Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

DAUN-DAUN HIJAU



Novel Teenlit


DAUN-DAUN HIJAU
Karya : TAM


            Angin berhembus bebas menggerakkan rambut Nina. Gadis itu membiarkan saja perlakuan angin di tepian pantai cermin itu. Namun sesaat kemudian jemari mungilnya refleks merapikan rambut panjang nan indah yang mengilaukan pandangan. Dalam posisi duduk di pesisir pasir putih tindakanya tersebut tidak akan sempurna.
            “ Duh anginnya nakal kali…” ujar Nina sembari memandang lepas ke tengah pantai.
            “ kamu aja yang cengkal, Nin. Di tepian pantai begini kamu membiarkan rambut yang panjang tak diikat. Ini nih aku ada karet. Ikat rambutmu…” komentar Mia yang duduk di sampingnya..
            “ ah, hari gini ikat rambut pakek karet,,,” balas Nina bernada canda.
            “ ya sudah kalau nggak mau.” Mia nggak kalh pasang aksi seolah – olah emosi.
            Nina tersenyum melihat sobat kentalnya agak sewot. “ Ia lah, sini biar aku ikat ini rambut.”
            “ Gitulah.”
            “ Sekarang aman dari gangguan angina…”
            “ Rambutmu oke juga, Nin?”
            “ Siapa dulu, Nina……”
            “ Nggak kalah sama iklan sampho di televisi.”
            “ Masak ?”
            “ Swear! Aku menilainya secara objektif. Iniu bisa jadi modal bagi mu untuk jadi iklan shampoo.”
            “ Ah! Aku nggak mau bermimpi, Aku mau yang realitis saja.”
            “ Itu artinya kamu pesimis. Belum bertarung sudah menyerah. Semestinya berlaga dulu, Nin, sembari kobarkan semangat untuk optimis di campur dengan ambisi.”
            “ Hey sejak kapan kamu ikutan training pengembangan potensi diri.”
            “ Gini-gini aku punya kebutuhan satu dua jam main internet setiap hari, Nin.”
            “ Kog jadinya lari ke internet, segala !”
            “ Ya ialah. Di alam maya berjuta informasi yang di peroleh dengan mudah. Dengan berinternet ria, tiap hari aku dapat informasi terkini.
            “ Ya kalau sudah begitu penilaianmu, Ya sudah makasihlah.mudah-mudahan bisa jadi kenyataan. Bisa jadi model iklan. Masuk televise. Di lihat jutaan pemirsa. Akhirnya jadi terkenal dan punya uang banyak!.
            “ Makanya mulai besok rajin – rajin membaca Koran, Nin…”
            “ Apalagi hubungannya dengan rambut, Mia?”
            “ Ya adalah! Di media cetak apakah itu Koran dan majalah kerap ada pengumuman-pengumuman berkaitan dengan lomba kecantikan secara umum. O, ya aku baru ingat, majalah Remaja Hello juga bikin kontes gadis sampul lho?!”
            “ Kamu udah beli, Mia?”
            “ Udah, tapi aku ingin coba-coba ikutan. Ntar kalau berhasil, lumayan juga tuh buat pintu untuk masuk ke dunia entertainment akan semakin lebar.”
            “ Kok bisa?”
            “ Ya, Bisa. Soalnya wajah kita selalu di ekspose di media cetak. Siapa tau dengan seringnya kita di ekspose ada agency yang tertarik merekrut kita dan menyalurkan kita sebagai model iklan ataupun pemain sinetron. Apalagi kalau kita punya bakat menyanyi. Produser musik tentunya tidak menyia-nyiakan suara emas kita untuk di rekam mereka.
            Mendengar penjelasan Mia, Nina tertarik untuk mencoba mengikuti kontes gadis sampul itu., meskipun mesti membeli majalah tersebut.
            “ Harganya berapa, Mia?”
            “ Majalah Hello itu?”
Nina menganggukkan kepala
“ Nggak mahal-mahal kali. Lima belas ribu.”
            Nina berfikir. Uang lima belas ribu dari mana ia bisa peroleh Soalnya ia Cuma di kasih jatah sama ibunya setiap harinya untuk ongkos pergi dan pulang sekolah. Ia tidak punya kesempatan untuk berjajan ria di kantin sekolah. Kalau pun ada uang lebih itu hanya untuk uang pegangan yang tidak boleh di belanjakan. Dan, terkadang ada juga uang yang ia peroleh dari honormenulis puisinya yang di muat di Koran Medan.
            Terkadang ia malu dengan Mia, yang kerap mentraktirnya makan pada setiap jam istirahat. Tapi mau macam mana lagi. Yang pastinya bukan ia yang terlebih dahulu mengajak Mia. Seperti saat ini, Mia juga yang mengajak ia bolos! Nina oke-oke saja. Kesempatan kan enggak dating dua kali! Meskipun pelajaran di sekolah jadi tertinggal, ia berusaha untuk mempelajarinya di rumah, dan membaca di perpustakaan umum yang berdekatan dengan tempat tinggalnya.
            “ Tapi teringatnya kamu gak lapar nih, Nin?” Mie memecahkan kebisuan yang tercipta sesaat di antara mereka.
            “ Kamu?” balik Nina yang bertanya.
            “ Lapar juga. Cuma mau ngetes kamu saja, siapa yang duluan antara kita memproklamirkan perutnya minta jatah makan siang,” ujar Mia.
            “ O, gitu rupanya…” komentar Nina sembari membetulkan posisi duduk nya di pasir putih. Air pasang dating membasahi kaki mereka.
            “ Ya sudah…yuk kita ke pondok yuk. Pesan makanan…”ajak Mia.
            “ Kamu yang…”
            “Don’t Worry. Aku cukupan kok bawa uang,” jawab Mia seolah tau apa yang akan di ucapkan Nina.
            Nina tersenyum. Ia memang tidak mempunyai uang untuk bepergian ketempat rekreasi, sambil makan-makan yang harganya di atas harga standar.
            “ Pesan apa kamu,Nin?” Tanya Mia saat mereka sudah berada di pondok yang mereka sewa.
            “ Udang, trus juice jeruk, sekalian kepiting dan nasinya.”
            Mia memberi kode kepada penjual makanan yang tidak berada jauh dari tempat mereka berada. Seseorang melangkah kea rah mereka.
            “ Pesan makanan Dik?” Sapanya kemudian.
            “ Nasi, pakai udang, kepiting dan juice jeruk dua porsi,bang.”
            Anggota dari penjual makanan itu melangkah menuju warungnya. Tak berapa lama pesanan tiba. Nina dan Mia menyantapnya dengan Nikmat.
            “ Kenapa kamu gak mau sekolah hari ini?” Tanya Nina dengan pandangan mata tertuju kepada Mia.
            “ Lagi mau rileks saja,Nin”
            “ Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
            Mia menggelengkan kepala.
            “ Terus?”
            “ Terus apanya?”
            “ Kan bisa hari minggu kamu kemari atau kemana saja kamu suka untuk refreshing…”
            “ masalahnya aku lagi ingin hari ini, Nin. Kenapa Tanya begitu? Biasanya kamu oke-oke saja kalau aku ajak membolos?”
            “nggak apa-apa, Mia. Namun kalau kita sering-sering membolos akan mengganggu proses pembelajaran.”
            “ takut enggak lulus? Kitakan pakai senjata alasan untuk tidak masuk sekolah. Nggak percuma si andi jadi ketua kelas. Dia paling bisa ngertiin aku. Tadi sudah aku kontak. Aku kasih alasan sama andi bahwa aku kurang sehat badan. Dan kamu sakit.”
            “ lama-ama guru bisa curiga. Asal kamu tak sekolah, aku juga tak masuk sekolah, masak duduk satu meja sakitnya bisa bersamaan.”
            “ tenang ajalah, Nin. Kita gak akan di pecat gara-gara enggak masuk. Kita bisa di pecat dari sekolah jika kita terlibat tindak pidana atau tindakan yang memalukan sekolah. Orang-orang di sini pun gak tau kalau kita bolos sekolah.”
            “ ya karma kita memang tidak memakai seragam sekolah.”
            “ makanya cuek saja. Nanti sepulang dari sini kita mampir ke rumah andi, untuk meminjam seluruh mata pelajaran hari ini.”
            Tiba-tiba handphone Mia bergetar.
            “ Tumben Mama nelpon jam dua siang begini.” Setelah tau siapa yang menghubunginya.
            “ Wah, gawat, Mia.”
            “ Tenang saja. Kamu saja yang angkat. Bilang saja aku lagi…..lagi apa ya? O, ya lagi sholat Zuhur.”
            “ Tumben kamu solat, Mia. Ujar Mia. Alasan yang tak pas”
            “ jadi apa alasan yang tepat?”
            Nina memutar otak mencari alasan yang pas.
            “ Sakit perut saja.”
            “ Ya betul. Kamu yang ambil, bilang aku di toilet.”
            Nina menyeskan handphone milik Mia. “ Hallo…!” suara Nina terdengar lembut.
            “ Mia?”
            “ Bukan,tante. Ini Nina.
            “ Mianya mana?”
            “ Mia lagi di toilet, dia titip handphone nya ke saya, Tante.”
            “ Nina yang teman sebangkunya Mia?”
            “ Benar, Tante.”
            “ Oohh, Bilang sama Mia, tente berangkat ke pematang siantar sekarang. Ada urusan penting.”
            “ Baik, Tante.”
            “ begitu pun nanti akan tante hubungi lagi mia.
“ ya, Tante.”
            Sambungan telepon seluler diputus.
            “ apa kata mamaku?”
            “ katanya ia mau ke pematang siantar.”
            “ Berapa lama Nin?”
            “ Nggak di sebutkan mama kamu. Cuma katanya lagi nanti ia akan menghubungi kamu lagi,” ucap Nina sembari memberikan handphone itu ke Mia.
            “ Merdeka aku.” Wajah Mia makin riang.
            “ kok senang mama kamu pergi?”
            “ Habis di rumah pun gak memberikan warna bagiku. Mama selalu pulang di atas jam sembilan. Malah papa sering pergi ke luar kota berhari-hari.
            “ Namanya cari uang. Kan untuk kamu juga yang nikmatinnya…”
            “ Uang memang perlu, Nin. Tapi kalau terus menerus mengejar materi, sampai-sampai gak ada waktu untuk bersama-sama ya enggak enak juga rasanya. Aku selalu berdua dengan mbok sari. Rumah menjadi sepi dan berkesan gersang. O, ya kamu tidur di rumahku saja nanti malam ya…”
            “ wah, nanti merepotkan Kamu,Mia.”
            “ nggak! Justru aku senang ada yang menemani.”
            “ nanti papa dan mamamu marah?”
            “ Mereka cuek abis, Nin. Ntar aku bilang sama ibu dan ayah kamu.
            “ Terserah kamu sajalah.”
            “ kalau kesini gak mandi – mandi nggak sempurna juga, Nin.”
            “ Kamu mau mandi?”
            “ Iya lah. Yuk kita mandi.”
            Nina dan Mia menuju tepi pantai. Dengan tetap mengenakan pakaian Nina dan Mia menceburkan diri ke dalam air. Mereka berenang sepuas hati berbuat dengan pengunjung lainnya yang juga menikmati air pantai cermin.
            Jam pun berputar. Tanpa terasa posisi waktu telah menunjukkan pukul lima sore.
            “ gimana balik kita, Mia?”
            “ Ayolah.”
            Lalu mereka berkemas, Mia membayar sewa pondok dan tikar serta makanan yang dipesan. Setelah beres semua, mereka beranjak menuju mobil. Mia menstater. Mesin mobil hidup. Perlahan gas di tekan. Ban mobil berputar. Tak berapa lama mereka telah meninggalkan objek wisata Pantai Cermin.
            Ini untuk pertrama kalinya Nina Menginap di rumah sobatnya Mia. Dan untuk pertama kalinya juga ia melihat kamar tidur Mia. Kamar tidur tersebut berukuran berukuran enam kali enam meter. Dinding kamar bercatkan warna pink. Sedangkan gymsum putih bersih menutup bagian atas, dengan empat lampu kecil terletak di setiap sudut, dan satu lampu hias terletak di tengahnya.
            Jendela berukuran besar yang menghabiskan satu dinding disebelah utara yang menghadap taman mungil diluarnya, dipadu dengan gorden putih bermotifkan bunga-bunga yang melapisi jendela dan ambal biru muda yang di tata sedemikian apiknya. Dekat springbad empuk itu. Ada juga pendingin ruangan dengan tekanan suhu yang menyejukkan sekaligus mengharumkan karena di semprot pengharum, serta pernak oernik nya yang memberikan kesan mewah.
            Nina melihat juga televise layar datar berukuran dua puluh satu inci, lengkap dengan yang sering di sebut-sebut home teater di sudut ruangan. Adalagi seperangkat computer lengkap keluaran terbaru. Dan di meja belajar itu terletak juga notebook. Juga keluaran terbaru. Kamar mandi juga tersedia berdekatan dengan jendela yang mengarah ke taman.
            Nina endecak kagum dalam hati. Ia membayangkan gadis itu beteapa senangnya dalam menjalankan kehidupan ini. Betapa tidak ? semua fasilitas ada dan dimilikinya. Apalagi sebagai putrid semata wayang, tentunya harta yang berlimpah hasil kerja keras papa dan mamanya akan menjadi miliknya kelak.
            Nina jadi terbayang dengan situasi dan kondisi kehidupannya. Ayahnya hanya seorang tukang temple ban sepeda motor. Untuk mengurangi beban biaya hidup ibunya bekerja sebagai penjual lontong dan menerima pesanan menjahit pakaian.
            Rumah yang mereka tempati juga msih sewa. Sewanya bulanan lagi. Rumah sewa itu kecil dengan dua kamar. Kamar tidurnya berukuran dua kali tiga meter. Ia harus tidur berdua bersama adiknya arni yang saat ini duduk di kelas satu sma. Sedangkan dido adik bungsunya yang saat ini duduk di kelas dua smp harus setia tidur di ruangtamu merangkap ruang makan.
            “ kok bengong, kalau mau istirahat rebahkan ya rebah saja ke springbad ini, Nin. Nggak usah sungkan. Macam baru kenal saja kita.” Kata-kata Mia lepas dari bibir mungilnya dan membuyar lamunan Nina.
            “ Wow!” spontan Nina menumpahkan kekagumannya.
            “ Apanya yang wow, Nin?”
            “ kamu manusia yang sangat beruntung,” puji Nina dengan mengatur tubuhnya untuk mendarat di tepian springbed itu.
            “ Tapi belum memberikan kebahagiaankan?”
            “ Lihatlah apa yang ada khususnya di kamar ini? Semuanya begitu memberikan kepuasan. Tepatnya lagi kenikmatan.”
            “ Tapi belum memberikan kebahagiaan kan?”
            “ Tentu juga itu”
            “ Kebahagiaan itu tidak semata-mata karma harta melimpah, Nin.”
            “ apa kamu kira dengan orang tak ada harta bisa bahagia?” nina mencoba menemukan jawaban dari mulut mia.
            “ Aku bisa mengatakan yang tak berharta juga bisa bahagia. Tapi orang yang punya harta belum tentu bahagia, Nin.”
            “ Setidaknya kesenangan itu tlah kau dapatkan, Mia.”
            “ ah, sudah. Kok kita membahas topic beginian, lebih baik kita chating yuk. Siapa tau ada yang bisa di gangguin.” Mia beranjak menuju meja computer.
            Jemari mia cekatan menghidupkan computer dan menekan tust-tustnya untuk sampai kea lam maya.
            Nina memperhatikan apa yang di lakukan Mia. Ia sebenarnya tak terlalu berminat dengan chating-chattingan begitu. Entah siapa-siapa di seberang sana, nggak jelas. Bisa memang yang sudah di kenal. Tapi kadang kala orang iseng saja. Ngakunya cowok keren, gak taunya duda beranak lima, atau om-om gatal yang seneng ngomongin kawasan daerah sensitive milik manusia.
            “ Atau kamu mau liat situs xxx?” Mia angkat bicara.
            “ Situs apaan?” pancing Nina. Ia sesungguhnya mengerti sekali apa yang di katakana Mia. Namun salah satu hal yang paling disukai pribadinya adalah merendah dan pura-pura tidak tahu. Padahal di perpustakaan umum sekarang sudah ada layanan internet yang bisa akses dengan tariff tiga ribu  lima ratus rupiah. Dan itu cukup untuk nina sekali-kali berselancar ke dunia maya.
            “ Situs begituan lah…”
            Nina memancing Mia, “ Boleh juga.”
            “ Tapi tahan seleranya kalau enggak kesampaian,” celetuk Mia.
            “ kan toilet dekat tuh,” balas Nina.
            “ Mau ngapain ke toilet?”
            “ Yam au pipis saja!” ujar Nina spontan.
            Mereka tertawa lepas.
            “ Non Mia!” suara Mbok Sari menghentikan Niat Mia membuka situs porno.
            “ Ngapain mbok sari nih!” Mia ngedumal.
            Ia melangkah kaki menuju pintu kamar. Membukanya. Dan dengan wajah cemberut menatap wajah pembantu di rumahnya.
            “ Ada apa, Mbok?”
            “ Ada telepon?”
            “ Telepon?”
            “ Benar. Dari Andi?”
            Mia bergegas ke ruang keluarga. Menghempaskan pantatnya di sofa empuk dekat telepon berada, lalu dengan suaranya pun bergema, Hallo?”
            “ Hai, Mia?”
            “ Hai juga.”
            “ HP-mu nggak bukanya?”
            “ Sengaja aku matiin.”
            “ Pantasan.”
            “ Ada acara malam ini?”
            “ Malam ini?”
            “ Iya. Kan ada konserny raja di benteng hall. Ku piker kamu singgah ke rumah mau ngambil materi pelajaran hari ini. Nyatanyua dsudah jam tujuh malam begini, kamu belum dating juga. Aku berkesimpulan kamu sudah tiba dirumah. Makanya aku telepon kamu.”
            “ Kamu apa enggak salah ngajak aku?”
            “ Salah?”
            “Iya!”
            “ Nggak salah,.Mia justru inilah yang benar.”
            Mia tersenyum-senyum sendiri. Lumayan ada jalan menghirup udara malam sekaligus menikmati musiknya raja.
            “ Okelah. Tapi aku saja yang jemput kamu.”
            “ nggak usah,Mia.  Biar aku yang jemput kamu.”
            “ Begini saja, kita ketemuan di depan komplek perumahan ini. Nanti aku parkirkan Mobil ku disitu.”
            “ Ya sudah.”
            Mia masuk ke kamar.
            “ siapa Mia?”
            “ Seseorang. Anu…Nin aku ada urusan penting sebentar. Kamu jangan marah ya. Pokoknya kamu stanbay saja disini. Kalau mau tidur, ya tidur. Atau mau nonton tv, atau apalah terserah kamu. Aku enggak lama,” ucap Mia sambil mengganti pakaiannya.
            Nina terheran heran dan sempat untuk meminta penjelasan sobatnya itu. Aneh! Kemana dia? Batin Nina Bertanya-tanya.
            Namun Nina tak mau repot – repot mempersoalkan hal itu. Sekarang ia sendirian di kamar mewah itu. Ia rebahkan badannya di springbed miring ke kiri, miring kekanan. Kemudian terlungkup. Terus telentang. Dan memandangi ruangan dengan matanya.
            Sampai akhirnya matanya menangkap tumpukan majalah di bawah meja belajar Mia. Nina bangkit. Kakinya melangkah ke meja belajar itu. Berjongkok dan mengambil majalah-majalah. Majalah Hello! Edisi minggu lalu. Dengan cepat ia membuka-buka lembaran isi majalah itu. Apa yang di ucapkan Mia tentang kontes gadis sampul itu benar. Ia melihat pada halaman dua puluh informasi tentang kontes gadis sampul itu dengan jelas dibacanya. Salah satu persyaratannya herus mengisi formulir yang ada di dalam majalah itu.
            Nina berfikir bagaimana cara mendapatkan formulir itu, tanpa harus membeli majalahnya. Seandainya ia koyakkan khusus yang berkaitan dengan kontes, kemungkinan Mia tau dan mencurigainya yang mengambil  pasti ada. Begitu juga kalau diambil majalah itu secara utuh, tetap saja Mia akan tahu. Karena ia yang berada di kamar Mia. Jika terus terang memintanya, apa Mia tidak merasa di saingi dalam mengikuti kontes gadis sampul ini? Banyak hal yang memerlukan pertimbangan untuk akhirnya memutuskan keputusannya. Jika salah memutuskan, bisa kacau hasilnya. Dan itu akan berakhir pada hancurnya persahabatan yang telah di jalin.
            Tiba-tiba Mbok Sari mengetuk pintu.
            Nina membukanya.
            “ Belum tidur?”
            “ Belum, Mbok.”
            “ Non Mia mana?”
            “ Lho, kan ia keluar, katanya ada urusan peenting. Kenapa, Mbok ?”
            “ Papanya dari Jakarta nelepon.”
            “ Bilang saja udah tidur, Mbok.”
            “ Mbok takut berbohong.”
            “ enggak usah takut. Dari pada terus terang, papanya bisa marah nanti. Ini sudah jam sepuluh malam. Dan jangan bilang saya ada di sini ya, Mbok.”
            “ Gawat kalau begini trus-trusan.” Ucap Mbok sari sambil melangkah ke luar kamar.
            Nina mengikuti Mbok Sari. Setidaknya ia ingin memastikan apa yang akan di katakana pembantu di keluarga Mia itu seperti yang ia sarankan.
            “ Hallo Pak. Mianya sudah tidur. Ia kurang sehat badan.”
            Telepon terputus.
            “ mbok lama-lama enggak tahan kerja di sini…” mbok sari mengeluarkan kata-kata itu.
            “ Kenapa, Mbok? Kan enak kerja di tempat seperti ini.”
            “ Sepi dan selalu seperti ini. Mia itu kalau mama dan papanya keluar kota pasti ia keluyuran entah kemana. Pulangnya paling cepat pukul dua belas malam. HP-nya selalu di matiin dan kasi alasan lagi drop batrenya, atau lupa menghidupkannya. Padahal ia sengaja sehingga ia tidak bisa di hubungi mama dan papanya.
            “ Tapi cari kerjaan susah Mbok…”
            “ Iya ya nin, apalagi simbok sudah tua. Keluarga di daerah sini tidak ada. Mau pulang ke indramayu sana juga susah. Rumah tak punya. Keluarga memang masih ada di sana. Tapi tak mungkin trus-trusan numpang sama mereka.
            “ kalau boleh tau anak dan suami Mbok..”
            “ “ suami Mbok sudah meninggal. Sedangkan anak tidak ada.”
            “Ooh…”
            “ Ah, sudahlah. Kamu belum makan kan. Makan dulu, Nin…nanti kamu bisa sakit.”
            “ Nanti saja, biar Mia pulang dulu.”
            “ Nunggu Mia pulang ? kan sudah Mbok bilang, Mia paling cepat pulang jam dua belas.”
            “ Nggak apa-apa Mbok,” ucap Nina meskipun perutnya dari tadi sudah minta diisi. Tapi ia tahu diri.
            “ kalau begitu, untuk mengisi perut sementara wakt, Mbok buatkan indomie ya…”
            Nina tidak menolak.



# # #

            Kelas III IPS 1 SMA Bahana menjelang setengah jam lagi bubaran.
            Andi duduk di depan di dampingi sekretaris dan bendahara kelas. “Teman-teman sekalian setengah jam pelajaran Ibu Asti ia berikan kepada kita untuk mengadakan rapat,” ucap cowok yang oke juga, dengan fostur tubuh tinggi. Kulit yang putih bersih. Rambut di tata rapi dengan sentuhan minyak rambut keluaran terbaru. Plus aroma pewangi yang lembut menjadikan penampilan selalu pede.
            “ apa yang kita bahas Di?” Tanya samsul lantang.
            “ Baiklah. Begini teman-teman sekalian untuk menambah wawasan dan pengalaman kita, kami para pengurus kelas setelah berkonsultasi dengan pengurus OSIS dan pihak berencana untuk mengadakan study tour.”
            “ Study banding, Di?” tukas Dodo.
            “ samalah itu…” jawab andi.
            “ nama kerenya sekarang study banding, Di! Itu tuh seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.” Celetuk Ilham.
            “ Ya, apa kita mau kemesir juga, Di?” Tanya samsul lagi.
            “ ke Mesir atau ke Samosir?” Amri angkat bicara.
            “ kita merencanakan ke danau Toba. Ya sekalian lah ke Samosir…” jawab Andi tegas.
            “ Acaranya apa saja, DI?”
            “ kelas kita dijadikan kelas percontohan untuk mengadakan outbond.”
            “ Outbond?”
            “ Ya. Maksutnya outbond itu secara garis besar ya pengenalan dan pemahaman terhadap diri maupun kelompok dengan melakukan berbagai bentuk kegiatan yang sifatnya permainan. Nemun permainan itu mempunyai maksut dan tujuan terutama dalam mempersamakan persepsi dalam satu tim yang kompak,. Sekaligus mengintropeksi diri kita dalam menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Nanti akan kita lakukan di sana. Di samping itu ada acara hiburan, bisa baca puisi dan juga bernyanyi.
Pokoknya oke habislah, teman-teman…”
            “ Nah itu yang kita tunggu-tunggu, Di.”
            “ Namun mengingat keterbatasan dana kas kelas maupun bantuan dari sekolah, kepada kita di minta pengertiannya untuk menambah biaya kegiatan ini. Setuju kan teman-teman…?”
            “ Ntar dulu. Jangan koor setuju saja. Sekarang kan zaman transparan dan akutanbilitas. Saran saya nih informasikan dahulu beberapa dana yang harus digunakan. Beberapa dana yang sudah ada. Lalu sisanya kita bagi-bagi lah untuk menutupi kekurangannya,” kata Amri.
            “ Bagai mana teman=teman?”
            Rosa mengancungkan tangan
            “ Ya! Ada saran, Ros?” Tanya andi.
            “ saran saya, kelas ini bukan lembaga pemerintahan yang harus membayar dana milyard-milyard begitu. Ketua kelas tetapkan saja berapa rupiah yang harus di bayar masing-masing siswa. Apalagi waktu kita sempit nih. Ntar kalau perlu dana cadangan saya, terutama Mia pasti siap memberikannya. Bukan begitu, Mia??”
            Mia di kenal sebagai anak orang kaya hanya tersenyum – senyum mendengar    kata – kata Rosa.
            “ Dia type manusia yang tak mau kalah.” Bisik Mia kepada Nina.
            “ apa perlu discounter?”
            “ apa kamu bisa?”
            Nina tak menjawab, ia mengacungkan tangan.
            “ silahkan Nin…”
            “ saya kira kita tidak usah melibatkan orang lain kalau mau berbuat baik! Dengan kata lain. Apa yang di kemukakan amri telah tepat. Seharusnya pengurus kelas sudah mempunyai bahan untuk rapat ini. Khususnya yang berkaitan dengan dana. Artinya lagi masing-masing kita dapat menerima dengan akal sehat bahwa pembebanan dana tambahan itu memang logis adanya.”
            “ saya mau bicara.” Potong olla.
            “ Bicaralah, kita di sini memang sedang belajar berdemokrasi.”
            “ Apa yang di katakana seseorang yang bernama Nina tadi tidak tepat.”
            “ Maksut kamu apanya yang tidak tepat?” Nina menyalip perkataan olla.
            “ Karena jika harus membaca keseluruhan rancangan dana akan membutuhkan waktu. Padahal waktu kita berbeda-beda. Artinya masing-masing ada keperluan lain yang harus di lakukan oleh teman-teman, terutama saya. Jadi saya usul tetapkan saja, berapa persiswanya yang harus membayar. Titik!”
            “ Izinkan saya bicara. Saya kira kami pengurus kelas tidak ada maksud mengambil keuntungan dalam hal ini. Nanti selesai acara kita akan buat laporan tertulis mengenai pertanggung jawaban dana. Jadi saya beri alternative bagaimana kalau seratus ribu perorang ? “
            “ Setuju ! “ jawab Rosa cepat.
            “ Apa perlu dikurangi ? “
            “ Tanya saja sama Nina, Di ? “ dian kasi komentar.
            Nina terdiam.
            “ bagaimana, Nin ?”
            Mia mengguit Nina.
            “ Saya setuju saja. “
              Steju ya seratus ribu?”
            “ Setuju..!!!”
            “ Kalau begitu keputusan sudah kita ambil. Mulai besok teman-teman bisa membayar kepada bendahara kelas yaitu kepada Nancy. Sedangkan jadwal keberangkatan kita rencanakan dua minggu ke depan. Ada yang mau bertanya lagi ??”
            Mia mengancungkan tangan. Ruang kelas hening. Murid-murid ingin tahu apa yang akan ditanyakan Mia. Gadis yang dapat di katakana terkaya di kelas itu.
            “ Mau Tanya apa kamu?” bisik Nina ketelinganya.
            “ Boleh nggak bawa kendaraan sendiri?” jawab Nina.
            “ Hups! Batalkan, Mia. Itu pertanyaan terlalu sensitive. Tidak enak di dengar teman-teman.”
            “ Kenapa ? orang mobil mobilnya aku kok!”
            “ Memang. Tapi ini dalam forum resmi, jangan buat kecemburuan social.”
            “ Sok tahu kamu.”
            “ Sungguh! Aku tidak setuju jika itu yang kau tanyakan dalam rapat beginian.” Tegas suara Nina didengar Mia.
            “ Oke Mia. Katakana saja. Jangan dengarkan bisikan dari sebelah,” cetus Andi.
            Mia ragu “ sebenarnya yang mau bertanya lagi si Nina. Udah kamu aja nanya langsung, Nin!”
            Nina Tersikap.
            “ Nanya kok pakai telangkai segala.”
            “ Kan lagi trend jubir. Juru bicara!”
            Nina Cepat putar akal. Ya ia dapat ide. “ begini, sebaiknya ada surat resmi kepada orang tua kita masing-masing, bahwa sekolah, khususnya kelas kita iniu mau mengadakan outbond tersebut.”
            “ Ya itu ide bagus. Nanti akan kita sampaikan kepada wali kelas. Catat itu sekretaris.”
            “ ada lagi?”
            “ saya kira itu saja dulu.”
            “ atau yang lain ada mau kasih masukan?”
            “ cukup ketua kelas.”
            “ baiklah rapat di tutup dan kita bubaran.”
            “ pertanyaan bagus, Nin.” Ucap Mia saat mereka jalan keluar kelas.
            Nina tersenyum-senyum.
            “ Mia! Tunggu!”
            “ Nina dan Mia berhenti. Andi telah berada di dekat mereka.
            “ Aku mau bicara dengan Mia.”
            “ O, ya. Kalau begitu aku duluan.”
            “ Eit! Ntar dulu. Mengapa nina mesti tak boleh dengar ?” selidik Mia.
            “ Masalahnya……..”
            “ Udahlah aku tunggu di parkiran. Kita barengankan? Atau kalau kalian ada janjian, aku naik kendaraan umum saja.” Nina berinisiatif mengambil keputusan.
            “ Sepertinya begitu Nin.”
            “ ada apa rupanya, Di?” Mia penasaran.
            “ okelah duluan aja.” Tukas Nia dan cepat-cepat meninggalkan Mia dan Andi.
            “ Di tepi jalan Nina berdiri menunggu angkutan umum yang trayeknya menuju rumahnya. Di dekatnya ada olla dan dian.
            “ Hari ini ada yang tumben naik kendaraan umum juga!” sindir olla.
            “ Maklum kehabisan tenaga kali,” jawab dian.
            “ Tenaga apa ya?”
            “ Tenaga ya itu…”
            “ Ya itu apa?”
            “ Dian..,”
            “ Aku masih disini la.”
            “ Pernah baca buku tentang parasit.”
            “ Ya pernah. Liat parasit juga sering.”
            “ Ah yang benar? Dimana kamu liat parasit?”
            “ Dekat-dekat kita sekarang juga ada parasit, la.”
            “ Enaknya jadi parasit.”
            “ Ya enaklah! Kemana saja hinggap dapat menggerogoti tempat yang ia hinggapi. Bisa numpang nebeng plus beng beng trusss….!” Ucap ola dengan bibir di kedepankan lalu ntah merasa lucu dengan kata-kata itu, olla dan dian tertawa lepas.
            Nina yakin kata-kata yang terlontar dari mulut olla dan dian sengaja di ucapkan. Mereka menyindir total dirinya. Nini mencoba bersabar dan tidak ambil hati dengan ucapan olla maupun dian.
            Meskipun di dalam sanubarinya yang paling dasar berkecamuk deburan mara, kesal dan sakit hati. Itu sungguh menyesakkan yang memerlukan penyaluran untuk di keluarkan. Bagaikan lahar yang ada di gunung merapi. Ingin dan ingin sekali nina mengeluarkannya.
            “ Penampilan pertama memang mengesankan. Tapi kalau udah tau belangnya, ya seperti ban pecah yang sulit sekali untuk di temple,” lanjut olla bersemangat.
            “ Apa maksutnya ?”
            “ Maksutnya? Masak nggak tau kamu dian?”
            “ Benar. kali ini Otak ku hang.”
            “ Maksutnya enggak ngaca diri.”
            “ Siapa yang nggak ngaca diri?”
            “ Ya parasit tadi lah.”
            Olla dan Dian kembali tertawa terbahak-bahak.
            Nina yang tadi melihat kearah jalan, kali ini tak kuasa. Ia mendekati lagi kepada dua siswa sekelas dengannya. Ia memandang tajam ke arah olla. Tidak berapa lama mengalihkan pandangan kepada dian.
            “ Jaga mulut kalian ya.” Suara Nina tinggi.
            “ Eit..! ada yang gondok. Seru olla.
            “ Siapa yang gondok?” Tanya dian cepat.
            “ Ya parasit tadi lah.”
            Olla dan Dian lagi-lagi menghamburkan tawa dari bibir mereka.
            “ Nggak normal juga nih orang.” Umpat nina.
            “ Yang nggak normal kamu.” Serang olla.
            “ kalau manusia normal itu masih punya malu. Masih punya harga diri. Masih punya apa lagi la?”
            “ Masih mau punya kemauan untuk tidak menjadi Parasit.”
            “ Nah. Itu baru manusia Normal.”
            Suara klakson kendaraan umum berbunyi. Nina membaca mengalihkan matanya kekendaraan umum, Nomor 27. itu kendaraan yang melintas tempat tinggalnya. Ia menyetop bus tersebut. Bus berhenti. Nina masuk ke bus membawa hati yang membara. Tunggu kalian pembalasan ku, kata nina dalam hati.

#  #  #

Di kamar tidur Nina merebahkan diri. Penat menergap tubuhnya. Barusan ia menyelesaikan tugas rutin. Mencuci piring, yang disusul dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang di titahkan gurunya.
            Nina menatap lekat – lekat asdes rumah yang telah pudar catnya. Rencana outbond itu masih mengiang – ngiang di telinganya. Ia tak mungkin menyatakan ketidaksetujuan kegiatan itu dilaksanakan. Ia pasti kalah. Karena kegiatan itu berkaitan dengan kepentingan sekolah.



            Tapi konsekuensi dari diadakannya outbond setiap siswa harus merogoh kantong orang tua masing – masing untuk nilai seratus ribu rupiah. Menurutnya uang seratus ribu rupiah dagi teman – temannya bukan sesuatu yang sulit untuk di minta dari orang tua.
            Tapi baginya bukan sesuatu yang mudah. Bagaimana memeberitahukan hal ini kepada ibunya ?, Ayahnya pasti bilang tak usah ikut – ikutan kegiatan seperti itu.yang penting sekolahnya. Nina yakin itu yang akan diucapkan ayahnya. Kalau tidak diberitahu sama ayah dan ibunya, apa cara untuk mendapatkan uang sebesar itu.
            Apalagi surat resmia akan disampaikan kepada masing – masing orang tua siswa. Mau tidak mau ayah dan ibunya akan tahu juga pelaksanaan outbound tersebut.
            Lalu Nina duduk ditempat tidur.tanganya menggaet gitar yang ada didekatnya. Ia memetik senar itu perlahan – lahan. Menyanyikan lagu yang ia ciptakan sendiri.
           
            Mengapa jalan hidupku sarat dengan kisah
            Antara harap dan kenyataan
            Tak jua sampai di tepiannya
            Aku terus melangkah
            Di kegelapan malam   
           
“ Belum tidur kak ?” Tanya Arni lembut yang muncul dari luar. Wajahnya, tangannya dan rambutnya basah oleh air wudhu’
“ Belum”
“ Arni mau sholat Isya dulu”
            “Ya, Sholatlah”
            “ kakak kok jarang sholat ya?” Tanya Arni yang mendadak membuat wajah Nina memerah.
Ini pertanyaan yang sensitive. Berani – beraninya adiknya itu bertanya seperti itu kepadanya. Nina agak emosi. Sebagai seorang kakak merasa di atur. Mau sholat kek mau nggak sholat kek,itu kan urusan pribadi saya. Kok bisa – bisanya adiknya mengeluarkan pertanyaan seperti itu kepadanya.
“Mengapa tanya – tanya begitu?” Nina balik bertanya
“sholat lima waktu kan wajib hukumnya.kecuali kalau kita lagi berhalangan, baru kita tidak wajib mendirikan sholat.”
“ Dari dulu kajiannya memang sudah pas begitu”
“ Tapi, kaji itu memang mesti di ulang – ulang. Bukankah lancer kaji karna di ulang?”
“kamu kenapa, Ni ? Baru selesai ikutan pesantren kilat ya?
“Merupakan suatu kewajiban untuk saling mengingatkan, kak.”
“Aku belum lupa ingatan, Ni.nggak usah diingat – ingatkan.”
“tahu nggak kak, ada lima belas perkara siksaan dari Allah bagi mereka orang yang melecehkan dan menganggap enteng terhadap sholat.”
Nina belum pernah mengetahui itu. Ia memandang wajah teduh milik adiknya.
Sebelum ia berucap sepatah kata, Arni sudah berkata lagi.
            Enam perkara di dunia ini, tiga perkara pada saat mati, tiga lagi pada saat di kuburan, dan tiga lagi pada hari kiamat ketika keluar dari kubur. Rinciannya ada pun enam siksaan yang di berikan di dunia yaitu hilangnya berkah dari usia, menghapuslah berkah dari rezekinya, wibawa orang soleh akan hilang dari wajahnya, amalan yang dikerjakan tidak akan memperoleh pahala, serta do’anya tidak akan naik ke langit.”
            Nina mendengar kata-kata adiknya itu.
            “ adapun tiga perkara yang menimpa orang yang meninggalkan sholat pada waktu ia mati ia akan mati dalam keadaan sangat hina, dia akan mati dalam keadaan lapar, dan dia akan mati dalam keadaan dahaga. Kemudian tiga siksaan yang akan menimpa di alam kubur yaitu tuhan akan menempatkan malaikat yang kerjaannya hanya mengganggu dia, sehingga perasaan berkecamuk dan badannya terguncang di alam kubur, dan kuburanya akan sempit, serta kuburannya menjadi gelap.”
            Nina masih terdiam mendengar kata-kata arni.
            “ Sedangkan tiga perkara yang akan menyiksa pada hari kiamat adalah wajahnya diseret oleh para malaikat di mana semua makhluk akan melihatnya, dan di hisab dengan hisaban yang berat serta azab yang pedih akan menimpanya.”
            “ Sudah selesai ceramah agamanya, Ni. Spontan saja Nina berkata seperti itu.
            “ Dan kita tidak boleh takabbur kak.”
            “ Siapa yang takabbur? Ah, sudahlah! Nggak usah di perpanjang pembicaraan. Ayo, sholat saja kamu sekarang.” Nina bangkit dari tempat tidur dan melangkahkan kaki keluar kamar tidur.
            Di ruangan tamu Nina melihat ayah dan ibunya sedang menonton televise. Sinetron komedi terpancar dari layer gelas. Ayah terbatuk-batuk mesti adegan – adegan yang ditayangkan menawarkan kelucuan yang di perankan para bintang sinetron. Sementara ibu tersenyum-senyum menikmati tayangan komedi tersebut.
            “ Dido mana ya bu?” Tanya Nina kepada Ibunya. Ia mengambil posisi duduk di samping ibunya.
            “ Dido lagi beli obat nyamuk.”
            Gimana sekolahmu Nin?” Tanya ayahnya tanpa melepaskan pandangan mata kea rah televisi dengan rokok yang terselip di tangannya.
            “ Biasa, Yah.”
            “ Biasa gimana?”
            “ Ya biasa gitu la, Yah.” Jawab Nina seenaknya.
            “ Kalau ngomong itu yang jelas Nin,” Komentar  ibunya Nina.
            “ Gimana lagi menjelaskannya bu. Yang jelas tak lama lagi kami akan mengikuti ujian akhir,” ucap Nina dengan mata yang tak terlepas tertuju ke layer televise.
            “ Persiapkan lah dirimu untuk mengikuti ujian akhir tersebut. Hanya saja ayah berharap tamat dari sma ini, kamu segera mencari kerjaan saja,” ujar ayah tenang.
            “ Maksut ayah ?....”
            “ Ya maksut ayah kamu tidak usah melanjut ke perguruan tinggi. Adikmu arni dan dido masih membutuhkan biaya untuk sekolahnya.” Suara ayah nina pelan namun terasa menggores ke sanubarinya.
            Ia sadar betul apa yang di ungkapkan ayahnya merupakan suatu bentuk pengakuan, bahwa mereka tak seberuntung sebagian manusia lainnya. Keluarga potret bisa di bilang keluarga yang jauh dari kesederhanaan.
            Namun Nina mencoba menghibur hatinya, bahwa masih banyak anak-anak lain yang tak seberuntung dirinya yang kini duduk di kelas tiga SMA. Masih banyak anak-anak yang tidak dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang SMA.
            “ Kamu harus memakluminya, Nin.. sambung ibu Nina.
            “ Saya mengerti bu. Tapi sebelum sampai ke ujian akhir tersebut, kelas kami atas nama sekolah akan melakukan kegiatan outbond ke prapat dan pulau samosir. Kira-kira waktunya dua minggu yang akan datang, Bu.
            “ Wah kegiatan apa pula itu?”
            “ Outbond secara garis besar adalah salah satu priode menejemen untuk membangun dan mengembangkan jati diri dan membangun kerja sama tim atau istilah kerennya team building. Pelatihanya di lakukan di alam bebas.
            “ Terus?”
            “ Ya tentunya kegiatan ini di lakukan di alam bebas. Di mana di alam ini kami mengusulkan agar outbond di lakukan sembari mengunjungi objek wisata. Oleh karena itu di sepakati dalam rapat yang kami lakukan memilih prapat dengan Danau Tobanya serta  pulau samosir.
            “ Jadi apa masalahnya?” ayah Nina bertanya dengan rokok yang masih terselip di dua jarinya.
            “ Ayah macam gak ngerti aja.”
            “ Maksudmu?”
            “ Ya yang namanya kegiatan ya perlu biay. Karena ada beban biaya yang mesti di lunasi, maka di butuhkan uang. Dalam rapat di putuskan masing-masing siswa dikenakan biaya seratus ribu rupiah.” Ucap Nina pelan.
            “ Seratus ribu rupiah?!” nada suara ayah nina mengandung keterkejutan.”
            “ Benar, Ayah.”
            “ Apa wajib semua siswa harus ikut?”
            “ Wajib ayah.”
            “ Kalau tidak mampu?”
            “ Kegiatan ini sudah di putuskan oleh rapat kelas dan mendapat sokongan dari sekolah. Karena keputusan kelas sudah bulat semuanya wajib turut serta, Yah.”
            “ Ayah upayakan, Nin. Tapi kalau tenggat waktunya tiba ayah enggak dapatkan uang sebesar itu ya apa boleh buat…” kata ayah Nina pasrah.
            “ Ibu akan usahakan juga Nin.”
            “ Makasih ibu, makasih ayah, gumam Nina dalam hati.

# # #
            Di kantin sekolah sore itu, Nina dan Mia sedang menikmati juice jeruk. Nina ingin Mia bercerita apa yang ia bicarakan dengan Andi ketoka pulang sekolah semalam. Namun Mia tak jua menunjukkan tanda – tanda akan melakukan hal itu. Apakah ada rahasia yang ia sedang bangun di sudut sanubari? Meskipun sebagai sobat kental, Nina tidak ingin Mia tersinggung.
            “O,ya?”
            “Ada oleh – oleh dibawa papa dari Jakarta”
            “Bagilah, Mia”
            “Nanti aku berikan padamu.”
            “Oleh – oleh apa?”
            “Biasalah,dodol!”      
            “Hm… sebelumnya makasih ya,Mia”
            Mia mengganggukkan kepala.Lalu meminum juice jeruk itu perlahan.
            “Tahu nggak Nin.”                 
            “Tahu apa,Mia?”
            “Masak si Andi semalam main tembak langsung aja ngomong.”
            “Ngomong apaan dia?”
            “Mulai sekarang aku ingin berteman lebih dekat denganmu, Mia”Begitu katanya. Iiih! Norak juga tuh cowok.
            “Jadi, apa respon kamu?:
            “Ya, aku diam habis saja.tidak ku iyakan tidak ku tolak.”
            “ Reaksi Andi?”
            “Dia langsung cabut.”
            “sebentar saja kalian bicara?.”
            “Bicaranya sebentar.pesan makanan, lalu memakannya itu yang bikin lama, Nin.”
            “Mimpi apa kamu sebelumnya, Mia?”
            “Nggak ada.”
            “Tapi kamu senangkan…..?
            “Ah,biasa saja, Nin. Di luaran sana masih ada yang ngebet mau jadiin aku pacarnya. Aku mau terus mengokekan.”
            “Siapa?”
            “Ya temanku di les musik yang namanya Ihsan. Ada juga Chairullah temanku di komunitas mobil.kemudian Marcello teman satu compleks.
            “Wajar saja, Mia. mana ada semut yang tidak doyan gula.”
            “Memangnya aku gula?”
            “Perumpamaannya. Artinya kamu memiliki daya tarik dan daya pesona yang mampu membuat mata normal cowok memberikan penilaian bahwa aromamu manis sehingga merekapun dengan rela datan, dengan isyarat atau secara blak – blakan mencoba menikmati manisnya kamu ..”
            “Tapi semua itu semu, Mia …”
            “Semu?”
            “Ya semu.seperti bayang – bayang.ada tapi tak bisa di genggam. Mereka bagaikan bayang – bayang.Ada. tapi belum tentu bisa aku genggam secara nyata.
            “Maksudnya?”
            “Aku menyangsikan keinginan mereka untuk menjadikan aku pacar mereka hanya bukan semata rasa itu,tapi ada alasan tertentu.”
            “Menurut kamu?” 
            “Karena aku anak orang kaya. Karena aku boleh jugalah soal wajah dan penampilan. Pikir mereka aku bloon apa?”
            “Kamu jangan memvonis perasaan orang lain semudah itu. Mia. Itu artinya kamu berprasangka buruk kepada mereka. Ya wajarlah cowok naksir cewek yang cantik, dan dari keluarga kaya lagi. Seperti kamu.”
            Nina melihat Olla dan Dian berjalan menuju kantin. Tiba di kantin mereka duduk berhadapan dengan Nina dan Mia.
            Aku masih seperti yang dulu…” ucap Olla mengutip satu kalimat yang bersumber dari sebuah lagu terkenal zamannya Dian Pishesa.
            Nina dan Mia diam. Tidak berkomentar dengan gaya Olla yang dibuat-buat. Nina nggak habis pikir apa maunya dua mahkluk yang berada di depannya itu. Ia merasa tak pernah mengganggu mereka. Tapi kenapa mulut usil mereka begitu awet mereka          pelihara.
            “Kita Bm-Bm ya, Dian!” suara Olla berintonasi tinggi, seolah-olah agar Nina mendengar kata-kata itu.
            “Ya ialah. Masak kamu terus-terus yang membayari aku. Aku masih punya harga diri, Olla.”
            “Begitulah kalau berteman. Jangan mumpuni terus. Bisa bangkrut aku kalau kamu menggerogoti aku hari demi hari.”
            “Ada apa nih?” Mia angkat bicara.
            Olla mengangkat tangannya. “Nggak ada apa-apa…..”
            “Kenapa nih orang, Nin?” tanya Mia.
            “Nggak tahu, Mia. Kali aja lagi kambuh penyakitnya,”jawab Nina sekenanya.
            Wajah Olla memerah. Raut muka Dian pun berubah. Ada emosi terpancar daro bola matanya.
            “Dengar ya, Mia. Biarpun kamu anak orang berada, kamu jangan mentang-mentang di sini. Yang kaya orang tua kamu. Bukan kamu!” Olla berkata pelan dengan mendekatkan wajahnya ke muka Mia.

            “Dan kamu juga Nin. Tahu dirilah. Anak tukang temple ban jangan berpenampilan seperti selebriti. Mau muntah aku melihat kamu,” ujar Dian sengit.
            Kemarahan Nina memuncak. Tangannya reflek menggenggam gelas yang masih menyisahkan seperti air jeruk pesanannya. Ia curahkan juice jeruk itu ke baju Olla dan Dian. Olla dan Dian tak sempat mengelak. Tepatnya lagi tak menyangka Nina akan berbuat seperti itu. Akibatnya baju putih mereka menjadi basah.
            “Ini masih pendahuluan. Nanti waktu outbond aku habisin kalian! ucap Nina beraromakan ancaman.
            “Mestinya kamu enggak sampai bertindak sejauh itu, Nin.” Mia mengikuti langkah Nina keluar dari kantin menuju kelas.
            “Mereka sudah keterlaluan.”
            “Tapi…”
            “Tidak ada tapi-tapian, Mia.”
            “Masalahnya kamu bisa di hokum.”
            “Siapa yang akan menghukumku?”
            “Ya guru pembimbingmu.”
            “Aku punya alasan untuk hal ini.”
            “Kalau guru pembimbing bisa memahami kamu oke-oke saja. Tapi kalau tidak? Bisa gawat kamu, Nin. Apalagi mereka itu pintar memutar balikkan faktanya, bisa-bisa kamu diskors!”
            “Taka apa, Mia. Itu sudah resiko yang harus aku hadapi. Dalam hidup ini kita harus punya prinsip. Prinsipku siapapun orangnya yang menghina keluargaku aku akan lawan. Memang benar ayahku hanya seorang tukang tempel ban. Tapi cara ia mengungkapkan sudah merupakan penghinaan. Apa kamu mau diperlakukan semena-mena seperti itu?”
            Mia menggelengkan kepala.
            “Begitu juga aku, Mia.”
            Mereka tiba di kelas. Baru saja Nina menduduki bangkunya, Andi dating dengan nafas tersengal-sengal.
            “Kalian berdua dipanggil ke ruangan guru pembimbing.”

            “Siapa takut!” balas Nina. Berdiri dan bergegas keluar kembali dari ruangan kelas. Mia menyusul Nina dengan harap-harap cemas. Selama bersekolah baru sekali ini ia mengalami peristiwa seperti ini.
            “Kamu jangan takut, Mia. Aku yang bertanggungjawab dalam hal ini. Karena aku yang mencurahkan air jeruk itu ke baju mereka.”
            Nina dan Mia tiba di ruangan guru pembimbing. Olla dan Dian duluan sampai. Mereka telah duduk di bangku yang tersedia di situ.
            “Selamat sore, Pak,” sapa Nina tenang.
            Berdiri kamu di situ! hardik Pak Ruslan.
            Nina berdiri di dekat meja Pak Ruslan,
            Kamu boleh duduk di sana.”
            Mia menuruti perintah Pak Ruslan.
            “Kamu sadar nggak apa yang telah kamu lakukan kepada teman kamu sendiri?.”
            “Saya tidak merasa punya teman seperti mereka, Pak.”
            “Diam kamu!” bentak Pak Ruslan.
            Merasa benar Nina tidak takut. Wajahnya tenang. Berdiri dengan sempurna, tanpa dipengaruhi rasa gemetar. Justru ia merasa dengan tindakannya tadi kepada Olla dan Dian, ia telah membela diri, membela keluarganya.
            “Saya paling benci dengan siswa yang melanggar aturan sekolah. Saya paling tidak senang ada siswa yang dengan gampangnya memperlakukan siswa lainnya seperti yang kamu lakukan kepada mereka berdua. Kamu harus diskors. Panggil orang tuamu kemari besok. Kalau tidak kamu akan dikenakan sanksi tidak dapat mengikuti ujian akhir.”
            “Bapak harus dengar dulu penjelasan saya.”
            Apa lagi yang mesti kamu jelaskan. Faktanya sudah ada. Baju mereka kamu siram dengan juice jeruk.”
            Mereka menghina saya. Menghina keluarga saya.”
            “Apa buktinya mereka menghina kamu?”
            “Mereka bilang tahu diri kamu, anak tukang tempel ban jangan berpenampilan seperti selebritis.”

            “Ya memang seharusnya begitu. Kita jangan besar pasak dari pada tiang.”
            “Tapi saya tidak merasa berpenampilan sebagai selebritis, Pak. Dan saya rasa apapun pekerjaan orang tua kita asal halal tidak masalah, tapi bukan berarti harus diumbar dengan nada yang sifatnya mengejek.”
            “Kamu juga mengancam mereka. Mau menghabisi mereka. Hebat benar kamu. Apa orang tuamu preman?”
            “Tidak usah berdebat. Di sini kamu siswa. Saya guru pembimbing. Kalau kamu masih mau dibimbing dengarkan kata-kata saya, kamu sore ini sehabis sekolah harus menyapu seluruh kelas. Kedua orang tua kamu suruh datang kemari. Dan ketiga kamu mesti minta maaf kepada Olla dan Dian.”
            “Saya akan menyapu seluruh ruang kelas sehabis pulang sekolah. Besok saya yakini ayah dan ibu saya akan datang ke sekolah menemui bapak. Tapi, untuk minta maaf kepada mereka saya tidak akan, Pak” ujar Nina dengan sikap sempurna.
            Pak Ruslan tersekiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nina. Ternyata ia menghadapi sosok siswa yang tangguh. Belum pernah ada siswa yang menolak perintahnya. Untuk tidak menjatuhkan marwahnya di depan empat orang siswa itu, Pak Ruslan ngotot agar Nina minta maaf kepada Olla dan Dian.
            “Kalau kamu tidak mau minta maaf kepada mereka, kamu akan dikeluarkan dari sekolah,”ancam Pak Ruslan.
            “Apa karena saya tidak mau minta maaf kepada kedua orang ini saya dikeluarkan dari sekolah? Aneh juga sekolah ini menurut saya.”
            “Kalian bertiga kembali ke kelas.”
            Olla dan Dian serta Mia keluar dari ruangan. Nina masih berdiri dengan sikap sempurna.
            “Kamu jangan melawan saya ya. Saya bisa nekat!” Pak Ruslan membelalakkan matanya.
            Bapak kok ngotot berat belain mereka”?
            Tiba-tiba Pak Ruslan memegang tangan kanan Nina. Dan tangan satunya lagi menjambak rambut panjang Nina.

            “Dengar ya kesabaran saya sudah mulai habis. Kamu harus minta maaf kepada Olla dan Dian. Titik. Saya kasih waktu sampai besok. Di depan kedua orang tuamu. Jika tidak? Kamu akan menyesal. Kalaupun saya tidak berhasil mengeluarkan kamu dari sekolah ini, kamu akan terus saya kejar!”
            Psikopat juga nih manusia satu ini, batin Nina berkata. Tapi justru ia juga menjadi tertantang. Semangatnya untuk survive memuncak. Ia telah lama menderita dan hidup dalam bayang-bayang kecemasan saat harus berpindah-pindah tempat tinggal. Tapi untungnya dengan kondisi seperti itu Nina banyak bertemu manusia. Ia banyak belajar dari tingkah laku manusia di sekitar tempat ia tinggal.
            “Lepaskan, Pak. Atau saya menjerit sekuat-kuatnya!”
            “Coba kalau berani? Menjeritlah sekeras-kerasnya!.Ayo menjeritlah!”
            Nina pantang ditantang. Dengan cepat ia melakukannya. “Tolong!!! Tolong!!!” spontan Nina berteriak sekuat-kuatnya. Guru-guru dan siswa pada berhamburan dan berlari menuju sumber suara. Pak Ruslan gelagapan. Ia tak menyangka Nina akan bertindak seperti itu.
            “Ada apa?” tanya Ibu Rifka yang duluan tiba di ruangan.
            “Tidak ada apa-apa, Bu” Jawab Pak Ruslan gugup.
            “Ada apa ini?” tanya Pak Broto guru olah raga yang memiliki ilmu bela diri Karate.
            “Saya terkejut. Mungkin halusinasi saya atau apalah namanya, saya merasa ada melihat penampakan di sudut itu.” Nina mengarang. Tentunya untuk konsumsi para guru yang ada di ruangan itu.
            Nina tidak mau menceritakan hal sebenarnya apa yang dilakukan Pak Ruslan kepadanya. Hal ini disadari karena tidak adanya sanksi, sehingga bisa saja apa yang katakannya nanti dibantah oleh Pak Ruslan.
            Salah seorang guru sudah membubarkan kerumunan guru. Mereka diperintahkan untuk kembali ke kelas masing-masing. Beberapa guru juga kembali ke kelas untuk mengajar. Tinggal Pak Broto, Pak Ruslan dan Ibu Corista yang berada di dekat Nina.
            “Sebaiknya kamu pulang saja. Bukan begitu Pak Ruslan.” Ibu Corista memberikan saran,

            Pak Ruslan tak bisa berkeras. Ia menganggukkan kepala.
            Nina tersenyum kemenangan. Tentunya di dalam hati.

# # #

            Pagi yang cerah. Mentari menyirami kota Medan dengan sinarannya. Angin berhembus lembut. Di halaman parkir sekolah, anak-anak siswa kelas III IPS 1 menyambut suasana pagi dengan riang. Pagi ini mereka berkumpul untuk berangkat menuju Prapat dalam rangka kegiatan Outbond. Anak-anak sudah tak sabar untuk masuk ke dalam bus.
            “Hey, Mia sebelumnya aku ucapkan thank’s ya”
            What for?”
            “Ya atas bantuanmu membayar biaya outbond.”
            “Sudahlah, Nin. Aku senangnya aja bisa bantu kamu.”
            “Orang tuaku sebenarnya telah memberikan uang untuk biaya outbond ini. Ada baiknya aku berikan kepadamu uang seratus ribu ini.”
            “Nggak! Nggak usah, Nin. Udalah nggak kita bahas. Kasus ditutup!”
            Nina menghela nafas. Namun dalam hatinya ya sudah kalau nggak mau terima. Lumayan dapat seratus ribu. Bisa beli majalah Hello. Meskipun Nina tahu ibunya terpaksa meminjam uang kepada seorang ibu yang punya aktifitas meribakan uang di lingkungan tempat tinggal mereka.
            Pak Broto memberikan aba-aba kepada siswa untuk masuk ke dalam bus dengan tertib. Seluruh barang juga dimasukkan ke dalam bagasi bus pariwisata itu. Tidak beberapa lama semua siswa sudah berada di dalam bus.
            “Tidak ada yang ketinggalan?”
            “Tidak, Pak….!”
            “Oke, kita berangkat. Sebelum berangkat mari kita berdoa dalam hati semoga perjalanan kita selamat sampai tujuan.”
            “Baik, Pak.”

            Pak supir mulai menjalankan kendaraan itu. Pelan namun pasti kenderaan sampai di persimpangan Amplas. Melewati Amplas, bus masuk jalan tol Tanjung Morawa. Tidak berapa lama keluar tol dan menyelusuri jalanan menuju Lubuk Pakam ibu kota Kabupaten Deli Serdang. Terus melaju ke Kabupaten Serdang Berdagai. Kemudian tiba di kota Tebing Tinggi Dari kota Tebing Tinggi menuju kota Pematang Siantar. Bus mulai menyusuri jalan mendaki menuju Parapat di mana di daerah itu terletak Danau Toba dengan di tengah-tengah terdapat pulau yaitu Pulau Samosir.
            Nina menyaksikan keindahan alam lewat jendela bus. Baru sekali ini ia bisa menikmati perjalanan ke Prapat. Itu bisa dimaklumi, mengingat kondisi perekonomian orang tuanya yang tidak memungkinkan mengajak anak-anaknya untuk berekreasi. Dan itu tidak perlu disesali. Karena kalau dipikirkan bisa bikin stress saja. Bisa gila! Masih dapat bersekolah hingga kelas III SMA sudah merupakan sesuatu penghiburan bagi Nina.
            “Kamu udah punya pacar, Nin?” tanya Mia berbisik saat Danau Toba telah terhampar di kerjauhan.
            Nina memalingkan wajahnya ke kanan dan berkata kepada Mia, “Aneh pertanyaan kamu, Mia.”
            “Aku serius, Nin.”
            “Selalu kita bersama masak nggak bisa kamu ambil kesimpulan. Lagi pula siapa mau denganku? Aku bukan gula, Mia. Aku mungkin hanya semacam minyak goreng. Rasanya kurang sedap jika dimakan begitu saja.”
            “Kamu bilang hidup jangan pesimis. Nyatanya kamu pesimis, Nin.”
            “Aku nggak pesimis. Justru aku realis, untuk apa mengejar yang tak pasti. Lebih baik menjaga apa yang dimiliki sekarang ini. Sekarang ini aku masih mempunyai ibu, ayah, dua orang adik. Ya kepada mereka aku curahkan kasih sayang, dan cinta kasih.
            Bus yang membawa Nina dan teman sekelas sampai di salah satu tempat penginapan yang telah dipesan sebelumnya, yang mana lokasinya di salah satu tepian Danau Toba.

            Para siswa keluar dengan tertib. Nina membiarkan saja teman-temannya keluar duluan. Setelah bus mulai lapang, ia pun mengangkat tubuhnya dari kursi. Berjalan menuju pintu bus. Lalu turun. Mia ada di belakangnya.
            “Mau bikin perhitungan kepada Olla dan Dian, Nin?”
            “Tiga hari diskorsing membuat hati ini makin sakit, Mia? Masih di sekolah yang bisa disebut lingkungan kecil, namun keadilan itu tak berjalan sesuai hati nurani, gimana lagi dalam bejana yang lebih besar di lingkungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?” suara Nina kata Nina tegas.
            “Untuk misi ini aku akan melakukannya sendiri, Mia. Kamu bersih. Kamu tidak ada urusan dengan mereka. Kamu bukan musuh mereka. Yang berseteru itu adalah aku. Jadi nggak usah ikut-ikutan!” lanjut Nina
            Nina dan Mia menuju kamar yang diperuntukkan kepada mereka. Ibu guru Corista mengingatkan bahwa para siswa diberi waktu satu jam untuk beristirahat dan merapikan kamar tidur. Nanti di lanjuti makan bersama. Sholat Dzuhur yang menjalankan nya, dan jam tiga dimulailah kegiatan-kegiatan Outbond yang dipandu oleh beberapa instruktur dari pihak luar yang melakukan kerja sama dengan sekolah.

# # #

            Jam menunjukkan pukul delapan malam. Nina sendirian di kamar. Sesuai makan malam barusan perutnya mulas, ia balik ke kamar untuk melepaskan sisa-sisa makanan. Berbagai game yang mereka laku siang hingga menjelang Maghrib cukup membuat badannya terasa penat. Namun malam ini diagendakan sebagai acara hiburan Nina ingin bernyanyi. Pelajaran di sekolah tidak ada lagi yang namanya bernyanyi di depan kelas. Ia ingin teman-temannya tahu ia juga bisa bernyanyi.
            “Sudah kumpul semua?” Instruktur yang dipanggil Pak Ninok bertanya.
            “Sudah, Pak.”
            “Acara hiburan ini kita selingin dengan beberapa permainan, ya…”
            “Ya, Paaakkk.”

            Pak Ninok memang jagonya memotivasi siswa. Anak – anak dimotivasi untuk berani berbicara di depan umum, Di samping itu potensi diri mereka dicoba untuk digali sehingga memiliki semangat untuk terus berkembang. Apalagi masa depan itu memerlukan perjuangan untuk meraihnya. Dan untuk meraihnya memerlukan kerja keras, semangat yang tangguh, dan kemampuan diri dalam mengendalikan diri.
            Nina sudah bergabung di antara teman-teman. Ia mengambil posisi duduk di samping Syamsul. Matanya mencari-cari Mia. Ternyata sobatnya duduk mulai lengket dengan Andi. Ia melihat Mia dan Andi berbisik-bisik bicara.
            “Oke siapa yang mau menyumbangkan suaranya?” tanya Pak Ruslan setelah salah seorang penyanyi dari kelompok keyboard itu usai melantunkan sebuah lagu miliknya Siti Nurhalizah, Bukan Cinta Biasa.
            “Ayo, jangan malu-malu. Tadikan kita belajar untuk pede dan berani berdiri di depan. Sekarang kita harus berani berdiri di depan. Sekarang kita harus berani berdiri di depan sambil bernyanyi. Soalnya nanti belum pas benar suara dengan musiknya ya nggak apa-apa. Kita disini belajar. Belajar menggali potensi diri….” Suara Pak Ninok yang khas mencoba menggugah para siswa.
            “Ketua kelas dulu yang nyanyi…”
            “Ya ketua dulu baru nanti anggota.”
            “Tidak mesti begitu. Sekarang kita buat aturan mainnya. Kita wajib mematuhi aturan mainnya.”
            Anak-anak serius mendengar apa yang dikatakan Pak Ninok. “Pemain Keyboard memainkan instrumental sebuah lagu yang bersamaan dengan itu sebuah tas di gilirkan kepada masing-masing kepada siswa. Apalagi musik berhenti dan tas juga harus berhenti dioperkan. Nah, bagi siapa yang memegang tas pada saat musik berhenti, dia yang harus bernyanyi. Dan setelah ia bernyanyi ia boleh menunjuk siapa yang berikutnya untuk bernyanyi. Jelaskan aturan mainnya?”
            “Jelas, Pak.”
            “Oke kita mulai.”
            Pemain keyboard ditutup matanya. Lalu menghidupkan musik yang sudah direkam dalam disket. Instruktur memberi aba-aba berhenti. Musik berhenti. Tas berhenti di hadapan Amri.

            “Nah , sekarang Amri yang harus bernyanyi.”
            Amri bernyanyi dengan seadanya. Teman-teman geli melihat penampilan Amri. Setelah selesai, Amri menunjukkan Syamsul. Begitulah mereka saling bergiliran menunjukkan kemampuan suara mereka.
            Ketika Mia ditunjuk ke depan. Ia minta izin bernyanyi sambil memainkan keyboard. Itu bukan hal baru baginya. Ia memang les musik sekaligus les vokal. Dengan fasilitas yang ia miliki dan memang ada hobby dalam hal musik dan nyanyi membuat teman-teman minta tambah.
            Usai Mia bernyanyi, Mia menunjuk Rosa. Rosa termasuk anak orang golongan berada juga. Tetapi kesan ekslusifnya luar biasa. Pergi dan pulang sekolah di antar supir pribadi. Pendiam dan kesannya menutup diri. Sesekali ngomong namun omongannya terkadang membuat pedas telinga.
            Nina pernah ketiban ucapan yang tak mengenakkan dari Rosa.
            “Uang jajan kamu berapa sehari, Nin?”
            “Nggak ada. Saya nggak punya uang jajan.”
            “Oohh…pantas…”
            “Pantas kamu dekati terus si Mia. Pandai juga kamu membuat strategi.”
            “Maksudmu.” 
            “”Ya, dengan berkawan sama si Mia, kamu bisa lepas untuk minum juice atau apa kek namanya.”
            “Kok gitu ngomongnya, Ros!?”
            “Soalnya kamu akrab banget dengan Mia. Di situ ada Mia pasti ada kamu.”
            Itulah yang diingat Nina dari Rosa. Mau marah? Ya seharusnya marah, tapi kalau dipikir-pikir untuk apa harus marah-marah. Toh, yang ia lakukan hanya sekedar menjalani ritual persahabatan saja. Ia tidak pernah minta sama Mia. Kalau Mia memberi atau menawarkan sesuatu ya kan nggak salah di terima. Ketika Mia mengajakikan pulang bareng sekolah naik mobilnya, ya tentunya tidak tolak. Lumayan ongkosnya bisa dipergunakan untuk hal lain.

            Nina melihat penampilan Rosa. Ia juga tak mau kalah dengan Mia. Rosa bernyanyi sambil memainkan alat musik keyboard. Suaranya lumayan juga. Rosa menyanyikan sebuah lagu miliknya Melly G.
            Rosa menunjuk Nina untuk bernyanyi selanjutnya. Nina melangkah ke depan.
            “Lagu potong bebek angsa saja!” Olla berkomentar.
            Nina mendengar komentar Olla. Ia tidak menggubris.
            “Baiklah saya akan mencoba untuk menyanyikan sebuah lagu. Tanpa bermaksud meninggi, kalau teman-teman sudah pada bawain lagu-lagu miliki penciptanya. Saat ini saya mencoba menyanyikan lagu ciptaan saya sendiri.”
            “Yang benar ciptaan kamu…!”serang Dian.
            “Kita tidak mau berdebat di sini. Baik saya akan menyanyikan. O, ya saya juga akan memainkan sendiri alat musiknya.
            Nina menuju ke bangku itu. Di hadapannya sudah ada keyboard. Tanpa ada yang pernah diketahuinya teman-temannya, Nina ternyata sejak sekolah dasar sudah mengenal keyboard.
            Kebetulan tetangganya waktu mereka tinggal daerah Sei Mati punyai alat keyboard. Ia berteman dengan tetangganya. Tetangganya itu dileskan privat alat musik keyboard. Ia ikutan belajar. Begitu juga SMP. Ada saja orang-orang yang berada disekitar tempat tinggalnya yang memiliki kemampuan dan berkenan mengajaknya untuk bernyanyi dan berkeyboard.
            Ketika kelas satu SMA ia belajar musik di Taman Budaya atas bantuan dari  guru keseniannya di SMP yang menaruh perhatian kepadanya. Nina juga diajari menulis komposisi lagu dan mengaransemen lagu.
            Musik mulai mengalun lembut bercampur dengan nada-nada sendu. Berkisah tentang kehidupan yang sarat dengan kepedihan. Jiak dihayati mendalam akan membuat sentuhan di kalbu. Bait-demi bait syair lagu karyanya sendiri Nina lantumkan dengan syahdu.

            Ku berjalan menyusuri malam
            Ketika asa tak jua terangkaikan
            Hanya derita sepanjang perjalanan
            Mencari dan mencari lagi bahagia

            Ku bertanya padamu angin
            Akan kah tirai ini terbuka
            Membaca lagi tanda masa depan
            Adakah lembaran damai tercatat bersama

            “Tak kuduga ternyata kamu pandai nyanyi, Nin,” puji Mia saat mereka di kamar penginapan.
            “Biasa saja, Mia”
            “Sudah banyak lagu yang kamu ciptakan.”
            “Belum banyak.”
            “Itu merupakan modal besar bagimu untuk terus maju.”
            “Thank’s, Mia.”
            Handphone Mia bergetar. Ada SMS masuk. Mia membacanya pelan namun pasti. Aku tunggu di bawah ya.
            “Dari Andi ya?” selidik Nina.
            “Tahu aja kamu!”
            “Benarkan?”
            “Ya benar. Aku keluar sebentar”.
            Mia beranjak ke luar. Nina memerhatikan sesaat sobatnya itu. Tapi matanya mulai tak bisa diajak kompromi. Ia memutuskan untuk tidur.



# # #

            Nina membaca terlebih dahulu dengan teliti formulir kontes gadis sampul majalah Hello. Lalu ditulisnya pelan-pelan agar tidak salah, Mulai dari mana, tempat tanggal lahir, alamat rumah, alamat sekolah, hobby. Setelah selesai mengisi formulir tersebut ia pun memeriksa kelengkapan persyaratan yang harus dilampirkan, seperti foto close up dan seluruh badan, foto copy identitas diri.
            “Nin!”panggil ayahnya setengah berteriak.
            Nina cepat-cepat keluar kamar.
            “Ada apa, Yah.”
            Ayah Nina terbatuk-batuk. Tangan kanannya memegangi dada.
            “Buatkan ayah kopi, Nin.”
            “Ya, Yah.”
            Nina menuju dapur. Tak ada ditemuinya kopi. Begitu juga gula.
            Ia kembali menemui ayahnya.
            “Mana kopinya”
            “Kopinya nggak ada.”
            “Nggak ada gimana?”
            “Ya…memang nggak ada, yah. Kopi, gula nggak ada.”
            “Pergi belikan dululah!”
            “Uangnya, yah?”
            “Pakai dulu uangmu.”
            “Mana ada uang saya, Yah,” jawab Nina berdusta. Ia masih punya sisa uang tujuh puluh ribu rupiah. Lima belas ribu beli majalah, dan lima belas ribu dipergunakan untuk beli buah-buahan ketika pulang dari Prapat.
            “Hutanglah dulu di warung Pak Haji Abidin.”
            “Apa dikasihnya, Yah.”
            “Dikasihnyalah itu. Cepatlah!”
            “Baik, Yah.”
            Nina berjalan tergesa-gesa menuju warung Pak Abidin. Hati Nina sangat malu untuk mengatakan kepada Pak Haji Abidin, bahwa ia mau beli kopi dan gula, tapi

            Hutang dulu! Namun sebelum tiba di warung Pak Haji Abidin Nina menemukan jalan keluarnya.
            “Pak……”
            “ya mau hutang lagi ya…” sambung Pak Haji Abidin dengan wajah tenang namun ucapan itu terasa menenggelamkan harga diri Nina.
            “Bukan, Pak. Justru saya mau beli dengan tunai. Kopi dan gulanya seperempat kilo.”
            “Ayahmu itu ingatkan untuk beribadah. Sholat Jum’at dan sholat lima waktu serta seringlah mengikuti wirid yasin atau majelis pengajian.”
            Nina terdiam mendengar kata-kata Pak Haji Abidin. Bagaimana mungkin ia mengingatkan ayahnya untuk beribadah, sedangkan ia sendiri tak lebih dari ayahnya.
            “Kegiatan Remaja Mesjid juga ada di Mesjid. Setiap malam Senin ada pengajiannya. Saya tidak pernah melihat kamu di majelis pengajian. Bapak salah seorang yang memberikan materi dalam majelis pengajian itu.”
            “Lain kali saya ikut, Pak Haji.”
            “Ya, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.”
            “Berapa, Pak Haji?”
            “Sudahlah. Ambil saja dulu.”
            “Terima kasih, Pak Haji.”
            Nina kembali ke rumah. Ia menemui ibunya di dapur, sedang memasak nasi.
            “Ibu dari mana tadi?”
            “Dari rumah Ibu yang meminjami uang. Ibu terpaksa pinjam uang lagi, Nin.”
            “Untuk apa, Bu?”
            “Dido perlu uang berenang katanya. Arni juga perlu membeli buku komputer.”
            “Berapa yang ibu pinjam?”
            “Dua ratus ribu.”
            “Ibu mulai bingung, Nin. Jualan lontong untungnya tak seberapa. Harga bahannya sudah pada naik. Sedangkan harga lontongnya sulit untuk dinaikkan. Sebab kalau dinaikkan, bisa-bisa tak ada pembeli. Akhirnya jalan keluarnya porsinya yang ibu kurangi.”

            “Gimana dengan usaha ayah, Bu?”
            “Usah tempel ban manalah bisa diharapkan kali, Nin. Ibu sudah bilang ke ayah kamu, coba pikirkan lagi untuk mengganti usaha lain.”
            “Apa tanggapan ayah, Bu?”
            “Ayahmu hanya menjawab, ya nanti dipikirkan lagi. Begitu saja.”
            Nina membawa segala kopi permintaan ayahnya. Dilihatnya ayahnya hanya duduk sembari menikmati rokok yang terselip di bibir.
            “Ini kopinya, Yah.”
            Ayah Nina menenguknya.
            “Apa kata Pak Haji?”
            “Nggak apa-apa?”
            “Ayah pernah menolongnya di pasar. Waktu itu ia mau dicopet orang. Makanya kalau ayah berhutang uang sama Pak Haji, tapi Pak Haji berhutang budi kepada ayah.”
            “Tapi, setahu saya yang saya baca pada salah satu buku, di tulis bahwa kebaikan yang kita berikan kepada seseorang, janganlah diingat-ingat lagi, Yah. Justru sebaliknya kebaikan orang lain kepada kita yang mesti kita ingat sampai mati,” kata Nina lembut.
            “Bisa saja kamu!”
            Nina masuk ke dalam usai ayahnya berkata seperti itu.


# # #

            Setelah mengenakan pakaian seragam dan memeriksa isi tasnya, Nina pamit kepada ibu dan ayahnya.
            Ia singgah ke kantor pos. Nina mengirimkan surat untuk mengikuti kontes gadis sampul.
            “Kilat khusus ya, Mbak.”
            Nina memberikan uang sesuai tarif yang dikenakan oleh pegawai Pos itu. Lalu ia melangkah keluar Kantor Pos. Di depan pintu masuk dan keluar Kantor Pos itu ada tempat pengumuman. Banyak yang membacanya. Nina tertarik untuk berhenti dan ikut

membacanya. Ternyata ragam pengumuman lowongan kerja. Matanya tertuju pada salah satu pengumuman. Ia membaca dengan seksama pengumuman itu.

DI BUTUHKAN PENYANYI
            Sebuah kelompok musik membutuhkan penyanyi dengan persyaratan sebagai berikut :
1.      Berpenampilan menarik
2.      Dapat bekerja sama dengan pemain lainnya
3.      Siap bernyanyi hingga pukul dua belas malam
Jika berminat dapat menghubungi Sdr. Yansen melalui Kotak pos 234 Medan. Audisi dilakukan dua minggu setelah surat lamaran diterima

            Aku harus mencobanya. Nina kembali ke dalam. Membeli amplop dan materai. Kemudian menulis permohonan di atas selembar kertas HVS Folio yang ia beli tempat fotocopy dekat kantor pos itu.
            Setelah selesai surat lamaran itu Nina kirim dengan kilat khusus.
            “Nina ya?” seseorang menyapanya. Cowok. Nina dan cowok itu berpandangan.
            “Saya Dani. Teman waktu SMP.”
            “O, ya…….ya. Saya baru ingat. Apa khabar, Dan?”
            “Biasa. Kamu?”
            “Biasa juga.”
            “Lagi mengirim surat.”
            “Ya, Kamu.”
            “Sama.”
            “Sekolah di SMA Bahana ya?”
            Nina mengiyakan dengan anggukan kepala.
            “Kamu?”
            “SMA Negeri 2.”
            “Sudah pulang?”
            “Sudah.”

            “Yang benar?”
            “Ya. Tadi kami membezuk salah seorang anak guru kami yang di opname. Demam berdarah. Kamu?”
            “Justru mau masuk nih.”
            “Tinggal di mana sekarang, Nin?”
            “Di Marindal.”
            “Lengkapnya?”
            Nina mengambil secarik kertas. Ia menulis alamat lengkapnya.
            “Kapan-kapan saya main ke rumahmu ya, Nin.”
            “Boleh saja.”
            “Yuk saya antar ke sekolah kamu.”
            “Nggak usah, Dan.”
            “Jangan begitulah. Nggak baik menolak tawaran teman lama. Atau ada yang cemburu nantinya?”
            “Nah, jadi nggak ada masalah kan.”
            “Justru saya yang khawatir ke kamu. Ntar ada yang cemburu melihat kamu jalan bersama saya.”
            “Nggak ada itu!”
            Nina tidak tak kuasa menolak ajakan Dani. Dani dengan senang hati mengantarkan Nina ke sekolah.
            “O, ya ini nomor handphone saya, Nin. Simpan saja di HP-mu.”
            “Saya nggak punya handphone, Dan.” Jawab Nina apa adanya.
            “Kalau begitu saya tuliskan di kertas ya.”
            “Oke ya Dan.”
            “Sampai jumpa, Nin.”
            Nina tersenyum. Dani juga tersenyum.

# # #

            Nina masih menyimpan perhitungan kepada Olla dan Dian. Olla temannya itu sebenarnya siswa pindahan. Ia masuk ketika Nina naik ke kelas tiga. Jadi baru sekitar enam bulan lebih sedikit. Ia tidak banyak bicara dengan Olla. Setahunya Olla pergi dan pulang naik kendaraan umum. Nina belum pernah ke rumah Olla. Apa pekerjaan orang tuanya juga ia tidak tahu. Tapi ia mengetahui alamat rumah Olla secara tak sengaja, ketika Olla bercerita panjang lebar dengan Dian di kelas. Olla dan Dian duduk bersebelahan.
            Dengan mengganti pakaian seragamnya dengan kaos yang kerap ada di dalam tas untuk mengantisipasi jika Mia mengajaknya bolos, Nina menuju rumah Olla. Rumah itu tampak sederhana saja. Di samping rumah Olla ada kedai kecil. Nina berhenti di kedai itu. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore.
            “Air mineralnya satu,” ucap Nina.
            Gadis remaja sepertinya sebaya dengannya yang menjaga kios itu memberikan Nina air mineral.
            “Saya mau tanya.”
            “Tanya apa?”
            “Tahu nggak rumahnya Olla?”
            “Rumah Olla ya yang sebelah ini.”
            “O, ya..”
            “Benar. Tapi dia sekolah. Biasanya pulangnya malam. Jam dua belas malam.”
            “Jam dua belas malam?!”
            Gadis itu menganggukan kepala.
            “Kerja?”
            “Iya”
            “Di sebuah café di sekitar petisah.”
            “Memangnya orang tuanya…”
            “Ayahnya di penjara. Kasus narkoba. Ibu nya jadi TKI di Singapore. Tapi khabarnya kawin lagi di sana dengan duda setempat.”
            “Ini rumah?”

            “Ia sewa dari kami”
            “Sendirian saja di tinggal di situ?”
            “Nggak. Ada neneknya. Ada tiga orang adiknya. Dan sesekali ada yang menginap di situ. Katanya keluarga dekat. Ia menyebutnya Om. Om Ruslan namanya.”
            “Om Ruslan?”
            “Ya. Tapi ngomong-ngomong kamu siapa, kok nanya-nanya terus tentang Olla.”
            “Saya bukan siapa-siapa. Makasih atas informasinya.”
            Nina bergegas. Cepat-cepat ia menyetop sudaco yang sedang melintas di jalan. Ia mencoba mengingat-ingat rumah Dian. Dian temannya ketika kelas dua. Dian masuk di semester dua. Dengan Dian ia tidak begitu akrab. Orangnya agak tertutup dan menutup diri. Entah mengapa sejak bertemu Olla, ia mulai tampak berubah. Pergi dan pulang sekolah biasanya naik kendaraan umum. Nina belum pernah ke rumah Dian.
            File di memory otak Nina terbuka. Ia mengingat kembali alamat rumah Dian yang tak sengaja ia dengar ketika Dian mengatakannya kepada Andi. Meskipun ia belum pernah ke rumah Dian, namun jalan untuk menuju kesana ia tidak buta. Karena sejak kecil ia berpindah-pindah tempat tinggal, sehingga jalan-jalan di kota Medan cukup di ketahui.
            Lagi-lagi Nina menemukan rumah sederhana. Rumahnya Dian. Dua rumah dari rumah Dian ada warung makanan. Nina ke sana. Pesan bakso dan the manis hangat.
            “Numpang tanya ya, Bu, rumahnya Dian ibu tahu nggak?”
            “Lha itu rumahnya.”
            “Itu.”
            “Iyo.”
            “Sering kemari Diannya, Bu?”
            “Jarang. Jarang di rumah juga.”
            “Kok gitu?”
            “Siang sekolah. Malamnya kerja. Paginya tidur.”
            “Kerja dimana?”
            “Di bar gitu.”
            “Lokasinya, Bu?”
            “Ibu nggak ngerti. Tapi dengar-dengar di Kawasan Petisah.”
            “Mengapa harus kerja?”
            “Ayah dan Ibunya cerai. Kini tinggal bersama keluarga dari ibunya. Bersama paman dan dua anaknya.”
            Nina telah memperoleh informasi tentang kedua orang yang telah menyakiti hatinya. Malampun kian bertambah malam. Nina yakin seratus persen ayah dan ibunya akan menunjukkan wajah tak mengenakkan jika ia tiba di rumah nanti.
            Haruskah ia mengutarakan kejadian sore tadi kepada ibu dan ayahnya? Tapi apa untungnya? Hanya menyalurkan belas kasihan orang tua? Nina berubah pikiran. Di sedaco yang melaju daerah rumahnya, ia mengambil keputusan untuk tidak memberitahukan peristiwa sore tadi.
            “Dari mana kamu?”
            “Dari rumah Mia. Kebetulan ada bahan dari Internet yang kami akses, Yah”
            “Kenapa tak diantarnya?” tanya ibu Nina.
            “Bu, nggak mungkin saya terlalu bergantung dengan Mia. Sudaco kan banyak. Mana lagi Mia sudah lelah. Makanya saya pulang naik sudaco.”
            “Sudah sana makan…”
            Nina masuk ke kamar tidur. Dilihatnya Arni masih berdoa. Nina duduk di tepi tempat tidur. Tak lama kemudian adiknya selesai berdoa. Membuka mukena dan merapikan sajadah.
            “Kamu ingat berapa kali kamu telah berdoa, Ni?”
            “Aku nggak pernah mengingatnya, Kak”
            “Kamu merasa doa kamu telah di kabulkan Tuhan, Ni?
            “Kakak kok bertanya begitu?”
            “Ya jawab saja dulu pertanyaan kakak.”
            “Aku yakin dan percaya, Kak, yang namanya doa akan di kabulkan oleh Allah swt. Ada yang dikabulkan secara spontan. Ada yang di tunda untuk waktu tertentu. Dan ada yang kita berdoa,kita dilindunginya daru segala marabahaya dan malapetaka yang seharusnya menimpa kita.
            “Tapi mengapa hidup kita  begini terus. Terus saja miskin.”
            “ada hikmah dari sesuatu yang terjadi. Allah swt punya rahasia yang tak satupun manusia bisa menerkanya. Bukankah, pertemuan, jodoh dan maut adalah kuasanya mutlak. Jadi nggak perlu dibahas kenapa hidup kita begini – begini saja,dan kenapa teman kakak yang bernama mia itu kaya.”
            “kamu tahu, hari ini ada orang yang menyakiti hati kakak.”
            “Namanya kamu nggak perlu tahu.”
            “Lalu ?”
            “Ya kakak harus membalasnya.”
             “Itu namanya dendam, kak”
            “Ia memutar balikkan fakta. Itu artinya dia memfitnah.”
            “Bukankah orang yang suka memaafkan itu orang yang beruntung, kak.”
            “Apa yang kamu katakan benar adanya.masalahnya bagaimana mungkin kakak yang tidak bersalah harus minta maaf kepada orang yang telah menghina kakak, menghina keluarga kita,Ni. Anehkan?”
            “Sebaliknya kakak shalat Isya sekarang.”
            Namun sekejap kemudian Nia sudah terlelap dalam tidurnya.

# # #
            Azan Shubuh bergema. Alunan yang syahdu sayup – sayup masuk ke telinga Nina. Ia buka mata sekejap. Arni adiknya sudah tidak ada di tempat tidur. Badannya berat untuk bangkit. Angin dingin membuat badannya menggigil. Ia tarik kain sampai ke batas leher mencoba mengusir rasa dingin.
            Tiba – tiba ada yang mengguncang tubuhnmya.
            “Kak, bangun, kak bangun! Ayah,kak!”
            Nina mengusap matanya.ia melihat Dido berdiri di samping tempat tidur.
“Apaan,Do.”
“Ayah….”
“Kenapa dengan Ayah ?”
“Nggak tahu. Mengerang kesakitan. Di kamar.cepat kak.”
Nina gontai berjalan, menuju kamar ibunya.
“Kenapa ayah, Bu?”
Ibu Nina belum menjawab. Ia mengurut dada ayah.
“Aduh…..sakit…, Bu….” Ayah Nina mengerang.
Tak biasanya ayahnya mengaduh seperti itu. Ayahnya lelaki yang kuat dan tegar. Nina mendekati ayahnya. Ia mengurut-urut tangan ayahnya.
“Buatkan teh pahit, Ni,” seru ibu Nina kepada Arni.
“Kamu Do pijat-pijat kaki ayah.”
Dido melakukan apa yang dikatakan ibunya.
“Sebaiknya di bawa ke rumah sakit, Bu,” ucap Nina.
“Biayanya dari mana, Nin.?”
Ayah Nina mengarahkan tangan kanannya ke arah bantal. Nina menangkap isyarat itu. Cepat ia bergerak. Di bawah tilam di temukan sebuah amplop. Nina membukanya. Ada uang. Dihitung. Seratus lima ribu. Uang sebesar itu ia yakini cukup untuk membawa ayahnya berobat.
Nina melangkah keluar. Ia masuk ke kamarnya. Berganti pakaian. Lalu keluar rumah. Ada becak mesin yang sudah mangkal di dekat situ, yang biasanya membawa ibu – ibu yang berbelanja ke pasar untuk dijual lagi di lingkungan tempat tinggal mereka.
“Bang ke rumah sakit ya. Ayah saya sakit.”
Abang becak itu membantu ayah naik ke becak.
“Ibu ikut, Nina….”
“Gimana dengan jualan ibu?”
“Biar Arni yang berjualan.”
“Bantu kakakmu jualan, Do. Hari ini kamu nggak usah sekolah!” lanjut Nina kepada adik bungsunya.
Becak mesin itu melaju. Melewati Sisingamangaraja, Belok ke kanan. Terus sampai di persimpangan jalan Juanda. Tak lama kemudian berhenti di rumah sakit Cahaya Insan.
Nina melapor ke suster jaga.
“Kita selesaikan administrasinya dahulu ya” Suster itu menanyakan data-data tentang ayah Nina.
Kemudian ayah Nina di bawa ke ruangan pemeriksaan.
“Selanjutnya tunggu saja di luar,” ucap seorang suster.
Nina dan ibunya beranjak keluar. Menanti dengan ketak pastian, penyakit apa gerangan yang menimpa ayahnya.
“Pemeriksaan sudah dilakukan ibu di persilahkan menemui Dokter di ruangan sebelah.”
Nina dan ibunya masuk ke ruangan dokter itu.
“Begini, Bu. Dari pemeriksaan awal, suami ibu mengalami gejala paru-paru basah.”
“Paru-paru basah?”
“Ya. Penyakit Barah Paru-paru merupakan tumor mengancam. Istilahnya malignant tumour pada paru-paru. Yang biasa yaitu disebut juga istilahnya Bronchogenic carcinoma yang mencapai sembilan puluh prosen.”
“Apakah penyakit ini berbahaya, Dok?”
“Secara medis atau ilmu kedokteran, penyakit paru-paru basah adalah tumor yang paling berbahaya di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan lebih kurang tiga juta kematian setahun. Kelainan kepada karsinogen, seperti yang hadir dalam asap tembakau, menyebabkan terjadi perubahan kecil pada selaput tisu pada bronkus di paru-paru atau istilahnya bronchial mucous membrane.
Nina dan ibunya mendengar kata-kata Dokter tersebut penuh keseriusan.
“Apabila dibiarkan akan menyebabkan lebih banyak tisu rusak sehingga tumor terbentuk. Jika tumor membesar ke dalam ia mungkin menghalang jalannya udara sehingga seseorang yang mengalami penyakit ini akan kesulitan dalam bernafas. Di samping itu paru-paru bisa saja berlubang dan jangkitan berlaku, menyebabkan bisul paru-paru lung abscess. Pesakit akan mulai batuk bahan lendir berdarah. Bagaimanapun jika tumor membesar ke luar paru-paru, seseorang penderita mungkin tidak menyadarinya sehingga ia mula menjangkiti bahagian tubuh yang lain.”
“Tanda-tandanya apa ya, Dok?”
“Tanda-tandanya antara lain batuk berdarah atau bahan paru-paru, batuk teruk yang kronik, nafas bersiul, sakit dada, kehilangan berat badan atau kehilangan selera makan dan pendek nafas.
Sebaiknya kita lakukan opname, Bu”
“Apa itu jalan satu-satunya, Dok?”
“Ya ini langkah terbaik untuk suami ibu. Tentunya kita berharap dengan dilakukan opname Pak Hadi bisa dirawat secara intensif.”
“Ibu dan Nina berpandangan.
“Bagaimana dengan biayanya, Dok?” Nina memberanikan diri bertanya.
“Yang berkaitan dengan hal itu bisa dinyatakan kepada suster di depan. Tapi saya sebagai Dokter tetap berusaha untuk melakukan perawatan kepada orang tua kamu. Pak Hadi saat ini telah diinfus, dan diberi obat.”
“Terima kasih, Dok.”
“Ya.”
Nina dan ibunya kembali ke depan menemui suster di bahagian pendaftaran pasien.
“Sesuai dengan peraturan di rumah sakit ini, uang jaminan minimal satu juta rupiah. Jika ibu setuju bapak di rawat kami akan menempatkannya di ruangan sal saja. Obat-obatannya biasanya dari kami, tapi bisa saja ibu yang beli di apotik sebelah. Perhitungan biaya selanjutnya diselesaikan jika Dokter mengisyaratkan bapak sudah boleh pulang atau ada hal-hal lebih lain yang membuat adanya perubahan juang jaminan. Misalnya saja jika pasien ditempatkan di ruangan ICU.
“Jadi uangnya harus sekarang, Sus?”
“Ya mestinya begitu.”
“Sus, saya minta tolong, beri waktu satu hari ini.”
“Saya nggak bisa memutuskan nya,”
“Denga siapa saya harus bicara, Sus?”
“Pagi-pagi begini beliau belum hadir.”
“Siapa, Sus?”
“Begini saja, cepatlah usahakan uang satu juta itu.”
“Makasih ya, Sus.”
Nina dan ibunya berjalan ke depan pintu masuk rumah sakit.
“Saya balik dulu ke rumah, Bu untuk mengambil perlengkapan untuk ayah dan mencari uang satu juta rupiah.”
“Dari mana kamu mau cari?”
“Biarkan saya berfikir untuk melakukannya, Bu.
“Cepatlah, Nin.”
“Baik, Bu.”
Di luar rumah sakit, Nina melihat wartel. Ia teringat kepada sobatnya, Mia. Mia tentu punya uang sebesar satu juta rupiah. Kali ini ia harus meminta tolong kepada Mia. Nina masuk ke wartel. Diputarnya nomor menuju Handphone Mia. Ia mencoba mengusir rasa sungkannya siapa tahu Mia mau membantu. Toh ia bukan mau minta, tapi mau minjam uang Mia. Ia akan mengembalikan pinjaman itu secara berangsur nantinya.
Nina menekan nomor yang menuju handphone Mia. Ada nada masuk terdengar. Kemudian suara di seberang terdengar.
“Siapa ini?”
“Aku, Mia”
“Aku siapa?”
“Nina.”
“Suara kamu kok lain.”
“Aku di wartel di rumah sakit Cahaya Insan. Mia, ayahku masuk rumah sakit.”
“Sakit apa, Nin?”
“Paru-paru basah.”
“Lalu?”
“Ya perlu perawatan intensiflah, Mia. Makanya aku minta tolong ke kamu.”
“Katakan saja, Nin?”
“Bisakan kamu pinjami aku uang.”
“Berapa, Nin?”
“Aku belum tahu berapa total biaya yang harus dibayar nantinya. Tapi, untuk uang jaminan mereka meminta satu juta rupiah. Tentunya aku perlu uang untuk membeli obat-obatan. Aku pinjam dua juta saja dulu….”
“Dua juta?”
“Iya!”
“Nanti aku tanyakan dulu sama mamaku ya, Nin.”
“Mereka minta secepatnya, Mia.”
“Ya, aku usahakan secepatnya, Nin.”
“Kamu yang mengantar kemari atau aku yang datang ke rumahmu?”
“Nanti aku hubungi rumah sakit Cahaya Insani.”
“Okelah, Mia. Udah dulu ya. O, ya nanti aku tidak masuk sekolah. Tolong permisikan ya, Mia.”
“Iya, nanti aku permisikan kamu.”
“Thank’s, Mia.”
“Dahhh…”


# # #

“Dua juta?!” mama Mia kaget mendengar permintaan putri semata wayangnya.
“Benar, Ma. Saya butuh uang sebanyak itu.”
“Untuk apa?”
“Untuk teman. Ayahnya masuk rumah sakit.”
“Wah! Enak benar. Ayah teman kamu yang rumah, kok kamu yang sibuk habis-habisan.”
“Dia kan Cuma minjam. Bukan minta, Ma.”
“Lalu dengan apa ia akan melunasinya?”
“Ia janji mengangsurnya, Ma.”
“Sampai kapan?”
“Mama kok gitu?”
“Eit! Berani benar kamu ngomong seperti itu kepada Mama.”
“Habis mama nggak punya rasa belah kasih.”
“Dengarnya, Papa dan Mama mati-matian bekerja bukan untuk meminjamnya kepada orang lain.”
“Lalu untuk apa disimpan-simpan, Ma?”
“Ya terserah mamalah. Uang itu uang mama kok.”
Mia baru menyadari bahwa mamanya bukan type manusia pengasih. Uang sebesar dua juta saja notabene sebagai pinjaman saja tidak dikasih. Apalagi kalau diminta. Ternyata mamanya tidak peka dengan kesusahan orang lain.
Begitupun Mia tidak kehilangan nyali. Ia ada ide, walaupun pada akhirnya jika ketahuan pasti mamanya akan marah besar. Ia akan menjual perhiasan yang ia miliki.
“Dengar Mia, di zaman yang keras sekarang ini, kita harus bertahan untuk hidup. Pikirin saja dulu dirimu sendiri! Nggak usah mau jadi dermawan. Segala.”
Usai mamanya bicara, Mia masuk ke kamar. Dibukanya laci tempat perhiasannya disimpan. Diambilnya rantai seberat sepuluh gram lebih hadiah ulang tahun nya yang dihadiahkan mama tahun lalu, kemudian gelang tiga buah masing-masing seberat lima gram, dan cincin berlian. Aku yakin ini sudah lebih dari dua juta kalau aku jual, ucapnya dalam batin.
DRAK! Pintu terbuka. Mia terkejut. Tak disangkanya mamanya akan bertindak sejauh ini. Tanpa mengucap salam mama Mia melangkah mendekati Mia. Mia tak sempat menyembunyi perhiasan itu. Kemarahan mama Mia jelas tergurat di wajah wanita itu.
“Berani-beraninya kamu mengambil keputusan yang tak bijak. Sini semua itu. Juga kartu ATM kamu. Handphonemu pun harus kamu tukar nomornya mulai sekarang ! Kan mama sudah katakan jangan sok jadi dermawan kalau belum mampu berdiri di kaki sendiri! Bentak mama Mia.
“Jangan, Ma,” lirih suara Mia memohon.
“Kamu mulai keterlaluan!”
Mama Mia mengambil paksa ragam perhiasan dan kartu ATM Nina. Ini ultimatum mama, mulai sekarang kamu jangan bergaul dengan teman kamu itu. Tidak level tahu! Hardik mama Mia lalu melangkah keluar kamar Mia.
Mia terduduk lemas. Hilang sudah harapannya untuk membantu Nina.
Tiba-tiba handphone nya berdering. Nomor handphone Andi terpajang dilayar handphonenya.
“Ada apa, Di?”
“Lagi ngapain, Mia?” balik Andi bertanya.
“Lagi nonton televisi,” jawab Mia berbohong.
“Nanti kamu nggak usah bawa mobilnya.”
“Kenapa?”
“Aku jemput kamu ya…..”
“Kenapa?”
“Pulang sekolah kita nonton yuk….”
Mia sadar benar, si Andi naksir berat kepada dirinya. Memang jika direnungkannya, sudah kelas tiga begini ia belum punya pacar. Aneh! Padahal ia memiliki segalanya.
Kalau wajah, ya oke-oke ajalah. Apalagi dibackup dengan materi. Atau hal itu yang menyebabkan cowok pada mider berhadapan dengannya?
Namun, sekarang Andi mulai menunjukkan ke jantanan sebagai cowok. Main tembak langsung. Meskipun cowok itu belum mengucapkan kata cinta, tetapi hati Mia bicara dan menilai Andi lagi naksir berat samanya.
“Kok diam saja, Mia…?”
“Kamu juga diam, Di.”
“Kamulah yang ngomong.”
“Kamu aja duluan. Kan kamu yang mengontak aku.”
“Apa perlu dijawab…….”
“Ya sudah, kalau gitu sampai jumpa nanti siang.”
“Eit tunggu dulu, Di,” kata Mia cepat. Ia ingat Andi berasal dari keluarga yang cukup mapan juga. Kenapa tidak minta bantuan cowok itu. Bak bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba. Strategipun di atur Mia.
“Apa ya, Mia?”

            “Kamu bisa nggak nolongi aku?”
“Nolongi apa, Mia?”
“Pinjami aku uang, Di?”
“Minjami kamu uang . Nggak salah tuh ! Justru aku selayaknya yang minjam uang ke kami,” suara Andi jelas terdengar Mia. Mengesankan keterkejutan sekaligus gurauan.
“Ini serius, Di… ?
“Oke aku serius sekarang.”
“Aku butuh dua juta sekarang juga.”
“Dua juta ?!”
“Iya! Dua juta. Ada nggak ?”
“Dari mana aku dapati uang sebanyak itu?”
“Ya usahakanlah. Namanya kamu cowok. Cari aja akal untuk memperolehnya. Dan, akupun bukan minta lho. Ini pinjaman. Nanti aku ganti kalau tak bisa tunai, ya secara angsuran. Aku tunggu nanti siang uangnya ya …” ucap Mia dan langsung memutuskan hubungan. Handphonenya dimatiin supaya Andi tidak bisa menghubunginya lagi. Sekarang, satu ujian buat kami Andi ! Mia membatin.


# # #


Nina tiba di rumah. Arni dan Dido menghampir kakak mereka.
“Bagaimana ayah, Kak ? serempak adiknya bertanya.
“Ayah kena paru – paru basah. Harus diopname. Tolong siapkan perlengkapan untuk ayah. Kakak mau mandi dulu..”
“Sebaiknya kakak makan dulu,” tawar Arni.
“Ya, nantilah siap mandi saja.”
Nina masuk ke kamar. Diikuti Arni.
“Gimana dengan biaya biaya rumah sakit, Kak?”
“Entalah, Ni. Beruntung kita, rumah sakit itu akan menghitung segala biayanya nanti jika ayah diperbolehkan pulang.”
O, ya ?”

Nina menganggukkan kepala. Teman kakak di Mia juga bersedia memberikan pinjaman uang sebensar dua juta rupiah. Nanti ia akan memberinya kepada kakak.”
“Alhamdullillah . Allah SWT memberikan jalan kepada kita untuk mengatasi satu masalah.”
“Ya, tapi menimbulkan satu masalah baru.”
“Masalah baru?”
“Ya ialah, bagaimana caranya kakak membayar pinjaman itu.”
“Sudahlah, Ni, saya mau mandi dulu.”
Setengah jam kemudian Nina selesai mandi dan berpakaian rapi. Ia menikmati makanan yang dihidang adiknya.
“Sudah beres perlengkapan untuk ayah ?”
“Sudah, Kak.”
“Assalamualaiku …..”
“Siapa itu ?”
Arni beranjak menuju pintu depan. Lalu masuk kembali.
“Pak Amrun, pemilik rumah in.”
“Mau ngapain beliau?”
“ Ya bicarakannya saja, Ni”
“Kakaklah yang bicara sama beliau.”
Nina mempercepat makannya.
“Ada apa ya, Pak?” tanya Nina setelah menyelesaikan makan dan mengambil posisi duduk di dekat Pak Amrun.
“Saya tidak melanjutkan lagi sewa rumah ini kepada ayah kamu.”
“Kenapa, Pak Kan kami tida ada menunggak.”
“Benar, tapi rumah ini mau saya jual. Sudah dalam tahap negoisasi. Jadi bulan ini tidak usah di bayar. Saya kasih kemudahan kepada keluarga ini. Hanya saja dalam tempo dua minggu ke depan kalian harus pindah dari sini. Bilang sama ayah kamu ya.”
“Ayah saya opname di rumah sakit, Pak…” ujar Nina perlahan.
“Ya bilanglah sama ibu kamu.”
“Apa tidak bisa ditunda, Pak.”
“Ditunda bagaimana?! ini juga sudah merupakan kebaikan saya kepada kalian. Dua minggu masa nggak dapat rumah sewa di daerah lain?”

Nina tidak mengomentari kata – kata Pak Amrun.
Beberapa menit setelah Pak Amrun meninggalkan tempat Nina. Nina pun berangkat menuju rumah sakit.
“Jangan ke mana-mana, ya Do…”
“Ya. Kak.”
“Saya pergi dulu, Ni.”
Arni menganggukkan kepala
Nina menumpang beca mesin. Beca mesin berjalan dengan kecepatan sedang. Di jalan Sisingamangaraja pas di simpang ke jalan Stadion Teladan, tiba – tiba sebuah seda hijau metallic menyalip beca yang ditumpangi Nina. Sipengemudi mobil mungkin mengira bisa melakukan manuver seperti itu. Nyatanya lampu belakang sebelah kirinya menyenggol stang beca mesin. Prak ! Suara benturan terdengar. Sedan hijau metallic itu berhenti . Beca mesin yang ditumpangi Nina pun berhenti.
“Punya mata nggak kamu! Lantang suara abang beca mesin itu.
Sipengemudi yang ternyata cowok masih muda, taka mau kalah nyali.
“Saya kan sudah kasi lampu tangan,”
“Ya, tapi kau potong dari kiri. Pakai otakmu itu,” emosi abang beca tak terbendungkan.
“Lihat stang saya ini. Kau harus ganti!” lanjutnya.
“Lampu mobil saya pun pecah.”
“Itu nggak urusan saya. Saya minta ganti.”
“Aduh, urusanya kok jadi ribet gini. Saya ganti kenderaan saja. Ini ongkosnya Bang,”
Mata Nina dan mata cowok itu sejenak bertemu. Kesan pertama, tampan, dan menarik perhatian. Barangkali cowok ini akan kuliahan. Nina mencoba menilai.
“Tunggu dulu.”
“Apa kaitaan dengan saya ? Maaf saya terburu – buru !”
“Saya mohon. Lima menit saja. Saya selesaikan dulu urusan dengan abang beca ini.”
Lalu cowok itu mengeluarkan selembar uang seratus ribu. Ia menulis nomor handphonenya dan memberikannya kepada abang beca tersebut.
“ Kalau    kurang   hubungi saja   saya   saya   orangnya   bisa  dipercaya  kok,,   ucap cowok  itu  datar.

“Saya pasti mencarimu kalau biaya perbaikannya tak mencukupi.”
“Selesai!”
“Kalau begitu saya mau pergi.”
“Sabar dulu….”
“Ayah saya lagi diopname di rumah sakit . Saya terburu – buru.”
“Gimana jika saya antar.”
Nina nggak habis pikir.”
“Mengantar saya?”
“Benar.”
“Terima kasih. Saya bisa naik beca yang lain.”
“Ayolah,”
“Maaf lain kali saja.”
“Nggak usah takut. Kebetulan saya mau kuliah. Jadi sekalian jalan saja kan. Kalau kamu ragu, biar saya tunjukkan kartu tanda identitas saya.”
Nina menyimpulkan cowok itu kategori cowok baik. Ia memutuskan menerima ajakan cowok itu. Toh suasananya pagi menjelang siang. Kalau cowok ini macam – macam, ia akan berteriak dan melakukan perlawanan.
 “Di rumah sakit mana ayahmu diopename?” cowok itu membuka pembicaraan ketika mobil melaju sedang.
“Rumah sakit Cahaya Insani.”
“Kebetulan!”
“Kebetulan?”
“Oh, nggak apa-apa,” ralat cowok itu.
“Sepertinya ada pake acara rahasia-rahasiaan nih,” kata Nina dengan nada suara yang lembut.
“O, ya nama saya Rio.”
“Saya Nina.”
“Masih sekolah?”
“Kelas III di SMA Bahana.”
“Saya kuliah semester dua di Fakultas Sastra.”
“Di Perguruan Tinggi mana?”
“Universitas Sumatera Utara.”
“Ceritanya senimanlah ya…”
“Kok tahu ?”
“Nebak aja. Umumnya yang kuliah di fakultas sastra semestinya senang dengan sastra.”
“Kamu sendiri?”
“Berdua. Sekarang dengan kamu.”
“Maksud saya senang juga dengan sastra?”
“Senang. Terutama tater dan puisi.”
“Pernah tampil di panggung?”
“Di radio. Tapi sekali saja. Drama radio lepas.”
“Suara kamu memang bagus. Wajah juga oke. Fostur tubuh mendukung. Kamu berpotensi untuk menjadi bintang sinetron dan model iklan.”
Nina sejenak melupakan keprihatinan kedaan yang dialaminya saat ini mendengar pujian Rio yang bertubi – tubi. Ternyata pujian memang bisa membuat perasaan jadi jreng juga. Nina tertawa lepas. Matanya sampai berkaca – kaca.
“Kok bisa-bisanya kamu menilai begitu. Apa kamu juga bekerja sebagai pencari bakat.?”
“Ini serius, Nin . Tapi nantilah kita bicarakan lagi. Sepulang kuliah saya akan temui kamu di rumah sakit.”
Pembicaraan terhenti karena sedan hijau metallic itu telah tiba di depan rumah sakit Cahaya Insani . Nina turun dan melemparkan senyuman kepada Rio.
“Makasih sebelumnya.”
Rio membalas senyuman Nina.
“Sampai ketemu nanti.”
Nina melambaikan jemari tanganya. Rio membalas dengan membunyikan klakson mobinya.

# # #

Jam menunjukkan pukul satu siang. Nina mondar-mandir di koridor di depan ruangan Sal. Ia gusar . Mia belum muncul juga. Padahal jelas sekali di telepon tadi pagi Mia menyanggupi untuk memberikannya pinjaman uang. Apa Mia berubah pikiran ? Ya kalau memang berubah pikiran bilang –bilang begitu. Jangan membuat orang menanti tanpa ada kepastian. Nina mulai berprasangka. Ah! Sebaiknya aku hubungi lagi Mia. Ya, itu satu solusi yang arif.

“Bu, saya nelepon sebentar di wartel.”
“Jangan lama – lama, Nin.”
“Ya, Bu.”
Nina melangkagkan kakinya menuju wartel di samping rumah sakit itu yang masih satu komplek dengan rumah sakit.
Sampai di wartel, Nina memutar nomornya Mia. Masih ada nada masuk. Dan suara dari seberang terdengar Nina dengan jelas.
“Hallo, siapa ya?”
“ Aku, Nina. Gimana, Mia?”
Mia tidak langsung menjawab.
“hallo!”
“Ya, aku masih dengar, Nin.”
“Jadi gimana aku yang ke rumahmu, atau kamu yang ke rumah sakit?”
“Sorry Nin, Aku ….aku ….”
“Kenapa kamu, Mia ?”
“Aku nggak bisa nolong kami,” suara Mia tersedak
Nina kaget luar biasa atas jawaban Mia. Jantungnya berdebar – debar . Ia harus putra otak untuk mencari pinjaman uang kepada pihak lain. Marah, kesal dan sedih bercampur baur dalam hati. Tapi apa mau dikata, dia sudah mengetahui dengan jelas ucapakan sobatnya itu.
“Ya nggak apa-apalah, Mia. Tapi kamu punya waktu nggak ke sini?”
“Sorry juga, Nin, aku nggak punya waktu.”
“Kamu kok berubah. Mia Ada apa denganmu,?”
“Nggak ada apa-apa, Nin.”
“Soalnya kami tidak Mia yang aku kenal. Kamu seperti Mia asing. Kalau kamu punyak masalah katakanlah kepadaku. Dalam situasi begini pun aku masih sudi mendengar keluh kesahmu.”
Mia terdiam, Isak tangisnya terdengar oleh Nina
“Apa yang kamu tangisi, Mia ?”
“Nggak apa-apa, Nin.”
“Masak nggak ada-apa, nangisnya sedih habis. Bicaralah Bicaralah , Mia Jangan disimpan sendiri.”
“Hidup memang keras, Nin aku belum sanggup berdiri di kakiku sendiri. Segera aku sedih. Tidak bisa membantumu. Aku hanya bisa berdoa, semoga ayah mu segera sembuh dan kamu diberikanNya kesuksesan hidup…”
“Mia … Hallo!”
Hubungan seluler itu telah diputuskan Mia.
Nina melangkah lemas menuju ruangan ayahnya dirawat. Terbayang sama kebaikan yang pernah diberikan Mia kepadanya. Anak itu memang luar biasa kebaikannya. Apalagi kalau soal uang. Ia paling tidak terkira. Mia selalu dan selalu yang membayar apapun yang mereka nikmati bersama. Makan dan minum di plaza, di restoran-restoran, Orangnya pun tidak milih – milih tempat. Makan di kedai nasi kebanyakan juga mau . begitu juga di kantin sekolah, tak pernah Mia lewatkan untuk nongkrong di kantin bila ia masuk sekolah.
Kemudian Mia juga yang membayarinya jika mereka menonton dia bioskop pergi ke objek wisata seperti ke Mora Indah, taman Dewi, Pantai Cermin, Sialang Buah. Mia juga memberikan sebahagian oleh-oleh yang ia dapat takkala papanya pulang dari luar kota.
Sementara ia tak pernah memberikan kontribusi berarti dalam persahabatan ini. Ini hanya bagikan kerbau dicucuk hidung kemana saja Mia ajak ya nurut. Apapun yang dikatakan Mia, ia tak akan membantahya. Itulah harga untuk menjadi sebagai penurut.
Tak kala ia yang membutuhkan sesuatu. Dengan gampangnya Mia bilang sorry ya Nin. Tak kala ia berharap ditemani dengan mudahnya Mia juga bilang. Soory ya Nin aku nggak waktu’.Hanya dua juta. Dua juta saja. Apa payahnya bagimu, Mia ?
Mulai terasa oleh Nina, ada butiran air mata pelan - pelan jatuh dan menggenangi pipinya. Kalau bisa menjerit, ia ingin sekali menjerit. Tapi ini rumah sakit. Ke mana lagi harus mengadu ?
Nina berhenti di kantin rumah sakit. Ia pesan the manis panas. Tiba-tiba ia melihat Arni dan Dido.
“ArniQ”
Arni dan Dido menghampiri Nina.
“Kami mau nginap juga di rumah sakit.”
“Pesan the dulu ya….” Tawar Nina.
Kedua adiknya itu mengangguk tanda setuju.
“Tadi pagi banyak yang datang ke rumah kita, Kak.”
“Siapa?”
“Ibu Sisca yang renternir itu. Minta hutangnya segera dilunasi semuanya. Terus ada Wak Ujang pemilik kedai di ujung jalan, juga minta hutang belanjaan ibu segera dilunasi. Lalu ada Pak Alex, mau menagih hutang kepada ayah.”
“Apa kamu jawab, Ni?”
“Ya aku bilang apa adanya. Ayah diopname di rumah sakit.”
“Lalu apa tanggapan mereka.”
“Mereka tak mau tahun mengenai hal itu.”
Nina terdiam mendengar jawaban Arni.
“Gimana kak, uang pinjaman itu sudah diberikan teman kakak?”
“Tidak . ia berubah pikiran. Kemari saja ia tak ada waktu katanya.”
“Dari mana kakak tahu ia berubah pikiran.”
“Barusan saya telepon…..”
“O, ya tadi aku dan Dido juga beres-beresin barang. Siapa tahu kita lebih cepat pindah dari rumah itu. Ketika bersih-bersih barang aku menemukan dua amplop besar bubuk putih, Kak.”
“Di mana kamu temui?”
“Di bawah lemari ayah.”
“Kamu tahu namanya?”
“Entahlah, kak. Tapi sepertinya barang yang mencurigakan.
“Lalu di mana kamu simpan barang itu ?”
“Aku bawa sekarang.”
“Gila kamu, Ni. Mungkin sana itu narkoba.”
“Narkoba?”
“Ya.”
“Aku tak percaya ayah pengedar barang hitam seperti itu?”
“Sebaiknya kita ke ruangan ayah.”
Nina membayar pesanan. Kemudian mereka bergegas dari kantin rumah sakit itu menuju ke tempat ayah mereka di rawat.
Arni dan Dido menemui ayah mereka. Nina masuk ke kamar mandi . Dua amplop yang berisi bubuk putih itu sudah berpindah tangan dari Arni kepadanya. Dikeluarkannya dua amplop putih itu dari kantong celana jins birunya. Diamatinya lama-lama benda itu. Ada rasa penasaran untuk mencoba mencicipinya.
Ia pernah membaca tentang narkoba diinternet. Salah satu jenis narkoba adalah shabu-shabu . nama aslinya methamphetamine. Berbentuk kristal seperti gula atau bumbu penyedap makanan. Jenisnya antara lain yaitu gold river, coconut dan kristal. Sekarang ada yang berbentuk tablet. Obat ini dapat ditemukan dalam bentuk kristal dan obat ini tidak mempunyai warna maupun bau, maka ia disebut dengan kata lain yaitu Ice.
Obat ini juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap syaraf. Si pemakai shabu-shabu akan selalu bergantung pada obat bius dan akan terus berlangsung lama, bahkan bis mengalami sakit jantung atau bahkan kematian.
Shabu-shabu juga di kenal dengan julukan lain seperti :Glass, Quartz, Hirropon, Ice Cream. Dikonsumsi dengan cara membakarnya di atas aluminium foil sehingga mengalir dari ujung satu ke arah ujung yang lain.
Kemudia asap yang ditimbulkannya dihirup dengan sebuah Bong, sejenis pipa yang didalamnya berisi air. Air Bong tersebut berfungsi sebagai filter karena asap tersaring pada waktu melewati air tersebut. Ada sebagian pemakai yang memilih membakar Shabu dengan pipa kaca karena takut efek jangka panjang yang mungkin ditimbulkan aluminium foil yang terhirup.
Ini jelas sudah shabu-shabu, Nina menyimpulkan setelah mengamati seksama barang itu dengan apa yang diaksesnya dari internet beberapa waktu lalu. Lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana shabu-shabu itu bisa disimpan di bawah lemari pakaian ayahnya. Dugaan sangat kuat tentunya tertuju kepada ayahnya. Hatinya bertanya – tanya apakah ayahknya sempat-sempatnya menjadi pengedar? atau pemakai ? atau pemakain sekaligus pengedar ?
Apa yang harus dilakukan sekarang ? Apa harus membuang barang haram itu lwati pembungan air kamar mandi ini? Atau menyimpannya dahulu sampai ayahnya sembuh dan ia dapat bertanya kepada ayahnya.
Otak Nina mulai berpikir nekat. Seandainya dijual, pasti menguntungkan ! Tapi resikonya memang berat. Zaman sekarang ini kepolisian lagi meningkatkan pemberantasakn narkoba. Jika tertangkap basah, penjara taruhannya. Dan akibatnya masa depan pun turut hancur. Meskipun ia menyadari masa depannya pun belum tentu cerah-cerah banget . Jual ? Nggak ? Jual ? Nggak ?
Pintu kamar mandi di ketuk.
“Siapa?”
“Aku . Arni.”
“Nina membuka pintu . Arni masuk ke dalam.”
“Gimana kak?”
“Ini sejenis narkoba, Ni. Namanya shabu-shabu. Untung saja tadi tidak ada razia, Kalau ketahuan sama polisi, sudah ketangkul kamu, NI.”
“Maafkan saya, Kak.”
“Nggak apa. Bukan salah kamu. Cuma yang menjadi masalah sekarang, mau kita apakan barang terlarang ini?”
“Ya, dibuang saja, Kak.”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Segala sesuatuanya harus dipikirkan matang – matang . Ayo kita keluar nanti orang – orang di sini jadi curiga.”
Lalu mereka keluar dari kamat mandi dan kembali ke tempat ayah mereka di rawat.

# # #




Siapa lagi yang bisa diharapkan bantuannya ? Pak Haji Abidin ? Ah mana mungkin Pak Haji itu mau membantu. Kalau ibu Sisca yang renterinir itu ? Itu masih ada harapan. Tapi ia tak yakin ibu ada di rumah siang begini. Siang – siang begini ia keliling menagih hutang orang – orang kepadanya.
“Nin?’
“Ya, Bu.”
“Ibu haru menjumpai ibu Susca…”
“Apa ia ada di rumah ?”
“Ibu akan tunggu sampai ia pulang. Tidak ada jalan lain sepertinya kecuali meminjam lagi kepada ibu Sisca.
“Nina juga akan berusaha ke pihak lain, Bu”
“Kalau begitu ibu pergi dulu ya.”
“baik , bu.”
Tidak berapa lama ibunya pergi, Nina teringat dengan Dani, teman SMPnya yang ketemu di Kantor Pos . mencoba juga tak ada salahnya. Lalu Nina beranjak ke depan rumah sakit. Ia masuk ke dalam wartel. Nina memutar nomor handphonenya Dani. Terdengar nada masuk.
“Hallo!” Sapa Nina lembut.
“Ya. Siapa nih?” tanya Dani
“Saya.”
“Saya siapa?”
“Nian…?
“Oohh Nina.”
“Ya, dan.”
“Apa kabar, Nin.”
“baik-baik saja. Kamu?”
“Baik juga.”
“Lagi dimana, Nin?”
“Di rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Ayah saya, Dan?”
“Ayah saya, Dan.”
“Sakit apa?”
“Paru-paru basah.”
“Ohh…?
“ Maaf ya Dan.. saya mau minta tolong ke kamu.”
“Ah, katakan saja. Kok pakai minta maaf segala.”
“Berkaitan dengan hal yang saya katakan tadi, kami kesulitan biaya pengobatan ayah.”
“Itu masalahnya?”
“Ya, Dan…”
“Oke saya ke rumah sakit. Tunggu saja saya di sana..?
Setengah jam Nina menunggu serasa sudah seharian penuh. Akhirnya danu yang dinanti itu benar – benar muncul dan kini berada disampingnya.
“Berapa uang yang kamu butuhkan, Nin ?”
“Uang jaminan satu juta, Belum lagi biaya obatan-obatan dan lainnya.”
“kebetulan saya punya uang dua juta.”
“Saya pinjam ya, Dan.”
“Kita ambil sekarang.”
“Di mana?”
“Di rumah saya?”
Nina setuju. Ia memberitahukan kepada Arni dan adik bungsunya untuk menungguin ayah mereka.
“Rumah kamu dimana, Dan?”
“Perumabahan Mawar Indah.”
Mereka sampai di salah satu rumah diperumahan Mawar indah. Rumah itu berkesan mewah. Meskipun masih kalah dibandingkan dengan  rumah Mia.
“Ayo masuk.”
Nina masuk tanpa curiga
“Kok sepi?”
“ Mama dan papa kan kerja. Adik-adik pada sekolah. Hanya ada mbok Sutiyem. Yuk ke kamar saya saja.”
“Ke kamar kamu?”
“Iya uangnya di kamar saya.”
Nina yang begitu berharap uangitu dengan berat hati mengikuti Dani ke kamr tidurnya.
Mereka masuk ke kamar tidur Dani. Nina duduk di dekat pintu.
“Ayo, duduklah dulu.”
“Mana uangnya, Dan?”
“Sebentar ya, saya ambil?” Dani membuka pintu lemari. Ia mengambil sesuatu dari laci. Lalu menunjukkannya kepada Nina. Benar itu uang.
Nina mendekati Dani.
“Ini uangnya …”
Nina menerimanya. Tangan Dani menggengam, tangan Nina.
“Saya juga minta tolong sama kamu, Nin.”
“Minta tolong apa?”
Dani tidak menjawab. Bibirnya yang langsung beraksi. Mencium bibir Nina. Nina terkejut, dan tak menyangka Dani bertindakseperti itu. Malah tangannya yang satu dengan cepat berupaya meraba dua bukit indah milik Nina.
“Dan, apa-apaan ini!” teriak Nina  marah sambil menepis tangan Dani. “Jangan kurang ajar kamu, Dan!” teriak Nina kemudian.
DANI tidak menjawab. Ia semakin beringas memperlakukan Nina sebagai objek kenikmatan nafsu syahwatnya. Ia mendorong Nina ke tempat tidur. Lalu menindihnya.
“Dan, sadar, Dan!”
“Kamu mau ditolong nggak?!”
“Tapi bukan begini caranya.”
”Ah! Sudahlah, aku janji nggak sampai begituan. Hanya peluk cium saja.
Nina mendorong kuat badan Dani. Ia melakukan perlawanan habis-habisan atas perlakuan Dani yang sudah di batas norma kesusilaan. Ia muak dengan kata-kata Dani barusan. Meskipun ia jarang beribadah, namun untuk melakukan hal seperti itu maaf-maaf saja!
“Di Dunia ini nggak ada yang gratis, Nin!” umpat Dani, menahan sakit ketika Nina memukul dadanya.”
Nina melemparkan uang itu ke wajah Dani.
“Ambillah lagi uangmu ini,” kata Nina sembari berlari keluar kamar.
“Nin, tunggu dulu!”
Nina duluan tiba diluar da ia sempat mengunci pintu itu dari luar.
Ya tuhan, betapa beratnya cobaan yang kau berikan kepadaku dan keluargaku. Nina membatin dan melangkah lunglai keluar dari runah Dani.

# # #

Malam di kota Medan, dengan lampu-lampu hias dan lampu jalan menggerlapkan suasana. Dan pada saat itu bulan purnama dengan indahnya menambah keindahan kota. Beberapa persimpangan jalan air mancur dengan model yang beraneka ragam memberikan sarana penghibur bagi warga yang penat dalam bekerja, maupun masyarakat lainnya yang haus akan hiburan, maka jadilah air mancur sebagai salah satu objek hiburan yang layak untuk dinikmati.
Rio mengendarai mobilnyadengan santai. Ada alunan nada-nada lembut dari Glen Fredly dari Compact Disk. Menyusuri jalan Gatot Subroto. Baru ia sadari malam ini adalah malam minggu. Ia seharusnya ke rumah Maici, pacarnya yang baru dua bulan ini jadinnya.
Namun hatinya entah mengapa begitu berhasrat untuk bertemu lagi dengan Nina. Rio ingin mengajak Nina dalam satu proyek sinematrografinya. Untuk itu ia, mengeluarkan handphone, dan mulai memberi satu alasan yang masuk akal kepada Maici.
“Hai, Rio.”
 “Hai juga.lagi ngapain .”
‘Lagi nunggu kamula.”
“Aku minta maaf, Mai. Malam ini aku tidak bisa datamg.”
‘Kenapa?”
‘Aku kurang enak badan. Ini lagi mau cari dokter.”
“Ya,sempati sebentar ke sini. Pulang dari dokter ke sini ya.”
“Aku upayakan, Mai.”
“Awas, kalau nggak datang.”
“Udah dulu ya…”
Rio tersenyum sendiri. Heran nengok cewek zaman sekarang. Belum menyatu dalam ikatan perkawinan sudah berani mengancam-ancam segala. Apalagi kalau sudah kawin. Bisa-bisa tinggal di rumah saja jadinya.
Uh! Ini kalu dibiarkan sangat tak mengenakkan perasaan. Mana lagi persiapan untuk pembuatan film tersebut yang tentunya akan menyita waktu dan tenaga serta pikiran. Apa Maici mau mengerti?
Lamun Rio buyar. Rumah sakit Cahaya Insani telah didepan mata. Ia mencari tempat parkir buat mobilnya. Matikan mesin. Lalu turun dari mobil. Dan berjalan menuju ruang informasi.
Tidak berapa lama, Rio sampai didepan ruangan sal. Ia mencari informasi tentang ayah Nina kepada seorang suster.
“Nama pasiennya siapa?”
“Aduh lupa saya. Yang jelas orang tua dari teman saya yang bernama Nina. Baru tadi masuk kemari.”
“Og, Ayah Nina. Tempatnya pas didinding sebelah kiri. Masuk saja ke dalam ruangan dan setelah masuk belok kiri.”
“Ya. Saya mengerti. Terima kasih, Sus.”
“Sama-sama”
Rio menuruti apa yang dikatakan Suster itu, tapi tak ditemukannya Nina. Justru yang ada seorang gadis. Tapi… sepertinya mirip Nina. Barangkali ini adiknya Nina, Rio menerka.
“Mau bezuk siapa,Bang?” tanya Arni sopan.
“Mau bezuk ayahnya Nina.”
“Ini ayah kami. Tapi lagi tidur.”
“Kamu adiknya Nina?.
“Benar. Abang siapa?”
“Saya temannya kakak kamu. Nama saya Rio.”
“Teman sekolah?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Teman baru Nina.”
“Teman baru? Maksudnya?”
“Ya … teman baru ketemu gitu … “
Ibu Arni tiba. Ia baru sholat dari Mushola. Rio menyalami ibu Nina dengan hormat.
“Saya temannya Nina, Bu.”
“Oh, kebetulan Nina lagi keluar.”
“Nggak apa-apa, Bu. Saya tunggu diluar saja.
“Ar, temani teman kakakmu ini.”
“Baik, Bu.”
“Kemana Ninanya, Ni?” tanya Rio, ketika ia dan Arni baru saja menduduki di kursi panjang didepan ruangan sal.
“Katanya ada urusan penting.”
“Penting?”
“Ya.”
“Begitu pentingnya.”
“Begitulah … “
“Kalau boleh saya tahu?”
Arni melirik wajah Rio. Kemudian membiarkan matanya menatap langit malam yang diwarnai bintang-bintang. Haruskah ia mengutarakan segala kesulitan yang mereka hadapi kepada teman kakaknya itu?
“Saya tidak memaksa. Saya bisa tanyakan nanti kepada  Nina. Namun kalau tahu apa masalahnya sedini mungkin, ya siapa tahu saya bisa membantu secepatnya.
“Ada baiknya biar kak Nina saja yang mengatakannya kepada abang. Itu pun kalau kak Nina mau memberitahukannya.
Rio tersenyum. Dirogohnya kantung celana. Lalu diambilnya rokok yang tersimpan disitu. Dibukannya, lalu ia selipkan sebatang rokok di bibirnya. Tas! Suara mancis mengeluarkan api terdengar. Kemudian ia hisap dalam-dalam. Tak lama kemudian ia keluarkan perlahan-lahan.
Dido duduk didekat Arni.
“O, ya ini adik saya.”
Rio mengulurkan tangan. “Siapa namanya.”
“Dido.”
“Dari mana tadi, Do.”
“Sholat Isya.”
“O, ya Bang saya mau sholat Isya dahulu.”
“Ya silahkan … “
“Saya masuk dulu, Bang.”
“Oke, Do.”
“Handphone Rio berbunyi.”
“Ada apa, Lex?”
“Dimana kamu, Rio.”
“”Lagi dirumah sakit.”
“Aku mau tanya kepastian tentang pembuatan film itu. Waktu semakin dekat saja. Kalau tidak mulai dari sekarang. Kapan lagi ? Apa nunggu tahun depan?”
“Ya kasih waktu dulu satu kali dua puluh empat jam ini.”
“Apa masalahnya?”
“Aku sedang menjajagi seseorang untuk menjadi pemeran utama film kita.”
“Tapi kesepakatannya kan Nadia yang jadi pemeran utamanya.”
“Kesepakatan apa? Aku nggak merasa menyepakatinya, Lex.”
“O, Ya?”
“Ialah!”
“Tapi Nadia sudah gembar gembor di Kampus dia yang akan menjadi pemeran utamanya.”
“Apa dasarnya ngomongnya begitu.”
“Yang aku dengar nih, ia bersedia menymbang tiga piluh persen dari biaya produksi asalkan dia yang menjadi pemeran utamanya.”
“Kita mau buat fil berkualitas atau mau mengangkat popularitas seseorang, Lex?”
“Ya itu tergantung kamu, Rio. Kamukan penulis Scenario dan sutradaranya sekaligus pemodal utama. Aku hanya asisten merangkap koordinator lapangan.”
“Aku yakin besok sudah ada keputusan siapa pemeran utamanya.”
“Dan bagaimana dengan Nadia. Apa tidak diinformasikan lebih awal kepadanya.”
“Tugaskan saja anggota lainnya untuk mengatakan kepada Nadia, bahwa bukan dia pemeran utamanya. Kalau kau ada waktu, ya hubungi saja dia sekarang, Lex.”
“Okelah, Rio.”
“Oke, Lex.”
Rio meng-offkan Handphonenya. Masih sabar menunggu Nina. Tak berapa lama Arni tiba.
“Sudah sholatnya?”
“Sudah, Bang.”
“Kelas berapa sekarang, Arni?”
“Kelas satu SMA.”
“O, ya saya sampai lupa, ayah kamu sakit apa? Nina belum sempat cerita kepada saya untuk yang satu ini.”
“Ayah mengidap pwnyakit paru-paru … “
“Apa kata Dokter?”
“Ya katanya dirawat dulu untuk melihat perkembangan selanjutnya.”
“Pekerjaan ayah Arni apa ya?”
Arni tidak harus menjawab. “Hm.. ada baiknya biar kan Nina yang menjawabnya, Bang.”
“Ohhh begitu…”
“Maaf ya bang saya kedalam dulu.”
“Silahkan.”
# # #
Mengenakan jeans hitam ketat dipadu dengan T-Shirt hitam dan topi biru, Nina melangkah pasti masuk kedalam sebuah Bar.
“Saya sedang menunggu seseorang. Pesanan nanti saja,”kata Nina mantap.
Pelayan meninggalkan Nina. Nina mengawai sekitar ruangan Bar yang remang-remang. Ia mencoba mendekati Olla yang bekerja disitu. Nah, itu dia! Nina pelan-pelan mendekati Olla.
Nina menepuk pundak Olla dari belakang. Merasa ada yang menepuk pundaknya Olla memalingkan wajah kebelakang.
Nina tersenyum. Olla terkejut.
“Kamu?”
“Ya heran bisa menemui kamu ditempat seperti ini?”
“Saya kerja disini.”
“Kerja apa ker-ja?”
“Kamu jangan sembarangan bicara. Aku bisa menyuruh pihak keamanan kami mengusir kamu.”
“Aku punya bukti fakta, kamu tidak semata-mata bekerja di bar ini. Kamu ya pokoknya  kalau diungkapkan akan membuat kamu tak bisa tidur tenag. Makanya aku dantang kemari. Aku bukan musuhmu, La, aku butuh bantuanmu.”
“Kamu kira kamu siapa, Nin. Bisa-bisanya maksa begini.”
“Kalau kamu tidak mau ya tidak apa-apa. Tapi riwayat kesiswaanmu di sekolah akan hancur. Kemana pun kamu pergi bayang-bayang hitam itu akan mengikutimu terus.”
“Bukti apa  yang kamu miliki?”
“Kamu sering diajak jalan usai bekerja oleh orang-orang tertentu. Kamu sering menjadi penghubung dalam transaksi jual beli narkoba. Namun nasibmu baik sampai detik ini belum ketahuan sama aparat.”
“Cukup, Nin …. “
“Sekarang mari kita bicara tidak sambil berdiri.”
Olla mengajak Nina mencari posisi didekat bartender.
“Apa yang kamu minta, Nin?” Olla langsung ke focus pembicaraan/
“Aku butuh uang. Empat juta dahulu.”
“Untuk biaya ayahmu?”
“Tidak perlu aku jawab.”
“Mengapa tidak minta dengan teman kamu itu. Siapa namanya. O,ya Nia kan?”
“Bukan urusanmu …. !”
“Kelas memang berbeda dengan Serikat Tolong Menolong. Namun setidaknya ada sesuatu yang bisa ditunukkan kelas kepedulian ini tumbuh dan bersemi disana. Nyatanya tidak aku lihat tadi siang.”
“Kamu bicara apa?”
“Bicara tentang Mia. Kamu tahu, Mia memang mengatakan ayah kamu sakit. Opname. Itu saja! Tidak ada sedikit pun inisiatif darinya untuk memberikan dorongan moril bagi teman-teman guna meringankan biaya berobat ayahmu. Apa salahnya jika ia didepan kelas mengutarakan hal itu dalam konteks kamu teman sebangkunya dan selama ini kamu akrab habis dengannya. Anak orang kaya macam begitu!”
Nina mendengar serius ucapan Olla. Ada juga benarnya  kata-kata Olla barusan. Namun ia tak mau membuat penilaian Olla terhadap ia semakin miring.
“Aku tidak mau melibatkan siapa-siapa!”
“Nyatanya kamu tarik aku kedalam permasalahanmu.”
“Kamu pengecualian.”
Besok aku berikan uangnya.”
“Tidak bisa besok. Harus sekarang juga.”
“Mana ada Bank buka pukul sembilan malam begini, Nin?”
“Jangan pura-pura bodoh, ATM buka dua puluh empat jam kan … “
“Tapi aku kerja.”
“Permisi sebentar. Di Plaza sekitar seratus meter dari sini, ada ATM. Aku yakin kamu menabung di Bank papan atas.”
Olla bangkit. Ia bicara sebentar dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu mengangguk kepala.
“Kamu tunggu saja disini.”
“Tidak, sebaiknya kita sama-sama kesana.”
Olla dan Nina melangkah menuju ATM yang terletak di Plaza Merdeka.
Olla mnyerahkan uang empat juta kepada Nina. Nina  menerimanya dengan gembira. Seolah-olah batu yang mengempit dadanya telah terangkat saat ini. Dibayangkannya besok ia akan lunasi hutang-hutang ayah dan ibunya serta mencari sewa ruamh ditempat lain dan dapat membayar biaya perawatan ayahnya.
“Nin…”
“Apa?” tanya Nina dengan wajah kemenangan.
“Kamu mau aku temani kerumah sakit.”
Nina menatap wajah orang yang pernah menyakiti perasaannya.
“Apa aku nggak salah dengar?”
“Aku yakin telingamu masih sehat.”
“Untuk apa? Mau menghinaku didepan ayahku dan ibu serta adik-adikku?”
“Kenapa kamu berprasangka begitu kepadaku?”
“Buktinya di sekolah.”
“Kamu yang memulainya kan?”
“Lho kok aku ? Apa karena aku berteman dengan Mia?”
“Itu barangkali salah satu penyebabnya.”
“Apa masalahnya dengan kamu?”
“Karena kamu itu punya potensi.”
“Potensi apaan?”
“Ya jagonya nyanyi. Main keyboard juga oke.”
“Terus ?”
“Kan selama ini tidak kamu kembangkan . Kamu terus – menerus berada dalam bayang – bayang Mia.”
“Itu urusanku.”
“Sekarang jadi urusanku.”
“Kenapa?”
“Seperti katamutadi, aku pun bukan musuh bagimu.”
Mata mereka beradu pandang, Dalam hitungan detik, sampai Olla angkat bicara lagi.
“Karena aku tahu kamu itu punya latar belakang soail ekonomi gimana. Keluarga kamu itu macam mana, Apa kamu nggak merasa terhina dengan situasi kondisi ekonomo keluarga saat ini. Kita sama-sama menderita, Nin. Hanya saja cara kita memandang penderitaan itu yang berbeda. Aku harus hidup . Karena itu aku bekerja sambil sekolah. Sementara yang kau temani Mia anak orang kaya dengan segala kelengkapan materi. Tidak ada kesempatan baginya untuk merasakan bagaimana malam-malam harus pulang yang rawan dan tindak kriminalitas maupun pelecehan seksual. Makan juga harus irit dan selalu memperhitungkan sesuatu dengan seksama.”
Nina menatap wajah Olla serius.
“Tidak ada yang mampu merubah nasib seseorang, kalau bukan orang itu sendiri.
“Jadi?”
“Sekali lagi aku katakan kamu punya potensi. Aku melihat itu. Jadi kamu harus menjadi dirimu sendiri meski jadi apapun dirimu. Aku bermaksud memotivasi kamu. Kamu harus membuka diri ke dunia luar. Bukan berada di dalam payung kebesaran Mia.”
“Kali ini aku yang bertanya memangnya siapa kamu yang harus bela-belain aku agar termotivasi dan membuka diri ke dunia lain?”
“Itu menjadi pertanyaan yang kelak akan kamu temui jawabanya.”
“Ada baiknya kamu kembali ke Bar itu. Aku yakin malam ini kamu dapat uang tips yang besar. Jangan lupa, kalau aku terdesak aku pinjam yang ke kamu.”
Mereka berpisah. Nina menumpang taksi menuju rumah sakit. Olla kembali ke Bar . Di perjalanan ke rumah sakit, Nina merenungkan kembali apa yang barusan ia lakukan kepada Olla.
Ia tak yakin sepenuhnya apakah tindakannya itu sepenuhnya berhasil sehingga Olla bersedia memberikan uang itu. Atau memang ada sisi baik seseorang manusia yang bernama Olla ? Karena sesungguhnya ia tak terlalu banyak tahu tentang data dan fakta perilaku Olla usai bekerja di Bar.
Taksi berhenti di depan rumah sakit Cahaya Insani. Nina turun setelah membayar ongkos taksi. Berjalan dengan cepat berharap cepat sampai ke tempat ayahnya dirawat.
Alangkah terkejut bercampur senang wajah Nina saat melihar Rio duduk dibangku panjang itu.
“Lama menunggu?”
“Ya nggak apa-apa. Kata adikmu kamu ada urusan penting. Jadi ya saya tunggu saja di sini. Karena pasti kembali ke sini.”
“Hm, sebenarnya saya mesti beritahu ibu dan adik – adik kamu.”
“Ya, silakan, Nin”
Nina masuk ke dalam. Seiring dengan berlalunya Nina, handphone Rio berbunyi Maici menhubunginya.
“Hallo?”
“Rio, kamu kok belum ke rumah. Tadi aku telepon ke rumah. Nyatanya kamu belum tiba di rumahmu dan di rumahku. Apa berjam –jam lamanya di tempat praktek dokter ?”
“Kamu masih di rumah sakit. Jelas. Aku lagi di rumah sakit.?”
“Rumah sakit mana?”
“Tidak aku baca-baca nama rumah sakitnya.”
“Kamu bohong!”
“Udah dulu, Dokternya sudah datang.” Rio mematikan telepon selulernya.
Nina muncul dan duduk di samping Rio .” Sudah makan, Rio?”
“Sudah. Di rumah.”
“Saya belum makan. Kita makan di kantin yuk ?”
“Saya temani kamu makan, Saya pesan kopi susu atau kalau ada bandrek susu.”
“Aku yakin ada, Namanya juga kantin!”
Saat berpapasan dengan Nina dan Rio, beberapa Dokter tersenyum dengan Rio. Ada juga perawat yang memberi kesan hormat kepada Rio.
Nina penasaran. Siapa sebenarnya cowok ini. Tapi ia tak hendak menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Ia akan menjadi detektif bagi dirinya sendiri.
“Saya masih ingat ada pembicaraan kita yang terputus tadi pagi ya …”
“Daya ingat kami ternyata oke juga, Nin”
“Pasti ada sesuatu yang hendak kamu katakan sampai menunggu saya kembali ke sini. Itu jadi salah satu indikasinya, bahwa ada hal yang ingin kamu sampaikan kepada saya ?”
“Seratus persen benar”
“Tentang apa, Rio?”
“Film.”
“Maksudny.”
“Kami sedang dalam persiapan pembuatan film untuk diikut sertakan dalam Festival Dilm Independen.”
“Selamat semoga filmnya sukses…”
“Saya mengharapkan kamu ikut terlibat dalam pembuatan film ini, Nin ?”
“Saya?”
“Iya.”
“Aduh, saya begitu tersanjung, Rio. Tapi saya bukan siapa – siapa, maksud saya…. Begini Rio, kamu jangan melihat saya dari luarnya saja.”
“Maksud kamu ?”
Nina teringat dengan apa yang dikatakan Olla. Pas benar untuk ia terapkan dalam moment ini. Yap, kita harus menunjukkan jati diri kita meskipun pada posisi bagaimana kita berada.
“Katakanlah, Nin?”
“Ayah saya saat ini sakit, Mungkin itu benar memecahkan sedikit konsentrasi saya. Kemudian saya hanya dari keluar sangat – sangat sederhana, kalau tak mau dikatakan dikalsifikasikan keluarga miskin. Ayah saya hanya tukang tempel ban. Ibu saya saya penjual lontong untuk sarapan pagi.
Tempat tinggal kami selalu berpindah-pindah, karena kami belum mampu membeli rumah sendiri. Dan …. Sajah saya tidak punya nilai jual, Rio.”
“Oke kita bahas satu-satu. Begini Nin, masalah ayah kamu, yakinlah kamu akan ditangani dengan serius. Besok ayah kamu akan dipindahkan kekamar kelas satu. Itu sudah bagus, Nin.”
“Siapa yang nyuruh pemindahan itu.”
“Saya.”
“Kamu?”
“Biayanya?”
“Jangan khawatir, Nin. Itu sudah saya selesaikan.”
“Kamu?”
“Iya!”
“Terima kasih, Rio. Tapi aku tak bisa langsung menerima kebaikanmu.”
“Kenapa?”
“Karena …..
Nina tidak langsung menjawab. Ia terbayang dengan tawaran kebaikan Dani. Ia trauma menerima kebaikan seseorang yang tiba-tiba. Dan hatinya mulai berkesimpulan manusia memang memberikan sesuatu kepada orang lain karena ada maunya. Sulit mencari lagi sosok manusia yang rela memberikan kebaikan untuk atas nama keikhlasan dan hanya berharap pahala dari Yang Maha Kuasa.
Sakit bagi Nina jika mengingat-ngingat apa yang dilakukan Dani. Meskipun tidak sampai pemerkosaan itu terjadi, tetapi dimata Nina, laki-laki memberikan sesuatu sembilan prosen pasti ada maunya.
“Karena saya dan ibu masih sanggup untuk membiayai perawatan ayah saya.”
“Jangan terus berpraduga, Nin.”
“Saya tidak berprasangka. Namun hargai juga keputusan saya. Saya belum bisa menerima kebaikan kamu. Rio.
Wajah Rio menampakkan kekecewaan. Nina tetap bersekukuh untuk tidak menerima kebaikan Rio.
“Selanjutnya apa, Rio?”
“Mengenai latar belakang keluarga saya kira tidak ada kaitanya dengan pandangan saya terhadap potensi yang kamu miliki. Kebetulan saja kamu berasal dari ayah yang katamu kerjanya sebagai tukang tambal ban, dan ibu yang penjual lontong. Itu belum selesai, Nin Hidup ini terus bergerak . hari ini sperti itu. Namun siapa yang bisa memastikan besok juga seperti itu ?
“O, ya …”
“Yang terakhir ?”
“Mengenai wajahmu yang tidak nilai jual . Itukan kata kamu. Kata penulis scenario film dan sutradara beda. Justru wajah kamu memiliki artistic sebagai daya pemikat sebuah film, terumata kisah – kisah sedih.
“Siapa sebanarnya kamu, Rio ?”
Nina tak sanggup lagi menyimpan rasa penasaranya dengan cowok tampan itu.
“Nanti juga kamu tahu. Ini permohonan kalau memang disebut begitu, kamu ikutan film saya ya, Nin…”
“Maafkan saya. Kalau itu yang kamu minta saya tidak bisa. Kamu kan tahu kondisi ayah saya lagi tidak fit. Kosentrasi saya tidak focus. Kamu tentu maklum adanya.
“Ayah kamu kan dirawat dengan baik di sini.”
“Tapi sebagai anak saya tidak akan jauh-jauh dari ayah saya, Rio, apa layak seorang ayah yang terbaring di rumah sakit dibiarkan.
“Ini kesempatan kamu untuk memberi yang terbaik kepada ayah kamu.”         
“yang terbaik bagi ayah saya adalah ketika ia sakit anak –anaknya tetap berada di dekatnya.”
“sayang sekali. Kesempatan biasanya datang sekali. Dan ketika kesempatan itu tak di raih, maka penyesalan yang akan timbul di hati.”
“Hanya Tuhan yang tahu kesempatan itu berada kali datangnya kepada seseorang, Rio. Saya rasa sudah jelas semuanya.”
“Ya, sangat jelas.”
“Kalau begitu Saya mau menemui ayah saya.”
“Baiklah, Saya pamit pulang.”
                                                       
                                                        # # #                                                                                    
             
 Pagi – pagi Nina berangkat dari rumah sakit. Ia harus mencari rumah sewa baru. Tidak mudah untuk mencari rumah sewa yang tarifnya terjangkau dan tidak jauh dari tempat sekolahnya maupun Arni dan Dido. Minimal sekali pergi dan pulang naik kenderaan umum. Di samping itu rumah itu haruslah memiliki lahan di depannya untuk usaha.         
Biasanya kalau rumah-rumah sewa yang untuk golongan menengah ke bawah ditanya langsumg dengan penduduk sekitar.
Arni menyusuri jalan damai sekitar dua kilometer dari rumah sewa terdahulu.Ia yakin di daerah itu ada pemilik rumah yang menyewakan rumahnya.
Begitu pun ia mencoba mengorek informasi melalui kedai.
            “Beli air mineralya,bu?”
            “Berapa?’
             “Satu saja.”
Nina menerima air mineral itu. Lalu ia membayarnya dengan uang pas. Meminumnya sekenak.
 “Di sini ada yang mau nyewakan rumah, Bu?’
 “Adan. Nanti ada gang namanya gang sejahtera di sana ada Mesjid, Di dekat Mesjid itu tanya saja nanti.”
Nina senang. Meskipun harganya belum tahu pasti, namun dengan adanya rumah yang mau disewakan, usahanya setidaknya telah mencapai tujuh puluh prosen
Ia permisi dengan pemilik kedai. Nina melangkahkan kakinya menuju gang sejahtera. Tiba di depan sebuah rumah.Ada papan pengumuman terpapang di dekat pagar yamg belum siap. Disewakan. Itu bunyinya. Rumah itu hanya berjarak dua rumah dengan sebuah Mesjid. Sederhana. Tapi yang begini yang cocok untuk keluarga Nina.
Nina mengetuk pintu.
Pintu dibuka.
“Ada apa?” tanya cowok yang menurut Nina masih sembayang dengannya.
“Mau nanya, rumah sebelah kan disewakan. Saya mau tanya mungkin tahu dengan siapa bisa berhubungan ya?”
“Rumah itu kami yang punya.”
“Boleh tahu berapa sewanya?”
“Namanya mau disewa, ya pasti bolelah diberi uang sewanya. Masuklah dulu.”
Nina melangkah ke dalam.
“Silahkan duduk..”
Nina duduk di kursi terdekat dari pintu.
“Tunggu sebentar ya…”
“Ya.”
Tak lama kemudian seorang wanita setengah baya menghampiri.
“Mau menyewa rumah ya?”
“Benar Bu.”
“Yang mau tinggal di situ siapa?”
“Saya beserta keluarga.”
“Mana orang tuanya?”
“Lagi tidak ikut.”
“Kenapa?”
“Kebetulan mereka lagi ada kerjaan, Bu…”
“Ya sudah. Kalau berniat mau nyewa di rumah sebelah boleh aja. Tapi harga sewanya pertahun”
“Satu tahun berapa, Bu?”
“Dua juta rupiah aja.”
“Bisa kurang, Bu?”
Ibu itu tersenyum, sembari menggelengkan kepala.
“Kurang dikitlah, Bu.”
“Nggak bisa, Dik. Harga itu telah sesuai dengan situasi kondisi saat ini.”
Nina berpikir dengan rumah semi permanen dan halamannya ada sekitar enam meter dari jalan, rasanya sudah oke aja. Ngapain mencari-cari yang lain yang belum jelas.
“okelah, Bu. Kami sewa satu tahun.”
“Baik. Saya ambil dulu kwitansiya.”
“Silahkan,Bu.”
Ibu itu bangkut dari kursi. Ia menuju ke ruang belakang. Nina mempunyai kesempatan untuk melihat-lihat ruang tamu. Ada foto keluarga yang diletakkan di buffet. Kemudian foto cowok yang ditemui Nina dalam poseberpakaian teluk belaga.
Ibu iti muncul membawa kwintas ya.”
“Ini uangya, Bu.”Nina menyodorkan uang dua juta rupiah kepada ibu itu.
Ibu itu menerimanya.
“Hitung dulu, Bu.”
“Saya yakin nggak kurang. Tapi biar senang, biar anak saya yang menghitungnya.
“Rafid.”
“Ya, Bu.”
“Tolong dulu hitung uangnya.”
“Baik,Bu.”
Rafid menghitung uang pembayaran sewa rumah dari Nina. Nina memperhatikan cowok itu. Sederhana dan tak memiliki kesan wah. Badannya kurusan. Matanya agak memerah. Rambutnya semi ngondrong. Kulitnya agak hitam.
“Ini anak pertama saya.”
“Masih sekolah?”
“Sudah kuliah. Semester empat.”
“pas,Ma….”Farid berkata.
Kemudian Farid memberikan kembali uang itu kepada ibunya.
“Kalau begitu saya minta kuncinya,Bu…”
“O, ya. Lupa saya.”
Ibu Farid ke kamar tidur.
“Kamu masih sekolah?” tanya Farid ketika ibunya sudah di dalam kamar tidur.
“Ya.”
“Kelas berapa?”
“Kelas tiga SMA.”
“Masuk siang?”
“Ya. Tapi hari ini saya memang tidak masuk sekolah. Banyak yang harus saya kerjakan.”
“O, ya.”
“Benar. Saya rencanakan hari juga barang-barang kami bisa dipindahkan ke rumah sewa itu.”
“Kamu perlu bantuan? Maksud saya jika butuh mobil pick up atau semacamnya saya bisa membantu.”
“Sepertinya memang diperlukan.Tapi gimana dengan harganya?”
“Harga miring dikitlah,. Hitung-hitung membantu tetangga baru kan…”
“Ya, nggak apa-apa. Kapan bisanya?”
“Kapan saja.”
“Kalau sekarang?”
“Ya,nggak apa-apa. Kebetulan teman saja tinggalnya tidak jauh dari sini. Kamu tunggu aja di rumah ya.”
Nina menangguk.
Ibu Farid kembali ke ruang tamu. Ia memberikan kunci rumah kepada Nina.
“Terima kasih, Bu. Saya mau lihat-lihat kedalam sekalian membersihkan ruangannya.”
“Silahkan.”
Nina menuju rumah sewa baru keluarga mereka. Di bukanya pintu rumah. Itu. Nina melihat ruangan di dalam rumah cukup bersih. Sepertinya tiap hari ruangan demi ruangan di sapu. Hanya ada dua kamar tidur. Satu ruang dapur merangkap ruang makan
Begitupun untuk mengisi waktu Nina menyapu ulang dengan memulainya dari ruang tamu. Jendela ia buka lebar-lebar. Sinar matahari memasukakan hawa panasnya ke dalam ruangan. Bagi Nina hal itu cukup memberikan suasana hangat dalam ruangan itu.
Ada sekitar setengah Nina menunggu kehadiran Rafid, barulah cowok itumuncul dengan mobil pick up yang parkir di depan rumah.
“Berangkat kita sekarang?”
“Ayo. Tapi kamu sudah beritahu mama kamu?”
“Sudah.”
Mereka berjalan beriring menuju mobil pick up hitam itu.
“Kita menuju jalan apa?”
“Jalan garu sepuluh di daerah marindal.”
“Lho. Nggak berapa jauh dari sini?”
“Memang.”
“Hmm… pantas aja.”
“Pantas apa?”
“Sepertinya saya pernah lihat kamu.”
“Di mana?”
“Ya di sekitar daerah Marindal sana.”
Tiba di depan rumah itu, mobil pick up hitamyang dikemudikan Rafid berhenti. Nina turun dari mobil. Rafid menyusul.
“Kok sepi?” tanya rafid masih berdiri di dekat kursi tamu.
“Ya.”
“Mana orang tua kamu?”
“Lagi di rumah sakit, Nin?”
“Siapa yang sakit, Nin?”
“Ayah saya.”
“Sakit apa?”
“Paru-paru.”
“Saudaramu?Maksud saya adik atau kakakmu?”
“Saya paling tua. Dua adik saya juga di rumah sakit.”
“Oohh…”
“Mau bantuin, mengangkatnya ke mobil Fid.’
“Sini biar saya angkat.Yang man duluan mau di bawa. Menurut saya kita harus dua trip juga nih mengangkutnya.”  
“Nggak keberatan kan?”
“Nggak.Cuma mau kasih tahu saja.”
Nina dan Rafid mengangkati kursi dan meja, serta perlengkapan dapur maupun bungkusan yang berisikan  pakaian ke atas mobil. Nina merasakan pertolongan yang diberikan Rafid mengesankan ketulusan. Disela-sela kesibukan mereka mengangkati barang-barang itu Nina memberanikan diri menanyakan lebih jauh sisi kehidupan cowok itu.
“Kamu punya adik berapa orang?”
“Hanya satu.”  
“Tadi tidak nampak. Apa lagi sekolah?”
Rafid menggelengkan kepala.
“Lalu ?”
Dia dan ayah dua bulan lalu mengalami kecelakaan lalu lintas. Mereka telah meninggal dunia…”
“Maafkan saya, Fid.”
“Kok mesti minta maaf. Itu kenyataan hidup yang harus saya terima.

# # #


  Malam yang dingin menusuk ke tulang. Hujan barusan berhenti setelah mencurahkan airnya sejak pukul enam sore. Lalu lalang kenderaan lengang di jalanan. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam.
Nina melangkah masuk ke sebuah bar. Ia memperhatikan sejenak sekeliling, dan seseorang mempersilahkannya kemeja kosong.
“Makasih, saya mau mencari teman.”
“O, ya.”
“Ya.”
“Salah seorang pengunjung atau….”
“Yang bekerja di sini.”
“Siapa namanya?”
“Dian.”
“Dian. Dia masih bekerja . Tidak bisa diganggu.”
“Sebentar saja, Bang.”
“Okelah, tunggu saja di situ.”
“Makasih ya, Bang”
“Tunggu saja di sini.”
“Ya Bang.”
Tak berapa lama Dian muncul. Nina menggamit tangan temannya dan mendekatkan kursinya ke kursi Dian.
“Ada apa?!” mimik wajah Dian menampakkan ketekerjutan.
“Aku mau minta bantumu.”
“Bantuan apa, Uang ?”
“Tahu aja kamu.”
“Aku nggak punya . Nin”
“Jangan bohonglah. Aku pinjam. Bukan minta.”
“Ya masalahnya aku nggak bawa uang kontan saat ini.”
“Kartu ATM kan punya?”
“Aku lagi kerja. Pengunjung mulai ramai. Nanti aku dimarahi manager.”
“Cari alasan yang paslah. Kan ada ATM dua ratus meter dari tempat ini.”
“Kenapa nggak minjam sama Mia? Mia kan orang kaya.”
Nina terdiam.
“Makanya aku minjam ke kamu, Dian.” Ucap Nina bergetar
“Begini saja. Kalau kamu percaya sama aku, nanti aku antar ke rumah sakit. Pulang aku kerja nanti.”
Berapa kamu kasih pinjam.?
“Sama seperti Olla. Empat juta rupiah.”
Air mata Nina mengalir, membasahi pipinya . Ada tanya menggump Al dada mengapa justru orang – orang yang pernah menyakitinya yang malah membantunya kini, saat ia butuh pertolongan. Orang – orang yang harus bekerja sampai dini hari demi mencari makan sambil sekolah, dengan rela memberikan uang hasil jerih payahnya untuk dipinjam.
Padahal belum tenti ia bisa membayarnya dalam tempo yang sesingkat – singkatnya . Tanpa ada jaminan apapun. Empat juta dari Olla. Dan empat juta lagi dari Dian. Ah! Empat juta, bukan uang yang sedikit . ia sendiri tak memiliki uang sebesar itu.
Nina jadi ingat betapa dekatnya ia dengan Mia, tapi sampai saat ini Mia sobatnya itu tak sempat juga mengujunginya , sekedar untuk memberikan dukungan moral. Kenapa kamu , Mia Kok bisa jadi berubah total begitu ?
“Eit, sudahlah Nina jangan pakai acara nangis segala. Aku janji. Tunggu saja di rumah sakit. Ya”
Nina menggenggam tangan Dian
“Makasih ya Dian.”
“Sudahlah. Aku bisa larut dengan kesedihan. Padahal aku paling takur menggeluarkan air mata.”
Nina menghapus air matanya, Ia mencoba tersenyum.
“Hey, Kapan kamu masuk sekolah?”
“belum tahu.”
“Mia makin lengket sama Andi.”
“Biarlah mereka begitu.”
“Barang kali pengurus kelas besok baru membezuk ayah kamu.”
“Okelah aku balik dulu.”
Dian menggangguk.
Nina menyusuri jalan Mataram. Kenderaan umum satu – satu yang lewat. Itu pun bukan trayek yang menuju ke rumah sakit Cahaya Insani. Memang kalau naik taksi masih bisa di bayar. Tapi sayang rasanya, Biarlah di tunggu dulu kenderaan umum yang ke arah rumah sakit Cahaya Insani.
Nina berhenti berjalan. Berdiri di dekat gardu penjagaan sebuah perkantoran tidak ada orang di sekeliling. Hanya kenderaan yang masih lalu lalang.
Tiba – tiba sebuah sedan biru metalik yang melaju kencang mendadak merem pakem. Suaranya berderit habis, dan DARR. Suara benturan terdengar.
Peristiwanya begitu cepat. Nina melihat ada yang miskomunikasi antara pengemudi sedan biru metalik dengan pengemudi pick up hitam.
Entah kenapa, Nina yang biasanya tidak mau ikut campur dalam urusan orang, terlebih yang berkaitan dengan kecelakaan, berlari mendekati mobil sedan itu. Ia membuka pintu mobil itu. Ternyata pengemudinya seorang wanita dan tak sadarkan diri.
Beberapa mobil berhenti dan mencari tahu apa yang terjadi. Penjaga keamanan di perkantoran itu juga mendekati Nina.
“Cepat bawa ke rumah sakit!”
“Tolong Pak, di pindahkan ke jok belakang.”
Laki – laki di bantu rekannya yang lain. Memindahkan wanita itu ke bangku belakang mobil.
“Biar saya bawa ke rumah sakit.”
“Kamu bisa nyeri?”
“Bisa, Pak.”
“Ke rumah sakit Mongosidi saja.”
“Baik, Pak.”
Nina menggas mobil itu. Masih bisa jalan meskipun telah menabrak bumper belakang mobil pick up. 
Ia tidak canggung untuk mengemudi mobil. Sebab saat ada waktu luang mobil Mia dijadikan sarana untuk memahirkan kemampuanya menyetir mobil. Ternyata ada juga manfaatnya.
Nina tiba di rumah sakit. Pihak rumah sakit tanggap ketika Nina melihat Nina membawa pasien korban kecelakaan lali lintas. Apalagi, setelah di lihat kartu penduduknya, jelas wanita itu dari keluarga kaya.
Nina terkejut. Alamat wanita itu tidak berbeda dengan alamat rumah Mia. Masih masih ingat meskipun tidak sering – sering berkunjung ke rumah Mia.
Diamatinya wajah perempuan itu. Tak salah lagi ! Ini mamanya Mia.
Nina menunggu hasil perawatan rumah sakit. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Mau menghubungi rumah Mia. Ia tidak ingat lagi nomor handphone Mia. Nomor telepon rumah juga ia tidak ingat. Tapi, ia baru ingat, pasti mama Mia membawa handphone.
Nina mencari melihat tas coklat itu. Tidak ada. Lalu ia tergerak untuk melihat ke dalam mobil. Ia pun menuju tempat parkir mobil. Benar, handphone itu ternyata terletak di dekat dasboard mobil. Ia kembali ke ruang tempat mama Mia di rawat.
“Kamu, siapa ibu ini ? tanya dokter jaga.
“Bukan siapa – siapa ibu in, Dok Ketebutulan, saat kecelakaan itu terjadi saya berada di situ. Lalu saya ambil inisiatif untuk membawa ibu ini ke rumah sakit.”
“Sulit menemukan orang sebaik kamu saat ini, yang mau menolong orang lain ketika orang itu mendapat musibah,” kata dokter itu lagi.
Nina tersanjung mendengar kata – kata dokter itu. Tapi hatinya segera sadarkan diri. Ia membatu bukan untuk dipuji atau pun mengharapkan kompensasi dari orang yang ditolong. Biarlah tuhan yang membalasnya kelak. Bisik batinnya.
“Tolong diberitahukan kepada keluarganya,”ucap dokder itu.
“Iya, Dok.”
Dokre itu keluar dari kamar inap kelas atau diiringi oleh seorang perawat.
Mamanya mia tertidur pulas. Nina merongoh tas coklat miliki mama Mia. Tidak ditemukannya telepon seluluer. Barangkali tertinggal di mobil. Lalu Nina bergegas ke tempat parkir. Dibukanya pintu mobil. Benar! Ternyata handphone tersebut tergeletak di bawah lantai mobil. Nina memungutnya. Nasib tak berpihak kepadanya. Ternyata handphone itu bateraynya lagi drop.
Di mana ada wartel di sekitar sini ya. Tanyanya dalam hati. Ia melihat sekeliling. Di sebelah rumah sakit ada Mesjid. Di sebelah kanan terdapat rumah penduduk. Memakai peribahasa malu bertanya sesat di jalan, membuat Nina melangkahkan kaki ke tempat satpam rumah sakit siaga.
“Maaf ya, pak…. Wartel di mana ya, pak?
“Lho. Itukan wartel.”
“Di mana, pak?”
“Di sebelah mesjid ini.”
“Oohh makasih, pak.”
“Iya!”
Nina berjalan kaki menuju wartel yang ternyata terletak di sebelah Mesjid. Diputarkan nomor 108.
“Hallo selamat malam, 108 di sini dengan Iwan. Ada yang bisa di bantu.”
 “Selamat malam. Tolong pak, nomor telepon jalan Beo perumahan Menteng Indah.”
“Sebentar ya…”
“Ya.”
“Nomornya 7734281.”
“Terima kasih, pak.”
“Sama-sama”
Nina memutar kembali nomor di telepon itu. 7-7-3-4-2-8-1. Ada nada masuk. Tapi belum diangkat.
“Hallo!”
“ Hallo.”
“Siapa ini?”
“Bisa bicara dengan Mia.”
“Ini siapa?”
“Ini…..” Nina menggantung kata-katanya. Apakah harus berterus terang mengatakan siapa dirinya. Atau mengatasnama kan seseorang.
“Hallo!”
“Ya.”
“Ada perlu apa dengan Mia? Mia sudah tidur. Tidak bisa digangu. Besok saja kalau mau nelepon. Atau titipkan saja pesan. Besok saya sampaikan kepada Mia.”
Telepon diputus. Nina menghela nafas. Ia tidak bernafsu untuk memberitahukan apa yang terjadi dengan mama Mia.
Setelah membayar biaya pulsa, Nina melangkahkan kaki menuju rumah sakit. Ketika berada di jalan di depan Mesjid, hujan turun lagi. Bagaikan air yang ditumpahkan dari ember. Tiba-tiba saja!
Nina berlari ke Mesjid. Rambut dan badannya basah. Di kibas-kibaskan rambut panjangnya itu. Disekanya wajah yang terlihat kacau karena jarang tidur malam itu. Ia berdiri di tangga paling atas Mesjid.
Di lihatnya sejenak ke dalam Mesjid. Masih ada sekumpulan wanita yang semuanya berjilbab. Jumlahnya sekira enam orang. Dan laki-laki ada tiga orang. Mereka membentuk lingkaran.
Kemudian Nina mengalihkan pandangan ke langit. Gelap hanya air hujan yang jatuh diiringi oleh angin malam.
“Asslamua’alaikum …..”
Nina menolehkan wajah mencari sumber suara yang merdu dan membuatnya tersentuh ia ingin tahun siapa yang menyapanya.
“Maafkan saya jika menganggu kamu.” Apa tidak lebih bagus masuk ke dalam di isi anginnya terasa dan kamu perlu pakai baju.
“Nggak usah repot – repot”
“Nggak repot kok.”
Nina memperhatikan gadis berjilbab itu manis dan sepertinya masih sebayanya juga.
“Saya ambilkan pakaian ganti untuk kamu ya.”
Nina menganggu
Gadis melangkah kesebuah ruangan, lalu kembali dengan membawa sebuah pakaian model pakaian terusan.
“Itu kamar mandinya.”
“Makasih ya.” Nina berjalan ke kamar mandi.
Hanya 10 menit Nina di dalam kamar ia sempatkan untuk mandi.
Hujan masih mengguyur kota Medan. Nina masuk ke dalam masjid pergabung dengan gadis dan teman – temannya dengan cepat ia bisa membayurkan diri setidaknya menunggu hujan berhenti mungkin ada hal – hal baru yang bisa diserapnya dari pertemuan itu. Meskipun hatinya sedikit apakah Dian masih menunggunya di rumah sakit untuk menyerahkan uang empat juta rupiah itu. Semoga Dian panjang akalnya minimal ia titipkan kepada saja Arni atau ibunya.
“Sebenarnya saya tadi dari wartek, mau ke rumah sakit, E, nggak disangka hujan turun lagi dengan lebat sehingga saya mencari perteduhan di sini”
“Kita anggota majelis pengajian dan saya berkeluarga tinggal di lingkungan mesjid sini malam ini jadwal untuk melaksanakan kegiatan diskusi tentang sabar.” Ujar gadis itu.
“Sebenarnya acaranya sudah selesai tapi karena hujan turun lagi kita belum bisa pulang ke rumah makanya kita masih berbincang – bincang. Ungkap pemuda berkobyah hitam menurut tebakan. Nina pemuda itu sebagai nara sumber atau disebut juga dengan sebutan Fasilitator.”
“ Siapa yang sakit ?” tanya gadis yang satu lagi.
Nina tidak segera menjawab ia merem hatinya untuk berterus terang kesannya akan menumbuhkan rasa hebat bahwa ia telah menolong orang yang mengalami kecelakaan.
Nina tersenyum. “ Seseorang membuat saya kemari maksud saya ke rumah sakit itu. Hmm,…. Kalau boleh sedikit  bertanya ….”
“ Mau bertanya apa ?”
“Apa yang teman – teman maknai dengan cinta ?”
Pemuda yang memakai peji dikepalanya menjawab . “ Mengutip apa yang ditemukan Algajali bahwa cinta adalah keberagaman ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita kalau pun nada maqam yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta makam itu hanya pengantar ke arah cinta. “ dan bila ada makam – makam sesudah cinta, makam itu khayalan akibat dari cinta saja.”
“Mengapa seseorang berbuat hati kepada seseorang ?” tanya Nina lagi
“Menurut Algajali, jika ada orang terbaik kepada kita, paling tidak itu karena 2 sebab.Pertama, karena ingin pahala yang di akhirat dan kedua, ia ingin pahala dari orang yang ditolong dalam hal ini ia berbentuk materi pujian atau penghargaan dengan kata lain ada pamrih dibalik semua pertolongan itu saya teringat dengan syiar Arab. Begini bunyinya “Jadilah kamu seperti pohon buah di pinggir jalan, Meskipun dilembari orang dengan batu ia tetap menhadiahkan buah yang matang kepadanya.
“Sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan terima kasih. Pertemuan ini memberikan manfaat bagi saya. Saya mau pamit dulu cuma saya mohom maaf bila pakaian ini tidak dapat secepatnya saya kembalikan….”
“Tidak apa – apa.”
“Mengapa terburu – buru?”
“Saya harus menjenguk seseorang.”
“Ya, kami maklum datanglah kemari lagi bila ada waktu.”
“Terima kasih.”
“O, ya nama saya Zahwa, ucap gadis itu dan mengulurkan tanganya.”
“Saya Nina,” jawab Nina menyambut uluran tangan Zahwa
Nina me
Kemudian Nina memakai sepatunya ia menebarkan senyum kepada Zahwa.
Zahwa membalas sekejap telah itu Nina berlari kecil ke arah rumah sakit. Masuk kamar kelas 1A.
“Siapa kamu?” ternyata mama Mia telah sadar, Dan ia tidak terlalu mengenalinya sebagai teman putrinya. Memang Nina baru sekali bertemu ketika hari ulang tahun Mia sepuluh bulan lalu. Itupun sekilas saja, pada saat pamitan. Setelah itu ia tidak pernah bertemu lagi. Nina pernah diajak Mia ke rumahnya tak kala mama dan papa Mia pergi ke luar kota.
“Lho, itukan tas saya. Kemarin tas saya! Mama Mia setengah berteriak. Nina memberikan tas coklat itu. Nina memperhatikan mamanya Mia mengaduk-aduk isi tas, dan mengehal nafas panjang ketika mengetahui tak ada sesuatu barang miliknya yang hilang. Kemudian ia mengambil sepuluh lembaran lima puluh ribu dan mengulurkannya kepada Nina.
“Ambillah sebagai tanda terima kasih. Perawat sudah cerita kepada saya.”
Masih jelas dalam memorinya apa-apa yang dikatakan pemuda berpeci di Mesjid. Sekarang tinggal hatinya yang memilih, apakah mau mendapatkan pahala dari Allah Swt, atau memperoleh materi dari kebaikan yang ia berikan kepada seseorang.
Hingga akhirnya Nina memutuskan tidak menerima uang itu.     
“Apa ?” Mama Mia tidak percaya dengan kata – kata Nina.
“Benar, Bu. Saya membantu ibu tidak mengharapkan imbalan. Biar Allah SWT yang memberikan pahala kepada saya. Simpan saja uang ibu itu. O, ya ini kunci mobil ibu.”
Nina meninggalkan kamar inap tersebut.
Ada tiga taksi nongkrong di tepi jalan depan ke rumah sakit. Nina mendekat salah satu taksi.
“Paka ke rumah sakit Cahaya Insani berapa ?”
“Sudahalah dua puluh ribu saja.”
“Kuranglah, Pak.”
“Kalau begitu kita pakai argo saja ?”
Mau tak mau Ninas masuk juga ke dalam taksi.
Sampai di rumah Cahaya Insanai. Dibayarnya ongkos taksi. Kemudian berlari – lari kecil menuju tempat ayahnya di rawat.
Di depan di kursi panjang, Nina melihat Olla dan Dian tertidur dalam posisi duduk.
Astaga ! Betapa pulasnya mereka setelah bekerja  keras untuk memperoleh penghasilan.
“Olla …. Dian….” Nina menepuk lembut bahu ke dua tamanya.
Olla terbangun. Begitu juga Dian
“Kemana saja kamu, Nin ?”
“Hujan lebat. Aku terjebak dalam hujan,” Jawab Nina sekenanya     .
“Naik taksi kan bisa.”
“Ya, akhirnya aku memang naik taksi juga kemari.”
“Tapi heran juga aku, Masak aku duluan sampai dari kamu. Yang jelas aja, Nin, singgah kemana lagi kamu tadi ?” Selidik Dian.
“Kan sudah ku bilang, aku terjebak hujan. Lalu aku bertedu di sebuah Mesjid.”
Olla dan Dian berpandangan.
“Ada yang aneh.”
“Tumben cari tempat berteduh di Mesjid.”
“Ya, karena pada saat hujan turun aku berada di depan sebuah Mesjid.”  
“Sendirian.”
“Nggak, kebetulan ada majelis pengajian yang sedang menunggu hujan berhenti.”
“Terus ?”
“Mereka mengajak bergabung dan kita diskusi tentang cinta.”
“Diskusi tentang cinta di mejis ?” Dian membelalakkan matanya.
“Han, pasti kalian salah tanggap.”
“Ya, ialah, biasanya kalau pengajian kan kajinya sudah jelas. Kalau nggak bicara tentang haram. Tentu tentang halal.” 
“Kayak –kayaknya aku nggak sabaran untuk tidur, Nin. Aku capek habis nih!”
“Ya, tanggung untuk pulang ke rumah. Kami tidur sini aja, Nin”
“Tapi jangan di sini. Maksudku jangan di kursi ini. Di dalam saja. Ada tikar di dalam. Para keluarga pasien juga pada tidur di dekat situ kok.”
“ Sudah di sini saja.”
“Di sini dingin. La. Lagi tidur dalam posisi duduk sangat tidak nyaman.
Ayolah ….”
“Gimana La ?” tanya Dian.
“Mana bagusnya aja”
Akhirnya mereka masuk ke dalam
Nina melihat ibu dan kedua adiknya sudah pada tidur. Masih ada satu tikar lagi yang terletak di dekat tempat tidur ayahnya. Ia segera mengambilnya. Lalu pelan – pelan mengembangkan tikar itu di depan ruangan masuk ke ruangan sal. Dian merebahkan badan. Begitu juga Olla
“Kalian tidur aja dulu aku mau melihat ayah.”
“O, ya, Nin ini uangnya.” Kata Dian sembari memberikan uang itu kepada Nina.
Nina menerima uang itu dari tangan Dian, dan berkata “Makasih ya, Dian.”
“Sudahlah pakai saja dulu.
Nina melihat Pak haji Abidin sedang berjalan menuju ruangan Sal. Sendiri. Istrinya sudah meninggal setahun yang lalu. Anaknya dua orang, tapi sudah berumah tangga dua – duanya, satu tinggal di Padang, dan satunya tinggal di Binjai.
“Bagaimana keadaan ayahmu?” tanya Pak haji.
“Masih lemah, Pak haji. Dada ayah masih terasa sakit . Terus badanya kian menyusut. Sekarang masih infus, pak Haji.”
“Ayo kita lihat ayahmu.”
“Silakan, Pak Haji.”
Pak Haji melangkah duluan. Nina menyusul di belakang Pak Haji.
Kemudian Pak Haji menyalami ayah Nina.
“Pak Haji….” Lirih suara ayah Nina.
Pak Haji menggenggam tangan ayah Nina.
“Berdoalah kepada Allah SWT, semoga Bapak cepat sembuh dan dapat bekerja seperti sedia la;a.”
“Ketika sakit begini baru terasa banyak hal yang seharusnya dilakukan ketika sehat.”
“Sabarlah, Pak. Mungkin bapak pernah mendengar dari ulama atau ustad.”
“tentang apa, Pak Haji ?”
“Bahwa ada dua hal yang mesti dilakukan manusia untuk dapat memenangkan pertempuran agung.”
“Apa itu, Pak Haji?”
“Sholat dan Sabar.”
Nina yang masih berdiri di samping ayahnya mendengarkan dengan seksama pembicaraan ayahnya dan Pak Haji.
“Ceritakanlah tentang suatu nasehat kepada saya dan putri saya ini.”
“Ceritanya begini : ada seorang anak. Suatu ketika ia minta izin kepada orang tuanya untuk menginap di rumah temanya. Orang tuanya menyetujuinya. Setelah anaknya pergi, orang tuanya pergi juga untuk menonton operas. Saat orang tuanya masih keluar rumah si anak kembali lagi dan membatalkan keinginannya untuk tidur di rumah temannya. Anak ini tiba – tiba mempunyai rencana. Ia ingin membuat kejutan kepada orang tuanya, kejadian ini pada malam hari.”
“Apa rencana anak itu, Pak haji ?” tanya Nina penasaran.
“Rencananya adalah anak itu akan berdiam di toilet. Nah, saat orang tuanya datang ia akan meloncat dari toilet itu msabil berteriak.”
“Apa yang terjadi, Pak Haji?”
“Selanjutnya orang tua anak itu pulanglah dari nonton opera. Mereka melihat lampu toilet di rumahnya menyala. Padahal ketika mereka pergi lampu itu telah mereka matikan. Mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Orang tua anak itu masuk ke dalam rumah dan perlahan – lahan membuka pintu kemudian mengambil pistol. Lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu berada. Ketika sampai diatas, tiba – tiba terdengar teriak dari toilet itu. Ditembak mereka orang yang berteriak itu sampai lehernya putus, Dua jam kemudian anak itu meninggal.”
“Apa makna cerita itu, Pak Haji ?” tanya Nina serius.
“Penyesalan selalu datangnya terlambat. Dan mereka hanya mengikuti emosi ketakutan serta kekahwatiran yang membuat panca indranya belum sempat menyerap informasi yang sempurna, tentang orang yang meloncat dan berteriak itu. Namun karena kecerdasan emosionalnya rendah menimbulkan ketak sabaran. Mereka melakukan tindakan ceroboh yang memperturutkan emosi mereka semata.”
“Apa ada jenis – jenis sabar, Pak Haji ?”
“Ya, ada tiga jenis kesabaran. Yang pertama sabar dalam menghadapi musibah. Kedua sabar dalam melakukan ibadah. Dan ketiga sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Apabila seseorang sabar dalam menghadapi musibah maka ia akan memperoleh pahala yang besar. Sabar dalam menjalankan ibadah pahalanya lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah. Dan sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar daripada dua jenis sabar yang lainnya.
“Ceritakanlah satu kisah lagi tentang kesabaran ?” pinta ayah Nina
“Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kita Jihad               Al – Nafs karya Ayatullah Mazhahiri.
“Bagaimana ceritanya, Pak haji…” Nina tak sabar untuk mengetahui jalan ceritanya.
“Diriwayatkan pada masa Rasulullah, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Ia seorang muslimah. Tidak bisa membaca dan menulus, namun ia mukmin sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya, Itu ditandai dalam kesabarannya ketika menghadapi ujian.”
“Ujian apa, Pak Haji?” tanya ayah Nina
“Suatu hari anaknya sakit, sementara suaminya sedang bekerja di tempat jauh. Anak itu akhirnya meninggal dunia saat suaminya tidak di rumah. Ibu anak itu duduk di samping jenazah anaknya. Ia menangis sejenak. Kemudian ia terjaga dari tangisnya saat menyadari suami sebentar lagi pulang. Perempuan itu berkata pada dirinya sendiri kalau aku menangis terus menerus di samping anakku, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku melukai perasaan suamiku, padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah. Setelah berkata begitu ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal pada suatu tempat.”
“Kemudian, Pak Haji?”
“Kemudian tibalah suaminya di rumah, Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istrinya itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihannya. Ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. Ia basuh kaki suaminya itu. Suaminya bertanya mana anak kita yang sakit. Istrinya menjawab Allhamdulillah sudah lebih baik. Istrinya itu pada dasarnya tidak berbohong sebab anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaan jauh lebih baik. Istri itu terus berupaya menghibur suaminya. Ia mengajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi dan shalat qabla subuh.
“Selanjutnya, Pak Haji.”
“Ketika ia akan berangkat ke mesjid, untuk shalat berjemaah, istrinya mendekat sanbil berkata, “Suamiku, aku punya keperluan.” “Sebutkanlah.” Kata suaminya. Sang istri berkata “kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?” Suaminya menjawab,” pastinya aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal, Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.” Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun Allah menitipkan amanat kepada kita. Kemarin dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu kepada kita. Anak kita kini sudah meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah.” Lalu suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal dunia. Kemudian ia pergi ke mesjid. Pada waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata “ Diberkatilah malam kamu yang tadi itu.”Malam itu adalah ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi musibah.”
Nina terharu mendengar riwayat yang disampaikan Pak Haji Abidin. Matanya berkaca-kaca. Ia keluar dari ruangan. Di luar ia berdiri-diri memandang langit dengan awan-awanya yang berarak-arak.
Tanpa ia sadari ada seseorang yang melangkah menghampiri.
“Nina.” Siapa laki-laki itu.
Nina terkejut. Ia menolehkan wajah. Ternyata Rafid.
Nina mengusap kedua matanya. Mencoba tersenyum.
“Tidak kuliah?”
“Kuliah. Tadi. Dari kampus terus kemari. O, ya ini aku bawakan jeruk…”m
Nina menerima buah tangan yang dibawa Rafid.
“Yuk ke dalam…”:
Nina dan Rafid masuk ke dalam. Nina melihat Pak Haji Abidin memberikan amplop kepada ayahnya. Lalu ia pamit.
“Ibumu mana, Nin?” tanya Pak Haji.
“Ibu pulang, Pak Haji. Banyak pakaian yang harus dicuci.”
Nina mengantar Pak Haji Abidin hingga ke depan ruangan. Kemudian ia masuk lagi dan memperkenalkan Rafid kepada ayahnya.
“Yah, ini Rafid.’
“Teman sekolahmu?”
“Bukan, Yah. Keluarganya memiliki rumah yang kita sewa itu.”
“Oohhh….”
“Bagaimana keadaan bapak?”
“Ya masih terasa sakit. Saya ingin pulang saja. Lama-lama di rumah sakit biayanya terus membengkak.”
“Dalam hal ini dokter yang lebih paham, Pak.”
“Bilang saja kepada dokternya, Nin, ayah mau pulang.”
“Ya, sabar dulu. Baru sebentar Pak Haji berbicara tentang sabar, ayah kok malah nggak sabar berada di sini.”
“Berobat jalan saja,Nin.”
“Ya, tunggu ibu datanglah, Yah…”
“Berikan kepada ibu amplop dari Pak Haji.”
“Baik, Yah.”
“Sudah berapa biaya perobatan ayah, Nin?”
“Saya belum tahu, Yah.”
“Tanyakan sama perawatnya.”
“Nanti saya tanya, Yah. Sekarang ayah tidur saja dulu…..”
“Ke mana Arnidan Dido.”
“Mereka ikut pulang sama ibu, Yah.”
“Kok mereka nggak bilang sama ayah.”
“Mereka pulang saat ayah tidur.”
“Tunggu dulu!”
“Apa, yah.”
“Tadi kamu bilang keluarga Rafid ini yang memiliki rumah sewa yang baru kita sewa.”
“Benar, ayah.”
“Lalu dari mana uang membayar sewa rumah itu?”
“Adalah ayah.”
“Dari mana?”
“Pinjam ayah.”
“Siapa yang amu meminjam uamg kepada keluarga kita? Apa dari ibu Sisca?”
Nina bingung. Apakah ia berterus terang saja kepada ayahnya bahwa ia mendapatkan uang dari temannya.
“Ya, kebetulan ada yang mau meminjam uang kepada saya, Yah.”
‘Siapa?”
“Teman sekolah.”
“Tanpa jaminan?”
“Iya, Yah.”
“Kok mereka mau kasih pinjaman tanpa adanya jaminan?”
“Namanya juga teman, Yah. Makanya mereka mau meminjamkan uang kepada saya atas dasar persahabatan dan kepercayaan,” ucap Nina.
Tak lama kemudian ayah Nina tertidur. Nina mengajak Rafid ke luar.
‘Tadi saya ketemu dengan Rio.”
“O, ya.”
“Ia kecewa kamu tidak mau ikut dalam produksi filmnya.”
“Cowok seperti itu kayaknya egois ya, Fid?”
“Kenapa?”
“Maunya dia saja yang dituruti.”
“Seharusnya kamu bangga, punya kenalan seperti dia. Dia energik dan mau memberikan peluang kepada orang tanpa kompensasi apa-apa.”
“Tapi meskinya dia mikir, saya dalam situasi yang tidak fid dalam berkosentaris. Banyak hal yang wajib saya pikirkan.”
“Betul. Yang namanya manusia tentu ada saja masalahnya.”
“makanya saya bilang kepadanya untuk saat ini belum bisa. Entah esok hari, Entah esok lusa.”
“Tapi kenepa kamu mau ikut kelompok musik?”
Nina mengerutkan dahinya. Ia teringat dengan surat ramalan yang ia kirimkan beberapa bulan yang lalu.
“Kok kamu tahu, Fid.”
“Karena itu kelompok musik kami.”
“Kebetulan. Fid. Saya diterima kan?”
Rafid menggeleng.
“Kenapa?”
“Ya karena Rio. Saya setuju masuk group band kita. Tapi Rio tidak setuju.”
“Apa hubungannya dengan Rio, Fid?”
“Karena group band yang kami bentuk itu didanai oleh Rio.”
Nina lemas mendengar ucapan Rafid. Sebab satu kesempatan untuk memperoleh uang melalui main musik kandas sementara waktu.
“Hey kamu enggak usah sedih. Saya juga nggak ikut band itu sekarang.”
“Lho?”
“Iya.”
“Pasalnya.”
“Ya, saya berusaha untuk mengusulkan kepada Rio agar kamu yang diterima.
Tapi ia malah ngotot menolaknya. Akhirnya saya ultimatum Rio, jika ia tidak berkenan menerima kamu ikut kelompok musik, maka saya keluar! Ternyata Rio tetep ngotot untuk menolak”
“Ngapain kamu pake bele-bela saya. Sampai-sampai kamu tidak jadi ikut kelompok musik itu.’
“Saya mau bikin group musik sendiri. Saya sedang cari pemain dan promotor yang berkenan mengembangkan kreatifitas saya. Lebih enaknya begini, dari pada berada dibawah bayang-bayang Rio.
“Tapi kesempatan untuk kamu maju dan berkembang di dunia musik itu sudah di depan mata. Fid. Mengapa tidak diambil.”
“Ya, itu yang tadi saya bilang, saya tidak mau di bawah bayang-bayang Rio. Saya harus bisa meski tanpa Rio. Itu tekad saya, Nin.”
“jadi sudah ada ancar-ancar siapa pemain lainnya.”
“Belum.”
“Dari mana kamu memulainya?”
“Dari kamu?”
“Kok saya?”
“Kamu kan pandai nyanyi dan main keybord.”
“Saya butuh uang, Fid. Makanya saya harus kerja.”
“Maksudnya?”
“Apa kita punya akses untuk main di café atau masuk dapur rekaman?”
“Itulah yang akan saya perjuangan.”
“Ya, saya menghargai keputusanmu tidak jadi bergabung dengan groupnya Rio, karena saya tidak diterima Rio. Tapi, jangan terlalu berharap saya bisa terlibat dalam kelompok musik yang ingin kamu buat. Banyak faktor yang harus dipikirkan. Apalagi kamu kan masih kuliah, saya juga masih sekolah meski nggak jelas juga yang katakana, kesempatan itu jangan di sia-siakan!”
“Banyak hal yang sangat membebankan perasaan sekarang ini.”
“Saya maklum. Saya mengerti posisi kamu saat ini yang memikirkan kondisi ayahmu, belum juga situasi ekonomi keluargamu. Namun jangan jadikan itu semacam dinding yang menghalangi untuk melangkah ke depan. Anggap saja keadaan sekarang ini seperti pelangi. Indah. Tapi sesaat. Tentunya kamu tidak ingin hanya sampai di situ kan?”
Nina mengangguk.
“Kamu tentu mengharapkan adanya keindahan yang lebih lama, yang tidak sekedar bisa dipandang tak bisa dipengang.”
“Wah, puisi juga kata-katamu, Fid.”
“Artinya keindahannya yang harus kita raih adalah keindahan yang bisa dipandang dan dapat digenggam itulah yang disebut orang-orang adalah cita-cita.” Tapi cita-cita yang saya maksud di sini bukan semata-mata menjadi dokter, menjadi insiyur, menjadi guru….”
“Jadi?”
“Menurut saya sesuatu yang bisa membuatmu senang dan bahagia adalah mencapaian sebuah cita-cita. Dan itulah keindahan yang tiada tara. Makanya ketika kita menyaksikan seorang anak petani yang asyik bermain di sawah nan menguning meskipun sawah itu belum tentunya orang tuanya, namun karena ia senang dan bahagia dapat bermain di sawah yang menguning, itulah keindahan yang ia miliki. Dan tidak semua orang bisa seperti itu.”
“Bicara kamu makin dalam. Berat ah, Fid…”
“Artinya lagi jika kamu dapat mencintai seseorang yang membuat kamu senang da bahagia, itu juga keindahan bagimu.”
“Kok larinya ke cinta?”
“Jangan salah tafsir dulu. Ini cinta dalam arti luas. Ya, seperti kamu mencintaimu ayah kamu. Keluarga kamu terutama diri sendiri.”
“Nyerah saya kalau begini…”
“Ini bukan pertempuran, Nin.”
“Tapi ada baiknya juga saya mencoba. Carilah teman yang lain,Fid.”
“Dalam waktu secepatnya, Nin.”
“Kamu sudah makan, Nin?”
“Belum.”
“Kita makan di kantin yuk….”
“Tidak ada yang jaga ayah.”
“Kalau begitu saya belikan saja nasi bungkus. Kita makan di sini ya?”
“Terserah kamu, Fid.”
Fid berdiri dan melangkah kan kaki ke kantin. Nina memperhatikan cowok itu. Di antara Rio, Dani dan Rafid, Nina menilai Rafid memiliki sifat dan sikap yang baik, tidak berkesan memaksakan diri, dan sederhana.


# # #
            Malam itu Nina dan ibunya memutuskan untuk merawat ayah di rumah. Kondisi ayah secara medis agak sulit disembuhkan. Kalau lama-lama di rumah sakit biayanya akan semakin besar.
            “Taksinya sudah dipanggil, Fid?”
            “Sudah. Ia nunggu di depan kantin. Gimana dengan urusan administrasi, Nin?”
            “Sudah saya selesaikan seluruhnya.”
            Lalu Rafid mengangkati barang. Arni dan Dodi turut membantu. Sedangkan ayah di dampingi Nina dan ibunya.
            Ayah Nina duduk di depan taksi. Ibu dan kedua adik Nina di belakang.
            “Saya sama Rafid, Bu…” ucap Nina.
            “Hati-hati, Nin.”
            “Ya, Bu. Ongkos taksi adakan, Bu.”
            “Ada.”
            Taksi bergerak perlahan.
            “Saya ambil kereta, Nina.”
            “Di mana diparkir, Fid.”
            “Di sana.”
            “Ya udah kita ke sana saja sama-sama.”
            “Tunggu saja di sini. Nanti kamu capek.”
            “Jalan dua puluh meter aja kok capek.”
            Nina menyusul Rafid. Mereka berjalan beriringan.
            “Kami telah merepotkan kamu,Fid.”
            “Gini aja kok repot.”
            “Ntar ada lagi yang cemburu…..” Selidiki Nina.
            “Siapa?”
            “Adalah. Kamu lah yang tahu persis.”
            “Pacar?”
            “Bisa dibilang begitu.”
            “Nggak ada itu.”
            “Maksud kamu belum punya.”
            Ada cewek di kampus yang ingin kerap kasih perhatian ke saya. Namun saya memang nggak ada rasa ke dia.”
            “kenapa?”
            “Ya sulit dijabarkan, Nin. Udah ah! Nggak usah bicara yang begituan lagi. Kita pulang terus atau mau ke mana nih?”
            “Jangan singgah-singgah lagi, Fid.”
            “Oke! Kalau begitu kita langsung pulang.”
            Rafid mengendarai sepeda motor itu dengan kecepatan sedang. Nina duduk diboncengnya. Tangannya memengang tempat duduk untuk mengantisipasi dirinya tidak terjatuh jika Rafid merem tiba-tiba, guna menghindari jalan berlobang atau pun lain hal.
            Posisi waktu masih disekitar pukul sembilan malam. Kenderaan yang lalu lalang di jalan-jalan protocol agak lengang jika dibantingkan dengan sore menjelang Mahgrib. Rafid membelokkan sepeda motornya ke jalan Tritura.
            Di tepi jalan di depan sebuah café Nina melihat dua mobil berhenti dengan lampu depan masih dinyalakan, dan terdapat tiga orang pemuda yang terlibat pertengkaran dengan seorang pemuda.
            “Fid, mereka bertengkar tuh!”
            “Nggak usah ikut campur urusan orang.”
            “Lihat tuh, yang seorang di pukuli mereka, Fid.”
            “Kita nggak tahu pihak mana yang salah mana yang benar. Bukan berarti yang dipukuli itu yang benar. Jangan-jangan dia telah melakukan kesalahan terhadap keempat cowok itu.”
`           “Taruhlah dia bersalah, tapi nggak boleh main hakim sendiri kan. Putar, Fid.”
            Rafid tidak bisa berkeras. Ia sebenarnya suka dengan sikap tegas Nina itu. Ia melihat sosok Nina punyai kepedulian kepada orang lain.
            Pelan-pelan sepeda motor Rafid melewati kelompok pemuda itu.
            Tiba-tiba yang dipukuli itu minta tolong kepada Rafid.
            “Tolong, Bang. Tolong saya….”
            Nina terkejut. Cowok yang minta tolong itu ternyata Dani.
            “Kenapa kamu, Dan?”
            “Kamu kenal dia, Nin.”
            Iya. Teman saya ketika smp.”
            Mau minta tolong?! Nggak takut kami?!”
Salah seorang dari mereka mendekati Rafid.
“Jangan ikut terjadi, Dan ?”
“Mereka menjebak saya, Nin. Cewek yang saya bawa itu ternyata gandengannya. Mereka memeras saya, Nin.
“Berapa mereka minta?”
“Lima juta.”
“kalau tidak ?”
“Cewek itu akan melaporkan saya ke Polisi dengan tuduhan pelecahan seksual.”
“Giman nih, Fid?”
Rafid turun dari sepeda motor. Begitu juga Nina.
“Ayo! Mana uangnya!” sergah salah seorang dari cwok bergundal itu.
Rafid mendekati cowok yang berteriak tadi. Dipeganganya krah baju cowok itu dan berkata, “Jangan banyak bacot kau !
Cowok itu tak mau kalah. Ia mencoba melepaskan genggaman tangan rafid. Sambil memaki Rafid,” Jangan ikut campur kau, Monyet !”
Rafid kehilangan kendali diri. Di kasihnya satu jab ke muka cowok itu. Cowok itu terjajar ke belakang. Dua temanya mencoba mengeroyok Rafid. Dengan sigap Rafid melakukan perlawanan. Beberapa jurus bela diri rafid tunjukkan. Kedua orang itu kewalahan melawan Rafid. Dan Nina tidak tinggal diam, diam – diam ia mengambil pasir di dekat bram jalan.
“Jangan mendekat, atau pasir itu masuk ke mata kalia !” teriak Nina.
Ia lemparkan ke wajah mereka. Mereka mengaduh kesakitan.
Beberapa pengendera berhenti. Ingin tahu apa yang terjadi. Ketiga laki – laki itu ciut juga nyalinya, Mereka bergegas masuk ke mobil, dan tancap gas.
“Makasih ya Nin…. Makasih ya …”
“Saya Rafid.”
“Makasih Fid.”
“Makanya kamu harus belajar untuk sabar menahan diri untuk tidak berbuat yang aneh – aneh .” ucap Nina
“Masalahnya pasti berkembang…”
“Nggak usah khawatir. Kalu mereka macam – macam, bilang pada saya. Saya punya teman seorang aparat.”
“Jika mereka melapor ke polisi ?”
“Saya kira mereka hanya mengancam. Mereka pasti takut juga untuk melapor ke polisi, karena bisa dituduh melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan.”
“Kalau cewek itu yang melapor ke polisi.”
“Saya yakin ia masih punya rasa malu. Toh yang ia lakukan juga merupakan kesengajaan untuk menjebakmu. Ia juga bisa kenal !”
“Sebaiknya kamu pulang saja, Dan.”
“Okelah.”
Mereka pun berpisah.

# # #

            Tiga hari setelah ayah Nina pulang dari rumah sakit, batuk ayahnya terus – terusan kambuh. Ia terbaring lembah di tempat tidur.
“Nina…
“Ya, Yah.”
“Mana ibumu?”
“Lagi ke Mesjid. Sholat Suhur, Yah.”
“Kamu tidak sekolah?”
“Nggak ayah.”
“Ujian kan sudah dekat.”
“Biarlah ayah. Saya ingin merawat ayah. Soal sekolah bisa diulang nanti jika tidak lulus.”
“Jangan  begitu. Kamu akan rugi waktu satu tahun lagi untuk mengulang kelas tiga.”
Nina terdiam
“Ada yang ingin ayah katakan.”
“ Apa, yah …”
“Ketika membereskan barang – barang, ada kamu temui dua amplop di bawah lamari.”
“Kenapa, yah ?”
“Ayah sudah mengambil jalan yang salah. Tadi pagi ayah baca di koran miliknya Rafid orang itu di tangkap. Orang itu menitipkan barang haram itu kepada ayah. Ketika itu ayah sudah merasa tak ada pilihan lain, bahwa itulah jalan untuk membayar hutang – hutang kita kepada Pak Haji Abidin dan juga dengan ibu Sisca juga untuk keperluan hidup kita.”
“Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, Yah.”
“Maka dari itu ayah minta barang itu di buang saja.”
“Saya akan buang, Yah.”
“Ayah ingin sholat, Nin…”
“ Ayah masih lemah.”
“Tak mengapa, bantulah ayah ke kamar mandi.”
“Apa tidak menunggu ibu dulu, Yah.”
“Ayah ingin sholat Zuhur sekarang.”
Nina memenuhi permintaan ayahnya. Ia memegang ayahnya menuju kamar mandi. Lima menit kemudian ayahnya selesai berwudhu. Nina menuntun ayahnya ke ke kamar tidur . Di atas sajadah itu ayah Nina terduduk. Ia melakukan sholat sambil duduk.
“Kamu sudah sholat?”
“Belum, yah.”
“Ambilaah wudhu. Kita sholat berjamaah.”
Nina tidak dapat mengelak. Ia tidak berhalangan sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk meningkatkan salah satu rukun Islam tersebut. Nina pun melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu. Tidak berapa lama ia sudah ada di belakang ayahnya. Mengenakan mukena dan kain. Mereka sholat Zuhur berjemaah.
Selesai sholat Nina melangkah ke pintu depan. Ada ketukan pintu beberapa kali terdengar ketika Nina dan ayahnya sedang melakukan ibadah sholat.
Siapa pula yang datang ? Batin bertanya – tanya. Sebab kalau ibunya yang datang tentu akan membuka pintu karena itu tidak dikunci.
Nina membuka pintu. Nyaris ia tidak percaya siapa yang ada dihadapannya kini. Bagaikan mimpi saja.
“Nin…!”
“Mia….”
“Apa kabarnya, Nin?”
“Ya beginilah keadaanku, Ayo masuk …”
Mia duduk. Nina juga duduk di smaping Mia.
“Khabarmu gimana ?”
“Biasa saja.Soory ya aku baru bisa datang hari ini.”
“Kok tahu aku tinggal di sini.”
“Aku tadi ke rumahmu yang di Marindal. Tetanggamu bilang kamu sudah pindah. Lalu ia memberikan alamatmu yang baru.
“ya, aku sengaja memberikan alamat kami yang di sini kepada tetangga di sana.”
“Kamu tidak sekolah ?”
“Belum bisa, Mia Ayahku masih lemah,” kata Nina pelan.
“Aku lagi malas ke sekolah,” Mia berkata sebelum Nina menanyakan hal yang sama kepadanya.
“Aku buatkan teh manis ya…”
“Nggak usah repot – repot, Nin air putih saja.”
“mash ada gula kok di dapur.”
“Bukan begitu, Nin. Aku baru minum teh manis di rumah. Swear!”
“Ya sudah, aku ambilkan air putih”
Nina ke dapur. Tidak smapai tiga menit, ia sudah tiba lagi di ruang tamu. Melatakkan gelas berisikan air putih itu di meja.
“Selamat ya, Nin….”
“Selamat untuk apa?” tanya Nina cepat.
“Kamu terpilih sebagai finalis gadis sampul. Kamu diundang ke Jakarta untuk acara Grand Finalnya,”ucap Mia dan memberikan majalah Hello terbitan terbaru kepada Nina.
Wajah Nina berubah. Wajah yang menyiratkan kegembiraan sekaligus ketakpercayaan ia terpilih sebagai salah satu finalis dan sepuluh orang finalis. Ia mmebuka halaman dua puluh, Aha ! ini dia. Lalu dibaca Nina dalam hati siapa – siapa yang menjadi finalis. Salah satu nya jelas memang dia. Tertulis di situ pada urutan ke tiga namanya : Nina Andari Rifka
“Mimpi apa aku selamam ya….”ujar Nina spontan.
“Kamu harus ke Jakarta, Nin. Kalu kamu tidak keberatan aku bersedia menemainu.”
“Nanti mamamu marah ?”
“Mamaku ? Ini khabar tidak baik ya, Nin.”
“Kenapa, Nin.”
“Mamaku baru – baru ini mengalami kecelakan.”
“terus ?”
“Seorang gadis menolongnya dalam kecelakaan itu. Gadis itu membawa mama ke rumah sakit. Ketika mama ingin memberikan uang, gadis itu menolaknya. Dan gadis itu bilang ia menolong bukan mengharapkan imbalan. Mama merenungkan kejadian itu, hingga akhirnya ia menyadari bahwa uang bukan segala – segalanya. Ada yang tidak bisa dinilai dengan uang.”
“Lalu ?”
“Lalu bayang – bayang wajah gadis yang menolong mama kerap hadir di dalam pikirannya. Bahkan dalam tidurnya bermimpi tentang gadis itu. Ia ingin sekali bertemu dengan gadis itu.”
“Untuk apa mama kamu mau bertemu lagi dengan yang menolong ketika kecelakaan itu.”
“Ingin tahu namanya dan memeluknya gadis itu sekaligus mengucapkan kata – kata terima kasih yang keluar dari hati paling dalam.”
“Apa mama kamu ingat dengan gadis itu?”
“Ia bilang gadis itu rambutnya panjang. Langsing dan mengesankan seksi meskipun dalam balutan pakaian yang sederhana. Wajahnya manis, dengan tahi lalat di bibir bawah,” Mia menjelaskan dengan pelan – pelan.
Nina hanya mendengar apa yang dikatakan Mia. Pikiranya melayang jauh mencari – cari keputusan haruskah ia berterus terang dengan Mia bahwa ia yang menolong mama Mia ketika kecelakaan itu terjadi. Atau tetap saja bungkam dan merasa tidak tahu apa – apa.
“Manusia di kota Medan jutaan, Mia. Gimana mau mau mencari sosok gadis yang menolong mama kamu ?” kata –  kata itu akhirnya yang keluar dari bibir Nina.
“Maka dari itu ketika aku memberikan mama bahwa kamu terpilih sebagai finalis gadis sampul dan keinginanku untuk ke Jakarta bersamamu, mama justru seneng dan ingin juga turut ke Jakarta.”
“O, ya …?
“Iya, Nin, Malah mama sudah pesan tiga tiket pesawat. Kita berangkat besaok, karena lusa kamu haru melapor ke panitia.
“Nomor handphone berapa, Mia?”  
Mia membuka tas, mengambik pulpen dan buku tulis. Dikoyakkan selembar. Lalu ditulisnya angka-angka yang menjadi nomor telepon selulernya. Mia memberikannya kepada Nina.
“Aku minta tolong handphonemu menjadi penghubung keluargaku di sini dengan ku selama di jakarta ya, Mia.”
“Nggak apa-apa. Kamu pengang saja Hpku ini.”
“Nggak usah sampai begitu. Kamu aja yang pengang.”
“Okelah, Nin. Besok aku jemput kamu.” 
Nina mengiakan dengan anggukan kepala.

                                                  # # #
Pagi yang cerah. Nina menggunakan jeans biru, t-shirt putih semi ketat. Ia menunggu kehadiran Mia untuk menjemputnya.
“Saya harus ke jakarta hari ini, Yah,” ucap Nina dan menyalami ayahnya.
“Ibumu sudah cerita. Hati-hatilah di sana. Semoga kamu terpilih sebagai juara pertama gadis sampul itu. Ayah doakan agar kamu berhasil, Nin.”
Ayahnya memeluk Nina erat sekali! Seakan tak ingin dilepaskan ayah Nina pelukan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya.
“Kalau saya menang dan dapat uang, saya akan belikan ayah makanan yang enak-enak….”
“Nggak usah., Nin. Berikan saja kepada adik-adik dan ibumu,” kata ayahnya terbatuk-batuk.
“Ayah maunya apa?”
“Ayah ingin sajadah dan peci serta kain untuk sholat saja, Nin…”
“Nanti akan Nina belikan untuk ayah.”
“Kak, teman kakak sudah datang!” Adik bungsunya memberitahukan Nina.
“Nina pergi ya, Yah.”
Ayah Nina tersenyum melepas kepergian Nina, Walaupun hanya bisa memandangnya dari pembaringan dik kamar tidur itu. Nina melangkah ke luar.
Mia sudah duduk di ruang tamu. Tidak sendirian. Sudah ada ibunya, Arni dan Dodi. Dan mamanya Mia. Pandangan mata mereka beradu. Nina merasa terus diperhatikan oleh mama Mia.
Mama Mia berdiri dan mendekati Nina.
“Ka-mu… Kamu kan yang menolong saya waktu kecelakaan itu?” tanya mama Mia dengan lembut.
“Benar, Bu,” jawab Nina perlahan.
“Ya Allah, Kau pertemukan aku dengan gadis baik ini.” Mama Mia memeluk Nina dan memberikan kecupan kasih sayang.
“Anak ibu menolong saya ketika saya mengalami kecelakaan…” sambung Mama Mia lagi dan menoleh kepada ibunya Nina.
Mia terkejut. Tak menyangka bahwa yang menolong mamanya waktu kecelakaan adalah Nina. Mia juga heran mengapa Nina tidak mau berterus terang kepadanya semalam.
“Kenapa kamu tidak berterus terang semalam, Nin?”
“Karena kurasa hal itu tak perlu lagi diungkapkan.”
Nina pamit kepada ibunya. Nina menyalami adik-adiknya. Mia dan mamanya serta Nina telah berada di dalam mobil. Supir menghidupkan mesin. Nina melirik ke rumah sebelah. Ia belum sempat memberitahukan Rafid tentang keberangkatan ke jakarta. Ada sesuatu yang kurang sempurna rasa di hati.
“Mia, bisa tunggu sebentar.”
“Boleh…”
“Nina turun lagi.”
Ia mendekati ibunya.
“Bu, Saya mau kasih tahu Rafid.”
“Jadi Rafid belum tahu kamu mau ke jakarta.”
“Belum, Bu.”
“Kalau kamu merasa perlu Rafid diberitahu, ibu tidak keberatan. Cepatlah ke rumahnya.”
“Ya, Bu.”
Nina berlari kecil. Semalam ia tak sempat mengatakannya kepada Rafid. Semoga saja ia ada di rumah, bisik hati Nina.
“Assalamualikum.”
“Walaikumsalam.”
Pintu di buka. Ibunya Rafid yang membuka.
“Rafid ada, Bu?”
“Rafidnya kuliah. Ada pesan, Nin? Sepertinya mau berpegian?”
“Saya mau ke jakarta, Bu.”
“Tapi ayahmu kan masih sakit?”
“Benar, Bu. Tapi saya meski ke jakarta hari ini.”
“Dalam rangka apa, Nin?”
“Saya terpilih sebagai finalis gadis sampul, Bu. Mohon doa dari ibu dan Rafid, semoga saya berhasil.”
Ibu Rafid spontan memeluk Nina. Ia tahu hubungan Nina dengan putranya Rafid merupakan hubungan pertemanan yang baik.
“Hati-hati, nin.”
“Makasih, Bu.”
Nina menuju mobil. Masuk ke dalam sedan merah metallic itu. Pak supir mulai menekan gas. Perlahan namun pasti mobil pun bergerak.

                                                                # # #
Bandara polonia Medan.
Untuk pertama kalinya Nina akan terbang dengan pesawat. Hatinya dikuatkannya agar tidak gemetar saat berada di angkasa.
“Nanti ketika pesawat sudah lepas landas nggak usah lihat-lihat ke bawah, Nin.” Ujar Mia seolah-olah tahu yang menjadi beban pikiran Nina.
Ketika mereka masih di ruang tunggu, rafid muncul dengan nafas tersengal-sengal.
Nina menyebut Rafid dengan senyuman. Senyum manis yang belum pernah ia lepaskan kepada cowok manapun.
“Ibu tadi menghandphoneku. Makanya aku segera ke mari.”
“Aku mau minta tolong, Fid.”
“Soal Dani?”
“Bukan itu!”
“Jadi?”
“Tentang ayahku. Sejak semalam ayah batuk-batuk terus.”
“Maksud kamu?”
“Siapa tahu harus masuk ke rumah sakit lagi, tolong di antar ya, Fid.”
“Kalau itu aku stanby dua puluh empat jam. Kamu Nggak usah khawatir, Nin.”
“Terima kasih, Fid.”
“Bawa saja Hpku ini, Nin…”
“Kamu?”
“Nggak apa-apa di rumah kan ada telepon. Biar mudah kita berkomunikasi. Berapa hari kamu di jakarta?”
“Belum tahu. Lihat pengarahan besok, Fid.”
“Bila sudah tiba di Soerkano- Hatta hubungi aku ya. Nin.”
Nina menganggukkan kepala dan tak lupa melepaskan senyuman indahnya. Rafid membalasnya penuh kasih.

                                                   # # #
Malam penganugerahan Gadis sampul.
Acara berlangsung di Balai Kartika. Pengunjung telah memadati ruangan. Para musisi dan penyanyi yang mengisi hiburan telah siap di belakang panggung. Begitu juga sepuluh finalis gadis sampul termasuk Nina dan teman-temannya, mereka telah berada di belakang stege untuk tampil secara berurutan dan membentuk formasi yang telah ditentukan oleh penata acara.
Para pengunjung yang sebahagian besar anak baru Gede memedati Balai kartika tersebut. Mereka ingin menyaksikan acara yang dipandu oleh Aldi presenter muda yang lagi naik daun dengan didampingi artis berbakat Ririna dan diisi oleh penyanyi maupun group musik yang sudah punya nama. Terutamanya lagi sebahagian penonton adalah para penduduk dari finalis gadis sampul tersebut.
Nina berdiri dan menarik nafas panjang, dan dikeluarkannya perlahan-lahan. Dalam keramaian orang yang ada di depan panggung, dan juga sembilan finalis lainnya yang tentunya berharap menjadi pemenang dalam perlombaan itu.
Apa yang harus aku lakukan? Tanya batin Nina. Tiba-tiba ia teringat dengan Zahwa, gadis yang memberikannya bantuan ketika hujan lebat beberapa waktu lalu yang mengatakan manusia mempunyai kewajiban untuk berusaha. Jika sudah berusaha, maka berdoalah. Dan soal hasilnya itu keputusan Yang Maha Kuasa. Sebab Allah Swt sangat mengerti apa yang terbaik bagi kita manusia.”
“Ayo siap-siap semua!” teriak salah seorang panitia.
Nina segera mengambil posisi. Bibirnya bergerak perlahan mengucapkan sebait doa,” Ya Allah sudah begitu berat beban hidup keluargaku. Aku hamba yang kerap lupa akan dikewajibanku memohon ampun kepadaMu, dan aku mohon berilah aku rezki yang luas Ya, Allah . Aminnn”
Acara demi acara berlangsung dalam suasana yang semarak. Hingga akhirnya berpuncak kepada pengumunan pemenang gadis sampul
Ketua Dewan Juri naik ke atas panggung.
“Pemenang ketiga Nadia Eksanti dari Jakarta, Pemenang kedua Ismawati Amelia dari Bandung, dan pemenang pertama sekaligus sebagai gadis sampul untuk tahun ini adalah Nina dari Medan.
Gemuruh tepuk tangan penontong menggema ke sekeling ruangan itu. Dan Nina terkejut becampur gembira saat namanya disebut ketua juri sebagai pemenang pertama. Air matanya spontan membasahi pipinya.
“Alhamdullillah…” Nina mengucap kedua tanganya ke wajahnya
Hadiah kepada masing – masing pemenang diberikan. Hadiah dalam bentuk uang dan piala serta adanya tawaran kontrak untuk menjadi model dalam satu tahun ke depan, serta kegiatan – kegiatan lainnya untuk mempromosikan majalah Hello maupun kegiatan lainnya yang bersifat promosi majalah tersebut.
Setelah acara selesai dan Nina para pemenang maupun finalis kembali ke belakang panggung, Nina mengambil handphone miliki Rafid yang dititipkan kepada salah seorang panitia. Ia segera menekan nomor telepon rumah Rafid. Terdengar nada masuk tapi tidak diangkat – angkat. Posisi waktu masih pukul sebelas malam. Apa Rafid sudah tidur ? Atau dia lagi tidak berada di rumah.
Nina lalu menghandphone Mia.
“Di mana kamu, Mia ?”
“Aku sudah diluar gedung.”
“Mama kamu?”
“Masih di sini.”
“Mungkin masih ada pembicaraan dengan pihak panitia. Aku nggak mau repoti kalian. Kalian mau pulang duluan nggak apa – apa. Besok kita ketemu di rumah Tante kamu. Soalnya kami masih harus inap di hotel.”
“Ya, nggak apa – apa.”
“Teringatnya ada yang nelepon dari Medan, Mia.”
“Nggak ada, Nin…”
“Okelah, Mia.”
“O, ya …selamat ya Nin…. Kamu pantas jadi pemenang…”
“Makasih, Mia.”
Hubungan terputus. Nina mengikuti salah seorang dari panitia yang mengarahkan mereka untuk kembali ke Hotel. Nina dan teman – teman naik bus khusus. Sekitar setengah jam perjalanan tibi di Hotel Sartika.
Nina bergegas ke kamarnya. Tanpa mengganti terlebih dahulu pakaiannya, ia segera memutar kembali nomor telepon Rafid. Ada nada masuk tapi tetap tidak diangkat.
Perasaanya mulai disergap oleh rasa tak nyaman. Kemenangan yang baru diraih nyaris tenggelam oleh was – was akan keadaan ayahnya.
Nina berpikir untuk mencari informasi dari Medan. Siapa yang bisa dihubungi lagi. Lalu setelah berjalan mondar – mandir di kamarnya ia teringat nomor handphone Ollah dan Dian.
Mudah – mudah bisa nyambung, bisiknya dalam hati.
“Hallo siapa ya?” tanya Olla dari seberang.
“Ini aku. Nina, La.”
”Nina ?”
“Ya.”
“Sudah punya handphone kamu sekarang ?”
“Kau serius, La. Aku lagi di Jakarta.”
“Di Jakarta ? Ngapain kamu di sana ?”
“Nanti aku ceritain. Yang penting sekarang aku minta tolong sama kamu”
“Minjami kamu duit lagi ? Kehabisan uang di Jakarta ya?”
“Ngaco kamu. Ini serius kali, La !”
Hubungan komunikasi seluler itu ditutup Nina.
Nina merebahkan ke tempat tidur. Sebentar saja. Kemudian dia ke toilet Mandi. Meskipun hal itu tidak pernah dilakukannya sepanjang hidup mandi pada pukul setengah dua belas malam. Sehabis mandi ia berwudhu.
Namun ia hanya bisa merenungkan diri. Ternyata ia tidak membawa mukena dan kain untuk sholat. Sungguh terlalu naifnya aku sebagai hambaMU ya Tuhan. ….
Nina kemudian menelepon resepsionist
“Selamata malam ada yang di bantu?”
“Malam, Mbak. Ini dari kamar nomor 78.”
“Ya..”
“Ada nggak pegawai hotel yang bisa minjami saya mukena sekaligus kain untuk sholat, ada sajadahnya,” kata Nina penuh percaya diri.
Resepsionits itu binggung menjawabnya
“Begini saja, Mbak. Saya tanya dulu dengan pegawai hotel yang lain. Kalau pun tidak ada yang bawa permintaan mbak itu. Saya usahakan salah seorang pegawai untuk membelikannya besok pagi.”
“Terima kasih, Mbak.”
“Sama – sama.”
Sepuluh menit Nina menunggu, belum ada juga khabar dari resepsionits. Nina mulai resah.
Tiba – tiba pintu diketuk.
“Assalamua’alaikum …..” suara dari luar terdengar Nina.
Nina menjawab, “Allaikum salam,”
Lalu ia membuka pintu kamarnya.
Matanya beradu pandang mata yang ada di hadapannya kini. Wajah yang teduh dengan jilbab dan baju muslimah itu membuatnya kaget.
“Zahwa!?”
“Mereka berpelukan.
“Ayo masuk ….”
“Ini mukena, sajadah dan kami.”
“Kok kamu tahu….”
“Kebetulan, Nin. Waktu kamu telepon resepsionits itu, aku masih berada di sekitar situ.
“Kamu dalam rangka apa ke Jakarta,”
“Ada acara seminar tentang remaja dan peranannya dalam penguatan syiar Islam.”
“Kamu ?”
“Ada acara pemilihan gadis sampul majalah Hello.”
“Kamu pemenang ya ?”
“Ya begitulah ….”
“Selamat ya…” Zahwa menggenggam tangan Nina
Nina tersebyum dan membalas genggaman tangan Zahwa.
“Tapi adakalanya kesenangan dunia adalah racun yang membahayakan akhlak kita sebagai manusia. Hati – hatilah dalam meniti dunia yang satu ini, Nin.”
Nina tidak berkomentaratas kata – kata Zahwa. Dicobanya untuk menafsirkannya sendiri. Belum ditemui jawaban pasti. Namun, nina tak hendak untuk berpanjang pembicaraam tentang hal itu. Apalagi handphonenya pun berbunyi kemudian.
“Olla…” ucap Nina mereka.
“Ya, aku Olla, Nin.
“Gimana, La ?”
“Pkoknya pesan aja tiket sekarang, Usahakan dengan pesawat pertama ya, Besok kamu tahu jawabannya.”
“Katakan saja sekarang. La. Kok pakai rahasia segala. Aku siap mendengar apapun yang kamu katakan ..”
“Ayahmu berharap kamu segera pulang.”
“Ayah di rumah atau di rumah sakit ?”
“DI rumah sakit. Nin Tadi aku ketemu Arni. Mereka tidak ingin kosentrasimu terganggu dengan berita ini. Jadinya  mereka belum menghubungimu.”
“Kamu di mana sekarang ?”
       
“ DI rumah sakit. Dian juga di sini. Rafid sedang sibuk membeli obat bersama Arni.”
“Ayah di ruang ICU atau ….”
“Saat ini di ruang ICU, nin.”
“Bilang sama ibuku aku segera pulang besok pagi, La.”
“Baiklah, Nin.”
“Sampaikan juga khabar aku keluar sebagai pemenang pertama gadis sampul ya…”
“Kamu… pemenang gadis sampul?”
“Iya!Bilang ya sama mereka.”
“Iya, nanti aku sampaikan.”
Hubungan telepon diputus.
“Sebaiknya kamu sholat Isya dulu, Nin. Saya permisi dulu ya. O, ya saya nginap di kamar nomor 40.’
Nina memeperhatikan kepergian Zahwa. Pintu ia tutup setelah Zahwa keluar dari kamarnya. Ia kemudian mengenakan mukena dan kain. Dfikembangkannya sajadah. Lalu ia sholat isya.

                                                              # # #
Bandara polonia pagi hari.
Pesawat Adam air mendarat dengan mulus. Sesaat kemudian pintu pesawat terbuka. Satu persatu penumpang keluar dari dalam pesawat. Nina pun keluar. Ingin segera tiba di rumah sakit. Tiba di ruang pemeriksaan barang, ia mengambil kopernya, dan bergegas mencari taksi.
“Ke mana kita?” tanya supir taksi kepada Nina.
“Ke rumah sakit Cahaya Insani, Pak.”
Taksi itu berjalan dengan kecepatan sedang.
Tidak beberapa lama Nina sampai di depan rumah sakit Cahaya Insani. Ia bergegas menuju ruang ICU.
“Kamu siapa?” tanya salah seorang penjaga ruang ICU.
“Saya anaknya pasien di dalam.”
“Pak Hadi?”
“Benar.”
“Cepat masuk.”
Nina masuk. Di dalam ibu dan dua adiknya, serta Rafid, Olla dan Dian.
“Ayah….” Nina memengang tangan ayahnya.
Mata ayahnya masih terbuka. Mata ayahnya masih bergerak, meski perlahan dan mengarahkan pandangannya ke Wajah Nina. Tangannya sudah lemah dan tidak bisa diangkat.
“Ayah, ini Nina, Yah…”
Ayah diam saja. Dan, mata ayahnya lambat laun mulai tertutup. Mesin pengukur pacu jantung pun menggambarkan kurva yang lurus.
“Maaf, Bu. Bapak telah meninggal dunia…” kata perawat dengan suara pelan.
Ibu Nina menganggukkan kepala, mencoba tabah menerima kenyataan bahwa suaminya telah pergi untuk selama-lamanya. Arni dan Dodi tak kuasa menahan isak tangis. Nina tegar meski matanya berkaca-kaca karena air mata.
“Ibu keluar dulu ya. Kami mau memindahkan jenazah pak Hadi.”
Nina sekeluarga bersama Rafid, Olla dan Dian meninggalkan ruang ICU.
“Saya selesikan dulu administrasi diselesikan dan ambulan pun sudah menunggu di tepi jalan di perataran rumah sakit, jenazah ayah Nina di dorong memakai tempat tidur beroda menuju ambulan. Ibu Nina dan Dodi duduk di depan. Nina dan Arni duduk di belakang bersama satu orang pegawai rumah sakit. Rafid mengendarai sepeda motornya. Sedangkan Olla dan Dian naik taksi.
Di perjalanan menuju rumah, Nina berfikir mengapa Tuhan begitu cepat memanggil ayahnya. Ketika ia dalam posisi yang menjanjikan. Ketika ia berhasil keluar sebagai pemenang gadis sampul, dan Wajahnya akan selalu muncul di media televisi, maupun majalah maupun koran sebagai model iklan. Ketika ia telah meneken kontrak untuk main film sebagai pemain utama. Ketika ia memenuhi janjinya membawakan ayah peci, kain dan sajadah.
Handphone berbunyi.
“Assalamua’laikum…”
“Allaikumsalam…”
‘Ini Zahwa, Nin. Bagaimana kabar ayahmu?”
“Ayah telah pergi, Wa.”
“innalilahi wainnalliha rrojiun… tabah ya, Nin……”
“Ya…..” jawab Nina dengan suara tertahan.
Sampai di depan rumah handphone Nina berbunyi lagi. Dari Mia.
“Nin. Giman kabar ayahmu?”
“Ayah telah pergi, Mia.”
“Sabar ya, Nin.”
“Kamu kapan balik dari  jakarta.”
“Aku sudah di Soekarno-Hatta, Nin.”
“Udah dulu ya, Mia.”
“Baiklah, Nin.”
Siang yang terik. Rumah Nina ramai orang  melayat. Teman-teman sekelasnya pada hadir. Begitu juga tetangga di sekitar rumah, dan beberapa tetangga mereka di rumah sewa yang lama. Termasuk Pak Haji Abidin turut melayat setelah mendengar kabar meninggalnya Pak Hadi. Begitu juga dengan Rio yang hadir bersama teman-temannya, serta hadir juga Dani memberikan ucapan turut belangsungkawa.
Prosesi kewajiban fardu kifayah dilakukan. Mulai dari memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan ayah Nina berlangsung dalam suasana sendu.

                                                              # # #
Angin berhembus bebas menggerakkan rambut Nina. Beberapa saat masih Nina biarkan keadaan seperti itu. Ia masih membiarkan saja perlakuan angin di tepian pantai cermin itu. Namun sesaat kemudian jemarinya yang indah itu refleks merapikan rambut panjang nan indah yang mengkilaukan pandangan. Dalam posisi duduk di di pasir putih tindakannya tersebut tidak akan sempurna.
Arni menyodorkan pengikat rambut.
“Kakak sudah membulatkan tekad, Ni. Kakak mau pindah ke jakarta. Film dan sinetron yang kakak bintangi akan diproduksi Begitu juga kewajiban kakak untuk shooting iklan. Anggaplah ini satu perjuangan baru bagi keluarga kita. Nanti jika memang dunia ini tidak memberikan kebaikan hakiki buat kakak, kita kembali ke Medan dan memulai usaha baru.”
“Ibu setuju?”
“Ibu harusnya setuju. Karena kakak akan membawa ibu, kamu dan Dido.’
“Gimana dengan Rafid, Kak?”
“Rafid?”
“Ya… Rafid?’
“memangnya kenapa dengan Rafid?” tanya Nina tak mengerti.
“Ia telah banyak membantu keluarga kita.”
“Lalu?”
“Apa ia setuju kakak pindah ke jakarta.’
“Ia juga harusnya setuju?”
“Gimana kalau  ia tak setuju?”
“Hey, kamu kok mengintegorasi kakak?” Nina mencubit lengan adiknya.
“Aduh sakit kak…” ujar Arni setengah berteriak.
“Kak, ibu nanya apa kita sudah bisa pulang?” Dido bertanya dengan nafas tersengal-sengal.
“Ibu mau pulang?”
Dido mengiakan dengan anggukan kepala.
Nina bangkit dari duduknya. Diikuti oleh Arni. Handphonenya berbunyi.
“Hallo.”
“Hallo juga.”
“Gimana enakan di situ, Nin?”
“Ya lumayanlah. Kamu sudah selesi ujian semesternya?”
“Baru saja selesai.”
“Dapatkan?”
“Ya dapat-dapat begitulah. O, ya ntar malam kita keluar yuk.”
“Keluar ke mana? Kalau nggak jelas tujuannya aku nggak mau…”
“Kita ke Mesjid Agung. Ada tablig akbar. Mubalighnya dari jakarta.”
“Kita berdua aja?”
“Maunya kamu?”
“Ibu dan adikku bolehkan ikutan?”
“Fid, aku mau akan ke jakarta lagi. Mungkin untuk waktu yang lama….”
“Ya pergilah bila itu telah menjadi pilihanmu, Nin.”
“Aku bawa keluargaku.”
“Ya, nggak apa-apa. Justru itulah yang terbaik. Itu menunjukan kamu anak yang bertanggung jawab, Nin. Tapi jangan lupa…”
“Jangan lupa apa?”
“Kalau sudah terkenal jangan lupakan kita di sini….” 
“Apa aku type orang yang melupakan kebaikan orang lain. Apalagi kebaikan kamu?”
“Nin…”
“Ya….”
“Jangan pernah berhenti mencintai ya….”
Nina tersenyum. Matanya menyiratkan kebahagiaan. Ia kehilangan kata-kata untuk mengomentari ucapan Rafid.
“Tapi, hidup memang harus dijalani kan. Maka jalani saja hidup kita seperti air yang mengalir. Ya kan?”
“Sekarang aku tidak ingin hanya melihat pelangi lagi, Fid. Aku ingin melukiskannya untuk ayahku dan keluargaku dan untukmu….”
“Apapun yang kamu lukis merupakan keindahan bagiku, Nin.”
“Okelah. Sampai ketemu ntar malam.”
“Oke, Nin.”
Nina mematikan handphonenya. Ia melangkahkan kaki ke arah mobil yang ia carter. Ibu dan adiknya sudah menanti di dalam mobil.
“Ibu akan mendukung keputusanmu, Nin,’ ucap ibu Nina ketika Nina menstater mobil itu.
“Arni sudah cerita, Bu.”
Ibunya tersenyum dan mengangguk.
Arni pun tersenyum dan memeluk ibunya.
Lalu Nina menginjak gas pelan-pelan. Mobil itu bergerak keluar dari areal objek wisata pantai cermin. Ia merasakan beban kehidupan yang berat yang selama ini ia dan keluarga hadapi telah keluar dari kehidupan mereka. # # #




SELESAI
           
06-13  



           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar