Bahaya Laten “Teks” di Luar Teater (1)
OLEH Nasrul Azwar
TEKS teater memang telah mati, dan memang
mati. Sudah lama sekali mati, malah. Siapa yang demikian tangguh jadi “algojo”
yang membunuhnya? Jawab adalah teater itu sendiri plus pelakunya. Lalu di mana
kuburnya? Tak ada yang tahu. Karena sejarah, hidup dan matinya tak ada yang
mengawasinya. Ia lahir dari rahim festival, pertemuan, undangan, dan juga tugas
mata kuliah jika ia mengambil jurusan sastra atau teater di perguruan tinggi.
Festival, pertemuan, serta beragam nama yang domodifikasi adalah “orangtua”
teater. Dan orangtua itu jelas tidak akan bertanggung jawab membesarkan,
mengawasinya, dan lain sebagainya. Sebab, ia bukan tipe orangtua yang
diharapkan demikian. Ia hanya menitikkan satu “benih” dari sekian juta benih
bertebaran. Terserah, mau diapakan setelah itu: mati, atau setengah mati, atau
mati-mati hidup, atau hidup lagi setelah ada orangtua baru hadir, dan
seterusnya. Maka, teater di pulau Sumatra, Jawa , Bali, Sulawesi, Kalimantan,
dan Papua, bukan lagi jadi satu ikon “perlawanan” pada mainstream kondisi
stagnasi atas kebekuan pemikiran tentang teater itu sendiri. Ia telah berwujud
pada pelarutan diri ke kondisi realitas kekiniaan. Teater telah kehilangan
identifikasi dirinya, dan jadi teramat sulit untuk diurai, karena antara
panggung politik, sinetron, dan sihir AFI dengan teater telah saling
membocorkan diri. Teater kehilangan satu-satunya barang berharga yang
dipunyainya: kebaruan militansif. Dari sinilah proses awal dari pembantaian terhadap
teater, dan ini telah berlangsung cukup dasyat 13 tahun terakhir, untuk Sumatra
Barat, yang saya tahu, lebih lama dari itu, sekitar 17 tahun terakhir. Jadi apa
yang mesti dikatakan lagi? “Dicoba untuk membangun harap?” kata seorang pegiat
teater.
Lebih lanjut tentang: Bahaya Laten “Teks” di Luar Teater (1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar