TATARAN
PEMAHAMAN DALAM SASTRA
Oleh : M.
Raudah Jambak*
Penggunaan istilah
terkadang membuat penulis atau pembicara selalu khilap dengan makna dasar dari
kata-kata yang dituangkannya. Mungkin seorang pembaca atau pendengar mencoba
memahami dan memaklumi pemaknaan yang tertuang itu. Bombastiskah? Atau ambigu?
Dalam pembicaraan bahasa memang ada yang disebut dengan polisemi yang berarti
satu kata banyak arti, tetapi dia tidak terlepas dari makna dasarnya. Berbeda
dengan homonim yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama tetapi berbeda
arti, hanya saja tidak ada hubungan dengan makna dasarnya.
Hal-hal yang berkenaan
dengan persoalan di atas tentu berdasarkan wilayah tata bahasa. Tetapi ketika
kita masuk ke dalam tataran sastra, persoalan itu tentu memiliki pemahaman yang
berbeda pula. Di wilayah sastra, bahasa hanya sebagai media. Ia lebih cenderung
kepada makna-makna tersirat dan tersuruk, bukan tersurat. Namun demikian etika,
estetika, dan logika tentu tidak bisa kita kesampingkan.
Wilyah-wilayah seperti ini
yang menyebabkan seorang penulis atau pembicara selalu luput memahaminya.
Misalnya, ketika seseorang membahas persoalan bahasa tentu ia harus masuk ke
dalam wilyah tersurat dalam hal pemaknaan. Namun, ketika ia mengkaji persoalan
sastra tentunya ia pun harus masuk ke dalam hal-hal tersirat, terutama
persoalan ambiguitas. Jika terjadi hal yang sebaliknya, maka akan muncul
pro-kontra pemahaman.
Pro-kontra pemahaman ini
yang sering terjadi. Bahasa lisan tentu memiliki perannya sendiri, jika dibandingkan
dengan bahasa tulisan. Berbeda lagi ketika kita berhadapan dengan bahasa
isyarat. Metode berbahasa ini tentu berbeda wilayah pemahaman. Bahasa tulisan
masuk kepada tataran konsep. Sementara bahasa lisan dan isyarat masuk kepada
wilayah aksi atau tindakan. Nah, bahasa konsep dan bahasa tindakan ini tentu
bisa kita pilah-pilah lagi ke wialyah yang berbeda pula.
Berdasarkan hal di atas,
ada hal yang menarik jika kita membaca
tulisan yang ter tuang di ruang Rebana Analisa. Tulisan-tulisan yang bernas itu
selalu menyinggung persoalan politik dan sastra. Politik dalam sastra, atau
sastra dalam politik. Tulisan-tulisan Yulhasni, Budi P. Hates, T. Agus Khaidir,
Jones Gultom, dsb, membicarakan persoalan itu.
Yulhasni dengan
‘kepiawaiannya’ selalu menulis tulisan-tulisan yang ‘menggugah-rasa’ kita
tentang hal itu, termasuk ketika membahas ‘Teks-teks Semu pada Karya Sastra
Sumut’ (Rebana Minggu, 30/11). Yulhasni mengungkapkan, Polemik sastra dan
politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di
daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra
di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi,
cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar
lingkungan kepengarangan itu sendiri.
Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke
Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi
puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan
toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan
Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan
tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat
membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat
hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini
medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.
Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai
cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa
teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk
akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa
polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa
teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis,
sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian
ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya
adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.
Bagi yang mengenal Yulhasni tentu akan memahami
persoalan ini. Memahami arah tembaknya. Haya Aliya Zaki ada menuliskan tentang
Yulhasni, katanya menurut Yulhasni bukan orang yang tergolong produktif
menulis. Selain rutinitas sebagai wartawan, proses kreatifnya hanya sampai
cerpen. Jujur, ia tak piawai merangkai puisi. Tapi ia hobi menulis kritik dan
esai sastra. Yulhasni melihat dunia sastra Sumut adem ayem saja, maka sesekali
ia melempar ide dan mengkritik orang-orang. Ia suka ’ribut-ribut’ dalam konteks
kreativitas. Biar semangatlah!, ungkap Yulhasni yang juga dosen Jurnalistik dan
Menulis Kreatif di Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini,
santai.
Meski merasa paling tak
pintar menulis puisi, karya Yulhasni yang termaktub dalam buku-buku antologi, antara lain Rezim, Surat Buat Merah
Putih, Muara III, Koin Satu Milyar, Kado Ulang Tahun, Amuk Gelombang, dan
Kosong, justru berupa puisi. Selain menulis puisi, pria yang sehari-hari juga menjadi
pelatih tetap jurnalistik dan calon wartawan di beberapa instansi ini pernah
menggarap beberapa naskah teater dan telah dipentaskan. Karya serupa cerpen,
kritik, esai sastra, politik dan HAM,
terbit di sejumlah media massa lokal dan nasional.
Dengan menulis, Yulhasni
bisa berteriak dan bersuara bebas. Dengan menjadi penulis, ia bisa memposisikan
diri sejajar dengan siapa pun. Ia bisa berdiri tegak dengan politisi, pejabat,
pengusaha, perampok, pelacur, dan semua orang di dunia ini.Yulhasni sangat menyukai
tulisan bertema pergerakan.
Nah, kembali ke persoalan,
menarik apa yang dituangkan Yulhasni, bahwa karya sastra Sumut hanya teks-teks
semu belaka. Jika kita masuk ke wilayah sastra, maka Yulhasni sudah
menyampaikan hal yang benar. Dalam pengertian semu berati tampak seperti asli
(sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli (sebenarnya). Begitu juga
pemahaman akrobatik yang berarti peragaan yang hebat dan mengagumkan persoalan
ketangkasan.
Sastra dalam hal ini puisi
maupun cerpen memang semu (fiktif) dan ia lebih kepada bahasa konsep dalam
bentuk tulisan. Tetapi jika dikatakan ia dikatakan akrobatik, maka ia lebih
kepada bahasa tindakan (aksi), inipun jika ia ditampilkan dalam sebuah wilayah
pertunjukan. Pemahaman kontradiktif Yulhasni ini sangat menarik untuk dikaji
ulang.
Jika ia menyatakan semu
dalam pengertian bahwa sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah
khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin.
Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan
tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai
kebenaran.
Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa
fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa
kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi
fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur
dalam berkarya?
Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut
perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana
kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan
berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan
selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga
harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang
hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra
ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra
tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena
dia ikut mengambil bagian di dalamnya.
Maka muncul persoalan apakah seorang komentator
harus menjadi seorang pionir. Seorang pelatih harus menjadi pemain?
Sebagai bahasa konsep, ia menawarkan gagasan untuk
menghadirkan bahasa tindakan. Minimal mengajak pembaca untuk merenung dalam
menyusun kekuatan baru sebelum bertindak. Orang bijak mengatakan, jangan lihat
siapa yang menyampaikan tetapi renungkan, pahami apa yang disampaikan. Jika
pesan yang disampaikan itu ke arah kebaikan, maka wajarlah kiranya kita masuk
ke wailayah aksi (tindakan), walaupun yang menyampaikan itu penjahat besar
sekalipun. Akhirnya, terserah pada kita menerima atau menolak. Seperti halnya,
Iblis yang mengajarkan manusia menghafal ayat kursi.
Bahasa konsep akan menimbulkan tindakan, bukan
adalah tindakan. Persoalan kejujuran adalah wilayah perenungan, bukan penilaian.
Urusan ketuhanan, bukan manusia.
Pemahaman akrobatik jika dimaksudkan adalah
sebagai lompatan-lompatan, juga perlu ditinjau ulang. Daya ungkap puisi dengan
cerpen tentu jauh perbedaannya. Lompatan-lompatan dalam puisi jauh berbeda
dengan cerpen. Begitu juga antara cerpen dengan novel. Apalagi
jika kita berhadapan dengan model prosa lirik, tentu memiliki lompatan yang berbeda
jika dihadapkan dengan cerpen biasa. Akhirnya, sebagai sebuah konsep saya
sangat setuju dengan tataran yang ditawarkan Yulhasni. Tetapi jika konsep sama
dengan tindakan kita lihat dulu wilayah pemahamannya. Salam.
*Penulis adalah Direktur
Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar