Kaum Melata dalam Sastra
Oleh : M.Raudah Jambak
Oleh : M.Raudah Jambak
Di mana moncong senapan itu?/ Aku pengin meledak sekaligus jadi peluru/ Mencari
jidatmu mengarah mampusmu/akan kulihat nyawamu yang terbang/dan kukejar-kejar
dengan nyawaku sendiri/agar tahu rumahmu/aku rela bunuh diri/tentu saja setelah
tahu kemana pulangmu. Tetapi peluru yang mencari jidatmu itu/hanya ketemu
matamu yang menyihir/sim salabim/ kembalikan pada wujudmu asli!/dan memang
tidak akan pernah ada yang akan/membawakan/ senapan/untukku/apalagi/jidat/mimpi
indah ini/mengapa kekal? (W. Tukul,Balada Peluru,Hal:87) Salah satu obsesi Wiji
Tukul tertuang dalam puisi di atas keinginanannya untuk menjadi
"peluru" sebagai wahana "meledakkan" keinginan dan harapan
dalam merepresentasikan fenomena kehidupan masyarakat yang paling bawah.
Fenomenanya masyarakat gembel, miskin dan diidentikan dengsn kaum melata
serta serba ketidak berdayaan dalam pemenuhan kehidupan dalam potret yang
senyata-nyatanya terpampang di depan mata kita. Jika kita kaitkan dalam
perebutan kekuasaan, maka mengangkat harkat dan martabat masyarakat miskin ini
merupakan menu pamungkas yang paling jitu untuk mengobral janji pada
masya-rakat yang lemah tak berdaya. Pemimpin yang bijaksana tentunya akan
menjadikan hal ini sebagai inspirasi yang mendedah nurani, lalu kemudian
diterapkan ke kawasan lingkungan masyarakat prasejah-tera ini menuju masyarakat
yang sejahtera. Sementara para penyair hanya mampu mengangkat realitas ini ke
dalam wadah bahasa, sebagai se-buah pilihan ketika ia tidak mempunyai kekuatan
dalam strata penentu kebijakan. Sekaligus sebagai jawaban yang mesti dilakukan.
Juga terapi dalam melakukan aktivitas untuk memperjuangkan nasib mereka sebagai
warga juga sebagai manusia. Hanya saja hal ini menjadi pengganjal bagi para
penguasa yang telah mencapai puncak kekuasaan.
Janji-janji-pun jadi angin "buritan" yang hilang ditiup angin.
Kepedihan masyarakat miskin menjadi semakin menyedihkan ketika TaufiQ Ismail,
menggambarkan kesaksiannya lewat untaian puisi Bayi Lahir Bulan Mei 1998: Dengarkan
itu ada bayi mengea di rumah tetangga/Suaranya keras, menangis
berhiba-hiba/Begitu lahir ditating tangan bidannya/Belum kering darah dan air
ketubannya/Langsung dia memikul hutang di bahunya/Rupiah sepuluh juta Kalau dia
jadi petani di desa/Dia akan mensubsidi harga beras orang kota/Kalau dia jadi
orang kota / Dia akan mensubsidi bisinis pengusaha kaya/Kalau dia bayar
pajak/Pajak itu mungkin jadi peluru run-cing/Ke pangkal aortanya dibidikkan
mendesing Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga/Mulutmu belum selesai
bicara/Kau pasti dikencinginya (MAJOI, Hal: 4) Barangkali, logika bahasa yang
tertuang disebabkan potret buram itu semakin riuh memenuhi pusat- pusat kota
(pemerintahan) yang menumpuk kebahagiaan di atas penderitaan-penderitaan rakyat
ter-tindas.
Ingin menyuarakan ketidakberdayaan , kemiskinan, dan mungkin sedikit
menuntut haknya di tengah percaturan hegemoni kekuasaan. Dan ternyata,
keinginan lewat logika bahasanya itu justru ha-rus berbenturan dengan wilayah
"rahasia" yang sering mengedepankan eufemisme bahasa. Acap hadir
dalam setiap orasi para pemimpin ’jujur’ dan berakhir nonsense. Maka, terjadi kontradiksi
penafsiran dengan dalih-dalih politis yang "menggugah" menghipnotis
harapan kaum-kaum miskin sebagai wilayah tak berdaya. Bahkan sekali waktu acap
juga dianggap sebagai "penentang" atas nama pembangunan, akhirnya.
Sementara L.K. Ara yang ikut menyoroti peristiwa ini hanya bisa berdo'a, lewat
Doa Pengatar Koran, bait 4, Ya Tuhan/berilah kekuatan hati kepada pembuat berita/untuk
jujur berkata/menyampaikan pesan dari atas/dan berani pula/ menulis keluh orang
yang menderita Prototipe, penyair yang dituangkan lewat baris-baris puisi,
mengabarkan keterwakilan kaum masya-rakat miskin dengan kesadaran yang penuh
bahwa ekspresi kebebasan yang dimiliki bukanlah bahasa samar. Apa yang dilihat,
dirasakan, dan dialami adalah ekspresi bahasa itu sendiri, bukan bahasa
reka-yasa.
Ekspresi kelugasan merupakan indikasi kepolosan, sekaligus merupakan
karakter yang tumbuh berkembang di kelas sosialnya. Informasi dalam potret
sosial masih dalam kawasan realita. Para penyair adalah pewarta informasi ini
kepada masyarakat luas dari berbagai lapisan, termasuk para pemegang teguh
kekuasaan. Juga sebagai juru bicara tentang suara masyarakat kebanyakan yang hidup
dalam ketidak- berdayaan. Informasi yang disampaikan-pun tanpa ada penyamaran
dan rekayasa. Investigatif seporting dengan sungguh-sunguh telah dilakukan,
sehingga kadar akurasi berita tidak perlu diragukan, baru dan actual. Berita
tentang kemiskinan, bukan hanya pemaparan kondisi budaya penyair dan
kepenyairannya yang terlanjur identik dengan kehidupan kaum grassroot, namun
telah mengglobal. Ketika kemiskinan men-jadi tema-tema actual, menjadi bahan
diskusi, menjadi materi proyek pembangunan, bahkan menjadi harga diri suatu
bangsa. Dan
penyair pun mencoba berpartisipasi dengan membangun komunitas bahasa puisi
kemiskinan dan ketidakberdayaan dengan inspirasi realitas keseharian.
Sayangnya, mayoritas orang awam mengatakan bahwa puisi hanya menawarkan secawan
mimpi-mimpi penuh dusta. Sejak Plato, selalu saja anggapan itu menyatakan bahwa
kegiatan menciptakan puisi melulu sebagai keisengan yang akan menjauhkan
manusia dari kenyataan (Dahana,2001). Apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh
sebuah (karya sastra)? Sebuah jawaban yang optimis barangkali juga hadir
sejumput harapan dan realitas yang mendudukan puisi sebagai karya sastra
penggerak. Bahkan, sastra juga dianggap sebagai sesuatu yang memiliki peran
tertentu; sebagai agen perubahan (agent of change). Padahal puisi hadir tidak
akan terlepas dari realitas yang telah melingkupi kehidupan dan latar belakang
yang menyebabkan kelahirannya dari sastra yang diciptakan oleh seorang penyair.
Di sinilah kemudian muncul sebuah pretense yang kemudian menempatkan puisi
sebagai sebuah media untuk memasukkan segala sesuatu yang menyebabkan puisi
sarat dengan kepentingan. Padahal tidaklah demikian adanya. Meskipun puisi
tidak akan pernah terlepas dari realitas kehidupan dan latar belakang serta
kondisi-kondisi cultural pengarangnya, namun dalam kerangka yang lebih konkret,
ia hadir dengan dua sisi: kenikmatan dan pendidikan (Mahayana dalam Isdriani,
2003). Dalam arti lain bahwa estetika tetap menempati posisi yang amat
signifikan di dalamnya. Ia tidak bisa terlepas dan melepaskan diri begitu saja
dari sastra (puisi). Akhirnya, Antonius Silalahi seorang penyair tunanetra,
ikut terlibat dan melibatkan diri pada kumuhnya daya hidup kaum grassroot yang
hadir di tengah-tengah manusia-manusia metrosexual, atau kaum bagsawan. Dalam
petikan puisi berjudul Mata dan Hati Batu Antonius menulis : harus dengan
apakah kukatakan padamu//keinginanku mencicipi lezatnya hidangan zaman//muncrat
air liurklu tak gemingkan batu hatimu// Sebagai alat perjuangan tak berdarah,
puisi hanya berusaha dan berupaya menyentuh atau "membu-nuh" hati
yang paling dalam. Sebab kemiskinan memang hal yang menjadi persoalan dasar
bangsa kita. Angka kemiskinan tiap tahun kian meningkat, sehingga perlu jarak
renung dengan mencerna realitas untuk meraih keutuhan kemanusian bahwa
kemiskinan yang menimpa masyarakat sudah sedemikian akut. Pada bagian inilah
sebenarnya tugas penyair, terus menerus secara sukarela memperjuangkan nasib
kaum grassroot.
Ikhlas dalam
menuangkan pemikiran-pemikirannya lewat karya-karya yang fenomenal. Jika memang
hanya itu yang dapat dilakukan. Paling tidak memberikan semacam kesadaran,
sumbang pikiran secara terus menerus kepada pihak penguasa yang sedang memegang
tampuk kekuasaan. Firman Allah: "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
(manusia), kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya". Mengapa kamu tidak
mau berfikir?
*Penulis adalah Direktur Komunitas Home
Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar