu tentang Agama.
“ Mengucap dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, naik haji ke Baitullah !”, riang semangat mereka menyanyikan pelajaran yang kuberikan.
Setidaknya hanya ini yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku pada anak yang tak kuketahui namanya itu. Kuharap Tuhan menjaga dan menenangkan ruh sucinya di alam yang lain. Tertidur pulas menunggu kiamat datang, hingga segala pertanggungjawaban pun menudingku.
“ Tuhan, terima maafku … !”.



























FOLLOWER

Aisyah Aztry










Kamu tidak pernah tahu aku, tapi aku tahu Kamu. Sama halnya dengan, Kamu selalu hadir di timeline (TL)ku tapi aku tidak pernah hadir di TLmu. Kamu terdaftar sebagai followingku, tapi Kamu tidak terdaftar sebagai followerku. Awalnya, aku juga tidak pernah ngeh siapa Kamu, aku juga tidak habis pikir kok tiba-tiba bisa jadi ngefans dan hampir jatuh cinta sama Kamu. Agar Kamu mengerti, kukisahkan di sini.
Sabtu, 5mei2012, seperti biasa, setelah subuh, aku tidak pernah mau tidur lagi, sejak dengar ceramah ust. @yusuf_mansur lewat radio waktu ramadhan 1431H, kira-kira agustus 2010, inti ceramahnya, saat subuh turun dua malaikat, yang satu mendoakan agar kita diberi keberkahan dan yang satu lagi mendoakan sebaliknya, Subhanallah, pokoknya, setelah subuh aku harus sibukkan diri deh, ya merendam baju, lipat baju, atau menyibukkan diri untuk baca TL, hehe. Seperti di sabtu pagi ini, 5mei2012, aku baca twitter pemilik kedai digital se-Indonesia raya yang muncul di TLku, bahwa beliau ada di Semarang untuk mengisi seminar, sifatnya terbuka untuk umum dan gratis, catat ya –gratis-, wuahhhh, kapan lagi bisa dapat ilmu secara langsung dari pria Yogyakarta, penggagas sedekah rombongan ini, gratis pula. Tanpa pikir panjang aku buat status di twitter, “Tweeps, ada yang tahu tidak mas @Saptuari hari ini di Semarang di mana ya? pukul berapa?, makasih”. Aku tidak berani kalau harus mention langsung ke beliau, jadinya tanya aja deh ke teman-teman di twitter, dan Subhanallah ternyata dimention oleh mas @Saptuari, “Saya di polines Semarang, pukul 9an” huahhh, langsung deh kubalas, “Subhnallah banget dimention oleh mas @saptuari, ok, mas, meluncur” :D J.
Jam di telepon genggamku menunjukkan Pkl. 06.00, hehe, aku tidak punya jam dinding yang ada jam tangan, tapi jam tangannya di meja, lebih gampang kalau lihat jam di telepon genggam, #gkpenting #plak. Polines Semarang? Jiahhh, satu tahun di semarang, tapi aku belum tahu polines Semarang, ok-ok, tanya teman-teman kos, kalau ada yang tidak sibuk tak ajak sekalian, hehe. Dan ternyataaahh, semua sudah punya agenda masing-masing. Tapi, Alhamdulillah, temanku yang punya akun twitter @oktarinapipit, bersedia menjelaskan polines Semarang, sekali lagi, Alhamdulillah. Langsung serbu kamar mandi, pakaian, shalat duha, begini, begitu, selesai, langsung ke luar kos. Bismillah, semangat, pasti dimudahkan oleh Allah karena ingin menuntut ilmu dari hamba pilihan-Nya.
Naik angkutan tujuan Jatingaleh, nyambung lagi naik angkutan tujuan Banyumanik, turun di dekat patung Pangeran Diponegoro. Awalnya, jalan santai dulu, seakan-akan tahu alamat yang dituju, lihat jam di jam tangan pkl 08.57, sekarang lihat jam di jam tangan karena sudah dipakai, tidak perlu lihat jam di telepon genggam karena telepon genggam di dalam tas, malah ribet kalau harus lihat jam di telepon genggam, #sekalilagigkpenting #plakplak, huahhh, gini ni, gara-gara angkutan suka ngetem, padahal acara mulai pukul 09.00. Sejak kecil, ibuku mendidik aku agar jadi orang yang tepat waktu, aduhhh, takut telat. Kalau tadi seakan-akan tahu alamat, sekarang tetap seakan-akan tahu alamat tapi panik karena takut terlambat dan langsung ke pangkalan ojek.
Dengan gagah berani, “Pak, polines, pinten nggeh, pak?”
“Gangsal ewu, mbak”.
Dalam hati, aku bersyukur, Alhamdulillah.
“Maturnuwun nggeh, pak, boten sah susuk, pak.”
“Suwun  nggeh, mbak.”
“Sami-sami, pak.”
Tibalah diriku di polines Semarang, tapi nama acaranya apa ya? Karena, ternyata banyak seminar. Huahhh, dengan pedenya aku mengikuti petunjuk arah, “Seminar Pasar Modal”. Hmmm, mungkin aja kan, mas Saptuari jadi pengisi di acara ini, beliau kan pengusaha, selain kedai digital, beliau juga pemilik @JOGISTkaosgila, itu loh, kaos gila dari Jogja, kaos yang lucu, lugu, wagu, seru dan ‘saru’. Atau mungkin mas Saptuari jadi narasumber di pasar modal ini sebagai penggagas sedekah rombongan dan mengajak para pengusaha pasar modal untuk menjadi #sedekahholics, semua mungkin saja. Ternyataaaa, kemungkinan yang kuciptakan salah besar, lumayanlah naik ke lantai tiga, hitung-hitung olah raga. Pukul  09.15, tidak perlu dipertanyakan aku melihat jam tangan, jam di telepon genggam, atau jam dinding. Sudah pesimis, sedih, nyalahin diri sendiri yang sok-sok-an mau nonton seminar tanpa direncanakan sebelumnya. Tapi, bukankah niatku ingin mencari ilmu dan sudah pasti selalu disediakan jalan oleh Allah. Ya, tiba-tiba saja, seperti ditarik oleh malaikat untuk jalan ke tempat itu, bukan ke tempat ramai yang lainnya, (seperti yang kujelaskan sebelumnya, ternyata banyak seminar), aku jalan, dari kejauhan tempat itu lumayan terlihat ramai, mahasiswa dengan almamater, ok, deh, datangin aja, tadi aja naik ke lantai tiga terus tanya-tanya.
“Narasumbernya ada mas Saptuari, tidak? Pihak panitia kebingungan dan kusimpulkan tidak ada. Dan ini, aku juga tanya, “ini seminar yang salah satu pembicaranya mas Saptuari ya?” itu loh yang pemilik kedai digital se-Indonesia raya. Panitia kebingungan, tapi ada yang dengan pedenya langsung jawab “ya, mbak, mas Saptuari jadi pembicara di seminar ini”, ada kelegaan di dalam hatiku, walaupun ini sudah pukul 09.27, kali ini lihat jam dinding, #yaampunmasihajayagkpenting #plakplakplak, tulis identitas di buku tamu, dapat kotak kudapan, dan masuk ke ruangan.
Duduk, setelah duduk, memperhatikan sekeliling, sudah pukul 09.30, acara juga belum dimulai, aku lupa nulis nama seminarnya, tapi intinya itu, WMM (wirausaha muda mandiri), dalam hal ini, bank Mandiri ingin menjaring mahasiswa polines Semarang untuk menjadi seorang pengusaha, yups, masuk akal banget nih kalau mas Saptuari jadi pembicara di seminar ini, mas Saptuari kan pemenang WMM 2007. Dannnnn, akhirnya, pemirsahhhhh, setelah dibuka oleh panitia, dekan, perwakilan dari bank Mandiri, masuklah dia, mas Saptuari, #hiphiphura #sorak-sorakbergembira #menangisharu. Setelah membius semua peserta seminar, dengan rumus-rumus suksesnya, antara lain, putusin urat malu (maksudnya, kalau mau jadi pengusaha atau berdagang, jangan gengsi, tidak perlu malu), the power of kepepet (biasanya nih, manusia kalau sudah kepepet, berani untuk berbuat sesuatu dan muncul ide-ide cemerlang), habiskan jatah gagalmu (mantap), mulailah menulis impianmu (aku mulai menulis), libatkan Tuhanmu dan kuatkan doamu bukan jimatmu, hehe, (setujuhhh), tekun, fokus, dan mulailah bergerak dari sekarang (huihhhhh, dalemmm). Di akhir acara, mas Saptuari mengenalkan sedekah rombongan, peserta diajak untuk bersedekah dengan diringi lagu Opick. Aku nyanyikan sedikit ya, jangan protes loh!
“alangkah indah orang yang sedekah
dekat dengan Allah
dekat dengan surga
takkan berkurang harta yang sedekah
akan bertambah
akan bertambah”

Teman-teman pasti sudah tahu sedekah rombongan. Aku suka banget moto sedekah rombongan “menyampaikan titipan dari langit, tanpa perlu rumit, sulit, dan berbelit-belit”, maknyesss banget ni moto. Sedekah rombongan menolong tanpa pandang agama, suku, dan yang lainnya. Alhamdulillah, walaupun aku belum bisa jadi kurir @SRbergerak (ini akun twitter sedekah rombongan, gitu lohhh), InsyaAllah jadi #sedekahholics dulu deh, Aminnn.

Dan, di sinilah aku bertemu denganmu, “mu” siapa? Itu loh yang di awal aku ceritakan, Kamu selalu hadir di TLku tapi aku tidak pernah hadir di TLmu. Kamu terdaftar sebagai followingku, tapi Kamu tidak terdaftar sebagai followerku. Kamu adalah kurir @SRbergerak Semarang. Sejak itu, mulai deh cari info tentang Kamu, tidak susah, karena Kamu aktif di sosial media, dapatlah akun twitter ditambah nama lengkap Kamu, bahkan belum lama ini, sudah tahu alamat rumah Kamu, hadehhhh, nasib pengagum rahasia. Kamu memang penggiat sedekah, selain kurir sedekah rombongan untuk wilayah Semarang dan sekitarnya, Kamu juga punya wadah sedekah yang lain, Semarang berbagi, #SMGberbagi, Ya Allah, kamu keren banget ya, karena kata ibuku, berbagi itu keren, sedekah itu gaul, Alhamdulillah, ibu dan bapak sudah mengajarkanku sedekah sejak kecil. Kamu dengan teman-temannya sedang mengumpulkan dana untuk adik-adik di panti Al Rifdah Semarang. Mulai deh, cari informasi tentang Semarang berbagi dan panti Al Rifdah Semarang. Dapat. Saatnya tanya nomor rekening yang bisa dituju, dannnnnn untuk tahu hal ini, aku mention Kamu, “nomor rekening utk adik-adik al rifdah, dong”, Kamu balas mentionku dengan menyapaku, mbak. Mbak? #merasatua #danmemangtuaternayata. Sayang, sudah coba transfer ke dua nomor rekening yang Kamu berikan tidak bisa. Ya sudahlah, tapi semangat berbagiku untuk adik-adik di panti Al Rifdah tidak berkurang, karena aku memang ingin cari muka di hadapan-Nya, sekaligus berdoa juga bisa cari muka di depan kamu J, karena kata pak @ipphoright di buku ‘Hanya 2 Menit’ (2012:99, #ckck, lengkap dengan tahun dan halaman) cara pikir orang sukses itu cara pikir “dan” bukan “atau”, jadinya, aku ingin cari muka di hadapan-Nya dan di hadapanmu, hehehe.
Setelah tahu alamat panti Al Rifdah, Semarang, aku tanya ke semua orang yang kukenal di Semarang, “tahu Tlogomulyo, tidak? Perum BPD 3 Semarang tahu tidak?” Dan rata-rata jawabannya “tidak tahu”, karena teman-temanku juga bukan orang asli Semarang, ada yang dari Kudus, Pekalongan, Brebes, Demak, Tegal, Batang, Jepara, dan lain-lain ^_^. Oke-oke, semangat untuk berbagi tidak akan pernah pudar, keingintahuanku mengenai panti Al Rifdah malah makin bertambah, apalagi kalau baca di blog mengenai adik-adik di panti, mereka cacat ganda, mereka disia-siakan oleh keluarga mereka, adik-adik tunggu ya, InsyaAllah aku pasti bisa ke sana. Karena kesibukan membantu dosbing (dosen pembimbing II) sekaligus sekprodi, dalam hal akreditasi program doktor, aku memfokuskan diri dulu di sini. Allah akan selalu memudahkan hamba-Nya itu pasti loh, di sela-sela akreditasi, aku cari petunjuk arah ke panti di mbah google bagian peta, lumayan membingungkan, hehe. Tetap semangat. Kalau waktu itu bisa ke polines Semarang ini juga pasti bisa ke Tlogomulyo Semarang. Jika info polines Semarang didapat dari kak @oktarinapipit,  info Tlogomulyo Semarang juga didapat dari orang yang sama, oh, makasih kak, catat ya, kak @oktarinapipit ini teman satu kos, teman sekelas rombel a, dan tutor HSKS Semarang, HSKS tahu? HSKS itu Home Schooling Kak Seto. Cukup ya. oke, deh, setelah visitasi asesor dari tanggal 18 s.d 19 Juni selesai, Jumat tanggal …. Aku meyakinkan diri untuk ke Tlogomulyo, walaupun katanya jauh, tapi pasti dimudahkan Allah. Dari kos naik angkutan tujuan simpang lima, di simpang lima naik trans Semarang.
Pertama agak bingung waktu ditanya mbak penjual tiket, “mau ke mana, mbak?”
Aku jawab aja “Tlogomulyo, mbak”.
Eh, si mbak bingung, “Tlogomulyo?”
Aduh mbak jangan buat aku tambah bingung dong, semangat-semangat, jangan pesimis, memang iya sih aku tahu panti ini dari Kamu, memang iya sih aku ke panti ini berawal dari kekagumanku ke Kamu, tapi tujuan akhirku Dia, kok. Terus aku jelasin lagi, “Perum BPD 3 Tlogomulyo, Semarang, mbak, bisa kan naik trans Semarang?”
Si mbak penjual tiket tanya ke temannya, “Pak, tahu perum BPD 3 Tlogomulyo?
“Oh, itu Genuk.”
Terus si mbak penjual tiket nyarankan aku tanya ke si bapak.
“Nanti mbak turun di bangjo Genuk, (teman-temanku yang di Medan tahu bangjo, tidak y? teman-temanku yang di Medan, bangjo itu lampu merah, bang=abang, dalam bahasa Jawa, abang itu maknanya merah, jo=ijo=hijau, jadinya merah hijau, begitu lah pokoke ^^), dekat masjid, nanti biar saya yang jelaskan ke mas kondekturnya.” “Makasih pak.” Dalam hati, aku bersyukur dan makin yakin dengan kasih-Nya.
“Jo, nanti mbak ni di bangjo Genuk ya.”
“Oh, ya pak.” Jawab mas kondektur yang disapa bapak itu dengan Jo.
Aku simpulkan aja deh nama mas itu Bejo, teman-teman tahu makna bejo? Maknanya beruntung. Keren kan nama ini, aku jadi ingat nama anak Opie Andaresta, itu loh penyanyi “andaiiiii aaaaaku jadi orang kaya”, ingat, tidak? Ya udah deh, tidak ingat juga tidak apa-apa, nama anak Opie kan Bejo, aduhhhh, fokus-fokus.
Dari simpang lima ke bangjo Genuk itu memang jauh ya, info dari kak @oktarinapipit dan bapak yang di loket pembelian tiket tadi hanya mampu mengantarkanku ke bangjo Genuk. Alhamdulillah, dari bangjo Genuk menuju panti belum tahu ini, dengan mengandalkan kasih-Nya, aku jalan santai aja lagi, tidak mau terlihat seperti orang yang tidak tahu alamat. Ditanyai supir ojek, tukang becak, hanya aku jawab dengan, “boten, pak, maturnuwun.”
Setelah agak jauh dari bangjo, ada tukang becak. Tidak tahu ya, ini pasti malaikat Allah yang menyarankan aku untuk tanya ke tukang becak tentang alamat panti.
“Pak, tahu panti Al Rifdah, Perum BPD 3?”
Jawaban si bapak membuat jantungku makin berdegup cepat, makin deg-degan membayangkan adik-adik di Al Rifdah. Oh, Rabb, sebentar lagi, hamba akan tiba di panti.
Saudarahhh-saudarahhh, perjalanan menuju panti tidaklah mulus dan melewati beberapa gang. Subhanallah, makin keringat dingin dan deg-degan, #senangitu, ketika ada petunjuk arah panti Al Rifdah di depan papan nama Perum BPD 3, lewati gang ada petunjuk arah ke panti Al Rifdah lagi, dan Alhamdulillah.
“Niki, mbak, panti Al Rifdah.”
Sumpah-sumpah, dalam hati, aku memanggil ibuku, ibuuuu, mungkin lebay ya, tapi perjalanan dari kos bisa sampai di panti Al Rifdah itu memang karunia-Nya. “Maturnuwun nggeh, pak.”
“Sami-sami, mbak.”
Panti masih dalam tahap pembangunan. Ada beberapa tukang yang menyambut kehadiranku #eaaa, merasa disambut #uhuk-uhuk. Bertemu dengan bu Mulyani dan mbak Vivi, pengasuh di panti. Bu Rachma, pemilik panti, sedang ke Jakarta. Berkenalanlah aku dengan dek temu, dek septi, dek johan, dek ratman, dan yang lainnya. Kondisi adik-adik di panti, membuatku bersyukur dengan segala yang kupunya. Kalau teman-teman ingin tahu panti Al Rifdah, Semarang, bisa dicari di mbah google, dengan mengetik panti Al Rifdah, Semarang, InsyaAllah informasi yang dicari langsung didapat. Awal ramadhan 1433H ini, aku dan teman-teman kosku, mbak @ririnahanna, @lusyunizarr, @dhevaStyONE, @yuliaayu90, (walaupun, kak @oktarinapipit tidak ikut, tetap nitip ^^) berkunjung ke panti Al Rifdah. Mulanya, aku dan mbak @ririnahanna saja yang ingin berkunjung ke panti. Setelah diceritakan ke teman-teman yang lain, Subhanallah, semua ikut, bahagia deh punya teman-teman yang memiliki jiwa ingin berbagi. Alhamdulillah, aku dan teman-teman kos bisa berbagi dengan adik-adik di Al Rifdah pada bulan Ramadhan yang penuh ampunan ini, #indahnyaberbagi.
Hai, Kamu, terima kasih ya sudah peduli dan membuat wadah Semarang berbagi, Kamu memang keren, aku makin kagum dan akan selalu menjadi pengagum rahasiamu. Hai, Kamu, semoga Kamu selalu dalam limpahan berkah-Nya.
Syawal 1433H ini, aku tidak balik ke Medan, tidak bisa sungkem dan memohon maaf kepada ibu, bapak, mas, mbak, dan dengan angggota keluarga yang lain. Syawal 1433H ini, aku tidak bisa bersilaturahmi dengan tetangga, teman, sahabat, dan yang lainnya. Sedih, itu pasti. Selesai sholat id di lapangan masjid dekat kos, aku bersilaturahmi ke panti Al Rifdah, senangggg banget rasanya, bisa bercanda dengan dek temu, dek ratman, dek yusuf, dan adik-adik yang lainnya, walaupun dek soli tidak ada (karena, aku kangen banget dengan dek soli). Syawal 1433H ini memang berbeda dengan syawal-syawal sebelumnya. Syawal 1433H ini, membuatku makin bersyukur dengan segala episode kehidupan yang Allah berikan. Membuatku makin menikmati segala ketetapan-Nya yang selalu indah dan penuh hikmah.
Ibu, kasih dan cinta yang selalu engkau berikan, kubagi pada adik-adik di Al Rifdah. Bapak, perhatianmu yang selalu kudapat, kubagi pada adik-adik di Al Rifdah. Semua ini menambah keyakinanku bahwa Dia penuh kasih dan MahaKasih. Dapat melanjutkan kuliah lagi di Semarang adalah salah bukti kasih-Nya. Dapat mengenal mas @Saptuari, pak @ipphoright, tim @SRbergerak di twitter adalah bukti kasih-Nya yang lain. Bisa menjadi follower Kamu, juga bukti kasih-Nya. Tapi, hari ini, aku sudah ngeunfollow Kamu. Aku ingin fokus ke tugas akhirku. Berharap tesis ini cepat selesai dan menanti bukti kasih-Nya yang sedang menanti di depanku. Walaupun, aku sudah ngeunfollow Kamu, aku tetap menjadi pengagum rahasiamu #eaaaa #uhukuhuk.


Aisiyah Aztry
Rabu, 22 Agustus 2012, 4 Syawal 1433H
Di kamar kosku tercinta, kamar nomor 10
Terima kasih untuk mas @Saptuari, pak @ipphoright,
dan tim @SRbergerak yang selalu menginspirasi
dan teruntuk Kamu di @.... (rahasia, #hehehehehe)


































SEGENGGAM CINTA ARLANDO BUAT NABILA
DI KUDUS

Askar Marlindo








Jam tiga malam, Arlando menginjakkaan kaki di desanya. Suara binatang-binatang malam menyambut kedatangannya bersama suara dari Masjid dan Musholla desa yang sudah memutar rekaman lantunan ayat Quran Syekh Sudais untuk membangunkan warga kampung yang masih tertidur pulas.
Arlando meletakkan tas besar dan kardusnya sembari menghirup nafas panjang. Matanya terpejam, merasakan udara pagi yang menyegarkan pikiran. Dia menggerak-gerakkan badannya. Melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah berjam-jam berada dalam bus.
“ Meski baru dua bulan, aku sudah merindukan desa ini. Sudah lama tak menghirup udara sesegar ini !”.
Arlando menenteng tas, berjalan ke rumahnya.
Tok..tok...tok...
“ Assalamu alaikum, Mak. Arlando pulang !”, tak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. “ Arlando pulang, Mak !”.
Terdengar suara sandal terseok mendekati pintu rumah.
Klek. Pintu terbuka. Arlando meraih tangan Emak dan diciumnya.
Emak tersenyum sambil memegangi bahu Arlando yang lebih tinggi darinya. “ Kok tambah kurus, Nak ?”.
“ Inggih, Mak. Bapak kemana ?”.
Baru saja Arlando bertanya, bapak sudah muncul. Disambutnya tangan bapaknya lalu dicium tangannya. Mengembang senyum di bibir bapak.
“ Berangkat jam berapa dari Yogya ?”, tanya bapaknya.
“ Jam delapan, Pak !”.
“ Bagaimana kuliahmu ?”.
“ Alhamdulillah semester depan wisuda, Pak !”.
Arlando menaruh barang-barangnya ke dalam kamar. Bapak dan emaknya kembali tidur ke dalam kamar.
“ Istirahat dulu, Nak !”, perintah bapak.
Arlando mengabaikannya. Dia kembali ke ruang tamu, meng-charge ponsel. Beberapa saat kemudian dia menelpon Nabila, sahabat karibnya.
“ Assalamu alaikum. Hallo, Nabila Aku sudah di rumah !”, Cerocos Arlando tak peduli Nabila sudah bangun atau belum.
“ Uhm.... !”, dari seberang suara Nabila masih serak.
Dia mengambil kaca mata di meja belajar. Matanya nampak indah meski masih merah. Terpampang nama Arlando di layar ponsel. Seketika rasa kantuknya hilang.
“ Sudah sampai rumah ?”, Nabila  semangat.
“ Sudah !”.
Hati Nabila bergetar tak karuan. Sebentar lagi Dia bisa bertemu sahabatnya. Mereka berbicara ke sana ke mari layaknya sahabat yang telah lama tak berjumpa.
“ Besok kita ke Glagah yuk. Ke rumah Hani ?”, Ajak Nabila.
“ Baru saja pulang Bila. Kau sudah ajak aku ke Glagah !”.
“ Aku kangen Hani !”.
“ Kangen Hani atau aku ?”, goda Arlando.
“ Hehehe !”, Nabila hanya tertawa.
Mereka ngobrol lewat telpon hingga birunya langit subuh menjadi cerah.
***
Arlando dan Nabila berjanji bertemu di salah satu ATM di pasar Babat Kudus. Hari ini mereka akan pergi ke rumah Hani. Bapak dan emak memaklumi kepergian Arlando meski meski baru beberapa jam berada di rumah. Arlando sudah dewasa.
“ Remaja yang semakin dewasa tak akan betah berlama-lama di rumah !”, begitu kata bapak beberapa waktu lalu.
Arlando datang lebih dahulu. Dia menunggu di dalam ATM sambil menikmati dinginnya AC ATM. Aktifitas pasar Babat sudah ramai. Nabila datang naik becak dengan mata berbinar-binar menatap Arlando yang telah menyambutnya dengan senyuman.
“ Kok lama ?”, tanya Arlando.
“ Nanti saja kuceritakan di dalam bus !”.
Meski tanpa janji kedua pemuda itu nampak serasi dengan pakainnya yang dikenakan. Arlando dengan baju biru tua dan Nabila memakai baju dan jilbab biru muda. Selisih tinggi badan juga tak terlalu mencolok. Sayang mereka hanya sahabat. Tak ada yang berani mengungkapkan perasaan sebenarnya.
Mereka memasuki bus. Duduk berdua berdampingan mesra bak sepasang kekasih.
“ Gimana tadi kok terlambat ?”, Arlando membuka pembicaraan.
“ Tadi aku diantar Ayah ke sini. Katanya Dia mau nungguin aku sampai dapat bus. Aku kan nggak mau kalau nanti ketahuan keluar sama kamu !”.
“ Lalu ?”, tanya Arlando.
“ Aku pura-pura minta diantarkan ke rumah Efia !”, Nabila mengambil dua Cocolatos dari tasnya. Untuk dinikmati berdua.
“ Terus Ayah kemana ?”.
“ Pulang lagi ke Payaman !”.
Bus melaju kencang menuju ke arah Kudus. Di dalam bus mereka bercanda. Sambil makan Cocolatos. Arlando mengambil ponsel.
“ Coba dengar lagu ini !”, Arlando menyodorkan heandset ke telinga Nabila.
Bilakah dia tahu apa yang telah terjadi
Semenjak hari itu hati ini miliknya
Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba
Bilakah dia mengerti apa yang telah terjadi
Hasratku tak tertahan tuk dapatkan dirinya
Mungkinkah dia jatuh hati
Seperti apa yang kurasa
Mungkinkah dia jatuh cinta
Seperti apa yang kudamba
Tuhan yakinkan dia tuk jatuh cinta
Hanya untukku
Andai dia tahu

Hati Nabila berbunga-bunga mendengar lagu itu. Arlando lah satu-satunya lelaki dapat duduk berdekatan dengannya. Wanita hanya diam dan menunggu. Tak mau Dia memulai meski terkadang perasaan wanita lebih besar dari pada kesedihan seorang pria saat ditolak cintanya.
Arlando ingin mengungkapkan perasaannya pada Nabila dengan lagu itu. Tapi Nabila tak mau ke Ge-eran dulu, dianggapnya lagu itu hanya lagu untuk teman perjalanan.
Setengah jam mereka sampai di pertigaan. Di sana mereka dijemput oleh Hani dan saudaranya dengan dua motor. Jalur pertigaan Dekat Glagah tak ada kendaraan umum. Sama dengan jalur Payaman-Plaosan. Harus naik kendaraan pribadi atau ojek yang ongkosnya mahal.
Di rumah Hani, Arlando dan Nabila lebih sering ngobrol berdua dari pada bicara dengan Hani. Untungnya Hani menyadari keadaan teman-temannya.
Kudus panas juga ya ?”, Nabila berbasa-basi.
Merasa tak etis membiarkan sendiri tuan rumah tak diajak bicara, malah ditinggal melepas rindu berdua.
“ Ya beginilah. Kalau siang pasti panas. Sama dengan Bogor juga. Sebentar aku ke belakang dulu !”.
“ Hehehe !”, Nabila tertawa dibuat-buat.
Hani datang membawa tahu campur makanan khas Lamongan. Sebelum masuk ruang tamu, Dia mengintip kedua temannya. Nabila nampak cekikikan dan sesekali mencubit lengan Arlando. Arlando membalas cubitannya dengan gemas.
“ Tambah sip saja !”, Hani datang. Spontan Arlando menarik jarinya yang masih menempel di lengan Nabila.
Hani datang membawa tiga piring tahu campur.
“ Aku sudah kenyang. Nanti kalau makan lagi nggak habis !”, kata Nabila.
“ Kita makan sepiring berdua saja !”, ajak Arlando.
“ Oke !”.
Mereka bertiga menikmati tahu campur. Cuaca cerah Glagah semakin siang semakin terasa panas. Keringat mulai keluar dari kening Arlando. Dengan penuh kasih sayang Nabila mengambil tisu dari tas kecilnya.
“ Pedwasnya mwantap. Di Bogor susah cwari makwanan pwedas !”, Arlando masih mengunyah tahu campur.
Nabila tersenyum melihat Arlando Bibirnya bertambah merah karena pedasnya tahu campur.
“ Wajar !”, kata Hani.
Selesai makan, adzan Dhuhur berkumandang. Arlando dan Nabila izin sholat dulu. Kedua sahabat itu sholat Dhuhur berjamaah. Nabila membayangkan bagaimana seandainya Arlando benar-benar menjadi pasangan hidupnya. Tapi tak mungkin. Dia tak mau berharap terlalu tinggi. Dia bukan siapa-siapa. Arlando adalah cowok cerdas dan bermasa depan jelas. Sedang Dia hanya gadis kampung yang tak mampu kuliah.
Arlando juga terbersit dalam hatinya mengandai jika Nabila menjadi pasangan hidupnya. Kecantikan Nabila membuatnya minder. Tentu banyak pemuda Payaman yang sudah mapan dan tampan siap mempersuntingnya. Hanya bisa memendam perasaan yang tak terungkapkan. Dia juga tak mau persahabatannya rusak gara-gara cinta. Seperti pengalaman sebelumnya bersama Nindi, Ani, Siska dan Icha.
Seusai sholat Arlando dan Nabila berpamitan pulang.
Dalam bus, Nabila ngantuk dan tertidur di pundak Arlando. Arlando memandangi wajah ayu Nabila. Semakin lama memandang semakin hatinya merasakan besarnya perasaannya ada pada Nabila. Tak ingin momentum itu berlalu begitu saja. Inilah kali pertama Dia merasa sangat nyaman berada di samping seorang gadis meski beberapa kali Dia pernah jatuh cinta.
Mata Arlando memandangi tangan Nabila yang putih berada dalam pangkuannnya. Dia mencoba memeganginya. Sesaat dia melepaskannya. Lalu dia menatap Nabila yang asyik tertidur di pundaknya. Kembali hatinya dilanda perasaan yang indah. Tak ingin rasanya Dia berpisah dari Nabila. Saat itu pula Dia memegangi jari-jari Nabila yang lembut. Semakin lama menatap mata Nabila semakin erat pegangan Arlando
Nabila tak terbangun hingga sampai di pasar Kudus. Mereka turun lalu ke Musholla. Sholat Ashar dan istirahat di sana. Kembali perasaan berkecamuk saat mereka asyik berjamaah berdua. Betapa indahnya dapat berjamaah dengan kekasih. Namun lagi-lagi rasa mindernya membuatnya tak mau berharap untuk mendapatkan Nabila. Arlando tak mau persahabatannya hancur gara-gara cinta. Selesai sholat, Nabila tertidur lagi. Arlando duduk di teras Musholla membaca buku Dunia Shofie. Sebuah novel yang menceritakan kehidupan para filsuf.
Jam Lima sore Arlando masuk ke dalam Musholla membangunkan Nabila.
Nabila .... bangun. Sudah sore. Ayo pulang !”.
Nabila diam tak berekspresi. Wajahnya pucat.
“ Bangun, Nabila !”, Arlando menggoyang-goyangkan lengan Nabila. Tak ada ekspresi.
Arlando mulai panik. Dipeganginya pergelangan tangan Nabila Masih berdenyut.
“ Bangun Nabila Ayo pulang !”, tak juga Nabila bangun.
Arlando menatap dalam wajah Nabila yang pucat.
“ Perutku sakit sekali !”, suara Nabila terdengar berat.
“Ayo pulang !”.
“ Aku tak kuat bangun !”.
Dengan terpaksa dan susah payah Arlando mencoba mendudukkan Nabila. Matanya malah terpejam lagi.
Kembali Arlando dilanda kepanikan. Dia keluar. Mencari toko membeli air dan obat sakit perut. Setengah berlari Dia mencari-cari toko. Semua sudah tutup karena sore. Wajahnya nampak sekali seperti orang kebingungan. Akhirnya Dia menemukan toko. Dia membeli air dan obat sakit perut. Tak tahu apa sebenarnya sakit yang melanda Nabila.
Arlando berlari lagi ke Musholla. Nabila masih terbaring.
Nabila. Bangun. Minum dulu !”, Arlando memaksa Nabila bangun. Tapi tak bisa.
Dia menelpon kakak Nabila.
“ Hallo, Mbak. Nabila pingsan !”.
“ Sorry, Arlando. Aku lagi ada acara di Lamongan !”, telpon langsung ditutup.
Arlando tak punya cara lain kecuali memaksa Nabila bangun. Tak terasa sudut matanya dingin. Arlando duduk di samping Nabila menunggu sampai sadar sambil berdoa.
Nabila tersadar.
“ Minum dulu, Nabila !”.
Nabila menggeleng.
“ Sudah sore. Ayo pulang. Ini minum dulu !”.
hanya sedikit air yang masuk di mulutnya. Dia mencoba bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya terhuyung jatuh ke depan. Untung Arlando ada di depannya.
Arlando menidurkan Nabila. Dia keluar lagi mencari bantuan untuk mengantar Nabila sampai pangkalan angkot. Kembali Dia haru berlari-lari menuju pangkalan angkot. Di sana masih ada empat angkot yang masing mangkal. Dia menghampiri sopir dan menjelaskan keadaan Nabila.
***
Jam tujuh malam Nabila tersadar. Arlando berada di ruang bersama ayah dan saudara-saudara Nabila
“ Saya tak tahu kenapa Nabila pingsan. Saya kira tadi hanya tidur di Musholla !”.
“ Tadi belum makan ?”, tanya ayah Nabila.
“ Sudah, Pak. Tadi siang makan tahu campur di Kudus !”.
“ Pedas ?”, tanya ayah lagi.
“ Iya, Pak !”.
“Itu dia nak Arlando. Sakit maagnya kambuh kalau makan pedas. Ya sudah, nak Arlando saya berterima kasih karena telah menolong Nabila. Malam ini nak Arlando tidur di sini saja !”.
“ Aku dipanggil nak Arlando ?”, gumam Arlando dalam hati.
Dia senang luar biasa dipanggil ‘nak’ oleh ayah Nabila. Dia senyum-senyum sendiri.
Arlando pamitan pulang. Tapi ditahan oleh keluarga Nabila karena tak ada kendaraan malam untuk sampai ke desa Dukuan. Akhirnya Arlando terpaksa menginap disana.
Senin pagi yang cerah. Udara pagi di Kudus lebih segar dari Bogor. Lokasinya di tengah sawah menjadikan udara masih steril jauh dari asap kendaraan. Arlando keluar halaman memandang pepohonan berembun yang rindang. Nabila datang menemaninya.
Arlando tahu langkah Nabila di belakangnya. Dia mengatur nafasnya untuk memperlancar bicara. Hatinya sudah tak bisa dibohongi lagi. Tak ingin Dia berlama-lama terjun dalam kemunafikan cinta.
“ Tak pernah ada pagi seindah ini dalam hidupku !”, pandangan Arlando mendongak ke atas mengamati mangga yang ranum. Tak berani Dia menatap mata Nabila
“ Kenapa Arlando ?”, tanya Nabila.
“ Pohon yang indah, udara yang sejuk, rumah yang permai !”.
“ Hanya itu ?”, sela Nabila.
Arlando mendekati pohon mangga, membasahi tangannya dengan dedaunan yang berembun.
“ Tidak !”.
“ Lalu ?”.
“ Seorang sahabat yang lama kurindukan kini berada di dekatku bukan, hanya dalam khayalanku !”.
“ Siapa Dia ?”, Nabila memancing agar Arlando menyatakan cinta.
“ Dia adalah seorang gadis yang sangat kusayangi dan kucintai. Sayang aku tak mau berpadu kasih dengannya !”.
Deg. Hati Nabila terasa ada yang memukul keras. Dia mendekati bunga-bunga untuk menghibur hatinya. Dia diam, memegangi bunga-bunga yang masih basah. Dia benar-benar kecewa. Matanya melirik ke arah Arlando yang masih asyik bercengkerama dengan daun-daun basah. Nabila memejamkan mata dan mengatur nafas. Dia mencoba mengatur suara hanya untuk bertanya, “ Kenapa ?”.
“ Karena ini adalah saat yang tepat untuk melamarnya. Aku akan menikahinya !”, Arlando menoleh ke arah Nabila.
Deg. Kembali ada yang memukul hatinya. Nabila tak berani menatap Arlando, Dia menundukkan kepala memandangi ujung jari-jari kakinya. Dia mencoba bicara tapi berat. Tak ada satu pun kata-kata yang terucap dari mulutnya.
Arlando meletakkan tangannya ke dagu dan menolehkan wajah Nabila yang memerah merona. Arlando tersenyum, Nabila ikut tersenyum.
***
Arlando beranjak masuk ke rumah menemui ayah dan ibu Nabila yang masih sibuk menyiapkan sarapan. Arlando meminta dengan hormat kepada orang tua untuk sejenak ke ruang tamu karena ada sesuatu yang penting untuk disampaikannya.
Tanpa basa-basi Arlando lalu mengutarakan segala keinginannya untuk menikahi Nabila. Suasana menjadi tegang. Saat ayah bilang
“ Tak bisa kuterima lamaranmu sebelum kau selesaikan kuliahmu !”.
Nabila hanya diam membisu. Sudut matanya basah namun tak terlihat karena tertutupi air mata.
“ Semester depan saya sudah wisuda, Pak. Saya akan segera menyelesaikan kuliah !”.
“ Tapi ada satu syarat ?”.
“ Apa itu, Pak ?”, tubuh Arlando bergetar menunggu syarat yang ditentukan ayah.
Dia mencoba tetap tenang meski hatinya bergelora.
“ Jangan sekali-kali menemui Nabila lagi sebelum kalian resmi menjadi suami-istri !”.
 Arlando seperti kehilangan daya. Matanya memandangi Nabila. Sejenak Dia merasa ragu jika selama enam bulan tak bertemu. Nabila melirik Arlando memberi tanda dengan matanya yang cantik agar Arlando segera bicara.
“ Inggih, Pak. Saya terima syarat itu !”.
Semua yang ada di rumah mengucap hamdalah hampir bersamaan.
Setelah lamarannya diterima dengan syarat, Arlando dan Nabila pun menjalani persyaratannya. Mereka hanya berhubungan lewat telpon dan sms. Begitu indah cinta mereka berdua meski tak bertemu. Semua berlalu tanpa harus berjalan berdua, bergandeng tangan apalagi berciuman. Arlando dan Nabila menjaga cinta tanpa noda nafsu agar tak melanggar adat dan agama. Dan terasa sangat indah saat waktunya tiba.
























MANUSIA TELEVISI


Biolen Fernando Sinaga










            Minta ampun !
Mimpiku tadi malam benar-benar luar biasa. Tadinya aku belum berniat tidur, hanya menunggu lampu kembali hidup, setelah listrik mati entah karena apa, namun tanpa sadar aku tertidur di depan layar komputerku. Naskah cerpen yang hampir selesai akhirnya hilang, karena belum sempat ku save. Meski kecewa, aku tak mengutuk-ngutuk, karena pada dasarnya aku memang seorang penyabar ( narsis amat ya aku ? ).
            Dalam mimpiku, seseorang muncul di layar komputer. Tampak setengah badan, seperti pembaca berita di Televisi. Pria paruh baya yang kebapakan, berambut kelimis, dan senyumnya berwibawa. Aku amat mengaguminya.
            “ Mati lampu, Nak ?”, tanyanya ramah.
            “ Ya, Pak. Bapak siapa ya ?”.
            “ Saya ?”, Beliau tersenyum.
“ Menurut kamu siapa ?”, lanjutnya.
Aku bingung. Berusaha mencari jawab.
“ Sepertinya, Bapak ini Manusia Televisi. Bapak hadir di sini seperti dalam televisi, namun bisa diajak berkomunikasi secara langsung !”.
Beliau tersenyum lagi.
“ Itu pujian atau ejekan, Nak ?”, tanyanya.
“ Bapak suka dipuji atau diejek ?”, entah kenapa aku begitu berani bertanya begitu.
“ Biasanya orang lebih suka dipuji, tetapi bagi saya, dipuji dan diejek sama saja, merupakan bentuk perhatian. Jika itu proporsional, just go on ...!”.
Kalau begitu, kenapa aku harus ditanya, sedang mengejek atau memuji ya, pikirku. Namun kusadari, pasti beliau lebih hebat daripadaku, buktinya bisa muncul di layar komputer. Beliau pasti pintar, dan aku mengagumi orang pintar.
“ Kamu seorang Penulis, ya ?”, tanya Beliau lagi.
“ Bo ..., boleh dibilang begitu, Pak !”, jawabku malu.
“ Lucu ya Pak, mengaku sebagai Penulis. Penuliskan jarang bisa kaya. Buku Sastra jarang dilirik orang !”, kataku merendah karena memang merasa rendah.
“ Kok pesimistis begitu ? Tak boleh. Kita harus optimistis. Perlu rasa percaya diri. Keunggulan adalah hal utama dalam hidup !”.
“ Keunggulan ? Seperti varietas unggul tahan wereng, Pak ?”, entah kenapa lagi aku begini lancang.
Beliau tertawa, namun tak terbahak-bahak. Agaknya beliau bisa mengendalikan diri.
“ Kamu humoris juga, dan itu sifat yang baik. Humor memang perlu dalam hidup !”.
“ Kenapa tak keluar saja dari layar, Pak ?”, mohonku.
            “ Lho, berkomunikasi lewat layar ini sudah cukup nyaman, kan ? Kalau sudah nyaman, apalagi ? Kalian Penulis ini suka bermain-main. Menajam-najamkan Pena, meskipun sudah tajam !”.
“ Maaf Pak, saya tak bermaksud menyinggung Bapak !”.
“ Siapa yang tersinggung ? Jangan menuduh sembarangan, Nak. Harus ada bukti. Tak sepicik itu saya mudah tersinggung !”.
Aku terdiam. Bicara dengan orang pintar memang susah. Terkadang serba salah.
“ Baiklah Pak. Mohon maaf seandainya saya perlu mohon maaf. Mohon bantuan jika saya butuh bantuan. Saya tahu Bapak cerdas, jangan-jangan pernah menimba ilmu di luar Negeri. Oh maaf, mungkin Bapak tah suka kata 'jangan-jangan' dari saya ... !”.
“ Ah, kalimatmu kontra-produktif. Kata jangan-jangan itu berarti menduga. Dugaan itu biangnya kegagalan. Sampai bertemu lain kali !”.
Zappp !!! Manusia Televisi menghilang.
Aku terbangun. Ternyata lampu sudah hidup lagi.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 3 dinihari.
***

Minta ampun !!!
Mimpiku benar-benar jadi beban pikiranku. Sosok Manusia Televisi membuatku ingin bertemu lagi dalam mimpi. Aku ingin lampu mati lagi, lalu aku tertidur, lalu Beliau datang. Aku akan berhati-hati bicara dengannya, berusaha tak membuatnya bosan lalu menghilang.
Syukurlah, ternyata niatku terkabul, listrik mati saat aku tengah mengetik.
Saat aku sedang hampir menyelesaikan sebuah cerpen di layar komputerku dan belum men'save', listrik mati.
Meski kecewa, aku tak mengutuk-ngutuk ( sudah tahu kalau aku seorang penyabar, kan ? ).
Saat menunggu lampu hidup lagi, aku  berharap ketiduran. Aku memang agak kurang gizi, jadi  biasanya mudah mengantuk.
Namun kali ini berbeda. Mataku tak kunjung mengantuk.
Aku berusaha berkonsentrasi agar mulai mengantuk, tak juga bisa.
Kenapa jadi begini ?
Nyamuk sudah mulai datang, berdenging di telingaku. Daun telingaku panas, mungkin digigitnya.
“ Manusia Televisi, datanglah !”, bisikku.
Komputerku masih bergeming di tempat gelap.
Di luar rumah, terdengar teriakan.
“ Maling ... maling ...!!!”, lalu suara derap kaki mengejar dan dikejar.
Aku cuek saja. Aku lebih ingin bertemu Manusia Televisi.
“ Muncullah ! Sapalah aku ! Please !”, bujukku.
Aku terus bersabar sambil berharap, semoga matinya listrik kali ini lebih lama.
Benar saja, pukul lima listrik baru menyala lagi. Namun usahaku nihil. Hasilnya nol.
Aku tak mengumpat. Aku bersyukur diciptakan sebagai manusia penyabar.
***

Listrik masih sering mati.
Dan kerapkali saat aku sedang hampir menyelesaikan sebuah cerpen yang belum ku save. Selain sabar, ternyata aku juga agak bodoh, tak belajar dari masa lalu. Jika aku mensave cerpenku saat mengetik, setidaknya aku bisa menyelesaikannya lain waktu, kan ?
Aku jadi kekurangan tidur. Makan juga tak selera. Hanya gara-gara menunggu Manusia Televisi yang pintar itu.
Kemarin-kemarin aku rajin lari pagi atau sore, supaya ketika lampu padam, aku tertidur dan bermimpi. Namun itu tak ampuh. Aku malah terkena sakit kuning karena energiku terkuras.
Sampai pada suatu malam ...
“ Sebelumnya ibu minta maaf, Nanda !”, ucap ibu.
“ Ada apa, Bu ?”, tanyaku heran.
“ Komputermu akan kita jual. Ibu tak suka kamu jadi Pengarang. Itu kerjaan tukang khayal. Kamu tahu, rubrik sastra paling-paling hanya muncul sekali seminggu kan ? Mana cukup untuk menampung karya Pengarang ? Buku sastra juga tak begitu lartis, kan ?”.
“ Bu .., jangan begitu !”.
“ Ibu ingin kau serius belajar. Kelak bisa kuliah. Ambil S1, lalu S2, lalu S3. Agar ibu bangga ... !”.
“ Bu ... !”, aku panik.
“ Tak perlu memboroskan listrik untuk mengarang. Meskipun listrik mati, jangan kau kira jadi lebih murah, justru jadi lebih mahal. Meterannya terkaget-kaget !”.
“ Tapi bu, di komputerku pernah muncul Manusia Televisi. Dia penting bagiku. Penting !”.
Apa itu ? Alien ? Yang kendaraannya menimbulkan Crop Circle itu ? UFO ?”.
“ Dia manusia biasa seperti kita, bu. Tapi cerdas. Bisa muncul di layar komputer. Saat listrik sedang mati !”.
“ Nanda, jangan berkhayal berlebihan. Aneh kau ini. Ibu saja yang sesekali nonton film mistik, nggak jadi berhalusinasi seperti kamu !”.
“ Dia hadir dalam mimpiku, bu. Saat aku tertidur menunggu lampu hidup lagi !”.
“ Wah, hebat betul. Komputer mati, kamu ketiduran, lalu Dia muncul dari layar dalam mimpimu. Ya Tuhan, apakah ibu bakal sanggup membawamu ke psikiater ? Pasti mahal biayanya !”, ibu tampak gundah.
“ Nanda masih butuh komputer ini, bu. Jangan dijual !”.
“ Okelah, kamu butuh komputer yang tak butuh listrik. Di gudang masih ada layar komputer bekas. Akan ibu pajang di sini, dan ini ibu jual. Ibu tak banyak waktu berdebat denganmu. Ibu harus ke pasar, belanja untuk lauk. Juga membeli temulawak untuk sakit kuningmu. Istirahatlah, Nanda. Agar sakit kuningmu sembuh. Kamu tak boleh kecapekan !”.
Ibu pergi. Aku termangu memandangi komputer. Aku sedih akan berpisah dengannya. Padahal Dia sebuah komputer ajaib.
Perlahan mataku terasa berat. Aku mengantuk dan tertidur.
Dan, ya Tuhan, Manusia Televisi muncul di layar komputer. Aku sungguh gembira.
“ Terima kasih, akhirnya sudi datang lagi, Pak. Saya sudah lama menunggu ... !”.
Beliau tersenyum ramah.
“ Sayangnya, sebentar lagi ibu akan menjual komputer ini. Tak bisa lagi bertemu bapak !”.
“ Jangan resah. Bukankah banyak warung internet di luar sana ?”.
“ Tapi bapak datang pas mati lampu dan saya ketiduran kan ? Tak mungkinlah saya ketiduran di warung internet. Lagipula komputer di sana hanya sebentar mati. Listrik akan langsung diganti dengan tenaga genset !”.
“ Usahakan saja kamu ketiduran beberapa detik setelah listrik mati, sebelum genset dihidupkan. Dan semoga penjaga warung internet tak membangunkanmu !”.
“ Tapi Pak, biayanya akan sangat besar jika saya ketiduran. Penjaga warnet belum tentu mau membangunkan ... !”.
“ Biaya ? Bertemu saya memang butuh biaya. Besar kecil itu relatiflah. Yang penting, kamu jumpa saya kan ?”.
“ Ya pak, saya ingin jumpa sesering mungkin. Saya mengagumi kepintaran bapak !”.
“ Hmm .., kamu bisa berusaha agar komputermu ini tak dijual. Berusahalah membantu ibumu mencari uang agar tak harus menjual komputer ini. Atau pertahankanlah komputer ini sedaya mampumu, kalau perlu .... !”.
Aku menunggu kelanjutan kalimat Manusia Televisi.
Lama aku menunggu, namun ekspresinya tak berubah. Bibirnya memonyong karena berhenti saat menyebut kata perlu ...
Gambar Manusia Televisi tak bergerak. Dia masih terus monyong.
Aku terus menunggu. Menunggu. Menunggu.
*******
















WARISAN CINTA IBU

Butet Benny Manurung











“ Dok, ini rekam medik Nafisa, dan Dia pasien terakhir kita malam ini !”, ujar  Kemuning dengan lembut, seraya meletakkan bundelan kertas itu  di mejaku.
Seketika, sebuah kegembiraan menyeruak, menghalau penat yang sedari tadi sudah menyapa.  Bukan hanya karena Nafisa, pasien kecilku yang menyenangkan, tapi karena berarti tak lama  lagi aku bisa berdua dengan Kemuning. Berdua dengannya selalu memberikan  desir-desir aneh di dadaku. Suatu rasa yang  sudah sejak awal mengenal Kemuning, menderaku.   
Kemuning, perawat yang menjadi asistenku di tempat praktek, sejak enam bulan lalu. Dia gadis yang sangat cantik.  Kulitnya yang putih mulus, membalut tubuhnya yang tinggi semampai. Rambut hitamnya digulung rapi, dan kemudian dihiasi nurse cap putih di kepalanya.  Ah, cantik sekali. Bagiku, Dia adalah perwujudan dewi kecantikan yang turun dari kayangan. Kecantikannya juga disempurnakan dengan tutur bahasanya yang lembut.   Dia tak pernah mengeluhkan tingah laku pasienku yang memang kadang menyebalkan.
Sejak Dia menjadi perawat di praktekku, pasien kami juga bertambah. Anak-anak sangat menyukainya. Meski beberapa anak tak fasih menyebutnya suster kemuning, Dia tetap tersenyum dipanggil Suster Kuning atau Suster cantik, termasuk oleh Nafisa kecil.
“ Saya antar kamu pulang, Ning !”, tawarku  seperginya Nafisa dan ibunya dari ruang praktek.
“ Ah, tidak usah, Dok ! Malam ini saya dijemput seorang teman !”, jawabnya tertunduk.
Entah kenapa Kemuning selalu tertunduk jika bicara berdua denganku. Padahal, aku ingin sekali Dia mengangkat wajahnya, agar kecantikannya membiaskan sinar di hatiku. Bahkan aku ingin sekali menikmati keindahan bola matanya yang bening.
Aku mengangguk maklum. Seraya berharap, kalau yang menjemputnya itu bukanlah seorang kekasih baginya.  Tetapi harapanku tak terkabul, ketika sebuah sepeda motor mendecit dan berhenti tepat disebelah mobilku. Lelaki gagah yang mengembangkan senyumnya pada Kemuning. Dari balik horden ruang praktek yang kusibakkan, aku melihatnya. Lelaki itu merangkul bahu Kemuning dan menuntunnya menuju sepeda motornnya. Angin badai berkecamuk dihatiku. Sulit untuk kuhalaukan. Sekedar menenangkan debur ombak di jantungkupun aku tak kuasa. Aku terduduk di kursi praktekku, mengamati kepergian mereka dalam nelangsa milikku sendiri.
Entah sudah berapa kali, kucoba mengusir rasa itu. Hasilnya tetap sama. Aku jatuh cinta pada Kemuning. Perasaan cinta yang entah kapan bisa kuucapkan. Perasaan sayang yang membuatku takut kehilangannya. Perasaan yang mengingatkanku pada keteduhan dan kepedihan di mata Ibu.
“ Kamu kenapa Ri ?”, tanya Adinda sahabatku, ketika kami berjalan di koridor rumah sakit.
Adinda seprofesi denganku, dan telah lama menjadi sahabatku. Hanya saja sekarang Dia mendalami spesialis kulit, sedangkan aku lebih mencintai diriku sebagai dokter anak. Anak-anak itu yang adalah cerminan kejujuran dan ketulusan telah menyita hatiku. Itulah sebabnya, aku tak ingin jika penyakit menyapu senyum tulus dari wajah mereka.
“ Aku .. aku .. baik-baik saja !”.
“ Dokter Ari, aku sudah  jadi sahabatmu sejak lama.  Sorot matamu itu sudah menjawabku. Kamu sedang jatuh cinta kan ?”, tanya Adinda menatapku.
Aku hanya mengangguk. Sebab percuma mendustai wanita itu. Dia terlalu mengenalku, sehingga mendeteksi perasaanku bukanlah hal yang sulit baginya. Persahabatan selama bertahun-tahun membuatnya  mengenalku sebaik aku mengenal diriku sendiri.
“ Tapi Dia tak bisa kuraih, Din !”, jawabku.
“ Mulai kapan kamu jadi manusia pesimis ? Ari yang kukenal selama ini selalu optimis kan ? Aku yakin, kalau kamu benar-benar tulus mencintainya, maka Dia akan melabuhkan hatinya di dermaga hatimu !” Seperti biasa, Adinda memotifasiku.
Mungkin motifasinya sangat manjur buatku, dilain-lain kesempatan. Tapi tidak untuk kali ini.
“ Kali ini, biarkan aku menjadi manusia pesimis itu, Dinda !”.
“ Akh .. sepanjang yang bisa kuingat baru kali ini kau jatuh cinta, Ri ! Ini saatnya kau membuktikan bahwa kau juga punya cinta, punya rasa dan tidak dingin seperti yang dikatakan orang-orang !”.
“ Tetap saja aku tak bisa, Din ! Cintaku ini bukan cinta biasa !”.
Adinda terpekik takjub dan memukul bahuku.
“ Wow !! Sedalam itukah ? Hebat kamu, Ri ! Sekali jatuh cinta langsung mengalami cinta luar biasa. Ayo sobat, jangan biarkan cintamu berlalu !”.
“ Kita lihat saja nanti, Din ! Tapi tetap saja Dia mustahil untuk kurengkuh !”.
Kulihat jelas, Adinda mengernyitkan keningnya. Aku yakin Dia benar-benar bingung dengan sikapku kali ini. Meski dengan susah payah Adinda bertanya tentang identitas orang yang membelenggu hatiku, tetap saja aku tak bisa. Aku tak akan pernah bisa mengatakan kepada siapapun tetang Kemuning. Dia hanya akan ada dihatiku, menemani mimpiku, membelenggu jiwaku dan membuatku bagai pecundang.
Disaat seperti ini, aku begitu merindukan keteduhan wajah Ibu. Aku ingin sekali berlari ke bening telaga mata wanita itu, dan menyesap setiap mata air cinta di sana. Tetapi di mana aku mencari keteduhan itu lagi. Hampir dua puluh tahun, aku tak lagi menemukannya. Usiaku masih enam tahun, ketika terakhir kali Ibu membelai rambutku, mencium keningku dan membasahi wajahku dengan air matanya.
“ Maafkan Ibu, Nak ! Ibu tak bisa menjadi Ibu yang baik bagimu !”.
Kalimat itu tetap terngiang di telingaku selama berpuluh tahun. Aku tidak akan pernah  bisa menghapusnya dari ingatanku. Ibu yang selalu ada untukku. Ibu yang selalu menenangkan tangisku. Ibu yang  tak kenal lelah mengurus aku dan ayah, dan ibu yang penuh dengan kelembutan. Aku tidak pernah bisa mengerti kenapa ibu berkata Dia bukan ibu yang baik, dan aku juga tak pernah bisa memahami kenapa Dia pergi dari hidup kami. Ibu pergi dengan sejuta tanya yang menggalaukanku.
Meski ayah berhasil menjalani peran ganda sebagai ayah dan ibu bagiku, pun ketika  tante Seruni menggantikan posisi ibu di rumah kami, tetapi tidak akan pernah menggantikan keteduhan dan cinta ibu di hatiku.  Pernah aku bertanya kepada nenekku yang adalah ibu dari ayahku, tentang kepergian ibu. Wanita itu menjawabku dengan kalimat yang tak juga kupahami.
“ Ibumu itu sakit, Ri ! Dia harus pergi untuk menyembuhkan dirinya !”.
“ Kenapa selama itu, Nek ! Dan kenapa tak seorangpun yang menemaninya berobat ?”, tanyaku dengan kebingungan yang semakin mendera.
“ Karena tak seorangpun yang bisa ikut menyembuhkan ibumu kecuali dirinya sendiri. Dan tak seorangpun yang tahu kapan Dia sembuh, kecuali Tuhan dan dirinya sendiri !”.
Tidak puas dengan jawaban nenek, akupun mencoba bertanya kepada ayahku.
“ Ayah, kapan Ibu akan pulang ? Kata nenek, ibu sakit dan pergi menyembuhkan dirinya ?”, tanyaku sambil menatap bola matanya. Berharap menemukan jawaban dan kejujuran di mata elang ayah itu.
“ Nenekmu benar, Sayang ! ibu sedang sakit. Tapi kita tidak bisa menyembuhkannya. Kalau memang kamu sayang sama ibu, tolong jangan tanya tentang ibu lagi ya ! Kelak kamu akan mengerti, nak ! Tapi tidak sekarang !”.
Sejak itu, aku tak lagi bertanya. Sebab setiap tanya tak membuahkan jawaban bagiku. Tetapi membuahkan kebingungan yang membuatku semakin disiksa kegalauan akan perginya ibu. Biarlah aku menyimpan sejuta tanya itu untuk diriku sendiri. Sejuta tanya yang kubawa setiap hari di sukmaku. Dengan sejuta tanya itu aku bertumbuh, menjalani hidup, menyusu pada ilmu dan akhirnya menjadi seorang dokter. Dan aku tak pernah menemukan jawabannya.
Rasa cinta yang menyesap jiwaku, akan hadirnya Kemuning, perlahan mulai menguak sejuta tanya tentang ibu. Perlahan-lahan cahaya kecil di ujung lorong kebingunganku selama ini berpendar. Aku seakan melihat wajah ibu di lorong itu, menatapku dengan tatapan pilu.  Seakan ibu ingin menghalauku dari lorong itu, tak menginginkanku menggapai apalagi mengikutinya. Aku mengulurkan tanganku, tapi ibu menggeleng dengan lembut dan membiarkan air mata menghiasi wajahnya.
Semakin aku mencintai Kemuning semakin aku mengerti jawaban akan kepergian ibu.  Entah dengan cara bagaimana, ternyata ibu telah mewariskan penyakit itu padaku. Bukan inginnya, bukan inginku dan bukan ingin siapapun.  Sekarang akupun telah menjadi pesakitan. Sakit yang tidak bisa kusembuhkan dengan ilmu kedokteranku atau dengan ilmu rekan sejawatku yang manapun.
Benar kata nenek dan ayah, hanya diri kami yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Aku dan ibu mencintai insan yang berjenis kelamin sama dengan kami. Ibu telah mewariskannya padaku. Warisan cinta yang melemahkan sanubariku. Dulu ibu pergi membawa cintanya pada wanita lain, dan kini aku putri tunggalnya nelangsa  disini dengan cintaku pada Kemuning.  Tapi andai ibu tak bisa menyembuhkan dirinya, apakah aku bisa menyembuhkan diriku ?  Aku, dokter Arianti Putri telah mewarisi penyakit cinta Ibu.








EPISODE TERAKHIR

Dani Sukma AS













1.
“ Aminah, menikahlah denganku … !”.
“ Aku belum siap untuk kau nikahi …!”.
“ Apakah engkau tidak mencintaiku ?”.
“ Aku mencintaimu … sungguh ! Tetapi, aku memang belum siap untuk kau nikahi, bahkan aku tidak yakin apakah akan memiliki kesiapan untuk kau nikahi !”.
“ Mengapa engkau tidak siap untuk kunikahi ? Bukankah kita saling mencintai ?”.
“ Aku memang mencintaimu, tetapi engkau tahu bahwa kita tidak mungkin bersatu !”.
“ Apakah ini karena orang tuamu ?”.
“ Entahlah … !”.
“ Sudah kukatakan padamu, persetan dengan orang tuamu ! Aku akan menikahimu meski mereka menentangnya ! Kita akan menikah di luar negeri ! Aku sanggup membawamu ke sana dan membiayai pernikahan kita !”.
“ Aku tahu, sebagai lelakiku engkau memang sanggup melakukan itu, tetapi sebagai perempuanmu, aku merasa ada sebuah pertentangan batin yang mengusikku !”.
“ Pertentangan apa ? Sudahlah, buang jauh-jauh rasa gamang yang menghuni batinmu dan dengarlah suara hatimu, bukankah suara hatimu mengatakan bahwa kau adalah perempuanku ?”.
“ Ya ! suara hatiku memang mengatakan begitu, tetapi takdirku sebagai perempuanmu benar-benar membuatku seakan telah mempermainkan kehidupanku !”.
“ Ah, persetan dengan takdir ! Mari kita bermain-main dengan takdir !”.

2.
Sumpah ini bukan takdir main-main. Aku yakin, Tuhan tidak pernah bermain-main dengan takdir. Aku yakin, Tuhan juga tidak pernah salah menempatkan takdir. Walau banyak yang berpikir kalau takdirku adalah sebuah permainan, namun sesungguhnya aku tidak sedang mempermainkan atau bermain-main dengan takdir.
Bagaimana mungkin aku bermain-main dengan takdir sedangkan yang kupermainkan adalah takdirku sendiri. Hei, kau jangan bercanda apalagi menertawakan takdir yang kini seolah mempermainkan kehidupanku, sebab itu sama saja dengan menertawakan Tuhan. Perihal banyak yang menyayangkan takdirku, sejujurnya itu hanyalah sebuah luapan ketidakterimaan terhadap garis hidup yang digurat Tuhan padaku.
Aku ialah setubuh manusia yang digariskan Tuhan untuk hidup pada gambaran takdir yang tidak main-main. Sebab, aku berbeda dengan kebanyakan takdir yang digariskan pada manusia lain. Hei, jangan coba menebak-nebak pembeda apa yang digariskan Tuhan padaku dengan yang lain. Sebab, itu sama saja kau mencoba berkelakar dengan praduga burukmu pada Tuhan. Lebih baik, kau ikuti saja episode-episode kehidupanku. Agar kau juga mengerti bahwa sumpahku ialah sebuah kebenaran. Ya, sumpahku yang berucap, ini bukan takdir main-main !.

3.
            Aku mengenalnya pada suatu malam. Di sebuah pusat perbelanjaan. Saat pertamakali menatapnya jantungku berdesir. Ada seliuk kagum yang menggemulai dalam tarian jiwaku. Jemari jiwaku seolah menarikan semacam tarian cinta yang diiringi dentuman jantungku yang tak menentu. Nafasku tersekat. Sebab ia mendekatiku. Aku sungguh merasa lemas. Meski tarian cinta dalam hatiku kian mengganas, namun aku tak mau Ia sampai tahu bahwa sebentuk tubuh lelakinya telah sebenar membekas dalam dadaku.
            Ia kini tepat di hadapanku. Bibirku tercekat. Aku tak mampu berucap apa-apa. Kata-kata seolah hilang dari ingatan. Sedang irama detak jantungku terus mengalun tak menentu. Aih, aku mencium aroma tubuhnya yang begitu sensual. Aku sungguh terpikat. Apalagi saat Ia mengulurkan jemarinya untuk memperkenalkan diri. Saat itu, waktu seakan terhenti. Baru kali ini aku merasakan hal seperti ini.
            Dengan perlahan kuulurkan jemariku. Saat tangan kami bertaut. Aku tak menduga akan ada kisah di antara kami yang terus berlanjut.

            4.
            “ Aku menyukaimu … !”, ujarnya padaku setelah beberapa bulan dari pertemuan itu.
            “ Aku juga menyukaimu, kau teman terbaik yang pernah kutemui !”, aku mengucapkan itu dengan tegas.
            “ Bolehkah aku berterus terang padamu ?”.
            “ Mengapa tidak boleh ?”.
            “ Aku ingin berterus terang bahwa dirimu memiliki tempat istimewa di dalam hatiku !”.
            “ Tempat istimewa ? Apa maksudmu ?”.
            “ Aku takut, dirimu akan membenciku jika aku ungkapkan hal ini padamu …!”.
            “ Mengapa harus takut, sebagai seorang lelaki seharusnya kau jangan pengecut !”.
            “ Jujur saja, aku telah jatuh cinta padamu … Sejak pertamakali melihatmu, aku terpikat padamu. Karena itu aku mendekatimu, dan aku tidak dapat menahan rasa ini lebih lama …!”.
            Aku terkejut. Sangat-sangat terkejut. Benarkah Ia benar-benar mencintaiku. Apakah aku tidak sedang bermimpi. Jujur saja, saat pertamakali melihatnya aku juga merasakan kekaguman yang luar biasa. Bahkan ada seliuk tarian cinta yang menggemulai dalam jiwa. Namun, sungguh aku berpikir bahwa perasaanku akan bertepuk sebelah tangan. Kini, Ia sendiri yang menyatakan bahwa dirinya mencintaiku.
            “ Maukah engkau menerima cintaku, jadikan perempuanmu !”.
            Aku diam. Entahlah, tiba-tiba roda takdir seakan mengantarku pada sebuah perbedaan …

5.
Aku ialah setubuh manusia yang digariskan Tuhan untuk hidup pada gambaran takdir yang tidak main-main. Sebab, aku berbeda dengan kebanyakan takdir yang digariskan pada manusia lain. Hei, jangan coba menebak-nebak pembeda apa yang digariskan Tuhan padaku dengan yang lain. Sebab, itu sama saja kau mencoba berkelakar dengan praduga burukmu pada Tuhan. Lebih baik, kau ikuti saja episode-episode kehidupanku. Agar kau juga mengerti bahwa sumpahku ialah sebuah kebenaran. Ya, sumpahku yang berucap, ini bukan takdir main-main !.
Bagaimana mungkin aku bermain-main dengan takdir sedangkan yang kupermainkan adalah takdirku sendiri. Hei, kau jangan bercanda apalagi menertawakan takdir yang kini seolah mempermainkan kehidupanku, sebab itu sama saja dengan menertawakan Tuhan. Perihal banyak yang menyayangkan takdirku, sejujurnya itu hanyalah sebuah luapan ketidakterimaan terhadap garis hidup yang digurat Tuhan padaku.
Sumpah ini bukan takdir main-main. Aku yakin, Tuhan tidak pernah bermain-main dengan takdir. Aku yakin, Tuhan juga tidak pernah salah menempatkan takdir. Walau banyak yang berpikir kalau takdirku adalah sebuah permainan, namun sesungguhnya aku tidak sedang mempermainkan atau bermain-main dengan takdir.

6.
“ Panggil aku Aminah !”, kali ini aku bermanja pada lelakiku.
            Ia tersenyum. Ada rona kebahagiaan memancar dari wajahnya.
            “ Berarti engkau bersedia menjadi perempuanku ?”.
            Aku tertunduk. Aku tak kuasa menutupi lagi perasaanku. Meski gamang, aku mencoba berdiskusi dengan pikiranku sendiri. Bagaimanapun aku memang mengangguminya. Bahkan sungguh-sungguh mengagguminya. Dan, aku menyadari dengan sangat-sangat sadar, bahwa rasa kagumku ialah sebentuk cinta yang menghuni suatu ruang di dalam relung sanubariku. Pada akhirnya aku hanya mengikuti suara hatiku, aku teringat sebuah pepatah bahwa ketika kita dibimbangkan pada sebuah kebimbangan. Maka ikutilah suara hati, sebab suara hati ialah ilham yang diberikan Tuhan. Maka, aku mencoba mengikuti suara hatiku meski aku tidak sepaham dengan pepatah itu.
            “ Ya, aku bersedia menjadi perempuanmu … kuharap engkau juga bersedia menjadi lelakiku yang begitu menyayangku dengan sepenuh rasa sayangmu !”.
            “ Aku berjanji, aku akan menyayangimu dengan sepenuh rasa sayangku, sebab dirimu telah berkorban begitu besar untuk menerimaku … !”.
            “ Aku tidak mengorbankan apa-apa … !”.
            “ Aku tahu, dirimu awalnya gamang dengan ketulusanku, tetapi sungguh ketika dirimu telah menakdirkan dirimu sebagai perempuanku maka itu adalah sebuah pengorbanan cinta yang begitu besar, karena itu percayalah padaku bahwa aku akan menyanyangi dengan keseluruhan hidupku !”.
            Air mataku menetes. Tak kuduga, aku begitu sentimentil. Hatiku seakan luluh dengan bening ucapnya yang menyejukkan. Tutur katanya serupa seteters air yang kutemu digurun pasir. Jujur saja, aku masih gamang apakah ini sebenar takdir yang digariskan Tuhan padaku ?.

            7.
Bagaimana mungkin aku bermain-main dengan takdir sedangkan yang kupermainkan adalah takdirku sendiri. Hei, kau jangan bercanda apalagi menertawakan takdir yang kini seolah mempermainkan kehidupanku, sebab itu sama saja dengan menertawakan Tuhan. Perihal banyak yang menyayangkan takdirku, sejujurnya itu hanyalah sebuah luapan ketidakterimaan terhadap garis hidup yang digurat Tuhan padaku.
Sumpah ini bukan takdir main-main. Aku yakin, Tuhan tidak pernah bermain-main dengan takdir. Aku yakin, Tuhan juga tidak pernah salah menempatkan takdir. Walau banyak yang berpikir kalau takdirku adalah sebuah permainan, namun sesungguhnya aku tidak sedang mempermainkan atau bermain-main dengan takdir.
Aku ialah setubuh manusia yang digariskan Tuhan untuk hidup pada gambaran takdir yang tidak main-main. Sebab, aku berbeda dengan kebanyakan takdir yang digariskan pada manusia lain. Hei, jangan coba menebak-nebak pembeda apa yang digariskan Tuhan padaku dengan yang lain. Sebab, itu sama saja kau mencoba berkelakar dengan praduga burukmu pada Tuhan. Lebih baik, kau ikuti saja episode-episode kehidupanku. Agar kau juga mengerti bahwa sumpahku ialah sebuah kebenaran. Ya, sumpahku yang berucap; ini bukan takdir main-main!

            8.
Duapuluh tahun lalu. Pagi buta. Embun jatuh. Cuaca gigil. Angin kesiur. Daun gugur. Lindap resah dalam rumah. Entah berapa puluh kali lelaki itu dilarut desah. Entah berapa puluh kali perempuan didekatnya mengerang sepatah-patah. Entah berapa kecamuk batin yang ikut larut dalam gelisah. Di luar, semua berlomba tengadah. Doa berlompatan ke langit. Akhirnya samar-samar terdengar tangis pecah.
“ Bayinya keluar … !”,  ujar perempuan tua yang menukangi kelahiran.
“ Laki-laki apa perempuan ?”, sejurus kemudian seorang lelaki menghambur tanya.
“ Laki-laki, tampan sekali !”, Sahut perempuan tua itu.
“ Anak kita laki-laki ! Aku bahagia, terima kasih sayang … !”, lelaki itu mengecup kening perempuan muda yang terbaring lemah di ranjang.
Perempuan itu tersenyum. Air matanya jatuh. Sebab Ia memang tak mampu lagi berkata apa-apa, tetapi apalah artinya sebuah kata bagi perempuan itu. Baginya air mata ialah kebahagiaan yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata.
Tak berapa lama, segenap kerabat menghambur ke dalam. Semua memperlihatkan rekah bibir dengan sepenuh gairah. Ada gejolak semangat yang hadir. Ada gegap gempita sukacita yang mengalir.
“ Aku namakan engkau Amin, sebab Tuhan telah mengabulkan doaku, agar aku dikaruniai anak lelaki !”.
            Inilah permulaan episode takdir lahirku yang pernah dikisahkan oleh ayah.































KEBANGKITAN KEMBALI

Dewi Agus Fernita Ginting






Hanya ada suatu kebahagian yang belum sempat keluar dari ruang yang tak ada sebesar kepalan tanganmu. Kau tahu itu apa ? Kau seharusnya tak perlu tahu dan tak usah juga kau pikirkan itu apa. Karena percuma saja. Ya, percuma.
            Satu hari hanya 24 jam, tak pernah lebih dan tak pernah kurang. Waktu berjalan sesuka hatinya. Mengintari manusia-manusia yang nista yang mencoba menutupi dirinya dengan pakaian-pakaian kemewahan yang selau mereka megahkan. Sebenarnya waktu telah muak tapi ia harus menjalankan tugasnya, menghitung mundur waktu hidup manusia.
Mungkin satu kejujuran bisa membuat waktu lebih tabah. Baiklah, akan kucoba. Aku benci melihat tingkahmu itu. Semua harus ada aku. Aku benci diriku, aku benci sekali karena tak mampu melawanmu. Aku muak, sangat muak. Sungguh ! Aku tak pernah bisa berpikir jernih lagi, seakan-akan aku hanya tinggal sendiri dan tak tau apa-apa. Tepatnya tak mau tahu apa-apa. Aku menjadi orang asing bagi diriku sendiri. Pikiranku untuk berpikir tidak bisa lagi. Belum lagi Dia yang selalu datang dalam duniaku, semuanya membuatku terluka dan menderita. Benarkah itu ? Ayolah coba jujur pada dirimu sendiri. Aku bahagia bisa merasakan ini. Bahagaia yang bercampur kebingungan. Kenapa aku harus jatuh cinta pada orang yang mencintai orang lain. Benarkah Dia mencintai orang lain itu ? Aku tak tahu. Tapi hampir setiap saat aku memikirkannya, membayangkan masa depan bersamanya, aku sugguh-sunguh ingin memilikinya. Aku ingin Dia jujur padaku. Apakah Dia tidak mencintaiku ? Jadi buat apa selama ini kami selalu berbagi toh Dia tak pernah menyadari hasrat hati ini. Biarlah, mungkin Dia ingin mencari sandara sementara. Dan kebetulan aku sedang mau. Biarlah begitu. Biarlah !
“ Ahhhh ………. !!! ”.
Sebenarnya aku tak yakin apakah aku bahagia dengan penderitaan ini, tapi yang jelas aku sangat bosan, aku tak mampu berbuat apa-apa lagi. Aku sungguh letih aku butuh teman, sahabat, tapi mereka tak pernah ada. Aku hanya selalu bicara pada diriku sendiri. Pikiranku pun tak mau berkompromi.
Aku sangat ingin marah, tapi aku selalu tak bisa. Ingin kulumat hancur semua yang ada dihadapanku. Ingin kumusnahkan semuanya. Ingin kubunuh. Ingin kukuliti kulitnya, ingin kubongkar isi perutnya, ingin kubagi-bagikan jantung dan hatinya, ingin kuremukkan semua tulang-tulangnya dan akan kuhisap habis semua darah yang mengalir dalam tubuhnya.  Sebelum itu semua, akan kucakar wajahnya dengan kuku-kuku indahku yang mungkin sebentar lagi akan berjatuhan karena melepuh. Tapi aku tidak peduli. Akan kucekik lehernya dengan erat hingga berderak-derak sampai patah. Manusia terlalu munafik terhadap dirinya sendiri. Aku benci semuanya. Semuanya.
Lalu ingin kutangisi semuanya tanpa ada yang melihat. Meski aku takut pada kesendirian, tapi biarkan kali ini aku bersama kesunyian yang akan berujung kesepian yang akan mencekikku bersama gelap malam yang penuh halilintar yang bergemuruh. Biarkan aku mati dalam kesekaratan ini. Mungkin dengan demikian aku bisa lupa dengan segala derita ataupun bahagia yang hanya hinggap sebentar dalam waktu yang menyapa.
            “ Kalau kau mati Dia akan bahagia !”.
            “ Bahagia katamu ?”.
            “ Iya !”.
            “ Tidak, Dia tak boleh bahagia. Aku tak bahagia, jadi Dia juga tak boleh bahagia !”.
            “ Apa kau pernah berkenalan dengan bahagia ?”.
            “ Setidaknya ia pernah mengunjungiku !”.
            “ Jadi kau masih ingin hidup ?”.
            “ Aku telah lama mati !”.
            Aku memang telah lama mati dalam diriku. Aku tak mengenal siapa yang tinggal dalam ragaku. Setiap radiasi tak mampu kupahami lagi. Aku benar-benar telah mati. Rasa tak mampu kukenali lagi wajahnya. Aku ingin berhenti. Aku ingin tertawa. Aku ingin melompat, jauh, tinggi hingga menggapai bintang dan bulan yang selalu menemaniku menepis kelam malam. Cahayanya meski terkadang tertutup kabut setidaknya mereka selalu ada untukku.
            Aku ragu kalau aku masih waras, karena semua saraf dalam otakku seakan telah mulai putus satu, dua, tiga, dan seterusnya. Hatiku telah lama membusuk. Aku tak tahu ada obat yang mampu memulihkannya secara ajaib. Mustahil pulih. Ya, mungkin. Tapi entahlah.
            “ Masih ada Tuhan !”.
            “ Tuhan ? Dia terlalu indah di telinggaku. Aku binggung kenapa Dia mau menciptakanku, apa Dia tidak tahu kalau aku ini … !”.
            “ Banyak cakap …. Kau memang pembual besar, kau idiot, malas, jelek !”.
Dia diam sejenak untuk melanjutkan perkataan yang bagai sembilu itu.
“ Lalu lihatlah tubuhmu yang belumuran nanah itu. Sangat-sangat menjijikkan !”.
            “ Lalu kenapa ? Apa urusanmu ! Ini hidup kepunyaanku !”.
            “ Dia tak peduli dengamu, Dia jijik terhadapmu. Kau bau, sangat bau !”.
            “ Biarkan aku bau, biarkan aku membusuk, biarkan belatung berjatuhan dari hidungku yang kian hari kian amis. Biarkan. Setidaknya sekarang aku tak perlu malu lagi !”.
            “ Kapan kau tahu malu ? Sepanjang hidupmu kau tak pernah dilahirkan dengan rasa itu. Kau keanehan !”.
            “ Sekalipun aku aneh, biarlah begitu karena aku sudah telanjang, biarkan semua orang melihatnya !”.
Kucoba menarik nafas panjang untuk memberi udara keronga paru-paru.
“ Kau tidak tahu betapa menjijikkannya semua manusia-manusia yang berkeliaran. Mereka mencoba menutupi segala bau busuk mereka, mereka mengenakan yang harum-harum, mereka lebih menjijikkan daripadaku. Setidaknya aku jujur !”.
            “ Hhahahhha … !”.
            “ Kenapa kau tertawa ?”.
            “ Hidupmu terlalu menyedihkan kawan !”.
            “Aku memang berteman dengan penderitaan.”
            “ Kau sendiri mengaku !”
            “ Kenapa aku harus berbohong, tak ada alasan !”
            “ Kau sangat menyedihkan !”.
            “ Sampai hari ini biarlah begitu …. !”.
            “ Dan sampai seterusnya juga akan begitu !”.
            “ Biarkan saja !”.
            “ Hahhahahah …. !”.
Tawa renyahnya telah mengahnyutkanku dalam suatu rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Semangat. Apakah ini disebut semangat ? Entahlah, tapi aku ingin menyebutnya begitu. Semangat tiba-tiba muncul di ujung saraf yang telah terputus, Dia menunjukkan sebuah cahaya yang tak pernah kulihat sebelumnya. Warnanya putih, tapi sangat bersinar, Dia mulai mengeringkan lula-luka di wajahku. Luka-luka itu mulai mengering, sangat kering, belatung, ulat, cacing dan segala kawannya ikut gosong hingga warnanya coklat kehitaman. Lalu luka itu mulai berjatuhan bersama kulit-kulit yang kian coklat dan kering itu.
            Aku sembuh. apa aku tidak bermimpi.
“ Aihhhhh … !”.
Aku tak pernah mengharapakannya. Ups, rasa apa yang sedang menjalar dari hatiku ini. Rasanya sangat hangat, aromanya sangat harum. Belum pernah aku merasakan hidup seperti ini.
            “ Dia masih peduli !”.
            “ Kau siapa ? Mengapa kau datang, aku sudah sekarat, aku mau mati, aku ingin menjadi tanah, aku ingi … !”.
            “ Waktumu belum tiba. Ia ingin kau jadi saksi !”.
            “ Saksi ? Pantaskah aku jadi saksi atas keajaiban ini ? Aku tak butuh ini, kembalikan aku !”.
            Aku ingin sekali marah. ingin kuinjak-injak. Kian aku ingin meronta kian aku lemah dan semakin rebah. Aku tak bisa berkata apapun, aku benar-benar mati kata. Aku tak punya kata yang bisa kuucapkan lagi. Semua berhenti. Mati. Aku hanya bisa menangis.
Aku lihat sekelilingku. Aku ketakutan, menggigil, ngilu, gemetar semua tubuhku. Aku merasakan sentuhan tangan yang lembut di kepalaku, Dia menggangkat kepalaku. Aku tak bisa melihat wajahhnya. Dia terlalu menyilaukan.
            “ Kau telah sembuh. Pulanglah !”.
            “ Aku sangat sedih, aku tak mampu berdiri, aku ingin pergi tapi tetap saja aku jatuh, aku ingin, tapi aku tak bisa !”.
            “ Kau mau hidup ?”.
            Belum pernah kurasakan hatiku beriak-riak gembira mendengar kata ‘hidup’. Selama ini ia hanya berteman dengan kata mati.
            “ Aku telah lama mati, bagaimana aku akan hidup ?”.
            “ Kau mau hidup ?”.
            “ Aku tak akan sanggup !”.
            “ Apa kau ingin hidup ?”.
            “ Ya, Tuan !”.
            “ Ikutlah denganku !”.
            “ Tapi … ?”.
            “ Pikirkanlah apa yang dapat kau pikrkan, Aku ada di sini menjadi sahabatmu. Pulanglah. Kenakanlah pakaian ini. Hari ini kau bukan orang yang kalah lagi, hari ini aku telah datang menolongmu, jangan kau sia-siakan lagi. Aku mengasihimu !”.
            Dia mengenakan jubah yang indah. Belum pernah kurasakan dekapan setulus dan seindah ini. Ini pelukan sangat membuatku nyaman dan tentram. Ada kedamaian yang mulia mengalir dari dasar hatiku. Saraf-sarafku mulai beroperasi, sinapsis-sinapsis mulai merespon sekian tindak menghubungkan hati dan pikiranku.






































ADA CINTA SETELAH di PUSARA
Dinna F Noris




Siang ini, pohon jati satu-satunya di kampus bercat putih itu menggugurkan daunnya. Memang sudah menjadi kelaziman di saat musim kemarau. Tapi bulan ini bukan musim kemarau. Cuaca benar-benar tak terjadwal.
Biasanya kalau musim kemarau, temperatur udara sangat tinggi. Jadi ia meranggas, beradaptasi untuk menghindari terjadinya banyak penguapan. Pohon jati itu berdiri manis di depan kantin Femi, kantin Fakultas Ekonomi. Letaknya masih berada di areal halaman belakang kampus. Daun-daunnya berserakan. Airin dan Ara senang menikmati tiap gugur daunnya. Indah. Seperti sedang berada di Negeri sakura. Bagi para tukang foto amatiran dikampusku, mereka paling sigap memanfaatkan moment keren ini. Menyerak-nyerak daun-daun kering, menerbangkannya, mengutipi ranting-ranting kecil, kemudian mematah-matahnya menjadi beberapa bagian. Agar kelihatan eksotik plus menarik, dijadikanlah mahasiswi –mahasiswi cantik sebagai model dadakan. Tak perlu audisi, sebab model dadakan ini rela dan pasrah saja dijadikan kelinci percobaan. Alasan mereka, numpang beken selagi gratis, siapa sangka nanti jadi artis. Apapun itu, siapapun tak berhak menghakimi. Sebab mereka telah memilih dan menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri.
“ Sudah September… !”, gumam Ara pelan. Namun Airin bisa mendengar lirih suaranya.
Meski bulan September, bukan berarti hujan sepanjang hari. Hujan tetap turun, namun panas tetap mendominasi. Sebab sekarang cuaca sulit di prediksi. Tidak seperti tahun-tahun lalu. Jika penanggalan sudah memasuki bulan Agustus, itu berarti harus bersiap-siap berhadapan dengan hujan. Sediakan mantel, jacket, payung, sweater atau paling tidak handuk kecil. Menurut pemberitaan BMG, cuaca tak bersahabat. Tapi bukankah ini karena ulah manusia yang kerap tak acuh pada alam. Kemudian alam marah, membiarkan cuaca berbuat sesuka hatinya. Alam tak hendak lagi mengatur sikap pasukannya. Ingin hujan di bulan Mei atau kemarau panjang di bulan September, ikuti sajalah permainannya. Habis perkara.
“ Kenapa ? Batas terakhir tugas dikumpul ya ? Pantas saja kamu kelihatan sibuk dari tadi !”, Airin menyeruput Cappucino dinginnya seraya menghampiri Ara yang serius menekuri buku-bukunya di kantin kampus.
“ He ehh ... Banyak tugas dari Dosen yang berbeda nih !”, kata Ara.
“ Tapi proposal penelitian ke TVRI itu kan lebih utama !”, sahut Airin.
“ Sudah berapa kali revisi ?”, sambungnya.
Ara hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan Airin.
Ara dan Airin adalah Mahasiswa Jurusan Komunikasi di salah satu Universitas berplat merah di kota Medan. Ketiganya sangat akrab. Bahkan bisa dikatakan, masa orientasi alias ospeklah yang mendekatkan dua cewek ini.
“ Tapi kan masih lama !”, tambah Airin lagi.
“ Itu tugas minggu depan kan Ra ?”.
“ Iya, tapi harus praktek ke TVRI-nya. Ngurus surat untuk penelitian, trus administrasi, dan juga minta tandatangan kepala stasiun TVRI !”, Ara menjelaskan detail rencana penelitiannya.
“ You know lah Rin kalo ngurus administrasi di Indonesia !”.
“ Well, gini aja deh. Kamu refresh sejenak dari tugas-tugas kampus. Kita jalan-jalan, muter-muter kota Medan, makan, trus temani aku sebentar ke Polonia ya. Aku mau check in tiket papa sama mama yang akan berangkat ke Jakarta  !”, dengan nada merayu, Airin memaksa Ara ikut serta.
“ Oya Ra, masih ingat dengan Elang kan ?”.
 Memang, Airin selalu punya jurus untuk menggoda Ara. Dan godaan tersebut sering Ia lakukan dengan sukses. Memancing Ara dengan Elang, sepupu Airin yang sedang dinas di Jakarta sebagai militer.
“ Yang aku kenalin 3 bulan lalu. Masih ingat gak ?”.
“ Hmm… kenapa ?”, jawab Ara acuh tak acuh.
“ kami masih komunikasi kok. Aku gak akan mengecewakan sepupumu itu. Tapi juga gak harus buru-buru bilang cinta !”.
“ Tunggu apalagi Ra. Aku gak kan nyomblangin kamu dengan orang yang gak jelas. He’s nice guy, you know ... !”, Airin menyikut Ara, membuat gadis manis itu terpaksa menghentikan bacaannya.
“ Ya, aku tau. Tapi berhentilah menggodaku !”.
“ Dan berhentilah berpura-pura !”, Bella memotong pembicaraan sebelum Ara sempat menghabiskan ucapannya.
“ Matamu bicara bahwa kamu juga suka dia Ra. Cuma butuh waktu. Tapi menurutku, kamu yang harus menciptakan waktu. Kalau tidak, lewat !”, jelas Airin panjang lebar sambil menggesekkan telunjuknya di leher.
“ Okey, temani aku dulu ke Airport. Mama dan papa harus berangkat besok !”.
“ Sekarang ?”, tanya Ara.
“ Tahun depan …!”, jawab Airin kesal.
“ Ya sekarang !”.
Airin tahu betul bahwa sangat sulit membuat Ara jatuh cinta. Apalagi sosok yang dijodohkannya pada Ara adalah seorang militer. Di mana Ara tak pernah menaruh simpati pada lelaki yang berprofesi sebagai alat Negara. Ayah Ara adalah seorang militer. Dan ibunya yang berdarah Arab itu, seorang Dokter Gigi sebelum menikah dengan ayah Ara. Setelah menikah, ibu Ara memilih mundur dari karir demi membesarkan anak satu-satunya. Dan itu adalah Ara. Ara mewarisi kecantikan dari ibunya. Berhidung mancung, kulit kuning langsat, rambut hitam bergelombang, dan wajahnya memiliki rahang tegas seperti ayahnya yang berdarah batak.
Ara begitu mengagumi ayahnya, juga profesinya. Bagi Ara, ayahnya terlihat gagah dengan seragam hijau loreng, sepatu boot, serta menggenggam senapan AK 47 buatan Rusia. Ia sering memuji ayahnya. Hingga pada suatu hari Ara dan ibunya harus merelakan kepergian lelaki kesayangan mereka untuk selamanya. Ayah Ara gugur disebabkan ranjau darat saat bertugas di Timor Timur. Itulah awal mengapa Ara tak lagi menyukai lelaki berseragam hijau loreng. Profesi itu, seragam itu, membuka kisah lama, mengoyak luka yang masih menganga.

***
Bandara Polonia tetap saja ramai meski bukan hari libur. Diperlukan renovasi agar tak sesak. Changi Singapura, adalah salah satu contoh Bandara terbaik. Memberikan rasa nyaman pada pengunjungnya. Seharusnya Pemerintah bisa belajar dari Negara yang Bandaranya sering diganjar penghargaan bergengsi ini.
Di kejauhan, mata Ara mengawasi sosok lelaki dengan perawakan tinggi besar, rambut dipotong pendek rapi, berkemeja merah marun dipadu celana jeans hitam, duduk santai di café susan, persis di depan parkiran mobil.
“ Elang …!”, Airin berteriak kencang pada lelaki yang sejak tadi diam-diam diperhatikan Ara.
Rupanya benar dugaannya, lelaki itu Elang, sepupu Airin, juga lelaki yang dicomblangin Airin. Tepatnya, lelaki dimana Ara sudah mulai menaruh rasa suka.
“ Ada Ara juga !”, sahut Elang menoleh ke Ara.
“ Huuuhhh … aku yang manggil, yang ditanya malah Ara !”, Airin pura-pura cemberut. Padahal sebenarnya hanya ingin menggoda Ara.
“ Hai kak !”, sapa Ara dengan kalimat singkat.
“ Ngapain disini ?”.
“ Karena jodoh !”, sambar Airin sambil senyum-senyum sendiri.
“ Oya, aku tinggal kalian dulu ya. Soalnya mau ngurus tiket bos besar. Have nice time, Ara !”, Airin beranjak meninggalkan café, Ia sengaja memberikan waktu buat Ara dan Elang berduaan.
“ Besok mau berangkat !”, sekian lama hening hadir di antara mereka, akhirnya Elang memilih bicara to the point pada Ara.
“ Ehheemmm ….!”, Elang berdehem keras untuk mencairkan kebekuan di antara mereka.
Rupanya dehem itu terlalu keras dan aneh hingga menghasilkan suara tak lazim.
“ Saya suka arlojinya. Lihat, selalu saya pakai !”, Elang memamerkan arloji hadiah dari Ara, di hari ulang tahun Elang, 8 bulan lalu.
“ Ohh, terimakasih !”, jawab Ara sambil tersenyum tipis.
Meski perkenalan mereka sudah berumur satu tahun, tetap saja Ara masih malu-malu bicara pada Elang. Tapi hari ini, benci yang dulu pernah tumbuh di hati Ara, berganti menjadi rasa gembira yang sulit dijelaskan. Rupanya kedua makhluk yang sama-sama pemalu ini menyimpan rasa suka diam-diam. Elang tak pernah menyatakan perasaannya, sedang Ara masih mempertahankan ego di kepalanya, ‘anti seragam hijau loreng’. Namun, lirikan curi-curi di tengah keramaian itu kian hari kian tak tertahankan.
“ Bisa menunggu saya enam bulan lagi ?”, tiba-tiba Elang bicara lebih serius.
“ Eh, apa ? Maksudnya ?”, pernyataan Elang barusan sempat membuat Ara terkejut.
Ia merasakan keringat mengaliri keningnya. Cepat-cepat Ara memperbaiki keterkejutannya dengan menimang-nimang ponselnya.
“ Ya, tunggu saya enam bulan lagi !”, Elang melihat Ara dengan matanya yang teduh.
“ Dan saya akan segera ke rumah kamu, bertemu ibu kamu, memintanya agar mengizinkan saya menjadikan kamu istri. Mendampingi saya hingga akhir hayat !”, suara Elang jelas dan tegas sewaktu menyampaikan maksudnya pada Ara.
“ Syukurlah !”,  jawab Ara sekenanya.
“ Maksudnya ?”, kedua alis Elang bertaut membentuk lengkungan seperti bulan sabit.
“ Saya tahu, kamu punya masalalu yang cukup sedih tentang perwira Negara. Saya juga tahu kalau kami tidak menyukai lelaki berseragam hijau loreng. Saya tidak ingin memaksa, tapi izinkan saya mengganti rasa sedih dan tidak suka itu menjadi bahagia !”.
Ara diam seribu bahasa. Di satu sisi Ia berusaha menutupi rasa sedih karena kenangan tentang ayah menyelinap seketika. Di sisi lain Ia juga berjuang untuk memahami perasaan Elang.
“ Kamu belum punya pacar kan, Ra ?”, Elang mendelik, dan itu membuat wajah mereka lebih dekat dan berhadapan.
“ Belum ... !”, jawab Ara.
“ Aku gak mau pacaran. Karena banyak hal tidak baik di dalamnya. Aku mau langsung menikah saja. Seperti ayah dan mama.
“ Boleh saya minta jawabannya sekarang sebelum saya berangkat besok ?”.
“ Apa harus berangkat besok ?”.
“ Ya, perintah atasan. Saya ke Medan karena ingin ketemu keluarga, tentunya juga ingin bertemu kamu !”.
“ Naik pesawat apa ?”.
“ Mandala, pukul 08.30 pagi !”, Elang melihat arloji di tangan kirinya memastikan jadwal keberangkatannya besok.
“ Jadi, apa jawabannya ?”, tanya Elang lagi.
“ kak …!”, ujar Ara pada lelaki di hadapannya.
Usia mereka terpaut 12 tahun. Sebab itu Ara memanggilnya kakak.
“ Sebenarnya sulit bagiku memutuskan apa yang ignin aku katakan. Meski aku sudah mempunyai gambaran jawaban, tapi aku tidak begitu yakin tentang sebuah perasaan. Bukan karena aku tidak yakin dengan keseriusan kakak, dan ketegasan sikap kakak selama ini padaku. Akan tetapi, aku tak bisa melupakan kenangan bersama ayah. Di mana saat aku begitu mencintainya dan masih berharap sosok beliau ada bersamaku, tapi saat itu pula aku tak lagi pernah melihatnya. Aku tahu, semua kehendak Tuhan. Dia telah mengatur waktuku bersama ayah !”.
Ara menekuri sepatu high hill-nya. Rasanya Ia ingin berlari menjauhi Elang. Namun entah mengapa ada suara yang memaksanya bicara. Ada bisikan yang memaksanya untuk tetap tinggal, jauh lebih lama bersama Elang.
“ Aku begitu takut kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang paling berarti dalam hidupku. Artinya, ketika nantinya aku mulai menerima kakak, rasa takut akan kehilangan masih terus bersemayam !”, Ara memberanikan diri menatap Elang.
“ Karena profesi saya seperti almarhum ayah ?”.
Ara hanya bisa mengangguk lemah. Terbersit keinginan untuk mencegah Elang pergi. Tapi Ia sadar tak mungkin melakukannya. Sebab bagi militer, perintah adalah perintah.
“ Besok jawabannya. Karena aku perlu memikirkannya masak-masak. Kakak bisa menunggu satu hari kan ?”.
“ Semoga jawabannya bisa mengantar kepergianku dengan tenang !”, jawab Elang sambil mengacak lembut rambut Ara.
Dua insan yang sebenarnya saling menyukai dan mempunyai perasaan yang sama. Namun begitulah cinta. Ia bukan matematika, seperti perhitungan sederhana satu tambah satu sama dengan dua. Cinta, sukar dijelaskan meski banyak kejadian telah menjadi pertanda. Ada rasa yang mengendap-endap masuk ke dalam relung hati. Namun selalu malu-malu menunjukkan jati diri.

5 September 2005
“ Breaking News kami awali pagi ini dari Medan, Sumatera Utara !”, suara Kania Sutisnawinata, penyiar Metro TV terdengar dari ruang tamu rumah Ara.
“ Ya, silahkan laporan anda, Erwin !”.
“ Baik, Kania dan pemirsa, Pesawat Mandala Airlines Penerbangan RI 091 mengalami kecelakaan parah di kawasan Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara. Pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines ini terjatuh saat pesawat sedang lepas landas dari Bandara Polonia Medan. Pesawat tersebut menerbangi Jurusan Medan-Jakarta dan mengangkut 117 orang, 112 penumpang dan 5 awa). Penumpang yang selamat berjumlah 16 orang dan 44 orang di darat turut menjadi korban. Kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.40 wib saat pesawat sedang lepas landas. Pesawat tersebut lepas landas dalam posisi yang tidak sempurna, lalu menabrak tiang listrik sebelum jatuh ke jalan dan menimpa rumah warga yang terletak hanya sekitar 100 meter dari Bandara. Menurut keterangan yang kami terima, setelah jatuh, pesawat meledak beberapa kali dan terbakar sehingga hancur hampir sepenuhnya, menyisakan ekor pesawat bertuliskan PK-RIM. Sebanyak lima rumah warga yang tertimpa badan pesawat juga terbakar …. Kembali ke studio, Kania !”, tutup pemuda paruh baya mengakhiri laporannya.
Badan Ara lemas sesaat mendengar berita dari layar Televisi. Nokia Communicator yang dipegangnya terjatuh keras ke lantai. Padahal baru saja Ia mengirimkan pesan pada Elang.
“ Terimakasih telah mencintaiku sebaik itu. Terimakasih untuk terus menungguku. Terimakasih telah menghargaiku dengan begitu mengagumkan. Cepat kembali ya. Arramisya !”.
Delivered,  tertulis pada layar handphonenya. Pesan terkirim.
Air mata Ara tumpah. Ia menangis tanpa suara. Kehilangan untuk kedua kali, lebih menyakitkan baginya. Samar-samar terdengar suara laporan seorang Reporter di Televisi.
“ Menurut kesaksian seorang penumpang yang selamat, pesawat baru saja lepas landas dan tiba-tiba oleng ke kiri lalu mulailah api menjalar. Namun ada pula yang menyatakan bahwa pesawat tersebut sulit lepas landas karena kelebihan beban buah durian bawaan Gubernur, Tengku Rizal Nurdin seberat dua  ton. Kobaran api selain menghanguskan pesawat juga menghanguskan puluhan rumah dan kendaran bermotor yang ada di sekitarnya. Api yang terus menyala menyulitkan usaha penyelamatan jenazah dari bangkai pesawat dan kondisi di sekitar lokasi pun padat oleh penduduk yang penasaran. Pesawat Boeing 737-200 yang jatuh merupakan buatan tahun 1981, pertama kali terbang untuk maskapai Nasional Jerman, Lufthansa, dan telah dinyatakan layak terbang hingga tahun 2016. Namun, keadaan berbicara lain. Pesawat tersebut jatuh dan memakan banyak korban. Dari 117 orang dalam pesawat, 112 di antaranya adalah penumpang, 109 dewasa dan tiga bayi, dan lima orang awak. 16 penumpang dinyatakan selamat dan semuanya duduk di bagian belakang !.”
Posisi berdiri Ara tak lagi sempurna. Badannya limbung.
“ Di antara korban kecelakaan yang meninggal dunia termasuk Gubernur Sumatra Utara, Tengku Rizal Nurdin yang rencananya akan bertemu Presiden serta mantan Gubernur Sumatra Utara, Raja Inal Siregar. Terdapat pula dua penumpang berkewarganegaraan RRC, seorang berkewarganegaraan Jepang dan seorang warga Malaysia. Selain penumpang pesawat, juga terdapat 44 korban jiwa di darat yang merupakan penduduk setempat !”, lanjut suara Reporter lapangan dari Stasiun Swasta yang sudah punya nama itu.
“ Elang …!”, hanya satu nama yang sempat terucap kala itu. Kemudian ada segerombolan bayangan hitam dan kuning menghimpit mata Ara. Kepalanya seperti dihantam batu keras, tubuhnya kaku, hingga membuatnya jatuh tak sadarkan diri.

***
Hari sudah sangat sore. Namun cuaca masih hangat. Sebab matahari memancarkan semburat kuning keemasan di balik bukit barisan, membuat silau sesiapa yang diterpa sinarnya. Seharusnya senja ini indah buat Ara. Seperti senja-senja sebelumnya, di mana Ara selalu membiarkan sinar sang surya mengukir siluet dirinya, kemudian Ia menari di bawah teriknya, seraya mencipta gambar dari balik lensa kamera. Dan kini, senja itu berganti menjadi sepi yang menemaninya dalam diam bersama isak tangis perlahan.
Taman Makam Pahlawan di jalan SM. Raja Medan, sudah sepi dari peziarah sejak 20 menit tadi. Namun tak tampak tanda-tanda Ara hendak beranjak. Airmatanya masih deras mengalir meski suaranya tak terdengar.
“ Ara, sebaiknya aku nunggu di mobil ya ?”, pinta Airin pelan.
Airin tahu kali ini Ara butuh sendiri, tak ingin diganggu. Tanpa menunggu jawaban, Airin, bergegas menuju mobil yang diparkir di gerbang makam. Sengaja meninggalkan Ara yang masih bersimpuh di sisi kiri batu nisan bertuliskan Bripka Elang Satya Pratama.
Peristiwa pesawat naas kemarin ikut merenggut nyawa Elang, seorang Perwira Polisi asal Medan. Rencananya, selepas mengunjungi keluarganya di Medan, Elang akan berangkat ke Jakarta mengikuti pelatihan lanjutan dari resimennya, TNI Angkatan Darat. Namun keadaan bicara lain. Elang jadi korban pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines. Sepotong tangan kiri dengan arloji Swatch Army pemberian Ara, masih melekat padanya. Potongan tangan itu, adalah milik Elang.

Sebenarnya cinta tak datang terlambat. Hanya saja, cinta disadari setelah Ia pergi. Terkenang setelah Ia hilang  dari jarak pandang. Menjadi berarti setelah Ia  tak ada  lagi.










RAHASIA

Eko Bambang

















Pagi itu masih tampak seperti biasa, Eghi memasuki ruang kerja. Merapikan kertas-kertas yang berserakkan, suasana kantor masih sunyi dan memang Eghi selalu datang lebih awal, sambil sedikit santai Ia nyalakan lagu MP3 dari komputer kerja. “ Life ”, tembang manis milik “ YUI ” mengalun indah menggetarkan jiwa. Sejenak Eghi melihat dari balik jendela kaca ruang kerja, rekan-rekannya yang lain mulai berdatangan. Ya sebentar lagi jam kerja sudah dimulai.
            Kegiatan Eghi berjalan seperti biasa. Jika tidak mengajar, Ia membuat desain spanduk, banner ataupun perlengkapan lain untuk tempat kerja. “ Sempoa SIP ”, gudangnya anak-anak cerdas dan kreatif, sebuah tempat kursus yang terletak di tengah kota Binjai. Hari-harinya dihabiskan di sana, dari pagi hingga pukul 14.00 wib bekerja, setelah itu Eghi berangkat ke Medan melanjutkan studi S1 di Universitas Sumatera Utara. Demi masa depan, walaupun terkadang merasa sangat lelah, Ia harus tetap berjuang.
            Egi masih sibuk dengan kerjaan desain di depan komputer, kebetulan hari ini tidak ada jadwal mengajar. Tiba-tiba pintu ruang kerja terbuka, seorang gadis manis berambut ikal bersama senyumnya yang menawan menyapa dengan salam hangat.
“ Selamat pagi, Eghi ?” ucapnya.
            “ Selamat pagi juga, Miss !” balas Eghi sembari melontarkan senyum.
Gadis itu bernama Lussy, senior di tempat kerja Eghi sekaligus seorang Leader yang dipercaya atasan mengurus jalannya aktifitas di tempat kursus itu. Eghi masih konsentrasi dengan pekerjaan, kemudian Miss Lusy mulai membuka pembicaraan.
            “ Sedang buat apa sich, Eghi ?.”
            “ Biasa Miss, desain spanduk !”.
            “ Oh ya, Miss punya sesuatu untukmu !”.
Eghi berhenti sejenak dan menolehkan pandangan pada Miss Lusy.
            “ Sesuatu buat saya ? Apa itu, Miss ?”.
            “ Ada dech…, diterima ya ? Semoga kamu suka !”.
Sebuah kado kecil disodorkan ke arah Eghi, terbungkus rapi dengan kertas kado berwana biru.
            “ Terima kasih banyak, Miss !”.
Kemudian Ia simpan kado itu ke dalam tas. Eghi merasa begitu penasaran dengan isi kado itu, apa gerangan yang dikasih Miss Lusy ? Tanya Eghi dalam hati.
            “ Kalau begitu, Miss mau keluar dulu ya ? Soalnya ada urusan, ok !”.
            “ Ya, Miss. Sekali lagi terima kasih banyak !”.
            “ Ya, sama-sama !”.
            Daun pintu ruang kerja tertutup rapat lagi, gadis berambut ikal itu pergi meninggalkan Eghi yang sedang tenggelam dengan pekerjaannya yang belum selesai.
***
            Deru kendaraan terdengar agak ricuh, inilah perjalanannya mengarungi jalanan dari Binjai ke Medan. Seperti biasa perjalanan dilalui dengan angkutan umum jurusan Medan-Binjai, penumpangnya tidak terlalu banyak, sekitar 4 orang termasuk. Eghi duduk di sudut paling belakang dekat loudspeaker yang mendendangkan alunan musik Batak, walaupun Ia tidak paham bahasa Batak, tapi musik itu cukup melekat di telinga. Siang itu sangat panas, tenggorokkan Eghi terasa kering, cepat-cepat Ia buka tas, mencari sebotol minuman untuk membunuh dahaga. Sepintas matanya tertuju pada kado dari Lussy tadi, agar tidak terlalu penasaran segera Ia buka bungkus kado itu, Eghi dapati ternyata isinya sebuah buku kecil kecoklatan, tertulis jelas di covernya “ The Secret ”. Eghi heran, kenapa Miss Lusy memberi kado padanya sebuah buku, mungkin saja karena ia tahu kalau salah satu hobby Eghi adalah membaca. Untuk menghilangkan rasa bosan, Eghi membaca buku itu sembari mengarungi perjalanan menuju kampus.
***
12 Februari 2010
12. 15 wib
Seorang gadis manis berkulit sawo matang duduk di depan Eghi, mereka sedang bersantap siang bersama, Eghi menyukai gadis itu tapi diurungkan niatnya mengungkapkan rasa cinta padanya, karena Eghi tahu kalau orang tuanya telah menjodohkan Ia dengan seseorang yang cukup mapan.
Hari minggu itu Ia meminta menemaninya jalan-jalan, Eghi tak tahu mengapa ? Dan Eghi turuti saja permintaannya. Setelah selesai makan, Eghi mulai mengambil buku The secret melanjutkan membaca halaman-halaman yang belum terbaca, maklumlah kebiasaan Eghi yang selalu membawa buku ke mana saja sudah mendarah daging. Tiba-tiba gadis itu bertanya pada.
“ Buku apa itu, Mas ?”.
“ Ini, buku The Secret hadiah dari teman, adik mau baca ? Bagus lho bukunya !”.
“ Beneran boleh, Mas ? Adik pinjam ya ?”.
“ Iya, silahkan !”.
Kemudian dipinjamkan buku itu, walaupun sebenarnya Eghi sendiri belum selesai membacanya, tapi setidaknya Eghi sudah sedikit paham tentang isi buku itu. Dua minggu kemudian Eghi mendengar berita bahwa gadis manis yang kemarin makan dengannya akan menikah, Eghi sedikit shock. Tapi apa daya, cinta tak harus memiliki.
Singkat cerita, buku “ The Secret ” yang pernah dipinjamkan itu tidak pernah kembali hingga sekarang, tapi Eghi ikhlaskan buku itu untuknya.
***
Eghi merasa kehilangan buku kado dari Lussy, terlebih lagi saat Lussy menanyakan. Gimana, kamu suka bukunya ?. Udah sampai mana bacanya ?. Hati Eghi jadi tidak enak. Tiba-tiba terlintas dalam benaknya, kenapa tidak menggunakan hal yang telah diajarkan The Secret, mungkin saja bisa berhasil. Ya, dalam buku The Secret karya Rhonda Byrne diajarkan tentang “ The Law of Attraction ”, dengan kata lain sebagai hukum tarik-menarik, hukum ini berlaku untuk segala hal, baik itu hal positif, ataupun hal negatif. Hukum itu akan bereaksi pada frekuensi getaran yang lebih tinggi. Bisa jadi Frekuensi positif ataupun negatif. Cara menggunakan The Secret ada 3 langkah :
Langkah 1 : Meminta.
Berilah tugas kepada semesta. Biarkan semesta mengetahui apa yang Anda inginkan. Semesta selalu merespon pikiran-pikiran Anda.
Langkah 2 : Percaya.
Percaya bahwa apa yang Anda minta sudah menjadi milik Anda. Miliki apa yang disebut sebagai iman yang teguh. Percaya pada apa yang tidak kasat mata.
Langkah 3 : Menerima.
Langkah terakhir di dalam proses ini yaitu mulailah merasa senang tentangnya. Rasanya seperti apa yang akan Anda rasakan ketika keinginan itu ada. Rasakan sekarang juga.
Awalnya ada sedikit rasa kurang yakin pada perasaan Eghi, tapi tak salah jika mencobanya. Cara yang Ia lakukan seperti ini, saat itu Eghi bayangkan kalau Ia memiliki buku The Secret yang baru, Ia rasakan setiap detail buku itu, sebenarnya hal itu sedikit tidak mungkin untuk mendapatkan buku yang baru karena Eghi tahu buku itu cukup mahal dan uang sakunya juga telah menipis, uang saku yang bisa digunakan hanya Rp.20.000,00.
Saat itu sebenarnya Eghi sedang mengetes The Secret, apa ini akan berhasil ? Selanjutnya Eghi membayangkan berangkat ke kampus seperti biasa dan sebelum sampai kampus, Eghi singgah ke pajak USU, lalu Ia datangi salah satu penjual buku dan majalah yang ada di tempat itu, Eghi membayangkan kalau buku The Secret yang diinginkan ada di rak tempat dagangan buku itu, selesai. Begitu saja cara Eghi menerapkan apa yang telah diajarkan buku The Secret. Lalu Eghi pergi ke kampus, semua berjalan seperti apa yang Ia pikirkan dan ajaibnya, buku The Secret yang Ia inginkan tadi benar-benar ada di rak buku penjual buku itu. Masih baru, berplastik dan  hanya satu-satunya. Eghi mulai percaya dengan hal yang baru Ia pelajari.
“ Bang, buku ini berapa harganya ?”, tanya Eghi pada si penjual buku.
“ Rp. 30.000,00, dek !”.
Lalu Eghi coba menawar buku tersebut dengan harga Rp. 20.000,00. Kini buku itu jadi miliknya. Setelah Ia merobek plastik pembungkusnya, ternyata itu buku bajakan, tetapi buatnya yang terpenting isinya sama. Alhamdullilah.
***
            Sejenak Eghi berfikir, kalau Ia coba The Secret dengan hal-hal yang negatif, bisa atau tidak. Terkadang Eghi jahil juga. Awalnya Ia pergi ke sebuah pajak di Medan untuk mencari komik-komik bekas sebagai referensi untuk menulis komik. Ia melintasi lorong pajak itu, banyak sekali berbagai pedagang menjual berbagai jenis barang. Sekilas matanya tertuju pada satu tempat jualan yang baru buka.
” Seperti di Mall saja tempat itu !”, ungkapnya.
Tempat itu berjualan sepatu, dengan berbagai merk dan mode. Tiba-tiba dalam pikirannya muncul khayalan tingkat tinggi, kalau tempat jualan sepatu ini terbakar, bagaimana ya orang-orang ini menyelamatkan sepatu dagangan mereka ?
Eghi juga tidak terlalu yakin apa saat itu hatinya mengiyakan. Keesokan harinya Eghi mendapatkan kabar dari temannya bahwa pajak itu benar-benar habis terbakar semua,  dan sumber api berasal dari jenset tempat jualan sepatu itu yang mengalami konsleting sehingga menyambar tabung gas yang berada di warung-warung sebelahnya. Eghi terdiam, apa Ia sudah membuat kesalahan ?, tanyanya dalam hati, Allahualam.
***
            Serangkaian kejadian yang pernah Ia alami saat menggunakan The Secret sungguh membuatnya deg-degan. Banyak hal menarik yang telah Ia alami dan belum Ia ceritakan semuanya pada orang lain. Mungkin karena keterbatasan ruang dan waktu.
Dan ternyata jika kita melihat dan mendalami Al-Qur’an, semua hal yang diajarkan di dalam The Secret telah ada di sana sejak dulu. Dunia ini memang penuh dengan rahasia besar yang belum terungkap. 
Berawal dari sebuah buku yang begitu Eghi kagumi.


































BUNGA TIDUR di USIA SENJA

H. Arifin


           






Aku sudah tua, meski belum renta. Tuhan masih sayang padaku, masih diberi kenikmatan berupa kesehatan. Aku masih diperkenankan – nya menghirup udara, menikmati segala anugrah – nya.
            Suatu ketika ada seorang dewasa lajang singgah kerumah, aku tak mengenalnya. Dia mengucapkan salam dan kusambut salammnya, kusuruh saja Dia duduk. Dalam pertemuan itu, Dia mengatakan sudah lama mengenalku, aku merasa wajar. Pada kesempatan itu, Dia menyuruhku menulis. Aha, aku menyanggupinya, karena menulis juga kegiatan rutinku. Hanya saja, Dia menyuruhku untuk menulis fiksi. Wah, aku belum pernah menulis fiksi. Aku selalu menulis persoalan Budaya masa lampau, Sejarah dan Adat Istiadat. Semua kutulis dalam dalam bentuk Makalah, terlebih bila ada yang mengundangku sebagai Pemateri Seminar. Terkadang aku menulis Artikel, Esai dan Opini. Jika tidak mengangkat tentang Budaya, Sejarah atau Adat Istiadat, kuangkat masalah Politik, Bencana dan lain sebagainya yang terjadi di Dunia. Selanjutnya kukirim ke Media Massa.
Terfikirkan olehku setelah Dia pulang, bahwa aku belum pernah menulis fiksi. Kuabaikan saja soal fiksi dan nonfiksi, yang penting aku menulis. Diterima atau ditolak hasilnya, ah biarlah. Toh di Media Massa soal terima dan penolakan sudah sering terjadi, konon lagi ini, untuk pembuatan suatu Buku. Meski demikian, permintaan mengenai fiksi, selalu terngiang dikepala tuaku. Sampai terbawa tidur.
###
Satu rombongan anggota Dewan DPRD dari daerah antah barantah.
            “ Ehem, nama daerah kurahasiakan !”.
            Melakukan Study Banding ke Sumatera Barat, persisnya di Kota Bukit Tinggi. Menginap di Hotel mewah pula. Salah satu pembangunan menjadi kajian Study Bandingdan yang akan ditinjau juga tentang perlalulintasan. Sebab, didaerah asal anggota Dewan yang terhormat itu perlalulintasan sangat semrawat alias amburadul. Rambu – rambu lalu lintas tidak dipatuhi, disertai pula petugas berkewenangan tak ambil peduli.
“ Di Kampungku, istilahnya maen libas !”.
Kalau pun ada satu dua orang yang sadar dan patuh terhadap peraturan, alamatlah kenak libas. Bila berhenti di Lampu Merah, tahankanlah kenak tabrak. Orang yang tidak tahu akan peraturan lalu lintas, menuduh apa yang dilakukan itu salah. Menurut pemikiran orang awam, untuk apa berhenti, padahal orang – orang sangat ramai berlalu lalang. Bila ditunjukkan Lampu Merah, dikatakan itu hanya hiasan sebagai penghibur orang berjalan saja.
Salah seorang anggota Dewan, sebutlah namanya Pak Badol. Beliau ini sedang asyik beristirahat di kamar Hotel, tiba – tiba berkeinginan mencoba kuliner setempat sambil menikmati Kota Bukit Tinggi yang cantik dan indah, dimalam hari. Pak Badol mengajak temannya yang sesama anggota Dewan dari sesama daerah asal, kupanggil namanya Pak Lokot. Mereka berjalan – jalan menggunakan kereta kuda, di Bukit Tinggi dikatakan Sado.
Pada sebuah persimpangan Lampu Merah, kereta kuda berhenti. Walaupun sesungguhnya tak ada lagi kenderaan lalu lalang, karena memang malam sudah mulai larut. Sang anggota Dewan, yang kusebut namanya Pak Badol. Dengan sikap memerintah, memberikan teguran.
“ Kenapa harus berhenti, sedangkan lalu linta sudah sunyi. Tak ada lagi kenderaan yang lewat, jalan saja terus !”, desak Pak Badol pada Sais Sado.
“ Maaf Bapak, di siko kudo pun tau Lampu Merah !”, Sais Sado menjawab dengan tenang menggunakan Dialeg Minang.
“ Iya … !”.
Langsung Pak Badol dan Pak Lokot tertunduk diam, karena urat malunya sudah tersinggung dengan jawaban dari Sais Sado yang sebenarnya menyindir.
Sepulangnya anggota Dewan ke daerah mereka, yaitu daerah antah berantah. Seperti tak sadarkan diri, Pak Badol menceritakan peristiwa yang memalukan itu kepada sesama anggota Dewan lain yang tidak ikut rombongan Study Banding ke Bukit Tinggi.
“ Di Bukit Tinggi, kudo pun tau aturan lalu lintas. Di tempat kita ini, apa pun kita tak tahu. Berarti anggota Dewan yang terhormat yang di sini, lebih bodoh dari pada penarik kudo itu !”.
“ Libas …, tahankan … !”, sambung Pak Lokot.
###
Anggota Dewan yang mendengar, ada yang tertawa geli. Ada pula yang marah dan tersinggung dan ada yang tidak memikirkannya.
###
Aku terbangun dari tidur, kulihat jam dinding, sudah pukul 03.10 wib. Kuniatkan sholat Qiamulail, sembari memohon pada – nya agar diberi kekuatan menjalahi hidup, baik terjaga maupun tertidur. Usai sholat, sempat terfikir. Ada apa dengan mimpiku ?
Subuh masih ada bebarap jam lagi, kurebahkan tubuh di kasur. Kembali aku tertidur.
###

            Seorang supir yang sudah banyak pengalaman di pasar, bercerita pengalamannya memakai jasa seorang kernek yang lugu, bahkan lebih parah dari itu, mungkin sudah termasuk begok.
            “ Dikampungku, Kota Pesisir pantai ini, kernek kami sebut kenek. Menghilangkan huruf ‘r’. Bukan berarti kami tak pandai menyebutnya, bahkan sebutannya kami ucapkan begitu terasa. Sebutan ‘r’ kami ucapkan ‘kh’. Maka, bukan kami tak pandai mengucapkannya, tapi karena memang begitulah Dialek kami !”.
            Kembali pada kisah di atas. Seperti biasa sang supir mobil pendek alias mopen, trayek dalam Kota, memakai seorang kenek, sebagai pembantu mengatur penumpang sekaligus mengatur lalu lintas untuk keselamatan dan kelancaran perjalanan.
            Suatu hari, mopen mereka mendapat job, dicarter sebuah keluarga untuk mengantar rombongan Pengantin Pria. Melalui jalan berliku dan agak sempit, akhirnya sampai di tempat tujuan, ialah rumah pesta Pengantin Wanita. Sudah barang tentu banyak kendaraan tamu dan sanak famili yang parkir di sana, hingga menyebabkan untuk balik berputa arah, agak sulit. Jalan sempit itu dibatasi pula dengan adanya tembok perkarangan pada bagian kiri dan kanan. Sang Kenek mulai bertugas, tepat dibelakang mopen.
            “ Maju …, mundur …. How, stop !”, ucap kenek memberitahukan supir.
            Supir mengikuti apa yang dikatakan kenek, sebab pada saat itu supir harus konsentrasi mengendari mopen.
            Kenek kembali memberi aba – aba.
            “ Mundur …, terus, terus. Te … rus, teeeeerrruus. Te … te … te …, tembok !”, ucapan kenek bersamaan dengan belakang mopen menabrak tembok.
            Bunyi tabrakan terdengar keras.
            Kenek taik !”, Sang supir yang memang dikenal bertemperamen tinggi, langsung membentak.
            “ Bukan Pak, bukan kenak taik, tapi kenak tembok !”, spontan kenek menjawab.
            Sang supir tak mampu lagi marah, hatinya geli. Dia pun diam saja.
###
            “ Allahu Akbar … !”, tersentak aku terbangun.
            Tak biasanya aku bermimpi sampai dua kali begini. Kulihat jam dinding, sudah pukul 05.30. langsung saja aku beranjak dari kasur, kuambil wuduk, kutegakkan sholat Subuh. Usai sholat, kutadahkan tangan memohon doa. Ada apa denganku ya Allah.
            “ Trangggg …. !”.
            Kudengar benda jatuh di dapur, menyudahiku memanjatkan doa. Keterkejutanku akan bendah yang jatuh, membuatku teringat akan tulisan fiksi yang diminta seorang dewasa lajang kemarin. Kulipat sajadah, kunyalakan Komputer di ruang kerja. Dua mimpiku malam ini, kukisahkan. Semoga saja tulisan ini berbentuk fiksi.
            Waktu Dhuha sudah tiba, tatkala kisah ini usai kuketik. Wudukku masih ada, belum batal. Kembali kutegakkan sholat, setelah itu, kukirim sms pada seorang dewasa lajang kemerin.
            “ Sudah siap, sudah bisa diambil !”.


































SAYAP – SAYAP RUMI

Jones Gultom








                          
Sekali lagi, aku teringat kata-kata Rumi ; Jika manusia terlahir dengan sepasang sayap, kenapa kita mesti merayap ? Hari ini, aku menulis curhat lagi, Yoh. Tentang banyak hal. Kau tahu, di dunia ini selalu banyak kisah untuk dituliskan. Ada saja yang patut dibagikan.
Begitulah, peradaban rupanya dibangun dari rangkaian cerita yang tak pernah habis-habisnya. Toh ia tak mesti berpangkal-ujung. Coba, pernahkah kau merasa asing dengan dirimu sendiri ? Pernahkah kau tiba-tiba mendapati diri tak lain hanyalah tumpukan batu yang dibuang tukang bangunan ? Bukankah perjalanan cuma berputar-putar di mata kaki sendiri ?
Benar kata JJ. Rousseu, Yoh, kita adalah makhluk malang yang ketika terus-menerus berjuang menuntut kebebasan. Sayang, ketika kita meraihnya, disaat yang sama pula, kita mendapati diri sudah terbelenggu. Adakah artinya bagimu Kemerdekaan, bila pada saat yang sama, kau mesti membungkam kebebasanmu yang lain ? Ini sama saja ketika kita sedang bertelepon di sebuah phone booth. Meski kita bisa berbicara dengan orang dari belahan Negara lain, toh fisik kita tetap terkurung di ruangan 1 X 2 meter itu. Itulah sebabnya, Yoh, aku sering gagap mengenali pintu rumahku. Lupa bau keringat sendiri. Seperti kucing kelaparan yang tidur di emperan rumah makan.
Demikian, aku menyapamu malam ini. Diantara kepulan asap rokok, batuk yang meninggi, berisik suara MP3, kucoba lagi mereka-reka wajahmu. Yoh, aku teringat waktu masih kerja di sebuah café. Ketika itu, saban malam aku harus berhadapan dengan orang-orang yang haus hiburan. Tukang becak, supir, preman, lajang-lajang kampung, pengangguran juga sesekali Polisi. Tahulah kau, namanya juga café kelas pinggiran, cuma bermodal minuman botol, keyboard dan beberapa waitress yang tak cantik, mereka bermaksud melepas stres. Begitu kata mereka.
Kebetulan tugasku mengawasi tamu-tamu. Hampir tiap malam ada yang buat onar. Tak mampu bayarlah, yang nyolek waitress sesuka hati tapi pelit ngasih tips, sampai yang reseh kalau sudah mabuk. Pernah kupukuli seorang tamu sampai bocor-bocor. Waktu itu, waitress kami dibentak-bentaknya. Spontan darah militerku naik. Aku yang lagi mabuk-mabuk ayam, langsung memukulkan sebuah botol minuman.
“ Chress …. !”, darah mengucur dari kepalanya.
Sialnya Dia seperti merasa tak apa-apa. Malah makin cerewet. Aku jadi tambah semangat mengayunkan botol minuman itu berkali-kali. Entahlah, aku lupa, Yoh, kurasa berpuluh kali. Saat Dia menggelepar, baru aku sadar, nyaris saja aku membunuh orang.
Kau tahu, Yoh, malam itu aku merasa berbeda. Lebih gagah dan terhormat. Itu sebabnya, kubiarkan darah itu mengering sendiri di tangan. Begitu juga si waitress. Mungkin Dia merasa diperhatikan. Merasa dibela. Merasa diayomi. Kau tahu, Yoh, malam itu kami tidur begitu lelap. Hari-hari pun jadi terasa berbeda. Setiap menjelang malam, sebelum Dia jadi milik orang, kami sempatkan berkasih-kasihan.
Sayang, Yoh, romantisme itu tak bertahan lama. Kesabaranku habis juga karena mesti melihatnya dicumbui tamu-tamu secara bergiliran. Hingga satu malam, aku tak bisa lagi menahan diri. Kuhajar tamu-tamu yang tengah asyik mencumbuinya. Di depan si waitress, di depan kekasihku. Darahnya bercipratan di sana-sini. Puas memukulinya, aku langsung kabur. Lari malam, kata orang-orang. Maklumlah, selidik punya selidik, rupanya yang kumainkan itu seorang Polisi.
Tak sampai seminggu, kudapati kabar, waitress itu mati mengenaskan, Yoh.
“ Dari selangkangannya keluar ular !”, begitu desas-desus yang kudengar.
Begitu pun, tetap kucari tahu di mana Dia dimakamkan. Aku merasa pernah berhutang padanya. Hutang-hutang kesepian yang tak terbalaskan.
Mungkin, begitu juga yang sedang dialami tetanggaku ini. Hingga tiap malam Dia memutar lagu yang sama. Bisa jadi, Dia sengaja memupuk rasa dendam, sampai menemukan waktu yang tepat untuk meledakkannya. Atau Dia sedang menghibur diri ? Entahlah, Yoh. Sering juga kudengar mereka saling memaki lewat handphone. Lama-lama baru kupahami. Sepertinya tetanggaku ini menuntut pacarnya, supaya ia dinikahi.
“ Enak aja kau bilang mau merantau, dah kau rusaki aku …!”, marahnya suatu waktu.
Ah Yoh, kenapa mesti ada rasa cemburu ? Kenapa pula harus menuntut budi ? Lain malam, kudengar tetanggaku itu disumpahi mamaknya.
“ Mampuslah kau. Tahankanlah ! Cari sendirilah biayanya. Kalau enggak, mati ajalah kau !”.
Aku tidak terkejut, Yoh. Sudah terbiasa mendengar kata-kata seperti itu keluar dari tetangga kami. Itu belum seberapa. Pernah satu kali mereka sekeluarga nyaris bacok-bacokkan. Pasalnya si suami tersinggung, karena dituduh mencuri uang istrinya. Adu mulut pun tak terhindarkan.
Tahulah kau, Yoh, namanya juga Mamak-mamak, pantang dipancing. Terus kalau sedang merepet, semuanya diserempet.
“ Pantaslah kelen nggak ada yang beres. Keluarga maling !”.
Mendengar itu, si suami naik tensi. Langsung dikejarnya istrinya itu dengan parang.
“ Coba bilang sekali lagi … !”, kata si suami dengan parang yang siap terayun.
Eh si istri bukannya lari, malah dikasihnya kepalanya itu.
“ Nah bacoklah … bacoklah ! Biar puas kau ! Memang malingnya kelen sekeluarga !”.
“ Bacokkan aja, bang !”, timpal adik suaminya memanas-manasi.
Keluarga tetanggaku memang rumit. Hari ini bertengkar hebat, besoknya dah main judi mereka  bersama-sama. Suatu waktu, giliran si bungsu yang bertingkah. Memang Dia rada-rada terbelakang mental. Badannya besar. Tangan dan jari-jarinya panjang. Mulut dan bibirnya lebar, dengan gigi yang besar dan jarang-jarang. Kalau jalan, Dia setengah membungkuk. Suatu ketika, tanpa alasan yang jelas, dibakarnya tubuhnya sendiri. Syukurlah orang-orang yang melihat langsung memadamkan api itu. Separuh tubuhnya gosong. Meski begitu, Dia tak langsung dibawa ke Rumah Sakit. Pengobatannya cuma pakai minyak makan campur kuning telur.  Apa tidak mengerang-ngerang Dia kesakitan. Sepanjang malam, Dia meringis ! Tentu, ada batasnya kesabaran orang mendengar erangan. Lama-lama kan dongkol juga.
“ Tahankan. Kenapa enggak mati aja kau sekalian !”, umpat Mamaknya bila Dia mulai mengeluh.
Aku juga sering dongkol melihat si bungsu itu.  Pernah satu kali, Dia meringis-ringis di teras rumahku. Padahal waktu itu sudah menjelang subuh. Aku tak  berani keluar, karena erangannya memang agak menyeramkan. Hingga tak berapa lama bapaknya muncul.
“ Ngapai kau ke situ kurang ajar ?”.
“ Plak … plak … !!”, dari balik kamarku terdengar suara pukulan  berkali-kali.
“ Aduh sakit … sakit !”, rintihannya menyayup.
Kau tahu, Yoh, sekarang ini manusia makin tak ada harganya. Kalau dulu, mendengar kata mati pun, kita sudah merinding. Terus terlintas di benak kita, kerumunan orang dengan baju hitam-hitam mengusung keranda hijau. Terus tercium oleh kita bau melati dan kamboja. Terus kita bayangkan wajah-wajah sembab yang memilukan.
Kini bayangan itu tak seseram dulu. Apalagi yang mau ditakuti, jika kuntilanak sekalipun  sudah akrab dikeluarga kita. Tengoklah,  lima menit sekali televisi menayangkan serial-serial kematian. Mulai dari yang serius, sampai sekedar guyonan. Tak jarang pula, sembari makan bersama anak-anak, kita berdecak kagum menyaksikan berita mutilasi. Ada sensasi menggairahkan, manakala kita menyaksikan berbagai pergolakan.
Aku juga merasakan getaran itu, Yoh. Pernah kejadian seorang maling ayam tertangkap basah di kampungku. Dia berusaha melarikan diri, tapi terjebak. Terperangkap di jembatan penyeberangan Tol. Merasa terkepung, Dia pun nekad melompat. Alhasil, kaki dan tangannya patah. Bukannya ditolong untuk dibawa ke Rumah Sakit, orang-orang malah menyeretnya keluar dari badan jalan dan digiring ke rumah pemilik ayam. Sepanjang jalan sudah terdengar teriakan-teriakan.
“ Bakar … bakar … !”.
Mendengar itu, aku jadi bergelora. Kusadari aku juga ikut berteriak meski sekedar di bibir saja. Pukulan demi pukulan mengiringi perjalanan, persis adegan Via Dolorosa yang melegenda itu.
Hingga akhirnya, ketika sampai di rumah, Dia langsung dimassakan. Beruntung ada seseorang yang melerai.
“ Kita panggil saja Polisi !”, katanya.
“ Enak kali Dia. Nanti dilepasnya itu, terus nyolong lagi Dia !”.
“ Betul !”, yang lain menimpali.
“ Bakar … bakar .. !”, teriak yang di belakang bergemuruh.
Orang yang melerai tadi terdiam. Tiba-tiba si pemilik rumah bergegas ke belakang. Tak berapa lama kembali dengan sebilah parang. Dengan spontan, orang-orang berebut memegang tangan dan tubuh si pencuri yang sedari tadi bergeletaran.
“ Cresh ..…. !”, Potongan tangan itu menggelepar.
Menggelepar, Yoh ! Persis ekor cicak. Darah muncrat di mana-mana.
Yoh, belakangan ini, aku sering mengutuki diri. Aku sering merasa sedang berada pada tempat dan waktu yang salah. Bagaimana menurutmu ? Bicaralah, Yoh ! Sudah terlalu lama kau membisu. Atau, kau juga menganggapku terlalu sentimentil ? Kalau begitu, aku juga akan membunuhmu !.
Malam itu, menjelang subuh, bulan masih merah-merahnya. Tapi sudah terdengar ribut-ribut tetangga.
“ Enggak nyangka-nyangka ya !”. celoteh orang-orang.
“ Padahal orangnya pendiam lho !”, timpal yang lain.
Di tangannya yang terkepal dan mulai dingin, tampak secarik kertas  lusuh. Di situ ada tertulis ; Jika manusia terlahir dengan sepasang sayap, kenapa kita mesti ….. Tulisan itu jelas belum selesai ketika orang-orang yang berdatangan mulai saling bertangis-tangisan.



































IRAMA SUNYI SUNGAI DELI

M. Raudah Jambak









Aroma bau itu menebar, searah dengan hembusan angin ketika matahari tepat di atas kepala. Menebar bersama derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jembatan, terus sampai menghilang di ujung kelokan.
Gjebuuur …….
Aaakh ………..
Suara benda berat yang jatuh menembus permukaan sungai yang masih menyisakan aroma bau yang menusuk hidung. Lalu-lalang kendaraan bermotor yang melintasi atas jembatan siang itu nyaris tak sempat menyisakan kesaksian atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dan kisah itu tidak akan pernah terekam dalam ingatan jika saja seorang pemulung tua tidak berteriak minta pertolongan.
Seperti biasanya Opung, si pemulung tua itu, hendak buang air besar persis di bawah jembatan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan tidak ada orang yang mengintipnya. Paling tidak beberapa orang anak kecil yang suka usil melemparinya dengan batu kerikil di saat Dia menuntaskan hasratnya, tidak sembunyi-sembunyi menanti kesempatan itu.
Pelan-pelan Opung berjongkok, ketika suasana dianggapnya sudah aman. Matanya masih mencari-cari, mengawasi sekitarnya. Di saat itulah matanya tertuju kepada seorang perempuan muda yang berdiri hendak terjun ke sungai. Opung hanya merasa heran ketika perempuan itu berteriak dan menangis tidak jelas. Dia menangkap gelagat yang aneh. Segera saja niat yang hendak disalurkan tadi dihentikannya. Dia segera berdiri, hendak menghardik perempuan itu. Tapi, terlambat, perempuan itu sudah terlebih dahulu melompat. Dan tubuh itu tidak juga muncul ke permukaan. Kontan saja pemulung tua itu panik. Dia berteriak sekuat-kuatnya.
“ Tolong …! Ada yang jatuh ke sungai …!”.
Berkali-kali pemulung tua itu berteriak. Suaranya dihantam deru knalpot yang memburu, bunyi aliran sungai, dan aroma yang dihembus angin. Akhirnya, seorang pemulung muda turun ke sungai. Pemulung muda itu pulalah yang menjawab kesaksian itu dengan berlari cepat menuju sungai, setelah mendengar suara parau Opung yang dibawa angin ke gendang telinganya. Diikuti beberapa orang temannya yang menyusul kemudian. Juga beberapa pengamen jalanan yang tidak sengaja melintas di atas jembatan. Begitu juga dengan penjual rokok dan beberapa orang pejalan kaki.
Kontan saja dalam waktu singkat areal jembatan dan aliran sungai menjadi ramai dengan pengendara sepeda motor yang berhenti hanya sekedar menyaksikan peristiwa yang gratisan itu. Termasuk para pegawai sebuah Plaza yang berdiri tak jauh dari sungai, melihat kerumunan orang banyak. Jalanan macat total. Polisi kemudian sibuk lalu lalang pula menyelesaikan persoalan.
Di bawah jembatan, sepanjang aliran sungai beberapa orang telah masuk menyisir sepanjang aliran, seputar jatuhnya sosok tubuh perempuan muda yang menembus permukaan sungai. Aroma yang menyengat sepanjang tumpukan sampah dan warna permukaan sungai yang coklat kehitam-hitaman serta agak berlumpur itu, apalagi disaat musim hujan turun, tidak lagi menjadi halangan.
Harapan ternyata tetaplah selalu ada. Beberapa orang masih memiliki nurani. Mereka tidak memperdulikan lagi aroma yang “ mewangi ”, terus melakukan pencarian. Di antara mereka masih sempat melihat tangan yang timbul tenggelam itu, seperti menggapai-gapai.
“ Ini Dia ! Telah kudapatkan !”.
Seorang pemulung muda menarik pelan-pelan sosok tubuh perempuan yang sudah terlihat tidak berdaya itu ke bantaran sungai, mungkin lebih tepatnya parit besar yang penuh dengan tumpukan sampah dan warna permukaan yang sudah tidak jernih lagi, mencari tempat yang agak teduh, di bawah jembatan.
Demi melihat itu, orang-orang yang berkumpul penuh sesak itu segera meninggalkan tempat itu, termasuk Polisi yang menganggap situasi sudah terkendali. Ada yang mengelus dada. Ada yang menggelengkan kepala. Ada yang senyum-senyum sendiri. Dan ada pula yang setengah gila, tertawa-tawa sendiri. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran orang-orang itu. Pastinya tinggal beberapa orang yang masih perduli, mengitari.
Tiur, perempuan muda yang mencoba bunuh diri itu. Dia masih belum bicara setelah mengeluarkan air sungai yang sempat tertelan itu.
“ Bagaimana Dia ?”, si pemulung tua itu datang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Beberapa orang pengamen jalanan menyingkir memberi ruang.
“ Tunggu saja, Opung. Sebentar lagi Dia pasti sadar !”, seorang penjual rokok, yang biasa mangkal di seputaran Deli Plaza, yang ikut terjun menolong, memberi penjelasan, tetapi si pemulung muda itu segera menukasnya.
” Dia sudah sadar, Pung ! Hanya saja badannya masih lemas. Tadi Dia berusaha untuk bertahan hidup. Dia ternyata masih punya keinginan untuk hidup, masih punya harapan, seperti harapan orang-orang yang hidup di sepanjang aliran sungai yang menghitam ini. Setahuku sudah yang ke sekian kalinya si Tiur melakukan ini. Terutama sebelum Opung bergabung dengan kami. Entah apa penyebabnya, setiap aroma yang menusuk hidung itu terasa begitu menyengat, detik berikutnya Dia muntah-muntah dan tidak berapa lama setelahnya, Tiur menerjunkan dirinya ke sungai. Saat itu matahari tepat di atas kepala. Dan kejadian ini lebih parah dari sebelumnya !”.
“ Mungkin Dia hamil ? Atau keracunan barangkali ?”.
“ Coba saja Opung periksa. Kemungkinan itu pasti ada. Tapi mengapa harus bunuh diri di saat matahari meninggi tepat di atas kepala, dan aroma sungai yang mulai menyesakkan dada ?”.
Lungun, si pengamen jalanan, yang lebih memilih diam, merasa terheran-heran.
“ Mungkin pengaruh ngidam ?”.
Darman, si pemulung muda itu, terdiam. Dia berpikir, apakah pengaruh mengidam sampai seburuk itu ? Ada semacam perasaan cemas dalam kepalanya. Sekarang Dia lebih cenderung sebagai pendengar saja. Matanya tak lepas-lepas memberi sinyal kepada Lungun butuh kejelasan.
“ Apa memang sudah lama Dia tinggal di sini ? Sebelum Opung ?”, selidik Opung selanjutnya.
“ Lebih lama memang dari Opung !”, jawab Lungun.
“ Tiur sekarang tinggal tepat di bawah jembatan ini, pergi meninggalkan rumah Inangnya di pinggir sungai sebelah sana !”.
“ Begitu, ya !”, Opung berpikir sejenak.
“ Yang di rumah kardus itu ? Sendiri saja ??”, lanjut Opung.
“ Dulu Saodah pernah tinggal dengannya. Sekarang Saodah menempati rumah Inang Tiur yang sudah lama kosong. Inang Tiur menghilang. Tiur tak mau lagi menempatinya, walau dibujuk Saodah berkali-kali. Padahal keberadaan Saodah di rumah Inang Tiur itupun atas desakan Tiur sendiri. Dan biasanya saat ini Saodah sedang ngamen di simpang Petisah !”.
“ Tolong panggilkan. Opung mau menanyainya, Ucok !”, seorang tukang semir cilik yang ditunjuk Opung mengangguk, segera berlari.
“ Apa Dia hamil, Opung ?”.
Perempuan tua itu hanya menggeleng lemah. Tidak berapa lama kemudian Tiur duduk perlahan. Dia muntah-muntah. Matanya melotot. Segera Dia berdiri dan berlari ke arah sungai. Hampir saja Dia menceburkan diri kembali kalau Darman tidak segera mencegahnya. Tiur meronta-ronta. Darman memperkuat cengkramannya. Dia menahan sekuat tenaga, agar perempuan dalam cengkramannya tidak terlepas. Tapi Tiur jadi semakin menggila. Dia semakin meronta, memandang jijik dan muak ke arah Darman. Mulutnya menyumpah. Tangan sebelah kanannya, yang tidak dicengkram, meraih-raih sesuatu di atas tanah. Mengambil batu, dilemparkannya ke arah Darman. Cengkramannya terlepas. Tiur terguling-guling. Tubuhnya yang hampir dipenuhi panu dan kurap itu, berdarah, tergores kerikil tajam yang tersebar di tanah. Tubuhnya baru terhenti bergulir di atas tumpukan sampah yang sudah membusuk. Belum sempat yang lain sadar dalam keterpukauan, Tiur segera terjun ke sungai. Untung saja, kali ini, Lungun menarik kakinya.
Tiur terjerembab. Dia kembali mengamuk. Dia menyerang dan menyumpahi Lungun habis-habisan, menggumulinya. Lungun tidak siap. Dia melakukan perlawanan sebisanya. Saling pukul, saling jambak dan saling cakar terjadi. Tiur memaki-maki. Kata-kata kotor mengalir deras dari mulutnya bersama sampah yang mengalir diderasnya aliran sungai yang mengalir. Jerit penderitaan begitu pekatnya. Arus kehidupan yang tidak mudah diduga ke mana bermuara. Begitu tipisnya perbedaan antara harapan dan kesengsaraan di ruang kenyataan. Dia hadir dan mengalir begitu saja. Bunyi air yang mengalir, deru knalpot, dan kecipak dayung perahu sampah berpadu dengan riak napas kehidupan yang semakin pekat.
“ Plak !”.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tiur. Lungun berteriak sekeras-kerasnya. Modal suara yang terbina ketika menjadi kernet angkot sebelumnya ternyata tidak mampu menggetarkan Tiur. Tamparan, tendangan dan pukulan silih berganti mendarat di muka, perut dan dada Tiur disertai bentakan dan teriakan….
Mangidok au, Inang …! ”.[1]
Tiur terguling, Tiur histeris ! Dan pukulan Lungun kian tak terbendung.
“ Tidak tahu diuntung ! Tidak tahu ditolong ! Apa masih belum kapok ? Ha !?”.
Tiur tengkurap. Dia menangis sejadi-jadinya. Hatinya pedih bersama darah yang menetes dari tubuhnya yang tergores. Bercampur bersama sisa pekat air sungai yang tertinggal dan aroma sampah yang memabukkan. Lungun menghentikan hardikan dan pukulannya.
“ Apa maksud kau ! Cakap kau, cakap !”.
Tiur tidak juga bicara. Dia menatap garang kepada Lungun. Baginya Lungun tidak lebih baik dari sampah-sampah yang membusuk sepanjang bantaran sungai. Lungun terpanggang birahi. Tamparan demi tamparan kembali mendarat di muka Tiur.
“ Kemasukan hantu sungai ini kurasa kau !”.
Lungun terus melayangkan pukulannya ke arah Tiur. Tiur sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Kesakitan baginya sudah menjadi hal yang sangat biasa. Penderitaan adalah menu hidupnya sehari-hari. Dan untuk itulah Tiur masih hidup sampai sekarang, ternyata.
Dari jauh Saodah berlari mendekat, diiringi Ucok di belakangnya. Demi melihat itu Opung segera mencegahnya.
“ Tiur kemasukan. Kau tenang saja !”, bisik Opung.
Saodah terdiam. Pikirannya mengawang kepada Wan Nurdin, ayahnya, yang menurut cerita ibu sangat memegang teguh adat, tetapi ternyata tidak kenyataanya. Ibu Saodah menceritakan tentang mandi berdimbar[2]. Mandi dengan mengenakan pakaian Pengantin, dan juga saling siram, dilanjutkan menyirami orang tua, famili dan tamu-tamu yang ada sepanjang bantaran sungai. Dimaksudkan Pengantin harus siap dan tabah menghadapi segala cobaan yang bakal datang, baik dari Yang Maha Kuasa, maupun dari pihak orangtua, atau lingkungan masyarakat sekitarnya.
Prosesi diawali dengan peminangan oleh keluarga pihak pria kepada keluarga pihak wanita. Jika dicapai persetujuan kedua belah pihak, maka diadakan pertunangan yang dilaporkan kepada pihak wanita. Seandainya pihak wanita membatalkan pertunangan, mereka harus membayar dua kali uang Hantaran.
Biasanya, pesta dimulai dengan berbalas pantun sebelum mempelai pria diperbolehkan masuk “ menjemput ” sang istri. Sehelai kain dibentangkan di depan pintu masuk dan dimulailah berbalas pantun. Dan jika tamu-pihak pria kalah dalam berbalas pantun, sang Pengantin tidak dibenarkan masuk.
Jika menang dalam berbalas pantun, maka diperkenankan masuk. Setelah masuk upacara nasi hadap-hadapan pun dilaksanakan. Berbagai aneka makanan dan panganan dihidangkan. Yang terutama adalah pencabutan bilahan bambu minimal sembilan bilah, melambangkan angka kesempurnaan yang ditancapkan di dalam nasi hadap-hadapan tersebut. Daging ayam ditusuk ditiga ujung bambu. Sementara jumlah bambu yang tidak ada daging ayamnya lebih banyak. Ada perlombaan antara kedua mempelai. Mempelai yang mendapatkan dua bilah bambu yang ada daging ayamnya, menjadi pemenang. Anehnya, jika sang istri yang menang, maka kata orang-orang tua, alamatlah si istri yang “ menguasai ” suami.
Saodah tersontak. Mengenang bagaimana ayahnya memukuli ibunya yang ingin bunuh diri, menceburkan tubuhnya ke sungai. Ayahnya berhasil menyelamatkan ibu, karena sungai yang jernih waktu itu, memperlihatkan sosok ibu yang tenggelam. Tapi pukulan dan tamparan justru yang diberikan. Alasannya ibu kemasukan hantu sungai.
Padahal menurut cerita ibu disuatu ketika, ayah merasa dipermalukan, sebab kalah dalam acara berbalas pantun waktu itu. Tapi ada pula yang mengatakan, ayah selalu mengulang-ulang kalau ibu gagal halua[3], katanya ibu sudah terenggut keperawanannya di bantaran sungai ketika itu.
Yah, memang bedanya sungai waktu itu begitu jernihnya. Pandangan kita dapat menembus permukaan sampai ke dasarnya. Bebas polusi. Bebas sampah. Pemukiman tidak sepadat sekarang. Restauran, Hotel dan Plaza hampir jarang. Lain halnya dengan sekarang, sepanjang sungai dipenuhi dengan limbah dan sampah. Ditambah lagi sekarang telah menjadi tempat untuk menghabisi nyawa diri sendiri dan orang lain.
Persis seperti sekarang ini. Lungun memukul Tiur habis-habisan. Namun, Saodah sudah tidak sabar lagi untuk menghentikan perlakuan Lungun terhadap Tiur, dan ingin memaki orang-orang yang bisanya hanya berdiri mematung. Kesabarannya telah habis saat ini. Segera Dia melepaskan cengkraman Opung, untuk menghentikan tindakan Lungun. Sepanjang aliran sungai matahari menyengatkan sinarnya pada riak yang berloncatan di atas limbah sampah dan bebatuan.
“ Jangan kau teruskan, Bodat !”.[4]
“ Dia kemasukan, Ito ..!”.[5]
“ Sok tahu kau !”.
“ Kemasukan hantu sungai !”.
“ Tutup moncongmu !”, Saodah meraih Tiur, membantunya berdiri.
“ Hei, hantunya belum keluar !”, Lungun meraih kembali Tiur.
Terjadi aksi tarik menarik. Masing-masing dengan kekerasan hatinya. Sungai mengalir membawa limbah sampah bersama warna yang buram, seburam suasana yang hadir saat ini. Debu yang berterbangan dari atas jembatan. Tatapan mata saling beradu garang. Dan Opung memahami situasi ini.
“ Sudah ! Biar Opung dan Saodah saja yang mengurus Tiur !”, Opung meraih Tiur.
 “ Yang lain pergi sana ! Bubar !”.
Lungun terdiam. Darman tercenung. Ada rasa was-was dalam pikiran mereka. Pengamen, pemulung, dan tukang semir yang lain tidak ambil pusing lagi. Mereka kembali menebar, menyebar, mengutip rimah-rimah harapan kehidupan yang mungkin masih tersisa di sepanjang sungai maupun simpang-simpang jalan. Menyetop angkot untuk berhenti dari persimpangan yang satu ke persimpangan berikutnya. Semua kembali dengan kesibukan masing-masing. Lambat tapi pasti seperti kitaran matahari yang lamat-lamat tenggelam dan kembali terbit dipagi hari. Opung, Saodah dan Tiur telah terlelap membagi sepi.
*******
Di rumah kardusnya Tiur dan Saodah terduduk menikmati sisa teh semalam. Sisa darah yang mengering telah mulai terkelupas. Opung masih berselimut rindu dendam.
Betapa Saodah tidak akan pernah melupakan Tiur. Saodah tidak akan pernah melupakan tragedi itu. Ketika itu hujan lebat turun, air sungai sudah lama membuncah. Saodah mendapatkan dirinya sudah berada di atas bubungan atap rumahnya. Dia sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi selain dirinya. Ingin rasanya Dia memanggil ibu dan ayahnya, tapi tenggorokannya terasa tersumbat. Tidak ada pikiran lain yang melintas, selain menyelamatkan diri. Di atas bubungan, Saodah meraih ranting-ranting kayu. Belum sempat tanganya meraih ranting pohon itu, sebuah terjangan air menerjangnya.
Saodah terbawa pusaran air. Dia masih berusaha untuk meraih apa saja. Berusaha melawan arus sungai yang meluap. Tubuhnya timbul tenggelam bersama tumpukan sampah yang juga terbawa arus.
Dalam hitungan detik pusaran arus itu semakin menggila. Saodah merasakan dirinya dihempaskan ke sana ke mari. Rasa pasrah sudah menggelayuti pikirannya. Pada satu titik pasrahnya yang paling afkir, Saodah merasakan kekuatan yang luar biasa mengangkatnya dari pusaran arus sungai yang mematikan. Sayup-sayup Saodah mendengar teriakan yang menyayat.
” Bertahanlah, Inang ! Hu salamatton do ho !”.[6]
Detik berikutnya Saodah merasakan tubuhnya diangkat, dibawa terus menuju silau cahaya. Sesekali Dia mendengar deru knalpot yang tidak asing lagi di telinganya.
“ Peristiwa itu tidak akan pernah kulupakan !”, ujar Saodah dengan air mata yang mengalir mencari alirannya ke bantaran sungai.
” Jika kau tidak segera menyelamatkan aku dan membawa ke atas jembatan, mungkin aku entah berada di mana sekarang. Kaulah dewa penolongku !”.
“ Kau pembohong !”.
Saodah terdiam. Suasana kembali sepi. Rumah kardus itu terasa semakin sempit saja. Opung masih mendengkur menyulam rindu.
“ Kau tahu peristiwa itu. Dan kau tahu aku tidak bermaksud menolongmu !”.
“ Ternyata kaulah pembohong sebenar-benarnya. Kau terlalu egois. Mari lupakan masa lalu …!”.
Tiur tercengang. Bagaimana Saodah begitu mudahnya melupakan masa lalunya. Bagaiamana pula Dia harus melupakan masa lalunya. Kekejaman ayah Saodah. Dan kekejaman orang yang telah menghancurkan masa depannya. Bagaiamana Dia lahir dari rahim sungai, seperti cerita Inang, ibu angkatnya, waktu itu.
Ketika itu Inang sedang mencuci pakaian. Biasanya yang mencuci pakaian waktu itu cukup ramai di sungai. Entah mengapa hari itu hanya Inang. Dan Inanglah yang menemukan sebuah kotak yang terhanyut di permukaan sungai yang mengalir tenang. Segera Inang meraih kotak kardus besar yang biasa dipergunakan untuk mie instan itu. Alangkah terkejutnya Inang. Takut campur senang. Betapa Dia takjub melihat sesosok tubuh bayi mungil. Sesosok tubuh bayi perempuan yang cantik.
“ Kalaulah kau laki-laki aku akan adakan mangan indahan esekesek manupaupa. Atau juga paebathon buha baju tu ompung na bao, serta tidak lupa tardidi.[7] Tapi tak apalah yang penting aku senang !”.
O, betapa waktu itu kisahmu seperti Musa yang dininabobokkan di permukaan sungai Nil. Hanya saja mungkin kau tidak tahu bahwa Musa diselamatkan dari Fir’aun yang dzalim. Sedangkan kau hanyalah anak diluar nikah yang dicampakkan demi nama baik keluarga. Menyelamatkan nama baik. Puih !
Kisahmu sangatlah menyedihkan. Setelah kau menanjak besar, Inangmu yang sebatangkara bermakam pula di sungai. Di bunuh. Dan mayatnya dicampakkan ke sungai terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk.
Ketika Inang dan kau mencuci di sungai yang berwarna keruh. Seperti waktu ditemukannya kau dulu. Di sekelilingmu detik-detik waktu mengurai sepi. Hanya satu dua orang yang terlihat membuang sampah dari atas jembatan. Atau anak-anak yang berlari terburu-buru hendak membuang kotoran, sementara saudaranya berendam beberapa meter saja, selebihnya sunyi. Ketika matahari tepat di atas kepala tinggallah kalian berdua, setelah seorang perempuan tua mengambil air dari sungai untuk dimasak.
Mula-mula kau tidak begitu curiga, ketika dua orang pemuda, yang biasa mengajakmu bercanda bagai orang dewasa, mendatangi Inangmu. Mereka berbicara berbisik sambil melirik penuh birahi padamu.
Tiba-tiba kau melihat Inang berdiri, sambil memaki, membentak kedua pemuda itu. Memukuli mereka dengan kain cucian bertubi-tubi.
“ Apa bisa kalian, ha !?. Kalian hanya pengamen jalan dan juga pemulung. Usia kalian pun masih belum cukup. Mau kalian kasih makan apa anakku, ha ?!”.
Kau begitu ketakutan ketika pukulan bertubi-tubi Inangmu dibalas dengan tusukan sebilah pisau, tepat di jantung Inangmu. Seketika Inangmu roboh. Darahnya mengalir sampai ke sungai menambah pekatnya permukaan sungai. Tidak sampai di situ saja, tubuh renta yang sudah tidak berdaya itu dicampakkan begitu saja ke sungai tepat terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk. Di saat itu pulalah kedua pemuda itu pergi begitu saja, setelah menuntaskan hasrat kelelakian mereka padamu.
Sakit yang luar biasa dari robeknya keperawananmu tidaklah begitu kau rasakan. Tapi luka di hatimu cukup dalam, melihat Inang yang terbenam tanpa nyawa tanpa kau bisa berbuat apa-apa. Hatimu remuk redam. Usiamu masih begitu belia ketika itu, tujuh belasan, dan begitulah, kesakitan yang dirasakan dengan mengalirnya air dari sungai matapolosmu itu, mencabik-cabik jiwamu, meninggalkan luka yang menahun, bahkan sampai saat ini ! Seandainya saja rasa perduli dan bertanggungjawab terpelihara baik, maka mungkin suatu permasalahan tidak terjadi dengan begitu buruk, seandainya juga disertai dengan rasa kasih sayang atas nama kemanusian.
Seandainya saja kedua orangtuamu bertanggungjawab. Seandainya saja Inang tidak terbunuh. Seandainya saja pembunuh itu diberi ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Atau seandainya saja limbah sampah tidak menumpuk busuk. Dan seandainya Saodah tidak segera hadir, dan tidak pernah hadir. Ternyata hanya sekedar berandai-andai saja, mimpi menyulam daur kehidupan yang penuh jebakan rahasia. Membentang pada sungai yang dipenuhi limbah sampah yang menumpuk busuk dari Pabrik, Restauran, Hotel, Plaza dan pemukiman penduduk. Ternyata masih ada setetes harapan. Sungai yang kotor itu tidaklah lebih kotor dari sungai hati manusia yang paling hina. Dipenuhi limbah iri hati. Dicengkram sampah nafsu serakah. Dan minus jernihnya kasih sayang. Aroma polusi hati menghantui di sana-sini. Tapi, tidak di hati Inang. Bukan di hati Saodah. Tidak pula di hati Opung. Apalagi di hati Tiur.
************
Aroma bau itu semakin pekat menebar, ke berbagai arah hembusan angin. Tidak lagi ketika matahari hanya berada tepat di atas kepala. Tapi juga dari terbit hingga terbenammya. Menebar bersama derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jembatan. Membawa tumpukan sampah yang membusuk. Menghanyutkan bangkai kotoran kemana-mana. Bersama pekatnya berbagai limbah, semakin menghitam, menebarkan jubah kematian ke berbagai pelosok kehidupan. Dari balik jubah itu, jari jemari menghunuskan kuku-kuku hitam dan tajamnya, memanjang, mencengkram, menghadirkan hawa kematian …..
Dan cengkraman itu tidak mampu menghunjamkan kuku-kuku tajamnya ke tubuh Saodah dan Tiur yang saling berpelukan. Juga Opung yang tak henti-hentinya menyenandungkan nyanyian kehidupan. Bersama aliran sungai yang masih menawarkan setetes harapan.


[1] Ampunkan aku ibu
[2] Mandi pada acara Pengantin adat Melayu, kadang dilakukan di tepian sungai
[3] Sebuah upacara pembuktian keperwanan pada adat Melayu
[4] Ucapan makian khas Medan
[5] Panggilan untuk perempuan (bahasa Batak)
[6] Saya selamatkan kamu ibu
[7] Upacara kelahiran anak laki-laki dan pemberian nama











GARIS PUTIH PUTUS – PUTUS

Maulana Satrya Sinaga









Jalan pulang yang sangat jauh. Saya memutuskan untuk tidak pulang. Tidak juga memikirikan rasa-rasa cemas orang yang menanti saya di rumah. Kadang, jika saya  malas. Keterlambatan adalah hal yang paling mungkin saya lakukan untuk mengalihkan bahwa saya tidak ingin pulang. Saya tidak tahu mengapa orang-orang di rumah lebih suka menghabiskan waktu di depan televisi, di dapur, atau berkutat dengan mobil tuanya. Ialah adik saya, ibu dan ayah. Saya juga tidak menyangka kenapa mereka diberi mulut yang suka menghentak. Saya baru merasakan perasaan ketika jauh dari mereka. Ketika jalan yang saya lihat di belakang begitu jauh lagi berkelok. Belum lagi terowongan yang menurut saya adalah perjalanan yang sambung-menyambung.
Warna-warna putih pemotong. Saya senang berjalan di tengahnya. Saya senang kiri dan kanan dapat terpisah hanya dengan garis ini. Lalu, bisakah di rumah pembatas kami tidak dinding ? Melainkan hanya garis putih putus-putus ini.
Sudah malam. Pohon pinus kuning terang. Kunang-kunang berpacaran. Saya tidak tahu apa yang saya tuju dan bagaimana tempat itu. Apa di sana ada rumah yang  pembatas ruangannya bukan dinding. Melainkan hanya garis putih  putus-putus. Apa di sana juga akan ada tiga orang yang berkata.
“ Kau sudah makan, kau harus istirahat, jangan pulang terlambat !”.
Akh, maaf. Saya selalu saja membayangkan kejadian ke depan. Padahal itu belum tentu sebuah kepastian.
Gelap. Saya suka gelap. Maka dari itu, sering saya pecahkan lampu kamar. Tiap kali mereka mengganti. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang membuat bosan. Hingga mereka menyerah dan membiarkan kamar saya dengan warna yang saya sukai. Hal yang paling saya benci adalah ruang makan. Mereka tidak mengetahui satu butir nasi itu adalah darah yang amis. Mereka sesuka hati menyisakannya.  Saya pernah melihat disebutir nasi ada gambar seorang lelaki yang bersedih. Ia gagal panen dan anaknya tidak dapat Sekolah, istrinya meninggalkannya lalu Ia memilih mati. Dari itu, ketika semua tertidur. Saya memilih berdua dengan sepiring nasi di sudut dapur lalu melahapnya tanpa basa-basi. Saya tidak ingin ada yang bunuh diri lagi.
Belum cukup jauh untuk berhenti. Meski urat di kaki saya telah keluar dan panas di telunjuk-telunjuk. Saya tidak berniat membuka sepatu karena jalanan ini sangat dingin. Seperti ada mata-mata paku yang kapan saja siap menikam saya. Atau hanya perasaan saya saja ?
Perasaan ? Apa saya mempunyai perasaan. Apa itu perasaan ? Jadi, saya tidak berani-berani memastikan. Belum, belum cukup jauh. Mereka masih dapat memanggil Polisi untuk mencari saya dan bila belum cukup jauh mereka pasti akan sangat mudah menemukan. Terlebih saya berjalan lurus. Bagaimana kalau berbelok ? Akh, tidak. Saya belum mau mati dengan jurang di kanan-kiri.
Dari tadi hanya ada klakson dan makian dari para pengendara. Tapi, telinga dan tubuh saya tidak panas. Jadi kenapa orang sering menyimpulkan hal semacam itu dapat membuat panas dan memacu amarah ? Berarti saya tidak marah. Saya sangat suka berjalan di tengah. Di antara garis putih putus-putus ini. Mengapa mereka begitu mudah berkata kasar ? Apa semua manusia sama. Sama seperti perkataan bapak kepada ibu dan perkataan adik kepada saya. Mengapa mereka tidak dikutuk jadi pohon. Biar tenang, dan diam. Hanya ada suara jangkrik atau kepak sayap kunang-kunang. Inilah yang membuat saya tidak merasakan sepi padahal sebelumnya saya sangat suka sepi. Seperti mati.
Semakin gelap. Angin makin kencang. Apa pertanda hujan ? Kata mereka saya tidak boleh terkena hujan. Apa saya berteduh ? Di lorong yang baru saya lewati. Tapi, itu telah lima kilometer ke belakang. Apa di depan masih ada lorong lain ? Apa, saya masih mendengarkan perintah mereka ? Apa saya harus menuruti ? Kalau begitu, untuk apa saya berjalan sejauh ini ? Saya melanjutkan perjalanan. Toh, hujan hanya campuran awan, angin dan petir.
Kesempatan adalah waktu yang tepat. Ketika supir pribadi telat menjemput, saya pergi menuju arah bertolak belakang dengan rumah. Arah  ke mana saja keangka dua belas. Hingga sampai di tempat ini, jalanan panjang di atas bukit. Entah, berapa bukit yang harus saya tualangi lagi. Setidaknya saya belum berkeringat. Biasanya itu tolak ukur kelelahan.
Semoga di depan sana tidak ada Sekolah yang seperti neraka
Neraka ? Ya, saya tau neraka. Neraka itu panas dan di dalamnya banyak orang-orang yang tersiksa. Panas, karena saya sering disiram secangkir susu panas. Maaf, maksud saya enam cangkir karena enam orang pula yang melakukannya. Atau, saus yang disiram di atas kepala. Saya tersiksa. Guru-guru di sana seperti manusia serigala dimalam purnama. Mereka akan mengaung-gaung dikala saya tidak mengerti pelajaran dan tidak bertanya. Menurut saya, untuk apa pertanyaan bila yang saya tidak mengerti apa yang saya pertanyakan. Tidak ada tempat saya mengadu selain Jenny. Jenny yang paling bisa membaca surat hati saya. Dia sering menyuapkan roti di mulut saya dan mengelap air yang keluar dari hidung saya. Jenny akan sangat panik bila air yang keluar dari hidung saya memerahkan sapu tangannya. Geraknya terlihat bingung memanggil Guru lalu diteruskan ke orang tua saya. Setelah itu, saya akan berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dan hal yang  paling membuat saya sedih bukanlah sebuah kebosanan tapi saat jauh dari Jenny. Andai saja saya sempat mengajaknya pasti saya tidak sendiri melakukan perjalanan ini. Tapi, tidak. Saya tidak mau berandai-andai yang menyakitikan Jenny. Pasti, Ia akan dimarahi orang tuanya atau bahkan dipukul karena melarikan diri dari rumah. Satu jam Ia telat pulang. Satu pukulan yang diterima. Apalagi, berjam-jam ? Akh, tidak. Saya tidak mau membayangkan dan menghitung sakitnya Jenny.
Jalanan mulai lenggang dan tenang. Orang memulai bermimpi di rumah masing-masing. Jika begini, sudah tentu. Makin sedikit saingan untuk melakukan sesuatu, terkadang bisa berbuat tanpa ada yang mengawasi dan sesuka hati. Contohnya adik saya. Bila malam, saat saya ke dapur saat berjumpa dengannya, Ia selalu tak terkendali.
“ Hey, kau. Apa yang kau lakukan ? Kau mengganggu acara seruku dengan jalanmu yang berisik !”.
Padahal bila siang. Ia tidak pernah mengeluh saat saya lewat di belakangnya ketika Ia menonton TV.
“ Ti ... tidak. Ti ... dak ada !”.
“ Akh ... sudah hentikan gagu ! Kau malah merusak telingaku !”.
Dia, bangkit. Lemak-lemak dari perutnya bergoyang dan “ Plak ” satu tamparan di pipi kanan saya membuat warna yang tidak saya sukai.
Dari jauh. Dari kelokan gunung-gunung. Dari bawah, saya melihat cahaya yang melaju cepat dan kencang. Itu sebuah mobil yang mirip dengan mobil ayah. Cahaya itu makin dekat sangat dekat hingga saya dapat membaca ; grand cruiser.
“ Hey, Minggir !”.
Saya diam. Tidak cukup waktu untuk menghindar dan menyeret kaki kananku ke pinggir jalan. Dan cahaya itu sangat terang.
Saya membuka mata, mobil itu kini persis tepat di hadapan saya. Tiga orang keluar. Saya kenal wajah mereka. Saya tidak mau pulang. Saya berlari. Entah ini, bisa dikatakan berlari atau tidak karena lari saya sungguh-sungguh sangat lambat dari yang saya bandingkan dengan orang-orang. Keyakinan kuat untuk pergi sejauh mungkin. Tapi, tadi saya sedikit bimbang karena mata teduh ibu benar-benar menarik langkah saya. Mereka terus mengejar. Mereka mencoba menarik bahu saya. “ Brug ” saya terjatuh. Mereka mendapatkan saya. Memegang kuat tangan saya. Saya benci tempat pulang.
Mereka memegang saya namun bagaimana bisa saya terus berlari. Berlari di antara garis putih putus-putus. Terus-terus tinggi. Saya melihat di sana ada rumah-rumah yang transparan. Rumah dengan pemisahnya bukanlah dinding. Melainkan hanya garis putih putus-putus. Ada seorang yang menyambut saya dengan tersenyum. Seorang yang wajahnya datang bersamaan cahaya terang dari mobil tadi. Ia mengulur tangan. Saya menyambutnya.
Saya melihat ke bawah, tubuh saya sedang di tangisi oleh ibu, bapak dan adik. Tunggu ? Tangis ? Bukankah tangisan mengartikan bahwa sedih kehilangan orang yang disayang ? Apa mereka sayang pada saya ? Apa saya dapat kembali lagi ?





























CITA-CITA DALAM KEPINGAN MOZAIKKU

N. S. Satria

           







Ketika malam memadu rindu dengan rembulan yang dikawal erat oleh bintang-gemintang yang perkasa membuat takjub rusuh pucuk-pucuk ranting kering tanpa dedaunan yang menemaninya kala sepi dan senang dan sesekali disentil oleh angin yang lewat seakan mengedipkan matanya, tak bisa berkata apa-apa sang ranting takjub melihat indahnya rembulan di sana. Seakan semuanya senyap. Dalam ruang kamarku yang kecil terlempar mataku keluar jendela memandangi bulan yang malam ini sungguh indah dengan mencuri-curi pandangan dari balik tirai ranting kering.
            Badan yang letih lagi lelah kurebahkan di atas tempat tidur sambil membuang pandangan mata keufuk daun pintu yang tertutup erat. Setelah puas memandang bulan dengan penuh warna senyuman yang menggoda peminatnya dibawah langit gelap yang terpatri awan. Pandangan yang kubuang kedaun pintu hanyalah pandangan kosong yang tak tahu lagi harus kemana tertuju. Dalam pandangan itu yang terpikir dibatinku hanyalah satu jadi apa aku setelah lulus Sekolah ?
            Dalam khayal-khayalku memikirkan ingin menjadi apa setelah lulus Sekolah karena sekarang aku duduk di kelas XII Jurusan IPA 1. Bukan main. Dalam khayal-khayal itu banyak terlintas dibenakku sembari kedua bola mata sudah tak sanggup lagi menahan kantuk yang teramat sangat, tapi karena memikirkan hari esok yang akan dinanti, mata ini seakan tahu mauku. Cita-cita yang terlintas dibenak ini kulempar keluar memantul dinding yang menghadap pas  didepanku yang berbaring di atas tempat tidur.
            “ Aku ingin menjadi pi ...lot ? Pilot. tidak-tidak, jangan pilot. Jangan !”.
            “ Atau aku mau jadi Guru saja seperti Ayahku. Hemm. Mungkin khakh ... confuse, confuse ... !”.
            “ Le ..bih baik, jadi pe ... penu.. lis saja. Ya itu tadi penulis ?”, mataku pun terpejam sudah terbawa melodi mimpi berharap menjadi bunga tidur. Lelap.
***
            Pagi kembali muncul kepermukaan untuk menutup malam sementara waktu dengan bermerkarnya sejuta bunga-bunga di taman hatiku untuk cita-cita yang terangkai belum sempurna, seperti potongan-potongan mozaikku yang harus dikumpul menjadi satu dan menyusunnya. Bertepatan di pagi yang cerah ini adalah hari senin dan bertepatan juga Upacara Bendera dilaksanakan, seperti biasanya di lapangan Sekolahku. Semua siswa berbaris rapi di dengan seragam yang sama. Bagi laki-laki berpakaian muslim kemeja dengan baju putih dan celana biru abu-abu dan mengenakan kopiah, bagi siswa perempuan mengenakan pakaian muslimah yang pakaiannya menutupi lutut hampir kemata kaki. Dalam upacara yang dipimpin oleh Bapak Kepala Sekolah memberikan wejangan-wejangan kepada seluruh siswanya yang hadir untuk terus belajar dan belajar, termasuk juga kami yang sudah duduk di kelas duabelas dan sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir. Aku yang berdiri dibaris nomor tiga mendengarkan dengan hikmat apa yang dikatakan bapak Kepala Sekolah walaupun di sana-sini suara siswa keluar tak menentu seperti jeritan lebah mencari ratunya yang hilang.
            “ Anak-anakku semuanya .... !”, ucap Bapak Kepala Sekolah dengan penuh wibawa.
            “ Sebentar lagi kalian akan mengahadapi ujjian semester ganjil. Tak sampai beberapa minggu lagi kalian akan menghadapi ujian semester. Bagi kelas tiga ....
            “ Dengarkan ... dengarkan saya. Dalam ujian semester ganjil inilah kalian akan menentukan masuk jalur undangan ke Universitas Negeri mana yang kalian mau. Dan juga beberpa bulan lagi ujian Nasional akan kalian hadapi juga. Maka rajin-rajinlah belajar, jangan dulu kalian kelas duabelas ini betingkah. Baik itu pacaran, memakek lem dan lain-lain yang membuat kalian gagal nantinya ... !”.
            Setelah upacara selesai semua siswa bubar termasuk juga aku untuk memasuki ruang kelas. Suasana kelas seperti biasanya, bila Guru belum masuk pasti ribut dan ada saja pekerjaan yang dikerjakan olehku dan teman-teman yang lain. Ada yang menghapal, ada yang menyapu, ada yang berjumpa langsung berpelukan, dan bahkan ada yang mengerjakan PR.
            Wajahku pagi ini sangatlah kusut karena kekuarangan tidur untuk memikirkan inign jadi apa aku nantinya. Dengan mata masih setengah sadar dan setengahnya lagi ingin tidur, walau seperti itu aku tetap tersadar untuk mendengarkan Guru dalam menjelaskan pelajran Kimia. Mata yang letih tak terperikan ini terkadang kucoba untuk memejamkannya tapi hanya sekejab untuk dapat menangkap apa yang diajarkan oleh Guru Kimia.
“ Oke ... anak-anak udah ngerti. Kalau belum ngerti coba tanyak sama ibu. Tanyak nak atau juga boleh berdiskusi pada teman kalian yang pandai. Ayo nak ada yang ingin bertanya ?”, ucap ibu Guru setelah selesai menjelaskan materinya pada kami.
Tapi kami hanya diam seolah sudah menerti, padahal belum mengerti dengan banyak yang dipikirkan dalam imajinasi.
            Membuatku yang duduk disudut termenung memandangi tulisan-tulisan di atas bukuku. Aku memandangi tulisan-tulisan imut itu bukanlah karena ingin mengupasnya supaya aku menjadi pandai pelajaran Kimia, tapi karena aku masih memikirkan cita-cita yang masih berupa mozaik-mozaik kecil belum tersusun. Dalam ketermenungan itu membuatku ingat pertama kali mengapa aku ingin memilih jadi penulis, kenapa tidak jadi yang lain. Kejadian itu terjadi saat aku duduk dikelas sebelas dan Guru Penjas.
            Guru yang mengajarkan pelajaran Penjas itu pernah memberikan sepatah dua patah kata yang masih terngiang-ngian ditelingaku.
            “ Jika kalian sudah terkena cipratan air lebih bagus kalian basah sekalian, yang artinya,  jika kalian menggeluti suatu hobi secara serius, maka seriuslah hobi itu !”.
Ucapnya sambil berjalan perlahan di depan kelas dengan intonasi nada rendah dan tinggi. Membaut kami hanya bisa mengucap oow.
            Ucapan itulah yang menjadikan modal awal untuk gambaran cita-citaku yang akan kusangkutkan di atlar ilmu. Ucapan  yang hidup, penuh makna karena sejak SMP aku senang dengan puisi dan di Sekolahku sekarang, saat kelas sepuluh seorang Guru Bahasa Indonesia.
            Guru ini adalah seorang penulis berbakat, banyak karyanya berupa Puisi dan Cerpen terbit dikoran tersohor dan bahkan sudah terbit bukunya untuk Kumpulan Puisinya yang indah-indah. Sungguh hebat di mataku. Pak Guru itu suka melihat murid-muridnya mempunyai hobi yang sama seperti Dia, selalu diberinya dorongan bagi murid-murid untuk dapat membangkitkan imajinasi tertinggi dalam merangkai kata-kata Puisi. Bahkan pada saat itu, ketika aku masih bingung dalam menyusun kata untuk dituliskan ke dalam Puisi diberinya saran terbaik agar aku bisa menuliskannya.
            “ Sakti. Kalau menulis Puisi usahakan bermain dengan kata-kata indah. Kalau akhirannya ‘i’ maka larik selanjutnya adalah ‘i’ juga, akan indah dia jadinya kalau dibaca !”.
            Bahkan juga kami diberikannya sebuah saran untuk mengetik Puisi dengan rapi dan menulis biodata lengkap termasuk juga Nama Pena. Setelah itu naskah kami akan dikirim dalam suart kabar mingguan. Bukan main bagusnya.
            Sejak itu aku menggeluti Puisi, dengan banyak kekuranganku dalam menyusunnya menajdi menarik. Dan setelah itu buku-buku banyak yang sudah kubaca dalam ingatanku. Mulai dari novel sampai cerpen. Dan sedikit gambaranku tentang penulis adalah hidup penuh kata-kata yang terbentang di alam dan disusun rapi ke dalam lembaran-lembaran kertas untuk dijilid rapi dengan cover mempesona dan menawan hati, serta dapat tersaji bagi pembaca yang menyenanginya.
            Dan waktu kelas duabelas, tonggak hidupku sedikit terarah untuk mulai hidupnya jiwaku menjadi Penulis, dengan Pak Guru berencana membuat sebuah buku kumpulan Puisi dengan mengajakku dan temanku – temanku unutk melengkapi Puisi dalam buku. Kami bertiga ditugaskan membuat tiga buah Puisi dan kami buat Puisi-puisi itu sesuai harapan yang diinginkan. Dan ketika kuberikan Puisi sesuai dengan permintaan, terjadi keheranan dalam melihat kata-kata yang ada dalam Puisi itu dan mengatakan bahwa Puisi itu sungguh bagus bahkan timbul rasa ketidak percayaan
            Aku masih larut dalam renungan ingin menjadi apa setelah lulus nanti dalam rernungan itu, terjadi sektiar sepuluh hari yang lalu. Kami satu kelas sesumbar dengan cita-cita kami masing-masing dengan tidak mempedulikan pekerjaan orang tua yang rata-rata berpenghasilan minimum. Tapi kami tidak hiraukan itu semuanya kami anggap kami ini bisa menggantungkan potongan mozaik kami di atlar ilmu kami masing-masing. Ada yang ingin menjadi Guru, lantang ia berkata.
            “ Woi ... aku mau menjadi Dosen. Ha .... ha ... ha !”, ucap Unah sambil tertawa-tawa.
            “ Akh. Kau mau jadi Dosen, aku tak kau tannya jadi apa .. Aku jadi Perawat. Hebat, hebat, hebat !”, celoteh Azhari tak mau kalah.
            “ Kecil ... oh Azhari jadi Perawat. Aku lha jadi Dokter Gigi !”, sambung Mudafir ikut heboh.
            “ Baru itu ... aku mau ke Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, jauhkan. Abahhhh !”, tambal Nico sobat karibku dengan menggebu-gebu.
            “ Aku, aku mau jadi Polisi, bhaaaa ... !”.
            “ kau Sakti, mau jadi apa ?”, sambung ketua kelas kami Budi.
Ragu aku ingin menjawab apa. Mulutku hanya terbuka tapi tak satupun keluar kata-kata seakan terkunci rapat. Tapi karena aku ditanya tidak enak juga jika tak dijawab.
            “ Aku ...  ditanya mau jadi apa ... ?”.
            “ Jadi pe ... penulis ... ya !”, jawabku hambar tak menimbulkan kelucuan dan membuat mereka bingung saling berpandangan.
            Kejadian-kejadian itu membuatku terus teringat dan menyadarkan jasadku dalam lamunan karena tanpa disadar bel pelajaran Kimia berakhir dan membuatku tersenyum sendiri seperti orang gila, membuat teman sejawatku Nico terheran melihatku.
            “ Sak ... napa kau. Sadar kau lagikan ?”.
            “ Oii .. !”, jawbku singkat sambil menyunggingkan senyuman padanya.
Dan saat itu juga kukumpulkan potongan mozaik cita-citaku dan terikrar di dalam hati kecilku.
“ Aku ingin menjadi seorang Penulis !”.






TITIK AKHIR KEKAGUMAN
Rabbany Sinamo







Aku masih ingat dengan jelas pagi itu, cerita indahku dalam hidup dan salah satu bagiannya yang tercipta. Ya, indah memang yang kurasa setidaknya itu menurut nalarku. Awalnya dari kediamanku yang tak jauh dari pelataran kebun hijau, aku berjalan pagi bersama teman kecilku yang tak lain adalah adinda buah cinta dari ayah bunda. Kugandeng tangannya sambil bercerita tentang nama-nama yang terlihat dan kuberi makna. Pengharapanku begitu memuncak untuk dinda yang mungil, tentang hidup yang baik dan harus Dia dapatkan kelak saat dewasa.
Pagi,  memberikan sejuk dan indah yang sangat berarti bagiku dan teman kecilku itu. Bagaimana tidak, tetes embun menyapa langkah bersama dan Dia menyegarkan nadi, kicauan burung memberikan dinamika suara yang bercampur aduk dengan riakan air sungai jernih yang tepat berada di belakang rumah keluargaku. Juga berbaur suara sapaan orang yang memberi suasana ramah yang tercipta dengan nyata.
Seorang kakek yang sudah menunjukkan lebatnya uban di kepala,  Dia adalah kakek kami. Dia bertaya dengan jelas kepada kami.
“ Cucuku mau kemana ?”.
Sejenak adik kecilku menjawab.
“ Aku dan kakak sedang menikmati indah pagi ini kek, jalan-jalan.  Kakak mengajariku tentang nama dan maknanya, aku senang kek !”.
Aku tersipu kagum dengan lontaran jawaban dari mulut mungil teman kecilku. Kesederhanaankatanya menjawab mengandung syarat dengan makna pelangi yang memancarkan warna elok. Aku tidak ingin berkata itu dalam keberhasilanku mengajari makna, tapi yang ingin kukatakan cukup terimakasih pada Tuhan. Engkau dengan keagunganmu memberi anugrah tak terbatas pada teman kecilku. Terimakasihku juga untuk ayah dan bunda yang tanpa lelah memberi makna tak terbatas kepadaku dan teman kecilku. Setelah sedikit saling berlontar kata, kamipun melanjutkan kembali langkah dengan perlahan dan seksama. Kekagumanku semakin memuncak lagi, kala Dia berkata kepada ku.
“ Kakak,  kelak aku besar nanti aku ingin menjadi seorang dokter !”.
Lalu aku bertanya.
“ Kenapa harus jadi dokter ?”.
Dia menjawab dengan kepolosan dan kata sederhana.
“ Kalau Dinda jadi dokter, Dinda akan menyejukkan sakit, Dinda ingin hadirkan kedamaian atas keterbatasan, Dinda ingin tanpa pamrih memberi kebaikan, Dinda ingin selalu hadir untuk cinta !”.
Hatiku sontak berucap.
“ Maha Suci Tuhan yang menghadirkan sosok kecil ini di tangah keluargaku !”, sembari aku mengusap-usap kepala dengan rambutnya yang panjang.
Kutatap matanya dan kulontarkan senyum untuknya, aku berkata dengan kecintaan kepadanya.
“ Wah …, hebat ! kakak, ayah dan ibu pasti bangga dengan keelokan dan perangai sejukmu, Dindaku pasti bisa untuk itu !”.
Dia tersenyum manis dan berkata.
“ Terima kasih kakakku yang baik hati, perpisahan sedetikpun dengan kakak akan begitu menyakitkan bagi adikmu yang imut ini, hehehe ….. !”, sambil tertawa renyah.
Setelah menikmati pagi yang sejuk kami kembali ke rumah. Sesampainya di sana, aku rangkai cerita tentang kami kepada ayah bunda tentang pagi. Terlihat dari raut wajah ayah bunda terpancar rona bahagia dan bangga tampak akan keakraban kakak beradik. Hingga malam menjelang kami sibuk dengan keseharian di rumah. Kami asyik merangkai cerita tentang kehidupan yang pantas, tentang evaluasi historis yang telah berlalu dan banyak hal lain. Keluarga ini memang indah dan keindahannya karena kami pribadi yang suka keindahan itu semua. Ya …, setidaknya itu menurutku melalui nalar sederhana.
Malampun semakin menunjukkan pekat.
“ Adik bobo duluan ya !”, itu katanya tepat pukul 22.13 di malam senin itu.
“ Iya Dindaku !”, kujawab penuh dengan pengharapan.
Pengharapan semoga esok pagi semakin indah disisinya, adikku.
Pukul 23.00 aku hampiri Dia dengan tidurnya yang lelap hingga kupejamkan mata dengan awalan doa pada sang pencipta tepat disampingnya.  Aku tau adikku juga berdoa, karna aku telah membimbing demikian rupa.
“ Kakak ... kakak … kakak !”, kata-kata itu berulang-ulang Dia ucapkan.
Ohh .., ternyata Dia mencoba membangunkanku dari lelap. Yap … aku terbangun sekejap, tepat pada pukul 04.00.
“ Iya kenapa terjaga dari tidurmu dik ?”.
“ Aku bermimpi kak, kakak bersanding dengan ibu Guruku yang baik hati !.” Hahahahaha, ternyata Dia bermimpi aku bersanding dengan Gurunya yang masih gadis dan rupawan wajahnya, sampai bidadari perangainya. Teman kecilku ini memang sering merangkai cerita tentang Gurunya itu kepadaku. mulai dari caranya berdiri, duduk, hingga hal terkecil sekali. Mereka memang cukup akrab. Kuakui aku memang kagum pada ceritanya termasuk pada bidadari yang didalam kisah, tapi engganku selalu pada puncak hingga tak pernah kuutarakan terhadap siapa. Aku tersenyum tersipu membayangkan sosok Guru yang baik hati serta rupawan.
“ Ehem …. Ehem …., kenapa senyum-senyum ?”, seru adikku tiba-tiba.
Aduuh …, malunya aku kedapatan tersenyum tersipu.
“ Ihihihihi …, kepikiran ya sama bu Guruku ?”, celetohnya lagi.
Dan subuh itupun kami sibuk kembali merangkai cerita dan mimpi, topiknya terfokus pada sang ibu Guru. Adikku mengakui kalau Dia sering menceritakan tentang sosokku. Eh …, ternyata sang bidadari juga merasakan hal yang sama, itu pengakuan adikku dan aku percaya sepenuhnya. Ohh,, ternyata selama ini adikku dan segenap upaya bersatu untuk mempersandingkanku dengan Gurunya. Gayung bersambut sudah, adikku dengan cara sederhanya membuat sang guru sama rasa. Semakin aku kagum saja dengan teman kecilku ini, seolah Dia tau tentangku semua. Hingga pada akhirnya aku dan sang gadis bidadari jiwaku duduk bersama atas cara sederhananya juga. Tapi, aduhh …, aku tak sanggup berkata-kata, bibirku beku meski aku sang perangkai makna yang tak pernah kehabisan kosa kata, apalagi beretorika cinta. Itu kan kegemaran dalam kemahiranku. Oooww, aku tersadar bahwa ini yang namanya cinta, saat peran hati menjadi lebih dominan maka terpatahkanlah logika. Jadinya buta dalam berkata, nan seolah tenggelam resonansi  tuk bersimponi  hingga buta dalam berbuat, buta sepenuhnya bersebab cinta. Aku memang tidak percaya dengan kata.
“ Cinta itu buta !”, hanya saja cinta memang sering kali mematahkan logika, dan itu yang kualami sesungguhnya. Singkat cerita selanjutnya aku dan hari-hari bersama berdua.
Hari banyak terisi oleh sang bidadari tercinta dan teman kecilku, hingga pada akhirnya aku dan bidadariku bersanding di pelaminan. Ya, tepat pada tanggal lahir sang bu Guru itulah hari pernikahan dua insan hati, tahun lalu.
Kisah pernikahan itu kisah indah berangkai kisah terperihku. Betapa tidak, tepat dihari pernikahanku dengan sang ibu Guru, Dindaku yang imut meniggalkan dunia fana ini, ternyata kata pisah yang Dia pernah lontarkan, Dia pula yang menyematkannya, berakhir sudah kebersamaanku dengannya. Hari itu memang yang sangat tersulit bagiku, saat aku bahagia dengan sandinganku, luka tak terterjemahkan menyapaku akibat dari sebab perginya teman kecilku dan tetes air mata tak terbendung lagi. Eloknya kata menghiasi rupa-rupa waktu kebersamaan. Ini penggalan kisah hidupku. aku sadar bahwa cinta, bahagia, perih, air mata atau apapun itu disediakan Tuhan untuk kulewati bukan untuk kuhindari.
Akhir kisahku dengan teman kecilku semakin membuat hatiku kagum. Sebab iringan kata dalam hidup menuai sahaja di jiwa. Seiring berjalan waktu, kusebut ini satu titik akhir kekagumank, di mana Dia tinggalkan untukku kebahagiaan bersanding dengan bidadari, seolah Dia tahu hidupnya akan singkat dan Dia tinggalkan kenangan untukku. mungkin juga sebagai pengganti teman menjalani hidupku dengan cerita dan posisi berbeda. Selamat jalan Dinda, untaian terimakasihku untukmu tak berbatas atas apa yang pernah kita lewati, bidadari yang disampingku akan senantiasa menjadikanmu sebagai bunga berantai mahkota laksana penyebab cinta kami bersatu tentu itu dengan ijin Tuhan.
Aku pun tak ingin membendung air mata karena kepergianmu, sebab ini adalah pilihan terindah bagimu. tapi aku juga tak ingin menyesali kepergianmu, sebab kasih sayangku takkan meninggalkan  memori yang pernah terkanvas di genggaman hati kita berdua. Selain terlahir dari genggaman rahim nan sepengaliran ikatan darah yang sama.
























INSIDEN BLOGGOER* dari WONG EDAN**

Ria Ristiana Dewi

           









“ Para Blogger mulai tersengat nafsu untuk lebih banyak bercerita !”. katanya padaku mulai akan menceritakan tentang ayahnya yang sempat pula berperan atas insiden ini.
Saat itu ayah dari kakekku menjabat sebagai ajudan Gubernur. Kata kakek, ayahnya terkenal dengan julukan edan. Menurutnya, julukan itu diterima dengan baik hati oleh ayah kakek. Entah apa karena sang Gubernur yang sering memanggilnya Wong Edan. Julukan ini lantas diteruskan di seluruh kantor dan menyebar entah ke mana-mana. Kata kakek, ayahnya sangat senang, sebab julukan ini dianggapnya julukan kasih sayang sang Gubernur.  Pasalnya, Wong Edan suka melakukan hal edan terkait masalah-masalah yang sering meletupkan popularitas sang Gubernur.
            Awalnya, Edan suka sekali dengan kegiatan terbaru yang pada tahun itu sedang hangat-hangatnya yaitu membuat blog. Di dalam blog tersedia berbagai macam desain dan berbagai cara menarik untuk sekadar menampilkan tulisan-tulisan kelahiran Edan. Awalnya hanya coba-coba, lama-lama ketagihan. Tulisan pertama Edan hari itu adalah mengenai sang Gubernur. Hari ini Gubernur turun ke jalan, menyambangi anak jalanan. Gubernur menyalami mereka satu persatu dan berjanji akan menyekolahkan mereka, agar tidak lagi berada di jalanan dengan masa depan yang terbuang.
            Komentar pertama yang kemudian menjadi perbincangan tak kalah membuat heboh. Wong Edan, benar-benar Edan, tadi aku turun ke jalan, lah wong pak Gubernur sekadar salam terus mangkat. Setelah komentar itu, langsung ditanggapi dengan beberapa kebenaran, Ya … Ya … itu memang benar. Buktinya tadi saya dikasi uang dengan pak Gubernur. Masih dalam topik yang sama dengan orang yang berbeda, kapan diberi, wah saya kok tak dapa t? Sementara Edan belum membalas komentar-komentar ini, masih berlanjut komentar-komentar lainnya, Ini Gubernur mana ? Kok baik sekali Gubernurnya, apa sudah lupa kursi mewah, atau baru tersadar tentang nasib anak jalanan, atau hanya ajang senyum sama dapat suara. He … he … he ….
            Setelah beberapa komentar di atas, Edan hanya menambahkan sedikit selintikan, pasti pak Gubernur merasa senang dengan kritikan ini, dan ini menjadi aura positif untuk perbaikan kinerja Gubernur di masa yang akan datang.  
            Tak ada komentar lagi, ternyata semua terasa aneh bila membaca balasan komentar Edan yang tak mencerminkan Wong Edan. Padahal dengan jelas Edan menamakan blognya :
WONG EDAN
DEMI SANG GUBERNUR

            Kali ini, di hari lain yang berjalan, Edan membuat kembali tulisan yang tak kalah heboh dari kemarin. Sementara baru saja Dia melepas lelah, setelah seharian menemani Gubernur keliling Provinsi. Pak Gubernur diharuskan memasang senyum setiap perjalanan. Tentu saja ini membuat rahang di sepanjang pipi pak Gubernur merekah sepanjang jalan. Tak ayal kalau akhirnya saraf-saraf di rahangnya menyerang kepala dan memaksanya menyuruh Edan untuk memijit kepala pak Gubernur.
            “ Dan … Dan … agak-agak pijitkan leher, Dan !”, perintah pak Gubernur masih mencoba memeram mata seraya menikmati pijitan Edan yang benar-benar ahli.
            “ Di mana lagi yang sakit Pak Gubernur ? Apa kaki Pak Gubernur juga sakit ?”.
            “ Ya, ya, bolehlah coba Kau pijitkan !”.
            “ Apa sudah lebih baik, Pak Gubernur ?”.
            “ Inilah sebabnya aku memilihmu sebagai asisten pribadiku, salah satunya karena Kau pandai memijit. Ha … ha … ha … !”, bahak pak Gubernur menggema di ruangan.
Beberapa pengawal di luar bergidik ikut tersenyum walau hanya sekuntum.
            10 Oktober 2000, pak Gubernur kita yang baik hati harus mengorbankan rahangnya yang pegal-pegal demi tersenyum untuk rakyat. Pak Gubernur katakan bahwa senyum ini akan membuat rakyat merasa nyaman padanya dan pak Gubernur akan selalu optimis dan tersenyum.
            Kalimat itu lagi-lagi mengundang banyak komentar dan kali ini lebih heboh dan lebih menarik minat orang-orang untuk sekadar bergosip di dalam blog Wong Edan. Bahkan Wong Edan menambahkan sebuah foto Gubernur yang sedang tersenyum di hadapan para warga miskin sekitar desa-desa pendalaman sepanjang Provinsi.
            Kasian pak Gubenur kita tercinta, pasti beliau kelelahan. Kali ini komentar pertama tak terlalu memberatkan biarpun tak berpengaruh banyak pada komentar-komentar selanjutnya di dalan blog tersebut. Beberapa orang menambahkan emotion hingga membuat semua aspirasi terasa lebih nyata dan jujur. Seorang pemimpin tak boleh mengeluh, pemimpin yang manja seperti ini akan menjadi contoh yang buruk bagi rakyat. Tentu saja lebih banyak orang yang setuju atas hal ini. Barangkali mereka yang kecewa akan gaji yang kian mentok tak serupa dengan tingkah senyum sang Gubernur, tentu tak membawa pengaruh apa-apa.
            Senyum-senyum saja gampang, tapi tolong nasib pekerja honoran diperhatikan, Pak ! Saya harus menghidupi istri dan anak. Saya berharap Bapak perduli.
            Suasana makin panas, Edan yang mengetahui itu membiarkan saja semua berjalan, komentar itu akan menjadi bumbu-bumbu yang nantinya mengelu-elu riwayat sang Gubernur. Bahkan komentar terakhir berulang kali dibuat beberapa orang dan menjadi Hot News setiap kalinya di kalangan para blogger.
            Pak Gubernur tolong proyek rumah untuk warga miskin dipercepat sebab semakin banyak warga miskin yang tak percaya. Mereka menganggap pemerintah hanya janji omong kosong. Pemerintah hanya akan memperoleh keuntungan dari dana proyek, namun nasib rakyat diselesaikan setengah hati.
            Senyum Gubernur tak sesuai dengan nasib rakyat, bagaimana bisa Gubernur bisa tersenyum sementara rakyat menderita.
            Yang lainnya masih terus menyambung pembicaraan. Kali ini Edan yang tengah menyaksikan semakin bertambahnya komentar-komentar tersebut, Meneguk air putih yang tersedia di atas meja kantor. Dia tersenyum sendirian sebelum akhirnya pak Gubernur datang dari dalam kantor pribadinya dan melihat Edan yang masih menikmati perbincangan para blogger.  Pak Gubernur tak seperti biasanya, Dia justru tampak mencermati keasyikan Edan dan perlahan mendekat dari arah samping Edan, namun Edan masih belum menyadari.
            “ Wong Edan !”.
            “ Ah … ya, pak Gubernur ?”, Edan kemudian menyadari dan tampak di wajahnya terkejut bukan main. Dibiarkannya saja laptop masih terbuka dan perlahan pak Gubernur mendekat, menatap lebih jelas blog buatan Edan.
            “ Ini apa, Dan ?”.
            “ Ini … ini… !”, tergagap Edan menjawab pertanyaan pak Gubernur seperti ada duri ikan tertinggal di kerongkongannya.
            “ Minum dulu Dan, minum !”.
            Perintah pak Gubernur yang satu itu justru membuat Edan membulatkan mulutnya, menatap pak Gubernur dengan rajutan tanya di wajah. Lengkap sudah tulang ikan tertelan lebih dalam, Dia masih meneguk kejut yang menjadi-jadi dalam kurun itu.
            “ Edan ! Apa Kau buat itu, aku melihat banyak tulisan tentang Gubernur. Aku itu Dan ?”.
            “ I …, i … ya Pak ! Siapa lagi !”.
            “ Berarti terkenal kali aku ya, Dan !”.
Senyum berbunga-bunga beriring dengan perkataan pak Gubernur. Edan masih tampakkan mulut bulat di sampingya, dan tak lama Dia mulai bersemangat. Langsung diarahkannya pak Gubernur untuk melihat-lihat blog tersebut. Sepanjang pengamatan itu pak Gubernur terkadang menggeleng-geleng, tak percaya dengan beberapa pendapat yang mungkin Dia berpendapat.
“ Tak dibayar kok mau obral kepercayaan, lah yang begini ini yang tulus membela saya !”.
            “ Bagaimana bisa ini Dan ? Kok Kamu tak bilang saya ?”.
            “ Ah … pak Gubernuuurrr … !”, Edan lagi-lagi menampakkan wajah malu-malu kucing, disambarnya tak sengaja tangan pak Gubernur dan meletakkannya di kening.
            “ Saya akan setia pada Bapak, percayalah Pak !”.
            “ Wong Edan ! Aku tanya dari mana Kau dapatkan ide membuat blog ini ?”.
            Edan langsung tersadar, dilepasnya tangan pak Gubernur seperti membuang ranting patah, dan Dia mulai berlagak serius memperhatikan laptop. Berputarlah Dia mendekat ke arah layar dan dibiarkannya pak Gubernur memperhatikan pekerjaannya.
            “ Lihat Pak ! Di sini saya buat blog khusus dari saya kepada Bapak !”, katanya kali ini sambil melayang pandang dengan mimik sungguh tajam. Dia mengkotak-katik blog dan menampakkan seluruh isi. Sementara Pak Gubernur tampaknya menikmati adegan demi adegan tulisan beserta para komentar yang tak lain dari para penggemar blogger. Mereka inilah yang mengisi banyak kolom lebar di jejaring internet. Di jaman global yang baru dalam wajah pagi hari, seperti wajah awal sinar menampakkan perkasanya, seperti sebuah tunas yang mekar di antara musim semi yang terlampau menemani, kini jaman telah menguak pada tetas permukaannya. Petasan jaman bersiar di langit milenium. Insiden bukan lagi soal lapangan, tapi insiden dapat terjadi dalam dunia ‘maya’ sekalipun. Edan masih terus tersenyum sementara pak Gubernur sudah manggut-manggut.Wajahnya merona seperti anak kecil yang baru saja diberi permen. Tampaknya hari ini Edan berhasil tidak hanya di dunia ‘maya’. Awalnya Dia diharuskan menguasai masalah seluk-beluk teknologi ini, walaupun konon dahulu di Sekolah Menengah sekalipun Edan bahkan tak mencicipinya. Syukurlah bangku kuliah hukum mengharuskannya menguasai ini walau sekilas lampau, barang bukti dunia jejaring internet bukan lagi barang baru. Harga internet memang masih terlampau mahal dan mampu membayar hanyalah kalangan elite dengan segudang prestise. Ahoi, bukankah buah ini menjadi seluk bagaimana penegak hukum mencari sasarannya, Di Amerika, konon dari salah satu buku yang sering dibaca Edan akhir-akhir ini. Kenyataan Amerika butuh banyak orang menguasai internet untuk melancarkan tindak tanduk menguasai situasi lapangan musuh bukanlah sebuah barang baru. Edan terperangah membaca artikel itu, Edan mangguk-mangguk seakan ingin mengerti walaupun Dia masih belum sepenuhnya.
            “ Apa yang kau pikirkan membuat blog Edan ini ?”, tanya pak Gubernur merasa lebih banyak tertarik. Sambil senyum-senyum Edan memaparkan bahwa: pak Gubernur butuh ruang dan Dia ingin menciptakan ruang dekat antara Gubernur dengan masyarakat.  
            “ Lalu kenapa tak kau beritahukan padaku ?”.
            “ Saya hanya ingin membuat kejutan, Pak ! Saya ingin membuktikan keberhasilan ini. Saya pernah membaca artikel bagaimana popularitas seorang Gubernur di Amerika Serikat meningkat sejak membangun emosi dekat dari jejaring sosial. Terjadi kejujuran di sana Pak !”, kata Edan dengan menggebu-gebu, membarakan semangat yang luar biasa.
Wajahnya datar namun tetap tajam dan perlahan beberapa senyum namun tetap sopan dilayangkannya pada Pak Gubernur.
            “ Dan … Dan … benar-benar Edan ! Oke !”, kata pak Gubernur seraya memberi jempol lalu kembali mengatakan.
“ Lanjutkan !”.
            Edan mulai menanam bunga dalam bilik hatinya, mengalirkan sungai dalam jantungnya, menerbitkan matahari di pikirannya. Dia pun bergerak, Dia pun melanjutkan.
            Pak Gubernur yang baik hati benar-benar baik hati, lanjutnya singkat dalam blog tersebut. Namun dilanjutkan dengan komentar yang justru panjang lebar.
            Wong Edan, sampai segitunya membela pak Gubernur.
            Baik hati sekali kalau kita melihat masih banyak hak-hak orang miskin dirampas. Beberapa orang masuk ke kantor Gubernur, namun diusir. Apa dikiranya mereka itu mau mengemis. Apa itu gubernur yang baik hati ?
            Saya mau melapor, kawan-kawan, mengapa ada banyak sekali pejabat yang main suap untuk melindunginya dari jerat hukum. Sebaiknya pemerintah segera membentuk komisi pemberantas korupsi. Bagaimana menurut kawan-kawan ?
            Wah … kalau memang seperti itu, maka akan banyak sekali pejabat yang tertangkap. Tapi, saya kira ide saudara sangat bagus.
            Edan benar-benar bingung dengan percakapan itu. Dia hanya mampu mematung membaca semua komentar gila yang menurutnya kali ini benar-benar gila. Wah … kalau sampai terbentuk komisi pemberantas korupsi, Dia pun tak luput dari semua itu. Pikirannya mulai tak karuan, awan hitam menjulang, segalanya menjadi runyam. Tapi, Edan tetap tenang.
            Hingga esok ayam berkumandang, fajar meneriakkan jalan, Edan langsung beranjak. Hari ini Dia harus menemani pak Gubernur untuk pertemuan rapat besar dengan para staf kantor. Edan tampaknya bingung, ini tak seperti biasanya. Dia buru-buru berpakaian akibat kesiangan, alhasil seraya mendampingi pak Gubernur, spontan para pengawal membisikkan sesuatu di samping Edan.
“ Pak, bajunya terbalik !”.
            Ahoi … Edan langsung berlari kencang ke belakang. Pak Gubernur yang saat itu memerlukan Edan melongok ke kanan dan ke kiri. Dalam hatinya, di mana Edan yang biasanya bertengger di samping kiri atau samping kanannya.
            “ Dan .. Dan.. O, Dan … !”.
            “ Maap pak Gubernur !”, dengan lagak sedikit terpeleset Edan langsung tancap ke samping pak Gubernur.
Walaupun napasnya masih kencang, namun usahanya untuk bersikap tenang juga tak kalah membentang.
            “ Mana dokumennya ?”.
            “ Dok … doku .. men ?”.
            “ Ya, untuk rapat hari ini !”.
            “ Ah … !”.
            Tiba-tiba salah seorang pengawal mulai mengerti, Dia mendekati Edan dan memberikan sebuah dokumen penting dalam satu buah map.
            “ Ini pak Edan, tadi tertinggal di kamar mandi !”.
            Edan langsung meredakan napasnya lebih dalam. Air putih seakan baru diteguknya, walaupun jarak gelas masih satu meter di atas meja. Dia memejam sebentar, masih belum percaya kecerobohan hari ini.
            “ Saudara-saudara, sebelum bubar, saya seraya Gubernur akan mengumumkan satu hal !”, pak Gubernur langsung berkumandang.
Tanpa aba-aba, Edan spontan berjulang dada. Sejak kapan pak Gubernur mengatakan padanya akan mengumumkan sesuatu hal penting di luar kepentingan rapat padanya yang tak lain ajudan Gubernur.
            “ Ya kan, Dan ?”, bisik pak Gubernur kepada Edan di sampingnya.
            “ Iy …  iya, Pak !”.
            “ Ya. Saya mau mengatakan pada saudara-saudara bahwa sekarang ini penting bagi para staf membuat satu buah blog yang membicarakan masalah Gubernur !”.
            Suasana ruang rapat langsung ribut, beberapa staf merasa ada hujan di siang bolong. Mereka tak hentinya menceritakannya dengan nada rendah ke kanan dan ke kiri. Beberapa agaknya tersenyum, dan lainnya membulatkan mulut, sebagian pula tertunduk sambil menggeleng-geleng.
            “ Ada yang salah ?”, tanya pak Gubernur menatap satu persatu wajah staf.
            “ Tidak pak Gubernur !”, jawab mereka serentak di sambut senyum pak Gubernur yang kemudian mengembang.
Sementara Edan masih tampak tegang sekaligus melayang. Apa yang akan terjadi apabila akhirnya semua orang tahu kalau di luar sana banyak yang mau menjatuhkan pak Gubernur ?
***
            Edan sudah tampak menyegarkan wajahnya di depan  laptop, sementara pak Gubernur akan beristirahat menunggu hari esok. Jika sesuai rencana, besok pak Gubernur akan menghadap Presiden untuk rapat seluruh Gubernur di Istana Presiden. Kali ini Edan kembali membuat status penting terkait esok hari.
            Setelah pak Gubernur hari ini menentramkan para staf di kantor Gubernur, besok pak Gubernur akan melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan perkembangan Provinsi di hadapan pak Presiden.
            Komentar hari ini seperti biasa, beberapa kritikan pedas yang semakin lama semakin pedas dan Edan semakin lama semakin bingung harus berkata apa.
            Saya sudah bosan dengan tingkah pak Gubernur, saya akan mengadu di website pak Presiden kalau pak Gubernur Provinsi ini semakin lama semakin malas mengurus rakyat. Banyak nasib desa yang tak jelas pendanaannya. Perangkat yang belum disetujui oleh pemerintah Provinsi terkesan lamban. Apa sengaja hanya untuk mengisi waktu jabatan. Dan setelah kekuasaan lengser, pak Gubernur akan angkat tangan dan tak mengaku keburukan di masa pemerintahannya.
            Edan yang tak ingin pikirannya terbebani, menutup blog itu dan mulai gerah dengan komentar-komentar panas. Dia memilih tidur agar besok tidak lagi ceroboh mendampingi pak Gubernur.
***
            Edan puas. Malamnya pulas, akhirnya Dia siap menemani pak Gubernur menghadap pak Presiden hari ini. Senyumnya dan senyum pak Gubernur merekah dengan memelas. Sepanjang itu, Edan sudah menyiapkan minuman yang sering dipesan pak Gubernur. Dia terpaksa ke belakang dan memesan minuman tersebut.
            “ Untuk Gubernur Provinsi B, tolong buatkan satu cappucino !”, katanya berbisik ke pelayan dapur dan mereka hanya menggeleng-geleng. Permintaan ini sudah biasa diterima, banyak sekali Gubernur yang tak mau terlibat masalah sepele ini.
            “ Eh, tunggu. Ini saya bawa sendiri capuccino untuk Gubernur saya !”, kata Edan yang mengelurkan bungkusan kopi itu dengan cepat karena Dia tahu pak Gubernur sudah gelisah dan Dia tak dapat lagi dengan jelas menatap sang pelayan, langsung diletakannya cepat-cepat di atas meja. Tapi, Dia meletakkan sebungkus yang jarang dikenali dan ini membuat pelayang bingung.
            “ Tut … tunggu !”, tapi terlambat. Pelayan itu bingung, namun Dia terpaksa melanjutkan pekerjaannya.
            Di ruang rapat, tampak pak Presiden mulai memasuki ruangan. Seluruh Gubernur berdiri. Dan setelah pak Presiden duduk, seluruh Gubernur duduk kembali. Tanpa banyak komentar, rapat hari itu dimulai, sementara jajaran pers telah menunggu di balik pintu. Biasanya mereka akan masuk dalam waktu yang tepat dan dizinkan pihak Istana. Rapat hampir selesai, dan pak Presiden memerintahkan salah seorang membukakan pintu dan bersiap untuk diliput oleh media massa.
            “ Pak Gubernur … pak Gubernur … bangun, Pak !”.
            Presiden mulai menyadari, Dia melihat ke arah Gubernur yang tertidur itu. Namun, pak Presiden dengan wajah yang penuh kecewa kemudian memerintahkan pengawal agar menegurnya. Sementara Edan masih saja bingung. Dia melongok ke dalam kantung celana. Dua bungkus tadi, ada cappuccino dan satu lagi obat agar tertidur nyenyak, obatnya tadi malam yang sulit tidur akibat insiden blog. Dia pasti salah memberikan bungkusan itu.
Alahai ….
            Seluruh kamera tak menyianyiakan kesempatan itu. Mereka langsung mengambil moment berharga. Klak klik klak klik klak klik.
***
            Berita panas versi cetak dan versi online. Gubernur B tertangkap kamera sedang tidur di ruangan Istana. Bahkan begitu pulas dan saat dibangunkan beliau terlihat terkejut bukan main.
            Berita ini menjadi hot news. Blog Wong Edan pun penuh dengan komentar edan. Semua benar-benar menjadi insiden besar di kalangan blogger bertahun-tahun kemudian.
            “ Pak … Pak … jangan nangis Pak Gubernur …!”.
            “ Hua .. hua … hua … dasar Wong Edan !”.
***
Insiden itu terjadi sekitar 100 ratus tahun yang lalu. Kakekku yang menceritakannya. Hari itu milyaran manusia di muka bumi masih terlalu akrab dengan pekerjaan manual, walaupun sebagian telah mendigital.  Tepatnya pada tahun 2000. Revolusi  terserak, puing-puing orde baru berguguran, mimpi untuk suatu masa tentang teknologi perlahan menjadi nyata. Kini, tahun 2100 insiden itu menjadi perbincangan bersejarah di kalangan manusia yang sudah kental dengan media online. Namun, perihal pejabat tidur tentu tidak lagi ditemukan sebab semua menjadi serba hati-hati dengan banyaknya jeratan teknologi.

Sekantung Catatan:
·         Blogger: Pengguna blog
  • Wong Edan: Orang Gila

Kisah ini hanyalah penggambaran kisah blog di kalangan elit pada zaman awal masuknya teknologi internet lalu diceritakan secara ringan oleh penulis.









OPUNG

Rian Harahap









Sedari kemarin hujan masih menetes di kaki gunung. Riuh-riuh pinus membelah kesunyian hutan tanpa memikirkan waktu. Adakalanya pula mereka bergurau dengan deras dan menganak sungai pulalah hingga ke langit. Barangkali ini sudah kodratnya sehingga tak perlu lagi dipertanyakan. Semua masih seperti biasa dibalut dengan kelaziman hujan. Aku teringat akan masa lalu. Dengan suara-suara dari radio tua di rumah. Persis seperti ini. Sangat persis, mulai dari hujan yang datang dengan bahana lalu semarak sayup suara-suara bahasa batak yang diproduksi radio tua. Belum lagi dengan kehangatan yang hadir di pondok itu. Ditemani secangkir teh untuk diserup pas lewat obrolan seorang tua kepada muda.
Tarutung masih saja seperti yang lalu. Dingin, ramah dan hijau. Inilah surga yang terpendam, belum lagi jika terus lagi dan berjumpa dengan Laguboti. Entahlah, surga apalagi yang bisa disebutkan untuknya. Bau kacang Sihobuk menebas selera makan yang menimpa seharian setelah bekerja. Sebagai anak laki-laki yang memang asli berdarah keturunan batak, sudah semestinya aku bekerja keras. Tanpa pernah berpikir kapan aku harus Sekolah dan memakai seragam. Sebab aku pun tak pernah melihat orang-orang berseragam di kampungku. Aku hanya pernah dapat ceria kalau saja Sekolah itu memakai seragam. Lagipula bagi kami seragam pun sudah ada melekat tepat pukul delapan pagi. Seusai sarapan indahan bocah-bocah kecil itu berlarian ke dapur. Tepat di ujung dapur terselip cangkul yang sengaja disembunyikan. Belum lagi matanya mencari tempat di mana parang yang akan disarungkan ke pinggang. Mereka selalu ricuh dengan langkah yang sama pula beralun dengan hentakan-hentakan kaki di lantai tanah.
Beberapa kali mereka kehilangan perkakasnya. Tempat di mana kemaren Ia menyembunyikan dengan sangat sembunyi. Agar tak ada tetangga yang meminjam. Sebab belakangan banyak sekali parang atau cangkul yang hilang dari rumah tetangga. Modusnya sangatlah sopan dengan meminjam perkakas tersebut karena kepunyaannya sedang rusak atau terlalu sembunyi hingga tak nampak di rumah. Tentu saja sebagai orang sekampung dan memiliki latar belakang yang sangat dekat; peminjaman itu sah-sah saja. Dengan catatan yang harus digaris bawahi bahwa perkakas itu dikembalikan. Tak penting tepat waktunya yang penting dikembalikan pada yang punya. Entahlah, mungkin karena kebaikan yang disia-siakan dulu tak berguna kini aku sedikit lebih pelit. Opung yang mengajari, Ia tak pernah ingin pelit sedari dulu. Dan ketika persoalan itu membumi maka dengan seketika Opung sigap dengan balasannya.
Opung seorang tua yang baik. Tiada lagi mungkin engkau mendapati seorang tua yang rela menjadi muda untuk menunggui besar cucunya. Ia tak malu jika kerentaan itu masih mampu membawa cucunya mendaftar di Sekolah. Perlu waktu dua jam untuk pergi ke seberang. Dompetnya pun mungkin sudah tak terisi lagi saat itu. Tapi itulah Opung, Ia selalu membawaku ke Sekolah dengan harapan aku akan menjadi dokter. Cita-cita klise yang diidamkan oleh seorang bocah. Aku tak pernah menginginkan profesi itu, namun saja Opung yang lebih berminat. Aku tak ingin mengecewakan Opung. Perjalanan keuangannya yang menanggungku semakin membabi buta setelah Ayah dan Inang pergi ke surga. Mereka dipanggil dengan keesaan oleh Tuhan dalam sebuah kebakaran. Tak ada yang bersisa dari peristiwa naas itu. Hanya pasir-pasir serta arang dan bau hangus tubuh manusia. Semenjak itu aku kehilangan jiwa-jiwa yang bertahta di Istana. Harapan hidup semakin memburuk. Hidup bukanlah seperti angan-angan yang diciptakan dengan kegembiraan. Tawa orang tua dengan dekapan hangat lalu mencium anaknya dengan keseriusan kasih sayang.
Senjakala berwarna jingga. Hutan menggerutu dengan tanah. Sebab hara tak lagi ingin bercinta dengan violet. Aku memang ragu dengan hidupku masa itu. Bertahan pada saat seperti itu hanya menambah urat-urat di kepala dan mati perlahan di pembaringan. Aku sangat tidak bernyawa. Bisa dibayangkan kecintaan yang biasa diuntai dalam aroma kesturi menyingsing fajar di selasar rumah. Lalu inang seperti biasa memanggil dan memandikan bocah satu-satunya yang dimiliki. Bocah berumur delapan tahun, memiliki mata yang cokelat, kulit yang melangsat dan rambut ikal seperti kaum mongol di ujung sana. Sepertinya kebahagiaan itu menjadi imaji kala nadi ingin berhenti. Tatkala itu pula aku mengendus sebuah cahaya yang datang dari langit ketujuh. Ia memberi pencerahan dari selip-selip pelangi kegelapan yang lalu. Biasnya tak memedihkan mata tapi memakukan selera kornea.
Opung, lelaki tua. Urat mata sudah mulai tak lagi berbaris dengan sempurna. Menumbuh pula uban-uban yang berseliweran dengan hebatnya. Kehebatannya bukan dari nama yang sangar dalam bahasa Batak. Jika ditilik dalam-dalam, melihat rupawan yang tua. Maaf, Ia bukan lagi tua namun sudah renta. Aku menitikkan air mata. Jantungku berdegap melihatnya kala mengantarku ke kampung sebelah untuk Sekolah. Tubuhnya yang semakin layu masih mampu memegangiku, kurang kuat apalagi Ia sebagai orang tua. Kehadirannya menjadi sebuah dahaga dalam sahara. Ketika ayah dan inang sudah membekam di pusara, Opung datang pula dari surga. Aku dipelihara. Setiap pagi dimandikan dengan tangannya yang mulai bersisik, suaranya yang parau, mata yang merabun. Ia kadang lupa.
“ Angkat tangan kanannya biar disabun, coba-coba Tondi !”.
“ Ia Opung !”.
“ Bukan yang kiri, kanan, kanan !”.
Aku sangat jelas menaikkan tangan kanan, bukan kiri. Apa Guru yang mengajariku di kampung sebelah salah dalam mengajarkan muridnya. Guru seperti apa Dia hingga salah mengajarkan muridnya untuk membedakan mana kanan dan kiri. Opung tak mungkin salah dalam hal ini. Opung bukanlah manusia yang dimakan kepikunan. Sebagai seorang Veteran perang, Ia selalu bangga dengan buku-buku yang tertata di lemari usangnya. Hampir tiga ratusan judul buku yang Ia punya. Judulnya pun bermacam-macam diawali dari buku kesehatan sampai kepada masalah dapur. Itulah alasan yang membuat aku yakin sekali kalau Opung tak akan pikun.
****
Selang waktu mendengus di pelipis telinga. Matahari punya rencana menukar waktu dengan masa depan. Inilah saatnya aku membuat Opung bangga. Kedewasaan mulai menapaki tubuh ini. Gugup aku bertemu Opung. Ingin kulahap semua senyumannya dan merangkum dalam-dalam untuk disimpan di hati. Opung sudah semakin tua. Kiranya doaku dikabulkan Tuhan. Ia panjang umur tanpa pernah sakit parah sedikitpun, paling hanya masuk angin karena terlambat makan. Cangkul sudah berkarat. Parang tergantung namun tumpul, warnanya pun tak jelas. Aku menjelma menjadi seorang pintar di kampung ini. Sekolahku sudah lebih baik dari orang sekampung. Bukan aku mengejek, namun cuma akulah satu-satunya anak yang memiliki pendidikan agak tinggi. Cuma aku yang bisa menamatkan Sekolah Menengah Atas di kampung ini. Pemuda lain masih bisa hanya menamatkan Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama dan itu pun kembali seperti semula, kampung ini didirikan. Kampung yang berbunyi ketika cangkul dan parang sudah membentak bumi. Sawah yang ditanami padi. Kebun-kebun yang penuh dengan cabe, tomat dan jeruk. Barangkali ini pula yang digariskan indah padaku. Kehilangan orang tua di saat kecil membuatku lebih memikirkan apa yang harus kuperbuat di masa depan. Lelaki tua itu adalah malaikat penolongku. Bukan pula aku mengagungkannya lebih dan lebih seperti di salah satu buku dongeng yang Ia bacakan sebelum aku tidur dulu. Nafasnya terengah-engah. Ia tak pernah lagi bertanya aku sudah kelas berapa. Kelulusan ini pun tak diketahuinya. Ia hanya bisa tersenyum lalu membisikkan impiannya agar aku menjadi dokter dan menikahi boru tulang. Dahulu tak ada impian ini. Kata ‘dokter’ yang pernah kudengar namun tak pernah ada kata boru tulang. Mimpi aku dalam beberapa menit. Aku mencubit satu persatu tangan ini. Ia tak bergeming biasa, sakit terasa cubitan ini. Bisikan itu ada dan nyata. Opung ingin aku menebus kebahagiaan di hari tuanya dengan mempersunting boru tulang. Rumahnya tak jauh dari gubuk kami. Tapi bagaimana dengan Maria yang sudah kujanjikan untuk dinikahi ketika aku sudah mendapatkan pekerjaan di kota. Aku mengamuk. Darahku tersirap, jangan mentang-mentang Opung membiayaiku Sekolah dan hidup, jadi bisa berbuat apa saja dan semaunya. Aku juga punya hati yang harus kubagi untuk orang lain. Opung memaksaku. Kini dengan sedikit bentakan.
Boru tulang i tu ho, pahatop leh !”.
Aku marah. Emosiku meluap. Namun aku tak mengucap apa-apa. Kususun baju-baju dalam tas. Aku pun pergi meninggalkan gubuk tua itu. Kujemput Maria lalu hijrah ke kota. Menyusun rencana bulan madu yang akan dipadu oleh cinta. Kami menikah.
Semenjak itu tawa masih terdengar riuh di kepala. Gelagat ingin kembali pulang secepat cahaya menyerang dadaku.  Aku menatap Opung dalam nikmatnya pusara.
Entahlah, antara cita-cita, cinta dan durhaka.

























TAMU

Rina Mahfuzah Nasution

           











Ada seekor kupu-kupu masuk ke dalam ruang tamu rumah kami, kemudian hinggap di atas gordyn jendela. Kupu-kupu itu berwarna coklat, tubuhnya mungil. Tiba-tiba dia bergerak, terbang mengelilingi ruang tamu, hinggap di atas lampu. Mungkin dia tidak merasa nyaman di situ, lalu dia beraksi lagi memperlihatkan kelihaiannya terbang. Kini dia berputar-putar tepat di atas kepala kami.
            “ Ita, mungkin akan datang seorang laki-laki ke rumah ini, untuk melamarmu. Soalnya sedari tadi dia overacting terus di depan kita !”, kata Kak Dina, matanya masih lekat ke arah kupu-kupu itu.
Kini hinggap di atas lemari.
            “ Kakak kayak peramal aja. Kupu-kupu kok diibaratkan laki-laki yang akan melamarku ? Biarkan aja kupu-kupu itu, Kak. Lagian aku juga belum punya pacar !”.
            “ Siapa tahu firasat kakak benar, Ta. Mungkin masalahmu hanya kurang membuka diri. Ingat, umurmu tidak lagi muda, Ta. Kau tidak ingin begini terus kan ?”.
            Aku tidak menjawab, tapi menatap sekilas pada kupu-kupu itu. Tiga puluh enam, usiaku sekarang. Memang bukan usia yang muda lagi. Kalau aku sudah menikah, mungkin saat ini aku sudah punya anak-anak yang lucu dan pintar. Mungkin ada yang sudah Sekolah, tapi ada juga yang masih kecil.
            “ Ya ... mudah-mudahan firasat kakak tidak meleset, aku juga nggak ingin begini terus, Kak !”, jawabku.
Kak Dina menganggukkan kepalanya.
                                                            ***
            “ Siapa perempuan itu ? Rasanya aku pernah melihat wajah Dia sebelumnya, tapi kapan dan di mana ya ?”, pikirku.
Perempuan paruh baya itu duduk di salah satu kursi di ruang tamu dan Kak Dina sepertinya sangat senang menyambut kehadirannya.
“ Ta, kau ingat kupu-kupu yang datang tadi malam ? Ternyata kita kedatangan tamu jauh ya sore ini !”, ujar Kak Dina riang.
            “ Hallo, Ita. Apa kabar ? Baru pulang kerja ? Anakmu sudah berapa ?”, tanya sang tamu memberondongku.
            Aku tidak menjawab, tapi langsung mendekatinya dan menjabat tangannya. Masih juga aku belum mengingat siapa Dia sebenarnya. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaannya tentang anak ? Kenyataannya menikahpun aku belum !
“ Memangnya kau tidak mengenal Dia ?”, tanya Kak Dina.
Kusambut dengan gelengan kepala. Aku memang tidak ingat siapa Dia.
“ Kau sudah sering melihat foto-foto kami, saat kakak berkunjung ke rumahnya di Jakarta !”, lanjut Kak Dina.
Foto-foto Kak Dina di Jakarta ? Tapi aku belum pernah melihat perempuan paruh baya ini di dalam foto.
“ Dia, Mariani. Istri almarhum Letkol Mustafa. Teman akrab kakak waktu di SMA 5 Medan !”, kata Kak Dina menerangkan.
Seketika aku terpana. Tidak percaya kalau perempuan di depanku ternyata Kak Mariani yang pernah satu SMA dengan Kak Dina.
“ O, ya ? Benarkah Dia, Kak Mariani ?”, kagetku dalam hati.
Sebab Kak Mariani yang pernah kulihat dalam foto sangat jauh berbeda dengan perempuan ini.
Yang kulihat saat ini adalah perempuan bertubuh ringkih. Beberapa bintik hitam menghiasi wajahnya. Rambutnya tidak tersisir dengan rapi, sebagian besar tampak acak-acakan. Dia memakai baju atasan warna ungu yang agak pudar dan rok warna kuning kecoklatan. Sungguh, warna yang tidak nyambung.
Berbeda sekali dengan wajah yang pernah kulihat di foto. Dalam foto di Taman Mini Indonesia Indah itu wajahnya cantik. Pipinya putih berisi, dengan sapuan make up tipis. Pakaiannya rapi dengan warna yang cerah. Kala itu, ada sebuah selendang tipis yang menutupi rambutnya.
 “ Oh, iya. Aku ingat. Kakak yang memberikan sebuah guci cantik dan beberapa asbak unik untuk Kak Dina kan ? Guci dan asbak itu benar-benar dijaga oleh Kak Dina. Tapi setelah Kak Dina punya cucu, asbaknya pecah tiga dan tinggal dua buah !”, kataku.
Perempuan itu tertawa. Nampaklah deretan giginya yang sepertinya sudah jarang disikat.
“ Din, dulu kita kan punya teman yang pernah hanyut waktu mandi di sungai. Siapa ya namanya ? Oh, Norma. Untung Dia masih bisa diselamatkan si Butet. Di mana ya Dia sekarang tingga l?”.
Dia dan Kak Dina tertawa mengenang peristiwa itu.
Sepertinya dalam beberapa menit bersamanya, aku membuat kesimpulan kalau berbicara dengannya tidak nyambung. Kita bicara tentang “A”, tapi Dia bicara tentang “U”.  Kulihat Dia juga sering menerawang. Entah melamun atau sedang berfikir.
Pada saat makan malam, kami mengajaknya makan. Dia makan sampai nambah dua kali. Dia bilang, masakan Kak Dina enak sekali. Di rumah, Dia dan ke dua anaknya tak pernah makan seenak ini. Mereka lebih sering makan mie instan dan telur. Mereka sudah lama tidak makan ikan kakap sambal dan gulai daun ubi tumbuk seperti yang dimasak Kak Dina hari ini. Aku ikut prihatin mendengarnya. 
“ Setelah kepergian almarhum suamiku, nyaris aku tidak bisa melakukan apa-apa, Din. Aku mengalami depresi selama beberapa tahun. Pelan tapi pasti semua aset terjual dan kami pindah ke Medan. Aku hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suamiku sekarang. Selain itu aku tak bisa apa-apa. Aku seperti layaknya anak-anak yang tidak bisa diajak berfikir tentang sesuatu !”.
“ Kau tidak boleh berputus asa, Mar. Hadapilah semua ini dengan tegar. Kau harus bersyukur, kau masih diberi dua anak laki-laki yang menyayangimu. Seharusnya merekalah alasanmu untuk terus bertahan !”, jawab Kak Dina.
Perempuan itu tak menyahut. Lagi-lagi Dia menerawang dalam diam.
Kehidupan memang penuh dengan rahasia. Siapa sangka Kak Mariani yang seorang istri Letkol berubah menjadi perempuan yang tak punya semangat hidup. Dulu hidupnya senang. Makan enak, tidur nyenyak, mau pergi ke mana-mana pakai mobil. Mau shopping barang-barang yang disukai tinggal pilih. Di rumah Dia tinggal perintah pada pembantunya. Tapi sejak ditinggal suaminya, hidupnya bagaikan tak berjejak di bumi.
“ Barangkali Dia tidak menyisakan sebuah ruang di hatinya untuk satu keyakinan, bahwa hidup tidak selamanya menyenangkan. Adakalanya cobaan datang tanpa pernah memberikan sebuah tanda !”, bisik hatiku sambil melirik padanya.
“ Kapan ya aku bisa kembali ke Jakarta lagi ? Menjalani kehidupan yang menyenangkan seperti dulu lagi ? Ke Jakarta aku kan kembali ...”.
Tiba-tiba terdengar senandungnya. Aku terpana melihat ke arahnya.
Bagaimana mungkin dia bisa kembali ke Jakarta ? Sedangkan hidupnya sekarang hanya mengandalkan uang pensiunan almarhum suaminya. Apalagi ke dua anak laki-lakinya tidak jelas pekerjaannya.   
 “ Ke Jakarta aku kan kembali … !”.
                                    ***
Seminggu kemudian, Dia datang lagi ke rumah. Kini, membawa sebuah bungkusan. Tapi bukan buah tangan untuk Kak Dina. Entah apa.
 “ Apa aku mengganggumu ?”.
            “ Tidak !”.
            “ Tapi baru seminggu yang lalu aku ke rumahmu !”.
            “ Tidak ada masalah bagiku. Lagipula, aku kan yang menyuruhmu sering-sering  ke rumahku ? Masuklah kau !”.
            Dia duduk. Bungkusan yang dibawanya diletakkan di sebelahnya. Hari sudah menjelang senja. Itu berarti Dia akan pulang malam lagi seperti seminggu lalu, tapi Dia tidak merasa khawatir sedikitpun. Dia merapikan rambutnya yang agak susah diatur.
            “ Kau lagi ngapain, Din ? Biar kubantu. Menyapu atau mencuci piring kotor !”, katanya menawarkan diri.
Hanya sebatas omongan, tapi tidak benar-benar ada tindakan.
            “ Nggak usah. Kau kan tamuku !”, jawab Kak Dina.
Ketika aku meletakkan secangkir teh dan  sepiring biskuit di meja, perempuan itu memandangku dengan pandangan yang ramah. Lalu Dia berkata.
“ Makasih ya, Ta. Kakak sudah merepotkan !”.
Alamak, ucapannya barusan mengeluarkan aroma yang kurang sedap dari mulutnya. Cepat-cepat aku beranjak, sambil mengatakan kalau aku dan Kak Dina sama sekali tidak repot dengan kedatangannya.
“ Ini kain songket, telekung, rok dan accessories. Aku tak pernah memakainya lagi, tapi masih bagus. Aku ingin menjualnya, terserah kau mau bayar berapa, Din !”, katanya dengan wajah memelas.
Dia juga menatapku penuh harap.
Seperti Kak Dina, aku juga menolak dengan halus. Aku hampir-hampir tidak pernah memakai kain songket dan rok. Aku lebih sering memakai celana panjang dan kemeja. Sementara telekung dan accessories milikku sudah banyak, aku belum membutuhkannya lagi.
“ Tolonglah, Din. Persediaan beras dan mie instan di rumahku sudah habis. Dari pagi aku ke luar dari rumah, numpang makan di rumah kerabatku, tapi tidak ada yang mau meminjamkan uangnya padaku. Padahal kalau aku sudah ambil pensiun nanti, akan kubayar hutangku !”, katanya.
Mungkin karena tak sampai hati, Kak Dina memberikan sejumlah uangnya pada sahabatnya itu. Kak Mariani menerimanya dengan wajah gembira, sambil mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum pulang, Dia meminta sesuatu lagi dari Kak Dina.
“ Din, kalau boleh aku minta beberapa mangkuk berasmu dan laukmu hari ini untuk makan malam anakku. Kau tidak keberatan kan ?”.
Kak Dina terdiam sebentar, lalu menggeleng. Di rumah ini kami memang hanya tinggal berdua. Ke tiga anak Kak Dina yang sudah menikah tinggal di rumah yang berbeda dengan kami. Tentu tidak menjadi masalah bagi Kak Dina memberikan beras maupun sisa lauknya kepada Kak Mariani. Dia bukan hanya sekedar tamu, tapi sahabat lama yang sudah lama tak bertemu. 
“ Ita, tolong hubungi nomor handphone ini. Kakak mau minta dijemput sama Iwan, anak sulung kakak !”, katanya sambil mengangsurkan secarik kertas padaku.
Aku menerimanya dan setelah hubungan tersambung, kuangsurkan handphoneku padanya.
Iwan datang untuk menjemput ibunya, saat jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sebenarnya aku ingin segera tidur, karena besok akan mengikuti  meeting pagi di kantorku. Tapi Kak Mariani menahanku, dengan alasan ingin mengenalkan aku pada putranya itu. Aku tak bisa mengelak. Perkenalan itupun berlangsung seadanya. Wajar, tapi tidak dengan Kak Mariani.
“ Ita, kalian kan sama-sama belum menikah. Siapa tahu kalian bisa cocok. Kakak udah pengen sekali punya cucu seperti kakakmu !”.
Hampir copot jantungku mendengar ucapannya, tak menyangka Dia punya ide seperti itu terhadapku !
“ Ada-ada saja kakak. Usiaku kan sudah tiga puluh enam !”, jawabku cepat.
 “ Zaman sekarang banyak orang menikah tidak mempermasalahkan soal umur, Ta. Asal sama-sama suka ya sudah !”, balasnya dengan mantap.
“ Jadi si Ita tutur apa sama kau nanti, Mar ? Ibu atau namboru ?”, gelak Kak Dina.
Aku langsung pamit ke belakang, tak ingin lagi memperpanjang pembicaraan itu.
Aku benar-benar heran dengan jalan pikiran Kak Mariani. Sepertinya perilakunya aneh. Apakah penurunan tingkat ekonomi dalam hidupnya telah merubah semuanya ?
                                                ***
Tiga hari kemudian Kak Mariani muncul lagi. Penampilannya makin tak karuan. Wajahnya nampak semakin gelap, pakaiannya minus kerapian. Dia datang di saat langit memantulkan warna senja yang indah. Tapi kabar yang disampaikan, sebaliknya !
 “ Pihak PLN mengeksekusi meteran listrik kami. Rumah kami gelap gulita. Aku tidak punya uang sepeserpun untuk membayarnya. Sudah enam bulan  pensiun suamiku dipotong untuk membayar hutang di Bank. Waktu itu kami mengagunkan surat pensiunnya, untuk modal usaha anakku. Tapi karena anakku tidak mempunyai pengalaman, usaha itu hancur !”.
Apa ? Listrik di rumah Kak Mariani dieksekusi pihak PLN ? Dan surat pensiun suaminya diagunkan ke Bank ?
“ Maaf, Mar. Kali ini aku tidak bisa membantumu. Pada dasarnya kita sama-sama hidup dari pensiunan suami. Suamimu Letkol dan suamiku seorang Guru Sekolah Dasar. Kita sama-sama telah kehilangan orang yang sangat kita kasihi. Tapi aku dapat menyikapinya dengan tegar dan penuh percaya diri. Tidak seperti kau. Hanya terpaku pada masa lalu yang pernah kau rasakan. Hidup terus berjalan, meski tanpa seorang suami. Anak-anakku tumbuh dengan kedewasaan berfikir, sedangkan anak-anakmu biasa dimanja, sehingga sampai sekarang tidak bisa lepas darimu. Padahal mereka anak laki-laki, tidak sepantasnya kau yang memberi makan mereka. Maafkan aku tak bisa membantumu !”, buru-buru Kak Dina beranjak ke kamar.
Aku yakin, Kak Dina terpaksa melakukannya pada sahabatnya ini !
Perempuan itu menangis berurai air mata. Aku tak tega melihat keadaannya. Kuangsurkan sejumlah uang untuknya. Dia menggenggam tanganku. Air matanya jatuh menimpa jariku. Lalu dengan tersendat dDa bilang.
“ Ita, suatu saat kakak akan hidup senang lagi. Kakak akan membalas kebaikanmu dan Dina. Dulu, almarhum suami kakak pernah mengungkapkan kalau Dia menyimpan harta karun di suatu tempat rahasia. Dia belum sempat mengangkatnya dari dasar laut, karena keburu dipanggil Tuhan. Doakan ya suatu hari kakak akan menemukannya, Ita !”.
Apa lagi ini ? Pikirku. Tapi tak sampai kutanyakan padanya, karena Dia keburu pergi. Berhari-hari setelahnya, berminggu-minggu kemudian, bahkan sampai angka tahun berganti, kutunggu kehadirannya untuk bertanya, tapi Dia tak pernah kembali lagi. Tak pernah !
***















KISAH di BALIK JENDELA

Sri Wahyuni








            Enam bulan yang lalu, aku mencoba menolak rumah ini. Rumah yang katanya ayah punya nilai sejarah tersendiri. Ya, hanya itu yang ayah katakan ketika pertama kali kami melihatnya. Sebelum benar-benar membelinya, ayah, kakakku, dan aku memantau terlebih dahulu perihal cocok tidaknya rumah ini. Bagiku tidak ada yang menarik dari rumah ini, selain kesan seram dan suram yang ditimbulkan dua rumah yang mengapitnya di sisi kanan dan kiri. Rumah bergaya Victorian dengan atap teras depan mirip seperti rumah siput ini, memiliki tiga lantai, lantainya didesain dengan sentuhan kayu berwarna kecoklatan dan di dindingnya terdapat ukiran batik, mungkin pemiliknya terdahulu pengusaha batik. Secara keseluruhan masih terlihat kuat dan bagus. Dan ayah amat sangat tertarik, tiga hari pemantauan ayah menjadi pemilik sah rumah yang sudah tiga tahun tidak berpenghuni ini.
            Kenapa sih pilih rumah ini, Yah ? Kayak nggak ada rumah yang lebih bagus aja ?”.
            “ Dari tiga hari yang lalu pertanyaanmu itu aja, Ra, kayak nggak ada pertanyaan lain aja ?”, balas Ayah dengan senyum penuh kesenangan di bibirnya.
            “ Ya bukan begitu, Yah. Di sini tu sunyi, sepi, jauh dari keramaian, nggak ada teman, apalagi teman sebaya …!”.
“ Bukan nggak ada, tapi belum ada !”, Ayah memotong kalimat tak tuntas dariku.
“ Terus, masalah sunyi sepinya gimana ?”.
“ Mungkin, satu atau dua bulan lagi, rumah sebelah sudah berpenghuni !”.
“ Satu atau dua bulan lagi ? Kelamaan, Ayah !”.
“ Terus, mau gimana ? Nggak mungkin dibatalin kan ?”.
Aku hanya mengangkat bahu menyatakan ketidaktahuan.
Yang sedikit bisa membuatku untuk mencoba tinggal di rumah ini adalah jendela. Ya, secara keseluruhan jendelanya berjumlah 36 buah. Bagiku jendela selalu menjadi tempat favorit. Dan berharap di rumah ini juga begitu.
“ Suka dengan kamarnya, Ra ?”.
Pertanyaan ayah tidak langsung kujawab, begitu melihat jendela, kakiku langsung melangkah ke sana. Jarak antara lantai kamar dengan kusen jendela kira-kira 60-70 cm. Kubuka perlahan jendela berdebu itu.
Hufh … Menyengat sekali aromanya, khas seperti rumah tak berpenghuni. Kuedarkan pandangan ke sekeliling kanan, kiri, masih belum ada yang menarik buatku. Yang ada pandanganku terpaku pada jendela bagian samping rumah yang masih belum berpenghuni juga, terlihat sebuah ruangan kosong di seberang sana.
Gimana, Ra ?”, ayah mengulang pertanyaannya.
“ Dindingnya masih bagus ya, Yah. Mmm… Nara, sendirian, Yah, di kamar ini ?”.
Ayah mengangguk mengiyakan.
“ Kak Disti, kamarnya di mana, Yah ?”.
“ Karena kamarnya ada tiga, Kak Disti, pilih kamar yang di lantai dua !”.
Kenapa nggak di lantai tiga aja, Yah, bareng Nara ? Kamar yang satunya, yang di samping kamar Nara, Ayah yang pake ?”.
Lagi-lagi ayah hanya mengngguk.

HHH

Malam menanjak tinggalkan benderang yang siang tadi meraja hari. Tidak terasa enam bulan sudah aku menempati kamar ini. Tanpa sempat singgah sedetik pun di balik jendela. Tugas Sekolah yang menumpuk, memaksaku meninggalkan sejenak kebiasaanku. Kebiasaan yang sebenarnya sungguh kurindukan. Bersantai di balik jendela dengan sebuah buku di tangan, ditemani segelas jus alpukat dan tak ketinggalan keripik singkong buatan Kak Disti.
Tujuh bulan berjalan tugas Sekolah dan ujian selesai, saatnya menikmati kenyamanan di balik jendela. Tumpukan buku fiksi plus keripik buatan tangan Kak Disti telah siap menemani. Pandanganku langsung tertuju ke ruangan kosong di seberang jendela. Aku tidak tahu kenapa tapi, ada yang tak biasa di sana. Apa karena aku baru kali ini melihatnya atau memang begitu keadaannya dari kemarin-kemarin. Entahlah. Sayup-sayup kudengar kebisingan dari ruangan kosong itu.
“ Aku lelah, Mas, dengan hubungan kita. Kita tinggal serumah, punya anak, tapi …!”.
“ Tapi apa ? Bukankah itu sudah cukup ?”.
“ Kita tidak punya buku nikah, Mas ?”.
“ Buat apa ?”.
“ Buat apa katamu ?”.
“ Buku nikah itu penting, Mas. Sebentar lagi Lila Sekolah, Dia butuh akte lahir, dan syarat pembuatan akte harus ada buku nikah kedua orang tuanya !”.
Gimana kita mau punya buku nikah ? Kita kan hanya kawin tidak nikah !”.
“ Hanya kamu bilang, Mas ?”.
“ Lalu mau kamu apa ? Kita menikah ?”.
Si wanita mengangguk mengiyakan.
“ Kalau kita menikah, kita harus menemui orang tuamu, dan kamu sendiri tahu bagaimana respon orang tuamu terhadap aku kan ? Mereka selalu anggap aku ini pengangguran, gak pernah mau berusaha !”.
Sejenak kebisingan itu berhenti. Rasa penasaranku muncul. Kuletakkan buku Cokelat dan Sepotong Dosa karya Pudji Isdriani K, yang menemaniku sedari tadi. Kuturunkan kakiku, kupandangi ruang kosong itu. Tidak ada apa-apa, yang ada masih sepetak ruang hampa tanpa penghuni. Dari mana asal suara tadi ? Tanyaku dalam bingung. Kulanjutkan kegiatanku. Suara-suara itu malah muncul lagi.
“ Mas, sekarang kamu sudah bukan pengangguran lagi, usahamu bahkan sukses. Klienmu banyak. Apa itu belum cukup untuk menambah keberanian dan percaya dirimu di depan orang tuaku ?”.
Aku jadi tidak ingin berhenti, aku ingin mendengarkan perbincangan itu terus.
“ Sebenarnya bukan itu masalahnya, Sayang !”.
“ Lalu apa, Mas ?”.
“ Sebelum kamu meninggalkan rumah, Papamu memberikan ini padaku !”.
“ Apa itu, Mas ?”.
Aku ingin menoleh, melihat apa yang Ia berikan kepada si wanita. Tapi mendadak suara-suara itu hilang lagi saat aku menatap ruangan itu. Agak aneh kurasakan di sini. Tapi aku ingin terus. Terus mendengar apa yang akan terjadi. Dan suara itu muncul lagi saat aku menatap buku di hadapanku.
“ Ini surat, tapi kurasa ini bukan surat, ini lebih ke peringatan yang diberikan Papamu dan baru kubuka seminggu yang lalu !”.
“ Apa isinya, Mas ?”.
“ Baca sendiri !”.
Kurasakan si pria memberikan sesuatu kepada si wanita. Dan aku tidak ingin menoleh, karena ketika itu kulakukan semuanya akan hilang. Kutujukan mataku tetap pada buku yang kubaca tanpa konsentrasi. Dan benar suara itu muncul.
“ JANGAN PERNAH BAWA ANAKKU KEMBALI KE RUMAH KAMI. KARENA SEJAK BERSAMAMU, IA SUDAH TIDAK DIANGGAP SEBAGAI ANGGOTA KELUARGA KUNTJARANINGRAT LAGI !!!”.
“ Sayang … Hey, Sayang, kamu kenapa ? Maaf aku memberitahukanmu soal ini, tapi cepat atau lambat kamu harus tahu. Sayang !!! Bangun, Sayang ... Aku mohon. Kita akan cari cara supaya kita bisa menikah. Aku janji !”.
Kurasakan ada yang jatuh di seberang sana, mungkin si wanita tidak kuat membaca peringatan orang tuanya, dan jatuh pingsan.
“ Nara !!!”.
Panggilan Kak Disti menahan niatku untuk menoleh, dan suara-suara itu menghilang. Sebelum turun kupandangi ruangan itu. Masih seperti semula. Hampa.
“ Ya, Kak !”.
Ngapain sih di atas mulu ?”.
“ Biasa, Kak !”.
Nongkrongi jendela lagi ?”.
 Kubalas dengan senyuman pertanyaan Kak Disti.
“ Apa enaknya sih, nongkrong di jendela ? Udah kayak burung aja !”.
“ Biarin kayak burung, tapi kan burung cantik !”.
“ Iya burung cantik, tapi lebih cantik lagi kalau kamu bantuin Kak Disti deh !”.

HHH

Sejak kejadian berisik di seberang jendela, aku jadi selalu menyempatkan diri duduk di balik jendela. Tapi beberapa hari kucoba, suara-suara berisik itu tidak muncul. Sampai akhirnya …
“ Pak, apa kesalahanku sudah tak termaafkan lagi. Sebegitu marahkah Bapak kepadaku ?”.
Tak terdengar respon dari yang diajak bicara, tapi volume suara kali ini agak lebih jelas dibanding peristiwa buku nikah kemarin.  
“ Dulu aku memang bandel, Pak. Bahkan tingkat kebandelanku bisa dibilang tidak wajar, kebandelanku sudah melampaui batas usiaku saat itu. Bahkan aku terkesan jahat di mata bapak dan abang-abangku !”.
Kembali suara itu terdengar. Aku menoleh ke arah jendela seberang, suara itu menghilang. Kali ini aku menikmati jendela tidak dengan membaca buku, takut kehilangan konsentrasi, aku hanya menikmati secangkir Good Day Moccacino. Kupandangi cangkirku, kutiup perlahan, lalu kuhirup. Syahdu rasanya. Benar-benar kenyamanan yang luar biasa.
“ Aku hanya ingin memperkenalkan istri dan anakku, pak. Itu saja !”.
Suara itu muncul lagi.
Seperti ada langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. Mendekat ke arah si bapak dan dengan setengah berbisik berkata,.
“ Anaknya lucu, pak !”.
Ternyata seorang wanita, sepertinya ibu dari pria itu.
“ Bu !”, sapanya.
“ Sudah lama kalian datang ?”.
“ Tidak juga, Bu. Ini istri dan anakku, Bu. Ratih dan Widuri !”, Si wanita dan si anak kecil melangkah mendekati si ibu. Si ibu menyambutnya dengan hangat.
Keinginan menoleh yang susah untuk ditahan lagi-lagi membuatku kehilangan suara-suara itu. Tapi ada apa sebenarnya dengan ruangan kosong rumah di seberang sana ? Mengapa suara-suara itu bisa muncul seperti nyata.
Lamunanku terusik oleh kehadiran Kak Disti. Tanpa basa basi Kak Disti celingukan di pinggir jendela.
“ Cari apa, Kak ?”.
Nggak ada, apa menariknya sih duduk di sini, Ra? kok kamu bisa amat sangat betah? Nggak takut apa dengan ruangan kosong di seberang situ?”
Kenapa mesti takut ? Ini tempat yang paling nyaman dari rumah ini, Kak. Lagian ruangannya kan nggak makan orang !” .
“ Ya bahaya kalau ruangan makan orang. Ikh, kamu tuh. O iya, Ra, rumah sebelah besok sudah ada yang nempati. Akhirnya kita punya tetangga juga !”.
Kenapa, Kak ? Nggak pernah punya tetangga ya sebelumnya ?”, tawaku dan Kak Disti pecah.
“ Tapi rumah yang sebelah mana, Kak, yang ini ?”, kataku menunjuk rumah yang ruangannya sering kupandangi.
“ Bukan, yang sebelah sana !”.

HHH

Semakin hari semakin penasaran aku dibuat suara-suara berisik itu. Kisah tak tuntas kemarin, membuat aku terus menunggu kelanjutannya. Tetapi, semakin kutunggu, semakin tak hadir suara-suara itu.
“ Nara !”, panggilan ayah sedikit mengagetkanku.
“ Ayah !”,  jawabku agak kuat.
Ngapain siang-siang bolong, duduk di jendela ? Ngelamun ya ?”.
Ikh … siapa yang ngelamun sih, Yah !”.
“ O … nggak ngelamun tho ? Gimana ? Betah kan di sini ?”.
kuiyakan dengan anggukan pertanyaan ayah.
Nggak salah kan pilihan, Ayah ?”.
Lagi-lagi aku mengangguk mengiyakan.
“ Bener sih, ayah nggak salah pilih. Tapi, coba lihat ruangan di seberang itu !”.
Tanpa menjawab ayah langsung menoleh ke seberang.
“ Ada yang aneh deh, Yah, di situ !”.
“ Aneh ?”.
“ Iya, Yah !”.
“ Ayah! Om Andre udah datang !”, teriakan Kak Disti mengurungkan niatku untuk menjelaskan keanehan rumah di seberang pada ayah.
“ Nanti aja ya, Nara. Ayah mau pergi sama Om Andre dulu !”.
“ Iya, Yah !”.
Kembali kunikmati jendelaku. Berharap suara-suara kemarin muncul kembali menuntaskan cerita yang masih menggantung bagiku. Tapi, lagi-lagi, di saat aku menginginkan suara-suara itu muncul, tak sedetik pun ia terdengar. Rasa penasaranku semakin bertambah. Dua minggu sudah suara-suara itu kutunggu, tapi selama itu juga tak hadir.
Tugas Sekolah kembali menumpuk, aku kembali tidak dapat menikmati jendelaku. Tapi di sela-sela pengerjaan tugas, iseng-iseng aku duduk di jendela, menanti kedatangan senja. Dan suara-suara itu muncul, entah kenapa ada rasa senang dalam hati mengetahui suara itu muncul lagi.
Dalam samar kudengar,.
“ Kau bisa bawa aku jauh dari orang tuaku, Jo !”.
“ Aku ?”.
“ Iya, kau harapanku satu-satunya, Jo !” .
“ Tapi kenapa harus aku ? Tunanganmu mana ?”.
“ Jangan bahas itu, Jo !”.     
“ Ok, tapi kenapa kau ingin jauh dari orang tuamu ? Ada masalah apa sebenarnya ?”.
“ Jo, kau cukup bawa aku ke tempat yang jauh, setelah itu kau boleh tinggalkan aku !”.
“ Tapi, Nad …!”.
Kalimat tak tuntas itu mengakhiri perbincangan yang kudengar. Dan suara itu menghilang tanpa aku menoleh ke ruangan itu.
Tiga bulan berlalu, aku tak menikmati jendelaku, malah terkesan mengacuhkan. Tak menanti kehadiran suara-suara yang membuatku bingung dari mana asalnya. Yang kulakukan hanya konsentrasi dengan Sekolahku.
Hingga di suatu sore yang cerah, suara-suara itu muncul. Tapi kali ini terdengar amat sangat jelas. Bahkan tanpa aku harus duduk di jendela.
“ Kalau sudah nikah nanti, kita tinggal di sini ya, Mas ?”.
“ Di sini kan bagus, dekat dengan ayah dan adik kamu !”.
“ Iya sih, Mas. Aku juga udah sehati sama daerah sini !”.
Perbincangan itu terhenti. Sepertinya kedua orang itu sedang mengitari ruangan kosong itu. Lama sudah aku tidak berharap mendengar suara-suara itu, kini ia muncul dan rasa penasaranku mendadak hadir, aku malah ingin tahu apa yang mereka lakukan. Tapi jika aku menoleh yang terlihat hanya sebuah ruang kosong tak berpenghuni.
Suara di seberang sana terdengar semakin jelas.
“ Catnya kita ganti ya, Mas !”.
“ Pastinya donk !”.
Kenapa sepertinya aku mengenal suara dua orang yang sedang berbincang itu. Ah, benarkah ? Seperti suaranya Kak Disti. Tapi apa iya Kak Disti ? Aku benar-benar ingin menoleh, memastikan kebenaran suara yang kudengar. Aku tak peduli jika suara itu harus hilang, aku hanya ingin memastikan. Dengan berat aku menoleh ke ruangan itu.
Ruangan itu tidak kosong lagi, ada Kak Disti dan Mas Pram di sana. Suara-suara kemarin tidak akan pernah kudengar lagi, suara yang sampai saat ini aku tidak tahu dari mana asalnya tidak akan pernah ada lagi. Dan kisah di balik jendela berakhir di sini.

HHH





























SEMBURAT SENYUM KEMBARA PERADABAN

Sri Rizki Handayani





             Mentari mengerlingkan tatapannya menyambut tubuh pagi yang rupawan. Memberi semangat baru pada hati dan jiwa yang terjaga dari kelam malam.  Kulihat seorang pria renta di halaman Istana. Berlari kecil mengelilingi bundaran  yang ada tepat di tengah pelataran Istana. Memakai kaos putih beserta training hitam dan sepatu sport.
            Wajah itu dipenuhi garis-garis perjalanan hidup. Warna rambut yang dulu hitam, kini telah memudar di terpa debu pusaran waktu.  Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelum kumeninggalkannya. Itu bukti kalau Dia telah melewati berbagai macam cerita hikayat pelipur lara dalam menapaki perjalanan hidup. Meskipun sudah ujur, tubuhnya masih terlihat kekar dan semangatnya tak pernah pupus dimakan usia. Dialah pak Amin yang dikenal banyak orang karena keramahan dan rasa cintanya yang besar terhadap lingkungan. Dia atokku. Atok yang paling kusayang karena hanya Dia satu-satunya atok yang berjodoh dengan pertumbuhanku.
***
            Kutahan sejenak rasa rindu yang melesak di kedalaman jiwa. Menanti atok selesai meregangkan otot-otot tubuhnya. Tak ingin kubuyarkan konsentrasi atok yang sedang menikmati rutinitasnya. Kuharap ingatan atok masih tetap kuat padaku yang telah lama hilang dari pandangannya. Kuputuskan duduk di tepi bibir jalan yang menghadap bundaran. Sesekali mata itu memandang nanar seolah meraba-raba keberadaanku. Sembari terus berlari. Sampai putaran ketiga tubuh keriput itu menghentikan langkahnya.
            Masya Allah Abdullah !”, segera kuhampiri atok dan mengucapkan salam sembari mencium tangannya yang penuh dengan kerutan itu.
            “ Bila kau tiba ?”, tanya atok heran.
            “ Belum lama lah, tok  !”.
            “ Dasar kau ini, taklah berubah ya sikap jahilmu itu. Bukannya kau panggil atok, sejak tadinya kau tiba di situ. Abdul ... Abdul ..., tetaplah kau cucu atok yang paling usil !”, cetus atok lalu mendekap tubuhku sambil mengusap kepalaku.
            “ Bukan lah begitu tok, tak enak pula Abdul mengganggu konsentrasi atok. Kalau boleh Abdul cakap tok, sejak tadinya Abdul ingin segera memeluk atok. Tapi apalah daya. Abdul ingin beri kejutan pada atok. Apalagi atok sedang serius. Tak sangguplah awak mengganggunya !”, rayuku yang merangkum tawa.
            “ Kenapa tak memberi kabar dulu kalau kau mau pulang hari ini ?”.
            “ Bukan kejutanlah namanya tok kalau Abdul kabari lebih dulu !”, jawabku menggoda atok.
            “ Tapi atok lihat tak ada perubahan logat bicaramu Abdul. Bangga atok sama karaktermu yang tak berubah walaupun sudah bertahun-tahun di Negeri orang. Inilah Abdullah cucu atok yang selalu atok banggakan dulu !”, ungkap atok dengan senyum sumringah.
            “ Taklah pula kampung orang membuat Abdul lupa kampung halaman dan logat bicara kita tok. Atok yang selalu mengajarkan sama Abdul dulu kan, di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Itulah yang Abdul terapkan tok. Waktu ada di sana Abdul ikutlah adat sana. Ya beradaptasi gitulah tok. Pulang ke sini ya kembali lagilah ke asal !”, jelasku. Atok hanya merekahkan senyum sambil memukul pundak dan merangkul tubuhku.
            “ Ya sudahlah, kita pulang sekarang. Semua sudah merindukan kehadiranmu. Pasti mereka senang sekali melihat kau kembali dan semuanya pasti memekarkan senyum dan tawa yang menawan !”,  terang atok.
*** 
            Sekian lama kutinggalkan kota ini. Akhirnya kini kukembali kepangkuannya. Berharap aroma kasturi merebah di jantung hatiku. Lama kupendam rindu yang menyeruak di dada penantian. Mendekap sanak keluarga yang selalu menari-nari di pikiran. Sebelumnya setiap detak jantungku berdegup selalu kupandang langit melepas dahaga rindu dan hari ini aku sudah berada di rumah cinta bersama emak, atok dan adik-adikku. Di rumah petak di sudut kota ini. Tersembunyi di balik tirai pembangunan.
            Seperti biasa, jika waktu magrib hampir tiba, atok selalu membawaku ke Mesjid dengan sepeda janda. Tapi kali ini kami naik sepeda motor sepeninggalan ayah. Sudah hampir sepuluh tahun ayah pergi bersama senja. Sejak itu pulalah aku meninggalkan kampung ini dengan harapan dapat memberikan hasil yang terbaik.
            Dulu atok sering berceritera tentang bangunan-bangunan yang begitu tersohor di kota ini. Seperti Istana Maimoen, Mesjid Raya, Tjhong Avie dan lainnya. Semua mempunyai makna sejarah tersendiri dan begitu bermakna bagi masyarakat setempat. Aku selalu terkesima mendengar cerita yang meluncur dari tepi bibir atok. Ditambah lagi kisah tentang Guru Patimpus yang berjuang keras membangun kota Medan ini demi kelangsungan hidup anak cucu kotanya. Sungai Babura dan Sungai Deli menjadi saksi kobar semangat perjuangannya. Setiap kali atok mengisahkan ini padaku, selalu tersemat kata-kata di dada bahwa aku harus bisa seperti Guru Patimpus yang mampu membangun kotaku lebih maju lagi tanpa menyingkirkan sejarah peradaban.
            Kami sudah tiba di parkiran Mesjid Raya. Tapi kali ini pikiranku digelayuti sebuah pertanyaan. Kumandang adzan membuncah pikiranku. Segera kusimpan pertanyaan itu di saku kepalaku agar tak hilang selesai sholat  nanti. Mudah-mudahan segera kudapat jawaban dari atok.
            Kewajiban selesai ditunaikan. Perlahan kami menuruni anak tangga. Begitu melangkah dari anak tangga terakhir, langsung kusambar atok dengan pertanyaan.
            “ Tok ...! Kenapa air mancur di pelataran Mesjid ini tak lagi bernapas ?”, tanyaku heran karena biasanya aku selalu melihat air itu menjulang didekap serpihan cahaya.
            “ Itulah senja peradaban Abdul. Perlahan semua akan terbenam di pusara waktu !”, jawab atok begitu tenang.
            “ Maksud atok ?”, tanyaku lagi dengan kebingungan yang menggelayuti pikiran.
            “ Tak perlulah atok jelaskan, nanti kau tahu sendiri !”, jelas atok sembari menatapku.
            Aku pun diam mengulum bingung. Tapi aku tak ingin mendesak atok untuk menjawabnya karena aku yakin atok pasti punya alasan untuk itu. Mungkin saja atok berharap aku mencari sendiri jawaban itu.
            Malam telah membulirkan hening. Saatnya kumemadu tenaga untuk esok hari menyambut senyum mentari menjelajah sudut-sudut kota sebelum memulai aktivitas di kota ini.
*** 
            Jemari mentari mulai menggelitik tubuhku. Setelah berpeluh keringat mengelilingi bundaran di pelataran Istana. Sesekali kugerakkan tubuh ke kanan dan ke kiri melonggarkan sendi-sendi yang terasa kaku. Sejenak kuluruskan kaki di atas rerumputan agar tak kram jika ditekuk.
            Tepat dianak tangga bundaran kulepas rasa lelah yang menggerogoti tenggorokan. Kuteguk air mineral yang kubawa sambil memandang orang di sekeliling dan menikmati keindahan Istana.
            Istana Maimoen nama yang bagus. Aku menyukainya karena dibangun atas dasar cinta. Seperti yang pernah kudengar, begitu besarnya cinta sang Raja pada Ratu sehingga Istana ini dipersembahkan untuk Ratu yang begitu dikasihi. Bahkan nama yang tersematpun diambil dari nama sang Ratu, yaitu Maimunah. Tapi sayang tak ada lagi kuda putih yang berdiri gagah di bundaran ini, bahkan tak kulihat pohon kedamaian terpacak di halaman Istana. Ketika kutanya kepada atok jawabannya juga sama, itulah senja peradaban. Aku masih bingung apa makna dari senja peradaban itu.
*** 
            Kususuri sudut-sudut kota. Terhampar jelas wajah kota yang meyimpan berupa kisah. Kualihkan pandangan pada gedung-gedung pencakar langit, ternyata sudah merajai kotaku yang dulu permai.
            Tak lagi kulihat bermacam pohon terpacak di tepi jalan. Tak lagi paru-paru kota mengulum rasa. Semua berubah. Laju polusi udara semakin berkelebatan tanpa penghalang.
Tiiin ..., tiiin ..., tiiin ....
Daun telingaku merintih diiris oleh teriakan klakson mobil dan sepeda motor yang bersahutan. Ya Tuhan, tak ada lagi hati di sini. Semua beradu cepat.
            Tanpa sadar roda sepeda motorku sudah menggelinding di kawasan Tjong Avie, masih terlihat megah dan kokoh meskipun bangunan itu tak dapat menyembunyikan usianya yang renta. Tak jauh dari situ. Aku pun segera menggiring sepeda motor  ke arah lapangan merdeka. Bermaksud menikmati suasana sejuk dan asri. Tapi tak kutemukan rerindang pohon. Cerita rerimbun pohon dan burung-burung merpati yang senang bercengkrama hanya tinggal serpihan kenangan. Hanya segelintir burung yang berkenan singgah. Kurasa karena tak ada lagi rerimbun pohon menyemai sejuk yang mendamaikan beribu jiwa.
            Aku segera beranjak dari lamunan meninggalkan lapangan. Melanjutkan perjalanan menuju Sungai Deli. Tak jauh beda rasa kecewa yang kurasa bahkan lebih kecewa lagi. Inikah Sungai Deli yang jelita. Kini pudar oleh senja peradaban. Tak ada lagi pusaka hati di kota ini. Sungai Deli tinggal pusaka yang hilang tuah, sebab limbah peradaban telah menyetubuhi kesuciannya.
            Di mana sejarah peradaban yang pernah kulihat ? Mana peradaban yang sering diperdengarkan pada anak cucu ? Mungkinkah hanya sisa silsilah yang menanti rebah di pusaran waktu atau sebongkah kenangan cinta nenek moyang yang berdiri kokoh dan megah di hamparan rindu ?
            Pemikiran manusia semakin maju. Perkembangan semakin pesat. Lingkungan pun terabaikan oleh kesombongan mengejar sukses. Tak lagi ada yang melestarikan  sejarah peradaban, peninggalan yang penuh makna rasa.  Semua sibuk dengan kenikmatan sesaat. Ya, inilah senja peradaban. Hanya senyum getir  yang dapat kuberikan mengulum duka pelipur lara.
***
            Angin risau meninggalkan desah. Memberi sesal putik hati yang resah dalam gundah pengharapan. Lambaian kelopak damai enggan mencumbu. Telah layu bersama pusaran waktu. Tak lagi bersemi dalam jantung ketentraman.  Hanya berharap semburat senyum bertingkah rentak Melayu tetap merebah di hamparan kota.
            ***     
            Kenapa Abdul ? Dari tadi atok lihat menerawang saja pikiranmu !”, tegur atok membuyarkan lamunanku.
            “ Ahh, tak apa-apa tok. Abdul sedang memikirkan kota ini. Bisa-bisa lambat laun sejarah kota ini hilang ditelan perkembangan zaman dan pemikiran manusia yang semakin maju. Waktu mendengar jawaban atok kemarin, Abdul masih bingung. Tapi hari ini Abdul paham makna senja peradaban itu tok !”,  ungkapku dengan senyum simpul.
            “ Baguslah kalau kau sudah paham. Manfaatkanlah ilmu yang kau dapat selama ini untuk mengembangkan kota dan melestarikan sejarah peradaban,  Abdul. Itulah kenapa atok selalu mengisahkan kota ini pada kalian. Atok ingin hati kalian terbina untuk mencintai sejarah. Jangan biarkan era globalisasi menelan sejarah peradaban !”, terang atok penuh harap.
            Mentari pun mulai meninggalkanku bersama peluh sesal jiwa. Kembali ke peraduan menanti semburat teduh peradaban yang tertutup tirai zaman yang berdiri gagah. Entah apalagi yang berubah esok hari. Tak ada yang tahu. Bahkan tak pernah terlintas sedikit pun.
Entahlah ! Hanya Tuhan yang punya kuasa.
















ADA yang DATANG dan PERGI DIAM-DIAM

Sakinah Annisa Mariz










Langit masih pekat, hanya ada sepotong sabit kecil, menyala redup. Desir angin menghembuskan hawa dingin, menggigit. Menggoyangkan butir-butir embun yang menitik dari kuncup daun-daun muda. Seorang lelaki yang tertidur di bawah rimbun bunga-bunga di Taman Kota itu, seketika terjaga. Spontan Dia mengutuk dan menyeka pelipisnya. Beberapa menit kemudian, lelaki itu kembali meringkuk, bergelut dalam lelapnya sendiri.
Kasman nama lelaki itu. Perantau dari Tanah Jawa yang mencoba mengadu nasib di bumi Sumatera. Berbekal sedikit uang hasil penjualan sepeda motornya, juga doa tulus dari sang istri dan tiga anak perempuannya, Kasman berangkat. Tidak sendiri, bersama Kasman, ikut pula Hendrik, Toto, dan Gugun. Mereka berempat sudah bersepakat dengan Bang Rustam untuk bekerja sebagai kuli di Proyek perbaikan jalan, yang katanya menelan waktu dua bulan. Masalah gaji, juga terdengar lumayan menggiurkan. Tapi ya itu tadi, gajinya baru diterima setelah Proyek selesai dalam waktu dua bulan.
Minggu pertama mereka bekerja, semuanya terasa lancar-lancar saja. Mandor tak pelit membagi rokok dan jatah makan yang diterima, juga pantas-pantas saja. Kasman dan ketiga temannya, masih dibolehkan menghubungi istri dengan meminjam seluler Bang Rustam, hubungan mereka sangat baik, sampai memasuki minggu ketiga dan keempat. Di minggu keenam, Kasman dan teman-temannya mulai mempertanyakan gaji mereka yang tak kunjung berkabar. Jatah rokok dan makan mulai macet. Bang Rustam lebih sering memberi perintah ketimbang upah. Setiap hari, ada saja pekerjaan yang membuatnya naik darah. Mulai dari tali katrol yang putus, semen yang tumpah, hingga kerikil pun dipermasalahkan. Jam kerja yang seharusnya dimulai sejak pukul 07.00 pagi hingga pukul 20.00 malam, ditambah lagi hingga ke pukul 00.00 dini hari. Jadwal shift yang seharusnya digantikan oleh teman yang lain, dipaksa untuk dilanjutkan sendiri. Akibatnya, banyak pekerja yang jatuh sakit. tak terkecuali Kasman.
Dua bulan tepat, saat Proyek selesai. Semua pekerja berharap dan berdebar menunggu amplop hasil kerja kerasnya selama ini. Namun malang tak tertolak, mujur tak teraih, Bang Rustam pun menghilang, seiring dengan hilangnya lubang-lubang di jalanan. Kasman dan ketiga temannya sudah mencarinya kemana-mana, tapi mereka tak menemukan jejak apapun. Mereka ditipu mentah-mentah, hingga akhirnya mereka terpaksa menggelandang di jalanan, kelaparan, dan terasing.
***
“ Buk, minta uangnya seribu saja, Buk ! Saya lapar, sudah dua malam saya belum makan … !”.
“ Apa ? Minta uang ? Kau pikir aku ini siapamu ? Aku pun belum makan. Kerja sana ! Jadi laki-laki kok manja !”, seorang ibu yang memeluk karung belanjaannya, melirik lelaki itu dengan sinis.
“ Iya nih, apalagi kamu kan masih muda. Masih kuat tenaga, ya jangan minta-minta ! Cari kerja, sana ! Usaha !”, sahut wanita berseragam hijau tua, di sisi kanannya. wanita itu menatapnya jijik sambil mengetuk-ngetukkan hak sepatunya ke aspal.
 “ Saya mau bekerja apa saja, Buk. Tapi Bu, ndak ada yang mau memberikan pekerjaan pada saya. Kata mereka, ini karena saya miskin. Orang miskin, mana boleh dipercaya. Lagian saya bukan orang sini, Buk. Mereka bilang, saya harus tunjukkin KTP, baru saya boleh kerja. Waduh Buk, boro-boro punya KTP, ngurusin perut yang sejengkal aja saya ndak kuat, Buk. Tolonglah, Buk !”, disodorkannya tangannya yang pucat dan kotor.
Tapi tampaknya si wanita berseragam semakin tak acuh.
“ Ya sudah, Buk. Maaf kalau saya mengganggu !”, lelaki itu pun menjauh dari wanita berseragam. Tak ingin kehabisan akal, dihampirinya lagi si ibu yang memeluk karung belanjaan.
            “ Kalau ibu mau, saya bisa bawakan belanjaan ibu. Rumah ibu dimana?” tawarnya.
            “Nggak usah, aku bisa bawa sendiri !”, balasnya ketus.
            “ Seribu saja, Buk ?, tawarnya lagi.
Ibu itu lagi-lagi menggeleng.
Si lelaki tampak kelelahan. Wajahnya pias dan keringan dingin mulai menyembul di kulitnya lengannya yang berminyak. Pelan-pelan, disandarkannya tubuhnya yang lemas ke pinggir halte yang sesak. Berharap ada sekeping recehan mengulur, padanya. Tapi matanya mengisyaratkan, untuk melihat recehan di tempat yang lain. Sebuah dompet mengkilap, mengintip dari rekahan resleting tas seorang mahasiswi yang tegak membelakanginya. Tas yang ditenteng, menjulur pelan-pelan ke arah si lelaki yang tergolek lapar. Jantungnya berdenyut kencang.
“ Ya Tuhan, maafkan hamba !”, gumamnya sebelum merogoh dompet itu dan kabur tanpa menyisakan bekas.
***
Orang bilang tanah kita, tanah surga. Tongkat batu dan kayu jadi tanaman. Permisi pak, buk … !”, Hendrik terus memetik gitar kecilnya sementara Toto bernyanyi seraya menyodorkan kantong plastik kecil ke lorong-lorong angkot yang sarat penumpang.
Setelah letih mengamen, akhirnya Hendrik dan Toto pun duduk di depan warung mie balap.
“ Dapat berapa, To ?”, tanya Hendrik sambil mengipasi lehernya yang basah oleh keringat.
“ Lumayan, lima belas ribu. Tiga ribunya bisa buat sewa gitar, nah sisanya kita bagi dua, Mas … !”.
“ Bagi dua ? Eh,eh,eh, enak aja sampeyan mau minta dibagi dua. Lha, wong aku yang capek maen gitar, kamu ini tinggal nyanyi-nyanyi wae, kok mau sama rata. Ndak bisa ! Aku sepuluh ribu. Dua ribunya buat kamu !”, Hendrik melotot tajam ke arah Toto.
 “ Tapi Mas, kita kan sama-sama capeknya. Sama-sama butuh makan, butuh ongkos pulang. Kalau Mas kasih Toto dua ribu, dapat makan apa, Mas ?”, Toto memelas.
“ Ya terserah aku !”.
“ Mas, jangan gitu. Sama saudara sendiri, ndak usah main itung-itungan, Mas. Kita ini hidup di rantau. Harus saling menguatkan, saling tolong menolong. Jangan seperti Bang Rustam yang udah ditolong, eh ternyata malah memanfaatkan kita. menipu kita !”.
“ Apa sampeyan bilang ? Oh, jadi maksudmu aku ini mirip Rustam si biadab itu, hah ? Si Penipu itu ! Ah, sial ! Berani sampeyan samakan aku dengan si busuk itu ? Hah ? Mau mati, sampeyan ?”, Hendrik mengacung-acungkan gitar plastik kecilnya.
Toto memandangnya ketakutan, tapi Hendrik sudah kalap. Gitar segera menancap di kepala plontos Toto. Darah segar mucrat dan Toto sontak menggelepar, meraung. Refleks Toto membalas tepat di ulu hati Hendrik dengan ujung kakinya. Hendrik balas menghajar Toto, Toto melawan Hendrik. Mereka saling memukul hingga kehabisan banyak tenaga dan menyisakan genangan darah. Di depan warung, tak ada yang bergeming, semua sibuk dengan dirinya sendiri. Larut dalam hingar-bingar permainan yang lain, di pertaruhan yang lebih mendebarkan.
***
“ Orang gila … Orang gila … !”, sorak-sorai bocah-bocah kampung terdengar jelas di beranda depan rumah.
Santi yang tengah hamil tua, sedang menungging, memetik kangkung di halaman samping, berjengit telinganya.
“ Siapa orang gila yang diteriaki anak-anak itu ?”, batinnya.
Di depan, suara anak-anak semakin riuh terdengar. Ada pula suara lemparan batu berkelotak dan jerit mengaduh. Dengan jantung berdebar, Santi meletakkan petikan kangkungnya ke tanah. Diikatnya kangkung-kangkung itu dengan tali yang dicabut dari kulit pohon pisang yang kering. Buru-buru Dia melangkah ke pekarangan, suara gaduh anak-anak dan penduduk kampung masih membahana.
Di depan rumah, terlihat kumpulan ibu-ibu PKK dan Kepala kampung tegak berdiri.
“ Oalah, ada tamu rupanya. Mari Pak, Buk, masuk dulu. Ada apa ya ?”, tutur Santi berbasa-basi, padahal hatinya sendiri merasa bimbang dan kecut dengan keramaian ini.
Seratus tanda tanya menempel di kepalanya.
“ Gusti, semoga ini bukan tentang suamiku !”, batinnya berdoa.
Belum lagi Santi menyilakan Kepala Kampung masuk ke dalam rumah, tiba-tiba suara tawa yang sangat dikenalnya menggelegar dari kerumunan massa.
“ Pak! Pak ! Kau kah itu ?”, Santi menjerit histeris.
Gugun dengan tangan terpasung, ditarik keluar dari kerumunan. Tatapan mata kosong dan cengengesannya yang lain dari biasa, sangat terang bercerita pada Santi.
Santi ambruk.







MALAM RUWATAN

Sartika Sari



           



Sekitar satu setengah meter dari pinggir aspal, seorang laki-laki duduk berselonjor kaki sambil mengibas-ibas angin dengan topi kumal di tangan kanannya. Diam. Meskipun jalanan ramai lalu lalang kendaraan, bising percakapan penjual jajanan, perdebatan sopir angkot dan lagu dangdut yang diputar keras-keras rupanya tidak bisa mengusik kekhusukannya menikmati lamunan.
            Wak Giran, begitu biasanya Dia disapa. Seorang penggali tanah untuk  jalur  kabel telepon. Dulu, sebenarnya Dia termasuk salah seorang yang terpandang di kampung. Tapi sejak ternak ayam dan bebeknya tertimpa musibah, Wak Giran terpaksa harus memutar otak dan mencari pekerjaan lain untuk membiayai kebutuhan rumah tangga dan biaya Sekolah putri semata wayangnya. Untunglah, tidak ada yang terlampau Dia sesalkan dari semua yang sudah terjadi. Sampai sekarang, Dia mampu menuntaskan pekerjaan dengan kelapangan dada.
            Terik. Matahari kian runduk saja rasanya. Sepuluh kuli masih menyenderkan punggung di teras-teras kedai yang sunyi. Bekal makanan yang dibawa sudah lewat kerongkongan, air putih dalam botol-botol yang saban pagi terisi penuh juga sudah lolos ke lambung. Sekarang tinggal meluangkan waktu sebentar untuk mengatur kembali aliran darah dan nafas yang beberapa jam sebelumnya seperti dikejar-kejar.
            “ Wak, ngelamun wae1 ?”, Ujo, rekan kerja Wak Giran menatap lelaki tua di depannya itu dengan nanar.
            “ Tidak apa-apa, Jo !”, ujarnya pelan sembari mengilap cucuran keringat di dahinya.
            “ Susi kambuh lagi ?  Atau ada masalah karena pacarnya ?”, Ujo makin penasaran.
            “ Tidak, Ujo !”, kali ini Wak Giran melemparkan senyum kecil melihat lajang yang sedari tadi memperhatikannya.
            “ Atau butuh uang ? Wak, pakai saja uangku. Kebetulan minggu ini tidak  ada pengeluaran yang banyak !”, Ujo memberi penawaran.
            “ Ah, Ujo. Anak lajang itu butuh banyak uang. Nanti kau tidak bisa ke rumah pacarmu. Lagian gaji kita kan sedikit. Janganlah, lebih baik kau gunakan untuk keperluanmu saja !”, Wak Giran menolak perlahan.
            “ Hahaha, siapa yang mau jadi pacar tukang gali tanah kayak aku gini Wak ?”, Ujo terbahak.
            Mereka berguyon. Wak Giran yang tadinya lebih banyak menghabiskan waktu dalam lamunan, sekarang kelihatan sumringah. Walaupun sedikit, tak apalah daripada terus-terusan muram, setidaknya bahagia yang pernah Dia takutkan bisa didapat lewat kesederhanaan memaknai kehidupan. Seperti sekarang.
***
            “ Mau makan sekarang, Pak ?”.
            “ Tidak Sus, sebentar lagi saja. Bapak mau lihat emakmu dulu !”.
            “ Iya Pak. Kalau bapak mau makan, biar Susi siapin makanan !”.
            “ Iya Nak !”, Dia langsung menuju kamar. Tak sabar menjenguk wanita kesayangannya yang sejak pagi Dia tinggalkan.
            “ Bapak, sudah pulang !”.
            Wak Giran langsung merangkulkan tangan kanannya ke kepala wanita yang masih telentang di tempat tidur. Belum ada jawaban yang dilontarkan. Dia masih menikmati kerinduan yang saban hari ranum selama hampir dua puluh lima tahun.
            “ Sudah makan Pak ?”.
            “ Hm, belum. Sebentar lagi Mak. Aku masih mau dekat denganmu !”, kali ini Wak Giran menancapkan tatap lembut yang tajam.
            “Hus, bapak. Tidak hilang-hilang kebiasaannya. Pintar sekali merayu !”.
            Mereka berdua meneruskan keromantisan. Petang sudah hampir malam. Dan keduanya berhasil melewatkan pertemuan senja dengan potongan-potongan cerita yang syahdu.
***
            “ Aku tidak sanggup menggelar ruwatan2 Susi, Ki !”.
Ba’da maghrib, Wak Giran bertandang ke rumah salah seorang temannya yang terletak di ujung jalan. Dia memang butuh teman berbagi cerita untuk meretaskan amuk batinnya.
            “ Kenapa, Ran ? Bukannya aku menakut-nakuti, tapi kau juga sudah tahu bagaimana adat kita, dan apa akibatnya kalau tidak dilaksanakan !”.
            “ Iya, Ki. Aku tahu. Tapi uang seserahan dan uang simpananku tidak cukup untuk membiayai kebutuhan ruwatan !”, wajahnya layu.
Dia sadar, menggelar ruwatan sebelum menikahkan putri tunggalnya adalah suatu tradisi yang sebaiknya dipenuhi. Masyarakat sekitar juga berpaham sama. 
            “ Kalau itu masalahnya, kau bisa pakai uangku dulu. Nanti saja Susi dan Numan yang membayar setelah mereka menikah !”.
            “ Ki, tapi itu kan besar ?”.
            “ Sudahlah, lebih baik segera tentukan tanggal pernikahannya !”.
            “ Terimakasih, Ki. Aku pamit pulang dulu !”.
            Kepalanya ditunduk. Cuma daun-daun kering di badan jalan yang Dia pandangi. Makin rumit saja. Dia seorang yang tak tegaan. Mendapat pinjaman uang dari Aki bukan lantas melenyapkan beban pikir, justru menambah-nambah berat saja. Kasihan Susi kalau harus membayar semuanya. Bagaimana kalau Dia tidak bisa membayar ? Ah, yang semacam itulah gantungan di kepalanya sekarang.
            Selang tiga puluh menit. Dia sampai di rumah sederhana berdinding tepas, cakruk di bagian depan, dan beberapa jenis bunga hasil keuletan sang istri sebelum digerogoti penyakit diabetes sampai akhirnya hanya terbaring lemah. Mesti ada percakapan serius dengan Susi dan calon menantunya itu. Langkahnya tergesa, kebetulan Susi masih duduk berdua diteras rumah dengan Numan. Langsung saja, mereka bercakap dan mengambil keputusan.
***
                  Tuwuhan3,  batu arang, kemenyan (ratu wangi),  kain mori putih,  debog4, bunga mawar untuk menaburi  panggung, dan Gawangan keli5 sudah disediakan, Wak !”, Ujo tampak tergesa-gesa melaporkan perlengkapan ruwatan  pada  Wak Giran yang sedang berada di dalam kamar.                  “ Ki Wahono bagaimana ? Sudah kau hubungi lagi, Jo ?”.
                  “ Sudah, Wak. Sebentar lagi datang !”.
                  “ Jo, Susi ?”.
                  “ Belum saya lihat, Wak. Sebentar ya !”.
                  “ Iya, Jo. Mana tahu Dia butuh bantuan. Tolong ya, Jo !”.
                  “ Iya, Wak. Jangan sungkan !”.
                  Laki-laki tua itu memandangi badan Ujo sampai keluar kamar. Suasana di luar sana benar-benar sibuk. Riuh percakapan para tetangga benar-benar menggema. Belum lagi suara anak kecil yang bermain di sekitaran. Tapi sayang, Dia tak bisa turut.  
                  “ Wak, Ki Wahono sudah sampai. Unting-unting6  juga sudah siap !”.
                  “ Iya, Jo !”, jawab Wak Giran sambil beranjak dari kursi di samping tempat tidur. Tapi tatapnya tidak bisa lepas dari istrinya yang sedang berbaring lemah. 
Acara dimulai. Ruwatan dibuka dengan doa. Setelahnya, barulah wayang dengan lakon Murwakala yang dipercaya untuk mengusir roh jahat yang berada di dalam tubuh dimainkan, dilanjut dengan pembacaan berbagai pakem oleh dalang sebagai proses ruwatan.
Wak Giran tampak cukup tegang. Dia memandangi Susi yang duduk di atas debog pisang berlapis kain mori di antara berbagai perlengkapan ruwatan lain dengan lekat-lekat. Tak terasa, anak semata wayangnya sekarang sudah dewasa. Dan ruwatan malam ini sebagai bentuk pelepasan terhadap putri tercintanya. Tapi lagi lagi ada lamunan. Entahlah, Wak Giran benar-benar lemah.
***
Pesta meriah itu sudah lewat. Malam-malam yang menegangkan juga sudah berhasil dilalui meskipun dengan perasaaan yang entah bagaimana. Sekarang, yang tertinggal hanyalah kenangan dan ingatan. Yang kalau sudah kembali datang ujung-ujungnya membawa Wak Giran jatuh dalam kubangan air mata dan kerinduan.
Wak Giran terduduk lemah. Badannya sudah penuh lumpur. Nafasnya masih ngos-ngosan. Pandangannya juga, sepertinya masih kabur. Dia mesti banyak istirahat. Karena pikirannya yang kacau, sejak tadi pagi ada saja kecelakaan kecil yang Dia lakukan sampai yang terakhir, sore ini Wak Giran terpeleset ke dalam lubang dengan kedalaman 1,5 meter ketika berjalan hendak meneruskan galiannya.
Memang, ingatan itu tidak mudah dilupakan.  Terlebih, Dia sangat mencintai istrinya. Wak Giran benar-benar dalam kekalutan. Berhasil meruwat putrinya, ternyata tidak semata mampu menciptakan kebahagiaan yang selama ini Dia tunggu. Kian dalam saja pikirnya tentang keikhlasan atas takdir Tuhan. Dan sekarang, Dia meriwayatkan semua itu lewat bulir-bulir air mata. Tidak ada kata malu menangis lagi. Air mata itu sudah terlalu sering Dia pendam. Inilah saatnya semua gundukan di hatinya mesti dipenggal.
“ Aku sangat bahagia bisa menunaikan kewajibanku meruwat putri tunggal meskipun dengan uang yang masih menghutang. Kukira hari itu akan jadi hari yang membawa kebahagiaan untukku dan Nia. Tapi ternyata, aku mesti membagi hati dan merelakan ketika di penutup hari ruwatan Nia dipanggil kembali ke pangkuanNya. Entahlah, aku sangat kesepian karena kehilangan orang yang paling kucintai !”,  suara Wak Giran terdengar parau, wajahnya basah air mata, dan tatapan matanya sayup sekali. Tidak bisa menyunggingkan senyum sekalipun Ujo mencoba menghibur.

 

1Wae                            : Saja  
2Ruwatan                     : Tradisi adat yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat jawa sebagai ritual pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahan.
3Tuwuhan                    :  Terdiri dari pisang raja setundun, yang suda matang dan baik, pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa dan daun alang-alang
4Debog                                    : Batang pisang
5Gawangan kelir         : Bagian atas (kayu bambu yang merentang di atas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng  (4 ikat pada sebelah menyebelah)
6Unting-unting             : Anak tunggal perempuan.





















DRAFT CERITA PESANAN TOK AWANG
yang BELUM SEPENUHNYA RAMPUNG

T Agus Khaidir













Tiba-tiba aku berdiri tersandar pada satu bagian dinding. Iya, memang tiba-tiba saja. Sekonyong-konyong saja. Bagaimana aku bisa sampai di sini, aku sama sekali tak tahu. Letaknya di antara dua rak tinggi yang disesaki kaset, compact disc, dan piringan hitam. Pada rak di sebelah kiri kubaca deretan huruf kapital tebal berwarna merah yang membentuk kata JAZZ. Label di rak sebelah kanan bertuliskan ROCK.
            Sebelum beranjak jauh, ada baiknya kuceritakan bagaimana enam lembar kertas berisi rangkaian cerita ini bisa sampai ke tangan Anda. Beberapa pekan lalu, padaku datang kawan kita, Tok Awang. Anda ingat Juru Cerita itu, kan ? Tanpa basa-basi disampaikannya pengakuan yang membuatku iba, Dia mendadak kehilangan kemampuan merangkai kata jadi cerita.
Barangkali karena paham betul aku juga suka berkhayal lebih, Tok Awang memintaku menuliskan cerita untuknya. Cerita yang sudah jadi, supaya aku tinggal menuturkan, pesannya. Tanpa pikir panjang kusanggupi permintaan itu dan di sinilah letak masalahnya. Di luar dugaanku yang paling konyol, cerita itu gagal kuselesaikan. Ruang-ruang angan yang biasanya gampang kumasuki sesuka hati, bagai terkunci pintu-pintunya. Mendadak aku sulit menciptakan takdir, mendadak gugup memutus alur nasib.
Meski sempat dilanda heran, kehilangan ini tidak sampai kutangisi. Namun kupikir situasinya lain bagi kawan kita. Tok Awang menggantungkan dari cerita. Bagi Dia, daya khayal  hanya sedikit kalah berarti dari nyawa. Karena itulah, Bung, kukirim cerita yang belum sepenuhnya rampung ini pada Anda. Harapanku Anda dapat membantu menyelesaikannya.
            Baiklah. Kupikir tak perlu aku mengoceh terlalu panjang. Anda baca sajalah kelanjutan cerita yang kutulis. Oh, iya, lantaran cerita ini masih berupa draft, sudah tentu Anda dapat menambah, mengurangi, atau bahkan mengubahnya.

            Tapi tidak ada musik. Tidak ada pembeli, tidak ada pengawas, bahkan agak jauh di depan, meja kasir pun kosong. Kususuri lorong itu. Di kiri kanan bertebaran rekaman-rekaman langka. Kulihat piringan hitam Thelonious Monk Sextet, Round Midnight. Kalau tak keliru ingat, album ini dirilis sekitar awal 1948. Kudapati pula Ella Fitzgerald, Ella&Louis: Starpotrait, volume pertama Soul Gestures in Southern Blue, dan The Majesty of The Blues dari Wynton Marsalis, Route 66 dari The Manhattan Transfer. Juga We Want Miles milik Miles Davis yang membawaku pada satu-satunya jazz yang kuat membekas dalam ingatan, My Man’s Gone Now.
            Eh, pada rak berlabel ROCK kutemukan Rubber Soul The Beatles. Lalu, agak tersembunyi di antara rak-rak tanpa alphabet, teronggok pula dalam bentuk kaset. Berita Cuaca Gombloh Lemon Trees Ano 69, serta Nyanyian Fajar dan Nyanyian Malam, rekaman lagu-lagu rakyat Leo Kristi.

Bung, seperti kusebut tadi, Anda berhak melakukan perubahan dalam bentuk apa pun terhadap redaksional draft ini. Jika paparan perihal musik ini Anda anggap terlalu bertele-tele, sepenuh hati kurelakan Anda memapasnya. Lagipula aku menempatkannya di awal tulisan bukan atas pertimbangan ingin menghadirkan semacam rasa penasaran, atau suasana ganjil, terlebih-lebih untuk memamerkan pengetahuanku yang sesungguhnya amat terbatas perihal Jazz dan Rock, melainkan semata gaya-gayaan. Hehehe, jujur saja, Bung, waktu menuliskannya ingatanku memang masih lekat pada Franz Kafka dan Gabriel Garcia Marquez. Konyol, ya ? Baiklah, aku tak akan menyela lagi. Dan mudah-mudahan pengakuan ini tak lantas membuat Anda berhenti membaca. Kuharap begitu. Sebab bayangkan, Bung, jika Anda berhenti, nasib seperti apa yang akan menimpa kawan kita, Tok Awang.

            Mula-mula dugaanku tempat ini adalah tempat yang mengesankan keelitan. Dugaan yang segera goyah begitu kusadari betapa dindingnya amatlah kampungan. Bukan saja cat yang kusam dan mengelupas, di sana-sini juga terdapat coretan yang sama sekali tak dimaksudkan sebagai seni. Ada peperangan entah di mana, yang berbagi tempat dengan gambar adegan persenggamaan dalam berbagai posisi. Pesawat-pesawat terbang ( dari jet tempur sampai UFO ). Mobil balap. Pisau komando. Pisang. Monyet. Bebek. Perempuan telanjang. Juga puluhan simbol agung para pecinta kelas teri, hati tertembus panah. Simbol-simbol ini sebagian besar digandeng tulisan nama-nama orang atau ungkapan perasaan.  “ Cinta tak pernah mati ”, Cinta ditolak dukun bertindak ”, sampai yang paling sontoloyo semacam “ Kutunggu jandamu .
            Langkahku terhenti. Lebih tepatnya, mendadak berhenti. Mataku terperogok sosok perempuan. Dia berdiri di sisi satu rak berlabel BLUES. Benar-benar perempuankah Dia ? Belum tentu. Sejak Warner Bros dan 20th Century Fox menjajah dunia, antara lelaki dan perempuan kian sulit dibedakan. Robin William menjelma perempuan, Hillary Swank menyaru laki-laki.
Hmm …, Dia masih muda. Barangkali sekitar 25 tahunan.
Cantik ? Ini pun belum jelas. Wajahnya tertutup gerai rambut. Dia mengenakan kaus putih ketat tanpa lengan dan rok jeans berukuran tinggi sejengkal di atas lutut berwarna biru pudar. Kakinya jenjang, dibungkus high heels bertali. Kusadari pula akhirnya betapa ruangan ini jadi lebih harum dari sebelumnya. Harum yang kupastikan bukan datang dari botol parfum murahan. Aku pernah mencium harum seperti ini. Belum lama, tapi aku lupa dimana.
            Perempuan itu melangkah ke lorong lain. Jari telunjuknya disiagakan dan matanya tak  lepas dari rak. Bibirnya yang bersaput lipstik ungu komat-kamit membaca judul demi judul. Agaknya Dia gagal menemukan yang dicari. Air mukanya menyiratkan rasa kesal mendalam. Aih, dari jarakku sekarang, tanpa halangan helai rambut, jelas kulihat wajahnya yang ternyata memang sungguh-sungguh memesona.
            Tak menemukan yang dicari, Dia melangkah pergi. Begitu bergegas langkahnya. Aku mempercepat ayunan kaki. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa perlu mengikutinya. Perempuan itu telah memantik rasa penasaranku.
            Ruangan ini ternyata terletak di gedung berukuran lebih besar. Barangkali semacam Mall. Di kanan-kiri depan ada toko. Tapi aku kemudian jadi ragu pula untuk memastikan apakah tempat ini memang benar-benar Mall. Jika Mall, dalam keadaan paling sunyi sekalipun, lazimnya pastilah masih ada beberapa orang berseliweran atau sekadar window shopping.
            Perempuan itu melangkah menuju eskalator. Dia bergerak naik. Aku masuk ke eskalator lain yang letaknya saling berhadap-hadapan. Antara kami kini terbentang jarak bersudut pandang kemiringan 90 derajat. Pemandangan menggetarkan yang berlalu cepat ! Dia keluar dari lift, melangkah lebih bergegas dari sebelumnya.
Aku keluar lift di lantai yang sama. Lantai delapan. Lantai teratas. Serentak kurasakan kudukku meremang. Baru kusadari betapa mencekamnya kesunyian ini. Sederet Caffe dan Restoran, juga karaoke louge, Diskotek, Cineplex, arena ketangkasan video game. Semua bisu. Puluhan mesin video game bermain sendiri. Gambar-gambarnya berkelebat tanpa suara. Di balik kaca etalase Cineplex yang berlapis debu tebal seakan tak pernah dibersihkan selama bertahun-tahun terpampang selembar poster yang juga tak kalah kusam. Back To The Future. Di film ini, Michael J Fox tampil selevel kecemerlangan Max Hamill dalam Star Wars. Sayangnya Hollywood hanya memberi penghargaan tinggi pada teknik di balik pembuatan film seperti ini. Bukan akting. Padahal, aku berani bertaruh, tak ada aktor yang lebih mampu menghidupkan Marty McFly dan Luke Skywalker selain mereka berdua. Tidak Tom Hanks. Tidak Robert de Niro, Al Pacino, tidak juga Sean Penn, apalagi aktor-aktor berwajah manis yang membikin remaja zaman sekarang sampai harus menjerit-jerit sekadar untuk mendapatkan tanda tangannya.
Aku suka pada segala gambaran perihal masa depan. Lucu, menggemaskan, meski di saat yang sama menerbitkan kekhawatiran. Apakah masa depan memang seperti gambaran kedua film itu, mobil terbang, pedang laser, robot, dan para Jedi ? Semoga tidak. Barangkali akan lebih menyejukkan apabila di masa depan kendaraan masih melaju di atas tanah dan manusia tetap menjadi penguasa semesta titipan ini.
Dadaku berdebar. Kusapu pandangan. Jangan-jangan tempat ini memang berada di masa depan. Benarkah ?
Ekor mataku disergap kelebat bayangan. Perempuan itu ! Konsentrasiku segera beralih lagi padanya. Masa depan atau tidak urusan nanti saja. Dia lebih penting.
Dia berbelok cepat di satu lorong. Pada papan petunjuk di depan lorong tertulis PARKING AREA. Kupercepat ayunan langkah. Tetap terlambat. Sesampai aku di ujung lorong Dia sudah tak terlihat. Kemana Dia ? Aku yakin tak jauh. Harum elit tadi terasa jelas membelai hidungku. Tapi masih belum kulihat Dia. Ruang luas ini sama sekali kosong. Tak seperti umumnya area parkir di lantai atas gedung bertingkat, tidak ada pepohonan di sini. Tidak juga tanam-tanaman atau lampu hias. Tak ada kursi beton untuk sekadar tempat melepas penat kaki. Bahkan tidak ada mobil. Jika tak ada sinar bulan tempat ini pastilah  sepenuhnya gulita.
            Ketemaraman selalu membuatku merasa tak nyaman. Apalagi ditambah suara jatuh titik air dari mesin AC. Terus-terang, aku jadi agak takut. Hampir saja aku berbalik meninggalkan tempat ini kalau saja telingaku tak menangkap suara orang bercakap-cakap. Dua orang. Perempuan dan lelaki, datang dari arah jam 11. Perempuan dominan. Lelaki menyela sesekali.
            Hati-hati aku mendekat. Samar kulihat dua bayang tubuh berhadap-hadapan. Dari bentuknya, memang tubuh perempuan dan laki-laki. Suara perempuan meninggi.
            “ Untuk apa Anda menanyakan kabarku ? Sebenarnya, pertanyaan Anda bukan seperti itu, kan ? Akui sajalah. Sebenarnya Anda hanya bermaksud menanyakan kabar kelaminku ? Apakah aku tidak hamil ? Tidak. Anda tak perlu khawatirkan soal itu !”.
            “ Saya butuh kamu. Saya cinta kamu !”.
            Wah, jadi Anda bicara cinta pula sekarang. Tak usah main-mainlah. Tahu apa Anda soal cinta ? Pernah baca Gibran ? Anda bahkan tak bisa menangkap nikmat buaian lagu-lagu Sinatra ? Kita pernah nonton Gone With The Wind dan yang Anda lakukan sepanjang tiga jam itu hanya menciumiku dengan buas. Jadi berhentilah bicara cinta. Anda pernah memimpikan aku ? Anda pernah melihat bayang wajahku di cermin tiap kali Anda menyisir rambut atau merapikan dasi ? Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk memikirkan aku dalam sehari ? Aku yakin tak pernah lebih dari lima menit. Waktu kelamin Anda gelisah. Lalu Anda menghubungiku dan setelah itu kita bergelut seperti dua ekor belut. Apakah Anda yakin pada kata-kata Anda tadi ?”.
            “ Sangat yakin. Saya menghormati kamu !”.
            Perempuan itu tertawa. Panjang dan lantang dan binal.
“ Anda lucu sekali. Sumpah, aku sama sekali tak menyangka, Anda ternyata berbakat jadi pelawak !”, ucapnya setelah tawa usai.
            “ Tidak, sayang. Aku benar-benar tidak sanggup hidup tanpa kamu !”.
            Hahahahaha. Sudahlah ! Aku lelah mendengar kalimat-kalimat cinta Anda. Bukankah selama ini kita bisa bercinta tanpa perlu repot-repot memikirkan cinta ?”.
Sunyi sejenak. Hanya suara jatuh air AC dan desau angin yang mampir membelai telinga.  Keheningan dan ketemaraman. Kudukku meremang lagi. Lalu perempuan itu bicara lagi.
“ Aku pikir Anda perlu tahu. Sebenarnya hubungan kita ini kupertahankan semata karena aku merasa belum cukup bisa menambah kebencian !”.
            “ Kebencian ? Terhadap siapa ?”.
            “ Anda tidak perlu tahu. Tapi sekarang, kata-kata dan sikap Anda tadi sudah membantuku untuk mewujudkan tujuanku itu. Aku sekarang sudah lebih membencinya. Jadi dengan demikian, maka hubungan kita pun harus berakhir !”.
            Tidak ada lagi suara. Kucoba mengintip ( sejak tadi aku bersembunyi dan menguping dari balik sebuah tiang ). Bayangan perempuan tidak ada lagi. Hanya tinggal bayangan lelaki. Tapi segera kusadari bayangan itu bukan bayangan lelaki yang sama. Tubuhnya lebih gempal dan lebih pendek ketimbang laki-laki tadi. Oi, ternyata bukan hanya aku menguping percakapan tadi. Ternyata ada orang lain dan kini Dia berdiri dengan tangan ditopangkan pada tembok. Kemana perginya pasangan yang mempertengkarkan cinta tadi ?
             Lelaki asing itu tiba-tiba berpaling ke arahku. Wajahnya tidak begitu jelas, tenggelam ditelan temaram cahaya. Namun sinar matanya terasa menusuk tajam. Aku merasa terpojok. Aku sudah bersiap-siap mengambil langkah seribu, siapa tahu laki-laki itu marah dan mengejarku. Ternyata hal ini tak dilakukannya. Dia justru kembali memalingkan wajah dan selanjutnya melakukan sesuatu yang sungguh mati tak pernah kuduga.
            Laki-laki itu kini memanjat tembok. Astaga ! Firasatku buruk. Aku berlari mendekatinya.
            Hei, Bung ! Jangan bodoh !”, kataku berteriak.
            Peringatanku terlambat. Setelah sesaat berpaling lagi ke arahku, bahkan kali ini sempat tersenyum, laki-laki itu meloncat. Detik berikut terdengar suara berdebum.
            Kulongokkan kepala. Gelap penuh. Dari lantai 8 ini, puluhan meter jauhnya, mataku tak bisa menemukan setitik pun cahaya.
Tiba-tiba kurasakan nyeri di belakang kepalaku. Detik berikutnya tubuhku seperti melayang, lalu melesat turun sangat cepat. Aku menggapai-gapai. Percuma. Hanya udara kosong menjilat ujung jari. Kututup mata dan kulihat kembali perempuan itu. Kuhirup lagi harum yang kuprasangkakan datang dari tubuhnya. Aku makin yakin pernah mengenalnya. Juga laki-laki yang bunuh diri tadi. Mereka sama sekali tak asing. Tapi siapa ? Di mana pernah kutemui mereka ?
Aku melayang turun. Terus turun. Sekelilingku makin gelap. Tapi makin harum.

Begitulah, Bung. Tulisanku berakhir di sini. Enam halaman dan kupikir sesungguhnya cukup panjang untuk ukuran draft cerita. Masalahnya, seperti kuutarakan di awal tadi, cerita ini belum rampung. Barangkali baru separuh jalan saja. Jika Tok Awang masih Tok Awang si Juru Cerita yang sama-sama kita kenal, sama sekali tak ada persoalan. Tentu Anda ingat, bahkan sekadar beberapa baris kalimat yang tidak dimaksudkan sebagai cerita bisa diolahnya jadi kisah menakjubkan yang membikin takjub para pendengarnya. Sekarang Dia bukan Tok Awang yang sama. Aku khawatir, jika kuserahkan draf ini padanya, akan percuma karena toh Dia tidak dapat meramunya jadi cerita utuh. Karena itulah, sekali lagi, demi kawan kita yang terkasih, mudah-mudahan Anda berkenan membantu. Salam !





















PENGEMIS

Titian Gea







Lelaki itu terus belari di sepanjang jalan berkerikil, tubuh kering kerontangnya menjadi mangsa teriknya sinar matahari. Entah apa yang ada dalam pikirannya di siang bolong, saat jam terhenti tepat pukul dua belas siang. Aku hanya tahu lelaki itu sedari pagi mengusap-usap sebuah buku lusuh berwarna biru pudar yang tergeletak di hadapannya. Sambil duduk bersila di atas tikar bekas dari orang, Dia menengadah tangannya ke atas mengharapkan beberapa koin atau lembaran rupiah terjatuh tepat di telapak tangan keringnya. Sesekali meringis sambil memelas, sesekali menangis dan berteriak, sesekali mengelus-elus buku biru lusuh itu seakan tidak ingin debu kembali menempel di atasnya.
Tetapi aku tertarik pada baju yang dikenakannya, kemeja abu-abu dengan dasi lusuh berwarna merah dan celana hitam. Penampilannya kacau dan jauh dari sebutan bersih, tetapi mampu mengingatkanku pada sosok pejabat yang setiap harinya berpenampilan hampir sama dengannya, mengenakan kemeja dan berdasi.
Entah siapa yang menyumbangkan baju itu padanya. Apakah ada orang iseng yang memberikan pakaian lengkap itu, sekedar menyindir seseorang atau sebuah kelompok.
Beberapa uang receh yang diterimanya terjatuh di tanah dan berputar menjauh darinya.
Dia kemana ? Hanya beberapa menit aku meninggalkan pikiranku tentang Dia, lelaki itu malah berlari sambil menggenggam erat bukunya. Dia berlari tanpa tahu apa yang dikejarnya.
Koin semakin menjauh darinya, berlari dan seperti ingin menghilang dari pandangan pengemis berdasi itu. Yah, mungkin itu yang dikejarnya hinga Dia terus berlari tanpa henti.
Matahari yang menyengat menjadi saksi atas tingkah mereka berdua yang tak kunjung berhenti dan mengalah. Koin semakin lama semakin jauh dari langkah kaki  tuannya, bisa saja Dia memenangkan aksi kejar-kejaran itu.
Hap ! Langkah kaki itu ternyata terlalu cepat melompat, koin seribu terperangkap di kedua telapak tangannya.
“ Hahahaha ..., dasar pengemis serakah, koin seribu pun tak sanggup kau biarkan hilang dari tanganmu !”, gerutuku dalam hati.
Dia tersenyum puas menatap koin seribu itu kini berada di genggamannya. Tanpa alas kaki Dia kembali menyusuri jalanan berkerikil dan panas, Dia kembali ke sarangnya.
* * *

Aku sudah berulang kali menjelaskan kepadanya kalau tempat itu adalah milik kelompok pengemis terkaya di lingkungan ini, tapi Dia tidak pernah percaya. Memang selama dua minggu ini kelompok pengemis itu tidak bekerja di kampungku dengan alasan berlibur ke luar kota. Dan pagi ini adalah pagi penyambutan mereka. Tepat pukul 06.00 pagi terdengar suara-suara ribut di depan warungku, yang membuat aku harus bangun dari tidur nyenyakku dan segera menemui asal keributan.
Terlihat tiga orang lelaki yang tak asing di mataku menelanjangi pria yang dua minggu ini aktif mengemis di kampung. Hanya sepotong celana dalam yang kini merayap di tubuhnya. Pemandangan yang tak mengenakkan dan tak sepantasnya terjadi di wilayah ini. Tiga orang pria itu tertawa puas menyaksikan korbannya dipermalukan di depan umum.
Aku melihat sepulang dari luar Kota, tiga pengemis alias trio pengemis semakin segar bugar saja, baju mereka malah lebih bagus dari baju yang setiap hari kukenakan. Bahkan aku dengar dari tetangga mereka kini memiliki kelompok besar pengemis yang cabangnya ada di beberapa kampung dan dua minggu yang lalu mereka sengaja keluar Kota untuk mencari manusia-manusia yang ingin menghimpun uang rakyat tipe murahan alias mengemis. Setengah terkejut dan iri melihat kesuksesan mereka. Semakin hari tingkat sosial pengemis semakin tinggi saja dari kami yang bekerja membanting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi. Aku saja yang berpuluh tahun membuka warung tak pernah sanggup liburan apalagi berlibur keluar Kota. Boro-boro berlibur, sehari saja tidak jualan jatah sarapan pagi akan hangus.
Saat ini pengemis sama saja dengan pemakan uang rakyat kelas bawah, sedangkan kata tetanggaku yang paling keren adalah korupsi dan para kaum atas atau kaum elitlah yang mengeluti pekerjaan itu. Koruptor, itulah sebutan para kaum elit yang melakukan korupsi. Dari istilahnya saja sudah sangat keren, belum lagi mendadak masuk Tivi. Hampir semua warga kampungku sering mendengar berita para pejabat yang korupsi dan mereka akan tersenyum melihat dan mendengarnya. Aku juga kurang tahu apa yang sedang mereka pikirkan saat itu.
* * *

Ah, pagi ini ku luangkan waktu untuk bergosip ria. Membicarakan kelompok pengemis yang membuat heboh sekampung. Belum lagi si pengemis yang asal serobot tempat bisnis orang. Padahal sejak kemarin aku sudah beritahu padanya kalau di kampung ini sudah ada kelompok penguasa urusan ngemis-mengemis tapi tetap saja Dia keras kepala tak mau mendengarkan, memang di kampung kami adalah kampung teramai di daerah pinggir Kota, banyak juga para pelancong yang mampir di kampung kami apalagi di depan warung makan milikku, itulah sebabnya depan warungku menjadi tempat yang paling tepat untuk mengemis. Akupun tak pernah keberatan selagi mereka tidak merugikan, maka apa salahnya kubiarkan mereka menjalankan rutinitasnya. Tapi, sekarang masalahnya adalah halaman sempit warungku malah menjadi  rebutan dua belah pihak.
Oleh karena itu, aku menyempatkan diri untuk mengadakan rapat atau mungkin bisa disebut bergosip bersama ibu-ibu tetangga untuk membicarakan masalah tadi pagi.
“ Bu, kita usir saja mereka dari kampung kita. Mereka hanya mengganggu ketentraman kita saja. Mereka kira ngemis itu bisnis apa sampe pake istilah buka cabang segala lagi !”, saran ibu Yati, tetanggaku sebelah yang cerewetnya sudah di atas normal.
“ Iya bu, toh sekarang mereka sudah hidup enak. Malah lebih enak dari kita !”, sambung bu Murni, wanita yang selalu haus akan uang.
“ Sudahlah bu, kita tidak usah mikirin hal itu. Yang harus kita pikirkan, bagaimana membersihkan nama baik kampung kita ini. Jangan sampai kampung sebelah mendengar berita kalau kampung kita sarang pengemis !”, ternyata ibu Suri yang selalu menjaga nama baik keluarganya juga ikut bicara.
Aku pun merasa heran dengan wanita yang satu itu, seberapa mahalkah harga diri dan nama baik hingga memaksa anaknya menikah dengan lelaki tua kaya hanya untuk menjaga kelestarian kekayaan mereka. 
Aku hanya terdiam mendengar celoteh para wanita itu. Niatku untuk bicara pun semakin luntur, mendengar mereka saja telingaku hampir terkatup sendiri. Biarkan sajalah mereka berkoak-koak di depan wajahku, paling mereka akan berhenti dan bubar dari warungku jika telah capek berceloteh dan bibir serta ludah mereka mengering. Harusnya yang dibicarakan adalah bagaimana cara mendamaikan kedua belah pihak itu, mencari jalan tengah dan memutuskan siapa yang akan mengemis untuk hari-hari seterusnya di kampung ini bukannya membicarakan yang lain-lain.
Aku sangat paham watak pengemis pendatang baru itu, Dia adalah pengemis yang sangat handal dan keras. Tidak mungkin segampang itu Dia mengalah hanya karena ditelanjangi. Rejeki yang didapatkannya selama mengemis aku lihat sangat lumayan. Dia sanggup makan tiga kali sehari atau sekedar membeli barang-barang sederhana yang Dia inginkan. Aku memang tidak tahu asal usulnya, dan memang lelaki itu sendiri tidak pernah membuka pembicaraan tentang keluarganya. Tapi aku yakin Dia memiliki keluarga hanya saja Dia tidak pernah mengakuinya.
* * *

Senja semakin dalam, hingga gelap menutupi sebagian bumi. Sesekali bunyi jangkrik terdengar dibalik hujan yang mengguyur malam. Masih saja memikirkan masalah tadi pagi. Aku ingin mengenal pengemis baru itu. Mengapa Dia sangat bersikeras untuk mengemis di kampung ini tepatnya di depan warungku. Padahal Dia masih kuat walau umur sedikit rapuh, dan apakah peristiwa ditelanjangi bukanlah masalah besar baginya atau mungkin urat kemaluannya sudah putus hingga Dia tetap bertahan tanpa bergerak sedikitpun dari tempatnya. Terpaksa para warga kampung dan kelompok trio itu yang meninggalkannya sendiri di sana. Aku hanya terpaku dan merasa risih dengan pemandangan itu. Terpaksa kuberikan padanya sarung milik suamiku. Seharusnya saat itu Dia pergi tapi nyatanya Dia masih saja berdiam diri di tempatnya dan pergi setelah malam mulai merayap.
Tiba-tiba saja aku mengkhawatirkan pengemis itu. Dimakah Dia menginap malam ini ? Biasanya Dia tidur di Post Kamling, tidak jauh dari warungku dan tempat Dia mengemis. Beberapa hari yang lalu setelah aku menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan kelompok trio pengemis yang biasa nongkrong di depan warungku, lelaki itu tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menuju Post Kamling. Tanpa sengaja, pikiran yang terlalu termakan penasaran pun mendorongku untuk menyaksikan ekspresi lelaki itu terhadap pernyataanku padanya. Perlahan aku mengintip Dia di celah-celah dinding kayu warungku. Terlihat ekspresi wajah yang begitu menegangkan dan sangat misterius. Dia terus menatap ke arah warung. Apa yang salah dengan warungku, ataukah ada yang Dia ingin dari sini ? Aku tak tahu dan aku berusaha menenggelamkan pikiran itu dari otakku hingga pada malam ini pikiran itu tiba-tiba mengambang seperti ikan yang mendadak mati di tengah kolam. Otakku berhenti pada detik itu, mencoba berpikir lebih keras dan memecahkan kemisteriusan lelaki pengemis pendatang baru itu. Dia memang pendatang baru di kampung tetapi sikapnya yang ramah membuat Dia diterima di sini, tetapi masalah ngemis-mengemis memang tak sanggup kami atasi sebab trio pengemis itu pun telah membungkam mulut-mulut kami hingga tak ingin bersuara. Biarlah mereka sendiri yang mengambil persetujuan akhir, kami hanya bisa menyaksikan dan jika tidak lagi mampu diatasi maka terpaksa pihak yang lain harus kami paksa untuk mengalah bagaimanapun caranya, karena malasah kelompok pengemis itu adalah masalah kami, dan jika mereka mengamuk maka kamilah yang tertimpa bencana kekacauan. Terkadang aku bertanya sendiri dalam hati, sebenarnya ini kampung kami atau bukan, jika iya, mengapa kami harus menurut pada kehendak para pengemis itu. Apa karena mereka ganas bak binatang buas ? Tapi ini bukan di hutan rimba bung ! Ini adalah kampung, tempat hunian manusia bukan binatang dan seharusnya warga dan pemerintahan kampung kamilah yang berkuasa, tapi kenyataan tak bisa kami tolak, Lurah pun selalu angkat tangan dalam masalah ngemis-mengemis apalagi ini masalah perebutan wilayah yang entah siapa yang ribut, entah siapa pemiliknya. Aku pemilik tanah pun tak tahu berbuat apa. Sudah dikasih hati malah minta jantung, sudah dikasih tempat ngemis, eh malah mengaku wilayah kekuasaannya. Ha, mentang-mentang pengemis sukses.
Pengemis sukses ? Apa ada pengemis sukses ? Pengemis ya tetap pengemis tidak ada suksesnya, tapi yang kutahu dengan mata, hidung dan kepalaku sendiri, mereka sepertinya sukses dalam mengemis hingga mampu membuka cabang. Warung makanku saja yang berpuluh tahun dibuka sampai sekarang tak pernah buka cabang, memperluas ruangannya saja tidak sanggup.
 Cukup ! Aku kembali pada mata lelaki itu. Aku merasakan ketajaman tatapan itu dari sudut sana, seakan ingin menusuk jauh kedalam sasarannya. Tapi apa yang dipikirkannya ?
* * *


Suara ribut dan teriakkan memekakkan telingaku pagi ini. Sebenarnya aku sangat benci bangun terlalu pagi apalagi jika terpaksa bangun akibat suara-suara yang tak jelas. Kembali lagi seperti pagi kemarin, pukul 06.00 pagi aku terbangun dan perlahan membuka pintu rumah. Bagaikan kejutan yang sangat luar biasa, mampu memompa jantungku seratus kali lebih cepat bahkan menggetarkan tubuhku dan mungkin beberapa detik aku berhenti bernafas demi menikmati sesuatu yang ada dihadapanku. Seonggok mayat berlumur darah segar terkulai tepat di depan pintu rumahku, dengan posisi telungkup dan setengah telanjang. Mataku tak berkedip, hingga seseorang mencoba membalikan badan lelaki itu dan ternyata mereka.
Aku segera berlari dari tempatku, berlari ke halaman rumah dengan harapan tak ada lagi mayat berdarah yang kutemukan, tetapi aku melihat dua orang lagi terkapar dengan posisi telungkup dan benar-benar telanjang. Sekujur tubuhku bergetar, aku sangat benci pada darah ! Aku segera berlari dan terus berlari mencari lelaki itu atau aku bersembunyi saja. Aku takut kembali ke kampung.

















































GURU UNTUKMU

Utan Sahiro







Di situ hunianku, di rumah panggung karatan wasiat satu satunya almarhum ayah ibuku. Mereka telah damai di surga, meninggalkanku bersama derita yang kini dititipkan padaku. Aku ditepi Sungai Musi yang kuning kumuh, tempat orang lalu lalang dari daerah terisolasi transmigrasi. Gundah mengharap dan menanti sesuatu yang tak pasti. Belajar tabah sepertinya sulit untuk anak sebelia aku. Ke mana dan pada siapa mengadu. Menjadi palu raksasa yang menghantam dan memecah ketegaran hati. Mendekatkanku pada keputusasaan.
Santunan yang aku terima dari warga kampung kian menipis. Panci dan periuk jarang terjerang di atas tungku, kayu dan api. Aku kecil yang malang lekat dibalut pekat derita. Sejak menjadi yatim disusul piatu sebulan lalu, aku pun putus Sekolah. Padahal ingin kugapai mimpi dan cita-cita yang sempat terpatri.
“ Berharaplah nak, sekalipun Tuhan tak pernah mewujudkan harapanmu. Tuhan Mahapengasih, memberi yang kau butuhkan dari sebuah harapan !”, begitu pesan ayah padaku.
Kusirami dengan indahnya warna-warni serta kemilau sebuah harapan di benakku. Menyalakan rasa hidup yang hampir mati. Membesarkan hati yang menciut didera cobaan hidup tak berujung. Harapan itu menjadi doa dalam hidupku. Untuk ayah, aku menggenggam harapan yang mungkin segera nyata. Dengan akal sehat telah kupilih pilah harapan demi harapan. Ada tanya, apakah harapan atau hanya khayalankah yang kini kurangkai ? Aku hanya tahu itu menjadikan hidupku sedikit berarti. Kelak aku mengerti dua hal yang hampir sama, tapi jelas berbeda. Harapan dan Khayalan.
Harapan yang indah itu bermetamorfosa, saat aku merasa punya mata tapi tak melihat, punya kaki tapi tak dapat melangkah, punya tangan serasa sepenggal. Ada benarnya Tuhan tak pernah memberi apa yang diharapkan. Tapi aku yatim yang merangkap piatu tak ada yang bisa aku perbuat. Hanya berharap Tuhan menjatuhkan pertolongannya. Paling tidak dengan nama – Nya tiba-tiba aku tercekal, seluruh tubuhku sakit, aku meronta, menjerit tak karuan. Merasakan kelam dan dingin, di tempat yang sepi bertemu ayah ibuku. Di sisi lain, berharap ada seseorang yang menjemputku menjadi penawar kesendirian.
Tapi aku manusia biasa yang berakal apa adanya. Dengan sendirinya membuat suatu keraguan pada satu harapan. Gelisah memuncak, bingung membumbung, ragu membeku. Kekhawatiran lekat menyertai harapanku. Bagaimana hidupku bila semua itu tak pernah ada. Tanpa sadar telah mengantisipasi diriku untuk berpikir jernih. Mengajak semangat untuk mendapatkan kebenaran yang harus ditemukan. Berpikir sepantasnya mencari solusi yang lebih nyata. Sayangnya, aku belum cukup dewasa. Tak cukup akal untuk menyelesaikan masalahku. Hingga kekhawatiran menjadi raja dihatiku. Meneror dan menyangkal setiap kali aku berharap dalam doa.
Setahuku, aku hanya hidup sendiri. Tapi siang itu yang terasa sepi, diisi kekhawatiran yang tak menentu. Sebuah perahu bermesin tiba-tiba berlabuh di tepian hunian. Kulihat seseorang menatapku dari atas perahu. Naluri menduga karena tak mengenalnya. Mungkinkah Dia malaikat penyelamat pembawa takdir kebaikan, yang diutus Tuhan seperti pintaku ? Dalam ketidakpastian aku berharap sesuatu yang baik untuk diriku.
Senyumnya memaksa melihatku yang kian lusuh berdiri terheran dalam harapan. Singkat Ia merapat, melompat cepat lambat mendekat, ayunan langkahnya sehat penuh martabat. Aku yang tak mengerti, hanya tersenyum ketika tangan kanannya merusak tatanan rambutku, yang sebenarnya sudah lebih dari hanya sekedar rusak.
“ Kita akan pergi !”, ucapannya lirih sambil tersenyum sedih melihatku.
Aku diam saja.
“ Aku terlambat datang untuk membayar budi ayahmu !”.
Aku masih tetap diam tak paham. Senyumnya hilang matanya berkaca-kaca. Bingung tentang siapa, dari mana, dan kenapa, akhirnya mengajariku untuk berani bertanya. Dia tersenyum lagi sambil mengangguk paham. Selembar foto usang dari dalam dompet diperlihatkan padaku. Aku salah menduga, ternyata Dia pamanku. Hubungan sepupu dengan ayahku.
Dia bercerita memecahkan ketidakpahamanku padanya.
” Sejak kecil kami dititipkan di rumah kakek nenek. Sementara orang tua kami mencari nafkah di tempat yang jauh. Di sungai ini awal penderitaan kami. Saat akan menjenguk kakek yang sedang sakit. Takdir menenggelamkan keluarga itu dan menjadikan kami yatim piatu. Nenek kesulitan menyekolahkan kami setelah kakek tiada. Hanya seseorang yang bisa Bersekolah. Jiwa besar ayahmu membuatku berhutang budi !”, matanya basah, menerawang kenangan pahit masalalu.
“ Dua bulan yang lalu aku terima surat ini. Aku tak menyangka jika tak akan pernah melihat ayah kau lagi. Tapi aku lebih tak menyangka jika ibu kau pun tak kuat melawan sakitnya !”, menetes air matanya membuatku kasihan mengingat diriku.
Ternyata setelah ayahku tiada, ibu sudah merasakan akan meninggalkanku. Lantas ibu mengirim surat lewat kenalannya dikampung seberang.
Cerita itu terdengar seperti dalam Novel, Cerpen, Film atau Sinetron saja. Mulai dari dua anak yang dititipkan. Dua keluarga yang tenggelam. Sampai dua anak yang harus saling mengalah untuk Sekolah. Tapi itulah kenyataannya. Tuhan telah merangkai semua cerita itu. Untuk kudengar, kuhayati dan menjadi bagian dari hidupku. Begitulah Tuhan mengatur kehidupan ini. Jauh ke depan, masa lampau berlalu dalam kenangan. Namun tetap dalam satu rangkaian cerita untuk seseorang, yakni aku.
Peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu tanpa terputus, kini menjadi bagian dari derita hidupku. Yang aku jalani dan harus tetap aku jalani. Kelak, jika Tuhan pun merangkainya, maka akan menjadi bagian dari derita dan bahagia anak cucuku. Itulah Tuhan kawan, tak ada satu kejadian di dunia yang terjadi secara kebetulan. Semua telah digariskan dengan sebuah alasan. Hanya Dia yang bisa begitu dan hanyalah Dia, Tuhan.
Selamatlah aku setelah sempat mengalami sesak dalam ketakutan. Menikmati gemerincing bisikan kematian. Membisu didera haru tak dapat tempat untuk mengadu. Aku bertanya pada diri sendiri, begitukah Tuhan ? Menyiksa dahulu baru memberi pertolongan ? Tak sempat bersusah payah menjawab pertanyaan itu, aku pun bersyukur. Aku tak ingin menyia-nyiakan pertolongan yang datang padaku. Tuhan Mahatahu, jika Tuhan mendengar maka akan datang jawaban itu kedalam pikiranku. Untuk kesekian kali aku mengharap lagi.
Menjauh kami berlalu di atas perahu, di dalam hati ada harapan baru. Menerangi redup pandang pikirku tentang hidup. Ada sedih, aku karena akan ada rindu. Memang pedih aku dis itu, tapi rindu adalah buah untuk semua yang berlalu.
“ Tak perlu bersedih, setiap manusia merasakan kejadian yang sama, hanya berbeda peristiwa dan nama. Sebab itulah pedoman hidup mengacu pada kitab yang sama. Jangan mengira kau manusia paling menderita. Tersenyumlah agar kau menjadi sabar !”, ceramah pendek melantun dari mulut malaikat penyelamatku itu, seperti dukun Ia selalu tahu isi pikiranku. Aku percaya kata-katanya, karena Dia telah dulu merasakan pedih.
Aku merasa malu jika aku harus bersedih. 
Bersamanya aku tinggal, di rumah yang semak dengan kemewahan serta kecukupan. Enggan bagiku untuk menerima semua itu dengan menutup mata. Tanpa diminta dan perintah, aku melakukan sesuatu untuk kepentingan di rumah itu. Aku mengerjakan pekerjaan yang dilakukan pembantu. Di rumah pamanku, di rumah orang yang termakan budi ayahku. Tak apa bagiku karena hidup telah menempah diriku untuk tidak berpangku tangan.
Dengan sungguh-sungguh aku Bersekolah meski sebenarnya otak miskinku kurang mampu. Tapi lihatlah, dengan harapan masa depan yang lekat oleh kekhwatiran, telah membuat diriku sungguh-sungguh. Sudah ketentuan Tuhan dan kodrat alam yang tak menyia-nyiakan sebuah usaha dan doa dalam kesungguhan. Akhirnya aku pun tahu, harapan adalah doa yang tanpa kekhawatiran hanyalah sebuah khayalan dan bukan pula impian.
Kini aku telah menjadi apa yang aku inginkan. Terukir dalam dipikiranku, untuk menilai positif pada apapun yang terjadi. Berprasangka baik pada Tuhan semesta alam menjadikan aku manusia yang bersyukur. Hingga takdir – Nya pun memudahkan jalan hidupku. Aku mampu menyelesaikan Sekolah dengan baik. Menjadi salah satu yang baik diantara yang terbaik. Meraih gelar sarjana seperti harapanku. Satu dari sekian harapan yang kusemai di benakku. Saat aku masih kecil, saat kedua orang tuaku masih bersamaku, menuntun hidupku di sana.
Mengingat masalalu itu dan merasakan hidupku hari ini, aku temukan jawaban atas tanyaku sebelumnya. Ternyata kesusuhan bisa datang tidak sehari saja setelah sehari kemarin datangnya kebahagian. Kesusahan bisa datang bertubi-tubi menghantam sejadi-jadinya, melemahkan serta menggoyahkan jiwa dan perasaan. Begitu pun dengan kebahagian yang kelak akan datang beruntun terus menerus, melambungkan jiwa dan perasaan hingga lupa pada diri sendiri. Untuk mengukur kawan. Ya, untuk mengukur ingat dan syukurmu pada – Nya.
Terima kasih Tuhan, Engkau ajarkan aku pada kebenaran. Aku tersenyum, dengan bibir kering memandang orang di sebelahku.

#
Yen, terdiam sejenak mendengar cerita masalaluku, matanya lekat menatapku. Kubalas pandangannya, Ia berpaling seakan merasa bersalah pada keputusasaannya. Malam ini begitu panjang bagi kami. Masa depan yang tak kunjung berubah. Menjadi kebosanan menyebabkan Dia bermurung. Sudah beberapa hari aku tak melihat semangat dalam senyumya. Kemurungan yang terlalu dibawa-bawa. Membuat malam ini aku harus menyisihkan waktuku untuk menceramahinya. Hanya cerita masalalu untuk Yen, membawahi kesedihan yang Ia tanggungkan. Sebenarnya, aku tak cukup peduli dengan yang Ia rasakan. Tapi aku hanya ingin berbagi untuk orang-orang seperti Yen. Sebab tubuh itu tanpa sebuah semangat pasti akan roboh.
Yen, temanku dari Nganjuk, malam bekerja sebagai Sekuriti di Apartemenku. Saat terang Dia pergi ke Hospital. Menjadi Guide atau sekedar memberi informasi tempat penginapan. Mencari penghasilan tambahan dari orang-orang Indonesia yang datang berobat. Sudah tiga tahun lebih Ia menjadi pendatang di sini, di Pulau Penang. Kurus kering seluruh tubuhnya, seperti semangat hidupnya kini. Sedang aku baru setahun di sini. Untuk belajar dan menyelesaikan program beasiswaku.
Perkenalanku dimulai saat pertama kali aku datang ke sini. Begitu ramah senyumnya, menyentuh akrab setiap kali kami bertemu. Aku yang kala itu baru saja tiba, sering bertanya padanya tentang kedaan lingkunganku yang baru. Membuka obrolan yang panjang antara aku dan Yen.
Yen menjadi pendatang di sini menyandang status sebagai TKI. Tak tahu dari mana asal kata itu. Beberapa kata yang mengandung unsur tragis dan siksa. Tapi setahuku itu sebauh nama yang disematkan oleh pemerintah. Tak aku hiraukan, karena itu akan tetap seperti itu. Selagi pemerintah belum cukup akal untuk menyematkan nama. Tidak hanya baik dalam sebutan tapi juga baik dalam jaminan hidup. Namun itu sudah cukup baik. Hanya lebih baik lagi jika itu tak pernah ada. Seperti harapan Yen, seandainya di Tanah Air bekerja bisa menjadikan hidup lebih baik. Tak pernah ada keinginannya untuk meninggalkan Tanah Air tercinta tempat pusara bertahta.
Dari sebuah kampung nun diantara kampung di pulau Jawa. Melangkahkan kaki dalam sebuah harapan. Mendapatkan pekerjaan dan menghidupi keluarga lebih baik lagi. Dengan hanya bermodalkan kemauan dan keberanian. Tanpa ilmu, tanpa teori, tanpa secerik kertas pujian. Hanya bermodalkan diri dan pribadi berharap mendapatkan penghasilan lebih banyak. Lebih baik bila dibandingkan di Negeri sendiri, yang minim gaji kerja setengah mati.
Cerita yang aku dengar, Ia adalah anak lelaki sulung dari keluarga yang miskin. Menjadi tumpuan harapan ibu, istri dan adik-adiknya. Sedang ayahnya pergi merantau ke langit ke tujuh yang tak akan kembali. Sebenarnya keluarga Yen tak rela melepaskan Ia dan keinginannya. Tapi tak ada yang bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya. Pernah berbagai macam pekerjaan telah Ia lakoni di Tanah Air. Menjadi pengamen, tukang parkir, tukang cat, cleaning services, tukang kebun, tukang tambal ban, dan masih banyak lagi. Menjadi yang bukan dirinya untuk menghidupi keluarganya. Namun sayang, bekerja setengah mati tak cukup bisa menghidupi.
Akhirnya Ia melangkahkan kaki di sini, bersama seorang teman. Awalnya hanya menjadi seorang tukang kebun di rumah seorang Datuk. Begitu katanya mereka menyebut orang terpandang di Malaysia. Namun karena gaji, selalu ada tawaran untuk beralih profesi. Mendapat gaji yang lebih baik dengan bekerja lebih sedikit. Setelah beberapa lama dan cukup banyak kenalan sesama TKI, yang memang banyak di Malaysia. Yen mendapat tawaran dari seorang teman. Hingga akhirnya, sudah lebih dari dua tahun Yen bekerja di Apartemen ini. Menjadi penjaga malam atau Sekuriti sebutan kehormatan untuknya.
Aku tahu Yen orang yang tegar, hanya saja Dia telah lupa bagaimana menegarkan dirinya. Menjadi TKI dan tulang punggung keluarga tanpa ilmu sebagai bekal. Menerima dan mengalami banyak kesulitan menjalani hidup. Berbagai cobaan telah Dia rasakan, membuat Ia lupa untuk tegar. Aku merasakan apa yang Dia pikirkan. Akhir dari ceramah dalam obrolan itu, kukatakan pada Yen.
“ Tanpa harapan roda nasibmu tak akan pernah berputar. Masa laluku kiranya bisa menjadi Guru Untukmu !”.
Dia mengangguk dan aku tersenyum. Malam berlalu, aku pun menderu dalam tidurku, sebelum terlelap aku berharap. Semoga esok ada semangat dalam senyum Yen. Semangat yang tak akan luntur didera goda dan waktu.
















KONTRIBUTOR


















Adhiet’s Ritonga
Merupakan Nama Pena dari Muhammad Khaidir Ritonga, S. Pd. Guru di MAN Tanjungbalai Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, serta Seni dan Budaya Nusantara. Asisten Dosen ( alm ) Drs. Nasrun Adil., M. Hum, untuk S 1 PGSD. Lahir pada tanggal 20 April 1984, anak ke tiga dari enam bersaudara. Ialah anak dari Bapak Awaluddin Ritonga dan Ibu Aminah Lubis. Rutinitas yang dilakukan selain Mengajar adalah Menulis dan mengelola Wadah Kepenulisan dengan Nama Sanggar Pelangi, meski sekarang belum resmi berdiri. Telah menghasilkan beberapa Naskah Puisi, Cerpen, Novelet dan Naskah Drama serta Artikel Sastra dan Ilmiah. Karya Puisi, Cerpen dan Artikel sering kali dimuat dalam Harian Analisa dan Harian Waspada. Untuk Novelet masih berbentuk Naskah dan sedang dalam penyempurnaan untuk dijadikan Buku. Sudah pula melahirkan Buku Antologi Puisi dan Cerpen bersama, diantaranya ; Antologi Puisi “ Justin Bibier My Idol ”, Yandigsa DKK. Leutika Prio Yogyakarta, Juni 2011. Antologi Puisi “ KUMPUI ( Kumpulan Puisi ) bersama Dara Penuh Warna ”, Adhiet’s Ritonga end Friend. Leutika Prio Yogyakarta, Februari 2012. Antologi Puisi “ Ayat – Ayat Ramadhan ”, Yandigsa dan Kawan – kawan. A. G Publishing Yogyakarta, Juli 2012. Antologi Puisi “ Bumi Indonesia Kami Tercinta ”, Adhiet’s Ritonga dan Kawan – kawan. Hasfa Arias Yogyakarta, Agustus 2012. Antologi Cerpen “ Putus ”, Penulis Kelompok Hafsoh. Hafsoh Publishing Medan, Juni 2012. Saat ini menetap Lajang di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara.

Al – Hilal Siagian
Lahir dari pasangan Bapak H. Ahmad Siagian dan Ibu Hj. Rusnah Saragih di Sarang Helang, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan, 15 Maret 1990. Berdomisili di JL. Pancing VII Mabar Hilir. Tulisannya banyak dimuat di buletin Jumat Ulul al-Bab IAIN-SU antara lain : Menyingkap Tabir Aliran-aliran Sesat, Kecaman Bagi Para Koruptor, Managemen Islam dalam Mengatur Kehidupan Manusia, dan lain-lain. Redaktur Buletin : Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid., MA ( Pembantu Rektor IAIN-SU ). Sekarang bergiat di Komunitas Sastra Indonesia ( KSI ). Alumni Penidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara ( PKU. MUI-SUMUT ) angkatan ke II tahun 2012. Email : ibnuahmadalhilal@gmail.com Facebook : Kotuk Larung. Telp : 0852 7850 7967.

Askar Marlindo
Lahir, besar, tinggal dan menetap di Medan, 30 Juli 1982. Anak kedua dari empat bersaudara, Pasangan Bapak Karnain Jambak dan Ibu Aisyah Malumin Ginting. Berprofesi sebagai Guru di SMP Al – Bukhori, Mata Pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin, juga Aktif Menulis Fiksi dan Nonfiksi. Alumni Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian. Memang, kesemuanya tidaklah berkesinambungan. Namun, begitulah Ia menjalani hidupnya. Berdoa kepada Allah SWT dan selalu berusa demi menggapai cita – cita sampai ke Negeri China, begitulah yang Ia percayai dalam agamanya, Islam. Ada segenggam Prestasi yang pernah diukir, meliputi :
            Duta Bahasa Sumatera Utara, 2008. Penulis Kreatif HUT PLN ke 62 Tahun, 2010. Penulis Kreatif HUT Tata Ruang, 2010. Juara III Penulis Terbaik, Dewan Riset Daerah Sumatera Utara, 2011. Juara I Menulis Puisi, predikat Penulis Terbaik Tingkat Nasional, 2011. Juara I, predikat Penulis Ilmiah Terbaik, dalam rangka HUT GMPI PPP Sumatera Utara, 2011. Juara II Vocal Solo, oleh PT. Kompak Indopala. Bergabung dalam Komunitas Kepenulisan, diantaranya Forum Tinta Sahabat, Forum Sastra Bumi, Group Taman Sastra, Taman Bacaan, Perkumpulan Calon Penulis, Rumah Pena, Kroncong Erick Punya dan RSS Training Center. Karya Fiksinya sudah beredar di pasaran dalam bentuk Antologi Puisi “ JUSTIN BIBIER MY IDOL ”, bersama Yandigsa dkk, Leutika Prio, Juni, 2011.
            Askar menyukai silaturahmi untuk mengeratkan persaudaraan, untuk itu sudi kira berkunjung ke alamat rumah di Jalan Kapten Muslim, Gang Bersama, Nomor 112, Kelurahan Helvetia Tmur, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Andai tidak memiliki waktu, kirim saja pesan Via Email, alamatnya amarlindo@yahoo.com. Bisa juga melalui FB dengan nama alamat Askar Marlindo. Jika yang mempunyai Hobby sms, silakan tekan Nomor Ponsel 085262794686.

Biolen Fernando Sinaga
Lahir di Pardomuan Dairi, Sumatera Utara. 3 Desember 1973. Alamat : Jln Rebab No 19, Pasar II, Padang Bulan Medan 20156. Menulis Cerpen, Cerbung dan Puisi di beberapa media seperti Majalah Kawanku, Anita, Aneka, Tabloid Nova, Jakarta. Harian Analisa, Harian SIB, Medan. Juga mengerjakan ilustrasi Puisi dan Cerpen. Pernah memenangkan Lomba Rancang Stiker dan Lomba Bernyanyi, serta memerankan dan menyutradarai Drama Religi. Telah pula menerbitkan Buku, diantanya : Antologi Cerpen Pilihan Analisa 2005. Antologi Puisi Amal Tiga Biru Segi, Hasfa Publisher, 2010. E-book/Buku Antologi 111 Resolusi Diri, Hasfa Publisher, 2011. E-lovestory/Buku #13 nulisbuku.com, 2011. Antologi Esai Amal 'Indonesia Memahami Kahlil Gibran', Badan Pelestarian Pustaka Indonesia, 2011. Antologi Esai Mengapa Kita Mencintai Capung ? Dragonfly Society, 2011. Antologi Esai 'Mengenang Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim', 2011. Antologi Esai Amal 'Aku dan Buku', 2011. Antologi Cerpen 'Kisah Pelangi 3'. Editor Wahidin Sinaga, nulisbuku.com, 2011. Antologi Cerpen Anak 'Dearlove', Hasfa Publisher, 2011. Antologi Esai 'Danau Toba Untuk Dunia", 2011. ( Rencana ) Antologi Puisi Rumah Puisi #1 Grup Rumah Puisi/Ady Azzumar. ( Rencana ) Antologi Puisi Rumah Puisi  #2 Grup Rumah Puisi/Ady Azzumar. Cerpennya 'Taman Bacaan Mini' terpilih menjadi 15 besar dalam cerpenkecilmemperbaikiindonesia dengan Tema "Menanam Gemar Membaca"/Okti Li 2010-2011. Menjadi Penulis STATOM Teraktif FB Leutika Publisher pada Januari 2011 dan Februari 2011, dan 5 Besar Penulis STATOM Terbaik Ultah FB Leutika Publisher. Sedang aktif mengikuti beberapa lomba menulis online. Nama FB  : Biolen Fernando Sinaga. Alamat Email : biolenfsinaga@yahoo.co.id Nomor Ponsel 0812 649 2760.

Dani Sukma AS
Lahir di Desa Ujung Batu III, 1 Januari 1986. Anak pertama dari pasangan Bapak Sutrisno dan Ibu Sujiati ini merupakan Pendiri Komunitas Penulis Anak Kampus ( KOMPAK ). Karyanya telah dimuat dibeberapa surat kabar, seperti Majalah Pendidikan dan Sastra ( Pendistra ), Majalah Kreatif Unimed, Harian Waspada, Harian Medan Bisnis , Harian Analisa dan lain-lain.
            Selain tersebar di surat kabar, karyanya juga termaktub dalam beberapa Antologi Sastra, antara lain Antologi Cerita Pendek Indonesaia “ Artefak ”. Antologi Cerita pendek “ Cermin ”. Antologi Puisi “ Suara Peri dan Mimpi ”. Antologi Puisi 53 Penyair Medan “ Cahaya ”, Antologi Flash Fiction “ Kampoeng Horas dan Antologi [mirip] Cerpen Para Penanti. Kerap diundang sebagai pembicara dan Juri Sastra, serta aktif menjadi salah seorang Aktivis Sastra yang membina para penulis muda. Kini menjadi Dewan Penasehat Komunitas Tanpa Nama ( KONTAN ) dan Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesia ( KOMPENSASI ).  “ Aku berkata, maka aku ada ” menjadi filosofi hidup yang begitu teguh dipegangnya. Bagi yang ingin berkarib dapat menjenguk Fb/Email: wongjowo.dani@gmail.com.

Dewi Agus Fernita Ginting
Seorang putri sulung bagi pasangan Bapak Bangsa Ginting dan Ibu Malem Kita Ketaren, lahir pada 25 Agustus 1991 di Kabanjahe. Memiliki tiga orang adik, dua orang perempuan dan satu adik laki-laki, dan dibesarkan dalam keluarga Kristen. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan dan bergiat dalam Komunitas Tanpa Nama ( KONTAN ). Di samping itu bekerja juga sebagai salah satu pembimbing ( tentor ) bahasa Indonesia di Medica. Memiliki motto : “ Hidup adalah pelayanan ”. Adapun tulisan baik Puisi, Cerpen dan Artikel, telah di muat di media masa seperti Analisa, Waspada dan Gerbang Renungan Anak Muda. Pernah menjadi pemenang hiburan dalam Lomba Baca Puisi Rumah Kata, tingkat Sumatra Utara, sebagai pembaca Favorit dalam Lomba Baca Puisi, katagori Mahasiswa Medan Arts Festival 2010. Pernah memerankan utama dalam Teater yang berjudul “ Rintrik ” bersama team Sketsa Bumi yang tampil di Taman Budaya, Sumatra Utara. Dan beberapa karya telah dibukukan seperti di Antologi Puisi “ Kanvas Sastra ”, Antologi cerpen “ Ma Hyang ”, “ Kampung Horas ”. Terakhir Antologi Puisi “ Bumi Indonesia Kami Tercinta ” Adhiet’s Ritonga dan Kawan – kawan. Hasfa Arias, Yogyakarya, Agustus 2012. Saat ini tinggal di Jln. Sering. No. 118. Medan, Sumatra Utara. Jika ingin mengenal lebih banyak, silakan di e-mail yang dapat di hubungi ialah dewiagusfernitaginshu@yahoo.com atau di no hp 0858-3032-6272.

Eko Bambang
Pria ini lahir pada tanggal 25 Agustus 1987. Tinggal di Binjai Sumatera Utara. Alumni Universitas Sumatera Utara, Fakultas Teknik Mesin. Selain hobby menulis Cerpen, Novel dan Puisi, Dia juga suka sekali Menulis Komik, Melukis, dan Menciptakan Lagu. Selain itu Dia juga suka mempelajari hal-hal baru, seperti yang saat ini Dia mempelajari Sulap. Mengagumi dahsyatnya dunia khayalan yang tak terbatas. Pernah beberapa kali diminta untuk Merancang Sampul Buku Sastra dan Ilustrator Bacaan. Pendiri Dream Power Publishing. Jika ingin diskusi seputar dunia Menulis, Komik dan Sulap dapat dihubungi di Email ekobambang59@yahoo.com dan Facebook btxdragon@yahoo.co.id. CP : 081973405083

Jones Gultom
Lahir 26 Oktober 1982 di Perbaungan, Sumatera Utara. Karya sastranya tersebar di sejumlah media cetak lokal maupun nasional, antara lain Harian Waspada, Analisa, Mimbar Umum, SIB, Global, Sumut Pos, Medan Bisnis, Kiprah ( alm ) Harian Sumatera ( alm ) Aplaus, Menjemaat, Suara Hati, Salus, Majalah Cover, Bianglala ( Jakarta ) Travel Club ( Jakarta ) Suara Pembaruan ( Jakarta ) Majalah TAPIAN ( Jakarta ) Trans Jakarta, Majalah Seni dan Budaya GONG ( Yogyakarta ) serta di beberapa website sastra. Karyanya terbit dalam beberapa Antologi antara lain Ragam Jejak Sunyi Tsunami, 2005. Jelajah, 2006. Denting, 2007. Medan Puisi, 2007. Medan Sastra, 2007. Menuai Hikma dalam Nestapa, 2009. Aktivitas kesenian yang pernah diikuti : Parade Teater Sumut 2002 dan 2003, Peksiminas VI di Yogyakarta 2002. Festival Teater Alternatif GKJ Awards di Jakarta 2003. Ekologi Art di Tuktuk, Samosir 2003. Peksiminas VII di Bandarlampung 2004. Kongres Cerpen Indonesia ke IV di Pekanbaru, Riau 2005. Pameran Puisi Penyair Sumatera Utara Harian Analisa 2006, International Poetry Gathering bersama Penyair se ASEAN di Medan 2007. Temu Sastrawan Se-Sumatera di Taman Budaya Sumtera Utara, Desember 2007. Kongres Sastrawan Sumut 2009. Saat ini bekerja sebagai Redaktur Budaya di Harian Medan Bisnis. Alamat Taman Budaya Sumatera Utara Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan. No HP 0815 3328 8476

M. Raudah Jambak
Lahir di Medan, 5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan Seni, Sastra dan Budaya. Lokal, Nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta ( Teater, 1995 ). LMCP_LMKS di Bogor ( sampai 2008 ). MMAS Guru - guru seluruh Indonesia di Bogor, 2000. Work Shop Cerpen MASTERA, di Bogor 2003. Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta 2003 dan Workshop Teater Alternatif, di TIM Jakarta 2003. Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh, Monolog 2004. Menyutradarai Monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka Monolog Nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Ikut membidani Cublis di Lampung 2009. Membacakan Puisi di Gedung Idrus Tintin Riau 2010. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar/majalah Indonesia – Malaysia. Saat ini bertugas sebagai Guru Sastra dan Dosen Filsafat Universitas Panca Budi Medan. Asyik membidani Komunitas Home Poetry. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya juga sudahterbit misalanya : MUARATIGA ( Antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia ). KECAMUK ( Antologi Pusi bersama Syahril OK ). TENGOK ( Antologi Puisi Penyair Medan ). Antologi Puisi MEDITASI ( Sastra Religius, 1999 ). Antologi Puisi Seratus Untai Biji Tasbih ( Sastra Religius, 2000). Antologi Esay PARADE TEATER SEKOLAH ( Aster, 2003 ). Antolgi Esay 25 Tahun Omong-Omong Sastra ( 2004 ). Antologi Puisi 50 Botol Infus ( Teater LKK UNIMED : 2002. Antologi Puisi Amuk Gelombang ( Star Indonesia Production : 2005. Antologi Puisi Ragam Jejak Sunyi Tsunami ( Balai Bahasa Medan : 2005). Antologi Puisi Jogja 5,9 Skala Richter ( Ben tang : 2006). Antologi Puisi Medan Puisi ( 2007 ). Antologi Puisi TSI 1 Tanah Pilih ( Disbudpar Jambi : 2008 ). Antologi Pusi Penyair Muda Malaysia – Indonesia ( PENA Malaysia : 2009). Antologi Puisi, Cerpen, dan Naskah Drama Medan Sastra ( TSS-TSSU : 2007 ). Antologi Puisi Medan International Poetry Gathering ( 2008 ). Antologi Puisi dan Cerpen Merantau ke Atap Langit ( Teater LKK UNIMED : 2008). Antologi Cerpen 30 Terbaik Lomba Cerpen Tingkat Nasional Festival Kreativitas Pemuda 2007 :  LOKTONG ( CWI : 2007 ). Antologi Cerpen Tembang Bukit Kapur ( ESCAEVA Jakarta : 2007). Antologi Puisi FLP Indonesia ( 2008 ). Penyair Urban Antologi Puisi Laboratarium Sastra ( 2008 ). Antologi Cerpen RANESI – RADIO NEDERLAND SIARAN INDONESIA ( GRASINDO : 2009 ). Antologi Cerpen Denting ( DKM : 2006). Antologi Cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah ( Disbudpar Pangkalpinang : 2009). Antologi Cerpen Dari Pemburu Sampai Ke Teraupetik Majelis Sastrawan Asia Tenggara ( Pusat Bahasa : 2003 ). Novel Putri Runduk ( Pusat Bahasa Jakarta, 2008 ). Antologi Cerpen LMCP Guru ( 2007-2008-2010 ). Antologi Cerpen TSI 2 Jalan Menikung ke Bukit Timah ( Disbudpar Pangkal Pinang-BABEL,2009 ). Antologi Cerpen TSI 3 UJUNG LAUT PULAU MARWAH ( Disbudpar Tanjung Pinang : 2010 ). Antologi Puisi Narasi Tembuni - KSI Award, The Rocker ( mengenang Murtidjono ). Unggulan I Tarung Penyair se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang. Alamat Rumah : Jln. Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E. 10. Sei Sikambing B, Sunggal. Medan. Sumatera Utara. Kode Post. 20122. Alamat Pekerjaan di Taman Budaya Sumatera Utara, Jln. Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. Sumatera Utara. HP. 085830805157. E-Mail : mraudahjambak@yahoo.com

Maulana Satrya Sinaga
Lahir di Medan 4 Januari 1989. Berlamat di Jln. Danau Siombak. No. 38. Medan Marelan. Karya-karyanya pernah dimuat di Harian Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Jurnal Bogor, Analisa, Medan Bisnis, Sumut Pos, Harian Global, Jurnal Medan,  Buletin Budaya dan Sastra Riau dan Skala Indonesia serta Majalah Horison. Juga termaktub dalam Antologi Bersama antara lain ; Antologi Cerita Pendek Indonesaia “ Artefak ” , Labsas 2009. Antologi Puisi Disbudpar ( Tarian Angin, Labsas. 2011 ). Pertemuan Penyair Nusantara V ( Akulah Musi, 2011 ) dan Temu Sastrawan Indonesia IV ( Tuah Tara No Ate, 2011 ). Buku puisinya “ Perempuan Tanjung “ ( Javakarsa Media, 2012 ). Terakhir pernah di kirim ke Ternate dalam Diskusi Sastra. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia ( KSI ) Medan. No Handphone : 085372719342

Rian Harahap
Lahir di Pekanbaru, 5 Juli 1989. Saat ini tercatat sebagai Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Lulusan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Memilih Pendidikan Guru sebagai jalan hidup dan Teater sebagai ruang hidup. Terpilih sebagai aktor perwakilan Sumut dalam ajang Pekan Seni Mahasiswa Nasional PEKSIMINAS, di Pontianak, Kalimantan Barat, 2010. Pernah terlibat menyutradarai beberapa pementasan, yaitu ; "Tsunami ( 2010 )" dan "Bujang Lapuk ( 2010 ). Pernah menjadi Asisten Sutradara dan Pimpinan Produksi Teater Sisi UMSU dalam naskah "Paranoia ( 2011 )" di FESTAMASIO V, Palembang. Serta mendapat Penyaji Terbaik III se-Indonesia. Menjadi Sutradara SIGN THING dalam TEMUTEMAN IX di Pekanbaru ( 2011 ). Tulisan-tulisan berupa Sajak, Cerpen dan Artikel kerap menghiasi media lokal seperti Analisa, Medan Bisnis dan Waspada, Suara Pembaruan, Sinar Harapan dan Riau Pos. Beberapa Cerpen masuk dalam Antologi FF,  “ Gurau-gurau Bawah Tanah ” , Labsas, Medan, 2011. Antologi FF “ Kampoeng Horas ”, Leutika Prio, Jogjakarta, 2011. Dapat dihubungi di selularnya ; 085278426757 atau situs sosial Facebook ; Rian Harahap dan Twitter; rianharahap89.

Rina Mahfuza Nasution

                     Tempat tanggal lahir di Medan 9 September 1975. Lulusan Diploma Akuntansi dan bekerja sebagai Pegawai Swasta. Saat ini tinggal di Jln. Brigjend Katamso No. 260. Sei Mati, Medan. Mulai menulis dari tahun 1989, tetapi pertama kali dimuat pada tahun 1991 di majalah Dunia Wanita – Medan. Tahun 1992 mengikuti sayembara mengarang Cerpen Majalah Anita Cemerlang, tetapi hanya mendapat kesempatan dimuat sebagai cerpen biasa. Pada tahun 1993, salah satu puisinya diperbincangkan dalam Puisi-puisi Koran Sabtu Pagi yang diterbitkan oleh Studio Seni Indonesia (SSI) – Medan. Pernah aktif dalam Forum Komunikasi Penulis ( FOKUS ) sebagai Wakil Sekretaris. Selanjutnya cerpen Beliau sering menghiasi beberapa harian di Medan, seperti Analisa, Global, Andalas, Waspada dan Medan Bisnis. Cerpennya juga sudah menembus media nasional seperti Majalah Story dan Harian Republika – Jakarta dan Harian Radar Surabaya. Salah satu Cerpennya diterbitkan oleh Dewan Kesenian Sumatera Utara ( DKSU ) tahun 2007. Desember 2009 cerpennya berjudul “ AIR ” masuk dalam Antologi Cerpen Medan yang diterbitkan oleh Komunitas Seni Medan. Tahun 2010 cerpen berjudul “ ZAHRA ” termuat dalam antologi bersama yang bertajuk “ Ini Medan, Bung !” Sejak beberapa tahun ini menjadi anggota KSI ( Komunitas Sastra Indonesia - Medan ). No. Telp :  061 – 4149792. No. HP :  0813 616 99 771.

Sakinah Annisa Mariz
Adalah Nama Lengkapnya, lahir di Medan, 2 Mei 1991. Putri sulung dari pasangan Bapak Novrizal dan Ibu Siti Halimah ini, berdomisili bersama orangtuanya di Medan. Gadis yang lebih akrab disapa Kina ini menyukai sastra sejak Sekolah Dasar. Mulai menulis di Media Massa setelah duduk di bangku Madrasah Aliyah. Karyanya berupa Cerpen, Puisi, Opini, dan Essay, dimuat di Harian Analisa, Harian Waspada, Harian Global, Medan Bisnis dan situs berita online Kompas.com. Juga Menulis di majalah Youngs Magazine dan Surat Kabar Bahasa Lidah Ibu, Yogyakarta. Beberapa karyanya termaktub dalam Antalogi Cerita Pendek ( Artefak, Lab Sastra Medan, 2009 ). Kumpulan Puisi ( Suara Peri dan Mimpi, HMJ BSI SUMUT, 2010 ) dan Antalogi Cerpen ( Cermin, HMJ BSI SUMUT, 2010 ). Merupakan Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan. Bergiat di Laboratorium Sastra Medan, HMJI BSI SUMUT, Komunitas Sastra Indonesia ( KSI ) Cabang Medan dan Teater Anak Negeri. Diusianya yang masih tergolong muda, sudah mampu menjadi Pemateri Seminar. Jika ingin menghubungi Kina, bisa sms ke Nomor Kontak : 081263977252, atau mengirim pesan ke  Email Kina : sakinahmariz@yahoo.co.id.

Sri Rizki Handayani
Lahir di desa Bengkel, Deli Serdang, SUMUT pada tanggal 10 Juli 1986. Anak ke 6 dari pasangan Bapak Akhyar Syam ( alm ) dan Ibu Farida Hanum. Saat ini menetap di desa Sidodadi, Aceh Singkil bersama buah hati Muhammad Fikri Hasan Pujangga dan suami tercinta. Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP UMSU. Selain menulis puisi dan cerpen, aktif menekuni dunia teater. Karya puisinya termaktub dalam antologi puisi “ Suara Peri dan Mimpi ” ( Labsas : 2009 ) serta harian Analisa dan Medan Bisnis. Karya cerpennya termaktub dalam “ Cermin ” ( Labsas : 2009 ) dan “ Artefak ” ( Labsas : 2008 ). Pernah memerankan ibu dalam Drama Islami “ Ada Apa dengan Iyan ”, 2004 dan “ Sadarlah ”, 2005 bersama RM PRNR. Dramatisasi Puisi “ Musang Berbulu Domba ”, 2002. Mengisahkan ulama yang salah bersikap, memerankan ibu dalam Pementasan Pelestarian Seni dan Budaya “ Cinta Tanah Air ( Seni Budaya Bangsaku ) ” bersama KHP yang diselenggarakan KESBANG POL. Dan LINMAS di Sergai dan Langkat, 3 dan 10 Juli 2010. Aktif di berbagai kegiatan Organisasi, seperti pernah menjadi Sekum RM PRNR ( 2004-2005 ). Wakil Bendum HMJ BSI se-Sumut ( 2006-2007 ), Sekum HMJ BSI FKIP UMSU ( 2007-2008 ). Pengurus HMJ BSI se-Sumut ( 2008-2009 ). Sekum BEM-FKIP UMSU ( 2008-2009 ). Sekbid PW DPD IMAKIPSI ( 2008-2009 ). Ketua Umum KOMPAK ( 2009-2010 ). Pembina KOMPAK ( 2010-sekarang ). Saat ini mengelola Taman Pendidikan Anak Al-Hasanah dalam bidang Al-Quran dan Iqra serta beberapa mata pelajaran Sekolah Dasar dan SMP. Mengaplikasikan pendidikan yang diperoleh sebagai Dosen Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia SD, Keterampilan Dasar Menulis dan Menulis 2dua di Universitas Terbuka, Aceh Singkil.

Sri Wahyuni
Terlahir di Medan, pada tanggal 2 Oktober 1986, sebagai sulung dari empat bersaudara. Menamatkan Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Medan, berlanjut ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 27 Medan, memilih Perguruan Prayatna sebagai tempat menamatkan SMA, dan berakhir di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara sebagai seorang Sarjana Pendidikan. Minatnya pada dunia tulis menulis dimulai ketika duduk di semester dua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Berawal dari sebuah keisengan, malah semakin rajin menulis kala itu. Teman-teman sekelas menjadi pembaca pertama tulisannya. Tidak disangka respon yang diberikan teman-teman baik, dan sangat mendukung. Tahun 2006 Ia coba mengikuti Lomba Menulis Cerita Pendek diselenggarakan oleh BEM FKIP UMSU, tidak tanggung-tanggung saingan waktu itu Kakak Senioran yang sudah tidak diragukan lagi kemampuan menulisnya. Tapi siapa sangka cerpen pertama berjudul “ Pak Adam Guruku ” mendapatkan Juara 1. ( Adhiet’s Ritonga meraih Juara III ). Setelah perlombaan itu Ia jadi senang mengikuti Lomba Cipta Cerpen, tapi mungkin nominatornya lebih darinya kemampuan menulis mereka, maka jarang mendapat Juara. Namun hal itu tidak menghentikan langkahnya untuk tetap menulis. Tahun 2009 Ia kembali ikut perlombaan yang diadakan BEM PAI UMSU, di perlombaan itu Ia berhasil membawa pulang Juara II. ( Bertemu dengan Meutia Hafid, ekaligus dapat buku yang ditulisnya beserta tanda tangannya ). Dari mengikuti berbagai Lomba, teman dekatnya ( Adhiet’s Ritonga, red ), mendorong untuk bergabung di Forum Lingkar Pena ( FLP ) Wilayah SUMUT. Mengikuti berbagai tes, dari tes metulis, hingga wawancara. Ia terpilih sebagai salah satu peserta yang bisa mengikuti kegiatan magang selama kurang lebih 3 bulans, sedangkan teman dekatnya itu tidak berhasil lolos. Semasa kuliah aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan ( HMJ ), awalnya Ia dipaksa menjadi sekretaris HMJ, bukan karena Adhiet’s Ritonga yang menjadi Ketua HMJ pada waktu itu, melainkan ada rasa minder yang menyerang. Tapi dari situlah Ia tahu kemampuannya dalam menggunakan ketrampilan Berbahasa.

T Agus Khaidir
Lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1975. Menulis beberapa puluh cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di berbagai media cetak terbitan Sumatera Utara dan Nasional. Beberapa termuat dalam sejumlah Antologi bersama. Tinggal di Medan dan hingga saat ini tetap setia menekuni ranah kewartawanan. Pernah bekerja untuk Harian Global ( surat kabar yang sempat berubah nama menjadi Jurnal Medan sebelum berhenti terbit ), sebagai redaktur Fotografi hingga Mei 2010. Sampai hari ini masih bekerja di Harian Tribun Medan dengan jabatan terakhir redaktur desk olahraga. Di surat kabar yang sama juga menulis esai-esai sepakbola, musik film dan kemanusiaan. Masih terus memotret untuk liputan panggung dan art serta berpameran. Dua pameran terakhir digelar bersama Pewarta Foto Indonesia ( PFI ) Medan, yakni Kaleidoskop Sumut 2010 serta PSMS Medan dari masa ke masa (2012). Sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa dan ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja masih tetap bermain sepakbola, mengisi posisi gelandang tengah, mengandaikan diri sebagai Paul ‘Gazza’ Gascoigne, sekadar mengenang cita-cita masa lalu yang harus kandas sebelum sempat menjadi orok. Dapat dihubungi di Email: ags_rossifumi@yahoo.com atau di Nomor kontak : 081370265574

Titian Gea
Lahir di kota Gunungsitoli, Nias pada tanggal 14 November 1991. Anak perempuan dari Bapak Fati Sochi Gea dan Ibu Idami Gea, merupakan anak ke empat dari enam bersaudara. Menganut agama Kristen Protestan. Seorang mahasiswa yang masih menimba ilmu di Universitas Negeri Medan,  jurusan Sastra Indonesia. Saat ini bermukim di  di jln. Gaharu Gg. Sekolah No. 19 Medan. Tulisan-tulisannya pernah di muat di beberapa surat kabar, yaitu harian Medan Bisnis, Waspada, dan Analisa yang berupa Cerpen, Artikel dan Resensi. Telah Menerbitkan Antologi Puisi “ Bumi Indonesia Kami Tercinta ” Adhiet’s Ritonga dan Kawan – kawan. Hasfa Arias, Yogyakarta, Agustus 2012. Kini sedang bergiat di Komunitas Tanpa Nama ( KONTAN ) dan Laboratorium Sastra ( LABSAS, Medan).

Utan Sahiro
Lahir tangga l5 bulan 5 di Simadihon, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. anak ke 5 dari 6 bersaudara. Tahun 1997 menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 116251 desa Aek Batu Labuhanbatu Selatan. Melanjutkan pendidikan ke SLTPN 3 Kota Pinang Labuhanbatu Selatan. Dua tahun kemudian pindah ke MTS Al-Amin Aek Batu Labuhanbatu Selatan dan selesai pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan pendidikan ke SMU Plus INS Kayu Tanam Padang Pariaman Sumatera Barat. Dua tahun kemudian pindah ke SMU Muhammadiyah Padang Panjang Sumatera Barat hingga selesai tahun 2003. Meraih gelar Sarjana Pertanian Program Studi Agribisnis tahun 2008, dari Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar