Arsip Blog

Senin, 21 Maret 2016

SISWA, GURU DAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH



 SISWA, GURU DAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH


Oleh : M.Raudah Jambak, S.Pd*

            Dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional peserta didik, bahasa memiliki peran sentral dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Selain membantu peserta didik mengenal dirinya, pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan membantu peserta didik mengenal budayanya dan budaya orang lain. Juga mampu mengemukakan gagasan dan perasaan. Berpartisipasi dalam masyarakat, serta menemukan atau menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.
            Berdasarkan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam diri peserta didik itulah, kita harus memperhatikan pembelajaran bahasa dan sastra sebagai mata pelajaran di sekolah. Sebagai sarana komunikasi dan pendekatan pembelajaran  yang digunakan.
            Pendekatan pembelajaran bahasa menekankan empat aspek keterampilan berbahasa dan fungsi bahasa secara komunikatif, yaitu: menyimak, membaca, menulis dan berbicara,
            Intinya adalah bagaimana peserta didik mampu berkomunikasi untuk berbagai keper-luan   dan situasi pemakaianberdasarkan kontek dan situasi, bukan tertumpu pada sistem bahasa sebagai ilmu.
            Pendekatan pembelajaran sastra sendiri lebih menekankan pendekatan apresiatif. Peserta didik dalam hal ini dapat diarahkan untuk membaca, menikmati, memahami serta memanfaatkannya. Pembelajaran ini akan lebih bermakna bila disesuaikan dengan minat dan bakat siswa berdasarkan kognitif, afektif dan psikomotornya (IMTAQ dan IPTEK).
            Ditinjau dari sisi itu, maka guru dan pihak sekolah harus peka dan lebih berperan aktif menggali potensi yang beragam pada peserta didik. Adanya keberagaman kemampuan guru dalam proses pepmbelajaran dan penguasan pengetahuan, serta sekolah yang semata-mata lebih menekankan kelengkapan administratif dapat membawa pengaruh buruk dan menghambat kelancaran proses pepmbelajaran bahasa secara benar.
            Ada guru yang hanya mengajarkan tatabahasa dengan porsi  lebih dibandingkan, jika ia mengajarkan sastra. Padahal sebagai pendidik profesional, guru memiliki tugas utama dalam mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada tingkat pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (pasal 1 ayat 1 UU 14/2005 tentang guru dan dosen).
            Sedangkan sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan hanya menekankan keleng-kapan administrasi pendidikan, tanpa berfikir bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan dalam proses pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif dan apresiatif. Termasuk juga meningkatkan kualitas guru dalam mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreatifitas dalam pemanfaatan teknologi, komunikasi dan informasi yang mutakhir agar senantiasa tidak ketinggalan dalam kemampuan. Dan yang terpenting adalah pemberian perlindungan dan penghargaan terhadap guru, sebagai upaya peningkatan profesionalisme guru. Jika hal itu sudah dilaksanakan, maka pengembangan etos kerja dan budaya kerja yang mengutamakan  pelayanan bermutu tinggi  kepada pelanggan akan tercipta dengan sendirinya.
            Ada pula guru yang cenderung mengajarkan sastra lebih banyak daripada bahasa. Lalu lebih mengembangkan sastra berdasarkan sejarah dan teori-teori saja. Persoalan bahasa yang tertumpu pada sistem kebahasaan dan sastra yang diaduk-aduk berlandaskan sejarah perkembangannya saja. Jika demikian yang terjadi, maka antusias peserta didik dalam proses pembelajaran saastra akan terasa hambar sekali.
            Kurikulum yang selalu saja “berbenah” juga ikut andil dalam proses pembelajaran di sekolah. Bahasa daerah yang dipergunakan sebagai bahasa pengantar, Peserta didik yang dijejali dengan hafalan, bukan penalaran yang komunikatif  “menghidangkan”  pembelajaran bahasa  yang kaku dan membosankan.
            Akhirnya, belajar bahasa sebenarnya adalah bagaimana mengajarkan peserta didik berani mengaktualisasikan dirinya dengan diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan masyarakatnya. Aspek psikomotorik diharapkan lebih dominan hadir dengan dukungan kognitif dan afektifnya. Guru dalam hal ini juga harus mampu melahirkan karya, sebagai inovator dan kreator sekaligus. Sekolah mampu menjebatani secara seimbang untuk menyalurkan kesejahteraan pendidik dan potensi peserta didik berdasarkan visi dan misi sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Demikian.

Medan, 2012
Penulis adalah GURU/DOSEN Panca Budi Medan 


Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera Utara dianggap sebagai tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu sastrawan Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air.

Pertama sekali dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai peletak dasar berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu muncullah nama Amir Hamzah, pemuda dari Langkat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan Pujangga Baru.

Kemudian lahir pula Chairil Anwar yang merupakan orang yang paling populer namanya dalam wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih dianggap sebagai ikon sastra di Indonesia bersama Amir Hamzah. Jika diadakan survei, tentunya nama merekalah yang menduduki peringkat pertama sastrawan di Tanah Air yang dikenal masyarakatnya.

Setelah itu, perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada teman-teman sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-nama sastrawan dari Sumatera Utara mulai tenggelam ditelan zaman. Nama-nama yang masih bertahan hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, M. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal di jagad sastra nasional.

Memasuki tahun 2010, sedikit demi sedikit ada yang berbeda dalam dunia kepengarangan di Sumatera Utara. Kegelisahan yang selama ini mendera dunia kepengarangan di Sumatera Utara agaknya telah mulai memperlihatkan kecerahannya. Karya dan penerbitannya mulai mencecah dunia kreativitas dan produktivitas.

Mengapa tidak? Pada tahun ini dunia kepengarangan di Sumatera Utara mulai mencecahkan kakinya dalam skala yang lebih luas - hingga pentas nasional. Awalnya, menjelang 2010, dunia kepengarangan di Sumatera Utara yang "unjuk gigi" hingga pentas nasional terbilang sedikit. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan dapat dihitung dengan jari.

Beberapa nama yang perlu dicatat antara lain T. Sandi Situmorang dengan genre novel remajanya. Kemudian Maulana Samsuri dengan novel-novelnya yang terus mengalir. Si anak muda yang enerjik, Hasan Al Banna, yang karyanya boleh dikatakan telah melanglang buana di seluruh koran-koran di daerah maupun nasional terutama di pusat-pusat penerbitan di Jawa. Sebuah prestasi yang sungguh membanggakan hati kita tentunya.

Tahun 2010 ini, ternyata sastrawan Sumatera Utara terutama generasi mudanya semakin membuat kita bangga. Hasil Kongres Sastrawan Sumatera Utara 2009 lalu di Hotel Garuda Plaza yang digagas Afrion dan kawan-kawan rupanya telah menorehkan hasil.

Salah satu rumusan yang ditelurkan dalam kongres yang juga dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara, Hj. Nurlisa Ginting waktu itu, di antaranya adalah meningkatkan produktivitas penerbitan karya. Memang hasil yang dicapai sekarang ini tidaklah secara langsung hasil dari pertemuan itu. Paling tidak, pertemuan yang dihadiri sastrawan di Sumatera Utara pada waktu itu antara lain memang mempersoalkan miskinnya penerbitan karya pengarang dari Sumatera Utara.

Selain kongres sastrawan di Garuda Plaza Hotel, tahun 2009 itu pula KSI yang dimotori Idris Pasaribu dan kawan-kawan melakukan workshop kepenulisan, menghadirkan novelis ternama Saut Poltak Tambunan di Taman Budaya Sumatera Utara. Dari workshop itu pula dihasilkan rumusan yang sama, yaitu keinginan akan bangkitnya dunia kepenulisan di Sumatera Utara. Kiranya genderang kebangkitan sastra Sumatera Utara kini telah mulai dipalu.

Apa saja indikator kebangkitan sastra Sumatera Utara itu? Ada beberapa catatan penting yang perlu kita amati. Pertama, lahirnya novel Acek Botak yang ditulis Idris Pasaribu. Novel yang bercerita tentang kisah pembauran seorang anak Tionghoa di kota Medan ini setidaknya telah mampu mencuri perhatian masyarakat Medan dan nasional.

Dalam beberapa kesempatan, novel ini terus diperbincangkan. Novel ini dibedah dan diulas oleh beberapa pembahas di Universitas Darma Agung. Kemudian diramaikan pula dalam talk show di beberapa siaran radio. Padahal novel ini belum diluncurkan secara resmi oleh penerbitnya. Belakangan baru kemudian novel ini diluncurkan bersama beberapa novel-novel lain terbitan Kaki Langit Kencana di Jakarta.

Seperti telah disinggung di atas, yang tak pernah berhenti berkarya, tahun 2010 ini juga Hasan Al Banna. Setelah tahun 2009 sebuah cerpennya terpilih sebagai salah satu cerita pendek terbaik penerima Anugerah Pena Kencana yang diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama, tahun ini pula karya Hasan terus mengalir dalam pelbagai surat kabar nasional. Bulan April kemarin salah satu puisi Hasan Al Banna kembali terpilih dan diterbitkan sebagai salah satu puisi terbaik Anugerah Pena Kencana 2010.

Berikutnya hadir pula novel Pelacur, Politik, dan he..he yang ditulis Tandi Skober. Meski tidak lagi bermukim di Medan, tetapi paling tidak Tandi masih menjalin tali yang tidak putus dengan kota Medan. Novel ini memang ber-setting Indramayu, namun nuansa Tandi Skober yang pernah bermukim di Medan tidak lepas dari novel ini. Novel ini juga diterbitkan oleh Kaki Langit Kencana Jakarta di penghujung 2009 yang lalu.

Nama lain yang ikut pula menghidupkan euforia kebangkitan dunia kepengarangan di Sumatera Utara adalah novelis Win RG yang meluncurkan buku keduanya di UMSU beberapa waktu lalu. Konsep peluncuran buku juga dibuat berbeda dalam acara ini. Setidaknya 200 orang hadir dan membayar tiket untuk menghadiri acara peluncuran buku.

Kita teringat yang disampaikan Saut Poltak Tambunan di TBSU waktu itu. Beliau mengatakan, peluncuran buku bukanlah sebuah pesta seremonial, bukan sekadar datang menghadiri lalu pulang mendapat buku gratis! Beliau menambahkan, buku yang diterbitkan harus dibeli oleh pengunjung peluncuran buku, sebab penulisnya harus dihargai perjuangannya. Kira-kira seperti itulah ungkapan Saut Poltak waktu itu. Artinya, apa yang dilakukan Win RG melalui FLP-nya bisa dimaklumi.

Masih dalam hitungan hari, Maulana Samsuri tampil kembali dengan kumpulan cerita pendek terbarunya. Kumpulan cerpen yang diterbitkan ini umumnya berkisah tentang persoalan manusia dengan Khaliknya. Maulana samsuri yang biasanya menulis novel ini ternyata juga tidak kalah apiknya ketika menulis cerita pendek. Usia yang semakin senja ternyata tidak membuat Maulana Samsuri berhenti berkarya. Beliau terus menorehkan tintanya dalam dunia sastra Sumatera Utara.

Lagi-lagi pengarang muda mulai menunjukkan jati dirinya dalam percaturan sastra di Sumatera Utara dengan munculnya nama Butet Benny Manurung. Perempuan satu ini memang sangat produktif dalam menulis. Puncaknya lahirlah novelnya berjudul Metamorfosis Gendis yang diterbitkan Easmedia Yogyakarta.

Nama orang muda lainnya adalah Haya Aliya Zaki dengan buku terbarunya Titik Balik (Menerjang Rintangan Menggapai Masa Depan) juga diterbitkan Leutika Yogyakarta. Sebelum Haya Alia Zaki, telah dulu terbit sebuah novel ditulis oleh Onet Aditya Rizlan berjudul Selamat Tinggal Ca, yang diterbitkan oleh Penerbit Leutika Yogyakarta.

Nama-nama lain yang selama ini terus menancapkan bendera karya di Sumatera Utara, juga tidak dapat kita kesampingkan. Sebut saja Suyadi San yang terus berkarya pada syair-syairnya lewat penerbitan maupun di pelbagai koran-koran nasional. Kemudian M. Raudah Jambak yang cerpennya juga terpilih sebagai cerpen terbaik tingkat nasional dan diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Belum lagi syair-syair puisinya yang terus meluncur dalam pelbagai media nasional.

Antilan Purba secara diam-diam tapi pasti terus menulis esai-esai sastra dalam berbagai terbitan di Medan dan Pulau Jawa. Tidak salah jika mengatakan kalau Antilan Purba saat ini merupakan esais paling produktif yang kita miliki. Beliau terus pula menggeliat dengan Laboratorium Sastra-nya bersama Afrion dan kawan-kawan yang senantiasa produktif dalam menerbitkan karya. Ada pula nama Syaiful Hidayat lewat ulasan dan kritiknya. Kemudian Teja Purnama, Nasib TS, T. Agus Khaidir, Jones Gultom dan nama lain yang tak dapat saya sebut satu per satu ikut pula memberi warna sastra berbeda dari ruang-ruang redaksi.

Satu terobosan penting yang juga perlu dicatat adalah lahirnya portal www.sastramedan.com (situs ini sudah tidak aktif lagi-ed.TAH.com) Kelahiran sastra dan sastrawan dalam dunia maya ini tentu saja akan semakin melebarkan sayap kesusastraan Sumatera Utara yang bahkan akan sampai di belahan dunia manapun.

Diana Tanjung, seorang teman lama di New York menuturkan, dia sekarang telah gampang membaca karya-karya pengarang Sumatera Utara. Teman yang juga berdarah sastra itu merasa senang dan seperti berada di Belawan, kampung halamannya, ketika membuka portal. Apa yang dilakukan YS Rat, Yulhasni, dan teman-teman lain dalam website ini tentu semakin menambah warna-warni sastra Sumatera Utara. Pada awal Juni ini juga, kembali akan terbit sebuah novel setebal 412 halaman, karya Omadi Famous yang juga anak KSI Medan.

Demikianlah. Semoga tahun 2010 benar-benar akan menjadi tahun kebangkitan sastra Sumatera Utara. Tahun penuh dengan riak, gerak dan rentak yang tak berhenti. Menggeliat dan bergerak dalam dunia masing-masing. Senior tentunya akan terus memotivasi mereka yang muda. Yang muda tentu tidak akan merasa besar dengan karya-karya yang telah mereka lahirkan. Sebab jika merasa besar, sebenarnya adalah awal dari sebuah kemunduran.

Selain Acek Botak karya Idris Pasaribu, dalam tahun ini juga akan terbit dua buah novelnya yang lain berjudul Mangalua (Kawin Lari) dan Bincalang. Sedikit wawancara dengan Idris Pasaribu, dengan rendah hati Idris Pasaribu mengatakan, anak-anak KSI Medan, akan melahirkan sedikitnya delapan buah novel. Semua novel sebelum dikirimkan ke penerbit, terlebih dahulu didiskusikan di sekretariat KSI Medan, di bawah pohon asam, sebuah sudut di Taman Budaya Medan.

Akhirnya, sekecil apapun yang anda dan siapa saja lakukan dalam dunia kesusastraan, pada saat itu pula kita telah memberi sumbangsih untuk awal kebangkitan kembali sastra Sumatera Utara itu. Ayo!

Untuk peta kepenyairan wanita Sumatera-Utara sendiri sepertinya nyaris sama, sedikit sekali wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Dulu kita kenal nama-nama seperti, Murni Aryanti Pakpahan, Laswiayati Pisca, Susi Aga Putra, lalu ada Rosliani, Jerni Martina Erita Napitupulu, Rosmaeli Siregar. Ada Aishah Basar dan Nur Hilmi Daulay. Sekilas nama-nama itu mungkin sudah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan daripada dunia kepenyairan. Ada kabar menyegarkan, ada regenerasi di kancah perpuisian wanita di sini. Fenomena ini muncul pasca reformasi, banyak bermunculan kelompok-kelompok sastra dari dunia kampus. Nyaris setiap minggu kita bisa membaca puisi-puisi karya wanita kita di media massa cetak. Buku antologi puisi baik tunggal maupun bersama diterbitkan. Dari hitungan tahun 1995 sampai kini ada beberapa antologi yang bisa dicatat. Antologi puisi Rentang (1995) penerbit Studio Seni Indonesia memuat 10 puisi terbaik Sumatera Utara, dua diantaranya wanita yaitu, Jerni Martina Erita Napitupulu dan Rosmaeli Siregar. Antologi Bumi (1996) penerbit Studio Seni Indonesia bekerja sama dengan Forum Kreasi Sastra Medan memuat puisi-puisi 18 penyair Sumatera Utara. Hanya ada dua penyair wanita yang mewakili di dalamnya, yaitu Rosliani dan Jerni Martina Erita Napitupulu. Antologi serial Tengok (2000) Arisan Sastra Medan (Arsas) yang konon hanya sampai 4 dari 5 rencana terbit. Hanya satu penyair wanita yaitu Aishah Basar. Untuk antologi puisi tunggal hanya dua buku yang sempat saya punya, yaitu Gemuruh Nur Hilmi Daulay, Penerbit Laboratorium Medan (2007) dan Benih Rindu karya Sri Yuliani diterbitkan oleh Pustaka Pemuda Medan (2011). Kegelisahan Ratman Suras adalah kegelisahan kita bersama. Begitu banyaknya wanita yang menulis, baik itu di koran-koran, majalah, atau media elektronik seperti internet, tetapi seiring perjalanan waktu, dia tergerus begitu saja. Persoalan yang ditemukan saat ini, masih kurangnya jiwa militan yang dimiliki oleh penyair dalam berkarya. Perasaan cepat puas, sekali dikritik berputus asa, diberikan pujian langsung bangga. Hal inilah menjadi landasan kemunduran yang dihadapi oleh seorang penyair. Penyair harus menanamkan dalam diri untuk kesetiaan dalam berkarya, terus menerus belajar dan menyadari, pengakuan karya yang monumental, datangnya dari para pembaca. Untuk saat ini, kita mengenal penulis-penulis handal wanita Sumatera Utara, seperti Wahyu Widji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Sartika Sari, Zuliana Ibrahim, Sakinah Annisa Mariz, Febri Mira Rizki, Lucya Chriz, Nur Hilmi Daulay, Dini Usman, Intan Hs, Venicia, Su Ie Ss, Irma Yanti, Rina Mahfuzah, Ester Pandiangan, Eka Handayani Ginting, Lea Wilsen, Haya Aliya Zaki, Suci Widya Sari, An’nisa, Rosni Lim, Chairani, dan sebagainya. Prof. Ikhwanuddin Nasution, Guru Besar Sastra USU, menyinggung persoalan wanita dan pemberontakan dalam karyanya. Para perempuan pengarang ini, melakukan pemberontakan atas oposisi biner yang selama ini diagung-agungkan kaum patriarkhat, terutama antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki dianggap lebih segalanya dari perempuan. Mereka ini dipengaruhi oleh paham-paham feminisme. Salah satu tokoh feminisme yang sangat menyadari kekuatan oposisi biner ini adalah Helene Cixous. Menurut mereka, Helene Cixous mengatakan, pemikiran sastra dan filsafat Barat selalu saja terperangkap di dalam serangkaian oposisi biner hierarkis yang tidak berkesudahan. Pada gilirannya selalu kembali pada “pasangan” fundamental antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Helene Cixous berusaha untuk mengadakan dekonstruksi terhadap oposisi biner dan sekaligus melakukan inversi atau pembalikan, sehingga oposisi biner itu dapat terbongkar. Karya-karya perempuan pengarang, lebih mengarah pada pencitraan kehidupan perempuan secara terbuka dan memberikan gagasangagasan baru mengenai kehidupan perempuan, terutama dalam hal seksualitas. Hal ini dipicu oleh perkembangan masyarakat yang dalam kehidupan mulai memperlihatkan aktivitas perempuan. Perempuan sudah ada yang menjadi menteri, bupati dan camat. Perempuan sudah ada di posisi publik tidak hanya pada posisi domestik. Masih ada karya perempuan pengarang, terjebak pada vulgarisme semata. Ayu Utami (sebagai pelopor) jika diperhatikan dengan saksama, ada beberapa peristiwa vulgar, tetapi Ayu Utami telah menentang dan mengeksploitasi seksual perempuan yang selama ini dianggap tabu. Masalah seksualitas perempuan menjadi sangat menonjol pada erakontemporer ini. Kaum feminis ingin mengubah persepsi yang selama ini dibuat oleh kaum laki-laki tentang seksualitas perempuan, melalui keterbukaan perempuan dalam membicarakan seksualitas itu. Memang kehidupan dan keberlanjutan kepengarangan wanita juga berkaitan erat dalam karya-karyanya. Persoalan terpenting dalam berkarya tetap yang terpenting adalah sebuah kesetiaan. Kehidupan antara sumur, dapur, dan kasur adalah wilayah yang paling dekat, justru menjadi sebuah kekuatan untuk berkarya. Apakah ini emansipasi atau justru eksploitasi? Tergantung pada pemikiran kita. Akhirnya, sebuah kepengarangan, dunia meracik ilmu pengetahuan. Dunia mengolah imajinasi. Bagaimana dunia ilmu pengetahuan dan dunia imajinasi, dapat terus menerus dilahirkan dalam sebuah karya (dalam hal ini sastrawan wanita), tentu dia harus terus menerus bergelut dan berjibaku dengan waktu. Apakah tahap menghidupkan sastra atau dapat hidup dari sastra, seperti JK Rowling, si penulis Harry Potter itu. Salam.

Pulau Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.
Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.
Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.
Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.
Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.
Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).
Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karya-karya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.
Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.
Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .
Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.
Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.
Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.
Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara),. D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).
Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.
Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.
Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari “cengkeraman” Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.
Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan diterbitkan.
Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.
Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.
Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.
Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.
Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.
Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.
Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM.
Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.
Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AMuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).
Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.
Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.
Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.
Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.
Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, “pulangnya” para perantau: Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Djuhardi Basri, dan Naim Emel Prahana. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.
Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.
Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.
Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar