Arsip Blog

Selasa, 22 Maret 2016

Bahaya Laten “Teks” di Luar Teater (1)



Bahaya Laten “Teks” di Luar Teater (1)

OLEH Nasrul Azwar

TEKS teater memang telah mati, dan memang mati. Sudah lama sekali mati, malah. Siapa yang demikian tangguh jadi “algojo” yang membunuhnya? Jawab adalah teater itu sendiri plus pelakunya. Lalu di mana kuburnya? Tak ada yang tahu. Karena sejarah, hidup dan matinya tak ada yang mengawasinya. Ia lahir dari rahim festival, pertemuan, undangan, dan juga tugas mata kuliah jika ia mengambil jurusan sastra atau teater di perguruan tinggi. Festival, pertemuan, serta beragam nama yang domodifikasi adalah “orangtua” teater. Dan orangtua itu jelas tidak akan bertanggung jawab membesarkan, mengawasinya, dan lain sebagainya. Sebab, ia bukan tipe orangtua yang diharapkan demikian. Ia hanya menitikkan satu “benih” dari sekian juta benih bertebaran. Terserah, mau diapakan setelah itu: mati, atau setengah mati, atau mati-mati hidup, atau hidup lagi setelah ada orangtua baru hadir, dan seterusnya. Maka, teater di pulau Sumatra, Jawa , Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, bukan lagi jadi satu ikon “perlawanan” pada mainstream kondisi stagnasi atas kebekuan pemikiran tentang teater itu sendiri. Ia telah berwujud pada pelarutan diri ke kondisi realitas kekiniaan. Teater telah kehilangan identifikasi dirinya, dan jadi teramat sulit untuk diurai, karena antara panggung politik, sinetron, dan sihir AFI dengan teater telah saling membocorkan diri. Teater kehilangan satu-satunya barang berharga yang dipunyainya: kebaruan militansif. Dari sinilah proses awal dari pembantaian terhadap teater, dan ini telah berlangsung cukup dasyat 13 tahun terakhir, untuk Sumatra Barat, yang saya tahu, lebih lama dari itu, sekitar 17 tahun terakhir. Jadi apa yang mesti dikatakan lagi? “Dicoba untuk membangun harap?” kata seorang pegiat teater.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar